Di Susun Oleh:
Dian Lestari (206080006)
Kelas: 32A
Dosen Pengampu:
Fresley Hutapea, SH. MH. MARS
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
2022
UJIAN AKHIR SEMESTER ( UAS) – MARS URINDO 2022
kls A
MATA KULIAH : ASPEK HUKUM DAN ETIKA RUMAH SAKIT
I.PERMASALAHAN
Sebuah Rumah Sakit kelas B di milik suatu Yayasan Pendidikan yang sudah 30 tahun berdiri
telah ditetapkan sebagai RS Pendidikan Utama dan juga memiliki 15 RS Affiliasi dan 8 RS
Satelit Sejak tahun 2018 Rumah Sakit tersebut mengalami beberapa permasalahan dibidang
Pendidikan ,Pelayanan serta bidang Keuangan sehingga memerlukan suatu penyelesaian dan
pemecahan masalah.
1. Jumlah kungjungan pasien sangat sedikit dengan BOR 19 % sehinga jumlah kasus
untuk proses Pendidikan Mahasiwa Kedokteran di RS Pendidikan utama sangat sedikit.
Akibat hal ini lebih banyak proses belajar dilakukan dengan RS Afiliasi yang otomatis
berdampat pada biaya yang untuk Pendidikan beralih sebagian besar ke RS lain bukan
ke RS Pendidikan Utama
2. Sistem pelayanan belum berjalan dimana banyak kehadiran dokter tidak tepat
waktu, jam pemberian pelayanan tidak sesuai jadwal dan kunjungan pasien menurun
Disamping hal itu mutu layanan sangat rendah sehingga ada banyak komplain dari
masyarakat serta timbul dugaan Malpraktek dan Maladministrasi Hal lainnya
mengenai pendelegasian tugas dari dokter kepada perawat/nakes lainnya tidak
jelas, tidak sesuai aturan sehingga mengakibatkan timbul banyak masalah
3. Pada waktu dilakukan Reviu kls RS terdapat beberapa indikator yang tidak terpenuhi
antara lain kekurangan SDM dan tidak sesuai/ memenuhi ASPAK terutama bidang
Sarana,Prasarana dan Alat Kesehatan sehingga terancam turun kelas RS pada hal
disisi lain RS harus segera mengikuti Akreditasi dan proses perpanjangan izin RS.
(tertolong karena masih pademi shg masih dapat di undur )
5. Stuktur Organisasi RS tdk jelas karena tidak sesuai dengan aturan dan belum
dibentuknya Dewan Pengawas RS dan Satuan Pemeriksa Internal (SPI) dan tidak
adanya pembagian tugas yang jelas, tidak jelas tupoksi masing-masing, sehingga
dipandang perlu ada penataan organisasi sesuai ketentuan yang berlaku selain itu
penerapan Tata Kelola RS belum dibuat baik menyangkut Good Corporate Governance
maupun Good Clinical Governace tidak jelas aturannya sehingga pelaksanaan
Credential dan Clininical Appointment bagi setiap dokter yang berpraktek
Pasal yang termuat dalam larangan pengambilan gambar adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang No 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi pasal 40, bahwa
seseorang dilarang melakukan penyadapan yang disalurkan melalui jaringan
telekomunikasi. Yang dimaksud dengan penyadapan pada kalimat yang tertuang
dalam pasal tersebut berarti bahwa penyadapan disini merupakan
percakapan/informasi rahasia yang sedang di salurkan dalam jaringan dan alat
telekomunikasi kemudian di sadap dan di bocorkan ke publik. Sebagai contoh dua
orang sedang melakukan percakapan menggunakan alat komunikasi kemudian
seseorang dengan sengaja memasang alat pada jaringan telekomunikasi dan
melakukan penyadapan tanpa di ketahui 2 orang tersebut. Hal tersebut
berbeda dengan perekaman atau pengambilan gambar pada layanan kemudian di
sebar luaskan melalui jaringan telekomunikasi. Karena pengambilan terjadi pada
suatu tempat bukan pada jaringan telekomunikasi.
2. UU No 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran pasal 48 dan 51. Pasal 48 ini yang
harus merahasiakan rahasia kedokteran adalah dokter atau dokter gigi. Hal ini
berarti tidak berlaku kepada tenaga kesehatan ataupun staf yang ada pada
rumah sakit tersebut apabila mereka yang di ambil gambarnya. Apabila rahasia
tersebut di ketahui oleh orang lain maka bisa saja dokter yang melakukan
kelalaian dalam menjaga kerahasiaan kedokteran. Pada pasal 48 ayat 2 juga
di jelaskan bahwa rahasia kedokteran dapat dibuka untuk kepentingan dalam
rangka penegakan hukum. Hal tersebut berarti boleh dilakukan pemotretan apabila
seseorang memotret kesalahan suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter
dan potret tersebut sebagai alat bukti yang digunakan untuk melaporkan kepada
pihak yang berwajib. Berbeda halnya apabila seseorang mengambil potret
tersebut kemudian di sebarkan di media sosial. Pasal 51 (c) berisikan Dokter
atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran harus merahasiakan
segala sesuatu tentang pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal dunia. Dalam
pasal ini juga berisikan rahasia yang harus di jaga oleh dokter bukan tenaga medis
atau staf lain. Apabila rahasia tersebut bocor kepada orang lain bisa saja dokter lalai
dalam menjaga rahasia pasien.
