Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PERTOLONGAN PERTAMA PENDARAHAN PEMBULUH NADI,


PENDARAHAN PADA UMUMNYA, PINGSAN
DAN PENYAKIT PEGUNUNGAN

DISUSUN OLEH :

AZMI IKHWAN
NIM: 18087151

DOSEN PENGAMPU :
VEGA SONIAWAN, S.Pd, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEPELATIHAN OLAHRAGA


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipotermia merupakan keadaan dimana terjadi penurunan suhu tubuh dari

batas normal menjadi <35oC atau 95oF secara involunter. Hipotermia terjadi

karena pelepasan panas melalui konduksi, konveksi, radiasi, atau evaporasi.

Lokal cold injury dan frostbite terjadi karena hipotermia menyebabkan

penurunan viskositas darah dan kerusakan intraseluler (intracellular injury).

Hipotermia dapat dikategorikan sebagai hipotermia ringan (32 – 35oC),

o o
hipotermia sedang (28 – 31 C) dan hipotermia berat (dibawah 28 C). Gejala

yang sering terjadi mulai dari pusing, menggigil, hingga halusinasi seperti orang

yang kesurupan. Meskipun gejala awal yang terjadi hanya gejala ringan, penyakit

ini banyak menyebabkan kematian. Faktor risiko hipotermia semakin meningkat

pada orang tua, anak – anak, pecandu alkohol dan pendaki gunung (Setiati,

2014).

Pendakian atau mendaki gunung merupakan sebuah kegiatan outdoor

yang dapat dilakukan oleh setiap orang, asalkan memiliki kemampuan fisik yang

memadai. Fenomena mendaki gunung sekarang tidak hanya dilakukan oleh

orang-orang terlatih, tetapi banyak mahasiswa maupun remaja yang melakukan

pendakian tanpa memiliki kemampuan dan persiapan yang matang hanya untuk

sekedar mengikuti tren tanpa mengetahui risiko yang mungkin terjadi. Kegiatan

mendaki gunung ini memiliki risiko yang mengancam keselamatan fisik maupun

jiwa para pendaki. Untuk meminimalkan risiko tersebut ada beberapa persiapan

1
2

yang harus disiapkan guna mencegah terjadinya hipotermia pada saat pendakian.

Pada Desember tahun 2014 ditemukan seorang peneliti dari LIPI meninggal

dunia di gunung Binaya, Maluku akibat terserang hipotermia (Pratama, 2014).

Menurut data TN-BTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) tanggal

4 Februari 2015, selama lima tahun terakhir jumlah pendaki tak kurang dari

45.000 orang dan pada hari libur dapat mencapai 300 orang pendaki per hari.

Pada tahun 2015 kecelakaan dalam pendakian paling sering terjadi di Gunung

Semeru Jawa Timur, tercatat 2 pendaki meninggal dunia karena hipotermia. Pada

tahun 2016 pendakian di Gunung Merbabu Jawa Tengah, jumlah kecelakaan

pendakian meningkat menjadi 15 kasus yang menyebabkan 7 pendaki meninggal

dunia dimana 2 orang diantaranya terserang hipotermia. Ditahun yang sama

pendakian yang dilakukan di gunung Lawu terdapat salah seorang pendaki yang

terserang hipotermia. Angka ini meningkat cukup signifikan pada tahun 2018

yaitu pendakian di Gunung Rinjani Lombok, sebanyak 23 kejadian terjadi yang

menyebabkan salah satu diantaranya meninggal karena hipotermia. Selain di

Gunung Rinjani, pendakian yang dilakukan di Gunung Arjuna pada Desember

2018 juga ditemukan kerangka manusia berupa satu kaki dan satu tangan, setelah

diidentifikasi diduga tewas karena hipotermia. Pada awal tahun 2019, kecelakaan

dalam pendakian kembali terjadi. Tiga orang pendaki muda meninggal dunia

dalam perjalanan menuju puncak Gunung Tampomas Jawa Barat yang diduga

meninggal karena terserang hipotermia. Di tahun yang sama 4 pendaki gunung

Sumbing mengalami hipotermia dan 1 meninggal dunia. (Naldi, Atik S, &

Purnomo, 2017).
3

Kejadian hipotermia dapat menyebabkan dampak yang serius apabila

o
tidak ditangani dengan tepat. Menurunnya suhu tubuh lebih dari 30 C hingga

terjadi penurunan kesadaran maka akan menyebabkan adanya ancaman

kematian. Respons pertama yang diberikan oleh tubuh untuk menjaga suhu agar

tetap normal (37˚C) adalah dengan gerakan aktif maupun involunter seperti

menggigil. Kesadaran, pernapasan, dan sirkulasi juga masih normal. Namun,

seluruh sistem organ akan mengalami penurunan fungsi kerja organ sesuai

dengan kategori hipotermia. Komplikasi berat seperti fibrilasi atrium akan terjadi

apabila suhu inti tubuh menurun hingga kurang dari 32˚C. Risiko henti jantung

akan meningkat apabila suhu inti tubuh menurun di bawah 32˚C, dan sangat

meningkat apabila suhu kurang dari 28˚C (konsumsi O2 dan frekuensi nadi

menurun 50%) (Tanto, 2014).

