Anda di halaman 1dari 46

PROPOSAL PENELITIAN RISET DAN MANAJEMEN SATWA LIAR

STUDI KELAYAKAN RESTORASI RUSA JAWA (Rusa timorensis)


DI HUTAN PENDIDIKAN WANAGAMA I

Kelompok 10
Anggota:
Anisah Oktaviani               (18/427390/KT/08702)
Miftahulhuda                 (18/430148/KT/08837)
Muhammad Zidane Aqsal (18/430152/KT/08841)
Oktananda Gesang Prasojo (18/430157/KT/08846)
Syalsyabila Rahmi Safitri (18/430174/KT/08863)
Wahyu Eka Estianingrum (18/424106/KT/08681)

LABORATORIUM SATWA LIAR


DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rusa Jawa termasuk sub spesies dari Rusa timorensis dan nama yang umum dikenal
adalah Rusa Jawa atau Rusa Timor, pada umumnya Rusa Jawa lebih memilih tinggal di
hutan maupun padang rumput untuk bernaung dan mencari makan (Semiadi, dkk., 2008).
Rusa Jawa juga memilih tutupan tumbuhan bawah dan semak yang cukup rapat sebagai
tempat berlindung (Asianto, 1998). Namun sebagian besar dari habitat alaminya telah
terdegradasi sehingga populasinya menurun (Kiranaputri, 2015). Menurut Sumadi (2008)
dalam Kayat dkk., (2017), beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan populasi Rusa
Jawa adalah perburuan liar dan penurunan kualitas serta kuantitas habitat.
Rusa Jawa mempunyai status vulnerable (rentan) (IUCN, 2019). Sedangkan
menurut Permen KLHK No. 106 Tahun 2018 status Rusa Jawa termasuk dalam satwa
yang dilindungi. Hal ini menjadikan perlunya pengupayaan konservasi pada Rusa Jawa,
salah satunya adalah kegiatan restorasi. Restorasi merupakan upaya pemulihan
keanekaragaman hayati hingga mendekati keadaan semula sebelum dipengaruhi
gangguan (JICA, 2014). Salah satu upaya konservasi berupa restorasi Rusa Jawa sudah
dilakukan di Hutan Pendidikan Wanagama I. Keberhasilan kegiatan restorasi pada suatu
kawasan dapat dilihat melalui pertimbangan tiga aspek diatas yaitu dari aspek populasi,
aspek habitat, dan aspek sosial.
Aspek populasi dilihat berdasarkan jumlah individu yang ada pada suatu daerah atau
kawasan restorasi. Populasi adalah sekelompok individu yang secara genetik serupa dan
berkumpul pada waktu dan tempat yang sama (Mc Naughton & Wolf, 1990). Kegiatan
restorasi di Hutan Pendidikan Wanagama I diawali dengan adanya introduksi sebanyak
20 ekor Rusa Jawa pada tahun 2000 (Subeno, 2008). Pada tahun 2006 terdapat sekitar 37
ekor yang berkembang biak secara alami di Hutan Pendidikan Wanagama I (Supraptomo,
2006). Kemudian pada tahun 2019 hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah
individu Rusa Jawa terdapat sekitar 20 ekor (Na’iem, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa
populasi Rusa Jawa cenderung mengalami penurunan.
Pada aspek habitat terdapat beberapa komponen yang berpengaruh terhadap suatu
satwa. Menurut Shaw (1985), komponen tersebut terdiri dari empat komponen dasar
berupa pakan, pelindung, air, dan ruang. Hutan Pendidikan Wanagama I adalah tempat
hidup Rusa Jawa yang berkembang secara alami karena memiliki faktor-faktor yang
mendukung aktivitas Rusa Jawa. Hutan Pendidikan Wanagama I merupakan lahan hasil
suksesi hutan rehabilitasi lahan kritis di Indonesia dengan komposisi dan struktur vegetasi
di tiap-tiap petak Hutan Wanagama I sangat beragam (Purnomo & Didi, 2012). Pada
petak-petak di Wanagama I semuanya memiliki perbedaan dalam hal kondisi
lingkungannya termasuk kondisi vegetasi penyusunnya. Secara umum, vegetasi penyusun
Hutan Pendidikan Wanagama I dibedakan atas vegetasi yang sejenis (homogen) dan
hutan tidak sejenis (heterogen). Hutan yang tersusun atas vegetasi homogen dapat
dijumpai di petak 16. Sedangkan hutan heterogen ditemukan di petak 5, 6, dan 7.
Sementara itu, petak 13 digunakan sebagai kawasan hutan rehabilitasi, dan petak 14 dan
18 dimanfaatkan sebagai kawasan agroforestri. Petak 18 termasuk lahan pertanian
sehingga menjadi mata pencaharian bagi masyarakat sekitar, selain itu juga masyarakat
memanfaatkan lahan tersebut untuk mencari pakan ternak (Emu, 2012).
Ditinjau dari aspek sosial, Hutan Pendidikan Wanagama I berbatasan langsung
dengan lima desa padat penduduk yaitu Ngleri, Gading, Banaran, Nglegi dan desa Bunder
(Hidayat, 2017). Hal ini memungkinkan adanya hubungan antara masyarakat dengan
sumberdaya yang ada di dalam hutan. Keberadaan desa-desa tersebut berpotensi memicu
terjadinya gangguan terhadap kawasan Hutan Pendidikan Wanagama I sebagai kawasan
restorasi Rusa Jawa. Gangguan tersebut terjadi karena aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat. Masyarakat memanfaatkan Hutan Pendidikan Wanagama I sebagai lahan
garapan pertanian dan pemenuhan kebutuhan pakan ternak. Banyak masyarakat
mengambil rumput kolonjono dan daun dari jenis leguminosa untuk kebutuhan pakan
ternak mereka (Ernawati, 2016). Hal ini didukung oleh sumber daya manusia sekitar
Hutan Pendidikan Wanagama I yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.
Selain itu masyarakat sekitar Hutan Pendidikan Wanagama I rata-rata tergabung dalam
kelompok penggarap lahan hutan secara kontrak termasuk kelompok yang mengajukan
izin hutan kemasyarakatan (Mulyadin, dkk., 2016). Selain itu, intervensi masyarakat yang
belum berpartisipasi secara aktif dalam upaya restorasi Rusa Jawa akan mempengaruhi
kelayakan Hutan Pendidikan Wanagama I sebagai tempat restorasi Rusa Jawa. Partisipasi
masyarakat yang baik dalam restorasi dan preservasi hutan akan menumbuhkan
pengalaman dan rasa memiliki yang dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan
kemauan untuk melakukan pengelolaan secara berkelanjutan (Nurmalia, 2019).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian mengenai studi kelayakan Hutan
Pendidikan Wanagama I sebagai kawasan restorasi Rusa Jawa perlu dilakukan. Hal ini
ditinjau dari tiga aspek yaitu populasi, habitat, dan sosial dengan mengetahui tingkat
partisipasi masyarakat terhadap restorasi rusa jawa (Rusa timorensis).

1.2 Rumusan Masalah


Keberhasilan restorasi Rusa Jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I dapat
ditentukan oleh tiga aspek yaitu aspek populasi, habitat, dan sosial. Sebagai kawasan
restorasi Rusa Jawa (Rusa timorensis), Hutan Pendidikan Wanagama I harus mampu
memenuhi kebutuhan – kebutuhan yang diperlukan oleh Rusa Jawa meliputi pemenuhan
aspek habitat dari segi pakan, sumber air, pelindung, dan ruang. Upaya restorasi Rusa
Jawa (Rusa timorensis) yang telah dilakukan di Hutan Pendidikan Wanagama I
menunjukkan bahwa jumlah populasi Rusa Jawa (Rusa timorensis) mengalami
penurunan. Pada aspek sosial, masyarakat memanfaatkan tanaman leguminosa sebagai
pakan ternak. Hal tersebut membuat jumlah pakan rusa jawa (Rusa timorensis) yang ada
di Hutan Pendidikan Wanagama I semakin berkurang, sehingga berpengaruh pada
populasi Rusa Jawa. Dalam aspek sosial terdapat tingkat partisipasi masyarakat terkait
restorasi Rusa Jawa. Semakin tinggi tinggi partisipasi positif masyarakat tentang
pentingnya restorasi Rusa Jawa (Rusa Timorensis) di Hutan Pendidikan Wanagama I
maka keberhasilan restorasi juga akan semakin tinggi. Penilaian tiga aspek keberhasilan
restorasi di Hutan Pendidikan Wanagama I dapat menggambarkan seberapa layak
kawasan hutan tersebut untuk dijadikan kawasan restorasi Rusa Jawa (Rusa timorensis).
Kegiatan restorasi dapat dikatakan berhasil jika pada ketiga aspek saling berpengaruh
positif terhadap keberadaan Rusa Jawa (Rusa timorensis). Berdasarkan uraian tersebut
maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi populasi Rusa Jawa (Rusa timorensis) di Hutan Pendidikan
Wanagama I saat ini?
2. Bagaimana kondisi habitat Rusa Jawa (Rusa timorensis) di Hutan Pendidikan
Wanagama I saat ini?
3. Bagaimana partisipasi masyarakat terhadap kegiatan restorasi Rusa Jawa (Rusa
timorensis) di Hutan Pendidikan Wanagama I saat ini?
4. Apakah kondisi Hutan Pendidikan Wanagama I saat ini masih layak dijadikan
sebagai tempat restorasi Rusa Jawa (Rusa timorensis)?
1.3 Tujuan
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mengetahui kondisi populasi Rusa Jawa (Rusa timorensis) di hutan pendidikan
wanagama I saat ini.
2. Mengetahui kondisi habitat Rusa Jawa (Rusa timorensis) di hutan pendidikan
wanagama I saat ini.
3. Mengetahui partisipasi masyarakat terhadap kegiatan restorasi Rusa Jawa (Rusa
timorensis) di Hutan Pendidikan Wanagama I saat ini.
4. Mengetahui kelayakan Hutan Wanagama I sebagai tempat restorasi Rusa Jawa (Rusa
timorensis).

1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang estimasi
populasi Rusa Jawa (Rusa timorensis) dan kondisi di Hutan Pendidikan Wanagama I
terkini sebagai habitat Rusa Jawa. Hasil penelitian untuk tingkat partisipasi masyarakat
sekitar Hutan Pendidikan Wanagama I terkait restorasi Rusa Jawa dapat digunakan
sebagai informasi mengenai persentase dukungan, persentase penolakan atau sikap apatis
oleh beberapa kelompok masyarakat yang dapat dijadikan acuan oleh pengelola dalam
mempertimbangkan pengelolaan yang berkelanjutan. Semua hasil dapat digunakan
sebagai acuan informasi mengenai tingkat kelayakan Hutan Pendidikan Wanagama I
sebagai kawasan restorasi Rusa Jawa yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
bagi pengelola Hutan Pendidikan Wanagama I dalam merencanakan pengelolaan Rusa
Jawa di kawasan tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rusa Jawa (Rusa timorensis)


Rusa Jawa termasuk sub spesies dari Rusa timorensis dan nama yang umum dikenal
adalah Rusa Jawa atau Rusa Timor, pada umumnya Rusa Jawa lebih memilih tinggal di
hutan maupun padang rumput untuk bernaung dan mencari makan (Semiadi, 2004). Rusa
Jawa merupakan salah satu dari empat spesies rusa asli Indonesia, yakni rusa sambar,
rusa bawean, dan muncak (Bismark, 2011).