3. UU No 1 tahun 2008 tentang ITE pasal 27 Pasal ini tentang larangan terhadaap
setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan,
perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pemerasan atau pemaksaan. Setiap
orang yang mengambil gambar dan menyebarkannya dengan berbeda maksud yaitu
bisa dengan maksud sesuai pasal tersebut dan juga ada yang dengan
maksud untuk mengungkap kebenaran. Akan tetapi pada pasal 31 intersepsi
atau penyadapan ini dapat dilakukan guna kepentingan penegakan hukum atas
perintah kepolisian atau penegak hukum lainya yang di tetapkan oleh undang-
undang. Sama halnya dengan penjelasan pada pasal 48 dalam UU No 29 tahun
2004 bahwa pengambilan gambar dapat dilakukan sebagai alat bukti untuk
melaporkan suatu kejadian pada aparat penegak hukum.
4. UU No 8 tahun 2014 tentang hak cipta. Undang-undang ini menerangkan tentang
ketentuan ciptaan. Ketentuan Potret atau foto yang berhubungan dengan
pengambilan gambar dalam UU ini terdapat pada pasal 12 yang bersi tentang
larangan penggunaan potret yang disebar tanpa persetujuan orang yang
dipotret ataupun ahli warisnya untuk kepentingan komersial. Ketentuan ini hanya
berlaku apabila pencipta mengambil gambar untuk kegiatan komersial dan tidak
berlaku apabila gambar tersebut hanya untuk dokumentasi pribadi atau untuk
memberi kabar kepada keluarga.
Langkah yang harus dilakukan rumah sakit dalam mengantisipasi kondisi tersebut yaitu:
- melakukan edukasi dan sosialisasi kepada pasien terkait rahasia kedokteran,
perlindungan privasi dan pengaturan perekaman di lingkungan rumah sakit.
- melakukan edukasi dan pengaturan penggunaan telepon seluler dan gawai bagi
tenaga kesehatan dan petugas rumah sakit, diantaranya tidak boleh menggunakan
telepon seluler atau gawai tanpa ijin pasien/keluarga ketika sedang memberikan
pelayanan.
- tidak melakukan swafoto (selfie) dihadapan pasien atau di area privat rumah sakit,
dan tidak melakukan perekaman menggunakan telepon seluler atau gawai yang
tidak terkait dengan pelayanan pasien, pendidikan dan penelitian rumah sakit.
- tidak mengunggah konten di media sosial berupa tulisan, foto dan video yang
mengandung unsur sara, tidak sesuai etika dan melanggar etika dan hukum.
2. Bagaimana tanggung jawab hukum Rumah sakit bila melakukan pelayanan tidak sesuai
standar pelayanan yang berlaku terutama dalam penanganan covid 19 ? Upaya apa
yang harus dilakukan Rumah sakit mengantisipasi kondisi seperti . Uraikan secara jelas
Jelaskan pula pihak pihak yang bertanggungjawab secara hukum dalam masalah ini
Jawaban:
Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 menerangkan bahwa kepada para petugas tertentu yang
melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana diterangkan Pasal 5 ayat
(1) UU 4/1984 dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam
melaksanakan tugasnya. bahwa tenaga kesehatan dan dokter yang juga berperan
dalam upaya penanggulangan wabah COVID-19 berhak atas suatu penghargaan,
seperti yang bersifat materi.
Hak Pasien COVID-19
Menjawab pertanyaan Anda mengenai hak-hak pasien COVID-19, secara umum telah
diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU
44/2009) yang berbunyi:
Setiap pasien mempunyai hak:
1. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah
Sakit;
2. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
3. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
4. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional;
5. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian
fisik dan materi;
6. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
7. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit;
8. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun
pidana; dan
9. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan
melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3. Pada kenyataanya sering timbulnya masalah atau sengketa di Rumah sakit pada
hakekatnya karena adanya perbedaan mendasar pemahaman atau logika pasien
dengan logika para Tenaga Kesehatan /Tenaga medis .Menurut saudara apa yang
harus dilakukan para tenaga Kesehatan untuk mengantisipasi hal itu ?? .Bagaimana
Direksi RS untuk mengatasi kondisi hal ini dalam proses penanganan masalah
dimaksud ?.Coba saudara berikan konsep atau Upaya apa yg harus kita lakukan untuk
meminimalisasi masalah ini. Jelaskan
Jawaban:
Sengketa Medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluarga pasien
dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan rumah sakit / fasilitas kesehatan.
Biasanya yang dipersengketakan adalah hasil atau hasil akhir pelayanan kesehatan
dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan prosesnya. Dalam hukum kesehatan
diakui bahwa tenaga kesehatan atau pelaksana pelayanan kesehatan saat memberikan
pelayanan hanya bertanggung jawab atas proses atau upaya yang dilakukan
(Inspanning Verbintennis) dan tidak menjamin/menggaransi hasil akhir (Resultalte
Verbintennis). Sengketa yang terjadi antara dokter dengan pasien biasanya disebabkan
oleh kurangnya informasi dari dokter, padahal informasi mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan hak
pasien, hal tersebut terjadi karena pola paternalistik yang masih melekat dalam
hubungan tersebut. Upaya penyelesaian sengketa melalui peradilan umum yang selama
ini ditempuh tidak dapat memuaskan pihak pasien, karena putusan hakim dianggap
tidak memenuhi rasa keadilan pihak pasien. Hal ini disebabkan sulitnya pasien atau
Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim untuk membuktikan adanya kesalahan dokter.
Kesulitan pembuktian dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai
permasalahan-permasalahan tehnis sekitar pelayanan medik.