Pendaki gunung selama ini kurang mengenali tanda maupun gejala dari

hipotermia secara signifikan. Penanganan hipotermia hanya sebatas penanganan

yang diketahui dan tidak sesuai dengan prosedur. Memberikan jaket,

memberikan pukulan atau tamparan untuk meningkatkan emosi penderita, dan

diberikan minuman hangat seperti air hangat ataupun teh sudah menjadi andalan

penanganan hipotermia. Dampak ataupun komplikasi yang dapat terjadi saat

hipotermia masih belum sepenuhnya diketahui oleh para pendaki pada umumnya.

Pendaki gunung seharusnya sigap dalam menghadapi kejadian apapun yang

terjadi di alam bebas seperti hipotermia salah satunya. Kurangnya kesadaran dan

informasi mengenai pemahaman hipotermia dan bagaimana cara mengatasinya

kerap menjadi ancaman tersendiri bagi para pendaki. Sebelum melakukan


4

pendakian sangat diperlukan persiapan, baik persiapan secara fisik, mental serta

persiapan untuk bekal saat pendakian dan persiapan keamanan. Selain itu,

keadaan alam juga menentukan keselamatan selama pendakian. Pendaki juga

harus dibekali edukasi mengenai pengetahuan yang cukup untuk medan yang

akan dihadapi. Apabila terjadi keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan

pertolongan dengan segera, pendaki siap melakukan pertolongan sesuai

pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Pengetahuan dan kemampuan dalam

pertolongan pertama bisa didapatkan dari pendidikan kesehatan (Idris et al.,

2014).

Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses pembelajaran yang

diberikan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang bertujuan

untuk merubah prilaku. Proses pendidikan kesehatan ini memiliki beberapa

komponen diantaranya menggunakan strategi belajar mengajar, mempertahankan

keputusan untuk membuat perubahan perilaku, dan pendidikan kesehatan

terfokus kepada perilaku untuk meningkatakan status kesehatan. Melalui

pendidikan kesehatan yang diberikan untuk menjelaskan tentang pertolongan

pertama hipotermia akan memberikan gambaran kepada pendaki gunung terkait

pertolongan pertama hipotermia, dan akan meningkatkan pengetahuan serta

kemampuan keterampilan dalam pertolongan. Pendidikan ini akan menjelaskan

bagaimana penanganan yang tepat terhadap hipotermia, agar tidak salah dalam

penanganan maupun penanganan yang hanya asal – asalan (Hidayati, 2016).

Pendidikan kesehatan merupakan prioritas utama dan merupakan salah

satu intervensi keperawatan yang efektif untuk meningkatkan tingkat kesadaran


5

maupun pengetahuan akan pentingnya pemahaman. Pendidikan kesehatan juga

memiliki berbagai metode yang dapat digunakan untuk menyampaikan materi

sesuai dengan kebutuhan. Namun demikian, efektifitas pendidikan kesehatan

belum sepenuhnya diketahui dan belum sepenuhnya dapat diberikan di seluruh

kalangan masyarakat (Ainal Mardhiah, 2016).

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yanti Naldi dkk

penelitian terhadap pengetahuan penanganan awal hipotermia didapatkan bahwa

pengetahuan yang dinilai baik oleh peneliti yaitu hanya 11,4 % dari rentang 100

%. Pengetahuan sedang yang paling mendominasi yaitu sebanyak 58,6 %.

Penelitian yang dilakukan oleh Pandhu Bawono yang menilai tentang

pengetahuan pendaki gunung tentang pertolongan pertama hipotermia dalam

kategori pengetahuan baik yaitu hanya 16,67 %, dan yang paling mendominasi

yaitu pengetahuan cukup sebanyak 47,62 %.

