Anda di halaman 1dari 12

DAMPAK KEPEMILIKAN DUA ATRIBUT OLEH PIMPINAN

TERHADAP KEBERLANGSUNGAN ORGANISASI:


STUDI KASUS LEMBAGA KPK

Disusun Oleh :
Farras Aryo Bramasta - K15191106

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS

MAGISTER MANAJEMEN DAN BISNIS


SEKOLAH BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI IX
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan Penulisan 2
KERANGKA TEORI 2
Pengertian Organisasi 2
Struktur Organisasi 2
Organisasi Pemerintahan Tingkat Pusat 3
Organisasi Pemerintahan Tingkat Pusat Secara Umum 3
Organisasi Pemerintahan Tingkat Pusat Secara Khusus 4
Lembaga Independen 4
Struktur Organisasi KPK 5
Penyelenggaraan Pemerintahan (Good Governance) 6
Conflict of Interest 6
PEMBAHASAN KASUS 7
Memudarnya Kepercayaan Masyarakat Kepada KPK 7
Terbukanya Peluang untuk Terjadinya Conflict of Interest 8
Rusaknya Prinsip Lembanga KPK yang Independen 8
PENUTUP 9
Kesimpulan 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Maraknya kasus korupsi di negeri ini membuat masyarakat menjadi cemas
terhadap masa depan Negara ini. Korupsi telah menggerogoti kehidupan bangsa
dan Negara Indonesia sejak dinyatakan kemerdekaannya. Namun karena tidak
pernah diberantas secara sungguh-sungguh hingga tuntas, kejahatan tersebut terus
berkembang bahkan merajalela hingga merusak sendisendi kehidupan bangsa dan
bernegara rakyat Indonesia.
Korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime dengan berbagai
dimensinya, seperti economic crime, organized crime, white collar crime dan
political crime. Dengan bentuknya yang extra ordinary crime, maka upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi harus ditempuh dengan cara-cara yang
luar biasa pula. Jika bisa sesempurna mungkin sehingga tidak ada lagi celah bagi
para koruptor untuk bebas, terlebih jika ada niat ingin melemahkan atau
membubarkan KPK.
Korupsi terjadi karena kinerja lembaga-lembaga pengawasan dalam
organisasi tidak berfungsi secara optimal. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
di bentuk dengan misi dan amanah untuk memberantas korupsi yang diharapkan
masyarakat untuk menciptakan keadilan, dengan publik sangat berharap agar
pemberantasan korupsi tidak pilih kasih sehingga hukum benar-benar ditegakkan
Sebagai lembaga publik yang dibentuk untuk melaksanakan tugas
pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 30
Tahun 2002, KPK merupakan lembaga Independen yang diwajibkan untuk
mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik. Selain pelaporan ke DPR
dan audit BPK, KPK juga perlu mengetahui persepsi dan harapan masyarakat
terhadap kinerja dan capaian KPK sebagai salah satu wujud mekanisme
pengawasan lembaga publik oleh masyarakat.
Kepemimpinan baru KPK yang dimpin oleh Firli Bahuri yang masih
merupakan anggota Polri, membuat dirinya menyandang dua atribut sekaligus,
dimana kedua atribut ini berada pada dua instansi yang mempunyai tupoksi saling
bersinggungan. Sehingga, kedudukan Firli Bahuri sebagai salah satu pemimpin
KPK menimbulkan banyak spekulasi di masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Sebagai lembaga indepeden, KPK menjadi harapan terakhir masyarakat
untuk dapat menumpas keberadaan korupsi di negeri ini. Pimpinan KPK yang
masih berstatus anggota Kepolisian, dikhawatirkan dapat menggiring perubahan
kultur organisasi, dimana awalnya KPK merupakan organisasi independen
menjadi non-independen.

1
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penelitian ini adalah Untuk memperoleh pengetahuan dan
deskripsi mengenai dampak kepemilikan dua atribut oleh pimpinan terhadap
keberlangsungan organisasi, dimana yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
lembaga KPK.