Mediasi merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang diakui oleh hukum
dan lembaga penegak hukum di Indonesia, bahkan setiap sengketa yang masuk dalam
pengadilan diharuskan untuk di mediasi terlebih dahulu sebelum masuk dalam proses
peradilan, ketentuan ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun
2008. Dalam hal penyelesaian sengketa kesehatan melalui mediasi, Pasal 29 Undang‐
Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 dapat dijadikan dasar hukum
pelaksanaannya. Pengembangan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
mempunyai dasar hukum yang kuat yaitu Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa, Pasal 130 HIR/154 Rbg
dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 yang disempurnakan dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008. Dalam penyelesaian sengketa
kesehatan melalui proses mediasi di akomodir dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh
konsil kedokteran Indonesia begitu juga dalam Undang‐Undang Kesehatan Nomor 36
tahun 2009 pasal (29) “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi” Berdasarkan pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa kesepakatan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat
para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan
Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Proses
mediasi yang telah dilakukan oleh para pihak yang bersengketa apabila tidak
menemukan kesepakatan, maka mediasi dianggap gagal dan harus dilakukan melalui
jalur litigasi di Pengadilan Negeri yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa
tersebut.
b. Rekam medis elektronik menjadi salah satu alat yang dapat digunakan untuk dengan
mudahnya mengakses informasi kesehatan dan data, memasukan permintaan tes
dan pengobatan, diagnose, demografi, hasil pemeriksaan dan berbagai informasi
lainnya. Implementasi rekam medis elektronik dipergunakan sebagai strategi untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan seperti perbaikan alur kerja, mengatasi
kendala dokumentasi klinis berbasis rekam medis manual yang mengalami banyak
masalah dalam tuntutan pertukaran informasi di antar penyedia layanan kesehatan.
Terdapat tantangan dan hambatan dalam implementasi RME, pengembangan
pendekatan dengan model sosioteknik diharapkan mampu mengeksplorasi dan
mengatasi tantangan serta hambatan yang ada dalam proses implementasi RME.
Dalam perjalanannya ada banyak unsur atau persyaratan yang harus dipenuhi ketika
akan melakukan peralihan rekam medik manual ke rekam medik elektronik antara
lain:
1. Privacy atau confidentiality dimana keamanan data harus benar benar terjadi
dari yang tidak berhak mengakses dan tersimpan dalam satu tempat yang aman dan
sesuai dengan standar
2. Integrity dimana mulai dari pasien masuk ke sarana Fasilitas Kesehatan (Faskes)
seperti rumah sakit harus terakomodir dengan satu identitas unik seperti no rekam
medis atau barcode yang akan digunakan dalam seluruh pelayanan
3. Authentication, otentifikasi dalam UU ITE dimana satu pin hanya diberikan
kepada satu orang dalam hal ini paramedis yang memberikan pelayanan Kesehatan
kepada pasien
4. Avalilability, dimana data dapat diakses kapan pun sesuai kebutuhan pemilik
data Kesehatan
5. Access control dimana level hak akses diatur mulai dari user sampai pihak
manajemen
6. Non Repudiation yang berarti tidak ada sanggahan disaat ada log perubahan
data yang mencatat kapan waktu dilakukan perubahan, alamat komputer, data yang
diubah sampai siapa yang melakukan perubahan. Dimana semuanya terekam dalam
system.
RME juga merupakan alat bukti hukum yang sah. Hal tersebut juga ditunjang
dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam pasal 5
dan 6 yaitu:
Pasal 5: (1). Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2). Informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3). Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah
apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalan Undang-Undang ini.
Pasal 6: Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam pasal
5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk
tertulis atau asli, Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dianggab sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat
diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”
6. Etik, Moral, dan hukum, pada dasarnya mempunyai tugas dan kewenangan untuk
memanusiakan manusia, untuk memperadab manusia.
a. Bagaimana tanggung jawab Direksi RS terhadap pelaksanaan Etik dan Hukum,Etik
Pelayanan ,Etika Administrasi dan Etika Bisnis di RS dalam praktek
penyelenggaraan Rumah Sakit sekarang ini
b. Bagaimana tanggapan saudara peranan Etik dan Hukum dalam praktek pelayanan
kesehatan Transplantasi Organ di rumah sakit ? Bagaimana pelaksanaan hal itu di
Indonesia .serta jelaskan kriteria kepatuhan dalam penelitian biomedis ,
c. Bagaimana pandangan saudara tentang pengaturan Etika Bisnis dalam praktek
perumahsakitan di Indonesia ? jelaskan pula pendapat saudar sejauhmanakah
pentingnya Etika Bisnis dalam industri perumahsakitan
Jawaban:
Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI) dirumuskan dan dibina oleh PERSI, dan telah
disahkan oleh Menteri Kesehatan. Sampai saat ini ERSI sudah berada pada versi tahun
2001. Etika rumah sakit di Indonesia (ERSI) tidak secara eksplisit menyebut sebagai
etika bisnis rumah sakit. Hal ini memang masih dalam suatu pengaruh persepsi masa
lalu yang kuat bahwa bisnis dianggap jelek. Buku ini menganut prinsip bahwa rumah
sakit adalah organisasi lembaga pelayanan yang memberikan pelayanan jasa
kesehatan untuk membuat orang menjadi sehat kembali, atau tetap menjadi sehat dan
bertambah sehat. Etika organisasi rumah sakit saat ini mengalami perubahan besar.
Bentuk lama etika organisasi rumah sakit sering bersandar pada hubungan dokter dan
pasien dalam konteks sumpah dokter. Akan tetapi etika organisasi rumah sakit saat ini
sering membahas norma-norma yang diacu dalam manajemen kegiatan sehari-hari
rumah sakit. Norma-norma ini mencerminkan bagaimana bisnis rumah sakit akan
dijalankan sehingga pada akhirnya rumah sakit dapat memperoleh kepercayaan dari
masyarakat. Patut dicatat bahwa rumah sakit sudah ada etika rumah sakit yang disebut
sebagai Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI).