Penelitian selanjutnya ini diharapkan mampu memberikan solusi terkait

kejadian hipotermia yaitu memberikan pendidikan kesehatan pertolongan

pertama terhadap hipotermia. Pendidikan kesehatan akan lebih memberikan

gambaran kepada pendaki gunung untuk mendapatkan penjelasan dan dapat

meningkatkan pengetahuan setiap individu. Peneliti ingin memberikan

pendidikan kesehatan pertolongan pertama hipotermia pada mahasiswa pecinta

alam, agar penanganan dalam pertolongan dilakukan dengan tepat pada saat

dirinya sedang dalam kondisi hipotermia atau mendapatkan korban dengan

hipotermia. Dengan menggunakan metode audiovisual melalui pendekatan focus

group discussion dalam memberikan pendidikan kesehatan harapannya akan


6

mengurangi tingkat kematian pendaki gunung akibat hipotermia. Setelah

dilakukan pendidikan kesehatan akan diukur kemampuan dalam pertolongan

pertama hipotermia. Sehingga peneliti membuat sebuah penelitian dengan judul

“Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kemampuan Pertolongan Pertama

Hipotermia Pada Mahasiswa Pecinta Alam di Kabupaten Jember”.

B. Rumusan Masalah

1. Pernyataan Masalah

Kasus hipotermia pada pendaki gunung setiap tahunnnya semakin

meningkat. Para pendaki banyak yang tidak melakukan persiapan yang

matang dalam melakukan pendakian. Banyaknya kecelakaan dalam

pendakian menjadi catatan dan perhatian tersendiri. Keselamatan dan

keamanan bagi setiap satu sama lain sangat penting peranannya. Kematian

yang kerap terjadi yaitu karena terserang hipotermia. Kegagalan dalam

pertolongan pertama menjadi penyebab utama kematian. Kemampuan dan

pengetahuan dalam penanganan hipotermia sangat diperlukan dengan tepat

untuk mencegah terjadinya kematian. Mahasiswa Pecinta Alam khususnya

dapat berperan dalam melakukan pertolongan pertama pada korban yang

melakukan pendakian dan mengalami hipotermia. Namun, pendidikan yang

dimiliki mereka masih dalam tahap pertolongan dasar. Sedangkan korban

terus meningkat. Penanganan harus dilakukan dengan cepat, tepat dan

cermat karena akan berpengaruh terhadap kondisi korban.


7

2. Pertanyaan Masalah

a. Bagaimanakah kemampuan pertolongan pertama hipotermia

pada mahasiswa pecinta alam?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kemampuan

Pertolongan Pertama Hipotermia Pada Mahasiswa Pecinta Alam

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi kemampuan pertolongan pertama hipotermia

pada mahasiswa pecinta alam.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini

bermanfaat bagi :

1. Responden (Mahasiswa Pecinta Alam)

Memberikan pendidikan dan pengetahuan tambahan bagi Mahasiswa

Pecinta Alam untuk sigap memberikan pertolongan pertama pada

hipotermia.

5. Peneliti

Penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar, acuan atau

memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan pada

mahasiswa pecinta alam khususnya tentang pertolongan peratama

terhadap kasus hipotermia.

http://repository.unimus.ac.id
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipotermi
1. Pengertian
Hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh menjadi < 35˚C (atau
95˚F) secara involunter. Lokasi pengukuran suhu inti tubuh mencakup
rektal, esofageal, atau membran timpani, yang dilakukan secara benar
(Tanto, 2014). Menurut Hardisman (2014), hipotermia didefinisikan bila
suhu inti tubuh menurun hingga 35˚C (95˚F) atau dapat lebih rendah lagi.
Menurut Setiati (2014), hipotermia disebabkan oleh lepasnya panas
karena konduksi, konveksi, radiasi, atau evaporasi. Local cold injury dan
frostbite timbul karena hipotermia menyebabkan penurunan viskositas
darah dan kerusakan intraselular (intracellular injury). Hipotermia adalah
keadaan suhu tubuh di bawah 35˚C, dan dapat dikategorikan sebagai
berikut:
a. Hipotermia ringan : 32 – 35 ˚C
b. Hipotermia sedang : 28 – 32 ˚C
c. Hipotermia berat : di bawah 28˚C
2. Etiologi dan Predisposisi
Menurt Tanto (2014) berdasarkan etiologinya, hipotermia dapat
dibagi menjadi:
a. Hipotermia primer, apabila produksi panas dalam tubuh tidak dapat
mengimbangi adanya stres dingin, terutama bila cadangan energi
dalam tubuh sedang berkurang. Kelainan panas dapat terjadi melalui
mekanisme radiasi (55-65%), konduksi (10-15%), konveksi, respirasi
dan evaporasi. Pemahaman ini membedakan istilah hipotermia dengan
frost bite (cedera jaringan akibat kontak fisik dengan benda/zat dingin,
biasanya <0˚C).

http://repository.unimus.ac.id
6

http://repository.unimus.ac.id
7

b. Hipotermia sekunder, adanya penyakit atau pengobatan tertentu yang


menyebabkan penurunan suhu tubuh. Berbagai kondisi yang dapat
mengakibatkan hipotermia menurut Hardisman (2014),yaitu:
1) Penyakit endokrin (hipoglikemi, hipotiroid, penyakit Addison,
diabetes melitus, dan lain – lain)
2) Penyakit kardiovaskuler (infark miokard, gagal jantung kongestif,
insufisiensi vascular, dan lain – lain)
3) Penyakit neurologis (cedera kepala, tumor, cedera tulang belakang,
penyakit Alzheimer, dan lain – lain)
4) Obat – obatan (alkohol, sedatif, klonidin, neuroleptik)

