Anda di halaman 1dari 43

SEJARAH MANAJEMEN PENDIDIKAN

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Pendidikan


Dosen pengampu :
Dr. Daeng Ayub, M.Pd
Yuka Martlisda, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 1 PGSD-2A-2020

Citra Charisma Putri (2005134923)


Dwi Librina suhardi (2005113481)
Reyka Renjani (2005111324)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU

Februari 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas berkat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
walupun masih banyak kekurangan di dalamnya. Makalah ini mambahas mengenai
“Sejarah Manajemen Pendidikan”.
Dalam pembuatan makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Daeng Ayub, M.Pd dan Ibu Yuka
Martlisda, S.Pd., M.Pd selaku dosen pengampu. Serta pihak-pihak lain yang turut
membantu.
Dengan keterbatasan pengalaman, keilmuan maupun pustaka yang ditinjau, kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sebagai pedoman di masa
mendatang.
Pekanbaru, Februari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Lembaran Judul……………………………………………………………............... i
Kata Pengantar……………………………………………………………................ ii
Daftar Isi…………………………………………………………………….............. iii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………................ 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………................... 4
1.3 Tujuan...…………………………………………............................... 4
1.4 Manfaat ………………………………………................................... 4

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Arti Pendidikan……………………………....................................... 5
2.2 Pendidikan Masyarakat Homogen……………….............................. 10
2.3 Pendidikan Masyarakat Heterogen ………………………………… 14
2.4 Pendidikan Demokratis ……………….............................................. 26

BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................…………………………….................. 37
3.2 Saran............................................................………………................ 37

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tiada suatu yang paling penting pada abad XXI sekarang di samping manajemen.
Kelangsungan hidup peradaban itu sendiri akan sangat tergantung atas kemampuan kita
dalam membina dan mengembangkan suatu filsafat manajemen yang mampu memecahkan
masalah-masalah masyarakat modern. Menurut Charles A. Berd Selanjutnya Charles & Mc.
“Dua orang yang bekerja sebagai suatu tim akan lebih berhasil jika dibandingkan dengan
tiga orang yang bekerja secara individu.” Pendapat tersebut menjelaskan bahwa manajemen
sebagai senjata ampuh untuk memecahkan berbagai permasalahan yang timbu dalam
masyarakat dan permasalahan tersebut akan lebih cepat diselesaikan dengan bekerja sama.
Era revolusi yang sedang kita hadapi membutuhkan pemimpin yang berkulitas.
Kualitas kepemimpinan dipercaya secara luas membuat perbedaan yang signifikan pada
lembaga pendidikan. Di berbagai belahan dunia, ada pengakuan bahwa sekolah
membutuhkan pemimpin dan manajer yang efektif jika ingin memberikan pendidikan yang
terbaik kepada para pelajar. Ketika ekonomi global mengalami resesi, pemerintah lebih
menyadari bahwa aset utama mereka adalah orang-orang yang kompetitif dan semakin
tergantung pada sebuah sistem pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja terampil. Hal
ini memerlukan guru-guru yang terlatih dan berkomitmen, dan pada gilirannya,
memerlukan kepemimpinan kepala sekolah yang sangat efektif dan dukungan lain manajer
senior dan menengah (Bush, in press).
Demikian pula pendidikan bagi aparatur negara membutuhkan manajemen pendidikan
yang dirancang dengan tepat, dikelola oleh sumber daya manusia yang kompeten dan
berintegritas, selain tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai. 
Bidang manajemen pendidikan adalah pluralis, dengan banyak kekurangan perspektif
dan kesepakatan yang tak terhindarkan mengenai definisinya. Manajemen pendidikan
memiliki sejarah yang panjang dalam proses perkembangannya. Sebelumnya, manajemen

1
pendidikan dikenal dengan istilah administrasi pendidikan. Meskipun terjadi perubahan
istilah pada administrasi dan manajemen dalam sektor pendidikan—yang selanjutnya
menjadi kepemimpinan pendidikan, tetapi proses perkembangan bidang kajian ini tidak
menyebar secara merata di berbagai Negara. Hasil studi Hallinger dan Chen (2015)
menyimpulkan bahwa ilmuwan Asia dalam mengkaji bidang manajemen dan
kepemimpinan pendidikan masih dalam tahap perkembangan awal. Selain itu, hasil studi
Pereira (2016) juga mengungkapkan bahwa kepemimpinan pendidikan Indonesia pada
sebuah penaksiran kritis masih dipahami pada tahap masa pertumbuhannya.
Adanya manajemen dalam bidang pendidikan memiliki tujuan dalam
implementasinya. Menurut Bush (2008) manajemen diarahkan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang sudah jelas. Sehingga, sebagai sebuah ilmu terapan, manajemen
pendidikan tidak terlepas dari fondasi keilmuan manajemen baik dalam hal teori dan
praktik untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Connolly, James, dan
Fertig (2017) menyimpulkan manajemen pendidikan menjalankan tanggung jawab untuk
fungsi yang tepat pada sebuah sistem dalam institusi pendidikan dimana yang lainnya
terlibat. Dengan kata lain, pelaksanaan tata kelola sistem dalam lembaga pendidikan sangat
berkaitan erat dengan fungsi manajemen yang dikontekstualisasikan sesuai dengan
kebutuhan pada bidang pendidikan.
Lahirnya bidang manajemen pendidikan beranjak dari perkembangan teori
administrasi pendidikan. Gunter (2004) menguraikan penamaan ‘administrasi pendidikan
(educational administration)’ digunakan pada tahun 1944-1974. Namun, ilmuwan telah
menempatkan kelahiran masa modern dalam administrasi pendidikan pada tahun 1950-an
dengan kemunculan teori pergerakan (Movement Theory) dalam administrasi pendidikan
(Hallinger & Kovačević, 2019). Merujuk pada Anderson dan Grinberg (1998), beberapa
dasawarsa yang lalu, sejumlah ilmuwan telah berusaha membentuk (frame) administrasi
pendidikan sebagai ilmu terkemuka (prominently science), keahlian (craft), politik
(politics), filsafat moral (moral philosophy), praktik kepedulian (caring practice), teknik
berdrama atau seni (dramaturgy), simbol pencapaian atraktif (symbol attractive

2
achievement) penyelesaian masalah (problem solving), dan kontrol ideologi (ideological
control).
Penekanan terhadap manajemen pendidikan berawal di Amerika Serikat pada abad
ke- 19 (Normore & Brooks, 2014). Sehingga, perubahan dari ‘administrasi pendidikan’
menjadi ‘manajemen pendidikan’ (educational management) terjadi selama tahun 1974–
1988 (Gunter, 2004). Perjalanan awal kelahiran manajemen pendidikan dikarakteristikkan
dengan kepercayaan yang hebat terhadap konsep dan praktik yang berasal dari kondisi
industri Amerika Serikat. Pada saat tersebut, manajemen pendidikan adalah sebagai sebuah
profesi dan selanjutnya sebagai sebuah bidang studi di Amerika Serikaaat (Oplatka, 2008).
Hal tersebut disebabkan karya Henri Fayol, pendiri teori dan prinsip-prinsip manajemen
(Golden Pryor & Taneja, 2010), pada tahun 1947 telah memberikan pengaruh utama (Bush,
2010). Pada akhir perempat abad kesembilan belas tersebut awal manajemen pendidikan
sebagai profesi dan kemudian menjadi sebuah bidang di Amerika Serikat (Oplatka,
2008:4). Karya Fayol tentang “Pergerakan Ilmu Manajemen (Scientific Management
Movement)” menjadi topik perdebatan hangat oleh orang-orang yang menantang
pendekatan “manajerial” pada pendidikan (Bush, 2010). Pencarian efisiensi dalam
pendidikan pada masa itu mendorong para pendidik Amerika untuk berpartisipasi dalam
program persiapan administrator, yang pada beberapa tahun berikutnya mengarah pada
pelembagaan program-program manajemen pendidikan dan bagian-bagian akademik
manajemen pendidikan (Oplatka, 2008). Dalam periode yang sangat singkat semenjak
permulaan lahirnya pada tahun 1960-an manajemen pendidikan telah menjadi disiplin ilmu
(Bush, 1999). Dari Amerika Serikat, bidang manajemen pendidikan dieksplorasi hingga ke
berbagai Negara, termasuk Britania Raya (Oplatka, 2008).
Terakhir, pada tahun 1988 sampai selanjutnya, istilah manajemen pendidikan berubah
menjadi kepemimpinan kinerja (performance leadership) (Gunter, 2004). Pada awal abad
ke-20 minat pada kepemimpinan dalam bidang pendidikan mulai terkumpul ketika teori
ilmu manajemen (Scientific Management Theory) di perkenalkan dengan maksud untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil dalam bidang bisnis (Gumus, Bellibas, Esen, &
Gumus, 2016). Pada awal abad ke-21 terjadi peningkatan minat pada bidang kepemimpinan

3
pendidikan dikarenakan adanya kepercayaan secara luas bahwa kualitas kepemimpinan
membuat sebuah perbedaan yang signifikan pada sekolah dan prestasi siswa (Bush, 2007a).
Dengan kata lain, istilah untuk mendefenisikan administrasi pendidikan telah berubah dari
“administrasi pendidikan” ke “manajemen pendidikan”, dan saat ini menjadi
“kepemimpinan pendidikan” (Asuga, Scevak, & Eacott, 2016; Eacott, 2013; Normore &
Brooks, 2014).
Dengan demikian berdasarkan uraian diatas, perlu dibahas lebih mendalam tentang
“Sejarah Manajemen Pendidikan”.

1.2 Rumusan Masalah


A. Apa arti pendidikan?
B. Bagaimana pendidikan pada masyarakat homogen?
C. Bagaimana pendidikan pada masyarakat heterogen?
D. Bagaiman pendidikan yang demokratis itu ?

1.3 Tujuan
A. Mendeskripsikan arti pendidikan.
B. Mendeskripsikan pendidikan masyarakat homogen.
C. Mendeskripsikan pendidikan masyarakat heterogen.
D. Mendeskripsikan pendidikan demokratis.

1.4 Manfaat
Diharapkan makalah ini menambah wawasan dalam keilmuan, khususnya terkait
dengan “Sejarah Manajemen Pendidikan”.