Panduan general consent ini harus diterapkan kepada semua pasien baik rawat
jalan, rawat inap, maupun dalam hal tindakan-tindakan khusus seperti
tindakan operatif, anastesi, transfusi darah, serta tindakan lainnya. Pelaksanaan general
consent adalah staf rumah sakit yang terlatih dalam bahasa yang dipahami oleh
pasien atau keluarga. Pelaksanaan pemberian formulir general consent di Rumah Sakit
yaitu: Ketika pasien dan keluarganya datang ke rumah sakit akan diberikan formular
general untuk diisi tetapi sebelum diisi maka petugas rumah sakit wajib menjelaskan,
setelah diisi lalu akan ditanda tangani. Fungsinya agar Pasien atau Keluarga
mengetahui informasi RS tentang perawatan pasien, jenis pelayanan, penjamin pasien,
hari buka poliklinik, serta hak dan kewajiban pasien.
The Declaration of Lisbon memuat tentang hak-hak pasien, diantaranya hak untuk
menentukan nasibnya sendiri dengan menerima atau menolak pengobatan yang akan
diberikan setelah mendapatkan informasi yang cukup dan dapat dimengerti.
Di Indonesia sampai saat ini masih belum ada penggunaan istilah yang seragam untuk
“Informed consent". Di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dalam Pasal 45 digunakan istilah Persetujuan Tindakan Kedokteran. Di
dalam penjelasan Pasal 45 ayat (5) maupun Pasal 52 butir (a) digunakan istilah tindakan
medis. Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan juga menggunakan
istilah yang sama yaitu tindakan medis seperti yang disebutkan di dalam Pasal 15 dan
53 ayat (3) berikut penjelasannya. Sementara itu Surat Edaran Direktur Jenderal
Pelayanan Medis Nomor : HK.00.06.3.5.1866 Tahun 1999 menggunakan istilah
Persetujuan Tindakan Medis.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran menggunakan istilah yang berbeda yaitu Tindakan Kedokteran. Jika dilihat
melalui hukum perdata, maka medical informed consent adalah informasi kesehatan
yang diberikan kepada pasien (informed) untuk melakukan sebuat tindakan medis dan
diperlukan persetujuan pasien untuk melakukan tindakan medis tersebut (consent).
Dalam pasal 1320 KUH Perdata, informed sebagai bagian dari informed consent adalah
hal yang diperjanjikan dalam persetujuan tindakan medis itu sendiri karena dalam
formulir persetujuan tindakan medis misalnya, isinya sangat terbatas, yaitu hanya
persetujuan pasien terhadap suatu tindakan medis tanpa dijelaskan lebih mendetail
bagaimana prosedurnya, efek samping, alternatif tindakan lain dan hal lainnya.
Implikasi hukum penolakan tindakan medik terhadap pasien adalah apabila pasien
menggunakan haknya dalam menolak suatu tindakan medik maka pasien telah
melepaskan hak hukumnya terhadap dokter apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sedangkan akibat hukum penolakan tindakan medik terhadap dokter apabila dokter
telah menjalankan kewajibannya dan pasien dalam menggunakan haknya memilih untuk
menolak tindakan medik maka dokter terlepas dari segala akibat hukum yang timbul
setelah penolakan tersebut.
B.
Implikasi hukum penolakan tindakan medik terhadap pasien adalah apabila pasien
menggunakan haknya dalam menolak suatu tindakan medik maka pasien telah
melepaskan hak hukumnya terhadap dokter apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sedangkan akibat hukum penolakan tindakan medik terhadap dokter apabila dokter
telah menjalankan kewajibannya dan pasien dalam menggunakan haknya memilih untuk
menolak tindakan medik maka dokter terlepas dari segala akibat hukum yang timbul
setelah penolakan tersebut. Di Indonesia untuk pelaksanaan informed consent sudah
dilakukan di setiap rumah sakit hanya kadang dari pihak pasien yang menolak dengan
alasan masih kurang paham akan kegunaan tersebut. Menurut pemahaman pasien,
data tersebut takut disalahgunakan nanti nya.
Jawaban:
A. Syarat mediasi:
- Bersifat netral --- tidak memihak
- Penentuan mediator disetujui kedua pihak
- Mendukung terwujudnya kesepakatan atau solusi permasalahan
- mediator yang baik akan mengambil keputusan melalui mendengarkan dan
berdialog mengenai isu secara langsung dengan masing-masing pihak
TAHAPAN MEDIASI
MEMULAI PROSES MEDIASI
Mediator memperkenalkan diri dan para pihak
Menekankan adanya kemauan para pihak untuk menyelesaikan masalah melalui
mediasi
Menjelaskan pengertian mediasi dan peran mediator
Menjelaskan prosedur mediasi
Menjelaskan pengertian kaukus
Menjelaskan parameter kerahasiaan
Menguraikan jadwal dan lama proses mediasi Menjelaskan aturan perilaku dalam
proses perundingan
Memberikan kesempatan kepada Para pihak untuk Bertanya dan menjawabnya
MERUMUSKAN MASALAH DAN MENYUSUN AGENDA
Mengidentifikasi topik-topik umum permasalahan, menyepakati subtopik permasalahan
yang akan dibahas dan menentukan urutan subtopik yang akan dibahas dalam proses
perundingan menyusun agenda perundingan 3.
MENGUNGKAPKAN KEPENTINGAN TERSEMBUNYI
Dapat dilakukan dengan dua cara:
o CARA LANGSUNG: mengemukakan pertanyan langsung kepada para pihak
10. Jelaskan Tata Kelola RS dikaitkan dengan Good Covernance ? Jelaskan maksud
Clinical Governance dalam pelayanan Kesehatan di RS . Mengapa perlu adanya
Hospital ByLaws di Rumah sakit? Bagaimana cara membuat HBL,MSBL dan NSBL
serta turunannya berupa Kebijakan ,Pedoman dan SOP/SPO.