Cedera yang berhubungan dengan cuaca dingin dapat terjadi


dengan atau tanpa pembekuan jaringan tubuh. Faktor resiko cedera dingin
meningkat pada orang tua, anak – anak, dan pecandu alkohol. Tingkat
keparahan cedera dingin bergantung pada suhu, lama pemaparan, kondisi
lingkungan, jumlah pakaian pelindung, dan keadaan umum pasien saat itu.
Kerentanan terhadap cedera dingin meningkat oleh faktor yang dapat
meningkatkan kehilangan panas atau menurunkan produksi panas, seperti:

a. Suhu yang lebih rendah


b. Dehidrasi
c. Bayi, usia lanjut, malnutrisi, kelelahan
d. Imobilisasi (contoh: fraktur)
e. Kontak yang terlalu lama
f. Kelembaban
g. Penyakit pembuluh darah perifer
2. Patofisiologi
Menurut Setiati (2014), tubuh menghasilkan panas melalui
metabolisme makanan dan minuman, metabolisme otot, dan reaksi kimia.
Panas tubuh hilang melalui beberapa cara, seperti:
8

a. Radiasi: berpengaruh hingga 65% terhadap kehilangan panas tubuh.


Kepala yang tidak terlindungi dapat menghilangkan 50% panas tubuh.
b. Konduksi: pindahnya panas ke objek terdekat dengan suhu lebih
rendah. Hanya sedikit panas tubuh yang hilang melalui konduksi,
tetapi pakaian basah menghilangkan panas tubuh 20 kali lipat lebih
besar. Berendam di air dingin menghilangkan panas 32 kali lebih
besar.
c. Konveksi: hilangnya panas melalui aliran udara, kecepatan hilangnya
panas dipengaruhi oleh kecepatan angin. Contohnya, angin dengan
kecepatan 12 mil/jam menghilangkan panas 5 kali lebih cepat.
d. Evaporasi: hilangnya panas saat cairan berubah menjadi gas. Keringat
dan pernapasan berperan menghilangkan panas tubuh sebesar 20%.
3. Manifestasi klinis
Gejala hipotermia bervariasi tergantung tingkat keparahan cedera
dingin. Tanda dan gejala berupa kesemutan, mati rasa, perubahan warna
dan tekstur kulit (Hardisman, 2014). Gejala klinis yang sering terjadi
berdasarkan kategori hipotermia, menurut Setiati (2014):
a. Hipotermia ringan (32 – 35 ˚C) : takikardi, takipnea, hiperventilasi,
sulit berjalan dan berbicara, mengigil, dan sering berkemih karena
“cold diuresis”.
b. Hipotermia sedang (28 – 32 ˚C) : nadi berkurang, pernapasan dangkal
dan pelan, berhenti menggigil, refleks melambat, pasien menjadi
disorientasi, sering terjadi aritmia.
c. Hipotermia berat (di bawah 28˚C) : hipotensi, nadi lemah, edema
paru, koma, aritmia ventrikel, henti jantung.
4. Klasifikasi luka dingin (frostbite)
Klasifikasi luka dingin menurut berat kasus, Setiati (2014):
a. Derajat pertama
1) Kulit membeku sebagian eritema, edema, hiperemia
2) Tidak melepuh atau nekrosis
3) Deskuamasi kulit jarang (5 sampai 10 hari kemudian)
9

Gejala: seperti tersengat, dan rasa terbakar, berdenyut dan bisa timbul
hiperhidrosis.
b. Derajat kedua
1) Luka jaringan kulit
2) Eritema,vesikel substansial dengan cairan bening melepuh,
deskuamasi dan jaringan kehitaman
Gejala: mati rasa dan gangguan vasomotor pada kasus berat.
c. Derajat ketiga
1) Jaringan kutis dan subkutis, otot, tendon dan tulang membeku
2) Edema lokal
3) Awalnya luka berwarna merah tua atau sianosis
4) Kadang – kadang jaringan mengering, hitam, seperti
mumi Gejala: sendi terasa nyeri.
5. Komplikasi
Respons pertama tubuh untuk menjaga suhu agar tetap normal
(37˚C) adalah dengan gerakan aktif maupun involunter seperti menggigil.
Pada awalnya kesadaran, pernapasan, dan sirkulasi juga masih normal.
Namun, seluruh sistem organ akan mengalami penurunan fungsi sesuai
dengan kategori hipotermia. Komplikasi berat seperti fibrilasi atrium akan
terjadi apabila suhu inti tubuh kurang dari 32˚C. Namun bila belum ada
tanda instabilitas jantung, kondisi ini belum memerlukan penanganan
khusus. Risiko henti jantung kemudian akan meningkat apabila suhu inti
tubuh menurun di bawah 32˚C, dan sangat meningkat apabila suhu kurang
dari 28˚C (konsumsi O2 dan frekuensi nadi telah menurun 50%) (Tanto,
2014).
6. Penatalaksanaan
Prinsip – prinsip umum manajemen pra-rumah sakit menurut
Hardisman (2014) adalah mencegah kehilangan panas lebih lanjut.
Korban dengan hipotermia ringan (≥33˚C) yang ditemukan di lingkungan
yang dingin, prioritas pertama adalah untuk mencari kemungkinan adanya
cedera lain. Prioritas kedua adalah untuk meningkatkan suhu inti pasien
10

