Anda di halaman 1dari 21

KONSEP DASAR HIV AIDS

Oleh :
IIA / S.Tr Keperawatan

1. Tanjung Arif Wangsa Kenari (P07120219033)


2. Ni Putu Novi Gayatri Dewi (P07120219039)
3. Ellen Erdiana Paput (P07120219040)
4. Ni Komang Meta Arianti (P07120219041)
5. Ni Luh Komang Sri Puspayanti (P07120219048)
6. Ni Wayan Cening Setiari Gayatri (P07120219049)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Syukur senantiasa kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas untuk mata kuliah Keperawatan Maternitas
dengan judul “Konsep Dasar HIV/AIDS”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami
miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan
bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, kami berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
Pendidikan.

Denpasar, 07 Januari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 3

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 4

1.3 Tujuan ............................................................................................................... 4

1.4 Manfaat ............................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 6

2.1 Pengkajian Bio, Psiko, Sosial, Spiritual, Kultural Pasien HIV AIDS .............. 6

2.2 Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik Pasien HIV AIDS ...................................... 10

2.3 Tanda dan Gejala Pasien Dengan HIVAIDS .................................................... 13

2.4 Penatalaksaan Pasien Dengan HIV AIDS ......................................................... 16

BAB III PENUTUP ................................................................................................ 19

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 19

3.2 Saran .................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan Aids (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) saat ini menjadi masalah darurat global, meskipun kita
sadari bersama bahwa upaya baik itu promotif ataupun preventif yang
dilakukan pemerintah sudah demikian besar. Namun demikian jumlah kasus
HIV/Aids dari tahun ke tahun diseluruh bagian dunia terus meningkat,
sehingga tidak ada negara yang tidak terkena dampak penyakit ini. Hal ini
tentu menjadikan penyakit HIV/Aids menjadi pandemi yang mengkhawatirkan
masyarakat dunia. Hal ini disebabkan, disamping belum ditemukan obat
ataupun vaksin untuk upaya pencegahan, penyakit ini juga memiliki “window
periode” dan fase asimptomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam
perjalanan penyakitnya. Berdasarkan hasil penelitian tentang kecenderungan
Survival Penderita HIV yang memulai ART dengan jumlah CD4 rendah
mengalami Aids dalam rentan 7,5 bulan. Hal tersebut diatas menyebabkan pola
perkembangan penyakit HIV/Aids bagaikan fenomena gunung es (iceberg
phenomena)(European Environment Agency (EEA), 2019).
Saat ini Sub Sahara Afrika masih menjadi wilayah dengan prevalensi HIV
yang tertinggi, dengan diperkirakan 7,5% diantara orang dewasa tersebut
mengidap HIV. Sedangkan Indonesia merupakan negara urutan ke-5 paling
beresiko HIV/Aids di Asia. Laporan kasus baru HIV meningkat setiap
tahunnya sejak pertama kali dilaporkan yaitu tahun 1987. Namun demikian,
prevalensi HIV/Aids di Indonesia secara umum memang masih rendah, tetapi
Indonesia digolongkan sebagai negara dengan tingkat epidemi yang
terkonsentrasi (Concentrated level epidemic) yaitu adanya prevalensi lebih dari
5% pada sub populasi tertentu misalnya penjaja seks dan penyalahgunaan
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya). Tingkat epidemi ini
menunjukkan tingkat perilaku beresiko yang cukup aktif menularkan penyakit
di dalam suatu sub populasi tertentu (European Environment Agency (EEA),
2019).