Jawaban:
Tata kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi
kepemimpinan klinik, audit klinis, data klinis, risiko klinis berbasis bukti, peningkatan
kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan
profesional, dan akreditasi rumah sakit (Penjelasan Ps 36 UU No 44 Th 2009). Untuk
mendapatkan output “Pasien memperoleh pelayanan klinis dengan mutu terbaik” maka
Rumah Sakit wajib menjalankan tata kelola klinis, mengukur capaian, menganalisa dan
melakukan perbaikan. Semua hal ini sudah terlaksanan dengan adanya indikator mutu
nasional dan pelaksanaan survei akreditasi Rumah Sakit. karakteristik dan cakupan
Clininal Governance dalam suatu Rumah Sakit yaitu :
Banyak konsep tentang komponen kegiatan clinical governance, tetapi secara garis
besar terdiri atas empat pilar seperti yang dikembangkan di negara bagian Australia
Barat pada gambar dibawah ini :
Clinical governance merupakan bagian dari suatu pendekatan baru yang bertujuan
untuk menjamin terlaksananya pelayanan kesehatan yang bermutu. Tujuan
akhirnya adalah untuk menjaga agar pelayanan kesehatan dapat terselenggara
dengan baik berdasarkan standard pelayanan yang tinggi serta dilakukan pada
lingkungan kerja yang memiliki tingkat profesionalisme tinggi. Secara implicit clinical
governancejuga dimaksudkan untuk terciptanya peningkatan derajat kesehatan melalui
upaya klinik yang maksimal dengan biaya yang paling cost-effective.
Rumah Sakit dituntut untuk memberikan pelayanan dengan standar pelayanan dan
tingkat profesionalisme yang tinggi kepada Pasien, sehingga untuk itu guna memenuhi
tuntutan dan melindungi pemilik Rumah Sakit, penyelenggara rumah sakit, tenaga
kesehatan serta melindungi pasien. Rumah Sakit berkewajiban untuk menyusun dan
melaksanakan Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital by Laws) sebagaimana diatur
pada Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 29 ayat (1) huruf
(r), di samping peraturan lainnya yang ditetapkan oleh Rumah Sakit sebagai pedoman
dalam mengelola Rumah Sakit. Sesuai dengan Perjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf (r)
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Peraturan Internal Rumah
Sakit (Hospital by Laws) merupakan peraturan organisasi Rumah Sakit (Corporate by
Laws) dan Peraturan Staf Medis Rumah Sakit (Medical Staff by Laws) yang disusun
dalam rangka menyelenggarakan tata kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate
Governance) dan tata kelola klinis yang baik (Good Clinical Governance).
Secara Yuridis, Hospital by Laws tidak dapat dicampur dengan aturan lain yang
ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit, kekeliruan utama dalam memahami Hospital by
Laws adalah ketika menganggap bahwa Hospital by Laws sebagai seperangkat Standar
Operasional Prosedur (SOP) rumah sakit, kebijakan tertulis rumah sakit, job description
tenaga kesehatan dan petugas rumah sakit, sehingga dengan kekeliruan pemahaman
tersebut rumah sakit menganggap telah memiliki Hospital by Laws, padahal Hospital by
Laws bukan mengatur kebijakan teknis operasional rumah sakit melainkan mengatur
hal-hal, sebagai berikut:
Peran, tugas, dan kewenangan pemilik Rumah Sakit atau yang mewakili.
1. Sebagai acuan bagi pemilik Rumah Sakit dalam melakukan pengawasan Rumah Sakit.
2. Sebagai acuan bagi direktur rumah sakit dalam mengelola rumah sakit dan menyusun
kebijakan yang bersifat teknis operasional.
4. Sarana perlindungan hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan Rumah Sakit.
5. Sebagai acuan bagi penyelesaian konflik di Rumah Sakit antara pemilik, direktur rumah
sakit dan staf medis.
Buku kesatu
Pasal I Pengertian
Bab II IDENTITAS
Buku Kedua
Bagian Kedua Tugas dan Wewenang Subkomite Etik dan Disiplin Profesi
II ANALISIS KASUS
1. Sebagai calon Direktur RS dimaksud dengan pendidikan yang Saudara peroleh
sebagai MARS langkah-langkah apa yang Saudara lakukan dan Tentukan
prioritasnya dengan analisis yang dapat dipertangggung jawabkan dan tentukan
mana yang lebih dahulu dilaksanakan?
Jawaban:
Pertama – tama lakukan rapat manajemen yang dihadiri oleh seluruh manajemen dan
komite medik RS untuk identifikasi masalah. Dari beberapa masalah tersebut
dikelompokkan dan dikerucutkan sesuai dengan rencana penyelesaiannya. Metode
yang digunakan yakni telusur data, telusur lapangan dan wawancara. Beberapa poin
permasalahan yang ditemukan adalah :
a. Belum dibentuknya Dewan Pengawas (Dewas)
b. Organisasi RS kurang terstruktur dengan baik dan benar, pembagian tugas dan
tupoksi masing – masing divisi belum jelas.
c. Tata Kelola RS mengenai Good Corporate Governance maupun Good Clinical
Governace belum jelas sehingga belum ada kejelasan dalam hal pelaksanaan
Credential, Clininical Appointment bagi setiap dokter yang berpraktek dan
pendelegasian tugas dari dokter serta tanggungjawab perawat/nakes lainnya
d. Hubungan RS dengan Fakultas Kedokteran kurang baik
e. Staf pengajar tidak mau praktek
f. RS kekurangan dokter ( Akibat kurangnya dokter terjadi antrian yang cukup panjang
dalam pelayanan poliklinik rawat jalan ).