4
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Arti Pendidikan
Manusia tidak bisa lepas dari pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu sektor
penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta
didik melalui proses pembelajaran. Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa peserta didik adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Dengan demikian pendidikan adalah segala daya upaya dan semua usaha untuk
membuat masyarakat dapat mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak
mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga
negara.
Bendara Raden Tumenggung Harya Suwardi Soerjaningrat yang lebih dikenal
dengan nama Ki Hadjar Dewantara (1961: 2) mengatakan dalam bukunya bahwa usaha-
usaha pendidikan (tari) ditujukan pada (a) halusnya budi, (b) cerdasnya otak dan (c)
sehatnya badan. Ketiga usaha itu akan menjadikan lengkap dan laras bagi manusia. Dengan
demikian pendidikan merupakan usaha untuk membentuk manusia yang utuh lahir dan
batin, yaitu cerdas, sehat, dan berbudi pekerti luhur. Ki Hadjar Dewantara juga menegaskan
bahwa pendidik harus memiliki konsep 3 kesatuan sikap yang utuh, yakni ing ngarsa sung

5
tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Pengertiannya, bahwa sebagai
pendidik harus mampu menjadi tauladan bagi peserta didiknya, pendidik juga mampu
menjaga keseimbangan, juga dapat mendorong, dan memberikan motivasi bagi peserta
didiknya. Trilogi pendidikan ini diserap sebagai konsep “Kepemimpinan Pancasila”.
Secara formal pendidikan itu dilaksanakan sejak usia dini sampai perguruan tinggi.
Adapun secara hakiki pendidikan dilakukan seumur hidup sejak lahir hingga dewasa.
Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai positif akan tepat dimulai ketika anak usia dini.
Dengan demikian pendidikan bagi peserta didik yang masih kecil merupakan landasan yang
tepat sebelum masuk pada pendidikan yang lebih tinggi.
Anak yang baru lahir tak berdaya sama sekali. Anak itu takkan dapat hidup bila
ibunya tak segera menyusui dan memeliharanya. Dalam bulan-bulan pertama bayi itu hanya
membutuhkan ibunya. Ia hidup dalam lingkungan yang sekecil-kecilnya dan semesra-
mesranya: lingkungan ibu dan anak. Setelah anak itu bertambah besar, ia memandang agak
jauh ke lingkungan sekitarnya dan mulailah ia berhubungan dengan ayahnya, kakak-
kakaknya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Di samping menyusu, mulailah ia
sekarang mendapat pendidikan. Ia mulai belajar dari para anggota keluarga untuk
mengucapkan kata-kata dan belajar melangkah. Barangkali ia mendapat teguran yang
pertama kali dari kakaknya yang turut mengasuhnya, bila ibu terlalu sibuk.
Demikianlah anak kecil itu makin lama makin luas lingkungan hidupnya, yakni
lingkungan batin.
Di situ ia belajar bertingkah laku sebagaimana pantasnya dalam hidup bersama
dengan orang lain. Ia belajar menyesuaikan diri dengan orang lain dan menghormati
kepentingan orang lain. Ia belajar berbuat seperti orang lain: ia meniru kelakuan para
anggota keluarga. Maka cukuplah umurnya untuk dipersiapkan untuk kehidupan dalam
lingkungan hidup yang terbesar: lingkungan masyarakat.
Dalam masyarakat yang sederhana pendidikan anak laki-laki dijalankan oleh ayah
dan pendidikan anak perempuan oleh ibu. Dalam masyarakat yang lebih berbelit-belit
sekolahlah yang menjalankan sebagian besar tugas itu. Anak itu mendapat pendidikan dan
pengajaran, hingga ia akhirnya dapat berdiri sendiri.

6
Dalam masyarakat yang sederhana tugas itu sebagian besar telah selesai sesudah
sepuluh tahun, karena dalam masyarakat itu anak-anak yang berumur 10 tahun, dalam
banyak hal telah turut serta dengan kehidupan orang dewasa. Tetapi dalam masyarakat
yang lebih besar dan lebih modern tugas itu berlangsung lebih lama. Dalam masyarakat itu
seorang pemuda atau pemudi kerap kali baru dapat mencari nafkah sendiri dengan hasil
baik sesudah 25 tahun.
Walaupun hal itu berbeda-beda dalam pelbagai masyarakat, namun anak itu harus
selalu mulai dari keadaan tak berdaya sama sekali sampai ia sanggup berdiri sendiri. Hal itu
senantiasa berlangsung di bawah asuhan orang tua. Tanpa asuhan, anak itu akan gagal, baik
dalam bidang jasmani maupun rohani. Dengan demikian:
 Setiap orang dalam masa mudanya memerlukan pendidikan dan pengajaran.
 Memelihara anak sampai dewasa adalah tugas yang sewajarnya bagi orang tua.
Ada yang mengatakan, “manusia itu makhluk yang hidup berkelompok" (gregarious).
Yang pasti ialah bahwa manusia itu dari dahulu sampai sekarang hidup bersama-sama
dalam kelompok kecil ataupun besar. Sebabnya mudah dipahami: bukankah manusia itu
seorang diri terlalu lemah untuk mempertahankan diri terhadap kekuatan-kekuatan alam
yang menakutkan dan terhadap binatang-binatang liar yang ada di sekelilingnya?
Maka, hanya dengan bersama-sama itu manusia dapat melakukan perlawanan. Karena
itu, mereka harus senantiasa tinggal bersama dan saling membantu dalam perjuangan
hidup. Masing-masing harus tahu apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak, agar
mereka dapat saling melindungi. Jadi harus ada peraturan-peraturan yang tetap, yang harus
ditaati oleh setiap orang. Aturan-aturan yang dibuat oleh mereka secara bersama-sama.
Aturan-aturan itu membatasi kebebasan pribadi semua peserta, tetapi aturan-aturan itu perlu
untuk mempertahankan keseluruhan.
Kelompok manusia yang tunduk kepada aturan-aturan yang sama dan mengakui
kekuasaannya, merupakan suatu masyarakat. Masyarakat- masyarakat yang sekecil-
kecilnya, jadi yang selemah-lemahnya, dengan sendirinya membutuhkan aturan-aturan

7
yang sekeras-kerasnya dan juga menuntut hukuman seberat-beratnya terhadap pelanggaran
aturan-aturan itu.
Tentu saja aturan-aturan itu harus diajarkan dengan seksama kepada anak-anak. Dengan
demikian, dapatlah kita ambil kesimpulan seperti berikut:
 Dalam tiap-tiap masyarakat, betapapun kecil dan sederhana, anak-anak diberi
pendidikan dan pengajaran.
 Pendidikan dan pengajaran merupakan unsur-unsur masyarakat.
Seorang nelayan harus mengajar anaknya menangkap ikan dan anak seorang pemburu
harus tahu bagaimana caranya menangkap binatang. Mereka harus belajar, bagaimana
caranya bertingkah laku terhadap orang lain, bagaimana caranya mereka dapat saling
melindungi, supaya kelompok mereka dapat hidup terus. Mereka harus mengetahui apa
yang harus dipercaya tentang kekuasaan-kekuasaan luhur dan bagaimana cara meminta
kemurahan hatinya untuk menolong manusia dalam perjuangan mencari makan sehari-hari.
Masyarakat yang tidak mengajarkan segala hal itu kepada anak-anak, pasti segera akan
runtuh. Jika demikian, maka segala pengetahuan dan pengalaman yang dikumpulkan turun-
temurun selama berabad-abad akan lenyap dalam beberapa tahun.
Pengalaman dan pengetahuan itu tidak lenyap, sebab anak-anak mendapat pengajaran
dan pendidikan, sehingga mereka memperoleh suatu warisan yang sangat berharga, yang
kelak akan diteruskannya pula kepada generasi baru.
Jadi sekarang nilai pengajaran dan pendidikan itu dapat kita tentukan lagi lebih lanjut
dan kita katakan:
 Pendidikan dan pengajaran adalah usaha-usaha untuk mengembangkan masyarakat.
Pendidikan dan pengajaran itu ialah usaha-usaha untuk memungkinkan masyarakat
hidup terus dan berkembang lebih lanjut, baik dalam bidang kebudayaan maupun
kebendaan. Dalam lapangan kebudayaan, karena anak-anak mendapat pendidikan tentang
cara hidup orang-orang tua. Dalam masyarakat sederhana dan belum kenal tulis-menulis,
orang tua mengajarkan kepada anaknya apa yang telah dipelajari dari orang tua mereka
dengan jalan bercerita. Segala yang dipelajari anggota-anggota kelompok itu dulu, segala

8
pengalaman dan pengetahuan orang-orang itu, diteruskan kepada angkatan muda secara
lisan. Tetapi anak-anak bukan semata-mata diberi pendidikan tentang adat istiadat belaka,
tetapi mereka diberi juga pengajaran tentang cara bekerja, berburu dan menangkap ikan,
bertani dan beternak. Karena pendidikan dan pengajaran itu ditujukan juga pertama-tama
kepada kesejahteraan materiil kelompok itu. Anak- anak harus belajar melakukan apa yang
dulu dilakukan oleh orang-orang tua, supaya kelompok itu dapat terus berdiri. Jadi melihat
masyarakat yang kecil dan sederhana itu, dapatlah kita katakan:
 Cerita-cerita yang dilisankan turun-temurun tentang adat istiadat, pekerjaan dan
agama merupakan satu-satunya bahan pendidikan yang utama bagi anak-anak.
Dalam cerita-cerita lisan itu tersimpul adat dan agama, cara bekerja dan cara hidup
kelompok itu. Cerita-cerita itu meliputi segala hal yang patut diketahui oleh orang-orang
muda. Tidak heran kalau cerita turun- temurun itu dianggap sebagai sesuatu yang suci.
Sejarah, agama, adat, bahkan juga cara menangkap ikan dan berburu tidak hanya dipandang
sebagai hasil pekerjaan manusia, tetapi juga sebagai hasil yang datang dari Tuhan. Orang
itu percaya, bahwa nenek moyang mereka adalah dewa-dewa dan roh-roh yang
menyebabkan lautan didiami oleh pelbagai ikan, dan hutan dihuni oleh binatang-binatang
liar. Mereka percaya akan roh-roh jahat dan baik yang mendampingi manusia dalam
kehidupannya sehari- hari. Mereka merasa takut terhadap kekuasaan yang dianggap "luhur"
itu. Menyenangkan hati dewa-dewa dengan pengorbanan dan pemujaan adalah kewajiban
manusia yang utama dan paling luhur. Dengan demikian, anak-anak perlu diberi pengajaran
persiapan tentang upacara-upacara dan tentang perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan
untuk memikat hati dewa-dewa dan tentang perbuatan-perbuatan yang harus dijauhi untuk
menghindari kemurkaannya. Orang-orang tua telah paham akan hal ini, tetapi anak-anak
masih harus diberi pengajaran.
Setelah mereka tahu, bagaimana caranya melakukan pengorbanan dan pemujaan dan
mengucapkan mantera-mantera pada waktunya, setelah mereka paham akan sejarah suci
kelompok mereka dan dapat mengulangnya tanpa adanya kesalahan, setelah mereka

9
membuktikan kecakapan mereka dalam hal berburu dan menangkap ikan, barulah mereka
dapat dinyatakan dewasa.
Pelantikan anak menjadi dewasa merupakan upacara resmi yang dilakukan dengan amat
sungguh-sungguh. Apabila kita perhatikan masyarakat kita dewasa ini, yang telah jauh
lebih maju, tampaklah bahwa pendidikan dalam masyarakat juga mempunyai segi
kebudayaan dan kebendaan. Segi kebudayaan terutama dikemukakan pada pendidikan, segi
kebendaan pada pengajaran. Dengan demikian:
 Sejarah, agama, dan pengetahuan teknik merupakan tiga sumber pendidikan dan
pengajaran.
Jadi pada dasarnya perubahan-perubahan tidak begitu banyak. Tetapi dalam praktik
bedanya banyak benar. Kita memandang masa lampau, sejarah, arti dan nilai adat istiadat
kita dengan cara yang lain. Pendirian kita tentang agama berubah sama sekali. Pengetahuan
kita tentang teknik telah demikian banyak, sehingga anak-anak kita memerlukan waktu
bertahun-tahun untuk memiliki sebagian kecil saja dari pengetahuan itu. Pada akhir
pendidikan tidak dilakukan lagi di negeri kita pelantikan yang mengharuskan anak laki-laki
membuktikan kedewasaannya, tetapi diadakan ujian yang menyatakan dapat tidaknya anak-
anak muda menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Masyarakat itu semakin tumbuh dan
bersamaan dengan itu turut pula berkembang pendidikan dan pengajaran. Ini sudah
semestinya, karena pendidikan dan pengajaran itu merupakan unsur-unsur masyarakat.

2.2 Pendidikan Masyarakat Homogen


Salah satu gejala yang paling nyata dalam masyarakat yang kita kenal, ialah
ketidaksamaan dalam lapangan sosial. Dalam masyarakat kita dapati orang-orang miskin,
“golongan menengah dan hartawan, kaum buruh dan kaum pemodal, saudagar dan kaum
tani. Banyak sekali ragamnya. Masyarakat itu merupakan masyarakat serbaneka
(heterogen), yang terbagi atas golongan dan tingkat atau lapisan-lapisan. Tetapi apabila kita
berusaha benar-benar mencarinya, dapat juga kita temukan di sana-sini masyarakat-
masyarakat kecil di daerah-daerah terpencil di dunia ini, yang lain keadaannya, setidak-

10
tidaknya yang belum lama berselang masih lain. Dalam masyarakat-masyarakat itu tidak
kita dapati tingkatan dan kelas-kelas sosial. Masyarakat homogen seperti itu di zaman
sekarang sudah sangat langka, karena sekarang ini orang Eskimo pun telah makan daging
kalengan, bangsa Indian menulis dengan pulpen dan bangsa Maori sering pergi nonton
bioskop.