2.1.1 Klasifikasi Rusa Jawa


Rusa Jawa (Rusa timorensis) memiliki klasifikasi yang terdiri dari Kingdom
Animalia, Phylum Chordata, Class Mammalia, Sub-Class Theria, Infra-Class
Eutheria, Ordo Artiodactyla, Sub-ordo Ruminansia, Family Cervidae, Sub-Family
Muntiacinae, Genus Rusa, Spesies Rusa timorensis de Blainville, 1822 (Bismark,
2011).

Gambar 1. Rusa Jawa


(Sumber : iucnredlist.org)

2.1.2 Morfologi Rusa Jawa


Morfologi Rusa Jawa menurut Schroder (1976) dalam Semiadi dan Nugraha
(2004), memiliki ukuran tubuh yang kecil, tungkai pendek, ekor panjang, dahi
cekung, gigi seri relatif besar, dan rambut berwarna coklat kekuning-kuningan.
Warna rambut Rusa Jawa pada musim kemarau adalah merah kecoklatan, agak
gelap pada bagian belakang, dan lebih terang pada bagian dada sedangkan pada
musim hujan, bagian atasnya berwarna keabu-abuan. Pada bagian perut dan ekor
berwarna putih. Terdapat perbedaan antara rusa Jawa jantan dan betina. Perbedaan
yang mencolok terdapat pada tanduk dan pola warna tubuh. Rusa jantan memiliki
tanduk yang relatif lebih besar, ramping, panjang, dan bercabang (Schroder, 1976).
Tanduk yang bercabang merupakan salah satu tampilan karakter seksual sekunder
yang khas setelah mencapai pubertas (Handarini, 2006). Menurut pola warnanya,
rusa betina memiliki pola warna lebih terang yang di beberapa bagian seperti
kerongkongan, dagu, perut, dada, dan kaki dibandingkan dengan rusa jantan
(Pattiselanno, et al., 2008). Menurut Semiadi dan Nugraha (2004) bobot rusa
bervariasi antara 40-120 kg tergantung pada sub spesies. Rusa Jawa memiliki
ukuran kepala dan panjang badan 130-210 cm, tinggi bahu 80-110 cm, panjang
ekor 10-30 cm dan bobot badan 50- 115 kg.

2.1.3 Perilaku Rusa Jawa


Secara umum diketahui bahwa Rusa Jawa dapat hidup di hutan primer
maupun sekunder, menyukai daerah dengan pohon-pohon rindang, mencari makan
di areal terbuka seperti padang penggembalaan dan pinggiran sungai maupun
rumpang hutan (Hoogerwerf, 1970). Semak belukar dijadikan sebagai tempat
istirahat (Schroder, 1976), dan tempat yang mempunyai air dengan topografi landai
dan tumbuhan bawah yang rapat sebagai tempat beranak (Hoogerwerf, 1970). Rusa
Jawa senang hidup berkelompok, satu kelompok dapat terdiri dari 2 bahkan
kadang-kadang mencapai 75 ekor, banyak aktif pada siang hari (diurnal) tetapi
apabila ada gangguan atau perubahan kondisi lingkungan maka dapat aktif pada
malam hari (nocturnal) (Hoogerwerf, 1970).
Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994) berpendapat bahwa Rusa Jawa jantan
dewasa lebih aktif bergerak dibandingkan Rusa Jawa betina. Rusa Jawa jantan
dewasa paling banyak melakukan perilaku berpindah diduga karena selain untuk
mencari makan, perilaku berpindah juga dilakukan untuk mengusir rusa jantan lain
dan menandai daerah kekuasaanya dengan cara menggoreskan tanduk pada batang-
batang pohon (Sofyan & Agus, 2018). Rusa melakukan perilaku istirahat dengan
berteduh dari teriknya sinar matahari pada siang hari untuk menjaga kestabilan
suhu tubuh (Masyud, dkk., 2007).

2.1.4 Distribusi Rusa Jawa


Rusa Jawa (Rusa timorensis) memiliki sebaran habitat alami di Pulau Jawa,
Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan, keberadaan rusa Jawa di wilayah Indonesia
bagian timur seperti Maluku dan Papua merupakan hasil dari introduksi spesies
(Bismark dkk., 2011). Rusa Jawa saat ini lebih banyak ditemukan di luar habitat
aslinya seperti Papua dan Kepulauan Maluku, misalnya di Papua (Taman Nasional
Wasur), Rusa Jawa telah berkembangbiak hingga mencapai populasi 200.000-
350.000 ekor (Mukhtar et al. 2011 dalam Adiati & Brahmantiyo, 2015). Hal ini
berkaitan erat dengan kemampuan berperilaku dalam memanfaatkan kondisi
lingkungan dan potensi habitat (Adiati & Brahmantiyo, 2015).

2.1.5 Status Konservasi


Menurut Semiadi dan Nugraha (2004) Rusa Jawa termasuk sub spesies dari
Rusa timorensis dan nama yang umum dikenal adalah Rusa Jawa atau Rusa Timor.
Jenis Rusa tersebut dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Selain itu juga Rusa Jawa (Rusa
timorensis) juga dilindungi menurut undang-undang di Indonesia berdasarkan SK
Menteri Kehutanan RI No. 301/Kpts-II/1991, yang merupakan tindak lanjut dari
Ordonansi Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 nomor 134 dan 266 (Palguna,
1998). Satwa ini merupakan salah satu satwa yang dilindungi menurut UU No. 92
tahun 2018 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta
masuk dalam status Vulnerable (rentan) menurut IUCN Red List of Threatened
Species (IUCN 2014 dalam Kayat dkk, 2017). Populasi Rusa Jawa diperkirakan
akan berkurang sebanyak 10% pada setiap generasinya (Kiranaputri, 2015).

2.2 Populasi Rusa jawa


Rusa jawa (Rusa timorensis) merupakan salah satu dari 4 jenis spesies rusa yang
populasinya mengalami penurunan, sehingga dilindungi oleh Pemerintah Republik
Indonesia (PERMEN LHK NO.P.106, 2018). Di tingkat internasional, Rusa Jawa
termasuk dalam golongan redlist dengan status rentan (vulnerable). Hal ini disebabkan
total populasi asli rusa jawa di daerah penyebaran aslinya diperkirakan kurang dari
10.000 individu dewasa. Perkiraan penurunan sekurangnya 10% selama tiga generasi
sebagai akibat hilangnya habitat dan perburuan (Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan DIY, 2020). Kapasitas daya dukung habitat yang tinggi diduga dapat
mendukung kehidupan populasi satwa secara lebih baik sehingga populasi berkembang
dengan laju pertumbuhan yang tinggi, tetapi perburuan yang dilakukan tanpa
memperhatikan kuota buru dapat mengancam kelestarian populasi satwa (Santosa, dkk,
2008).
2.3 Habitat Rusa Jawa
Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik abiotik
maupun biotik, merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta
berkembang biak satwa liar (Alikodra, 1990). Habitat alami rusa terdiri atas beberapa
tipe vegetasi seperti savana yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan
yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin, dan menghindarkan
diri dari predator. Rusa jawa dapat hidup sampai ketinggian 2.600 meter dpl dengan
padang rumput merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Rusa
Jawa (Garsetiasih, 2007). Menurut Shaw (1985) dalam Nugroho (1992) terdapat empat
komponen dasar habitat yang mendukung dan dapat mengendalikan kehidupan satwa liar
yaitu pakan, air, ruang dan pelindung. Komponen habitat Rusa Jawa secara keseluruhan
adalah sebagai berikut:

2.3.1 Pakan
Menurut Kamal (1998) dalam Subekti (2009), pakan adalah bahan yang
dapat dimakan, dicerna dan diserap baik secara keseluruhan atau sebagian dan
tidak menimbulkan keracunan atau tidak mengganggu kesehatan ternak yang
mengkonsumsinya. Faktor pembatas bagi hewan herbivora terkait pakan adalah
kurangnya jumlah pakan atau rendahnya kualitas pakan (Garsetiasih, 2007). Pakan
berfungsi sebagai pembangunan dan pemeliharaan tubuh, sumber energi, produksi,
dan pengatur proses-proses dalam tubuh. Kandungan zat gizi yang harus ada dalam
pakan adalah protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air (Subekti, 2009).
Biasanya rusa membutuhkan makanan 10% dari berat badannya (Syarief, 1974).
Kebutuhan pakan rusa rata-rata sekitar 6,4 kg/individu/hari (Kwatrina, dkk., 2011).
Menurut Arobaya, et al.. (2010), terdapat lima jenis pakan yang paling banyak
dikonsumsi oleh Rusa Jawa, yaitu rumput lapangan (field grass), alang alang
(Imperata cylindrica), rumput gajah (Pennisetum purpureum), king grass
(Pennisetum purpureophoides) dan Melinis minutiflora. Jenis tumbuhan pakan
Rusa Jawa yang ada di Hutan Pendidikan Wanagama I yaitu kacang tanah (Arachis
hypogaea), ketela pohon (Manihot esculenta), patikan (Euphorbia prostrata),
ketela rambat (Ipomoea batatas), mlanding (Leucaena glauca), mahoni (Swietenia
macrophylla), lamuran (Polytrias amaura), alang-alang (Imperata cylindrica),
wedusan (Ageratum conyzoides), Akasia (Acacia auriculiformis), dan kerinyu
(Chromolaena odorata) (Liptian, 2004).

2.3.2 Air
Air merupakan sesuatu yang dibutuhkan dalam proses metabolisme satwa.
Kebutuhan akan air merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk kesejahteraan
satwa. Rusa sangat memerlukan air karena digunakan untuk berkubang dan minum
(Garsetiasih, 2007). Rusa Jawa lebih cenderung tidak menyenangi terlalu banyak
air (Asianto, 1998). Persediaan air bagi rusa cukup dari kandungan air dalam
makanannya, embun dan air hujan. Rusa Jawa dapat mengkonsumsi 1-2,5 L air per
hari, namun Rusa Jawa mampu meminum air hingga 5 L per hari (Kayat, 2009).
Sumber air terbesar yang terdapat di Hutan Wanagama I adalah Sungai Oyo, pada
musim kemarau kondisinya surut dan saat musim penghujan air akan melimpah
(Ernawati, 2016).

2.3.3 Ruang
Menurut Zahra dan Winarno (2017), ruang dibutuhkan oleh individu satwa
untuk mendapatkan cukup pakan, pelindung, dan tempat untuk kawin. Tempat-
tempat tersebut merupakan vegetasi yang ada di lokasi penelitian. Luasan ruang
dalam habitat yang memadai tergantung besarnya satwa (semakin besar ukuran
satwa, semakin besar ruang yang dibutuhkan dan sebaliknya), jenis pakan,
produktivitas, dan keragaman habitat. Daerah jelajah (home range) adalah
daerah yang dikunjungi satwa liar secara tetap karena di dalamnya terdapat
beberapa komponen yang dapat memenuhi kebutuhan rusa yang meliputi suplai
makanan, minuman, serta mempunyai fungsi utama sebagai tempat berlindung atau
bersembunyi, tempat tidur dan kawin (Alikodra, 1990). Menurut Alikodra (1990),
setiap individu rusa memiliki home range sebesar 5-6 ha/individu. Wilayah jelajah
Rusa Jawa tahunan antara 33 sampai dengan 501 ha (Spagiari, et al. 2006). Hutan
Pendidikan Wanagama I memiliki luasan area seluas 600 ha (Marialilwur, 2012).
komponen atau variabel yang terkait dengan ruang antara lain:

2.3.3.1 Kerapatan Vegetasi


Kerapatan merupakan banyaknya individu dalam setiap satuan unit
pengukuran yang dapat berupa luas suatu area atau unit volume (Djohan,
2003). Kerapatan vegetasi merupakan parameter deskripsi kuantitatif
vegetasi yang menunjukkan jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam
suatu luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha (Kusmana, 1997). Vegetasi
sebagai salah satu komponen habitat memiliki peran penting dalam
penelitian satwa liar. Pengukuran habitat pada skala mikro lebih menitik
beratkan pada teknik standar kuantifikasi struktur dan komposisi vegetasi
(Pudyatmoko, 2007). Rusa Jawa cenderung menyukai kerapatan vegetasi
yang sedang hingga rapat sebagai naungan dan mencari makan (Kayat,
2009). Menurut Alikodra (1990), bahwa kerapatan vegetasi berkaitan erat
dengan kemudahan penglihatan pemangsa dan mangsanya. Semakin padat
dan rapat vegetasi di suatu kawasan, maka kemungkinan rusa untuk terlihat
dari pemangsa akan semakin kecil.