g. Pelayanan dalam bidang tertentu tidak maksimal sebagaimana RS tipe B
h. Pelayanan belum teratur
i. Kehadiran dokter tidak tepat waktu ( jam pelayanan tidak sesuai )
j. Keluhan masyarakat (dugaan adanya malpraktek dan Maladministrasi)
k. Sarana,Prasana dan Alat kesehatan tidak sesuai Standar
l. Owner terlalu menguasai beberapa system yang berjalan di RS
m. Masalah di bidang keuangan terdapat tunggakan tagihan BPJS dikarenakan telatnya
proses verifikasi dan klaim dari RS. Imbasnya jasa dokter telat sampai 3 bulan dan
pembagian jasa dokter belum transparan
Dalam integrasi pendidikan kesehatan dalam pelayanan di Rumah sakit, fokus area
dalam pembenahan yang dilakukan meliputi persetujuan pemilik untuk PKS Pendidikan,
unit pengelola pendidikan di Rumah sakit, rasio pendidik klinis dengan peserta,
kompetensi pendidik klinis, supervisi proses Pendidikan, dan juga menjaga mutu dan
keselamatan pasien.
Standar IPKP.1
Rumah sakit menetapkan regulasi tentang persetujuan pemilik dan pengelola dalam
pembuatan perjanjian kerja sama penyelenggaraan pendidikan klinis di rumah sakit.
Standar IPKP.2
Pelaksanaan pelayanan dalam pendidikan klinis yang diselenggarakan di rumah sakit
mempunyai akuntabilitas manajemen, koordinasi, dan prosedur yang jelas.
Maksud dan Tujuan IPKP 2
Organisasi yang mengkoordinasi pendidikan klinis
● Bertanggung jawab untuk merencanakan, memonitor dan mengevaluasi penyelenggaraan
program pendidikan klinis di rumah sakit.
● Melakukan penilaian berdasarkan kriteria yang sudah disetujui bersama.
● Harus melaporkan hasil evaluasi penerimaan, pelaksanaan dan penilaian output dari
program pendidikan kepada pimpinan rumah sakit dan pimpinan institusi pendidikan.
Unit fungsional yang mengoordinasi pendidikan di rumah sakit menetapkan kewenangan,
perencanaan, monitoring implementasi program pendidikan klinis, serta evaluasi dan
analisisnya.
Kesepakatan antara rumah sakit dan institusi pendidikan kedokteran,kedokteran gigi, dan
pendidikan tenaga kesehatan lainnya harus tercermin dalam organisasi dan kegiatan organisasi
yang mengoordinasi pendidikan di rumah sakit.
Rumah sakit memiliki regulasi yang mengatur:
1) Kapasitas penerimaan peserta didik sesuai dengan kapasitas rumah sakit yang
dicantumkan dalam perjanjian kerja sama
2) Persyaratan kualifikasi pendidik/dosen klinis
3) Pendidikan klinis di rumah sakit.
Rumah sakit mendokumentasikan daftar akurat yang memuat semua peserta pendidikan klinis
di rumah sakit. Untuk setiap peserta pendidikan klinis dilakukan pemberian kewenangan klinis /
UTW untuk menentukan sejauh mana kewenangan yang diberikan secara mandiri atau di
bawah supervisi.
Rumah sakit harus mempunyai dokumentasi, yang meliputi surat keterangan peserta didik
dari institusi Pendidikan; ijazah, surat tanda registrasi, dan surat izin praktik yang menjadi
persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; klasifikasi akademik; identifikasi
kompetensi peserta pendidikan klinis; dan laporan pencapaian kompetensi.
Elemen Penilaian IPKP.2
● Ada regulasi tentang pengelolaan dan pengawasan pelaksanaan pendidikan klinis yang
telah disepakati bersama meliputi 1) sampai dengan 3) di maksud dan tujuan.
● Ada daftar lengkap memuat nama semua peserta pendidikan klinis yang saat ini ada di
rumah sakit.
● Untuk setiap peserta pendidikan klinis terdapat dokumentasi yang berisi data meliputi a)
sampai dengan e) di maksud dan tujuan.
Standar IPKP.3
Tujuan dan sasaran program pendidikan klinis di rumah sakit disesuaikan dengan jumlah staf
yang memberikan pendidikan klinis, variasi dan jumlah pasien, teknologi, serta fasilitas rumah
sakit.
Maksud dan Tujuan IPKP.3
Pendidikan klinis di rumah sakit harus mengutamakan keselamatan pasien serta
memperhatikan kebutuhan pelayanan sehingga pelayanan rumah sakit tidak terganggu, akan
tetapi justru menjadi lebih baik dengan terdapat program pendidikan klinis ini.
Pendidikan harus dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelayanan dalam rangka
memperkaya pengalaman dan kompetensi peserta didik, termasuk juga pengalaman pendidik
klinis untuk selalu memperhatikan prinsip pelayanan berfokus pada pasien.
● Variasi dan jumlah pasien harus selaras dengan kebutuhan untuk berjalannya program,
demikian juga fasilitas pendukung pembelajaran harus disesuaikan dengan teknologi
berbasis bukti yang harus tersedia.
● Jumlah peserta pendidikan klinis di rumah sakit harus memperhatikan jumlah staf pendidik
klinis serta ketersediaan sarana dan prasarana.