2.1.1 Pendidikan Masyarakat Nelayan


Kepulauan Gilbert terletak di tengah Samudera Pasifik, jauh dari daratan.
Kepulauan itu terdiri dari pulau-pulau karang, dikelilingi Lautan Teduh yang amat luas.
Bangsa Inggris pernah berkuasa di sana karena kepulauan itu menghasilkan fosfat, yang
dipergunakan sebagai pupuk buatan.
Konon kabarnya, sebelum ada orang Inggris di sana, masyarakat tersebut sangat
sederhana, dusun-dusun tidak banyak dan semuanya terletak di tepi laut, karena semua
penduduk kepulauan Gilbert itu telah berabad-abad menjadi nelayan. Dalam masyarakat itu
semuanya melakukan pekerjaan yang sama. Tak ada orang-kota dan orang-kampung, tak
ada tukang-tukang dan para pedagang, yang ada hanyalah nelayan. Nelayan-nelayan itu
mempunyai barang-barang yang sama: alat penangkap ikan dan perahu. Dan lautan luas,
dipunyai bersama, bukan milik perorangan.
Penduduk kepulauan itu semuanya mempunyai kedudukan yang sama dalam
masyarakat: tak ada tingkat tinggi-rendah dan tak ada orang-orang yang berkuasa, kecuali
seorang yang telah tua, yang dipilih oleh semua penduduk sebagai pemimpin rapat karena
kebijaksanaannya. Rapat sering kali diadakan, karena dalam masyarakat yang kecil pun
senantiasa terdapat hal-hal yang harus dirundingkan bersama-sama. Lagipula, rapat itu
merupakan selingan yang sangat disukai oleh penduduk dalam kehidupan mereka yang
merata dan tak ada kegiatan selingan lain, apalagi jika angin muson membadai dan
menyulitkan penangkapan ikan.
Dalam rapat (kabowi) itu tiap penduduk laki-laki ingin tampil ke muka untuk
mengucapkan pidato yang bagus, yang akan disambut dengan gembira oleh teman-teman
sedusun. Kadang-kadang rapat itu malah merupakan tempat perlombaan pidato. Pembicara

11
yang terpandai akan menjadi buah bibir penduduk dusun, meskipun sering kali pendapatnya
itu salah. Demikianlah, “kabowi" itu suatu kesenangan dalam lapangan kebudayaan bagi
penduduk kepulauan itu.
Selanjutnya, penduduk kepulauan itu semuanya mempunyai tradisi yang sama dan
kepercayaan yang sama akan dewa-dewa dan roh-roh yang jahat dan yang baik. Namun
demikian, terdapat juga satu ketidaksetaraan yang nyata sekali dalam masyarakat homogen
itu: dalam "kabowi" itu hanya hadir kaum lelaki saja. Kaum wanita tidak turut serta.
Mereka tinggal di rumah. Mereka itu tidak ikut pula menangkap ikan dan mengadakan
pelayaran yang sukar dengan perahu kecil melalui celah-celah yang sempit di antara batu-
batu karang, tempat ombak memecah berbuih-buih. Hanya kaum lelaki yang pergi
menangkap ikan dan berpidato dalam rapat-rapat dan karena itu hanya anak laki-laki yang
mendapat pendidikan untuk menjadi nelayan dan ahli pidato di kepulauan Gilbert. Karena
seorang ahli pidato yang baik harus mempunyai pengetauan yang dalam tentang adat dan
mantera-mantera yang bersangkutan dengan roh-roh, dewa-dewa dan nenek moyang, maka
anak-anak lelaki sajalah yang mendapat pengajaran dalam hal itu. Mereka harus paham
akan adat dan agama dan mereka harus belajar cara sebaik-baiknya menangkap berbagai
jenis ikan. Sekolah-sekolah untuk mengajar hal-hal itu tidak ada. Satu-satunya guru adalah
ayah dan praktik. Sama halnya dengan pendidikan anak-anak perempuan oleh ibu dan
praktik agar menjadi pengurus rumah tangga yang baik.
Dari uraian ini dapat diambil kesimpulan:
 Pendidikan dan pengajaran dalam masyarakat yang sederhana itu sesuai dengan
struktur masyarakatnya.
 Dalam masyarakat yang sederhana dan “homogen" dapat kita lihat dengan jelas dua
golongan: lelaki dan perempuan.
Pekerjaan kedua golongan itu berbeda, demikian pula pendidikannya. Demikian halnya
pada bangsa nelayan yang sederhana dan juga pada bangsa yang hidup dari berburu. Tetapi
pada bangsa itupun di zaman modern telah banyak perubahan.

12
2.1.2 Pendidikan Masyarakat Berburu
Ilmu pendidikan bangsa Indian sejak seratus tahun yang lampau tidak begitu asing
bagi mereka yang membaca buku-buku tentang Indian. Anak Indian-hanya anak laki-laki
yang mendapat pendidikan "vak" yang amat baik dalam hal menunggang kuda, melepar
jerat (lasso), menyelinap dan kecakapan-kecakapan lain yang pada waktu itu masih
diperlukan dalam usaha perburuan bangsa Indian. Sifat-sifat seperti keberanian, kecerdikan,
dan ketekunan sangat dihargai. Orang Indian belajar menahan rasa sakit dengan tabah,
tanpa mengerutkan mukanya sedikitpun jua.
Penguasaan jasmani, tetapi juga penguasaan rohani merupakan kebajikan yang
penting dan orang yang dapat mengucapkan pidato dalam pow-pow dengan tegas serta
mengeluarkan pendapat-pendapat yang bijaksana tanpa meninggikan diri dijunjung tinggi.
Nelayan-nelayan di kepulauan Lautan Teduh dan orang-orang Indian di padang-
padang rumput yang luas di Amerika memberi anak-anak lelaki mereka nama-nama yang
menyatakan keinginan akan kehebatan seperti tangkas mempergunakan tombak, cepat
seperti angin, berani seperti burung rajawali. Demikian pula halnya dengan bangsa Jerman
dahulu yang memberi anak-anak lelaki mereka dengan nama Gerhard (tangkas
mempergunakan tombak), Hendrik (berkuasa di dalam rumah), dan sebagainya. Bukankah
kehidupan suku bangsa itu bergantung kepada keberanian lelaki dan ketangkasan mereka
berburu dan menangkap ikan? Tak ada satu makian yang lebih hina bagi pemuda bangsa
Indian selain perkataan "squaw" (perempuan).
Istri-istri dan anak-anak perempuan nelayan dan pemburu itu sebenarnya tidak
duduk diam saja. Pekerjaan mereka tidak sedikit. Tetapi yang mempertahankan hidup suku
bangsa itu bukan pekerjaan rumah tangga itu. Dipandang dari perspektif ekonomi, kaum
lelaki jauh lebih penting daripada kaum perempuan dan karena itu anak-anak lelakilah yang
terutama harus mendapat pendidikan dan pengajaran. Karena mereka sangat dibutuhkan
dalam lapangan ekonomi dan karena mereka mendapat pendidikan dan pengajaran, maka
kaum lelaki jauh lebih berkuasa dari kaum ibu dan anak-anak perempuan. Kerap kali kaum
lelaki diberi hak dan kaum perempuan kewajiban.
Apa yang terangkum di sini adalah:

13
 Pendidikan dan pengajaran pertama-tama ditujukan kepada golongan yang paling
berkuasa dalam masyarakat.

2.3 Pendidikan Masyarakat Heterogen

2.3.1 Pendidikan Masyarakat Peternak


Banyak tanah di Afrika terlalu kering untuk dipergunakan sebagai tanah pertanian
yang dapat memberi hasil yang memuaskan. Tetapi tanah itu cukup ditumbuhi untuk
memelihara sejumlah besar ternak. Karena itu, orang-orang Masai di dekat Kenya dan
orang-orang Zulu yang menghuni tanah lebih ke selatan, setengah abad yang lampau masih
merupakan peternak-peternak yang sejati. Jumlah ternak mereka tidak sama. Ada peternak
yang tidak lebih dari beberapa ekor hewan yang kurus kering, tetapi ada pula yang menjadi
“milyarder" ternak, yang tak dapat mengatakan dengan tepat berapa ekorkah jumlah ternak
semuanya.
Karena kedua kenyataan itu susunan masyarakat mereka berlainan sekali dengan
masyarakat homogen pada pemburu dan nelayan yang tidak mempunyai milik itu. Pada
peternak ada milik dan di samping itu terdapat pula perbedaan milik. Yang pertama
menentukan tindakan peternak itu keluar dan yang kedua menentukan susunan masyarakat
mereka. Orang yang mempunyai milik ingin mempertahankannya dan karena itu ia akan
membela miliknya itu terhadap serobotan dari luar. Tidak mengherankan bahwa suku
Masai dan suku Zulu dari dulu terkenal sebagai suku-suku yang berani berperang. Semua
anak lelaki suku Masai dan Zulu itu bertahun- tahun lamanya diberi pendidikan ketentaraan
dan dengan demikian diajar tunduk kepada disiplin yang amat keras.
Tetapi tentara tanpa orang-orang yang memimpinnya tentu tak mungkin. Siapakah
yang harus dijadikan panglima-panglima tentara? Tentu saja orang-orang yang memiliki
ternak yang terbanyak. Orang-orang yang paling kaya itu dengan sendirinya pula menjadi
kepala-kepala suku dan kekuasaan mereka tentu jauh lebih besar daripada kekuasaan orang
tua bijaksana yang memimpin “kabowi" di kepulauan Gilbert. Mereka bukan saja

14
mengepalai tentara, tetapi juga mempunyai ternak-ternak yang terbanyak. Kedudukan
mereka memberi kesempatan sepenuhnya untuk memperbesar kekuasaan dan kekayaan
mereka. Demikianlah, mereka itu menjadi raja-raja, yang sering lalim dan berkuasa
menentukan hidup-mati anak buahnya. Mereka raja-raja yang amat berkuasa, yang terutama
berusaha mencari keuntungan bagi diri sendiri dan kaum kerabatnya.
Dalam masyarakat ini perbedaan kedudukan bukan saja terdapat antar kaum lelaki
dan perempuan, tetapi juga antara kaum bangsawan di dalam tentara yaitu raja, kaum
kerabat serta sahabat-sahabatnya– dengan rakyat selebihnya.
Kerap kali pula raja itu menjadi pemimpin "agama" yang tertinggi. Ada kalanya
fungsi itu diserahkannya kepada orang-orang kepercayaannya. Struktur masyarakat ini tak
dapat tidak penting akibatnya bagi pendidikan dan pengajaran.
Baik pada peternak maupun pada pemburu dan nelayan kebajikan yang terpenting
ialah keberanian, tetapi keberanian itu dalam kedua masyarakat itu sangat berbeda
tujuannya. Pemburu harus berani melawan binatang liar. Nelayan harus berani melayari
laut yang bergelombang tinggi dengan perahu kecil dan berani melawan ikan-ikan yang
buas.
Tetapi pemuda suku Masai dan Zulu harus berani dalam perkelahian dengan sesama
manusia dalam peperangan. Ini berarti bahwa mereka harus memandang tiap orang yang
tidak termasuk suku mereka sebagai musuh, karena pencurian ternak oleh "orang luar"
sering benar terjadi. Tetapi di samping itu, pemuda-pemuda itu juga harus selalu bersedia
mencuri ternak suku-suku yang bermusuhan dengan mereka.
Jadi, dari mereka itu diinginkan jenis keberanian yang berbeda dengan keberanian
anak-anak bangsa Indian atau anak-anak di kepulauan Gilbert. Anak-anak ini berani, tetapi
di samping itu mereka tetap ramah tamah terhadap orang lain. Sifat ramah tamah itu tentu
tak terdapat pada prajurit-prajurit suku Masai dan Zulu, yang mendapat latihan melakukan
kekerasan.
Dalam kedua masyarakat itu, pembentukan watak sangat berlainan dan adat istiadat
amat berbeda pula. Di kepulauan Gilbert pencurian boleh dikatakan tidak pernah terjadi.