menjadi normal, sebelum dan selama perjalanan ke rumah sakit. Pasien


harus pindah ke sebuah tenda atau tempat kering lainnya untuk
menghindari angin dingin yang kencang, pakaian yang basah harus segera
dilepaskan, berikan api atau kehangatan disekitar pasien. Deteksi nadi dan
suhu tubuh mencakup rektal, esofageal, atau membran timpani (Tanto,
2014).
Menurut Setiati (2014) dan Musliha (2010) manajemen hipotermia
dimulai dengan penilaian primer yaitu jalan napas, pernapasan, sirkulasi,
dan jika diperlukan dilakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru).
a. Pengkajian secara cepat tentang ABCDE
1) Airway: menilai kelancaran jalan napas meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan napas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur
larinks atau trachea.
2) Breathing: jalan napas yang baik tidak menjamin ventilasi yang
baik, pertukaran gas yang terjadi pada saat bernapas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma.
3) Circulation: menilai keadaan hemodinamik dengan observasi
tingkat kesadaran, warna kulit, nadi dan tekanan darah.
Mengontrol perdarahan segera bila terjadi perdarahan misalnya
eksternal, internal, rongga thoraks, rongga abdomen, fraktur
pelvis dan fraktur tulang panjang.
4) Disability: menilai kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
5) Exposure: membuka seluruh pakaian untuk evaluasi penderita,
tetap menjaga korban untuk tidak kedinginan dengan memberikan
selimut dan ruangan cukup hangat.
b. Pasien dengan hipotermia sedang dapat diatasi dengan cara
memindahkannya dari lingkungan dingin dan menggunakan selimut.
11

c. Pasien dengan hipotermia berat, sebaiknya dipantau dengan pulse


oxymetri.
d. Perhatikan jalan napas, pernapasan dan jantung. Bila tidak ada
gangguan kardiovaskular, penghangatan aktif eksternal dapat
diterapkan (radiasi panas, selimut hangat, immersi air hangat, dan
objek yang dipanaskan) dengan cairan hangat intravena dan oksigen
yang dihangatkan.
e. Luka di kaki ditangani dengan pengangkatan, penghangatan, dan
pembalutan jari yang terluka. Nifedipin 20 mg per oral 3 kali sehari,
kortikosteroid topikal prednison, dan prostaglandin E1 (limaprost 20
mg per oral 3 kali sehari) dapat membantu.
f. Pemanasan cepat dengan air yang mengalir pada suhu 42˚C selama 10
– 30 menit pada ekstremitas yang mengalami frostbite. Pasien bisa
diberi narkotik, ibuprofen, dan aloevera. Pemberian penicillin E
500.000 U setiap 6 jam selama 48 – 72 jam memperlihatkan hasil
yang baik.
g. Luka bersih banyak mengandung prostaglandin dan tromboksan dapat
dibersihkan atau diaspirasi. Luka yang berdarah seharusnya
dibersihkan dan dirapikan kembali.
h. Jika ada ketidakstabilan kardiovaskular dibutuhkan pemanasan yang
lebih agresif (bilas lambung, kandung kemih, lavase peritoneal, dan
pleural). Temperatur cairan bilas bisa sampai 42˚C.
i. Pasien dengan kecurigaan kekurangan tiamin dan alkoholisme bisa
diberikan tiamin 100 mg intravena (intra-muskular) dan 50% glukosa
sebanyak 50ml-100ml intravena jika kadar glukosa sewaktu rendah.
j. Pasien dengan kecurigaan hipotiroidisme atau insufisiensi adrenal
dapat diberikan tiroksin intravena dan hidrokortison 100 mg.
k. Pada fibrilasi ventrikular dilakukan defibrilasi sampai temperatur
30˚C, meskipun 3 countershock harus dilakukan.
l. Pemanasan kembali melalui sirkuit ekstrakorporal merupakan metode
pilihan dari pada pasien hipotermia berat dalam henti jantung. Jika
12

perlengkapan tidak tersedia, resusitasi trakeostomi dan pijat jantung


dalam dan bilas mediastinal merupakan alternatif yang dapat
diterima.
m. Semua pasien dengan frostbite superfisial terlokalisir atau hipotermia
sedang dapat dirujuk ke RS. Pasien yang tidak dirawat, mereka bisa
kembali ke lingkungan yang hangat.