2.3.3.2 Stratifikasi tajuk


Stratifikasi adalah distribusi tetumbuhan dalam ruangan vertikal
menurut Vickery (1984) yang dikutip oleh Indriyanto (2006) stratifikasi
atau pelapisan tajuk merupakan susunan tetumbuhan secara vertikal di
dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Semua spesies
tumbuhan dalam komunitas tidak sama ukurannya, serta secara vertikal
tidak menempati ruang yang sama. Dalam ekosistem hutan, stratifikasi
terbentuk dari susunan tajuk pohon-pohon menurut arah vertikal dan terjadi
karena adanya pohon-pohon yang menduduki kelas pohon dominan, pohon
kodominan, pohon tengahan, pohon tertekan, dan pohon bawah (Indriyanto,
2006).

2.3.3.3 Suhu
Suhu merupakan faktor pembatas distribusi hewan maupun
tumbuhan. Rusa Jawa memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Mereka
mampu berkembangbiak dengan baik di daerah yang bukan habitat aslinya
(Semiadi & Nugraha, 2004). Rusa mampu berkembang dengan baik pada
suatu lokasi yang memiliki suhu rata-rata tiap tahun sebesar 24-30℃. Suhu
udara di Hutan Pendidikan Wanagama I berkisar 32,1℃ sedangkan di
musim kemarau berkisar 37,9℃ (Rahmadi, 2013).

2.3.3.4 Kelembapan
Kelembapan merupakan faktor pembatas distribusi hewan maupun
tumbuhan. Menurut Puhun (2017), kelembapan dimana Rusa Jawa bebas
dari ketidaknyamanan lingkungan yaitu dengan kelembaban terendah 67%.
Rusa juga dapat hidup di daerah yang lembap sampai sangat lembap baik di
hutan maupun di lahan produktif (Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994).
Kelembapan relatif bulanan rata-rata di Hutan Pendidikan Wanagama I
selama musim hujan berkisar antara 83-88% dan selama musim kering
berkisar antara 78-81% (Yuda, 1995).

2.3.3.5 Kelerengan
Menurut Purnomo (2010), Rusa Jawa menyukai area dengan
kelerengan curam karena dapat digunakan sebagai tempat bersembunyi dari
aktivitas manusia. Kelerengan dikatakan curam berkisar antara 25-45%
(Syah & Teguh, 2013). Hutan Pendidikan Wanagama I memiliki
kemiringan lahan sampai dengan 30% (Ernawati, 2016).

2.3.3.6 Ketinggian
Ketinggian tempat mempengaruhi perubahan suhu udara. Semakin
tinggi suatu tempat, semakin rendah suhu udaranya atau udaranya semakin
dingin. Semakin rendah daerahnya semakin tinggi suhu udaranya atau
udaranya semakin panas. Selain suhu, ketinggian tempat juga
mempengaruhi tekanan udara (Aqsar, 2009). Rusa Jawa mampu hidup di
berbagai ketinggian wilayah mulai dari daerah pantai sampai dengan
ketinggian 2.600 mdpl (Alikodra, 1990). Rusa Jawa memiliki kemampuan
adaptasi yang tinggi. Mereka mampu berkembangbiak dengan baik di
daerah yang bukan habitat aslinya (Semiadi & Nugraha, 2004).

2.3.4 Pelindung
Menurut Zahra dan Winarno (2017) Pelindung adalah segala tempat dalam
habitat yang mampu memberikan perlindungan dari cuaca, predator, atau kondisi
yang lebih baik dan menguntungkan. Pelindung dapat berupa tutupan vegetasi
maupun kondisi fisik area. Aktivitas rusa sangat sensitif dengan keadaan bila
terjadi perubahan atau gangguan. Sehingga tutupan/pelindung diperlukan rusa
sebagai tempat berlindung dari bahaya yang mengancam, berlindung dari terik
matahari pada siang hari serta untuk beristirahat (Shaw, 1985). Djuwantoko (2003)
menyatakan bahwa rusa memanfaatkan kawasan dengan penutupan dan kerapatan
tumbuhan yang relatif tidak terlalu rapat dan tidak terlalu terbuka seperti di sekitar
sungai atau anak sungai. Aspek pelindung terdiri dari beberapa komponen sebagai
berikut:

2.3.4.1 Penutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah


Menurut Helms (1998) tajuk adalah bagian dari pohon atau kayu
tanaman yang menyandang cabang dan dedaunan hidup. Persentase
penutupan tajuk merupakan persentase areal tertutup oleh proyeksi
vertikal tajuk-tajuk pohon. Bagi rusa, tutupan tajuk berfungsi sebagai
pelindung dari terik matahari dan hujan serta pengaruh iklim dan cuaca
secara langsung (Kayat, 2009). Menurut Alikodra (1990), penutupan
tajuk diatas 50% cukup untuk digunakan rusa untuk berlindung dari
panas. Berdasarkan SFRI (Station of Resources Inventory) di Australia
dalam Haryani (2010), nilai kerapatan tajuk diklasifikasikan menjadi 5
tingkatan yaitu sangat rapat (85-100%), rapat (70-84%), sedang (50-
69%), rendah (30-49%), jarang (10-29%), dan sangat jarang (1-9%).
Tumbuhan bawah merupakan komunitas tanaman yang menyusun
stratifikasi bawah dekat permukaan tanah/lantai hutan. Tumbuhan bawah
umumnya berupa rumput, herba, semak atau perdu (Aththorick, 2005).
Rusa Jawa lebih menyukai tempat terbuka maupun hutan dengan
tumbuhan bawah yang rapat dan tinggi sebagai tempat berlindung dari
predator (Asianto, 1998). Rusa Jawa memilih tutupan tumbuhan bawah
dan semak yang cukup tebal untuk dijadikan sebagai tempat
perlindungan (Semiadi, 2004). Terdapat 3 kategori kerapatan tumbuhan
bawah menurut Septiawan (2016) yaitu rapat dengan persentase terdapat
lebih dari 70%, sedang dengan persentase sebesar 40-70% dan rendah
dengan persentase sebesar kurang dari 40%.

2.3.4.2 Kepadatan Semak


Menurut Rahardjanto (2001), kepadatan (density) dapat
didefinisikan sebagai jumlah individu suatu spesies per satuan luas area
yang digunakan dalam suatu daerah vegetasi tertentu. Kepadatan
ditentukan berdasarkan jumlah individu suatu populasi jenis tumbuhan di
dalam area tersebut (Rahardjanto, 2001). Semak adalah tumbuhan
berkayu dengan ketinggian kurang dari 8 meter (Handayani, 2014).
Semak digunakan rusa sebagai tempat berlindung dan sumber pakan
rusa. Semak yang rapat dapat digunakan Rusa Jawa sebagai pelindung
diri dari berbagai ancaman atau bahaya pemangsa (Taralalu, 2006).

2.3.4.3 Penutupan Volume Daun


Volume daun diperlukan satwa sebagai tempat berlindung dari
bahaya yang mengancam, berlindung dari terik mentari pada siang hari
serta untuk beristirahat (Semiadi, 2004). Semakin besar volume daun
akan menyediakan perlindungan dari penglihatan pemangsa semakin
efektif (Semiadi, 2004). Hal tersebut memungkinkan rusa Jawa untuk
menghindari predator. Persentase volume daun dikatakan besar dan
mendukung kehidupan rusa apabila lebih dari 62,5 % (Drajat, 2002).

2.4 Restorasi
Restorasi adalah salah satu istilah yang digunakan dalam kegiatan pengawetan
pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Salah satu kegiatan
pengawetan adalah pemulihan ekosistem. Pemulihan ekosistem dilakukan untuk
memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan
ekosistemnya (Pramono, 2019). Restorasi juga dapat dikatakan sebagai kegiatan
pengelolaan habitat yang berfungsi untuk meningkatkan ukuran populasi maupun
mendistribusikan kembali organisme (Morrison, et al., 2006).
Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2011 tentang pengelolaan kawasan suaka alam
dan kawasan pelestarian alam pasal 29 mengamanatkan bahwa tata cara pelaksanaan
pemulihan ekosistem yang dilakukan melalui mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi
(Pramono, 2019). Tahapan restorasi dimulai dari penentuan areal restorasi dan survey
awal area, kemudian perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring pelaksanaan restorasi
serta evaluasi (JICA, 2014). Salah satu upaya yang dilakukan dalam restorasi Rusa Jawa
di Hutan Pendidikan Wanagama I diawali dengan adanya introduksi sebanyak 20 ekor
Rusa Jawa pada tahun 2000 (Subeno, 2008). Pada tahun 2006 terdapat sekitar 37 ekor
yang berkembang biak secara alami di Hutan Wanagama I (Supraptomo, 2006).
Kemudian pada tahun 2019 hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah individu Rusa
Jawa terdapat sekitar 20 ekor (Na’iem, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa populasi Rusa
Jawa cenderung mengalami penurunan.
2.5 Partisipasi Masyarakat
Hutan Pendidikan Wanagama I berbatasan langsung dengan lima desa padat
penduduk yaitu Ngleri, Gading, Banaran, Nglegi dan desa Bunder (Hidayat, 2017). Hal
ini memungkinkan adanya hubungan antara masyarakat dengan sumberdaya yang ada di
dalam hutan. Kelayakan restorasi dapat ditinjau dari tiga aspek meliputi aspek populasi,
habitat, dan sosial. Restorasi dapat dikatakan berhasil jika ketiga aspek tersebut dapat
terpenuhi (Irwanto, 2006). Kegiatan restorasi rusa Jawa berarti upaya pengembalian
populasi rusa Jawa agar jumlahnya mendekati populasi sebelum terkena ancaman
perburuan liar dan penurunan kualitas serta kuantitas habitat rusa Jawa. Selain
populasinya yang harus meningkat, keberhasilan restorasi rusa Jawa juga perlu
memperhatikan aspek habitat dan sosialnya (Morrison, 2002). Hal-hal yang
mempengaruhinya diantaranya adalah partisipasi masyarakat desa sekitar hutan.
Partisipasi menurut Keith Davis yang diungkapkan oleh Winardi (1990) adalah
turut sertanya seseorang, baik secara mental maupun secara emosional dalam
memberikan sumbangsih-sumbangsih kepada proses pembuatan keputusan, terutama
mengenai persoalan-persoalan terkait keterlibatan pribadi seseorang untuk melaksanakan
tanggung jawabnya dalam melaksanakan hal tersebut. Partisipasi masyarakat menurut
Isbandi (2007) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah
dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang
alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan
keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi.
BAB III
LANDASAN TEORI