15
Sebaliknya pada kaum peternak, pencurian itu -asal dilakukan terhadap suku lain- sangat
dihargai.
Tentu saja kaum peternak itu sebenarnya manusia juga seperti kaum nelayan dan
pemburu. Tetapi karena perbedaan dalam cara mencari nafkah kaum peternak itu menjadi
manusia-manusia lain, mempunyai masyarakat lain, malahan berkarakter lain. Bukan
pendidikan susila saja pada kaum peternak itu tidak sama dengan bangsa pemburu dan
nelayan, tetapi pendidikan teknik pun berlainan pula. Pada kaum peternak itu pengajaran
diselenggarakan secara lain dan tujuannya pun lain pula.
Pemuda suku Masai atau Zulu tidak memperoleh pendidikan keprajuritan dalam
lingkungan keluarganya sendiri. Ia dipisahkan dari lingkungan keluarganya dan kekuasaan
ayahnya, lalu disatukan dengan pemuda-pemuda lain di bawah pimpinan prajurit yang telah
berpengalaman. Prajurit-prajurit itu mengajar mereka bertempur dan melakukan tarian
perang. Mereka belajar menjalankan perintah kepada suku dengan tidak membantah sedikit
pun juga. Mereka menjadi prajurit yang harus tunduk kepada pimpinan tentara dengan
mengesampingkan kehendak sendiri. Dengan demikian, tergemblenglah persatuan yang
kokoh, tetapi persatuan itu sering kali digunakan sebagai alat untuk menaklukkan musuh
dalam peperangan.
Bangsa-bangsa nelayan tidak terkenal dalam sejarah sebagai bangsa-bangsa yang
penting. Sebenarnya mereka itu bangsa-bangsa yang tak bersejarah. Masyarakat mereka
kecil dan cinta damai, di pulau-pulau yang ditumbuhi pohon-pohon nyiur yang melambai-
lambai ditiup angin dan dilingkungi lautan biru.
Lain hanya dengan bangsa-bangsa peternak. Bangsa-bangsa itu ada mempunyai
sejarah dan kerapkali sejarah yang berdarah. Dulu mereka itu "bangsa gembala", yang di
zaman purba saling memerangi untuk memiliki tanah-tanah rumput antara gurun-gurun
pasir Afrika dan Syria.
Bangsa Aramea, Filistin, Arab, dan bangsa-bangsa lain yang memelihara ternak
berganti-ganti menduduki Palestina yang pada masa itu masih subur tanahnya. Nabi Musa
yang meninggalkan Mesir dengan bangsa Yahudi beserta ternaknya dan kemudian

16
melintasi gurun pasir, malah memandang Palestina itu sebagai "negeri harapan" yang patut
direbut.
Bangsa Yahudi yang boleh dikatakan semata-mata terdiri dari gembala, merebut
negeri itu. "Gembala" Daud merebut Baitul Maqdis (Yerusalem); kekuatan "gembala"
Samson masih menjadi legenda.
Barangkali di dunia ini tak ada suatu tempat yang mengalami pertempuran-
pertempuran yang demikian banyak dan demikian seru seperti daerah-daerah peternakan
itu. Sejarah kuno penuh mengandung cerita tentang "bangsa gembala" dan pertempuran
yang dilakukan bangsa- bangsa itu dalam hidup mereka yang senantiasa berkelana dan tak
pernah menetap di satu tempat.
Berabad-abad Sebelum Masehi bangsa-bangsa yang mendiami stepa-stepa di Asia
Tengah melintasi pegunungan Himalaya, untuk merebut India yang terkenal sebagai daerah
subur dan beriklim panas. Merekalah yang menentukan sejarah daerah itu selanjutnya.
Bangsa-bangsa gembala seperti itu bergerak pula ke arah barat. Setelah daerah-daerah barat
itu mereka taklukkan, barulah mulai prasejarah Eropa. Berabad-abad sesudah itu bergerak
pula laskar-laskar Jengis Khan yang terdiri dari orang-orang Mongolia ke timur dan ke
barat, lalu menaklukkan negeri Tiongkok dan Eropa Timur.
Sejarah bangsa-bangsa kelana itu merupakan sejarah perpindahan bangsa-bangsa
yang tak henti-hentinya dan dengan demikian pula merupakan sejarah perang dan
kekerasan. Perpindahan itu senantiasa pula disebabkan oleh karena bangsa-bangsa itu
terpaksa mencari tanah-tanah rumput bagi ternaknya. Peperangan itu selalu dilakukan oleh
orang-orang muda yang dididik untuk itu. Mereka itu pengendara kuda dan prajurit- prajurit
yang tangkas, yang telah dilatih menjalankan perintah-perintah kepala pasukan dengan
seksama. Kepala-kepala itu sendiri adalah raja-raja yang sangat berkuasa; tiap perintahnya
harus ditaati.
Masyarakat bangsa-bangsa itu terdiri dari dua golongan: golongan raja dan
golongan rakyat. Pendidikannya pun dua jenis: satu untuk putra-putra kaum bangsawan,
yang bertujuan mendidik anak-anak itu menjadi pemimpin-pemimpin laskar; dan yang satu
lagi untuk anak-anak dari golongan rakyat, yang bertujuan mendidik anak-anak itu menjadi

17
orang-orang yang tunduk kepada tiap-tiap perintah kekuasaan militer dengan tidak boleh
membantah. Begitulah, tiap masyarakat mempunyai sistem pendidikannya masing- masing.

2.3.2 Pendidikan Masyarakat Petani


Menangkap ikan dan berburu boleh dikatakan pekerjaan yang mudah. Pekerjaan itu
memerlukan banyak pengalaman dan ketangkasan dan kerap kali juga keberanian, tetapi
pekerjaan itu hanya memerlukan kecakapan teknis yang sangat terbatas.
Menjinakkan dan mengajar binatang-binatang sehingga binatang-binatang itu patuh
dan menyumbangkan tenaganya kepada yang punya atau yang memeliharanya, sehingga
binatang-binatang itu dapat berkembang biak dan menambah kekayaan pemiliknya, adalah
pekerjaan yang lebih sulit.
Namun semuanya itu masih merupakan pekerjaan yang sederhana, jika
dibandingkan dengan pengetahuan dan pemeliharaan yang diperlukan untuk melakukan
pertanian dengan hasil yang memuaskan. Dalam hal ini tujuan pekerjaan itu "menjinakkan"
tanaman-tanaman yang dulunya liar, sehingga tanaman-tanaman itu menghasilkan bahan
makanan untuk keperluan hidup. Ini tidak hanya berarti bahwa orang harus mempunyai
banyak pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga harus menyediakan tanah yang baik dan
air.
Petani tidak meninggalkan tanahnya seperti orang-orang kelana. Ia menetap di situ
dan berusaha sedapat-dapatnya memelihara kesuburan tanahnya dengan menanam secara
bergiliran tanaman-tanaman yang setepat-tepatnya, mengadakan pengairan dan mengolah
tanah dengan seksama. Petani itu harus tahu akan musim-musim dan cara-cara menyemai
dan memetik hasil. Ia harus memikirkan cara-cara mencegah penyakit, baik sebelum
maupun sesudah panen.
Tidaklah mengherankan, kalau orang mengatakan bahwa peradaban yang
sebenarnya baru mulai dengan pertanian. Juga tidak mengherankan, bahwa peternak-
peternak yang berkelana senantiasa pula menunjukkan semangat perjuangannya pada
tanah-tanah subur di lembah-lembah sungai dengan maksud merebut ladang-ladang yang

18
kaya itu dan berkuasa di situ sebagai raja-raja yang memaksa penduduknya mengerjakan
tanah-tanah itu dan menghasilkan bahan-bahan makanan untuk mereka.
Jadi sebenarnya baru daerah-daerah pertanian itulah menjadi negara-negara
heterogen yang sesungguhnya mempunyai perbedaan-perbedaan besar antara tingkat-
tingkat lapisan atau kelas-kelas di kalangan penduduk. Ada golongan militer yang tidak
turut berusaha dalam pangan pertanian dan ada golongan tani yang tidak turut berusaha
dalam lapangan pertanian dan ada golongan tani yang tidak turut campur dalam urusan
pertahanan. Ada golongan berkuasa yang menganggap dirinya berhak melakukan segala-
galanya dan ada golongan budak yang tidak mempunyai hak, melainkan kewajiban saja.
Ada kelas pemilik tanah dan tuan tanah yang kaya raya dan ada golongan besar pekerja
tanah yang bekerja keras.
Akhirnya ada pula golongan agama: pendeta dan ahli pengetahuan, karena golongan
militer dan petani tidak akan mengusahakan pekerjaan besar tanpa nasihat dan pertolongan
pendeta. Terutama untuk pertanian diperlukan pengetahuan tentang ilmu pengairan:
membuat terusan-terusan mengatur arus air sungai, membuat bendungan, dan lain-lain.
Perlu ada orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang pengukuran tanah guna
pembagian tanah. Perlu pula ada orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang
keadaan udara dan tentang bintang, matahari, dan bulan.
Demikianlah, negara pertanian itu merupakan masyarakat yang rumit, lebih-lebih
lagi apabila ada hasil-hasil yang diperdagangkan ke luar negeri dan membeli pula hasil-
hasil dari luar negeri. Dengan demikian, terbentuklah golongan orang-orang pasar, kaum
pembeli, saudagar, pengangkut kafilah dan pelaut, yang memperdagangkan dan
mengangkut barang-barang di darat dan melalui lautan. Langkah berikutnya adalah
menghasilkan barang-barang tertentu khusus untuk ekspor untuk keperluan industri-industri
besar atau kecil. Gambaran masyarakat heterogen yang lengkap semacam itu telah kita
dapati di Mesir, Babilonia, Assiria, Tingkok dan India Kuno. Struktur sosial yang rumit
seperti ini tentu saja bersamaan dengan sistem pendidikan dan pengajaran, yang sangat
berbeda dengan pendidikan batin pada nelayan dan pemburu atau pendidikan militer yang
berat sebelah pada kaum peternak.