BAB II
KERANGKA TEORI

A. Pengertian Organisasi
Organisasi berasal dari kata Yunani organon, dan istilah Latin organum yang
berarti alat, bagian, anggota atau badan. Definisi menurut beberapa ahli
diantaranya :
1. James D Mooney : Organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia
untuk mencapai suatu tujuan bersama.
2. Chester I Barnard : Organisasi sebagai suatu sistem dari aktifitas kerja
sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.
3. Menurut Cyril Soffer : Organisasi adalah perserikatan orang-orang yang
masing-masing diberi peran tertentu dalam suatu
system kerja dan pembagian dalam mana pekerjaan itu
diperinci menjadi tugas-tugas, dibagikan kemudian
digabung lagi dalam beberapa bentuk hasil.

B. Struktur Organisasi
Menurut miles, stuktur organisasi adalah suatu yang menunjukan hierarki
organisasi yang bersagkutan, strktur otoritas, dan hubungan antara atasan dan
bawahan. Dalam referensi lain dijelaskan bahwa struktur organisasi adalah
struktur yang menunjukan kerangka dan susunan perwujutan pola tetap hubungan
diantara fungsi-fungsi, bagian-bagian atau posisi, maupun orang-orang yang
menunjukan kedudukan tugas dan wewenang dan tanggung jawab yang
berbeda-beda dalam suatu organisasi.
Dalam sebuh organisasi stuktrur organisasi sangat diperlukan untuk
menjelaskan dan menerangkan tata kepemimpinan yang terdapt dalam organisasi
tersebut. Disamping itu struktur oganiasi juga memepermudah bagi siapapun
untuk mengetahui subjek-subjek yang diberi wewenang dan tugas-tugas yang
dijalankan. Oleh karena itu struktur organisasi memiliki unsur yang terdiri dari :
1. Spesialisasi pekerjaan mengenai spesifikasi tugas-tugas individu dan
kelompok kerja dalam organisasi (pembagian kerja) dan penyatuan
tugas-tugas tersebut menjadi suatuan-satuan kerja (departementalisasi).
2. Standarisasi kegiatan, merupakan prosedur-prosedur yang digunakan
organisasi untuk menjamin terlaksananya kegiatan seperti yang
direncanakan.
3. Koordinasi kegiatan, menunjukan prosedur-prosedur yang meningkatkan
fungs-fungsi satuan-satuan kerja dalam organisasi.

2
4. Sentralisasi dan desentralisasi pembuatan keputusan, yang menunjukan
lokasi (letak) kekuasaan pembuatan keputusan.
5. Ukuran satuan kerja, menunjukan jumlah karyawan dalam satuan
kelompok kerja.

C. Organisasi Pemerintahan Tingkat Pusat


Organisasi pemerintahan merupakan organisasi yang memiliki hierarki
kewenangan,tugas dan fungsi sebagimana diatur oleh peraturan
perundang-undangan baik secara struktural maupun fungsional dalam
lembaga-lembaga pemerintahan yang tujuannya adalah mengimplementasikan
tujuan dari negara untuk rakyatnya.
Perkembangan organisasi pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa
kali perubahan baik secara struktur maupun secara kewenangan dan fungsinya.
Selain itu organisasi pemerintahan di Indonesia pula dapat dilihat dalam beberapa
tingkatan antara lain :
1. Organisasi Pemerintahan Tingkat Pusat/Nasional yang disebut Aparatur
Penyelenggara Negara,
2. Organisasi Pemerintahan Tingkat Provinsi yang disebut Pemerintahan
Daerah Provinsi,
3. Organisasi Pemerintahan Tingkat Kabupaten/Kota yang disebut
Pemerintahan Daerah Kabupaten Kota dan
4. Organisasi Pemerintahan Tingkat Desa/Kelurahan yang disebut
Pemerintahan Desa/Kelurahan.