3.1 Landasan Teori


Rusa Jawa merupakan salah satu satwa yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
memiliki status dilindungi karena jumlah populasi rusa pada habitat alaminya semakin
menurun dari waktu ke waktu. Berdasarkan IUCN Redlist data base status konservasi
Rusa Jawa masuk kedalam kategori vulnerable (rentan). Penurunan populasi Rusa Jawa
ini disebabkan oleh adanya perubahan kondisi lingkungannya dan perburuan liar.
Populasi Rusa Jawa yang terus menurun dapat menyebabkan Rusa Jawa mengalami
kepunahan. Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kepunahan pada Rusa Jawa
adalah dengan melakukan restorasi. Restorasi dilakukan dengan membuat ekosistem
yang semirip mungkin dengan habitat asli Rusa Jawa (Rusa timorensis). Restorasi
bertujuan untuk memulihkan jumlah populasi di alam liar.
Aspek keberhasilan restorasi dapat ditinjau dari aspek populasi, habitat, dan sosial.
Pada aspek populasi, jumlah Rusa Jawa (Rusa timorensis) cenderung mengalami
penurunan. Hal ini dibuktikan dengan jumlah individu rusa jawa (Rusa timorensis) yang
berkembangbiak secara alami berjumlah 37 ekor. Kemudian pada tahun 2019 jumlah
Rusa Jawa (Rusa timorensis) di Hutan Pendidikan Wanagama I diperkirakan tersisa 20
ekor saja. Menurunnya jumlah individu Rusa Jawa (Rusa timorensis) disebabkan kualitas
serta kuantitas habitatnya menurun. Faktor habitat yang berpengaruh terhadap
keberhasilan restorasi meliputi faktor pakan, air, ruang, dan pelindung. Pakan dominan
yang disukai Rusa Jawa adalah rerumputan dan beberapa jenis legum dan kebutuhan
konsumsi air Rusa Jawa yaitu 5 liter/hari untuk membantu proses metabolisme tubuhnya.
Ketersediaan ruang bagi rusa sangat berkaitan dengan homerange atau daerah jelajahnya,
sedangkan untuk pelindung rusa biasanya mencari tempat pada saat keadaan tertentu
misalnya saat cuaca buruk dan untuk beristirahat.
Ditinjau dari aspek sosial, rata-rata masyarakat sekitar Hutan Pendidikan Wanagama
I melakukan aktifitas tidak hanya di sekitar hutan namun juga di dalamnya. Masyarakat
yang mengambil jenis pakan ternak di Hutan Pendidikan Wanagama I juga memberikan
dampak terhadap kebutuhan pakan Rusa Jawa (Rusa timorensis). Partisipasi masyarakat
terkait program restorasi Rusa Jawa (Rusa timorensis) sangat diperlukan sehingga
masyarakat dapat ikut serta dalam upaya restorasi Rusa Jawa (Rusa timorensis). Dengan
demikian diharapkan penurunan jumlah Rusa Jawa (Rusa timorensis) dapat dihentikan.
3.2 Hipotesis
Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah :
Ho: Hutan Pendidikan Wanagama I tidak layak menjadi kawasan restorasi Rusa Jawa
(Rusa timorensis) ditinjau dari aspek populasi, aspek habitat, dan aspek sosial.
Ha: Hutan pendidikan wanagama I layak menjadi kawasan restorasi Rusa Jawa (Rusa
timorensis) dari aspek populasi, aspek habitat, dan aspek sosial.
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal …. pukul …. WIB hingga …. WIB.
Lokasi penelitian dilakukan di Hutan Pendidikan Wanagama I, Gunung Kidul,
Yogyakarta. Hutan Pendidikan Wanagama I terletak di Kecamatan Patuk dan Playen,
Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hutan Pendidikan
Wanagama I memiliki luasan area seluas 600 ha dan terbagi menjadi 8 petak diantaranya
petak 5, 6, 7, 13, 14, 16, 17, dan petak 18 (Marialilwur, 2012) secara secara geografis
terletak di antara 110° 30’ 22’’ BT – 110° 33’ 02’’ BT dan 7° 53’ 25’’ LS - 7° 54’ 52’’
LS (Lampiran 1). Awalnya Hutan Pendidikan Wanagama I adalah lahan kritis yang
gundul, namun dengan usaha yang keras, lahan ini mengalami suksesi sehingga sekarang
telah menjadi hutan sekunder dengan ekosistem yang kompleks (Ernawati, 2016). Pada
setiap petak di Hutan Pendidikan Wanagama mendapatkan aliran air Sungai Oyo yang
mengalir hampir di setiap petak.
Hutan Pendidikan Wanagama I adalah tempat hidup rusa Jawa yang berkembang
secara alami karena memiliki faktor-faktor yang mendukung aktivitas rusa Jawa. Hutan
Pendidikan Wanagama I merupakan lahan hasil suksesi hutan rehabilitasi lahan kritis di
Indonesia dengan komposisi dan struktur vegetasi di tiap-tiap petak Hutan Wanagama I
sangat beragam (Purnomo & Didi, 2012). Pada petak-petak di Wanagama I semuanya
memiliki perbedaan dalam hal kondisi lingkungannya termasuk kondisi vegetasi
penyusunnya. Secara umum, vegetasi penyusun Hutan Pendidikan Wanagama I
dibedakan atas vegetasi yang sejenis (homogen) dan hutan tidak sejenis (heterogen).
Hutan yang tersusun atas vegetasi homogen dapat dijumpai di petak 16. Sedangkan hutan
heterogen ditemukan di petak 5, 6, dan 7. Sementara itu, petak 13 digunakan sebagai
kawasan hutan rehabilitasi, dan petak 14 dan 18 dimanfaatkan sebagai kawasan
agroforestri. Petak 5 terletak di dekat Sungai Oyo merupakan hutan tanaman jati,
mahoni, cendana dan sebagian di dominasi oleh gamal. Petak 6 memiliki kontur berbukit
- bukit, banyak diisi oleh pohon gamal dan sebagian lainnya merupakan akasia. Namun,
lebih cenderung banyak lahan yang tertutup. Petak 7 terletak berdekatan dengan petak 6
memiliki karakteristik tapak yang hampir sama. Dengan kontur yang berbukit dan diisi
oleh pohon gamal, banyak terdapat tumbuhan secang dan perimbun. Petak 13 sebagian
besar merupakan hutan tanaman jati dengan tumbuhan bawah yang cukup banyak dan
rerumputan (rumput gajah dan alang-alang mendominasi). Petak 14 merupakan lahan
tanaman pertanian (kacang), namun terdapat juga terdapat tegakan jati, cemara, dan
tegakan gamal. Kondisi tapaknya masih banyak ruang terbuka, konturnya datar namun
ada beberapa petak yang konturnya curam. Petak 16 dengan kontur yang agak terjal,
didominasi oleh secang, dan masih banyak rumput. Petak 18 didominasi oleh lahan
pertanian, diantaranya tanaman kacang, padi, dan lain-lain. Namun, ada pula lahan hutan
tanaman akasia, jati, asem, dan turi. Petak 18 termasuk lahan pertanian sehingga menjadi
mata pencaharian bagi masyarakat sekitar, selain itu juga masyarakat memanfaatkan
lahan tersebut untuk mencari pakan ternak (Emu, 2012). Keberhasilan restorasi dapat
ditinjau dari aspek sosial seperti peran serta masyarakat sekitar dalam upaya restorasi.
Peran serta masyarakat merupakan suatu kegiatan untuk menunjukkan kepentingan atau
keterkaitan mereka terhadap keberlanjutan lingkungan yang ditempati untuk mencapai
tujuan masyarakat yang mandiri (Narsuka & Sujali, 2009).

4.2 Alat, Bahan dan Objek


Alat, Bahan, serta Objek yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain:
4.2.1 Alat
Berikut adalah alat yang digunakan untuk pengambilan data di lapangan:
1. Alat tulis: menulis dalam blanko ukur/tally sheet.
2. Ayakan: memisahkan spesimen dalam laboratorium.
3. Clinometer: mengukur ketinggian dan kemiringan suatu tempat.
4. Gelas ukur: menakar larutan yang dibutuhkan.
5. GPS: untuk navigasi dan pengukuran jarak antar titik koordinat.
6. Hagameter: mengukur ketinggian objek menurut jarak tertentu (15 m, 20 m,
dan 30 m).
7. Kamera: untuk dokumentasi objek.
8. Kaca preparat: untuk menganalisis kandungan dari tanda kehadiran (kotoran
rusa).
9. Kompas: penunjuk arah.
10. Label: penanda pada spesimen.
11. Mikroskop: alat bantu dalam laboratorium.
12. Oven: untuk mengeringkan vegetasi pakan dan tanda kehadiran (kotoran rusa).
13. Parang: untuk mempermudah dalam pemangkasan dan membuka jalan.
14. Patok kayu: pembatas plot ukur.
15. Penumbuk: menghaluskan bahan dalam laboratorium.
16. Petri dish: sebagai alat bantu dalam laboratorium.
17. Pinset: sebagai alat bantu dalam laboratorium..
18. Pipet ukur: sebagai alat bantu laboratorium..
19. Pita meter: alat ukur keliling pohon dan satuan panjang yang terbatas.
20. Plastik: tempat/wadah untuk tanda kehadiran yang ditemukan berupa kotoran
rusa, jejak kaki dan rambut objek.
21. Kuesioner: sebagai alat bantu untuk mengetahui tingkat partisipasi
masyarakat.
22. Roll meter: sebagai alat ukur panjang dalam satuan (m) dan digunakan untuk
mengukur jarak.
23. Sling-psychrometer: sebagai alat ukur suhu (kering/basah) dan kelembapan.
24. Stopwatch: untuk mengukur lama waktu pengamatan.
25. Tabung okuler: sebagai alat bantu dalam pengambilan data penutupan
vegetasi.
26. Tali rafia: sebagai pembatas plot ukur.
27. Timbangan: sebagai alat untuk mengukur berat spesimen.
28. Tongkat: untuk mengukur kedapatan semak.

4.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Peta Hutan Pendidikan Wanagama I.
2. Rumput dan tumbuhan bawah di Hutan Wanagama I
3. Tallysheet
4. Spesies Rusa Jawa atau tanda kehadiran berupa kotoran rusa, jejak kaki dan
rambut Rusa Jawa yang ditemukan.
5. Asam nitrat 10%
6. Gliserin
7. Potassium Kromat 10%
8. Aquadest
9. Alkohol 70-90%

4.2.3 Objek
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Spesies Rusa Jawa (Rusa timorensis)/feses/tanda kehadiran.
2. Masyarakat sekitar Hutan Wanagama I.
3. Aspek habitat yang meliputi pakan (komposisi pakan, produktivitas hijauan
pakan), ruang, pelindung (penutupan tajuk, penutupan tumbuhan bawah,
volume daun, kepadatan semak), air di Hutan Pendidikan Wanagama I.
4. Faktor abiotik yang meliputi suhu, air, kelembapan, kelerengan, dan
ketinggian tempat di Hutan Pendidikan Wanagama I.

4.3 Prosedur Pengambilan Data


Untuk mengetahui faktor habitat dan partisipasi masyarakat dalam menentukan
kelayakan Hutan Pendidikan Wanagama I sebagai kawasan restorasi terhadap Rusa Jawa
(Rusa timorensis), diperlukan data mengenai estimasi populasi Rusa Jawa di Hutan
Pendidikan Wanagama I serta faktor habitat dan faktor sosial. Faktor habitat yang diteliti
meliputi pakan, air, ruang, pelindung. Serta faktor sosial yang berupa partisipasi
masyarakat sekitar Hutan Wanagama I.