3
Kasus Aids di Indonesia pertama kali dilaporkan di Bali pada bulan April
1987 yaitu seorang wisatawan dari Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah
Denpasar. Dimana pada awal penyebaran kasus HIV/Aids di Indonesia terjadi
pada pekerja seks komersial (PSK) beserta pelanggannya dan pelaku
homoseksual. Kemudian setelah itu penyebaran mulai terjadi penularan ke ibu-
ibu rumah tangga yang tertular pasangannya dan berlanjut ke bayi-bayi yang
lahir dari ibu yang positif HIV(European Environment Agency (EEA), 2019).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimanakah Pengkajian Bio, Psiko, Sosial, Spiritual, Kultural Pasien
HIV AIDS?
1.2.2 Apa sajakah Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik Pasien HIV AIDS?
1.2.3 Apa sajakah Tanda dan Gejala Pasien Dengan HIVAIDS?
1.2.4 Bagaimanakah Penatalaksaan Pasien Dengan HIV AIDS?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui dan mempelajari Pengkajian Bio, Psiko, Sosial,
Spiritual, Kultural Pasien HIV AIDS
1.3.2 Untuk mengetahui dan mempelajari Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik
Pasien HIV AIDS
1.3.3 Untuk mengetahui dan mempelajari Tanda dan Gejala Pasien Dengan
HIVAIDS
1.3.4 Untuk mengetahui dan mempelajari Penatalaksaan Pasien Dengan HIV
AIDS

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Dapat mengetahui dan mempelajari Pengkajian Bio, Psiko, Sosial,
Spiritual, Kultural Pasien HIV AIDS
1.4.2 Dapat mengetahui dan mempelajari Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik
Pasien HIV AIDS
1.4.3 Dapat mengetahui dan mempelajari Tanda dan Gejala Pasien Dengan
HIVAIDS

4
1.4.4 Dapat mengetahui dan mempelajari Penatalaksaan Pasien Dengan HIV
AIDS

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengkajian Bio, Psiko, Sosial, Spiritual, Kultural Pasien HIV AIDS
a) Respon Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri atas limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4 akan mengalami perubahan baik secara kualitas maupun
kuantitas, virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel
mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjer
limfe, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek infeksi
pada sel mikroglia di otak adalah ensefalopati dan pada sel epitel usus
adalah diare yang kronis (Nursalam & Kurniawati, 2007).
Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya
baru disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami
kesembuhan. Pasien yang terinfeksi virus HIV dapat tidak memperlihatkan
tanda dan gejala selama bertahun-tahun (Nursalam & Kurniawati, 2007).

b) Respon Adaptif Psikologis


Pengalaman mengalami suatu penyakit akan membangkitkan berbagai
perasaan dan reaksi stress, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan,
rasa malu, berduka dan ketidakpastian dengan adaptasi terhadap penyakit
(Nursalam & Kurniawati, 2007).
Tahapan reaksi psikologis pasien HIV (Grame Stewart, 1997) sebagai
berikut:
Reaksi Proses Psikologis Hal-hal yang biasa
dijumpai
Shock (kaget, Merasa bersalah, marah, Rasa takut, hilang akal,
guncangan dan tidak berdaya frustasi, rasa sedih
batin)
Mengucilkan Merasa cacat, tidak Khawatir menginfeksi
diri berguna, dan menutup diri orang lain dan murung

6
Membuka status Ingin tahu reaksi orang lain, Penolakan dan stress
secara terbatas pengalihan stress, dan ingin
dicintai
Mencari orang Berbagi rasa, pengenalan, Ketergantungan
lain yang positif kepercayaan, penguatan,
HIV dan dukungan social
Status khusus Perbedaan menjadi hal yang Ketergantuan, over
istimewa identification

Perilaku Komitmen dan kesatuan Kompensasi yang


mementingkan kelompok, kepuasan berlebihan
orang lain memberi dan berbagi serta
perasaan sebagai kelompok
Penerimaan Integrase status positif HIV Apatis
dengan identitas diri,
keseimbangan anatara
kepentingan orang lain
dengan diri sendiri, bisa
menyebutkan kondisi saat
ini

Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit


Kubler, Ross (1974) dalam (Nursalam & Kurniawati, 2007) menguraikan
lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit , yaitu.
1. Pengingkaran (denial)
Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku
pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna
rasional dan dampak emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat
disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya atau sudah
mengetahuinya dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat dinilai
dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran dapat berlalu
sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima

7
sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau
lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten.
Pengingkaran diri yang mencolok tampak menimbulkan kecemasan,
pengingkaran ini merupakan buffer untuk menerima kenyataan yang
sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera
berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani,
1999).
2. Kemarahan (anger)
Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase
pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara
karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien
akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada
disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan
timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan
adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak
menuntut, cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang,
tidak mau bekerja sama, sangat marah, mudah tersinggung, minta
banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga mengunjungi maka
menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan
untuk datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak
& Gallo, 1996).
3. Sikap tawar menawar (bargaining)
Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan merasakan
bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan
mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji
merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi
lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji lain jika
dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).
4. Depresi
Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah
dan pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara
konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan

8
keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya,
tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan
waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini
termasuk mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran
baru dalam keluarga intensitas depresi tergantung pada makna dan
beratnya penyakit (Netty, 1999).
5. Penerimaan dan partisipasi
Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi,
kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak
menuju identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena
penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien mampu bergantung
pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi
daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau
ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996).
Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres
yang kronis akan menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau
sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki hormon
kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam
teori adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.

c) Respon Adaptif Spiritual


Respon adaptif spiritual meliputi
- Harapan yang realistis
- Tabah dan sabar
- Pandai mengambil hikmah

d) Respon Adaptif Sosial


Aspek psikososial dibedakan menjadi 3 aspek (Nursalam & Kurniawati,
2007), yaitu.
- Stigma social dapat memperparah depresi dan pandangan yang
negative tentang harga diri pasien

9
- Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan
bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi
kesehatan. Bagi pasien homoseksual, penggunaan obat-obat narkotika
akan berakibat terhadap kurangnya dukungan social, hal tersebut akan
memperparah stress pasien
- Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai
penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat
terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien
akhirnya mengkonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan
stres yang dialami.

e) Respon kultural
Perawat melakukan pengkajian terkait adat istiadat budaya/pembuat
keputusan.

2.2 Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik Pasien HIV AIDS


1. Pemeriksaan Fisik
Tidak ada gejala spesifik pada infeksi HIV, gejala ringan mungkin
muncul pada masa serokonversi berupa flu-like syndrome, dan pada kondisi
yang lebih berat dapat ditemukan tanda-tanda infeksi oportunistik
(Muntamah, 2020):
a. Keadaan umum tampak sakit berat
b. Ruam-ruam pada kulit
c. Oral thrust
d. Gangguan pernafasan
e. Herpes berulang
f. Gizi buruk (wasting syndrome)
g. Tuberkulosis ekstra paru

Pemeriksaan fisik pada pasien HIV antara lain :


a. Suhu
Demam umum muncul pada pasien yang terinfeksi HIV, bahkan
meskipun tidak muncul gejala yang lain. Demam bisa menjadi tanda-

10
tanda berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh infeksi tertentu atau
kanker yang lebih umum pada orang yang mmepunyai kekebalan rendah.
b. Berat
Pemeriksaan berat badan dilakukan pada setiap kunjungan. Kehilangan
10% atau belhi dari berat badan, mungkin akibat dari syndrome wasting
yang merupakan salah satu tanda-tanda Aids. Dan yang paling parah
adalah tahap terakhir HIV. Diperlukan tambahan gizi, apabila pasien telah
kehilangan berat badan.
c. Mata
Cytomegalovirus (CMV) retinithis adalah komplikasi umum Aids. Hal ini
terjadi lebih sering pada orang yang memiliki CD4 kurang dari 100 sel
mikroliter (MCL). Termasuk gejala floathers, penglihatan kabur, atau
kehilangan penglihatan. Jika terdapat gejala rethinitis CMV diharuskan
segera memeriksakan diri ke dokter mata.
d. Mulut
Infeksi jamur mulut dan luka mulut lainnya sangat umum pada orang
yang terinfeksi HIV. Dokter akan melakukan pemeriksaan mulut pada
setiap kali kunjungan. Pemeriksaan gigi setidaknya 2 kali setahun.
e. Kelenjar getah bening
Pembesaran kelenjar getah bening tidak selalu disebabkan oleh HIV. Pada
pemeriksaan kelenjar getah bening yang membesar, atau jika ditemukan
ukuran yang berbeda, dokter akan melakukan pemeriksaan setiap pasien
berkunjung.
f. Perut
Pemeriksaan abdomen mungkin akan menunjukkan abdomen yang
membesar (hepatomegali) atau pembesaran limfa (splenomegali). Kondisi
ini dapat disebabkan oleh infeksi baru atau mungkin menunjukkan
kanker. Dokter akan melakukan pemeriksaan perut pada setiap pasien
melakukan kunjungan ke RS/puskesmas atau jika pasien mengalami
gejala-gejala seperti nyeri perut bagian kanan atau kiri atas.
g. Kulit