B. Pengetahuan
1. Pengertian
Menurut Notoatmodjo (2014) dalam Promosi Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan, pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan
terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk membentuk tindakan
seseorang (over behavior).
2. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2014) dalam Ilmu Perilaku Kesehatan,
pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat
yang berbeda – beda, yakni:
a. Tahu (Know)
Merupakan kemampuan yang hanya untuk mengingat kembali (recall)
seluruh objek atau rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (comprehension)
Merupakan kemampuan yang harus dapat menginterpretasikan secara
benar tentang objek yang diketahui.
c. Aplikasi (application)
Kemampuan untuk mengaplikasikan prinsip dari materi yang telah
dipelajari pada situasi yang lain.
13

d. Analisis (analysis)
Kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan,
kemudian mencari hubungan antara komponen – komponen yang
terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.
e. Sintesis (synthesis)
Kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu
hubungan yang logis dari komponen – komponen pengetahuan yang
dimiliki.
f. Evaluasi (evaluation)
Kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu objek tertentu.
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan
seseorang menurut Notoatmodjo (2014) dalam Promosi Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan, yaitu:
a. Pendidikan
Merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam atau di luar sekolah yang berlangsung seumur
hidup.
b. Media masa atau informasi
Informasi yang didapatkan baik dari pendidikan formal ataupun non
formal memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact)
sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa, surat
kabar, majalah, dan lain sebagainya mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan opini dan kepercayaan seseorang.
c. Sosial budaya dan ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan sesorang tanpa melalui
penalaran apakah itu bai atau buruk. Hal itu dapat menambah
pengetahuan sesorang walaupun tidak melakukan. Status ekonomi
14

menentukan fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu yang


dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang.
d. Lingkungan
Segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkunga fisik,
biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses
masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam
lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal
balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh
setiap individu.
e. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang
dihadapi masa lalu.
f. Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola
pikir, sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Pada
usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan
kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi
suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua.
4. Pengukuran Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2014) dalam Ilmu Perilaku Kesehatan,
pengetahuan tentang kesehatan dapat diukur berdasarkan jenis
penelitiannya, Kuantitatif atau kualitatif:
a. Penelitian kuantitatif
1) Wawancara tertutup atau terbuka, dengan menggunakan
instrument (alat pengukur/pengumpul data) kuesioner.
2) Angket tertutup atau terbuka, instrument atau alat ukurnya seperti
wawancara, hanya jawaban responden disampaikan lewat tulisan.
15

Metode pengukuran melalui angket sering disebut self


administered atau metode mengisi sendiri.
b. Penelitian kualitatif
1) Wawancara mendalam, peneliti mengajukan suatu pertanyaan
sebagai pembuka, yang akhirnya memancing jawaban yang
sebanyak – banyaknya dari responden.
2) Diskusi Kelompok Terfokus (DKT), peneliti mengajukan
pertanyaan – pertanyaan, yang akan memperoleh jawaban yang
berbeda – beda dari semua responden dalam kelompok tersebut.
Jumlah kelompok dalam diskusi kelompok terfokus antara 6 – 10
orang.
5. Penilaian Pengetahuan
Penilaian pengetahuan menurut Arikunto (2006), diinterpretasikan
dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu :
a. Baik : dengan presentase 76% - 100%
b. Cukup : dengan presentase 56% - 75%
c. Kurang : dengan presentase <56%

C. Praktik atau Tindakan


1. Pengertian
Menurut Notoatmodjo (2014) dalam Promosi Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan, suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu
tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu
perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping fasilitas, juga
diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain.
2. Tingkat Praktik
Menurut Notoatmodjo (2014) dalam Promosi Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan, praktik atau tindakan seseorang dapat dibedakan
menjadi tingkatan menurut kualitasnya, yakni:
16

a. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan
yang akan diambil, merupakan praktik tingkat pertama.
b. Respon terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan cotoh, merupakan indikator praktik tingkat dua.
c. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktik tingkat tiga.
d. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Praktik
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan
seseorang menurut Notoatmodjo (2014) dalam Promosi Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan, yaitu:
a. Pengetahuan
Hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba.
b. Persepsi
Merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan –
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkannya.
c. Sikap
Merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek.
d. Keinginan
17

