Anda di halaman 1dari 8

KAJIAN TAFSIR MAUDHU’I: ANALISIS LAFAL AL-HAMDU

DALAM AL QURAN

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir Maudhu’i

Dosen Pengampu:
K.H. Ahmad Syakir

Oleh:

Aufa Varrassyah Nawwaf NIM: 2019.01.01.1236


Ahmad Syafiq Krisdawahid NIM: 2019.01.01.1247
Khulafaur Rosyidin NIM: 2019.01.01.1242
Ridlo ‘Ainurridlo NIM: 2019.01.01.1471

PROGRAM STUDI AL-QUR’AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-ANWAR

SARANG REMBANG

2020
A. PENDAHULUAN
Al Qur’an merupakan kalamullah yang mengandung mu’jizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat jibril, yang
ditulis pada mushaf, dikutip secara mutawatir, membacanya bernilai ibadah,
diawali dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas. 1 Al Quran
merupakan kitab yang paling sempurna dan makna yang terkandung di
dalamnya sangat luas, oleh karena itu dalam memahaminya diperlukan suatu
penafsiran. Penafsiran tersendiri, seperti yang sudah dijelaskan, ada empat
macam yaitu tahlili, maudhu’i, ijmali, dan muqarin. Adapun yang menjadi titik
fokus penulis disini adalah tafsir maudhu’i yaitu suatu ilmu yang membahas
mengenai kasus-kasus dalam Al Quran, dengan cara mengumpulkan ayat-ayat
yang berbeda beda tetapi memiliki makna dan tujuan yang sama, kemudian
dilakukan analisa pada suatu bentuk tertentu dengan syarat-syarat tertentu,
untuk dijelaskan maknanya, di keluarkan unsur-unsurnya, dan diikat dengan
suatu ikatan yang mencakup satu sama lain.2
Salah satu model penafsiran tafsir maudhu’i sendiri adalah tafsir maudhu’i
li al-mustholah al-qura’aniy. Model penafsiran ini menitikberatkan pada
observasi suatu kata dalam Al Quran, kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang
menyatakan di dalamnya kata tersebut atau turunan katanya, kemudian
melakukan penafsiran terhadapnya dan menemukan dalalah-nya.3 Kemudian
penulis merasa perlu untuk memberikan contoh mengenai model tafsir
maudhu’i li al-mustholah al-qura’aniy. Penulis disini mengambil satu istilah
kata dalam Al Quran yaitu al-hamdu. Dari sini kemudian terciptalah makalah
yang berjudul “Kajian Tafsir Maudhu’i: Analisis Lafal Al-Hamdu Dalam Al
Quran”. Penulis menyadari bahwasanya masih terdapat banyak kekurangan
dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca
akan sangat membantu penulis kedepannya untuk bisa menulis makalah
dengan lebih baik lagi.

1
Muhammad Ali as-Shabuni, At Tibyan fii Ulumil Qur’an (Jakarta: Daar al-Mawahib al-
Islamiyah, 2016), 10.
2
Musthafa Muslim, Mabahits fii At-Tafsir Al-Maudhu’i (Damaskus: Daar al-Qalam, 2000), 16.
3
Abbas ‘Awadullah Abbas, Muhadharat fii al-Tafsir al-Maudhu’i (Damaskus: Daar al-Fikr,
2007), 27

1
B. PEMBAHASAN
1. Selayang Pandang Lafal Al-Hamdu
Lafal al-hamdu secara etimologi adalah lawan dari adz-dzammu4 yang
memiliki arti celaan, kecaman, atau kritikan. 5 Adapun pengertian Al-Hamdu
secara terminologi adalah pujian kepada pemberi nikmat akan keindahan
sifatnya disertai perasaan cinta dan pengagungan. 6 Jadi, makna al-hamdu
lillah adalah pujian kepada Allah karena keutamaannya. 7 Kemudian huruf
Alif dan Lam disitu adalah istighraq (mencakup semua) jenis-jenis dan
macam-macam pujian kepada Allah.8