19
Pertama-tama negara pertanian dan perdagangan, juga di zaman kuno, semuanya
mempergunakan bahasa tertulis. Dalam masyarakat semacam itu, undang-undang dan
peraturan pemerintah tentang pembagian tanah dan pengaturan air sangat banyak, sehingga
bahasa tertulis itu sangat dibutuhkan. Kontrak-kontrak dan perjanjian-perjanjian lainnya
harus dicatat dan didaftar untuk keperluan perdagangan, malah disusun kamus bahasa-
bahasa asing. Di Babilonia ditemukan perpustakaan-perpustakaan yang penuh berisi
kamus-kamus seperti itu, ditulis pada batu-batu tanah liat. Jadi pada masa itu tentu telah ada
pendidikan, sedikitnya untuk belajar membaca dan menulis dan untuk mempersiapkan
orang-orang yang akan menjadi juru tulis di kantor-kantor negeri dan juga orang-orang
yang menjadi “noaris" untuk "mencatat" keterangan-keterangan tentang tanah dan
perdagangan, tentang pendapatan dan pengeluaran, antara lain berhubungan dengan
pemungutan pajak. Tetapi pada masa itu tentu ada pula pendidikan yang lebih ilmiah, yang
mempersiapkan pemuda-pemuda untuk pekerjaan insinyur. Mereka mempelajari ilmu
pengukuran tanah, ilmu hitung, ilmu bangunan air, dan berbagai hal yang diperlukan untuk
pengetahuan vak dalam daerah pertanian, yang bergantung sepenuhnya pada air sungai.
Selanjutnya tentu ada pula pendidikan untuk mereka yang akan menjadi pendeta
-sekarang dinamakan pendidikan teologi- karena pekerjaan pendeta banyak seginya dan
memerlukan pengetahuan dalam berbagai lapangan. Tentu saja ada pula pendidikan yang
khusus bagi orang-orang yang akan memasuki tentara. Semuanya itu sebenarnya sudah
semestinya. Hal itu menegaskan pendapat kita, bahwa pengajaran dan pendidikan itu ialah
fungsi-fungsi masyarakat, yakni usaha supaya masyarakat itu terus berdiri. Tetapi
sementara itu ada satu hal yang mencolok mata: di negara-negara pertanian kuno itu tak ada
pendidikan yang khusus untuk pertanian! Pertanian di negara-negara itu seluruhnya
berdasarkan pengalaman dan tradisi. Petani, yaitu petani kecil, tidak mendapat pendidikan
yang khusus dan seperti yang sudah-sudah ia tetap saja mengusahakan tanah berdasarkan
praktik di ladang ayahnya. Petani itu dari dulu sampai sekarang tetap saja orang yang harus
bekerja keras semata-mata untuk menghasilkan bahan makanan. Sebagai petani kecil ia
sedikit sekali mempunyai hak dan sebagai budak ia tak mempunyai hak sedikitpun juga.
Rakyat negara pertanian sebagian besar terdiri dari kaum tani. Hal ini berarti bahwa segala

20
kekuasaan dipegang oleh segolongan kecil kaum militer, pendeta, ahli pengetahuan dan
para pegawai. Berkat pendidikan, orang-orang itu beroleh pengetahuan yang diperlukan
untuk memerintah negara. Tetapi sebagian besar dari rakyat tidak mendapat pendidikan dan
karena itu mereka hanya diperintah saja.
Demikianlah yang terjadi di Mesopotamia, Mesir, Tiongkok, dan India Kuno.
Susunan kasta di India dengan nyata memisahkan golongan Brahma, Ksatria, Waisya, dan
Sudra satu sama lain. Kasta-kasta yang tinggi memegang kekuasaan negara dan agama dan
mereka bekerja sama untuk menjaga, supaya sebagian besar rakyat tetap tidak berkuasa.
Golongan-golongan tinggi itu berhasil mempertahankan pemerintahan aristokrat-feodal itu
selama berabad-abad, dengan mengadakan perundang-undangan yang amat keras yang
menghukum keras tiap-tiap pelanggaran terhadap susunan kasta dan dengan memberikan
sifat kesucian kepada susunan kasta itu. Anggota-anggota kasta militer, yang memegang
kekuasaan negara dan anggota-anggota kasta pendeta yang memegang kekuasaan agama,
adalah keturunan bangsa yang merebut negara itu dan menaklukkan penduduk asli.
Penguasa-penguasa negara yang baru itu membuat undang-undang keras untuk melindungi
diri terhadap kemungkinan timbulnya perlawanan dari pihak penduduk, sedangkan
pemegang-pemegang kekuasaan agama mendongengkan, bahwa orang-orang yang datang
merebut negeri itu makhluk-makhluk yang berbeda dengan bangsa-bangsa yang
ditaklukkannya, bahwa penguasa-penguasa baru itu keturunan langsung dari dewa dan
memperoleh kemenangan karena mendapat bantuan dari dewa-dewa itu. Demikianlah,
orang-orang yang menaklukkan negeri itu bukan saja mendapat kekuasaan untuk
memerintah, tetapi juga beroleh hak suci. Hak itu tak dapat ditentang oleh penduduk tanpa
dimurkai oleh para dewa.
Mexico di zaman kuno ditaklukkan oleh bangsa stepa yang menyerbu dari utara dan
berabad-abad kemudian raja bangsa Aztek Montezuma masih diakui sebagai anak dewa
Huitzilopochtli, yang tak henti-hentinya meminta korban jiwa manusia.
Dahulu kala Peru ditaklukkan oleh bangsa Inca, yang menamakan dirinya Putra-
Putra Matahari. Demikian pula seorang ratu di Yunani purba menyebut dirinya turunan
dewa matahari Zeus dan Fir'aun di Mesir dipandang rakyatnya sebagai seorang dewa.

21
Apabila kita ingat, bahwa Lodewiyk XIV, raja Prancis dalam abad ke-17, masih
disebut Raja Matahari dan sekarang ini orang-orang yang memerintah masih menamakan
dirinya raja, "atas karunia Tuhan", nyatalah bahwa dongeng keturunan dari zaman kuno itu
lama sekali hidupnya. India ditaklukkan dulu oleh bangsa-bangsa stepa dari utara.
Penyerbu- penyerbu ini pun menghasilkan raja-raja dan pendeta-pendeta, Ksatria dan
Brahmana, yang dianggap makhluk-makhluk suci oleh penduduk. Suatu bangsa stepa
Mongolia dari Asia Tengah yang menamakan dirinya "Seratus Keluarga," menaklukkan
tanah subur di lembah sungai Hoang Ho dan Yang Tse Kiang itu menamakan dirinya Anak
Langit dan kerajaannya dinamakan Kerajaan Langit. Kerajaannya sangat besar sehingga tak
dapat diperintah dari pusat dan dari tiap provinsi harus diangkat pegawai yang memerintah
provinsinya masing-masing secara feodal. Raja dan kaum kerabatnya, pegawai dan ahli
pengetahuan merupakan tiga golongan tinggi di kerajaan itu.
Demikianlah, semenjak zaman purba telah tampak di mana-mana di dunia ini
terbentuknya negara-negara yang berkelas-kelas, masyarakatnya heterogen dengan
golongan yang sangat terpisah-pisah yang satu dari yang lain. Negara berkelas-kelas itu
percaya akan ketidaksetaraan (inequality) manusia dan berdasarkan ketidaksetaraan itu
negara membagi penduduk dalam dua bagian yang-amat tidak sama: sejumlah kecil orang-
orang yang memegang kekuasaan negara dan agama serta mempergunakan kekuasaan itu
sepenuhnya dan sebagian besar rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan dan wajib bekerja
untuk golongan kecil itu. Negara yang berkelas-kelas itu tersusun secara aristokratis-feodal.
Pendidikan dan pengajaran dalam negara semacam itu tentu saja mencerminkan susunan
itu. Kedua-duanya diselenggarakan sedemikian, sehingga rakyat sebagian besar tidak
mendapat pengajaran yang sebenarnya dan semata-mata bergantung kepada pengalaman
praktik para nenek moyang, sedangkan sejumlah kecil rakyat mendapat pendidikan yang
khusus untuk fungsi-fungsi mereka kelak dalam masyarakat. Dalam keadaan ini pengajaran
untuk rakyat sebenarnya tak ada sama sekali: rakyat tetap bodoh dan buta huruf. Mereka
tak dapat mempunyai pendapat sendiri. Mereka tunduk seluruhnya kepada tindakan-
tindakan yang diambil golongan kecil itu. Tetapi sebaliknya golongan kecil yang berkuasa
itu diberi kesempatan memegang kekuasaan dengan jalan pendidikan dan pengajaran.

22
Tentu saja golongan kecil itu pada umumnya tidak bodoh untuk mengambil tindakan-
tindakan yang terlalu keras. Mereka menghindari timbulnya pemberontakan umum dengan
mengadakan pemerintahan patrilineal (secara bapak) yang menunjukkan kemurahan
hatinya selama penduduk tetap melakukan kewajibannya dengan patuh. Pemberontakan
dalam sejarah kuno itu terutama timbul, apabila pada musim kering dan paceklik tak ada
makanan untuk rakyat, tetapi ada untuk kaum bangsawan. Pada masa itu sering terjadi
pemberontakan-pemberontakan yang disebabkan oleh kelaparan. Pemberontakan-
pemberontakan itu kebanyakan ditindas secara keras oleh golongan kecil yang berkuasa itu.
Dengan demikian, pendidikan dan pengajaran adalah alat-alat politik yang dapat
digunakan untuk mempertahankan struktur masyarakat.
Apakah akibat-akibat struktur masyarakat, yang berdasarkan perbedaan prinsip
dalam kedudukan kekuasaan dan ekonomi antara sekurang-kurangnya dua golongan
penduduk? Dan apakah akibat-akibat sistem pendidikan dan pengajaran yang hanya atau
terutama diperuntukkan bagi golongan yang berkuasa?
Pertama, dalam masyarakat semacam itu sejumlah kecil orang-orang yang mendapat
pendidikan dan pengajaran berhadapan dengan sejumlah besar rakyat yang tidak mendapat
pendidikan dan pengajaran.
Selanjutnya, dalam masyarakat itu ditanamkan rasa hina memandang pekerjaan
jasmani, sedangkan pekerjaan “rohani" -sekalipun pekerjaan hanya berupa menulis surat-
surat atau membuat perhitungan-perhitungan perdagangan- sangat dihormati. Pekerja
“kepala" mempunyai kedudukan jauh lebih tinggi daripada pekerja “tangan". Pekerjaan
yang pertama dihargai terlalu tinggi dan pekerjaan kedua dihargai terlalu rendah. Pertani
dianggap semacam manusia kasar; kesanggupan dan keinginannya tak lain daripada
bekerja, makan dan tidur, sedangkan pekerja “kepala" yang diam di kota dipandang sebagai
jenis manusia yang beradab dan berbahasa halus. Penduduk kota yang beradat halus itu-
berkat cucuran keringat kaum tani mempunyai banyak waktu senggang, yang dapat
dipergunakannya untuk mempertinggi pengetahuannya atau untuk berpoya-poya dan
mencari hiburan. Itulah sebabnya maka dapat tercipta suatu peradaban yang tinggi dengan
pengorbanan dan biaya sejumlah besar rakyat yang bekerja.