1. Organisasi Pemerintahan Tingkat Pusat Secara Umum


Organisasi Pemerintahan di tingkat pusat merupakan organisasi tertinggi
dalam sebuah negara yang memiliki hierarki kewenangan,tugas dan fungsi
sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang tujuannya
adalah mengimplementasikan tujuan dari negara untuk rakyatnya. Organisasi
Pemerintahan di tingkat pusat sebagaimana diatur oleh UUD 1945 hasil
Amandemen adalah terdiri dari : Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, MK, KY
dan BPK.
Dalam ketentuan UUD 1945,terdapat lebih dari 21 subjek jabatan atau
subjek hukum kelembagaan yang dapat dikaitkan dengan pengertian
lembaga atau organ negara dalam arti yang luas antara lain sebagai berikut :
1. Presiden
2. Wakil Presiden
3. Dewan pertimbangan presiden
4. Kementerian dan Kementerian Negara
5. Menteri Luar Negeri
6. Menteri Dalam Negeri
7. Menteri Pertahanan
8. Duta
9. Konsul
10. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
11. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
12. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
13. Komisi pemilihan umum yang bersifat nasional
14. Bank sentral

3
15. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
16. Mahkamah Agung (MA)
17. Mahkamah Konstitusi (MK)
18. Komisi Yudisial (KY)
19. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
20. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)
21. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan.
Keberadaan organ-organ negara itu berdampingan secara sinergis
dengan keberadaan organ-organ atau institusi-institusi non-negara yang
tumbuh dalam lingkup organisasi masyarakat (organizations of civil society)
dan badan-badan usaha atau organisasi dunia usaha (business organizations,
corporate organs) yang hidup dalam dinamika pasar atau kepentingan politis
penguasa.

2. Organisasi Pemerintahan Tingkat Pusat Secara Khusus


Lembaga Negara Indonesia adalah lembaga-lembaga negara yang
dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh peraturan yang lebih rendah.
Lembaga negara di tingkat pusat dapat dibedakan dalam empat tingkatan
kelembagaan yakni:
1. Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD seperti Presiden, Wakil
Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY;
2. Lembaga yang dibentuk berdasarkan UU seperti Kejaksaan Agung, Bank
Indonesia, KPU, KPK, KPI, PPATK, Ombudsman dan sebagainya;
3. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau
Peraturan Presiden; dan
4. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri

D. Lembaga Independen

Pasca perubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara


ke dalam tiga kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas
perintah UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua,
lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang
(legislatively entrusted power). Dan ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas
dasar perintah keputusan presiden.
Lembaga-lembaga negara dari kelompok kedua dan ketiga inilah yang
disebut sebagai lembaga negara independen. Lembaga independen diantaranya
Kejaksaan Agung, KPU, KPK, KPI, PPATK, Ombudsman, dan sebagainya.
Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara umum
disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga
negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada
kenyataannya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil
memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan
perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya
paham demokrasi di Indonesia.

4
E. Struktur Organisasi KPK (UU No 19 tahun 2019)
KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional,
intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat
independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun.
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi
dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang
menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong
atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga
yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Adapun tugas KPK adalah: koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; melakukan
tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu:
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan
proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan
laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang
ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota.
Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari
unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan
selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas
bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal
dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh
seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang
Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik
Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.
Ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa
sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat berpartisipasi dalam
aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan KPK. Dalam pelaksanaan
operasional, KPK mengangkat pegawai yang direkrut sesuai dengan kompetensi
yang diperlukan.

F. Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik (good Governence)


United Nation and Development Program (UNDP) mendefinisikan
pemerintahan (governance) secara luas sebagai suatu tindakan kekuasaan politik
untuk mengatur perwujudan kepentingan publik suatu bangsa. Definisi yang
masih luas ini dinilai mempunyai relevansi dalam konteks negara yang sedang
berkembang mengingat kekuasaan politik memainkan peranan yang sering
menentukan posisi dari kepentingan publik.