2. Persamaan dari Lafal Al-Hamdu


a. Asy-Sukru
Al-Hamdu memiliki koherensi dengan asy-syukru (syukur) yang
merupakan pujian kepada yang berbuat baik dengan menyebut
kebaikannya. Maka syukur seorang hamba kepada Allah adalah ia
memujinya dengan menyebut kebaikannya, yaitu ni’matnya. Dan
syukurnya Allah kepada hambanya adalah memujinya dengan menerima
kebaikan hambanya tersebut, yaitu ketaatannya.9
b. Al-Hubb
Al-Hamdu juga bermakna al-hubb (cinta) yaitu tertariknya diri
seseorang kepada sesuatu yang disukai.10
c. Ar-Ridha
Al-Hamdu juga bisa bermakna ar-ridha yang berarti kerelaan atau
kesenangan.11
d. At-Taslim

4
Ibnu Mandzur, Lisan Al-Arab (Kairo: Daar al-Ma’arif, t.th.), 987.
5
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Penerbit Pustaka Progresif, 1984),
451.
6
Abdurrahman bin ‘Abid al-Gharibi, Al-Hamdu fi Al-Qur’an al-Karim wa As-Sunnah an-
Nabawiyyah (Dubai: Jam’iyyah Daar al-Birr, 2011), 27
7
Raghib al-Asfihani, Mufradat Alfadz Al-Quran (Damakus: Daar al-Qalam, 2009), 256.
8
Al-Gharibi, Al-Hamdu, 28.
9
Ibid., 31.
10
Ibid., 32.
11
Ibid., 33.

2
Al-Hamdu juga bermakna at-taslim yaitu tunduk terhadap perintah
Allah, tidak protes apabila menemui sesuatu yang tidak pas dengan
dirinya, dan menerima qadha’ dengan ridha.12
e. Al-Madhu
Al-Hamdu memiliki kemiripan dengan al-madhu tetapi hakikatnya
berbeda. Jikalau al-hamdu itu disertai perasaan mengagungkan dan rasa
cinta sedangkan al-madhu itu terkadang tanpa disertai pengagungan dan
rasa cinta.13

3. Lafal Al-Hamdu dan Asy-Syukru


a. Lafal Al-Hamd itu bermakna sama dengan Asy-Syukru
Ulama yang memegang pendapat ini antara lain Imam Ibnu Jarir Ath-
Thabari. Dalam penafsiran beliau mengenai ayat ِ ‫ ُد هّٰلِل‬HHH‫ح ْم‬
َ ‫اَ ْل‬, beliau
mengatakan, “Al-Hamdu adalah asy-syukru (rasa syukur) yang ditujukan
secara murni kepada Allah, yang bukan ditujukan kepada sesembahan
selainnya dan bukan juga makhuknya, terhadap ni’mat yang diberikan
kepada hambanya yang tidak terhitung jumlahnya……”14 Pendapat ini
didukung oleh beberapa dalil, antara lain perkataan Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa al-hamdu adalah asy-syukru (rasa syukur) dan al-
istikhdza (tunduk) yang ditujukan kepada Allah dan pengakuan terhadap
nikmatnya, petunjuknya, serta pengakuan bahwa Allah adalah
permulaan.15 Begitu pula Qodhi ‘Iyadh yang mengatakan bahwa asy-
sukru dan al-hamdu bermakna satu. Tetapi beliau men-spesifikan
pendapatnya dengan mengatakan bahwa al-hamdu itu lebih umum.16

b. Lafal Al-Hamdu dengan Asy-Syukru tidak terikat maknanya satu sama


lain

12
Ibid., 33.
13
Ibid., 33.
14
Ibid., 37. Lihat Juga Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari (Beirut: Muassasah ar-Risalah,
1994), 61
15
Ibid., 38.
16
Ibid., 39

3
Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa al-hamdu berbeda dengan
asy-syukru. Hal tersebut disesuaikan dengan keadaan diri seseorang
(yang memuji) dan keadaan siapa yang berhak mendapatkannya (yang
dipuji). Seperti yang dikatakan oleh syeikh Muhammad bin Abdul
Wahab bahwa al-hamdu mengandung pujian terhadap yang dipuji
dengan menyebutkan kebaikan-kebaikannya, baik disitu ada perbuatan
baik yang dilakukan kepada yang memuji atau tidak. Sedangkan asy-
syukru itu hanya terjadi jika ada perbuatan baik yang dilakukan (kepada
yang memuji). Maka, Allah itu dipuji (yuhmadu) karena asma-asmanya
yang baik, karena sifat-sifatnya yang luhur, dan karena ciptaan-ciptaanya
di dunia dan akhirat. Dikatakan dalam ayat