23
Apabila orang menyebut kebudayaan Mesir, Yunani, Tiongkok atau India, haruslah
kita pikir, bahwa yang dimaksud adalah kebudayaan sejumlah kecil orang-orang yang
berkuasa. Piramid-piramid didirikan atas perintah Fir'aun. Juga kuil-kuil Yunani, istana-
istana Tiongkok, dan candi-candi India didirikan atas perintah raja-raja dan kepala-kepala
agama. Tetapi batu untuk pembangunan piramid-piramid dan istana-istana diangkut oleh
sejumlah besar kaum pekerja. Bangunan-bangunan itu didirikan oleh mereka tetapi bukan
untuk mereka. Orang-orang yang berkuasa membuat rencana-rencana yang harus
dipraktikkan oleh kaum pekerja; yang pertama melakukan pekerjaan teori, yang kedua
pekerjaan praktik.
Jadi, tidaklah mengherankan, bahwa teori sebagai hasil pekerjaan "kepala" lebih
tinggi dihargai daripada praktik sebagai hasil pekerjaan tangan. Di Yunani Kuno, misalnya,
ada orang yang semata-mata memikirkan teori-teori yang membumbung tinggi di atas
praktik. Itulah ahli-ahli filsafat. Beberapa orang di antara mereka berjasa sekali terhadap
umat manusia, tetapi ada pula yang sangat menjauhkan diri dari praktik, sehingga mereka
itu menimbulkan kekacauan dan keragu-raguan.
Orang mengira bahwa berpikir itu suatu pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh
sejumlah kecil orang-orang istimewa. Mereka tidak melihat bahwa pekerja biasa pun
seorang makhluk yang berpikir, karena ia juga seorang manusia. Berpikir itu dipandang
lebih tinggi daripada berbuat dan dengan demikian segala pengajaran memperoleh sifat
teoretis. Sekolah menjadi terpisah dari praktik sehari-hari, terpisah dari kehidupan biasa.
Dengan demikian, terjadi pula perpisahan yang nyata antara badan dan roh: badan dianggap
kurang berharga terhadap roh. Kita telah tahu, bahwa terutama ahli-ahli pikir agama, baik
di India maupun di Eropa Barat, berusaha mempertinggi kerohaniannya dengan
mengabaikan badannya. Dengan demikian, berkembanglah suatu kebudayaan yang tak
dapat disertai oleh sejumlah besar rakyat: mereka tak mempunyai waktu senggang untuk
menyertainya dan kebudayaan itu tidak sesuai dengan kehidupan orang-orang biasa yang
bekerja.
Teranglah bahwa anak-anak dari golongan tinggi itu mendapat dua jenis
pendidikan: pendidikan militer di bawah pimpinan kaum bangsawan dan pendidikan agama

24
di bawah pimpinan pendeta. Di Yunani, “mata pelajaran" yang terpenting ialah latihan
jasmani sebagai persiapan untuk dinas ketentaraan. Oleh karena itu, latihan jasmani itu
diselenggarakan pula oleh negara, dilakukan di dalam gedung-gedung dan di lapangan-
lapangan kepunyaan negara di bawah pimpinan pegawai-pegawai pemerintah. Berkat
latihan-latihan jasmani itu anak-anak menjadi biasa akan disiplin yang keras dan
memperoleh ketangkasan dalam berlari cepat, melempar lembing, bergulat, meloncat dan
melempar cakram, hal-hal yang diperlukan untuk peperangan. Pancalomba ini merupakan
acara yang terpenting dalam perlombaan Olimpiade, yang juga diselenggarakan oleh
negara.
Di samping itu, anak-anak orang kaya mendapat pendidikan agama di bawah
pimpinan pegawai agama, karena agama pun termasuk urusan negara. Dari pegawai itu
anak-anak mendapat pelajaran tarian-tarian yang dilakukan pada upacara keagamaan.
Mereka belajar menyanyikan lagu-lagu pujaan diiringi dengan musik, yang harus
dinyanyikan dan dimainkan pada pemujaan seorang dewa.
Dengan cara demikian negara berpendapat telah cukup menunaikan tugasnya dalam
menyelenggarakan pendidikan untuk anggota-anggota golongan tinggi itu. Golongan
saudagar-saudagar, sekalipun memerlukan kepandaian membaca, menulis, dan berhitung,
tidak diperhatikan oleh negara. Barangsiapa ingin belajar membaca, menulis, dan berhitung
harus berhubungan dengan salah seorang pengajar privat, yang memberi pengajaran dengan
menuntut bayaran. Orang yang mampu membayar, membeli seorang budak yang ditawan
dalam peperangan, untuk memberi pengajaran. Dan barangsiapa tak mampu membayar,
haruslah tetap tidak memiliki pengetahuan yang berguna itu.
Apabila seseorang tidak pulang kembali sehabis perang, dikatakan orang: ia tewas
atau ia menjadi guru. Karena kalau ia tidak gugur di medan perang, pasti ia menjadi budak
dan dipergunakan sebagai pengajar! Di Yunani orang semacam itu disebut paedagogos.
Demikianlah, di Yunani itu pendidikan anak-anak dipegang sepenuhnya oleh negara
untuk kepentingan negara itu sendiri. Anak-anak, terutama dari golongan-golongan tinggi
mendapat pendidikan yang sangat keras dan barangsiapa tidak tunduk kepada disiplin
keras, dipaksa dengan pukulan.

25
Sebagaimana halnya dengan kebudayaan dan kekayaan negara yang diciptakan
dengan mengorbankan sebagian besar daripada rakyat, demikianlah pula kekuasaan negara
diperbesar dengan mengorbankan anak-anak. Kalau hal ini kita renungkan, timbullah
keinginan dalam diri kita untuk mencela negara berkelas-kelas itu dan sistem pendidikan.
Tetapi kita jangan lupa, bahwa tanpa kedua hal itu kita takkan pernah memiliki hasil-hasil
kebudayaan yang diciptakan secara demikian. Mungkin orang-orang dalam masyarakat
nelayan dan pemburu yang kecil-kecil dan demokratis itu dalam banyak hal lebih
berbahagia hidupnya, tetapi mereka itu tak dapat menghasilkan seni lukis, seni pahat, seni
bangunan dan seni sastra seperti negara-negara yang berkelas-kelas di zaman purba.
Tingkat kehidupan mereka tetap tidak berubah sepanjang masa. Baru pada zaman sekarang
ini ada kemungkinan yang lebih besar untuk mewujudkan demokrasi baru yang dapat
membangun lebih lanjut atas apa yang telah tercapai dalam abad-abad yang lampau dengan
pengorbanan yang tidak sedikit.
Apa yang telah kita ceritakan tentang Yunani purba itu sama saja dengan keadaan di
negara-negara berkelas-kelas lainnya di masa purba. Kadang- kadang diutamakan
pendidikan militer, kadang-kadang pendidikan agama, tetapi kedua jenis pendidikan itu
selalu ada dan hanya diberikan kepada anak-anak golongan tinggi. Pendidikan itu selalu
keras sifatnya. Di Mexico purba, pendidikan itu diberikan di sekolah-sekolah pendeta; di
Peru, hanya anak-anak dari golongan Inca yang mendapat pendidikan agama dan latihan
militer; di India anak-anak dari kasta Ksatria diberi latihan militer, anak-anak dari kasta
Brahmana mendapat pengajaran agama dengan perjanjian, bahwa mereka sekali-kali tidak
boleh “membuka rahasia" pelajaran suci itu kepada anggota-anggota kasta lain. Sekolah-
sekolah pendeta dan akademi militer terdapat juga di Mesir Purba. Tiongkok sangat luas,
sehingga pemerintahan negeri itu tak dapat dijalankan oleh kaisar dari pusat, perlu
birokrasi. Itulah sebabnya, pendidikan untuk menjadi pegawai negeri di Tiongkok itu
sangat penting artinya dan golongan "mandarin" merupakan golongan yang tertinggi di
negari itu. Pendidikan itu amat sukar dan murid-murid harus sering kali menempuh ujian-
ujian yang berat. Hanya anak-anak orang yang amat kaya saja dapat mengikuti pendidikan
yang demikian lama dan berat itu. Di Tiongkok pegawai-pegawai yang terpelajar

26
merupakan golongan aristokrasi, tetapi di Jepang kekuasaan dipegang oleh kaum samurai,
yaitu tuan-tuan tanah. Pendidikan diselenggarakan oleh negara semata-mata untuk mereka
itu dengan mempergunakan pendidikan Tiongkok yang lebih tinggi sebagai contoh.

2.4 Pendidikan Demokratis


Di Barat abad pertengahan segala pengajaran diselenggarakan oleh gereja Katolik.
Pengajaran itu diberikan oleh rahib-rahib dan bersifat keagamaan. Setelah terjadi
pembentukan gereja baru oleh Luther dan Calvin, maka di beberapa negeri pengajaran itu
dipengaruhi oleh pendeta yang tidak tergolong dalam gereja Katolik, tetapi tujuan
pengajaran itu tetap tidak berubah, yaitu memberikan pendidikan agama. Tujuan
pengajaran itu terutama mendidik calon-calon guru agama untuk sekolah-sekolah agama.
Sebagian besar anak-anak rakyat biasa tidak mendapat pengajaran dan anak-anak
yang mendapat pengajaran diberi pelajaran menghapalkan perintah-perintah agama dan
doa. Perkembangan perdagangan, pelayaran dan industri makin lama makin banyak
menimbulkan perubahan dalam keadaan itu. Pengetahuan yang lebih praktis, yang tidak
bersifat keagamaan, tetapi bersifat keduniaan, makin hari makin dibutuhkan. Pandai
membaca, menulis, dan berhitung dan memiliki pengetahuan tentang geografi dan biologi
penting sekali artinya.
Karena pimpinan gereja tidak menyetujui perkembangan itu, terpaksalah pimpinan
pemerintahan, yaitu pemerintahan kota atau negara, mencampuri urusan pengajaran.
Dengan demikian, arti pengajaran yang semata-mata bersifat keagamaan semakin kurang
dan arti pengajaran yang bersifat keduniaan bertambah naik. Lambat laun pengajaran
"umum" yang diselenggarakan oleh pemerintah lebih penting artinya daripada pengejaran
di bawah pimpinan gereja.
"Mata pelajaran" pokok pada sekolah-sekolah agama ialah menghapalkan
pengetahuan yang sederhana tentang agama dan bernyanyi. karena menyanyi itu penting
bagi sembahyang gereja.

27
Sekolah-sekolah yang bersifat keduniaan lebih mementingkan pengetahuan
elementer yang praktis dan dengan demikian membaca menulis, dan berhitung merupakan
mata pelajaran yang utama pada "pengajaran rendah."
Dengan bertambahnya pengetahuan teknik timbullah berbagai ilmu baru: seperti
ilmu bumi, sejarah, biologi dan kemudian ternyata, bahwa sekolah rendah perlu pula
memberikan persiapan tentang pengetahuan itu, sehingga pelajaran-pelajaran itu
dicantumkan pula dalam daftar pelajaran sekolah rendah. Dengan demikian, jumlah mata
pelajaran semakin lama semakin bertambah.
Semakin meluas perdagangan dan industri di dunia pula dibutuhkan orang-orang
yang berpengetahuan untuk memangku salah satu jabatan dalam perusahaan-perusahaan
itu. Mereka itu harus diberi pengajaran yang dapat dipergunakan dalam jabatan itu.
Akibatnya ialah bahwa pengajaran itu seluruhnya amat diperluas dan makin lama makin
banyak mempunyai murid.
Golongan-golongan rakyat yang turut mendapat pengajaran makin lama makin
banyak dan di beberapa negeri malah diadakan peraturan wajib belajar. Perkembangan
politik, terutama revolusi Prancis menyebabkan negara-negara itu perlu mengadakan wajib
belajar. Di sini, pengajaran itu harus diberikan tanpa memungut bayaran. Anak-anak semua
harus diberi pelajaran membaca, menulis, berhitung, bahasa, geografi, pengetahuan alam,
dan pengetahuan tentang hak dan kewajiban manusia dan warga negara (civic education).
Sekolah tempat pelajaran-pelajaran itu diberikan, dilengkapi, dan dipelihara oleh negara.
Perkembangan pertukangan dan perusahaan-perusahaan memerlukan sekolah-sekolah
pertukangan, sekolah teknik lanjutan, yang senantiasa harus diperbanyak.
Karena kaum wanita turut serta dalam dunia perburuhan dan hak pemilihan umum,
perlu pula diperhatikan perluasan pengajaran untuk anak-anak perempuan. Maka
diadakanlah sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak perempuan di samping sekolah
campuran, tempat anak-anak lelaki dan perempuan bersama-sama mendapat pengajaran:
ko-edukasi.
Dengan demikian, dalam waktu yang boleh dikatakan singkat tumbuhlah pengajaran
itu sampai menjadi sistem yang terdapat dewasa ini di segala negeri yang telah maju, yakni