e. Kehendak
Merupakan kemampuan untuk memilih di antara berbagai rencana
tindakan berbeda yang memungkinkan.
f. Motivasi
Berasal dari kata Latin moreve yang berarti dorongan dari dalam diri
manusia untuk bertindak atau berperilaku.
g. Niat
Sebagai dorongan tindakan yang merupakan usaha orang untuk
mencapai tujuan.
4. Pengukuran Praktik/ Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2014) dalam Ilmu Perilaku Kesehatan,
secara garis besar mengukur perilaku terbuka atau praktik dapat dilakukan
melalui dua metode, yaitu:
a. Langsung
Peneliti langsung mengamati atau mengobservasi perilaku subjek
yang diteliti.
b. Tidak langsung
Peneliti tidak secara langsung mengamati perilaku orang yang diteliti.
Metode pengukuran secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
cara:
1) Metode mengingat kembali atau recall
Pengukuran dilakukan dengan cara responden diminta untuk
mengingat kembali terhadap perilaku atau tindakan beberapa
waktu yang lalu.
2) Melalui orang ketiga atau orang lain yang dekat dengan subjek
atau responden
Pengukuran dilakukan oleh orang yang terdekat dengan
responden yang diteliti.
3) Melalui indikator (hasil perilaku) responden
Pengukuran dilakukan melalui indikator hasil perilaku orang yang
diamati.
18

5. Penilaian Praktik
Penilaian praktik pada penelitian ini berdasarkan dari penelitian
Hardiansyah (2016) yang berjudul “hubungan antara pengetahuan dan
sikap dengan praktik rehabilitasi pasien pasca stroke di RSUD kota
Semarang”, dikategorikan menggunakan cut of point. Jika data
berdistribusi normal kategori kurang baik (skor < mean) dan kategori baik
(skor > mean), sedangkan data tidak berdistribusi normal dikategorikan
kurang baik (skor < median) dan kategori baik (skor > median).

D. Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala)


1. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), mahasiswa
sebagai seorang pelajar di perguruan tinggi. Sedangkan pecinta alam
adalah orang atau kelompok yang suka akan alam.
2. Kegiatan Mapala
Mahasiswa pecinta alam terbentuk karena adanya Catur Dharma
Perguruan Tinggi, dimana disebutkan bahwa penyelenggara pendidikan
tinggi bertujuan untuk mendidik, menumbuhkan, dam membina manusia
yang berjiwa Pancasila. Dalam rangka muwujudkan cita – cita tesrsebut,
Mapala menggunakan alam sebagai sarana pendidikan (Alfiqri, 2015).
Beberapa kegiatan Mapala di alam bebas dalam penelitian Pratama
(2015) yang berjudul “Perancangan Visual Panduan Pertolongan Pertama
pada Kejadian Darurat saat Pendakian”, yaitu:
a. Hiil walking atau fell walking, merupakan perjalanan mendaki bukit
– bukit yang relatif landai dan yang tidak atau belum membutuhkan
peralatan khusus yang bersifat teknis.
b. Scrambling atau pendakian pada tebing – tebing yang tidak begitu
terjal sehingga masih relatif landai, bagi pemula biasanya
dipasangkan tali untuk pengaman di jalur lintasan.
c. Climbing atau pendakin yang menggunakan penguasaan teknis
khusus. Peralatan teknis diperlukan sebagi pengaman.
19

3. Penyakit gunung
Penyakit gunung (mountain sickness) merupakan penyakit yang
menyerang para pendaki. Pada umumnya disebabkan oleh faktor
ketinggian, cuaca, stamina pendaki, dan suhu yang berlebihan/ekstrem
(terlalu panas atau terlalu dingin). Ada beberapa penyakit gunung, antara
lain, (Wijaya, 2011):
a. Hypothermia, merupakan penyakit gunung yang diakibatkan oleh
menurunnya suhu tubuh secara drastis sehingga si korban mengalami
halusinasi; gejalanya, antara lain korban membuka baju, berbicara
melantur, dan berperilaku seperti orang tidak waras.
b. Hypoksia, disebabkan kurangnya oksigen dalam otak karena faktor
ketinggian; gejalanya, antara lain pusing, mual, napas sesak, tidak
nafsu makan, kedinginan, badan lemas, jantung berdebar kencang;
jika korban dibawa turun sampai pada ketinggian tertentu maka
penyakit tersebut akan hilang dengan sendirinya.
c. Dehidrasi, merupakan penyakit kekurangan cairan tubuh, biasanya
ditandai denga air kencing berwarna kekuningan keruh. Ditangani
dengan minum air secukupnya sampai air kencing menjadi bening
kembali, dan minum oralit sebagai pengganti garam – garaman
mineral dalam tubuh.
d. Kram, termasuk penyakit yang sering dijumpai, merupakan
ketidakmampuan otot dalam menjalankan tugasnya, hal ini
disebabkan otot kurang pemanasan, menahan beban berlebih, otot
kedinginan biasanya saat atau setelah kehujanan.