Elemen Penilaian IPKP.3
● Ada perhitungan rasio peserta pendidikan dengan staf yang memberikan pendidikan klinis
untuk seluruh peserta dari setiap program pendidikan profesi yang disepakati oleh rumah
sakit dan institusi pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
● Ada dokumentasi perhitungan peserta didik yang diterima di rumah sakit per periode untuk
proses pendidikan disesuaikan dengan jumlah pasien untuk menjamin mutu dan
keselamatan pasien.
Standar IPKP.4
Seluruh staf yang memberikan pendidikan klinis mempunyai kompetensi sebagai pendidik klinis
dan mendapatkan kewenangan dari institusi pendidikan dan rumah sakit.
Maksud dan Tujuan IPKP.4
● Seluruh staf yang memberikan pendidikan klinis telah mempunyai kompetensi dan
kewenangan klinis untuk dapat mendidik dan memberikan pembelajaran klinis kepada
peserta pendidikan klinis di rumah sakit sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(lihat juga KKS 10, KKS 13, dan KKS 16)
● Daftar staf yang memberikan pendidikan klinis dengan seluruh gelar akademis dan
profesinya tersedia di rumah sakit.
● Seluruh staf yang memberikan pendidikan klinis harus memenuhi persyaratan kredensial dan
memiliki kewenangan klinis untuk melaksanakan pendidikan klinis yang sesuai dengan
tuntutan tanggung jawabnya. (lihat juga KKS 9, KKS 13, dan KKS 16)
Elemen Penilaian IPKP 4.
● Ada penetapan staf klinis yang memberikan pendidikan klinis dan penetapan penugasan
klinis serta rincian kewenangan klinis dari rumah sakit.
● Ada daftar staf klinis yang memberikan pendidikan klinis secara lengkap (akademik dan
profesi) sesuai dengan jenis pendidikan yang dilaksanakan di RS.
● Ada uraian tugas, tanggung jawab, dan juga wewenang untuk setiap staf yang memberikan
pendidikan klinis. (lihat juga KKS 10, KKS 13, dan KKS 16)
● Ada bukti staf klinis yang memberikan pendidikan klinis telah mengikuti pendidikan
keprofesian berkelanjutan.
Standar IPKP.5
Rumah sakit memastikan pelaksanaan supervisi yang berlaku untuk setiap jenis dan jenjang
pendidikan staf klinis di rumah sakit.
Maksud dan Tujuan IPKP. 5
● Supervisi dalam pendidikan menjadi tanggung jawab staf klinis yang memberikan pendidikan
klinis untuk menjadi acuan pelayanan rumah sakit agar pasien, staf, dan peserta didik
terlindungi secara hukum.
● Supervisi diperlukan untuk memastikan asuhan pasien yang aman dan merupakan bagian
proses belajar bagi peserta pendidikan klinis sesuai dengan jenjang pembelajaran dan level
kompetensinya.
● Setiap peserta pendidikan klinis di rumah sakit mengerti proses supervisi klinis,meliputi siapa
saja yang melakukan supervisi dan frekuensi supervisi oleh staf klinis yang memberikan
pendidikan klinis. Pelaksanaan supervisi didokumentasikan dalam log book peserta didik dan
staf klinis yang memberikan pendidikan klinis.
Dikenal 4 (empat) tingkatan supervisi yang disesuaikan dengan kompetensi dan juga
kewenangan peserta didik sebagai berikut:
1. Supervisi tinggi:
Kemampuan asesmen peserta didik belum sahih sehingga keputusan dalam membuat
diagnosis dan rencana asuhan harus dilakukan oleh dokter penanggung jawab pelayanan
(DPJP). Begitu pula tindakan medis dan operatif hanya boleh dilakukan oleh DPJP.
Pencatatan pada berkas rekam medis harus dilakukan oleh DPJP.
2. Supervisi moderat tinggi:
Kemampuan asesmen peserta didik sudah dianggap sahih,namun kemampuan membuat
keputusan belum sahih sehingga rencana asuhan yang dibuat peserta didik harus disupervisi
oleh DPJP. Tindakan medis dan operatif dapat dikerjakan oleh peserta didik dengan
supervisi langsung (onsite) oleh DPJP. Pencatatan pada berkas rekam medis oleh peserta
didik dan diverifikasi dan divalidasi oleh DPJP.
3. Supervisi moderat:
Kemampuan melakukan asesmen sudah sahih, tetapi kemampuan membuat keputusan
belum sahih sehingga keputusan rencana asuhan harus mendapat persetujuan DPJP
sebelum dijalankan, kecuali pada kasus gawat darurat. Tindakan medis dan operatif dapat
dilaksanakan oleh peserta didik dengan supervise tidak langsung oleh DPJP (dilaporkan
setelah pelaksanaan). Pencatatan pada berkas rekam medis oleh peserta didik dengan
verifikasi dan validasi oleh DPJP.
4. Supervisi rendah:
Kemampuan asesmen dan kemampuan membuat keputusan sudah sahih sehingga dapat
membuat diagnosis dan rencana asuhan, namun karena belum mempunyai legitimasi tetap
harus melapor kepada DPJP. Tindakan medis dan operatif dapat dilakukan dengan supervisi
tidak langsung oleh DPJP. Pencatatan pada berkas rekam medis oleh peserta didik dengan
validasi oleh DPJP.
Penetapan tingkat supervisi peserta didik dilakukan oleh staf klinis yang memberikan
pendidikan klinis, setelah melakukan evaluasi kompetensi peserta didik menggunakan
perangkat evaluasi pendidikan yang dibuat oleh institusi pendidikan. Beberapa alat evaluasi
antara lain Bed site teaching, Mini Clinical Evaluation Exercise for trainee (Mini-CEX), Directly
Observed Procedural Skill (DOPS), Case Based Discusion (CBD), Procedure Based Assesment
(PBA).