28
pengajaran rendah, pengajaran menengah dan pengajaran tinggi serta pengajaran vak, yang
semuanya sambung menyambung. Karena pengetahuan senantiasa bertambah, terutama
dalam lapangan teknik dan karena masyarakat senantiasa bertambah banyak membutuhkan
tenaga pekerja dalam segala lapangan, maka anak-anak perlu dipersiapkan lebih intensif
dan lebih lama lagi untuk jabatan-tabatan mereka kelak di masyarakat. Baik pengajaran
rendah maupun menengah, pengajaran tinggi dan pengajaran vak makin lama makin sukar
dan perluasan senantiasa berarti memperpanjang masa belajar.
Dulu pelajaran yang diberikan dalam beberapa tahun saja dianggap sudah cukup
untuk sekolah rendah, tetapi sekolah itu lambat laun tumbuh menjadi sekolah yang
memberi pengajaran kepada murid selama 7 tahun, bahkan lebih. Ada negeri-negeri yang
mewajibkan anak-anak belajar sampai umur 16, bahkan ada yang sampai 18 tahun.
Akibatnya, pendidikan yang demikian lama tak dapat dibiayai lagi oleh sebagian besar
penduduk sekalipun pengajaran rendah tidak memungut bayaran. Karena itu di sana sini
orang berusaha, supaya pengajaran menengah diberikan pula tanpa memungut uang sekolah
dan untuk pengajaran tinggi disediakan beasiswa.
Mau tidak mau haruslah kita akui, bahwva perkembangan pengajaran yang
demokratis di beberapa negeri telah mencapai kemajuan yang tinggi dan golongan yang
selama ini kurang diperhatikan dalam masyarakat sekarang lebih banyak mendapat
kesempatan untuk maju daripada dulu. Namun demikian, masih ada saja golongan yang
kurang diperhatikan dan dalam praktik anak-anak orang kaya lebih banyak mendapat
kemungkinan-kemungkinan.
Dari segi metode, dulu pengajaran itu lebih bersifat perseorangan (individual)
karena boleh dikatakan tidak banyak orang yang mengikuti pelajaran itu. Karena perluasan
pengajaran, orang mencari jalan untuk memberi pengajaran sekaligus kepada banyak orang.
Inilah yang menyebabkan terbentuknya pengajaran kelas, yang banyak keburukannya di
samping kebaikannya. Keburukan yang terpenting ialah bahwa anak-anak terlalu
disamaratakan belaka walaupun mereka tidak boleh tidak semuanya berbeda pembawaan
dan kesanggupannya.

29
Pengajaran itu pada mulanya amat formalistik: anak-anak harus tunduk kepada
kekuasaan guru agama dan harus menelan saja apa van diajarkannya. Hal itu bukan hanya
berlaku bagi anak-anak yang masih kecil tetapi juga bagi mahasiswa-mahasiswa perguruan
tinggi klasik.
Bagi sarjana klasik, Aristoteleslah ahli pikir yang paling terkemuka Apa yang
dikatakan dan diajarkannya merupakan satu-satunya kebenaran bagi mereka dan mahasiswa
yang tidak mau tunduk kepada kekuasaannya diusir dari sekolah tinggi dengan nistaan dan
cacian. Aristoteles adalah murid yang paling terkenal dari ahli filsafat Yunani, Plato. Ia
mendirikan sekolah yang dibaktikannya kepada Apollo Lyceus dan karena itu disebut
Lyceum. Dialah guru Alexander Yang Agung. Di sekolahnya ia mengajarkan ilmu filsafat
dan ajaran logika, yaitu kepandaian melahirkan pendapat untuk membuktikan dalil-dalil.
Pengaruhnya pada cara berpikir sangat besar. Ia mengajarkan bahwa bumi ini tidak
bergerak dan berada di pusat alam semesta dan ajaran itu diiyakan orang di mana-mana
pada saat itu. Orang yang tidak menyetujui pendapat itu dihukum keras, dan kadang-
kadang dihukum mati.
Betapapun pandainya Aristoteles pada masa itu, tetapi dengan bertambahnya
pengetahuan di dunia dan pengetahuan tentang dunia, banyak di antara ajaran-ajarannya
yang tak dapat dibenarkan oleh orang-orang yang menyelidiki dan berpikir sendiri. Orang-
orang semacam itu makin lama makin bertambah banyak, setelah saudagar-saudagar
mengirimkan kapal-kapal mereka ke segala jurusan dan setelah berturut-turut ditemukan
negeri-negeri dan bangsa-bangsa lain.
Apabila seseorang berlayar keliling dunia pastilah ia akan mengakui bahwa bumi ini
bulat dan bila ia mempelajari gerakan-gerakan bintang dan planet pastilah ia akan
menemukan, bahwa bumi itu sebuah planet dan bergerak pula. Orang yang tidak
memperoleh pengetahuan dari buku-buku kuno tetapi dengan melihat dan mengamati
sendiri keadaan di sekelilingnya akan menemukan, bahwa banyak di antara yang tercantum
dalam buku-buku itu, tak mungkin benar. Dengan demikian, timbullah kecenderungan
untuk memandang dengan kritis segala sesuatu yang diwariskan tradisi sejak berabad-abad.
Orang tidak mau lagi percaya begitu saja, orang ingin tahu.

30
Dulu orang selalu mencoba “menerangkan" berbagai-bagai gejala berdasarkan suatu
“kebenaran" umum, orang berusaha menerangkan suatu hal yang khusus berdasarkan dalil
umum. Inilah yang dinamakan metode deduktif.
Sekarang orang mulai dengan pengamatan berbagai hal yang khusus lalu mencoba
mendapatkan suatu kaidah umum yang dapat disimpulkan dari pengamatan-pengamatan
yang khusus itu. Cara demikian disebut metode induktif. Ternyata bahwa metode ini jauh
lebih memuaskan. Dulu orang terlalu mempercayai kata-kata, sehingga kadang-kadang
kurang memerhatikan apakah kata-kata itu sesuai dengan keadaan-keadaan sebenarnya. Hal
yang demikian dinamakan verbalisme. Kemudian keadaan- keadaan itu sendiri diselidiki
dan penyelidikan itu ternyata memberi hasil yang lebih memuaskan. Dengan demikian,
orang dapat mengetahui betapa besarnya nilai penglihatan dan pengamatan untuk
pembentukan pengertian yang tepat. Orang menjadi insyaf, bahwa segala pengetahuan
dimulai dengan kesangsian, bahwa orang harus mulai dengan tidak percaya akan sesuatu.
Dengan cara demikian terjadilah ilmu pengetahuan empiris, yakni pengetahuan berdasarkan
penyelidikan yang objektif. "Ilmu pengetahuan" kuno, kesenian lama, tetapi juga agama
yang tradisional harus diselidiki secara demikian. Hasil-hasilnya merupakan ilmu
pengetahuan baru, yaitu humanisme, kesenian baru, yaitu renaissance, dan agama baru,
yaitu reformasi.
Tradisi-tradisi dari abad ke abad diputuskan; bukan hal-hal yang gaib yang
mendapat perhatian penuh, tetapi hal-hal yang sewajarnya, bukan kepercayaan tetapi
pikiranlah yang menimbulkan hasil yang konkret. Bukan perasaan, tetapi otak, budilah
yang terpenting. Semuanya ini memberi pengaruh yang besar dan mendalam pada
pengajaran. Dalam pengajaran makin lama makin banyak dipergunakan metode induktif.
Pikiran, pengamatan, dan penyelidikan sendiri.
Dalam masyarakat modern, faktor yang terpenting ialah produksi. Belum pernah
dalam sejarah demikian banyak diproduksinya barang-barang yang beragam untuk pasaran
dunia. Karena itu, orang sangat memerhatikan proses kerja, cara kerja, dan para pekerja.
Menaikkan dan memperbaiki produksi dan dengan sendirinya juga organisasi penjualannya,
memberi pekerjaan yang sangat banyak kepada sejumlah besar penduduk Eropa, Amerika,

31
dan Australia, sehingga pikiran, perbuatan dan seluruh hidup mereka dikuasai sepenuhnya
oleh hal itu.
Tidaklah mengherankan, bahwa kerja itu makin lama makin banyak dipergunakan
di sekolah-sekolah sebagai asas pendidikan. Sekolah kerja mula-mula didirikan di Jerman
yang terkenal sebagai negara yang sangat rajin penduduknya, didirikan pula di Amerika
yang rakyatnya tidak kurane pula aktifnya. Dan kemudian pula di negeri-negeri lain.
Maksud sekolah kerja itu adalah supaya anak-anak jangan semata-mata mengambil
pengetahuan dari buku, tetapi juga dengan pekerjaan tangan. Mereka belajar
mempergunakan barang-barang itu sendiri dan perkakas-perkakas untuk membuat rupa-
rupa barang. Mereka belajar menemukan berbagai cara kerja, baik untuk membuat barang
maupun untuk memecahkan masalah-masalah teknik sederhana. Dengan demikian mereka
akan mengalami bahwa pemecahan soal yang baik hanya dapat dicapai dengan jalan
berpikir. Mereka akan mengalami, bahwa dalam pekerjaan tangan yang baik juga harus
dipergunakan pikiran.
Karena itu, penghargaan mereka terhadap pekerjaan tangan akan bertambah,
penghargaan yang berlebih-lebihan terhadap pelajaran dari buku akan berkurang, dan
akhirnya dengan cara demikian akan lebih mudah terlaksana hubungan antara golongan
pekerja otak dengan golongan pekerja tangan yang dulu sangat terpisah-pisah itu, dan
antara teori dan praktik. Dengan demikian, sekolah kerja itu dijadikan alat cita-cita dan
praktik demokrasi.
Sekolah yang sejak dulu sangat terpisah dari kenyataan sehari-hari, lebih
dihubungkan dengan kehidupan yang sebenarnya. Keinginan untuk lebih menyesuaikan
sekolah itu kepada kehidupan biasa telah menimbulkan pula perubahan-perubahan yang
radikal dalam susunan bahan pelajaran. Pembagian bahan pelajaran dalam mata pelajaran
yang tersendiri, yang semuanya diajarkan pada jam pelajaran tetap dan selalu terpisah dari
yang lain, tak dapat memberikan pengertian kepada anak-anak tentang kenyataan, karena
dalam kenyataan semuanya berhubungan yang satu dengan yang lain: Penyusunan dalam
mata pelajaran yang terpisah itu merintangi anak-anak melihat dan menghayati hubungan
antara bagian-bagian pengetahuan dan pengalaman mereka. Penyusunan itu memberi

32
kesan, seakan-akan membaca, menulis, berhitung, bahasa, menggambar, sejarah, ilmu bumi
dan ilmu alam merupakan lapangan pengetahuan yang sedikitpun tidak ada sangkut
pautnya satu sama lain. Tetapi orang yang mendirikan rumah mempergunakan serentak
segala macam pengetahuan dan kecakapannya, ia mempergunakannya dalam memecahkan
soal, di mana dan bagaimana rumah itu akan dibangun.
Tiap orang yang hendak melaksanakan sesuatu dalam kehidupan yang sebenarnya,
berbuat demikian. Karena itu, sering kali orang berusaha menyusun bahan pelajaran
sekolah secara lain. Di kelas-kelas rendah dimulai dengan mempelajari bersama-sama
lapangan hidup yang diketahui benar oleh anak-anak: rumah, kebun, halaman sekolah, dan
sebagainya. Di kelas-kelas tinggi dapat dipelajari kesatuan-kesatuan hidup yang lebih besar
dan lebih sulit: makanan kita, toko, atau hal-hal lain yang diambil dari kehidupan sehari-
hari. Pengajaran mengenai pokok-pokok yang lebih luas di sekolah tinggi disebut juga
pengajaran jurusan, dan mengajarkan kesatuan-kesatuan yang lebih terbatas di kelas-kelas
rendah disebut pengajaran totalitas. Lagi pula, penyusunan bahan pelajaran seperti itu
memberi kesempatan untuk menyuruh anak-anak bekerja sama secara berkelompok. Dalam
kelompok itu, tiap anak mengerjakan bagiannya masing-masing dan tujuannya dicapai
bersama-sama. Dalam hal inipun mudah kita lihat suatu asas demokrasi, yakni koperasi,
yang dalam masyarakat memungkinkan golongan-golongan yang dipinggirkan membela
hak-haknya.
Dengan cara kerja dan penyusunan bahan pelajaran serupa ini kita sebenarnya telah
lama meninggalkan cara menghapalkan di luar kepala yang formalistis seperti yang
terpakai di zaman dulu. Menyelidiki dan mempelajari sendiri masalah-masalah yang kecil
dan besar sudah jauh berbeda dengan apa yang disebut belajar dulu. Dengan cara baru ini
anak- anak sungguh-sungguh mempelajari sesuatu, bukan lagi menghapal di luar kepala,
tetapi melatih berpikir: sekolah modern bertujuan mengajar anak-anak berpikir.
Guru kolt tidak mengizinkan anak-anak bertanya: mereka harus mendengarkan dan
menelan begitu saja apa yang diajarkan kepada mereka. Guru modern yang bersama-sama
dengan muridnya membicarakan suatu proyek, memancing pertanyaan-pertanyaan dari
anak-anak. Sebagian besar pengajarannya justru terdiri dari menjawab pertanyaan-