11
h. Kulit merupakan masalah umum untuk penderita HIV. Pemeriksaan yang
teratur dapat mengungkapkan kondisi yang dapat diobati mulai tingkat
keparahan dari dermatitis seboroik sampai sarkoma kaposi.

2. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik untuk HIV berupa tes serologi antibodi yang dapat
dilakukan menggunakan rapid test, chemiluminescent microparticle
immunoassay (CMIA), enzyme immunoassay (EIA), dan western blot. Tes
serologi ini merupakan dasar diagnosis awal dan utama HIV, mendeteksi
adanya antibodi yang spesifik dibentuk oleh tubuh sebagai respon antigen-
antibodi. Rapid test merupakan tes cepat untuk mendeteksi antibodi terhadap
HIV dalam waktu singkat, kurang dari 20 menit, tes immunoassay untuk
mendeteksi antibodi HIV-1 dan HIV-2, wetersn blot umum digunakan
sebagai tes antibodi konfirmasi untuk kasus sulit (Muntamah, 2020).
Tes serologi antibodi sebaiknya dilakukan setelah melewati masa jendela
infeksi HIV, yakni menurut WHO dan Permeknkes RI adalah 2 minggu – 3
bulan sejak perilaku beresiko atau terpapar HIV (masa jendela merupakan
masa yang dibutuhkan oleh tubuh untuk membentuk antibodi terhadap HIV
hingga dapatr terdeteksi oleh alat pemeriksaan) (Muntamah, 2020).
Pemeriksaan umumnya dilakukan dengan alat dan reagen dengan
spesifitas dan sensivitas yang tinggi, dan dengan alur penyaringan yang
dilakukan secara seksama, sehingga bila dilakukan sesuai prosedur,
kemungkinan terjadinya negatif atau positif palsu sangat rendah. Negatif
palsu dapat terjadi apabila pemeriksaan dilakukan sebelum masa jendela
beakhir atau pada saat kondsi imunokompromais. Positif palsu dapat terjadi
akibat antibodi tubuh terhadap antigen lain (non-HIV) terbaca sebagai
antibodi HIV (Muntamah, 2020).
Hasil umumnya dikenal sebagai reaktif (apabila terdapat reaksi antara
sampel darah dengan alat pemeriksaan, menandakan adanya antibodi HIV),
dan nonreaktif (tidak terdapat reaksi antara sampel darah dengan alat
pemeriksaan, menandakan tidak ditemukannya antibodi HIV), dan hanya
dapat ditentukan diagnosis positif atau nbegatif oleh dokter yang telah

12
memeriksa secara langsung/melayani VCT pada pasien tersebut (Muntamah,
2020).

