LP & Konsep Askep DHF
LP & Konsep Askep DHF
Disusun oleh :
UMI KULSUM
P27906120035
2. Klasifikasi DHF
a. Derajat 1 (ringan)
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya uji perdarahan
yaitu uji turniket.
b. Derajat 2 (sedang)
Seperti derajat 1 disertai dengan perdarahan spontan pada kulit dan
atau perdarahan lainnya.
c. Derajat 3
Ditemukannya kegagalan sirkulasi seperti nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun.
d. Derajat 4
Terdapat Dengue Shock Sindrome (DSS) dengan nadi tak teraba dan
tekanan darah tidak dapat diukur (Wijaya, 2013).
3. Etiologi
Penyakit DHF merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dengue dan disebarkan oleh nyamuk terutama spesies nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk penular dengue tersebut hampir ditemukan di seluruh
pelosok Indonesia, kecuali di tempat yang ketinggiannya lebih dari 1000
meter di atas permukaan laut (Rahayu & Budi, 2017).
Penyebab penyakit adalah virus dengue kelompok Arbovirus B,
yaitu arthropod-bornevirus atau virus yang disebabkan oleh artropoda.
Virus ini termasuk genus Flavivirus dan family Flaviviridae. Sampai saat
ini dikenal ada 4 serotipe virus yaitu :
a. Dengue 1 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
b. Dengue 2 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
c. Dengue 3 diisolasi oleh Sather.
d. Dengue 4 diisolasi oleh Sather.
Keempat virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia dan yang terbanyak adalah tipe 2 dan tipe 3. Penelitian di
Indoneisa menunjukkan Dengue tipe 3 merupakan serotipe virus yang
dominan menyebabkan kasus DHF yang berat (Masriadi, 2017). Infeksi
salah satu serotipe akan menimbulkan antibody terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibody yang terbentuk terhadap serotipe lain
sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang
memadai terhadap serotipe lain (Wijaya, 2013).
4. Manifestasi Klinis
Diagnosis penyakit DHF bias ditegakkan jika ditemukan tanda dan gejala
seperti:
a. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-
menerus selama 2-7 hari.
b. Manifestasi perdarahan :
1) Uji turniket (Rumple leede) positif berarti fragilitas kapiler
meningkat. Dinyatakan positif apabila terdapat >10 petechie
dalam diameter 2,8cm (1 inchi persegi) dilengan bawah bagian
volar termasuk fossa cubiti.
2) Petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, melena dan
hematemesis.
3) Trombositopenia yaitu jumlah trombosit dibawah 150.000/mm3,
biasanya ditemukan antara hari ke 3-7 sakit.
4) Monokonsentrasi yaitu meningkatnya hematocrit, merupakan
indicator yang peka terhadap jadinya renjatan sehingga perlu
dilaksanakan penekanan berulang secara periodic. Kenaikan
hematocrit 20% menunjang diagnosis klinis DHF (Masriadi,
2017).
5. Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan
mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit
kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh tubuh, hyperemia di tenggorokan,
timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada system retikolo
endhothelial seperti pembesaran kelenjarkelenjar getah bening, hati dan
limpa. Reaksi yang berbeda nampak bila seseorang mendapatkan infeksi
berulang dengan tipe virus yang berlainan. Berdasarkan hal itu, akan
timbul the secondary heterologous infection atau the sequential infection
of hypothesis.
Re-infeksi akan menyebabkan suatu reaksi anamnetik antibody,
sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibody (kompleks
virus antibody) yang tinggi. Terdapatnya kompleks virus antibody dalam
sirkulasi darah mengakibatkan hal sebagai berikut:
a. Kompleks virus antibody akan mengaktivasi system komplemen, yang
berakibat dilepasnya anafilatoksin C3a dan C3a. C3a menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan
menghilangnya plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu
keadaan yang sangat berperan terjadinya renjatan.
b. Timbulnya agregasi trombosit yang melepas ADP akan mengalami
metamorphosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorphosis
akan dimusnahkan oleh system retikuloendotelial dengan akibat
trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi,
trombosit akan melepaskan vasoaktif (histmin dan serotonini) yang
bersifat meningkatkan permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit
faktor III yang merangsang koagulasi intravascular.
c. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor III) dengan akibat akhir
terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses
aktivasi ini, plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam
pembentukan anafilatoksin dan penghancuran fibrin menjadi
fibrinogen degradation product. Disamping itu aktivas akan
merangsang sistim klinin yang berperan dalam proses meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah (Wijaya, 2013).
6. Pathway ( Sumber : NANDA,2012 )
Arbovirus ( melalui Beredar dalam aliran darah Infeksi virus dengue (viremia)
nyamuk aedes aegepty
DIC
Pendarahan
Resiko Pendarahan
Ketidakseimbangan nutrisi
Nyeri kurang dari kebutuhan
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan keperawatan
Masalah pasien yg perlu diperhatikan ialah bahaya kegagalan sirkulasi
darah, resiko terjadi pendrahan, gangguan suhu tubuh, akibat infeksi
virus dengue, ganggan rasa aman dan nyaman, kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
1) Kegagalan sirkulasi darah
Dengan adanya kebcoran plasma dari pembuluh darah ke dalam
jaringan ekstrovaskular, yang pncaknya terjadi pada saat renjatan
akan terliht pada tubh pasien mnjadi sembab (edema) dan drah
menjadi kental. Pengawasan tanda vital (nadi, TD, suhu dan
pernafasan) perlu dilakakan secara kontinu, bila perlu setiap jam.