ِ ٰ‫الظلُم‬
‫ر‬Hَ ‫ت َوالنُّ ۡو‬ َ ‫ت َوااۡل َ ۡر‬
ُّ ‫ض َو َج َع َل‬ َ َ‫اَ ۡل َحمۡ ُد هّٰلِل ِ الَّ ِذ ۡى َخل‬
ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan
menjadikan gelap dan terang”17

‫ض َولَـهُ ۡال َحمۡ ُد فِى ااۡل ٰ ِخ َر ِة‬ ‫هّٰلِل‬


‫اۡل‬ ِ ‫اَ ۡل َحمۡ ُد ِ الَّ ِذ ۡى لَهٗ َما فِى السَّمٰ ٰو‬
ِ ‫ت َو َما فِى ا َ ۡر‬
“Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang
di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat”18

Ayat-ayat di atas menggunakan lafal al-hamdu bukan asy-syukru karena


pujian tersebut tanpa didahului perbuatan baik yang dikhususkan kepada
yang memuji. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya dan juga yang
dikatakan dalam tafsir Qurthubi, “Yang benar adalah, al-hamdu
merupakan pujian terhadap yang dipuji karena sifatnya tanpa harus
memberikan kebaikan terlebih dahulu, sedangkan syukur itu pujian
karena perbuatan baik yang diberikan.”19 Alasan lainnya mengapa
menggunakan lafal al-hamdu karena al-hamdu lebih umum daripada asy-
syukru. Al-hamdu merupakan bentuk pengagungan karena pemberian

17
Al-Qur’an, al-An’am [6]: 1.
18
Al-Qur’an, Saba’ [34]: 1.
19
Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an
(Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2004), 1:207

4
ni’mat yang bersumber darinya baik ni’mat itu sampai kepadamu ataupun
tidak sampai. Sedangkan asy-syukru merupakan pengagungan karena
pemberian ni’mat yang sampai kepadamu dan kamu mendapatkannya.
Hal ini dikatakan oleh Syeikh Nawawi al-Jawi. 20 Imam Ar-Razi
nampaknya juga mengeluarkan pernyataan yang selaras bahwasanya al-
hamdu itu digunakan secara umum sebagai pujian karena pemberian
ni’mat yang mana ni’mat itu sampai kepadamu atau kepada selainmu.
Sedangkan asy-syukru hanya terkhusus kepada ni’mat yang sampai
kepadamu.21 Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa penggunaan al-
hamdu tidak mensyaratkan adanya ni’mat yang didapat, tetapi asy-syukru
mensyaratkan adanya ni’mat yang didapat. Sehingga tidak dikatakan asy-
syukru lillah, karena jika dikatakan begitu maka yang jadi tuntutan
adalah sampainya ni’mat dan itu merupakan tingkatan yang hina. Tetapi
dikatakan al-hamdu lillah karena hal tersebut menunjukkan bahwa
seorang hamba memuji Allah karena memang Allah berhak atas pujian
tersebut dan pujian tersebut tidak terkhususkan atas pemberian ni’mat
Allah kepadanya.22

Perbedaan lainya adalah perwujudan asy-syukru itu dengan tiga hal yaitu
lisan, hati, dan anggota badan. Sedangkan perwujudan al-hamdu hanya
menggunakan lisan.23 Dikatakan dalam ayat

‫اِ ْع َملُ ْٓوا ٰا َل د َٗاو َد ُش ْكرًا‬


“Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah)”24

Menurut Prof. Wahbah Zuhaili, maksud ayat diatas adalah “Wahai


keluarga Nabi Dawud, berbuatlah taat kepada Allah sebagai bentuk
syukur kepada Allah atas apa saja yang diberikan padamu, dan sedikit
20
Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Marah Labid li Kasyfi Ma’na Al Qur’an Al Majid
(Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), 1: 305.
21
Al-Gharibi, Al-Hamdu, 41. Lihat juga Muhammad ar-Razi Fakhr ad-Din bin Dhiya’ ad-Din
Umar, Mafatih al-Ghaib (Damaskus: Daar al-Fikr, 1981), 12: 150
22
Ar-Razi, Mafatih, 12: 151.
23
Al-Gharibi, Al-Hamdu, 40.
24
Al-Qur’an, Saba’ [34]: 13.