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untk HIV berupa pemeriksaan baseline, antigen P24,
sel CD4 dan viral load. Pemeriksaan Baseline, pemeriksaan yang dilakukan
untuk mempelajari kondsi penderita yang baru saja terdeteksi mengidap HIV
dan melihat apakah mempunyai koinfeksi dari beberapa infeksi berikut
(Muntamah, 2020):
a. Tuberkulosis
b. Hepatitis (terutama B dan C)
c. Infeksi menular seksual lainnya
d. Pemeriksaan darah lengkap (hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit-
hitung jenis, leukosit, eritrosit, laju endap darah)
e. Fungsi hati (SGOT, SGPT)
f. Urinalisis
g. Profil Lipid

2.3 Tanda dan Gejala Pasien Dengan HIVAIDS


Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya
sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada
penderita penyakit lainnya (Rossella, 2013). Secara umum dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Rasa lelah dan lesu
2. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
3. Berat badan menurun secara drastis
4. Mencret (diare) dan kurang nafsu makan
5. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
6. Pembengkakan leher dan lipatan paha
7. Radang paru
8. Kanker kulit

13
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal
(Rossella, 2013)yaitu:

a) Manifestasi tumor
1. Sarkoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat
jarang menjadi sebab kematian primer.
2. Limfoma ganas Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang
saraf serta dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.
b) Manifestasi oportunistik
1. Manifestasi pada Paru
a. Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit
bernafas dalam dan demam.
b. Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paruparu
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30%
penyebab kematian pada AIDS.
c. Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d. Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat
menyebar ke organ lain di luar paru.
2. Manifestasi gastrointestinal Tidak ada nafsu makan, diare kronis,
penurunan berat badan >10% per bulan.
c) Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang
biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum
adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.

Manifestasi Klinis HIV /AIDS

14
Seseorang yang terinfeksi virus HIV, proses perjalanan penyakitnya dibagi
beberapa tahap (Muntamah, 2020), yaitu :
1. Transmisi virus Proses ini terjadi 2-6 minggu setelah seseorang terinfeksi
virus HIV.
2. Infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut)
Sebagian besar pasien yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala
infeksi seperti contohnya demam, nyeri otot, nyeri sendi dan rasa lemah.
Selain itu akan muncul kelainan mukokutan yaitu ruam kulit, dan ulkus di
mulut. Kemudian pembengkakan kelenjar limfa, gejala neurologi (nyeri
kepala, nyeri belakang kepala, fotophobia, dan depresi maupun gangguan
saluran cerna (anoreksia, nausea, diare, jamur dimulut). Gejala ini akan
muncul 2-6 minggu dan akan membaik dengan atau tanpa pengobatan.
3. Serokonversi
Pada tahap ini sering disebut tahap pertama gejala HIV, dimana gejala
akan muncul beberapa minggu setelah tubuh terinfeksi dengan
menunjukkan gejala seperti flu, sakit tenggorokan, diare, demam, muncul
peradangan berwarna merah disertai benjolan kecil disekitarnya, berat
badan turun, dan badan terasa lelah. Gejala ini akan berhenti dan infeksi
HIV tidak menunjukan gejala apapun selama beberapa tahun.
4. Infeksi kronik asimptomatik
Pada fase ini, seseorang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan
gejala selama rata-rata 8 tahun. Penderita akan tampak sehat, dapat
melakukan aktiftas normal, tetapi dapat menularkan penyakit HIV kepada
orang lain.
5. Infeksi kronik simptomatik
Di fase ini, akan muncul gejala-gejala pendahuluan seperti demam,
pembesaran kelenjar limfa yang kemudian diikuti infeksi oportunistik.
Dengan adanya infeksi oportunistik maka perjalanan penyakit telah
memasuki stadium Aids. Fase simptomatik berlangsung rata-rata 1,3 tahun
yang berakhir dengan kematian.
6. Aids (indikator sesuai dengan CDC 1993 atau jumlah CD4 kurang dari
200/mm3)

15
7. Infeksi HIV lanjut ditandai dengan jumlah CD4 kurang dari 50/mm3
Setelah terjadi infeksi HIV ada masa dimana pemeriksaan serologis
antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif, sementara virus
sebenarnya telah ada dalam jumlah banyak. Pada masa ini, yany disebut
window periode (periode jendela), orang yang telah terinfeksi ini sudah
dapat menularkan kepada orang lain walaupun pemeriksaan antibodi HIV
hasilnya negatif. Fase ini berlangsung selama 3-12 minggu.