Pemeriksan Ht, Hb dan trombosit sesuai permintaan dokter setiap
4 jam. Perhatikan apakah pasien kencing / tidak.
2) Risiko terjadi pendarahan
Adanya thrombocytopenia, menurunnya fungsi trombosit dan
menurunnya faktor koagulasi merupakan faktor penyebab
terjadinya pendarahan utama pada traktus gastrointestinal.
Pendarahan grastointestinal didahului oleh adanya rasa sakit perut
yang hebat atau daerah retrosternal. Bila pasien muntah
bercampur darah atau semua darah perlu diukur. Karena melihat
seberapa banyak darah yang keluar perlu tindakan secepatnya.
Makan dan minum pasien perlu dihentikan. Bila pasien
sebelumnya tidak dipasang infus segera dipasang. Formulir
permintaan darah disediakan. Perawatan selanjutnya seperti
pasien yang menderita syok. Bila terjadi pendarahan (melena,
hematesis) harus dicatat banyaknya / warnanya serta waktu
terjadinya pendarahan. Pasien yang mengalami pendarahan
gastrointestinal biasanya dipasang NGT untuk membantu
mengeluarkan darah dari lambung.
3) Gangguan suhu tubuh
Gangguan suhu tubuh biasanya terjadi pada permulaan sakit atau
hari ke-2 sampai ke-7 dan tidak jarang terjadi hyperpyrexia yang
dapat menyebabkan pasien kejang. Peningkatan suhu tubuh akibat
infeksi virus dengue maka pengobatannya dengan pemberian
antipiretika dan anti konvulsan. Untuk membantu penurunan suhu
dan mencegah agar tidak meningkat dapat diberikan kompres
dingin, yang perlu diperhatikan, bila terjadi penurunan suhu yang
mendadak disertai berkeringat banyak sehingga tubuh teraba
dingin dan lembab, nadi lembut halus waspada karena gejala
renjatan. Kontrol TD dan nadi harus lebih sering dan dicatat
secara baik dan memberitahu dokter.
4) Gangguan rasa aman dan nyaman
Gangguan rasa aman dan nyaman dirasakan pasien karena
penyakitnya dan akibat tindakan selama dirawat. Hanya pada
pasien DHF menderita lebih karena pemeriksaan darah Ht,
trombosit, Hb secara periodik (setiap 4 jam) dan mudah terjadi
hematom, serta ukurannya mencari vena jika sudah stadium II.
Untuk megurangi penderitaan diusahakan bekerja dengan tenang,
yakinkan dahulu vena baru ditusukan jarumnya. Jika terjadi
hematom segera oleskan trombophub gel / kompres dengan
alkohol. Bila pasien datang sudah kolaps sebaiknya dipasang
venaseksi agar tidak terjadi coba-coba mencari vena dan
meninggalkan bekas hematom di beberapa tempat. Jika sudah
musim banyak pasien DHF sebaiknya selalu tersedia set
venaseksi yang telah seteril. (Nursalam, 2008)
b. Penatalaksanaan Medis
Pada dasarnya pengobatan pada DB bersifat simtomatis dan suportif
1) DHF tanpa renjatan
Demam tinggi, anoreksia dan sering muntah menyebabkan pasien
dehidrasi dan harus. Pada pasien ini perlu diberi banyak minum,
yaitu 1,5 sampai 2 liter dalam 24 jam. Dapat diberikan teh manis,
sirup, susu, dan bila mau lebih baik oralit. Cara memberikan
minum sedikit demi sedikit dan orang tua yang menunggu
dilibatkan dalam kegiatan ini. Jika anak tidak mau minum sesuai
yang dianjurkan tidak dibenarkan pemasangan sonde karena
merangsang resiko terjadi perdarahan. Keadaan hiperpireksia
diatasi dengan obat anti piretik dan kompres dingin. Jika terjadi
kejang diberi luminal atau anti konvulsan lainnya. Luminal
diberikan dengan dosis : anak umur kurang 1 tahun 50 mg IM,
anak lebih 1 tahun 75 mg. Jika 15 menit kejang belum berhenti
luminal diberikan lagi dengan dosis 3 mg/kg BB. Anak di atas 1
tahun diberi 50 mg, dan dibawah 1 tahun 30 mg, dengan
memperhatikan adanya depresi fungsi vital. Infus diberikan pada
pasien DHF tanpa renjatan apabila :
a) Pasien terus-menerus muntah, tidak dapat diberikan minum
sehingga mengancam terjadinya dehidrasi.
b) Hematokrit yang cenderung meningkat. Hemtokrit
mencerminkan kebocoran plasma dan biasanya mendahului
munculnya secara klinik perubahan fungsi vital (hipotensi,
penurunan tekanan nadi), sedangkan turunnya nilai trombosit
biasanya mendahului naiknya hematokrit. Oleh karena itu,
pada pasien yang diduga menderita DHF harus diperiksa
hemoglobin, hematokrit dan trombosit setiap hari mlai hari
ke-3 sakit sampai demam telah turun 1 sampai 2 hari. Nilai
hematokrit itulah yang menentukan apabila pasien perlu
dipasang infus atau tidak.