4.3.1 Pengambilan Data Estimasi Populasi Rusa Jawa (Rusa timorensis)


Pengambilan data estimasi populasi Rusa Jawa dilakukan pengambilan data
berupa Estimasi populasi menggunakan metode Pellet count dan Line transect.
Metode pellet count merupakan metode pengambilan data dengan menganalisis
tanda kehadiran berupa feses, jejak, bulu ataupun tanda lain terkait rusa jawa.
Keberadaan feses dan bekas gigitan tersebut digunakan sebagai indikator wilayah
jelajah perumputan dan aktivitas lain yang dilakukan oleh Rusa Jawa (Kayat,
2017). Metode Pellet count dilakukan dengan membuat petak ukur 20 x 100 m
pada area yang telah ditentukan. Tanda keberadaan spesies tersebut kemudian
ditandai dengan GPS dan dipetakan menggunakan software ArcGIS 10 (Kayat,
2017). Penempatan pellet count dilakukan secara purposif dalam satu wilayah
pengamatan, yaitu pada tempat-tempat yang terdapat tanda-tanda keberadaan Rusa
Jawa seperti kotoran, jejak, tanda kehadiran dan tempattempat yang menjadi
kriteria habitat Rusa Jawa. Data yang diperoleh dari pellet count yaitu jumlah
onggokan kotoran keberadaan Rusa. Kotoran rusa yang dijumpai dibersihkan untuk
diamati keberadaan kotoran rusa yang baru pada dua minggu berikutnya. Metode
pellet count secara intensif digunakan untuk memperkirakan kepadatan dan habitat
penggunaan mamalia besar dan menengah (Arnold dan Reynolds, 1943).
20 m

100 m
Gambar 2. Plot Ukur Metode Pellet Count

Pengambilan data juga dapat dilakukan menggunakan metode Line transect


yang berdasarkan pada pertemuan dengan pengamatan secara langsung maupun
tidak langsung. Metode Line transect merupakan metode pengambilan data dengan
mencatat jarak dengan pencatat dan jarak satwa liar terhadap garis transek. Jumlah
dan panjang transek tergantung dari besar dan luas kawasan yang akan dijadikan
pengamatan. Pengamatan dilakukan sepanjang garis transect yang dibuat.
kemudian setiap perjumpaan dicatat arah obyek, sudut antara objek dengan garis,
jarak objek dengan pengamat, serta jarak objek dengan garis transect (Iswandaru,
2018).

Gambar 3. Garis transek pada metode Line Transect

4.3.2 Habitat
Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik
abiotik maupun biotik, merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat
hidup serta berkembang biak satwa liar. Menurut Shaw (1985) dalam Nugroho
(1992) terdapat empat komponen dasar habitat yang mendukung dan dapat
mengendalikan kehidupan satwa liar yaitu pakan, air, ruang dan pelindung.
Prosedur pengambilan data komponen habitat Rusa Jawa secara keseluruhan
adalah sebagai berikut:

4.3.2.1 Produktivitas Pakan dan Komposisi Jenis.


1. Produktivitas Pakan
Produktivitas pakan dilakukan dengan membuat Petak Ukur
(Gambar 4) yang kemudian dilakukan identifikasi jenis tumbuhan yang
berguna untuk pakan rusa. Kebutuhan pakan rusa rata-rata sekitar 6,4
kg/individu/hari (Kwatrina, dkk., 2011). Menurut Setiawan (2017),
pengambilan data dilakukan dengan membuat petak ukur pada areal
yang telah ditentukan dengan ukuran 1x1 m untuk rumput dan petak
ukur 2x2 m untuk tumbuhan bawah dengan menggunakan systematic
sampling.
Penentuan produktivitas pakan dilakukan dengan pemangkasan
dan penimbangan terhadap setiap jenis vegetasi pakan rusa yang
terdapat pada petak-petak pengamatan dengan interval waktu
pemangkasan selama 14 hari. Hasil penimbangan ini kemudian dirata-
rata dan dikonversi ke dalam satuan kg/ha/hari (Balebu, 2002).
Pemanenan dilakukan sebanyak tiga kali dimulai dari pembuatan petak
tersebut yang kemudian ditimbang beratnya.

Gambar 4. Petak Ukur

2. Komposisi Jenis Pakan


Pengambilan data komposisi jenis pakan dilakukan pada Petak
Ukur (PU) seperti pada pengambilan produktivitas pakan. Data yang
diambil berupa jenis vegetasi tumbuhan yang nantinya akan dilakukan
metode Fecal analysis untuk mengetahui komposisi jenis pakan yang
dikonsumsi oleh Rusa Jawa. Analisis kotoran dilakukan dengan
langkah seperti berikut:
1. Kotoran dipanaskan ke dalam oven dengan suhu 70 C selama 2x24
jam,
2. Kotoran yang sudah kering kemudia ditumbuk hingga halus dan
ditimbang sebanyak 1,5 g,
3. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml
asam nitrat 10% dan 10 ml potassium kromat 10%,
4. Tabung reaksi dipanaskan di dalam air mendidih di atas kompor
listrik selama 10 sampai 15 menit sampai kutikula mengelupas dari
sel epidermis,
5. Setelah pemanasan tabung reaksi didinginkan, kemudian larutan
dinetralkan dengan aquadest,
6. Larutan dituangkan ke dalam petridish dan ditetesi zat berwarna
safranin,
7. Sampel tersebut siap menjadi preparat. Pengambilan sampel
dilakukan dengan mengambil 10 ulangan secara random dengan
menggunakan pipet 0,25 ml sebagai unit sampel. Unit sampel
tersebut kemudian dipindahkan di atas kaca preparat, ditetesi
gliserin dan ditutup dengan gelas penutup (Kayat, 2017).
Sedangkan dalam pembuatan preparat referensi epidermis
dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Daun referensi dipotong dengan ukuran 1x1 cm2 (untuk daun
ukuran besar),
2. Potongan daun tersebut kemudian dimasukkan ke tabung reaksi
yang berisi 10 ml asam nitrat 10% dan 10 ml potassium kromat
10%,
3. Langkah selanjutnya sama seperti pembuatan preparat mikros
histologi feses. Preparat diletakkan diatas kaca preparat dan
dikupas di bawah mikroskop,
4. Dilakukan pengupasan epidermis dan dibedakan menjadi bagian
atas dan bagian bawah,
5. Kupasan dipindahkan di atas kaca preparat, lalu ditetesi gliserin dan
ditutup dengan kaca penutup (Kayat, 2017).
4.3.2.2 Air
Pengambilan data dilakukan dengan mengukur jarak antara plot ukur
dengan sumber air dengan bantuan alat GPS. Pengambilan data dilakukan
dengan mencari jarak dari penemuan tanda kehadiran atau keberadaan di
dalam plot yang diteliti. Sumber air berupa sungai diduga menjadi sumber
air bagi Rusa Jawa. Dalam hal ini, sumber air yang dimaksud adalah Sungai
Oyo.

4.3.2.3 Ruang
Pengambilan data ruang dilakukan pada home range Rusa Jawa yang
digunakan untuk mencukupi kebutuhan pakan, cover, air dan tempat untuk
kawin. Dimana data variabel yang akan dicari yaitu:
a. Kerapatan Vegetasi
Data kerapatan vegetasi diambil menggunakan metode nested
sampling. Dalam metode nested sampling, dibuat plot bersarang
(Gambar 5) dengan ukuran 2 m x 2 m dan dilakukan pencatatan jenis
dan jumlah semai, 5 m x 5 m dilakukan pencatatan jenis, jumlah dan
tinggi sapihan/pancang, 10 m x 10 m dilakukan pencatatan jenis, jumlah,
tinggi dan diameter tiang dan 20 m x 20 m dilakukan pencatatan jenis,
jumlah, tinggi dan diameter pohon (Bismark, 2011).

20 m x 20 m

10 m x 10 m

5mx5m
2mx2m

Gambar 5 . Desain petak pengamatan vegetasi Nested plot

b. Stratifikasi Tajuk
Data stratifikasi tajuk didapatkan menggunakan metode nested
sampling, cara mendapatkan data sama seperti pada kerapatan vegetasi.
Output yang dihasilkan adalah adanya tingkatan tajuk yang ada di petak
pengamatan.
c. Suhu dan Kelembapan
Pengambilan data dilakukan dengan pengukuran suhu
menggunakan sling-psychrometer, begitu pula data kelembapan udara
diambil dengan menggunakan sling-psychrometer. Penggunaan sling-
psychrometer adalah dengan cara mengayunkan alat dan ditunggu
selama 2-3 menit, kemudian dilihat hasil suhu basah dan suhu kering
pada bar yang terlihat. Data kelembapan didapat dengan menyejajarkan
suhu kering dan suhu basah.

d. Kelerengan
Pengambilan data dilakukan dengan bantuan alat clinometer, yakni
dengan menembak pada objek dengan kelerengan tertentu pada lokasi
yang berbeda. Data kelerengan diambil pada pusat protocol sampling
dengan melihat bentang lahan sekitar yang paling mencolok dari segi
kelerengan dan lahan yang memiliki kemiringan yang paling tinggi
dicatat sebagai data kelerengan.

e. Ketinggian
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan GPS (Global
Positioning System) dengan membaca pada layar GPS.

4.3.2.4 Pelindung
Pelindung adalah segala tempat dalam habitat yang mampu
memberikan perlindungan dari cuaca, predator, atau kondisi yang lebih baik
dan menguntungkan. Pelindung dapat berupa tutupan vegetasi maupun
kondisi fisik area. Data yang diambil dalam aspek pelindung adalah sebagai
berikut :
a. Penutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah
Data penutupan tajuk dan tumbuhan bawah diambil menggunakan
metode protocol sampling. Pada metode protocol sampling, dibuat plot
ukur berbentuk lingkaran dengan jari-jari 11,3 m atau berdiameter 22,6
m (Gambar 6) dan dilakukan pengambilan data pengukuran
penutupan/lebar tajuk dan tumbuhan bawah dengan melihat persen
tutupan tajuk atau tumbuhan bawah yang terlihat dari tabung okuler
(Gambar 7) (Noon, 1981). Data diambil pada setiap titik di dalam garis
utara-selatan dan barat-timur, dengan tiap arah memuat 5 titik (Purnomo,
2009). Data plus minus menunjukkan ada atau tidaknya vegetasi hijau.
Dikatakan plus apabila vegetasi menutup perpotongan garis silang
melebihi 50%, dan dikatakan minus apabila vegetasi menutup
perpotongan garis silang kurang dari 50% pada tabung okuler
(Noon,1981).

Gambar 6. Desain Protocol Sampling Gambar 7. Tabung Okuler dan Contoh


Hasil Pengamatan

b. Kepadatan Semak
Data kepadatan semak diambil menggunakan metode protocol
sampling. Teknik pengambilan data dilakukan dengan membagi
lingkaran menjadi empat bagian. Dari utara-selatan serta timur-barat
menggunakan tongkat sepanjang 1 meter, tumbuhan bawah yang terkena
tongkat tersebut dicatat jenis dan jumlahnya. Data kepadatan semak
diambil menggunakan metode protocol sampling. Teknik pengambilan
data dilakukan dengan membagi lingkaran menjadi empat bagian
(Gambar 7). Kemudian, pengamat berjalan dari utara-selatan serta timur-
barat dengan membawa tongkat sepanjang 1 meter, tumbuhan bawah
yang terkena tongkat tersebut dicatat jenis dan jumlahnya.

