Anda di halaman 1dari 9

UJIAN AKHIR SEMESTER

ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN


“Analisis Konsep Segitiga Kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional”

Disusun Oleh : Syntia Melantika, SKM


NIM : 2005018
Dosen Pembimbing : Muhammad Hanafi, SKM., M.Kes

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


STIKES HANG TUAH PEKANBARU
TAHUN AJARAN 2020/2021
ANALISIS SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL DENGAN
PENDEKATAN SEGITIGA KEBIJAKAN KESEHATAN

A. Segitiga Kebijakan Kesehatan


Merupakan segala sesuatu untuk mempengaruhi factor-faktor penentu di sector kesehatan
agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Kebijakan kesehatan menjadi suatu
yang penting disebabkan karena sector kesehatan merupakan bagian penting perekonomian
diberbagai negara, kesehatan mempunyai posisi yang lebih istimewa dibanding dengan masalah
sosial yang lainnya, kesehatan dapat dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada
kaitannya dengan pelayanan kesehatan misalnya (kemiskinan, polusi) dan kebijakan kesehatan
juga berpengaruh dalam memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan. Disebabkan
pentingnya suatu kebijakan kesehatan, sehingga dianggap perlu untuk dilakukan Analisa
kebijakan yang bertujuan untuk memperoleh penjelasan mengenai apa dan bagaimana hasil
(outcome) kebijakan akan dicapai, dan piranti untuk membuat model kebijakan dimasa depan
dan mengimplementasikan dengan lebih efektif.
Analisa kebijakan kesehatan salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan segitiga
kebijakan kesehatan. Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sudah
sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks. Segitiga kebijakan ini
menggambarkan adanya empat factor yang seluruhnya harus dipertimbangkan dalam suatu
kebijakan kesehatan. Empat factor tersebut yaitu konteks, actor, proses dan isi. Para pelaku
dapat dipengaruhi (sebagai seorang individua tau seorang anggota suatu kelompok atau
organisasi) dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja; konteks dipengaruhi oleh
banyak factor, seperti: ketidak stabilan atau ideologi, dalam hal sejarah dan budaya; serta proses
penyusunan kebijakan bagaimana isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan, dan bagaimana
isu tersebut dapat berharga dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam struktur
kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri. Dan isi dari kebijakan menunjukkan Sebagian
atau seluruh bagian ini. Segitiga kebijakan kesehatan dapat bersifat (i) retrospektif (meliputi
evaluasi dan monitoring kebijakan) dan (ii) prospektif (memberi pemikiran strategis, advokasi
dan lobi kebijakan).
Konteks

Aktor :
Individu
Kelompok
Organisasi
Konten Proses
Gambar : 1
Segitiga Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Kesehatan
Sumber : Walt & Gilson, 1994

Ada beberapa tujuan untuk melaksanakan suatu analisis dari kebijakan yaitu: 1) Untuk
dapat memahami proses kebijakan yang dikembangkan dan diimplementasi, 2) Untuk
mengetahui tujuan dan motivasi di balik kebijakan yang diimplementasi termasuk fokus pada
pendekatan pendapatan keluarga dan kemiskinan, 3) Untuk memahami cara kebijakan tersebut
berpengaruh terhadap area keberadaan pendapatan keluarga, dan 4) Untuk memahami area-area
yang potensial untuk diintervensi dalam proses kebijakan.

B. Kebijakan Kesehatan
Kebijakan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu proses atau serangkaian
tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh rakyat.
Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa kesehatan adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Oleh sebab itu Kebijakan Kesehatan
dapat didefinisikan sebagai proses tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak
dilaksanakan pemerintah yang mempunyai tujuan tercapainya keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan seluruh rakyat untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomi.
C. Kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). SJSN
diselenggarakan berdasarkan 3 (tiga) asas, yakni asas kemanusiaan, asas manfaat dan asas
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Asas kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan
terhadap martabat manusia. Asas manfaat merupakan asas yang bersifat operasional
menggambarkan pengelolaan yang efektif dan efisien. Asas keadilan merupakan asas yang
bersifat ideal. Ketiga asas tersebut dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan program dan
hak peserta.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan program Negara yang bertujuan
memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. SJSN
bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi
setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat
mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami
kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
SJSN diselenggarakan berdasarkan pada 9 (sembilan) prinsip:
1. Kegotong-royongan; prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya
jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai
dengan tingkat gaji, upah atau penghasilannya.
2. Nirlaba; prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan
dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta.
3. Keterbukaan; prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar dan jelas bagi
setiap peserta.
4. Kehati-hatian; prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib.
5. Akuntabilitas; prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan.
6. Portabilitas; prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah
pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
7. Kepesertaan bersifat wajib; prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta
jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.
8. Dana amanat; bahwa iuran dan pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk
digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial.
9. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial (DJS) dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta; bahwa hasil dividen
dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.