5
Suatu pemerintahan yang baik dapat diinterpretasikan sebagai salah satu
bentuk pelaksanaan dari efektivitas dan efisiensi lembaga pemerintah dalam
menjalankan tujuan dari kebijakan nasional hasil konsensus bersama. Ada lima
unsur yang harus dipenuhi agar pemerintahan berjalan baik (good governance)
dan para penyelenggara bersih dari KKN (clean government). Kelima unsur itu
adalah : akuntabilitas (pertanggung jawaban), legitimasi (kepercayaan),
transparansi (keterbukaan), supremasi hukum (penegakan hukum), dan partisipasi
publik.
Pemerintahan akan efektif dan efisien jika ada legitimasi yang kuat dari
rakyatnya. Untuk meraih legitimasi yang kuat tersebut, pemerintah harus
menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan harapan masyarakat. Apabila
pemerintah menutup-nutupi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang
pejabat karena alasan tertentu, sesungguhnya hal ini semakin mengurangi
kepercayan masyarakat terhadap sistem dan pemerintahan. Agar pemerintah tetap
mendapatkan legitimasi yang kuat, siapa pun pejabat yang korup seharusnya
dibawa ke pengadilan.

G. Conflict of Interest
Definisi konflik kepentingan (conflict of interest) mengacu pada suatu situasi
dalam mana seseorang, seperti petugas publik, seorang pegawai, atau seorang
profesional, memiliki kepentingan privat atau pribadi dengan mempengaruhi
tujuan dan pelaksanaan dari tugas-tugas kantornya atau organisasinya.
Terdapat dua hal mengapa konflik kepentingan dipermasalahkan dan
menjadi sebuah tindakan yang tidak etis, yaitu:
• Pertama, mempengaruhi kepentingan publik atau kantor untuk kepentingan
keuangan pribadi, atasan, maupun golongannya.
• Kedua, mempengaruhi pengambilan keputusan yang bertujuan untuk
meluluskan kepentingan pribadinya, atasan, maupun golongannya.

Definisi konflik kepentingan bervariasi akan tetapi secara umum mengacu


pada keadaan di mana kepentingan pribadi (private interests) berbenturan dengan
tugas dan tanggung jawab resmi (formal duties/responsibilities).

6
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Sebagai lembaga indepeden, KPK saat ini mempunyai salah satu pimpinan
yang memiliki dua atribut, yaitu KPK dan Polri. KPK merupakan harapan terakhir
masyarakat untuk dapat menghilangkan korupsi di Indonesia. Kepemilikan dua atribut
oleh salah satu pimpinannya, dikhawatirkan akan dapat merubah keberlangsungan
organisasi KPK di Indonesia. Dampak yang mungkin akan berubah diantaranya :

A. Memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap KPK

Sejumlah lembaga merilis survei tentang kepercayaan publik kepada


lembaga pemerintahan. Satu hal yang menarik perhatian ialah posisi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terdepak dari tiga besar lembaga paling
dipercaya masyarakat. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) yang
merujuk pada survei Alvara Research Center pada awal tahun 2020, kepercayaan
publik kepada lembaga KPK menurun drastis. Pada survei tahun 2018, KPK
menempati posisi pertama sebagai lembaga negara yang paling dipercaya publik
mengalahkan Presiden. Namun pada survei terakhir ini, peringkatnya menurun
menjadi peringkat kelima.
Data diatas dapat menggambarkan situasi pemberantasan korupsi yang
semakin memburuk dan menipisnya harapan masyarakat indonesia terhadap KPK.
Hal ini disebabkan oleh KPK yang mengalami banyak perubahan, terlebih karena
seleksi pimpinan yang buruk membuat pimpinan KPK terpilih sarat kontroversi,
kemudian juga karena disahkannya UU KPK terbaru tahun 2019 yang beresiko
melemahkan kinerja KPK.
Jika mengacu pada salah satu unsur good governance, agar pemerintahan
dapat berjalan dengan baik, efektif, dan efisien haruslah memiliki unsur
legitimasi (kepercayaan) yang kuat dari rakyatnya. Apabila unsur kepercayaan ini
tidak dapat dipenuhi, maka akan menimbulkan reaksi dari masyarakat berupa
demonstrasi dan kritik pada pemerintahan tersebut. Sedangkan apabila reaksi
berupa tuntutan masyarakat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka akan berujung
pada ketidakpercayaan masyarakat yang semakin menipis.
Hal ini didukung dengan maraknya demonstrasi yang dilakukan oleh
elemen masyarakat hampir di seluruh wilayah indonesia pada sebelum pelantikan
pimpinan KPK tahun 2019 lalu. Demonstrasi yang dilakukan serempak tegas
menolak naiknya Firli sebagai pimpinan KPK tahun 2019-2023, serta menolak
disahkannya UU KPK revisi yang dapat melemahkan KPK. Kejadian pelantikan
serta disahkannya UU KPK inilah yang membuat masyarakat semakin ragu dan
tidak percaya akan kredibilitas KPK.
Penolakan masyarakat dengan naiknya Firli Bahuri sebagai pimpinan KPK
ini disebabkan oleh latar belakangnya sebagai anggota kepolisian Republik
Indonesia yang masih berlaku hingga saat ini. Syarat calon pimpinan KPK
sebagaimana diatur dalam Undang-undang no.19 tahun 2019, hanya disebutkan

7
untuk tidak menjadi pengurus parpol, melepaskan jabatan struktural dan tidak
menjalankan profesi tetap sebelumnya. Hanya saja, hal yang di khawatirkan
dalam kontes ini adalah kekhawatiran kinerja KPK kedepannya yang cenderung
tidak lagi Independen, mengingat salah satu pimpinannya masih terikat dengan
salah satu instansi negara.
Harapan masyarakat, langkah paling bijak yang dapat dilakukan Firli adalah
keluar dari instansi sebelumnya. Status nonaktif tidak cukup untuk dapat
memurnikan stigma negatif dan keragu-raguan masyarakat kepada pimpinan
KPK yang ada, yang dapat berujung pada ketidakpercayaan masyarakat atas
instansi tersebut.

B. Terbukanya kemungkinan untuk terjadinya conflict of Interest


Latar belakang salah satu pimpinan KPK yang masih merupakan anggota
dari instansi Polri, membuat peluang untuk terjadinya conflict of interest semakin
besar. Hal ini disebabkan oleh pemimpin yang mempunyai dua atribut, dimana
dapat menimbulkan potensi loyalitas ganda ketika yang bersangkutan
mempimpin KPK. Hal ini dikarenakan adanya UU kepolisian, dimana seorang
anggota kepolisian memiliki kewajiban untuk mengikuti perintah atasan serta
melaporkan seluruh tindakan kepada atasannya. Secara sederhana, dapat diartikan
status polisi Firli telah melanggar kodrat lembaga KPK yang independen.
KPK dan Polri memiliki irisan tupoksi yang nyaris bersinggungan, serta
Polri tak jarang berkonflik karena tak senada dengan KPK. Dengan pimpinan dari
instansi lain yang pernah berkonflik karena tidak senada dengan prinsip kerja
KPK, dikhawatirkan prinsip kerja KPK yang berintegritas tinggi dan kuat, akan
tergeser akibat adanya conflict of interest dari loyalitas pimpinan terhadap
instansi lainnya.

C. Rusaknya Prinsip Lembaga KPK yang Independen


KPK merupakan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
dimana KPK diberi amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi secara
profesional intensif dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga
Independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun.
Sejak berdirinya KPK, kultur organisasi berupa integritas sudah
dilaksanakan secara cukup konsisten oleh KPK, bahkan setelah perubahan
komisioner silih berganti. Hal ini tidak terlepas dari kultur organisasi KPK berupa
budaya egaliter yang saling mengawasi dan melaporkan antar anggotanya.
Sejarah mencatat, Integritas ini ditandai dengan ditangkapnya AKP suparman
(anggota polri yang ditugaskan di KPK, ditangkap karena melakukan penmerasan
terhadap saksi yang berperkara di KPK). Kemudian, ada pula kasus yang
dilakukan brigjen Yurod Saleh yang meminta CCTV untuk dimatikan saat
bertemu dengan tersangka (Nazarudin), kemudian terdapat 2 anggota Polri
lainnya yaitu Kombes Roland dan Kompol Harun karena kasus perusakan barang