2.4 Penatalaksaan Pasien Dengan HIV AIDS


Penyakit HIV/Aids masih merupakan masalah Kesehatan global, dan
demikian pula di Indonesia. Masalah yang berkemban sehubungan dengan
penyakit infeksi HIV/Aids adalah angka kejadian dan kematian yang masih
tinggi. Banyak faktor yang turut berpengaruh dalam menyebabkan peningkatan
angka kesakitan dan kematian HIV/Aids, yaitu faktor eksternal dan internal
yakni kemungkinan adalah penatalaksanaan pasien HIV/Aids yang belum
optima. Selama ini penatalaksaan hanya dikonsentrasikan pada terapi umum
dan terapi khusus dengan mengandalkan Antiretroviral Therapy (ART).
Pengaruh radikal bebas dan proteksi mitokondria hingga kini belum
mendapatka perhatian secara serius. Sementara kita ketahui bahwa penderita
HIV/Aids terdapat peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) yang potensial
memndorong terjadinya progresitifitas ke arah tingkat penyakit yang lebih
berat (Muntamah, 2020).
Sehingga selain pemberian ART dengan Highly Active Antiretroviral
Therapy (HAART), dukungan nutrisi berlandaskan konsep imunonutrien perlu
diperhatikan di dalam penatalaksanaan penderita HIV dan Aids. Penentuan
stadium klinis WHO maupun CDC sangat penting untuk menjadi landasan
pemberian ART (Muntamah, 2020).

16
Gambar Alur Penatalaksanaan Pasien HIV

Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk kelayanan


HIV untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium
klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi (Muntamah, 2020). Hal
tersebut dilakukan untuk :

17
1. Menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi
antiretroviral;
2. Menilai status supresi imun pasien;
3. Menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi dan
4. Menentukan panduan obar ART yang sesuai.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan Aids (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) saat ini menjadi masalah darurat global, meskipun kita
sadari bersama bahwa upaya baik itu promotif ataupun preventif yang
dilakukan pemerintah sudah demikian besar. Secara imunologis, sel T yang
terdiri atas limfosit T-helper, disebut limfosit CD4 akan mengalami perubahan
baik secara kualitas maupun kuantitas, virus HIV yang telah berhasil masuk
dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit,
makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit
pada kelenjer limfe, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit.
Tidak ada gejala spesifik pada infeksi HIV, gejala ringan mungkin muncul
pada masa serokonversi berupa flu-like syndrome, dan pada kondisi yang lebih
berat dapat ditemukan tanda-tanda infeksi oportunistik (Muntamah, 2020).
Pemeriksaan diagnostik untuk HIV berupa tes serologi antibodi yang dapat
dilakukan menggunakan rapid test, chemiluminescent microparticle
immunoassay (CMIA), enzyme immunoassay (EIA), dan western blot. Tes
serologi ini merupakan dasar diagnosis awal dan utama HIV, mendeteksi
adanya antibodi yang spesifik dibentuk oleh tubuh sebagai respon antigen-
antibodi. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk
kelayanan HIV untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi
penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi
(Muntamah, 2020)
3.2 Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat bersifat membangun bagi
pembaca pada umumnya. Dan penulis juga menyadari makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
dibutuhkan untuk menyempurnakan makalah ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

Muntamah, U. (2020). Buku Referensi Untuk Perawat “Pedoman Perawatan


Paliatif Pada Orang Dengan HIV/AID Di Rumah Sakit.” Yama Pustaka.

Nursalam, & Kurniawati, N. D. (2007). Model Asuhan Keperawatan pada Pasien


HIV/AIDS. In Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS.
Salemba Medika.

Rossella, M. (2013). Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Harapan Hidup


5 Tahun Pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Universitas
Diponegoro.

20

Anda mungkin juga menyukai