D. Pendekatan Segitiga Kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional


1. Aktor
Pelaksana SJSN terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), organisasi internasional, LSM
nasional dan internasional, kelompok penekan dan kelompok kepentingan, Lembaga-
lembaga bilateral, profesi dan lain-lain. Pelaku atau actor didalam kebijakan ini diantaranya
yaitu:
a. Pelaku yang terlibat dalam penyusunan kebijakan dan fungsi regulasi. Ada beragam
organisasi yang dapat digambarkan sebagai sector sosial dan kesehatan. Penyusunan
kebijakan sector kesehatan dan peraturan diselenggarakan oleh Kementerian Sosial, dan
Kementerian Kesehatan di tingkat nasional atau pemerintah pusat dan Dinas Sosial serta
Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang juga menjadi pelaksana
program
b. Pelaku pada fungsi keuangan ini dilakukan oleh pengelola keuangan BPJS
c. Pelaku pada fungsi penyediaan layanan. Beragam institusi dan perorangan menyediakan
layanan seperti: rumah sakit pemerintah dan swasta, puskesmas, klinik, praktek
perorangan.
2. Konteks
a. Faktor situasional
Sector sosial dan kesehatan di Indonesia pada dasarnya adalah system berbasis
pasar. Secara historis layanan sosial dan kesehatan didominasi oleh system keuangan out
of pocket (biaya sendiri). System jaminan sosial dan kesehatan yang dibiayai oleh
pemerintah baru diperkenalkan pada 1998, setelah krisis ekonomi.
b. Factor structural
Kebutuhan biaya pelayanan sosial dan kesehatan cenderung terus mengalami
kenaikan sehingga kemampuan daya beli masyarakat cenderung menurun. Hal ini
menyebabkan jika jatuh sakit penghasilannya akan habis untuk biaya perawatan
kesehatan dan terampas kesejahteraan minimum. Untuk itulah diperlukan system yang
menjamin masyarakat yang menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan
pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun., masyarakat miskin pada khususnya dan
seluruh masyarakat pada umumnya. Melalui system jaminan sosial nasional keterbatasan
khususnya akses kemampuan membayar akan dapat berkurang sehingga status sosial dan
kesehatan akan meningkat.
Untuk menjamin akses peduduk dengan keterbatasan tersebut, sejak tahun 1998
pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharan dan jaminan bagi penduduk
miskin. Krisis moneter yang terjadi pada tahu 1998 menjadikan sosial dan kesehatan
masyarakat sebagai sesuatu yang sangat mahal. Hal ini menyebabkan warga miskin
mengalami kesulitan untuk mengakses layanan sosial dan kesehatan. Program Jaring
Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) merupakan program terobosan dari
pemerintah untuk menolong rakyat miskin dari kesakitan.
c. Faktor budaya
d. Faktor internasional
- Status kesehatan penduduk Iindonesia dan perbandingannya dengan negara lain
menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2005
- Korelasi status kesehatan dengan kinerja system kesehatan khususnya pendanaan
kesehatan. Anggaran kesehatan seharusnya minimal 5% dari APBN
- Sekitar 10% rumah tangga termiskin menghabiskan 230% penghasilannya sebulan
untuk membiayai sekali rawat inap anggota keluarganya. Sementara keluarga 10%
terkaya hanya menghabiskan 120% penghasilan keluarga sebulan untuk membiayai
satu kali rawat inap anggota keluarganya.
3. Proses
a. Identifikasi masalah dan isu
System sosial dan kesehatan Indonesia harus memihak rakyat. Saat ini system
pembayaran jasa per layanan (fee for service) yang diterapkan Indonesia, meskipun
pelayanan tersebut disediakan di pelayanan public. Rakyat yang membayar lebih banyak
mendapat pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik mutunya, you get what you pay
for. Padahal, diseluruh dunia prinsip keadilan yang merata (setara) atau equity yang
digunakan adalah equity egalitarian, yang pada prinsipnya menjamin bahwa setiap
penduduk mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan hidupnya baik sosial atau
kesehatan, you get what you need, dan bukan sesuai kemampuannya membayar.
b. Perumusan kebijakan
- Keluarnya TAP MPR RI No. X/MPR/2001 menugaskan kepada Presiden RI untuk
membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.
- Tap MPR ini direalisasikan dengan dibentuknya Kelompok Kerja Sistem Jaminan
Sosial Nasional (Pokja SJSN) tahun 2001 oleh Wakil Presiden RI (Kepseswapres, No.
7 Tahun 2001, 21 Maret 2001), dengan tugas utama menyiapkan Naskah Akademik
(NA) SJSN dan konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) SJSN. Kepseswapres
tersebut diperbaharui dengan Keppres No. 20 Tahun 2002, tanggal 10 April 2002,
tentang pembentukan Tim SJSN dengan bentuk penugasan yang sama.
- Studi banding lokakarya, pembahasan informal dengan DPR RI, sosialisasi, dan
masukan dari masyarakat lainnya. Penyusunan NA SJSN merupakan langkah awal
dirintisnya penyususnan RUU SJSN.
- Naskah Akademik SJSN mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8
(delapan) kali dan naskah terakhir dihasilkan tertanggal 26 Januari 2004. NA SJSN
secara lengkap diterbitkan terpisah dan selanjutnya dituangkan dalam konsep RUU
SJSN. Perkembangan pembahasan sejak konsep awal RUU SJSN, 9 Februari 2003,
terdiri dari 11 (sebelas) bab dan 42 (empat puluh dua), hingga konsep terakhir, 14
Januari 2004 terdiri dari 12 (dua belas) bab dan 74 (tujuh puluh empat) pasal, yang
diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, setelah mengalami 52 (lima puluh dua)
kali perubahan dan penyempurnaan.
- Kemudian Pemerintah menyerahkan RUU SJSN yang terdiri dari 12 (dua belas) bab
dan 80 (delapan puluh) pasal kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari 2004.
- Selama pembahasan Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI, RUU SJSN
hingga diterbitkannya UU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Sehingga
dalam perjalanan nya, konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah
mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU
SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN
pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004, terdiri dari 9 bab dan 53 (lima puluh tiga) pasal.
Undang - Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN menggantikan program-
program jaminan sosial yang ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang
dinilai kurang berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada penggunanya, karena
jumlah pesertanya belum mencakup seluruh penduduk, jumlah nilai manfaat program
kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola manajemen program tersebut.
Undang - Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) telah ditindak lanjuti dengan ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan, Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.
c. Pelaksanaan kebijakan
d. Evaluasi