2) DHF disertai renjatan (DSS)
Pasien yang mengalami renjatan (syok) harus segera dipasang
infus sebagai penganti cairan yang hilang akibat kebocoran
plasma. Cairan yang diberikan bisanya Ringer Laktat. Jika
pemberian cairan tidak ada respon diberikan plasma atau plasma
ekspander, banyaknya 20 sampai 30 ml/kgBB. Pada pasien
dengan renjatan berat diberikan infus harus diguyur dengan cara
membuka klem infus. Apabila renjatan telah teratasi, nadi sudah
jelas teraba, amplitudo nadi besar, tekanan sistolik 80 mmHg /
lebih, kecepatan tetesan dikurangi 10 liter/kgBB/jam. Mengingat
kebocoran plasma 24 sampai 48 jam, maka pemberian infus
dipertahankan sampai 1 sampai 2 hari lagi walaupun tanda-tanda
vital telah baik. Pada pasien renjtan berat atau renjaan berulang
perlu dipasang Central 37 Venous Pressure (CVP) untuk
mengukur tekanan vena sentral melalui vena magna atau vena
jugularis, dan biasanya pasien dirawat di ICU. Tranfusi darah
diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang
berat. Kadang-kadang perdarahan gastrointestinal berat dapat
diduga apabila nilai hemoglobin dan hematokrit menurun
sedangkan perdarahannya sedikit tidak kelihatan. Dengan
memperhatikan evaluasi klinik yang telah disebut, maka dengan
keadaan ini dianjurkan pemberian darah.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
1) Trombosit menurun
2) Hb Meningkat lebih 20 %
3) Ht Meningkat Lebih 20 %
4) Leukosit menurun pada hari ke – 2 dan ke – 3
5) Protein darah rendah
6) Ureum PH bias meningkat
7) Na dan Cl rendah
b. Rontgen thorax
c. Uji tourniket ( Positif )
9. Komplikasi
Menuruut Widagdo (2012) komplikasi DBD adalah sebagai berikut:
a. Gagal ginjal.
b. Efusi pleura.
c. Hepatomegali.
d. Gagal jantung
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif b/d hambatan upaya napas : spasme otot-otot
pernapasan (D.0005)
b. Perfusi perifer tidak efektif b/d kebocoran plasma darah(D.0009)
c. Nyeri akut b/d agen pencedera fisiologis (D.0077)
d. Hipertermia b/d proses penyakit : DHF (D.0130)
e. Hipovolemia b/d kehilangan cairan aktif (D.0023)
f. Risiko syok b/d hipoksemia (D.0039)
g. Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan(D.0019)
h. Risiko perdarahan b/d gangguan koagulasi : trombositopenia (D.0012)
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan
1 Pola napas tidak efektif Pola Napas (L.01004) Manajemen Jalan Napas (I.01011)
b/d hambatan upaya Setelah dilakukan tindakan Observasi
napas : spasme otot- keperawatan dalam waktu … x - Monitor pola napas (frekuensi,
otot pernapasan … 24 jam diharapkan pola napas kedalaman, usaha napas)
(D.0005) membaik dengan kriteria hasil : - Monitor bunyi napas tambahan (mis.
Penggunaan otot bantu Gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
pernapasan menurun (5) kering)
Pernapasan cuping hidung - Monitor sputum (jumlah, warna,
menurun (5) aroma)
Frekuensi napas membaik (5) Terapeutik
Kedalaman napas membaik - Pertahankan kepatenan jalan napas
(5) dengan head tilt, chun lift (jaw thrust
jika dicurigai trauma servikal)
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
- Lakukan penghisapan lendir kurang
dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan
2000ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronchodilator, ekpektoran,
mukolitik, jika perlu
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk
mencapai tujuan yang spesifik.Tahap implementasi dimulai setelah
rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu
rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi factor-
faktor yang memengaruhi masalah kesehatan klien (Nursalam, 2008).
Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri dan tindakan
kolaborasi:
a. Tindakan mandiri (independent)
Adalah aktivitas perawatan yang didasarkan pada kesimpulan dan
keputusan sendiri bukan merupakan petunjuk atau perintah petugas
kesehatan lain.
b. Tindakan kolaborasi
Adalah tindakan yang dilakukan atas dasar hasil keputusan bersama,
seperti dokter dan petugas kesehatan lain.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan.
Evaluasi adalah kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan
melibatkan klien, perawat, dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal
ini diperlukan pengetahuan tentang kesehatan, patofisiologi dan strategi
evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan dalam
rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melangkah pengkajian
ulang (Lisimidar, 2012).
DAFTAR PUSTAKA