Plot Protocol sampling

Garis lintasan pengamat

Gambar 8. Skema Plot Dalam Estimasi Kepadatan Semak

c. Penutupan Volume Daun


Data penutupan volume daun diambil dengan melakukan
pengukuran menggunakan density board. Density board yang digunakan
berukuran tinggi 1 m dan lebar 60 cm. Teknik pengukuran menggunakan
density board adalah dengan cara membentangkan density board dan
melihat jumlah kisi yang tertutup oleh tutupan tumbuhan bawah atau
tutupan lain pada density board. Pembentangan density board dilakukan
hingga total ketinggian 3 m. Dalam rentang 3 m, terdapat 4 interval yang
terbagi menurut ketinggiannya yaitu interval 0 - 0,3 m, 0,3 - 1 m, 1-2 m,
dan 2-3 m dimulai dari bawah (Gambar 9) (Noon,1981).
60 cm

100
cm
Gambar 9. Density board

4.3.3 Partisipasi Masyarakat


Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purpossive sampling.
Penetapan sampel dilakukan dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai
dengan tujuan atau masalah penelitian, sehingga sampel dapat mewakili
karakteristik populasi yang ada (Nursalam, 2008). Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara dan kuisioner. Tingkat partisipasi
masyarakat dapat diketahui dari sejauh mana peranan dan kontribusi masyarakat
dalam kegiatan pengelolaan kawasan hutan dimulai dari tahap pengambilan
keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian (pemantauan, evaluasi,
pengawasan), dan partisipasi dalam pemanfaatan hasil pengelolaan hutan.
Pengukuran variabel partisipasi dilakukan dengan menggunakan pertanyaan yang
di dalamnya terdapat beberapa jawaban menggunakan 3 poin skala Likert. Skala 1
menunjukkan tingkat partisipasi yang rendah di mana masyarakat tidak pernah
terlibat dalam kegiatan dimaksud, skala 2 menunjukkan tingkat partipasi sedang di
mana masyarakat jarang terlibat di dalamnya, dan skala 3 menunjukkan tingkat
partisipasi yang tinggi di mana masyarakat sering terlibat di dalam kegiatan
restorasi.
Penentuan jumlah sampel dari masyarakat yang dipakai dapat menggunakan
rumus Slovin (Noor, 2012) dengan menggunakan pendekatan statistik untuk tingkat
kesalahan 1%, 5% atau 10%. Semakin kecil tingkat kesalahan yang ditoleransi,
maka semakin besar besar mendekati populasi sampel yang harus diambil. Rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut:
N
n= 2
1+ N (e )
Keterangan:
n: jumlah responden
N: ukuran populasi (jumlah KK)
e: Error level / tingkat kesalahan (dalam penelitian ini yang digunakan adalah 0,09
atau 9%)
Pemilihan responden sebagai unit sampel terbatas pada jumlah kepala
keluarga di desa di sekitar Hutan Pendidikan Wanagama I. Penentuan jumlah
sampel dilakukan dengan rumus Slovin:
N
n= 2
1+ N (e )

Dengan melihat data statistik Kependudukan DIY, jumlah penduduk


dengan umur produktif pada desa di Hutan Pendidikan Wanagama. Jumlah
sampel yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu:
13506
n= = 122,356 ~ 123
1+13506 (0,092)

Data sosial mengenai partisipasi masyarakat sekitar Hutan Pendidikan


Wanagama I terhadap kegiatan restorasi rusa Jawa diambil dilakukan dengan
gabungan teknik pengumpulan data wawancara dan angket (kuesioner). Metode
ini disebut dengan guided interview (Esterberg dalam Sugiyono, 2007).
Pelaksanaan pengambilan data dengan melakukan tanya jawab atau wawancara
secara langsung kepada responden dengan bantuan instrumen berupa kuisioner
yang telah disusun sebelumnya.

4.4 Analisis Data


4.4.1 Analisis Perhitungan Estimasi Populasi Rusa
Populasi Rusa Jawa dapat dihitung dengan metode pellet count (Rabinowitz,
1997 dalam Suba, 2010). Perhitungan kepadatan Rusa Jawa pada Pellet count
dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Axp
P=
t xdxa

Keterangan:
P = estimasi jumlah populasi
A = luas areal penelitian
p = jumlah onggokan minggu ke-2
a = luas seluruh plot sampel
t = interval waktu pengamatan
d = defekasi, rata-rata jumlah kelompok feses yang dikeluarkan oleh satu individu
rusa dalam sehari kelompok feses yang dimasukkan dalam perhitungan adalah
kelompok feses dengan perkiraan umur kurang dari 1 bulan.
Sedangkan dalam metode line transect, terdapat beberapa data yang harus
dicatat antara lain yaitu panjang jalur yang ditempuh (meter), jarak langsung (D =
direct distance) antara observer dan primata (meter), sudut antara garis khayal
observer primata dan jalur (derajat), dan jumlah individu primata. Kemudian
estimasi populasi satwa dihitung menggunakan rumus:

NxA
EP=
2 XY

Keterangan:

N = total individu yang terdeteksi saat pengamatan

X = panjang jalur

Y = jarak antara primata target (yang terdeteksi) dan jalur secara tegak lurus
(rataan)

D = jarak antara primata target saat pertama kali terdeteksi dan observer (rataan)

α = sudut antara garis observer/ primata target dan jalur

A = luas total kawasan yang akan diduga

EP = Estimasi ukuran populasi

4.4.2 Analisis Habitat


4.4.2.1 Analisis Produktivitas Pakan dan Komposisi Jenis Pakan
Pada analisis produktivitas pakan digunakan rumus sebagai berikut:
Produktivitas = Berat hijauan per satuan luas sampel x luas seluruh
sampel (Brown, 1954 dalam Taralalu, 2006). Komposisi jenis pakan dapat
diketahui dengan mencocokan hasil laboratorium dengan epidermis sampel.

4.4.2.2 Analisis Air


Analisis air dilakukan dengan data jarak plot dengan sumber air yang
dinyatakan dalam meter (m) dan disajikan dalam tabel di setiap petak.
selanjutnya data dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif
(Mahfud, 2013). Analisis dilakukan dengan membandingkan perbedaan
plot ukur dalam jumlah perjumpaan atau tanda kehadiran Rusa Jawa
terhadap jarak dari sumber air.

4.4.2.3 Analisis Ruang


Kebutuhan ruang suatu spesies dalam penelitian ini berupa spesies
Rusa Jawa dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Alikodra, 1990):
Kebutuhan ruang = Estimasi populasi x home range Rusa Jawa
a. Kerapatan Vegetasi
Data yang diperoleh dari metode nested sampling digunakan untuk
analisis vegetasi meliputi kerapatan semai, pancang, tiang dan pohon
yang menunjukkan jumlah vegetasi per luasan petak. Data dianalisis
dengan menggunakan rumus:
Jumlah individu jenis X
Kerapatan=
Luas plot sample (ha)

b. Stratifikasi Tajuk
Stratifikasi tajuk dilakukan pengamatan langsung di lapangan, dan
menentukan struktur vegetasi masuk ke dalam stratum tajuk tipe
A,B,C,D atau E.
c. Suhu dan Kelembapan
Data suhu yang telah diukur menggunakan sling-psychrometer
dinyatakan dalam derajat celcius (°C), dan disajikan dalam tabel pada
setiap plot. Data kelembaban yang telah diukur menggunakan sling-
psychrometer dinyatakan dalam persen (%), dan disajikan dalam tabel
pada setiap plot.
d. Kelerengan dan Ketinggian
Data kelerengan dinyatakan dalam persen (%) dan diambil data
yang paling curam kemudian disajikan dalam tabel pada setiap plot. Data
ketinggian didapatkan dari GPS dan dinyatakan dalam mdpl.

4.4.2.4 Analisis Pelindung


Pelindung dapat berupa tutupan vegetasi maupun kondisi fisik area.
Data yang didapat dalam aspek pelindung adalah berupa penutupan tajuk
dan tumbuhan bawah, kepadatan semak, dan kerapatan vegetasi. Data
tersebut kemudian dianalisis sebagai berikut:
a. Analisis Penutupan Tajuk dan Tumbuhan Bawah
Data yang diperoleh dari metode protocol sampling digunakan
untuk mengetahui persentase kondisi penutupan tajuk dan tumbuhan
bawah, serta penutupan volume daun dengan perhitungan penutupan
lahan menggunakan rumus:
p
C= x 100 %
n

Keterangan:
C: Persen penutupan tajuk
p: Jumlah tajuk atau tipe penutupan tanah yang terlihat pada silang
tabung okuler,
n: Jumlah titik pengamatan pada protocol sampling.
Tingkat penutupan tajuk berdasarkan Arief (2001) :
1. Rapat = penutupan lebih dari 70%
2. Cukup = penutupan 40% - 70%
3. Jarang = penutupan kurang dari 40%

b. Analisis Kepadatan Semak


Data yang diperoleh dari pengukuran menggunakan metode
protocol sampling dianalisis dengan menggunakan rumus:
Jumlah individu terkenatongkat
Kepadatan semak =
Luas plot sample (ha)

c. Analisis Penutupan Volume Daun


Data yang diperoleh dari pengukuran menggunakan density
board dalam metode protocol sampling dihitung penutupan lahannya
menggunakan rumus:

∑ kisi terisi
% Penutupan Daun= x 100 %
∑kisi setiap interval

4.4.3 Analisis Partisipasi Masyarakat


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang
kemudian dianalisis secara deskriptif. Data yang diperoleh dari wawancara berupa
data profil responden dan data aktivitas responden. Data tersebut kemudian
diwujudkan dalam bentuk tulisan atau paparan serta ditransformasi ke dalam
bentuk tabel atau diagram pie di Microsoft excel (Utami & Ratnaningsih, 2018).

4.4.4 Analisis Kelayakan Restorasi Rusa


Analisis kelayakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan gap analysis
yang dikembangkan oleh Scott, et al (1987), yaitu dengan membandingkan kondisi
ideal sesuai teori dengan kondisi faktual yang diperoleh di lapangan. Metode ini
dilakukan dengan cara membandingkan tiap variabel yang termasuk dalam aspek
restorasi, yaitu populasi, habitat dan faktor abiotik. Aspek habitat yang dinilai
meliputi pakan, air, ruang, dan pelindung. Komponen-komponen yang ditemukan
di lapangan kemudian dibandingkan dengan kondisi ideal yang dibutuhkan oleh
rusa jawa. Berdasarkan perbandingan masing-masing komponen tersebut dapat
ditarik kesimpulan yang menyatakan kelayakan Hutan Pendidikan Wanagama I
sebagai kawasan restorasi rusa jawa. Aspek populasi dinilai dari hasil estimasi
populasi rusa jawa yang didapat pada Hutan Pendidikan Wanagama I. Apabila
estimasi populasinya meningkat maka Hutan Pendidikan Wanagama 1 layak
menjadi tempat restorasi rusa jawa.
DAFTAR PUSTAKA