4. Isi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disebut BPJS Ketenagakerjaan dan
BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial dan kesehatan. Fasilitas kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik
promotive, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan atau Masyarakat. Pelayanan tingkat pertama adalah pelayanan
perorangan yang bersifat non spesialistik (primer). Penyelenggaraan jaminan meliputi:
a. Kepesertaan;
b. Iuran kepesertaan;
c. Penyelenggara pelayanan;
d. Kendali mutu dan kendali biaya; dan
e. Pelaporan dan utilization review.
Adapun esensi dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu :
1) Konsep SJSN merupakan upaya membuat platform yang sama bagi pegawai negeri,
pegawai swasta, dan pekerja di sector informal dalam menghadapi risiko sosial ekonomi
di masa depan. Undang – undang SJSN mengatur agar setiap penduduk memiliki jaminan
hari tua atau pension, termasuk sewaktu menderita disability ataupun jaminan bagi ahli
waris jika seseorang pencari nafkah meninggal dunia.
2) Dalam konsep SJSN mengubah status badan hukum Badan Penyelenggara yang ada
sekarang, PT. Taspen, PT. Asabri, PT. Askes dan PT. Jamsostek menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak bertujuan mencari laba untuk kas
Negara.
3) SJSN memastikan bahwa dana yang terkumpul dari iuran dan hasil pengembangannya
dikelola hanya untuk kepentingan peserta. Iuran, akumulasi iuran, dan hasil
pengembangannya adalah dana titipan peserta dan bukan pemerintah atau asset badan
penyelenggara.
4) SJSN memastikan agar pihak contributor atau pengiur atau tripartite (tenaga kerja,
majikan, dan pemerintah) memiliki kendali kebijakan tertinggi yang diwujudkan dalam
bentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang diwakili 2 orang serikat pekerja, 2
orang serikat pemberi pekerja, 5 orang wakil pemerintah, dan 6 orang wakil tokoh
masyarakat/ahli. Organ DJSN ini akan memastikan agar pengelolaan program jaminan
sosial steril dari pengaruh politik pemerintah.
5) Program jaminan harus berskala nasional untuk menjamin portabilitas dan seluruh
penduduk Indonesia. Jaminan harus portable, hal ini berarti tidak boleh hilang Ketika
berada di luar kota tempat tinggalnya.

Anda mungkin juga menyukai