8
bukti (Buku Merah) yang berisi catatan aliran uang dan dana ke oknum petinggi
Polri.
Berdasarkan kasus yang sedang dibahas, kepemilikan dua atribut oleh Firli
sebagai salah satu pimpinan KPK, membuat KPK menjadi tidak lagi independen.
Lembaga independen seharusnya dapat bekerja tanpa ada intervensi dari lembaga
atau organisasi lainnya. Ketika pemimpin belum keluar dari instansi sebelumnya,
secara eksplisit dapat digambarkan bahwa situasi ini bertentangan dengan tujuan
awal terbentuknya lembaga KPK sebagai lembaga independen. Hal ini tidak
hanya akan membunuh independensi pegawai KPK, namun juga matinya
integritas pegawai KPK.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dampak kepemilikan dua atribut oleh pimpinan terhadap keberlangsungan
lembaga KPK adalah, memudarnya kepercayaan masyarakat atas lembaga KPK,
Adanya peluang terjadinya conflict of interest, dan rusaknya prinsip lembaga
KPK yang independen. Menurut ICW yang merujuk pada salah satu lembaga
survei, tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK pada tahun 2020 menurun
drastis jika dibandingkan dengan tingkat kepercayaan pada tahun 2018. Pimpinan
KPK yang masih merupakan anggota dari instansi lainnya, membuat peluang
untuk terjadinya conflict of interest semakin besar, hal disebabkan adanya potensi
loyalitas ganda ketika pemimpin menjalankan tugasnya di KPK. Kepemilikan
dua atribut oleh salah satu pimpinan KPK juga dikhawatirkan membuat KPK
tidak lagi independen, hal ini bertentangan dengan kultur budaya organisasi KPK
berupa integritas yang konsisten oleh KPK. Lembaga independen seharusnya
dapat bekerja tanpa intervensi dari lembaga atau organisasi lainnya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Darmanto. 2006. Jurnal Organisasi dan Manajemen: Organisasi Pemerintah Daerah


Mewujudkan Tata Pamong Yang Baik (good governance). Vol 2(1): 35-49
KPK. 2016. Pengelolaan Konflik Kepentingan. Jakarta:KPK [internet]. Diakses
pada 10 Juni 2020 pada https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul
integritas/ Modul-7-Pengelolaan-Konflik-Kepenti ngan.pdf
Louis, KS. 2015. Journal of Organization Theory in Education: Around the Block
Again ? Moving Forward ? or Both ?. Vol1(1): 9-18
Morill, C. 2008. Culture and Organization Theory; The ANNALS of the American
Academy of Political and Social Science. Vol 619(1):15-40
Nurasa, H. 2013. Sosiohumaniora: Analisis Organisasi Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Sebagai Sebuah Sistem Terbuka. Vol 15(1):80-90
Nurtjahjo, H. 2005. Jurnal Hukum dan Pembangunan: Lembaga, Badan, dan Komisi
Negara Independen di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara. Vol
35(3) :275-294
Polri. 2011. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2011 Tentang Kode Etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
[internet]. Jakarta: Polri.
Sitepu, YS. 2011. Jurnal Al-Azhar seri Pranata Sosial : Paradigma dalam Teori
Organisasi dan Implikasinya pada Komunikasi Organisasi. Vol 1(2): 83-92
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. [internet]. Diakses pada 10 Juni 2020 pada
www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/UU-Nomor-19-Tahun-2019.pdf
Winardi, J. 2014. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta:Rajawali Pers

10

Anda mungkin juga menyukai