Adiati, Umi dan Brahmantiyo B. 2015. December. Karakteristik Morfologi Rusa Timor
(Rusa timorensis) di Balai Penelitian Ternak Ciawi. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner: 596-600.
Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayati. IPB. Bogor.
Aqsar, Z. E. 2009. Hubungan Ketinggian dan Kelerengan dengan Tingkat Kerapatan
Vegetasi Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Taman Nasional Gunung
Leuser. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara.
Arnold, J.F., and H.G. Reynolds. 1943. Droppings of Arizona and Antelope Jackrabbits and
The “pellet census”. J. Wildl. Mgmt. 7:322-327.
Arobaya, A.Y.S., D.A. Iyai, T. Sraun and F. Pattiselanno. 2010. Makanan pakan rusa timor
(Cervus timorensis) di Manokwari, Papua Barat. Produksi Hewan, 12 (2): 91-95.
Asianto, Giri. 1998. Perilaku Sosial Rusa Jawa (Cervus timorensis russa, Mul & Schl) di
Penangkaran Wana Wisata Waluya Karangkates Malang Jawa Timur. Skripsi S1.
Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Aththorick, T. A. 2005. Kemiripan Komunitas Tumbuhan Bawah pada Beberapa Tipe
Ekosistem Perkebunan di Kabupaten Labuhan Batu. Jurnal Komunikasi Penelitian, Vol
17 (5).
Balebu, E. Boer, C., Sukaton. 2002. Identifikasi dan Analisis Kimia Jenis-Jenis Pakan Rusa
Sambar di Areal Penangkaran Rusa Kabupaten Pasir, Provinsi Kalimantan Timur.
Jurnal Equator, Vol. I (2).
Bismark, M. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) Untuk Keragaman Jenis pada Kawasan
Konservasi. Bogor.
Bismark, M., Mukhtar, A. S., Takandjanji, M., Garsetiasih, R., Setio, P., Sawitri, R., dan
Subiandono, E., & Kayat. 2011. Sintesis Hasil-hasil Litbang: Pengembangan
Penangkaran Rusa Timor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY. 2020. https://dlhk.jogjaprov.go.id/. Diakses
pada 23 Januari 2021.
Djohan, Tjut. S. 2003. Petunjuk Praktikum Ekologi (Biu 420 atau Bio 307). Laboratorium
Ekologi Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Djuwantoko. 2003. Pemanfaatan Rusa Secara Lestari. Makalah Seminar. Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Drajat, A. S. 2002. Satwa Harapan Budidaya Rusa. Mataram University Press. Mataram.
Emu. 2012. Studi Komunitas Tumbuhan Dasar Hutan di Kawasan Hutan Wanagama (petak
5, 6 dan 7), Gunung Kidul, Yogyakarta. Undergraduate Thesis. Universitas Kristen
Duta Wacana. Yogyakarta.
Ernawati, Johanna. 2016. Jejak Hijau Wanagama. Forests and Climate Change Programme
(FORCLIME). Jakarta.
Garsetiasih, R. 2007. Daya Dukung Kawasan Hutan Baturaden sebagai Habitat Penangkaran
Rusa. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 4(5).
Handarini, R. 2006. Pola dan Siklus Pertumbuhan Ranggah Rusa Timor Jantan (Rusa
timorensis). Jurnal Agribisnis Peternakan. 2(1).
Handayani, T., dan Yustiah, Y. 2014. Analisis Vegetasi strata Semak Berdasarkan Cluster
Lingkungan Abiotik di Sempadan Sungai Tepus Sleman, Yogyakarta sebagai Sumber
Belajar Biologi SMA Kelas X. Jurnal Bioedukatika. 2(1): 30-34.
Haryani, R. 2010. Pengaruh Penutupan Tajuk Individu terhadap Dinamika Volume Batang
Jati Umur 12 Tahun. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Helms, J. A. 1998. The Dictionary of Forestry. CAB International: the Society of American
Foresters. Wallingford.
Hidayat, Denny. 2017. Dari Seresah Menjadi Tanah: Sejarah Pembangunan Hutan
Pendidikan Wangama I. Skripsi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Hoogerwerf, A. 1970. Ujung Kulon, The Land of The Last Javan Rhinoceros. Ej Brill.
Leiden.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
Irwanto. 2006. Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) dan. Eucalyptus
(Eucalyptus pellita) pada Kawasan Hutan Wanagama. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Isbandi R. A. 2007. Perencanaan Partisipasi Berbasis Aset Komunitas: dari Pemikiran
Menuju Penerapan. UI Press. Depok.
Iswandaru, Dian. 2018. Panduan Praktikum Manajemen Hidupan Liar. Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung.
IUCN. 2019. https://www.iucnredlist.org/species/41789/22156866 [diakses pada 1 Januari
2021].
Jacoeb, T.N. dan Wiryosuhanto, S.D. 1994. Prospek Budidaya Ternak Rusa Cetakan
pertama. Penerbit Kanisius. Jakarta.
JICA. 2014. Pedoman Tata Cara Restorasi Di Kawasan Restorasi: Ekosistem Mangrove
Bekas Lahan Tambak. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Kayat. 2009. Evaluasi Pemeliharaan dan Perkembangbiakan Rusa Timor (Rusa timorensis
Blainville) Pada Beberapa Penangkaran di Nusa Tenggara Timur. Tesis S-2. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kayat., Pudyatmoko, Satyawan., Maksum, Muchammad., Imron, M. Ali. 2017. Potensi
Konflik Penggembalaan Kuda pada Habitat Rusa Timor (Rusa timorensis Blainville
1822) di Kawasan Tanjung Torong Padang, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmu
Kehutanan II: 4-18.
Kiranaputri, G. 2015. Identifikasi Sel Pada Preparat Apus Vagina Rusa Timur (Rusa
timorensis) di Taman Lembah UGM. Skripsi. FKH UGM: Yogyakarta.
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kwatrina, R. T., Takandjandji, M., dan Bismark, M. 2011. Ketersediaan Tumbuhan Pakan
dan Daya Dukung Habitat Rusa timorensis De Blainville, 1822 Di Kawasan Hutan
Penelitian Dramaga. Buletin Plasma Nutfah. 17(2): 129-138.
Liptian. 2004. Studi Jenis Pakan dan Analisis Proksimat Pada Pakan Rusa Jawa (Cervus
timorensis Mull & Schl, 1844) Di Wanagama I Kabupaten Gunung Kidul. Skripsi.
Fakultas kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Marialilwur, Y. 2012. Studi Komunitas Pohon di Kawasan Hutan wanagama (petak 5, petak
6, Dan 7) Gunungkidul Yogyakarta. [Undergraduate thesis]. Universitas Kristen Duta
Wacana. Retrieved from http://sinta.ukdw.ac.id.
Masyud, B., Ricky, W., Irawan, B.S. 2007. Pola Distribusi Populasi dan Aktivitas Harian
Rusa Timor (Cervus timorensis, de Blainville 1822) di Taman Nasional Bali Barat.
Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan 12(3): 23.
Mcnaughton, S.J., dan L.L. Wolf. 1990. Ekologi Umum. Edisi ke-2. UGM. Yogyakarta.
Morrison, M.L. 2002. Wildlife Restoration: technique for habitat analysis and animal
monitoring. Island Press. Washington.
Morrison, M. L., Marcot, B. G., and Mannan, R. W. 2006. Wildlife-Habitat Relationships:
Concept and Applications. Island Press. Washington DC.
Mulyadin, R. M., Surati, S., & Ariawan, K. 2016. Kajian Hutan Kemasyarakatan sebagai
Sumber Pendapatan: Kasus di Kab. Gunung Kidul. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan, 13(1), 13-23.
Narsuka, D. R. N dan Sujali. 2009. Persepsi dan Peran Serta Masyarakat Lokal dalam
Pengelolaan TNGM. Majalah Geografi Indonesia. Fakultas Geografi UGM.
Yogyakarta.
Noon, B.R. 1981. Techniques for Sampling Avian Habitat. In: Capen, D.E. (Eds.). The Use
of Multivariate Statistics in Studies of Wildlife Habitat. General Rednical Report RM-
87. US Department of Agriculture, Forest Service.
Noor, J. 2012. Metode Penelitian. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Nugroho, A. D. 1992. Studi Ekologi Makan Rusa Jawa (Cervus timorensis russa Mul. And
Schl.1844) pada Musim Kemarau di Taman Nasional Baluran. Skripsi. Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. tidak dipublikasikan.
Nurmalia, A., dan Wahyu Handono. 2019. Analisis partisipasi dan persepsi masyarakat petani
terhadap restorasi dan preservasi hutan. AGRISEP Vol. 18 No. 2 September 2019 Hal:
305 – 312.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 2.
Salemba Medika. Jakarta.
Palguna, H. 1998. Pola Perilaku Rusa Jawa (Cervus timorensis russa, Mul. & Schl.) di
Beberapa Penangkaran Milik Perhutani.Tesis tidak dipublikasikan.Yogyakarta:
Program Studi Ilmu Kehutanan Jurusan Ilmu-ilmu Pertanian Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada.
Pattiselanno, F., Tethool, A. N., dan Seseray, D. Y. 2008. Karakteristik Morfologi dan
Praktek Pemeliharaan Rusa Timor di Manokwari. Jurnal Berkala Ilmiah Biologi. 7(2).
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 – Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 –
Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Pramono. 2019. Rehabilitasi, Reklamasi, Restorasi, dan Recovery Hutan. [Online].
http://agroindonesia.co.id/2019/11/rehabilitasi-reklamasi-restorasi-dan-recovery-hutan/.
[Diakses pada 1 Januari 2021].
Pudyatmoko, Satyawan. 2007. Kerapatan dan Ukuran Populasi Burung Cekakak Sungai
(Halcyon chloris) di Dua Tipe Habitat di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Puhun, S. P. O. 2017. Pengelolaan Kesejahteraan Satwa Rusa Timor (Rusa timorensis) di
Oilsonbai. Jurnal Ilmu Kehutanan, 1(4): 18-29.
Purnomo, D. W. 2009. Seleksi Habitat oleh Rusa Timor (Rusa timorensis) di Hutan
Wanagama I. [Tesis]. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Purnomo, D. W. 2010. A habitat selection model for Javan deer (Rusa timorensis) in
Wanagama I Forest, Yogyakarta. Nusantara Bioscience, 2 (2): 84 - 89.
Purnomo, D. W. dan Didi U. 2012. Pengaruh Struktur dan Komposisi Vegetasi dalam
Menentukan Nilai Konservasi Kawasan Rehabilitasi di Hutan Wanagama I dan
Sekitarnya. Jurnal Biologi Indonesia, 8 (2): 255-267.
Rahardjanto, A. 2001. Ekologi Tumbuhan. UMM Press. Malang
Rahmadi, Taufik. 2013. Kelimpahan Fauna Tanah dalam Dekomposisi Seresah Gamal
(Gliricidia sepium) di Petak 5 Hutan Wanagama I Gunung Kidul. Skripsi. Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Santosa, Yanto., Auliyani, Diah., Kartono, A. Priyono. 2008. Pendugaan Model Pertumbuhan
dan Penyebaran Spasial Populasi Rusa Timor (Cervus timorensis De Blainville, 1822)
Di Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Jurnal Media Konservasi Vol. 13, No. 1 :
1 – 7.
Schroder T.O. 1976. Deer in Indonesia. Nature Conservation Department. Wageningen.
Scott J M, Csuti B, Jacobi JD & Estes JE. 1987. Species richness: a geographical approach
to protecting biodiversity. BioScience 37: 782-788.
Semiadi, G. dan Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Pusat Penelitian
Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor.
Semiadi, G., Wirdateti, Jamal. Y., Brahmantiyo. B. 2008. Pemanfaatan Rusa Sebagai Hewan
Ternak. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian
Biologi. Bogor.
Septiawan, Wawan. 2016. Jenis Tanaman, Kerapatan, Dan Stratifikasi Tajuk Pada Hutan
Kemasyarakatan Kelompok Tani Rukun Makmur 1 Di Register 30 Gunung
Tanggamus, Lampung. Skripsi. Fakultas pertanian Universitas Lampung.
Shaw, J. H. 1985. Introduction to Wildlife Management. McGraw-Hill Book Company. New
York.
Subekti, E. 2009. Ketahanan Pakan Ternak Indonesia. Jurnal Mediagro, Vol. 5(2): 63 - 71.
Subeno. 2008. Seleksi Habitat Rusa Timor (Cervus timorensis) dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya di Kawasan Hutan Wanagama I dan Sekitarnya. Laboratorium
Satwa Liar, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Supraptomo, H. 2006. Home Range dan Kelimpahan Rusa Jawa (Cervus timorensis) di
Wanagama I Gunung Kidul. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Syah, Mega Wahyu dan Teguh Hariyanto.2013. Klasifikasi Kemiringan Lereng dengan
Sistem Informasi Geografis sebagai Evaluasi Kesesuaian Landasan Pemukiman
berdasarkan Undang-Undang Tata Ruang dan Metode Fuzzy. Jurnal Teknik Pomits,
10(10):1-6.
Syarief A. 1974. Kemungkinan Pembinaan Dan Pembiakan Rusa di Indonesia. Direktorat
Perlindungan dan Pembiakan Alam. Bogor.
Taralalu, J. M., Chandradewana B. C., dan Kuncoro, I. 2006. Kajian Tentang Habitat dan
Populasi Rusa (Cervus timorensis) di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Jurnal Kehutanan Unmul, 2 (2).
Utami, R. P. Dan Ratnaningsih, Y. 2018. Implementasi Kemitraan Kehutanan antara
Kelompok Tani dengan BKPH Rinjani Barat Pelangan Tastura (Studi Kasus: Gabungan
Kelompok Tani Maju Lestari, Desa Pusuk Lestari, Kecamatan Batulayar, Kabupaten
Lombok Barat). Jurnal Silva Samalas Vol. 1 No. 1; 35-44.
Winardi, 1990. Asas-Asas Manajemen. Mandar Maju. Bandung.
Yuda, P. 1995 Studi Keragaman dan Kelimpahan Burung di Berbagai Habitat di Hutan
Wanagama I, Daerah Istimewa Yogyakarta. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Zahra N. L. dan Winarno G.D. 2017. Studi Populasi Siamang (Symphalangus syndactylus) di
Hutan Lindung Register 25 Pematang Tanggang Kabupaten Tanggamus. Jurnal Sylva
Lestari, Vol. 5(3): 66-76.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Hutan Pendidikan Wanagama I