Elemen Penilaian IPKP.5
● Ada tingkat supervisi yang diperlukan oleh setiap peserta pendidikan klinis di rumah sakit
untuk setiap jenjang pendidikan.
● Setiap peserta pendidikan klinis mengetahui tingkat, frekuensi, dan dokumentasi untuk
supervisinya.
● Ada format spesifik untuk mendokumentasikan supervisi yang sesuai dengan kebijakan
rumah sakit, sasaran program, serta mutu dan keselamatan asuhan pasien.
● Ada batasan kewenangan peserta pendidikan yang mempunyai akses dalam mengisi rekam
medis. (lihat juga MIRM 13.4).
Standar IPKP.6
Pelaksanaan pendidikan klinis di rumah sakit harus mematuhi regulasi rumah sakit dan
pelayanan yang diberikan berada dalam upaya mempertahankan atau meningkatkan mutu dan
keselamatan pasien.
Maksud dan tujuan IPPK.6:
Dalam pelaksanaannya program pendidikan klinis tersebut senantiasa menjamin mutu dan
keselamatan pasien. Rumah sakit memiliki rencana dan melaksanakan program orientasi
dengan menerapkan konsep mutu dan keselamatan pasien yang harus diikuti oleh seluruh
peserta pendidikan klinis serta mengikutsertakan peserta didik dalam semua pemantauan mutu
dan keselamatan pasien.
Orientasi peserta pendidikan klinis minimal mencakup:
a. program rumah sakit tentang mutu dan keselamatan pasien
(lihat juga TKRS 4; TKRS 4.1; TKRS 5;TKRS 11; dan TKRS 11.2);
b. program pengendalian infeksi (lihat juga PPI 5)
c. program keselamatan penggunaan obat (lihat juga PKPO 1);
d. sasaran keselamatan pasien.
Elemen Penilaian IPKP 6
Ada program orientasi peserta pendidikan staf klinis dengan materi orientasi yang meliputi:
● a) sampai dengan d) mengenai maksud dan tujuan
(lihat juga KKS 7 EP 1)
● Ada bukti pelaksanaan dan sertifikat program orientasi peserta pendidikan klinis.
● Ada bukti pelaksanaan dan dokumentasi peserta didik yang diikutsertakan dalam semua
program peningkatan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit.
● Ada pemantauan dan evaluasi bahwa pelaksanaan pendidikan klinis tidak menurunkan mutu
dan keselamatan pasien yang dilaksanakan sekurang-kurangnya sekali setahun yang
terintegrasi dengan program mutu dan keselamatan pasien.
(lihat TKRS 1.2 dan TKRS 5 EP 3)
● Ada survei mengenai kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit atas
dilaksanakannya pendidikan klinis sekurang-kurangnya sekali setahun.
Pemilik
Standar TKRS 1
Organisasi serta wewenang pemilik dan representasi pemilik dijelaskan didalam regulasi
yang ditetapkan oleh pemilik Rumah Sakit
Elemen penilaian :
a) Pemilik menetapkan regulasi yang mengatur siapa yang bertanggung jawab dan
berwenang yang tercantum pada a) sampai a) yang ada didalam maksud dan
tujuan yang dapat berbentuk corporate by laws, peraturan internal atau dokumen
lainnya yang serupa
b) Ada penetapan struktur organisasi pemilik termasuk representasi pemilik sesuai
dengan bentuk badan hukum kepemilikan Rumah Sakit dan sesuai peraturan
perundang-undangan. Nama jabatan didalam struktur organisasi tersebut harus
secara jelas disebutkan
c) Ada penetapan struktur organisasi Rumah sakit sesuai peraturan perundang-
undangan
(Perpres 77, tahun 2015)
d) Ada penetapan Direktur Rumah Sakit sesuai peraturan perundang-undangan
Standar TKRS 1.1
Tanggung jawab dan akuntabilitas pemilik dan representasi pemilik telah
dilaksanakan sesuai regulasi yang ditetapkan dan sesuai peraturan perundang-
undangan
Elemen Penilaian TKRS 1.1
o Ada persetujuan dan ketersediaan anggaran/ budget investasi/modal dan
operasional serta sumber daya lain yang diperlukan untuk menjalankan
Rumah Sakit sesuai dengan misi dan rencana strategis Rumah Sakit.
o Ada dokumen hasil penilaian kinerja dari representasi pemilik, sekurang-
kurangnya setahun sekali
o Ada dokumen hasil penilaian kinerja dari direktur Rumah Sakit sekurang-
kurangnya setahun sekali.
KEPALA BIDANG/DIVISI
Standar TKRS 3
Para Kepala Bidang/divisi Rumah Sakit ditetapkan dan secara bersama, bertanggung
jawab untuk menjalankan misi dan membuat rencana serta regulasi yang dibutuhkan
untuk melaksanakan misi tersebut.
Elemen Penilaian TKRS.3
1. Rumah Sakit telah menetapkan persyaratan jabatan, uraian tugas, tanggung jawab
dan wewenang dari Kepala bidang/divisi Rumah Sakit secara tertulis.
2. Kualifikasi kepala bidang/divisi sudah sesuai dengan persyaratan jabatan serta
tugas
pokoknya.
1. Ada bukti koordinasi antar kepala bidang/divisi dalam menjalankan misi Rumah
Sakit.
2. Ada bukti peran serta secara kolaboratif para kepala bidang/divisi dalam menyusun
berbagai regulasi yang diperlukan untuk menjalankan misi
1. Ada bukti pelaksanaan pengawasan oleh para kepala bidang/divisi untuk menjamin
kepatuhan staf terhadap pelaksanaan regulasi Rumah Sakit sesuai misi Rumah
Sakit.
Pasal 70