5
dari hambaku yang bersyukur (berbuat taat kepada Allah). Orang yang
melaksanakan syukur itu dengan hatinya, lisannya, dan anggota
badannya.”25 Dari ayat di atas dapat diambil benang merah bahwa asy-
syukru itu diwujudkan dengan bekerja dan berbuat taat kepada Allah
yang mana dalam hal ini Nabi Daud melakukan shalat dan berpuasa. Hal
ini menunjukkan bahwa perwujudan asy-syukru itu dengan lisan, hati,
dan anggota badan. Selain itu ada juga bukti bahwa perwujudan al-
hamdu itu cukup dengan lisan. Dikatakan riwayat Ibnu Abbas

َ َ‫ وإِن آدم عليه السالم قَال حين َعط‬,‫الحمد هلل كلمة كل شاكر‬
‫ الحمد هلل‬:‫س‬
“Al-Hamdu Lillah merupakan kata setiap orang yang bersyukur,
Sesungguhnya Nabi Adam Alaihis Salam ketika bersin mengucap al-
hamdu lillah”.

Dikatakan juga dalam ayat ketika Allah berkata kepada Nabi Nuh
‫فَقل الحمد هلل الذي نجّانا من القوم الظالمين‬
“Maka ucapkanlah segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan
kami dari orang-orang yang dzalim”.26

Dari dalil di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa perwujudan al-hamdu


itu cukup menggunakan lisan.

4. Pembagian dari Pujian


a. Pujian qodim li qodim yakni Allah memuji zat-Nya sendiri
b. Pujian qadim lil haadiits yakni Allah memuji makhluq-Nya seperti Allah
memuji Nabi Muhammad
c. Pujian haadits lil qadim yakni makhluk Allah memuji Allah
d. Pujian haadits lil haadits yakni makhuq Allah memuji sesama makhluq
Allah.27

25
Wahbah Zuhaili, At-Tafsir Al-Wajiz (Damaskus: Daar al-Fikr, 1994), 430.
26
Al-Gharibi, Al-Hamdu, 28. Lihat Juga Al-Qurthubi, Al-Jami’, 1: 206.
27
Muhammad Nawawi, Nuur adz-dzolam, (Surabaya : Kharisma, tth), 3-4.

6
Daftar Pustaka

Al-Qur’an
Abbas, Abbas Awadullah. “Muhadharat fii al-Tafsir al-Maudhu’i”. Damaskus:
Daar al-Fikr, 2007.
Asfihani (al), Raghib. Mufradat Alfadz Al-Quran. Damaskus: Daar al-Qalam.
2009.
Gharibi (al), Abdurrahman bin ‘Abid. Al-Hamdu fi Al-Qur’an al-Karim wa As-
Sunnah an-Nabawiyyah. Dubai: Jam’iyyah Daar al-Birr. 2011.
Mandzur, Ibnu. Lisan Al-Arab. Kairo: Daar al-Ma’arif. t.th.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Penerbit Pustaka
Progresif. 1984.
Muslim, Musthafa. Mabahits fii At-Tafsir Al-Maudhu’i. Damaskus: Daar al-
Qalam, 2000.
Nawawi, Muhammad bin Umar. Marah Labid li Kasyfi Ma’na Al Qur’an Al
Majid. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah. 1997.
Nawawi, Muhammad. Nuur adz-dzolam. Surabaya: Kharisma. t.th..
Qurthubi (al), Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr. Al-Jami’ Li
Ahkam Al-Qur’an. Beirut: Muassasah Ar-Risalah. 2004.
Shabuni (as), Muhammad Ali. At Tibyan fii Ulumil Qur’an. Jakarta: Dar al-
Mawahib al-Islamiyah. 2016.
Thabari (ath), Ibnu Jarir. Tafsir Ath-Thabari. Beirut: Muassasah ar-Risalah. 1994.
Umar, Muhammad ar-Razi Fakhr ad-Din bin Dhiya’ ad-Din. Mafatih al-Ghaib.
Damaskus: Daar al-Fikr. 1981.
Zuhaili, Wahbah. At-Tafsir Al-Wajiz. Damaskus: Daar al-Fikr. 1994.

Anda mungkin juga menyukai