Lampiran 2. Pertanyaan Kuisioner

A. IDENTITAS RESPONDEN

Nama

Umur

Jenis Kelamin

Alamat Asal

Alamat Tinggal

Pendidikan Terakhir
Pekerjaan

B. PERTANYAAN
KELOMPO
TEMA SOSIAL PERTANYAAN
K
Apakah Anda sering memasuki kawasan Hutan Pendidikan Wanagama I?
Aktivitas apa yang dilakukan di dalam Hutan Pendidikan Wanagama I?
Di bagian mana Anda biasa beraktivitas?
Berapa jam anda melakukan aktivitas tersebut?
Berapa hari dalam satu minggu Anda beraktivitas di dalam Hutan Pendidikan
Wanagama I?
Apakah anda tahu ada rusa jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Apakah Anda pernah bertemu dengan rusa jawa ketika beraktivitas?
Aktifitas
1 Kegiatan apa yang sedang dilakukan ketika bertemu rusa jawa?
Masyarakat
Apa respon anda ketika bertemu dengan rusa jawa ketika sedang beraktivitas?
Berapa luas lahan yang Anda kerjakan?
Komoditas apa yang anda tanam?
Apakah rusa jawa pernah masuk ke lahan anda?
Apa yang dilakukan rusa jawa di lahan anda?
Jenis tanaman apa saja yang biasa dimakan hewan ternak anda?
Apakah keberadaan rusa jawa mengganggu Anda dalam beraktivitas di Hutan
Pendidikan Wanagama I?

2 Interaksi

3 Persepsi Apakah Anda tahu bahwa Rusa Jawa ada di hutan Pendidikan Wanagama I?
Apakah Anda Tahu tentang kawasan restorasi Rusa Jawa di Hutan Pendidikan
Wanagama I?
Seberapa dalam Anda memahami kegiatan restorasi Rusa Jawa di Hutan
Pendidikan Wanagama I?
Apakah Anda menyetujui kegiatan restorasi Rusa Jawa di Hutan Pendidikan
Wanagama I?
Apakah dampak yang anda rasakan dengan
adanya kegiatan restorasi Rusa Jawa
di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Apakah keberadaan Rusa Jawa tersebut menganggu
aktivitas anda di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Apakah tanaman pertanian milik anda pernah dirusak/dimakan
oleh Rusa Jawa yang ada di Hutan Pendidikan
Wanagama I?
Apakah anda pernah merasa khawatir jika tanaman pertanian
anda dirusak/dimakan oleh Rusa Jawa?
Apakah anda khawatir jika populasi rusa meningkat di Hutan
Pendidikan Wanagama I?
Apakah anda bersedia diajak bekerjasama dalam upaya pengembangan
restorasi rusa di Hutan Pendidikan Wanagama 1?
Apakah anda mengetahui jika Rusa Jawa merupakan salah satu satwa yang
dilindungi?
Apakah anda pernah berinteraksi langsung dengan rusa yang ada di Hutan
Pendidikan Wanagama I?
Seberapa besar kerugian yang ditimbulkan dengan adanya keberadaan rusa
jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Seberapa besar keuntungan yang ditimbulkan dengan adanya keberadaan rusa
jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Apakah Kawasan Hutan Pendidikan Wanagama I cocok untuk dijadikan
sebagai tempat restorasi rusa jawa?
Apakah anda mengetahui adanya rusa jawa di Hutan Pendidikan Wanagama
I?
Apakah anda mengetahui adanya kegiatan restorasi rusa jawa di Hutan
Pendidikan Wanagama I?
Apakah anda pernah mengikuti kegiatan sosialisasi tentang restorasi rusa jawa
di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Apabila diadakan kembali sosialisasi mengenai restorasi rusa jawa di Hutan
Pendidikan Wanagama I, apakah anda bersedia mengikutinya?
Seberapa besar pemahaman anda mengenai kegiatan restorasi rusa jawa di
Hutan Pendidikan Wanagama I?
Apakah anda mendukung kegiatan restorasi rusa jawa di Hutan Pendidikan
Wanagama I?

4 Antusiasme Apakah anda pernah merasa dirugikan dengan adanya kegiatan restorasi rusa
di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Apakah anda pernah merasakan manfaat dari adanya kegiatan restorasi rusa di
Hutan Pendidikan Wanagama I?
Apakah anda berminat untuk mengikuti kembali kegiatan terkait restorasi rusa
jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Apakah anda berminat mengetahui dan mempelajari lebih dalam lagi
mengenai restorasi rusa jawa di Hutan Pendudukan Wanagama I?

5 Sikap Apakah anda tahu bahwa Wanagama I merupakan restorasi rusa Jawa?
Menurut anda, apakah ada manfaat terkait adanya restorasi rusa jawa di
Wanagama?
Bagaimana sikap anda jika ada rusa di pemukiman/lahan?

Seberapa sering tanaman pertanian anda dimakan oleh rusa Jawa?


Apakah anda merasa khawatir tanaman pertanian anda dimakan oleh rusa
Jawa?
Apa yang anda lakukan jika tanaman pertanian anda dimakan oleh rusa Jawa?

Apakah anda tahu tentang rusa jawa?


Apakah anda tahu tentang keberadaan rusa jawa di Hutan Pendidikan
Wanagama I?
Darimana anda tahu tentang adanya rusa jawa di Hutan Pendidikan
Wanagama I?
Apakah anda pernah melihat rusa jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I
secara langsung?
Dimana anda melihat rusa jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Apakah anda tahu apa itu restorasi?

6 Pemahaman Apakah anda tahu kalau di Hutan Pendidikan Wanagama I dijadikan sebagai
tempat restorasi?
Apakah restorasi rusa jawa penting?
Apa manfaat dengan adanya rusa jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I?

7 Respon Apakah saudara mengetahui adanya rusa Jawa di Hutan Pendidikan


Wanagama I?
Apakah saudara pernah melihat rusa Jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Jika saudara pernah melihat rusa Jawa di Wanagama, berapa kali saudara
melihatnya?
Apakah saudara mengetahui bahwa Rusa Jawa itu dilindungi?
Apakah aktivitas yang saudara lakukan di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Seberapa sering saudara melakukan aktivitas tersebut di Hutan Pendidikan
Wanagama I?
Berapa lama aktivitas saudara lakukan di Hutan Pendidikan Wanagama I?
Apakah keberadaan rusa jawa mengganggu aktivitas saudara di Hutan
wanagama?
Apakah pernah ada penyuluhan terkait kegiatan restorasi di hutan pendidikan
wanagama I?
Apakah saudara merasakan manfaat dari adanya kegiatan restorasi rusa jawa
di wanagama?
Jika saudara melihat kehadiran rusa jawa di Hutan Pendidikan Wanagama I,
apakah yang akan saudara lakukan?
bagaimana perasaan saudara ketika melihat kehadiran rusa jawa di Hutan
Pendidikan Wanagama I?
Rusa jawa memiliki segelintir fungsi untuk lingkungan, apakah saudara
tertarik untuk mengetahui manfaat rusa yang lainnya?
Menurut pengetahuan anda, apa label yang disematkan kepada rusa jawa?
apakah saudara menganggap bahwa restorasi rusa jawa di wanagama adalah
suatu hal yang wajar?

8 Konflik

Apakah anda serig beraktivitas di dalam hutan wanagama?


kegiatan apa yang biasa anda lakukan di dalam hutan wanagama?
apakah anda pernah atau sering bertemu satwa khususnya rusa di dapam
hutan wanagama?
apa yang anda lakukan apabila bertemu rusa di dalam hutan wanagama?
apakah anda mengerti tentang restorasi rusa jawa di hutan wanagama?
apakah adanya restorasi rusa jawa di hutan wanagama berpengaruh terhadap
aktivitas ansa sehari hari?

9 Dukungan apakah saudara mendukung adanya restorasi rusa jawa di hutan wanagama?
jika iya, bentuk dukunhan seperti apa yang anda berikan?

10 Partisipasi Apakah anda mengetahui tentang adanya rusa di Wanagama?


Darimana Anda mengetahui adanya rusa di Wanagama?
Apakah pernah ada kegiatan penyuluhan terkait rusa di Wanagama?
Apakah Anda memahami fungsi dari keberadaan rusa di Wanagama?
Apa dampak yang Anda rasakan dengan adanya rusa di Wanagama?
Pernahkah Anda bertemu secara langsung dengan rusa di Wanagama?
Apakah Anda mengetahui tentang adanya kegiatan pengelolaan rusa di
Wanagama?
Apakah pernah ada kegiatan yang melibatkan masyarakat terkait pengelolaan
rusa?
Apakah Anda terlibat dalam kegiatan tersebut?
Apa bentuk keterlibatan Anda dalam kegiatan tersebut?
Apakah menurut Anda, kelestarian rusa di Wanagama perlu dijaga?
Bagaimana partisipasi yang Anda berikan terhadap kegiatan tersebut?
Apakah anda setuju apabila diadakan kegiatan sosialisasi mengenai kegiatan
restorasi rusa di Wanagama?
Apakah anda tertarik ikut apabila diadakan kegiatan sosialisasi mengenai
kegiatan restorasi rusa di Wanagama?
menurut anda, perlukah pelibatan masyarakat dalam restorasi rusa di
Wanagama?

Anda mungkin juga menyukai