E. Hubungan Pengetahuan tentang Hipotermia dan Praktik Penanganan


Hipotermia
Mapala mempunyai beberapa kegiatan di alam bebas, salah satunya
kegiatan pendakian. Ketika melakukan pendakian, Mapala terpapar suhu
udara di gunung yang lebih rendah dan lembab daripada suhu udara di
dataran rendah. Kontak terlalu lama dengan suhu yang lebih rendah dan
20

lembab, mengakibatkan Mapala berisiko mengalami hipotermia. Pengetahuan


tentang hipotermia, seperti definisi, penyebab, tanda dan gejala, akibat, dan
penatalaksanaan. Dapat mempengaruhi praktik penanganan hipotermia, demikian
diasumsikan bahwa seseorang tidak akan bisa melakukan penanganan secara tepat
apabila tidak mengetahui cara penanganan yang tepat. Sesuai dengan Notoatmodjo
(2014) dalam Ilmu Perilaku Kesehatan, pengetahuan memegang peranan penting
dalam melakukan tindakan.

F. Kerangka Teori

Mapala Kontak terlalu lama Resiko mengalami


melakukan mountain sickness:
kegiatan climbing dengan suhu yang lebih hipotermi
rendah dan lembab

Faktor – faktor Praktik penanganan hipotermia


yang mempengaruhi praktik:
Pengetahuan Faktor – faktor
a.
Persepsi yang mempengaruhi
Sikap pengetahuan:
Keinginan Pendidikan
Kehendak Media massa
Motivasi Sosial budaya & ekonomi
Niat Lingkungan
Pengalaman
Usia

= yang tidak diteliti


= yang diteliti

Bagan 2.1 Kerangka Teori


(Alfiqri, 2015), (Wijaya, 2011), (Notoatmodjo, Ilmu perilaku kesehatan,
2014), (Notoatmodjo, Promosi kesehatan dan ilmu perilaku, 2014)
21

BAB III

KESIMPULA

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara serta analisis data yang peneliti lakukan,

maka didapat kesimpulan sebagai berikut :

1. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori Behavioral sosiologi merupakan

sebuah teori yang berasal dari konsep psikologi, perilaku yang kemudian diterapkan

kedalam konsep sosiologi. Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan

antara akibat dari tingkah laku yang terjadi didalam lingkungan aktor dengan tingkah

laku aktor. Akibat-akibat dari tingkah laku tersebut dijadikan sebagai variabel

independen.
2. Berdasarkan observasi peneliti dilapangan berbagai hal yang ditemukn tentang

kesiapan dalam manajemen keselamatan pendakian Gunung yaitu, dimana pendaki

mempersiapkan semuanya sesuai denganan SOP pendakian tentang keberangkatan

serta info tentang gunung, namun dari beberapa penggiat alam bebas mengabaikan

hal tersebut karena dengan keadaan demikian mereka aman melakukan pendakian,

merasa sudah berpengalaman untuk melakukan pendakian Gunung.

3. Berdasar pengamatan dilapanagn bagaimana prilaku pendaki dalam menjaga

keselamatan pendakian gunung, seperti prinsip packing, faktor harga perlengkapan,

logistik, fisik dan ketahanan tubuh, namun ada juga dari pendaki yang

mengabaikannya, sehingga adanya terdapat kecelakaan bagi pendaki yang tidak

memperhatikan hal yang demikian, ada juga yang lebih berpengaruh besar mahalnya

harga perlengkapan yang akan digunuakan sehingga mereka meneyepelekan hal


22

tersebut ketika melakukan pendakian.

4. Berbagai hal terjadi dilapangan tentang faktor penyebak kecelakaan di Gunung,

seperti patah tulang, hipotermia, luka bakar, terkena gas beracun, itu semua

berdasarkan observasi lapangan, ketidak siapan bagi pendaki dalam manajemen

pendakian. Berdasarkan presentase dilapangan 65% pendaki Gunung berprilaku tidak

selamat, sedangkan 35% pendaki gunung berprilaku selamat.

4.2. Saran

1. Untuk para pendaki yang ingin melakukan pendakian supaya terhindar dari kecelakaan

digunung, harus menguasai pengetahuan dasar tentang pendakian gunung dan

memperhatikan manajemen keselamatan dengan baik, dan mepersiapkan perencanaan

dengan matang.

2. Setiap pendaki Gunung melakukan pendakian jalankan sesuai prosedur pendakian,

seperti penerapan SOP dengan baik, agar terhidar dari kecelakaan di gunung.
23
24

Anda mungkin juga menyukai