33
pertanyaan yang dimajukan oleh anak-anak. Guru itu bukan lagi seorang diktator yang
mendiktekan bagaimana sesuatu harus dilakukan dan menghendaki supaya perintah-
perintahnya dijalankan dengan segera tanpa berpikir. Ia lebih merupakan pemimpin
maknawi, yang memberi penerangan demikian rupa, sehingga anak-anak dapat bekerja
sendiri. Ia memberi bantuan kepada murid-muridnya, kalau mereka pada suatu saat tidak
dapat melanjutkan pekerjaan karena mereka menemukan kesukaran-kesukaran. la memberi
kesempatan kepada murid-muridnya untuk menimbang sendiri. Itu bukan saja bermanfaat
untuk membentuk kepribadian, tetapi juga untuk membentuk warga negara yang
demokratis, karena negara demokrai membutuhkan pendapat-pendapat dan bantuan
segenap warga negara dalam berbagai peristiwa. Mereka harus memilih orang-orang yang
akan mewakili mereka dalam badan-badan pemerintahan kota dan negara dan sanggup
menyatakan pendapat tentang pimpinan pemerintah. Tetapi agar dapat menyatakan
pendapat tentang sesuatu, haruslah orang terlebih dulu mempunyai pendapat sendiri. Jadi ia
harus mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk itu.
Sekolah yang demokratis berkewajiban mengajarkan pengetahuan itu kepada anak-
anak. Dengan demikian, mulailah diajarkan di sekolah sebuah mata pelajaran baru: ilmu
kewarganegaraan, yang antara lain harus memberi pengertian tentang organisasi dan tugas
alat pemerintahan serta hak dan kewajiban warga negara. Kemajuan ilmu pengetahuan yang
pesat selama abad yang terakhir dan syarat-syarat yang semakin berat, yang dituntut
masyarakat modern dari para pekerjanya, menyebabkan orang makin lama makin kuat
berusaha untuk memberikan pengetahuan secukupnya kepada anak-anak di sekolah dasar,
sehingga mereka dapat memenuhi syarat-syarat itu. Karena itu masa belajar di sekolah
bertambah lama. Baik pengajaran rendah maupun pengajaran menengah dan tinggi makin
lama makin memerlukan masa belajar yang lebih lama. Akibat yang lain ialah bahwa
sekolah itu, yang dimulai sebagai lembaga pendidikan, lambat laun berubah menjadi
lembaga pengajaran. Perhatian terlalu banyak ditujukan kepada pengajaran, sehingga
pendidikan yang sebenarnya kurang diperhatikan.
Memang benar, bahwa sekolah yang mengajar anak-anak berpikir dan
mempergunakan pikiran itu dalam pekerjaan-pekerjaan yang praktis, dengan demikian

34
berusaha juga mendidik anak-anak dan ilmu kewarganegaraan dapat pula membantu
mendidik anak-anak itu menjadi warga negara yang baik. Tetapi benar pula, bahwa
pengajaran yang sebaik-baiknya masih mengutamakan pendidikan intelek dan karena itu
bersifat berat sebelah.
Anak-anak, seperti juga manusia-manusia lainnya, adalah makhluk- makhluk emosi.
Perasaan mereka perlu dibentuk dan dididik secara benar. Karena pendirian ini orang pada
waktu yang akhir-akhir ini lebih memerhatikan pelajaran perasaan (ekspresi). Yaitu,
pelajaran yang memberi kesempatan kepada anak-anak untuk menyatakan perasaannya,
mencurahkan isi hatinya. Pelajaran tersebut meliputi: pelahiran bahasa secara aktif,
menggambar, menyanyi dan menari. Kedua bentuk terakhir merupakan pelahiran perasaan
yang paling nyata. Kita telah melukiskan bahwa sejalan dengan masyarakat yang lebih
demokratis, berkembang pula pengajaran yang lebih demokratis. Ini sesuai dengan kaidah:
pendidikan dan pengajaran adalah fungsi masyarakat, pendidikan dan pengajaran
berkembang bersama-sama dengan masyarakat dan sesuai dengan struktur masyarakat yang
ada.
Tetapi perkembangan itu belum selesai dalam masyarakat dan demikian pula dalam
pengajaran dan pendidikan. Masyarakat-masyarakat yang demokratis dewasa ini masih
penuh mengandung unsur-unsur masa lampau. Anasir-anasir lama itu masih hidup,
sehingga kadang-kadang dapat menimbulkan bahaya besar pada perkembangan demokrasi
selanjutnya. Lagi pula, pengajaran yang demokratis sepenuhnya masih belum tercipta. Di
mana-mana masih merajalela tradisi-tradisi lama dan masih terdapat organisasi pengajaran,
sistem pengajaran, praktik didaktik dan metodik yang sebenarnya tidak sesuai lagi dengan
zaman sekarang.
Kolot dan modern kita dapati berdampingan dan karena banyak orang yang tak
mudah melepaskan diri dari tradisi dan kerap kali sukar menyesuaikan diri kepada sesuatu
yang baru, maka diakui secara lambat laun dengan perjuangan. Kerap kali timbul pula salah
paham: ada yang menyangka, bahwa "demokrasi" itu berarti atau harus diartikan: perlakuan
yang sama untuk semua, jadi juga: pengajaran yang sama untuk semua. Ini tentu saja tidak
benar. Bukankah telah nyata, bahwa manusia itu berbeda- beda, baik dalam lapangan

35
jasmani maupun rohani? Apabila orang kita paksa semuanya mengikuti pengajaran yang
sama, maka kita akan berlaku tidak adil, karena kita akan memaksa mereka melakukan
sesuatu yang tak apat dikerjakan oleh mereka. Seperti juga pada latihan jasmani kita tidak
akan menyuruh semua anak-anak melompat sama tinggi atau sama jauh, demikian pula kita
tidak akan menyuruh semua anak mengikuti pengajaran tinggi atau menengah.
Sebaliknya, pengajaran itu sedapat-dapatnya harus didiferensiasikan, berhubung
dengan kemungkinan-kemungkinan yang terdapat pada anak-anak dan di dalam
masyarakat. Pengajaran yang demokratis bukanlah pengajaran yang memberi pengajaran
yang memberi kemungkinan-kemungkinan yang sama kepada semua orang. Sistem
pengajaran harus memberi kesempatan kepada setiap orang mengembangkan bakat dan
kemungkinan- kemungkinannya selengkap-lengkapnya. Jadi, sistem itu tidaklah seragam,
tetapi didiferensiasikan sedapat-dapatnya, sehingga setiap orang dapat menemukan di
dalamnya apa yang sesuai dengan daya-daya pribadinya. Meskipun sistem ini di mana-
mana boleh dikatakan masih belum lengkap, namun harus kita akui, bahwa terutama
pengajaran pada abad yang akhir ini mendapat kemajuan yang amat pesat. Kemajuan-
kemajuan yang telah tercapai dalam waktu yang boleh dikatakan singkat itu jauh lebih
besar daripada masa abad-abad sebelumnya.

36
BAB 3
PENUTUP
3.1 Keseimpulan
Manajemen pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah
jelas. Manajemen pendidikan memiliki sejarah yang panjang dalam proses
perkembangannya. Pendidikan dan pengajaran adalah fungsi masyarakat yang berkembang
bersama-sama dengan masyarakat dan sesuai dengan struktur masyarakat yang ada.
Sejak masyarakat sederhana yang tercermin dalam masyarakat homogen telah
memiliki cara-cara pendidikan yang sesuai dengan kondisi pada saat itu. Pendidikan dalam
masyarakat homogen merapakan sistem kekeluargaan dan cinta damai sehingga tidak ada
persaingan untuk memenuhi kepentingan pribadi karena semua hal adalah milik bersama.
Masyarakat pun berkembang menjadi masyarakat heterogen dengan berbagai profesi
baru yang muncul. Untuk memenuhi tuntuan kehidupan, masyarakat heterogen menerapkan
sistem pendidikan yang cukup keras. Pendidikan dalam masyarakat heterogen
memperhatikan kelas sosial. Kaum dengan kelas sosial atas akan mendapat pendidikan dan
kelas sosial bawah sebagai kaum pekerja dan tidak mendapat pendidikan.
Sebagai respon dari sistem pendidikan diatas maka di era modern diterapkan
pendidikan demokrasi sebagai penyempurnaan dari sistem pendidikan sebelumnya.

37
Pendidikan demokratis yang ditegaskan dalam hal ini bukanlah perlakuan yang sama untuk
semua orang, namun bagaimana pengajaran yang diterapkan harus didiferensisasikan
dengan kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam masyarakat.

3.2 Saran
Berdasarkan jabaran kesimpulan sebelumnya, maka dirumuskan saran yakni
masyarakat modern sebaiknya mampu menerapkan pendidikan demokratis. Pendidikan
demokratis akan membuka cakrawala berpikir sehingga keseluruhan pengetahuan yang
diperoleh merupakan pengalaman empiris, yakni pengetahuan berdasarkan penyelidikan
yang objektif, bukan hal-hal gaib yang mendapatkan perhatian penuh, tetapi hal-hal yang
wajar, bukan kepercayaan tetapi pikiranlah yang menimbulkan hasil yang konkret. Bukan
perasaan , tetapi otak, budilah yang terpenting.

38
DAFTAR PUSTAKA

Daulay, S. S. (2018). Pengembangan Ilmu Manajemen Pendidikan. Retrieved from


kemenperen.go.id: https://www.kemenperin.go.id/download/6812/Pengembangan-
Ilmu-Manajemen-Pendidikan

Elihami. (2018, Agustus). Manajemen pendidikan. Retrieved from researchgate.net:


https://www.researchgate.net/publication/327163995_Manajemen_Pendidikan

Gaol, N. T. (2020). Sejarah dan Konsep Manajemen Pendidikan. Jurnal Dinamika


Pendidikan, 70-88.

Mustari, M. (2014). Manajemen pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Rini, Y. S. (2013). Pendidikan: Hakekat, Tujuan, dan Proses. Retrieved from


staffnew.uny.ac.id:
http://staffnew.uny.ac.id/upload/131644620/penelitian/PENDIDIKAN+HAKEKAT
,+TUJUAN,+DAN+PROSES+Makalah.pdf

Farikhah Siti, Wahyudhiana. (2018). Manajemne Pendidikan. Yogyakarta: Aswaja


Pressindo.

Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan


Nasional. (n.d.). Retrieved from sipuu.setkab.go.id:
https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/7308/UU0202003.htm#:~:text=Setiap%20warga

39
%20negara%20berhak%20mendapat%20kesempatan%20meningkatkan
%20pendidikan%20sepanjang%20hayat.&text=Setiap%20warga%20negara
%20yang%20berusia,tahun%20wajib%20mengikuti%20pendidikan%20d

40

Anda mungkin juga menyukai