Anda di halaman 1dari 11

KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL MARET 2021

PROVINSI SULAWESI TENGGARA


KEPANITERAAN KLINIK FK UHO

ANALISIS JURNAL FORENSIK

Oleh:
Sitti Marwah Sara Bitu
(K1A1 13 057)

Pembimbing:
dr. Raja Al Fath Widya Iswara, M.H., Sp.FM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RS BHAYANGKARA KENDARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
Judul Jurnal : Potential Forensic Application of Receptor For Advanced Glycation End
Products (RAGE) and Aquaporin 5 (AQP5) as Novel Biomarkers For
Diagnosis Of Drowning

Identitas Jurnal : Lee SY., et al. Potential Forensic Application of Receptor For Advanced
Glycation End Products (RAGE) and Aquaporin 5 (AQP5) as Novel
Biomarkers For Diagnosis Of Drowning. Forensic and Legal Medicine.
2019: 56-62

Abstrak :

Tenggelam merupakan penyebab paling umum dari kematian tidak wajar di seluruh dunia. Tidak
ada biomarker tunggal untuk mendiagnosis tenggelam, jadi diagnosis tenggelam adalah salah
satu kasus yang paling sulit dalam kedokteran forensik. Terutama, untuk membedakan korban
tenggelam pasca kematian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi biomarker
spesifik kasus tenggelam dibandingkan dengan penyebab kematian lainnya seperti hipoksia dan
postmortem-perendaman. Penelitian ini menyelidiki ekspresi reseptor intrapulmoner sebagai
produk akhir glikasi lanjutan (RAGE), aquaporin-5 (AQP5), protein surfaktan-A (SP-A),
interleukin 6 (IL-6) dan interleukin 1 β (IL-1 β) sebagai penanda tenggelam. Pada hewan
percobaan, tikus (n = 45) diklasifikasikan menjadi empat kelompok (tenggelam, postmortem
submersi, hipoksia dan kelompok kontrol). Paru-paru hewan coba dianalisis sebagai ekspresi
mRNA, ekspresi imunoblot dan pewarnaan imunohistokimia. qRT-PCR menunjukkan
peningkatan ekspresi mRNA dari RAGE dan AQP5 pada kelompok tenggelam dibandingkan
dengan kelompok kontrol, hipoksia dan postmortem submersi, tetapi tidak pada molekul lain.
Western blotting juga menunjukkan ekspresi RAGE dan AQP5 yang tinggi pada kelompok
tenggelam, immunostaining dari RAGE dan AQP5 sangat terdeteksi dalam pola linier pada sel
epitel alveolar tipe I, dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok postmortem-
submersion. Pengamatan ini menunjukkan differensi ekspresi patologi molekuler paru
dibandingkan dengan penyebab lain, menunjukkan RAGE dan AQP5 mungkin berguna untuk
membedakan antara tenggelam dan postmortem submersi.
Analisa Kasus
Penelitian bertujuan untuk mengetahui potensi penggunaan receptor for advanced glycation
end products (RAGE) dan aquaporin 5 (AQP5) dalam aplikasi forensik untuk diagnosis korban
tenggelam. Receptor For Advanced Glycation End Products (RAGE) dan aquaporin 5 (AQP5)
merupakan reseptor fenotip spesifik yang di ekspresikan oleh sel alveolar type 1 sebagai penanda
tenggelam. 1,2
Sel alveolar tipe I menutupi 90% -95% permukaan alveolar dan berkontribusi sebagai barrier
alveolar fluid clearance. Receptor For Advanced Glycation End Products (RAGE) merupakan
reseptor transmembran yang terekspresi jika terdapat kerusakan pada paru tahap awal.
Sedangkan aquaporin 5 (AQP5) merupakan protein saluran air yang berfungsi menyesuaikan
resorpsi air agar sesuai dengan kebutuhan atau untuk melawan volume cairan permukaan saluran
napas yang tidak memadai. Selain fungsi kompensasi atau pelindung ini, perubahan ekspresi
AQP5 juga dapat memutuskan atau bahkan menyebabkan akumulasi cairan paru. 2,3,4
Pada penelitian ini menggunakan beberapa metode :
1. Quantitative Real Time-Polymerase Chain Reaction (qRT-PCR) adalah metode untuk
mendeteksi mRNA yang merupakan produk hasil transkripsi DNA untuk mengetahui
tingkat ekspresi suatu gen. Metode qRT-PCR memiliki kelebihan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi. 5
2. Western Blot merupkan teknik biologi molekuler untuk analisis ekspresi protein semi-
kuantitatif dari berbagai macam bahan uji baik dari sel maupun jaringan dengan prinsip
kerjanya berdasarkan pengikatan antigen-antibodi. 6
3. Imunohistokimia merupakan metode yang bertujuan untuk mengidentifikasi sel-sel
spesifik berdasarkan komponen antigenik dan produk seluler dengan reaksi kompleks
antigen antibody. 7
Sampel yang di gunakan dalam jurnal adalah tikus putih dengan galur Sprague Dawley
yang berumur 5 minggu. Tikus putih memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai
hewan uji penelitian diantaranya perkembangbiakan cepat, memiliki ukuran yang lebih besar
dibandingkan dengan mencit, mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak, memberikan
gambaran secara ilmiah yang mungkin terjadi pada manusi yang harganya relatif murah.8,9
Sampel penelitian ini di kelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu postmortem-
submersion dan kelompok kontrol. Kelompok kontrol menggunakan gliseraldehida-3-fosfat
dehidrogenase (GAPDH) sebagai house keeping protein (HKP) telah banyak digunakan karena
tingkat ekspresi umumnya dianggap tidak sensitif terhadap pengaruh berbagai kondisi fisiologis.
GAPDH telah banyak digunakan sebagai kontrol dalam eksperimen Western blot dan RT-PCR.
10,11

Kesimpulan dari tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi biomarker perbedaan
tenggelam dari perendaman postmortem, tetapi juga membedakan berdasarkan media tenggelam
seperti air tawar dan air asin. Peningkatan ekspresi dari RAGE dan AQP5 pada kelompok
tenggelam menggunakan metode qRT-PCR dan western blot. Immunostaining dari RAGE dan
AQP5 sangat terdeteksi dalam pola linier pada sel epitel alveolar tipe I pada kelompok
tenggelam dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok perendaman postmortem.
Terdapat beberapa hal yang potensial menjadi biomarker pada kasus tenggelam, yaitu
Apolipoprotin A1, alfa 1 antitripsin, dan miR-70 12,13
a. Apolipoprotein A1 and α-1 antitrypsin
Apolipoprotein A1 telah dilaporkan dalam patogenesis modulasi banyak penyakit
pernapasan, seperti mengurangi peradangan, stres oksigen atau lavage bronchoalveolar. Oleh
karena itu, peningkatan kandungan ApoA1 mungkin terkait dengan lavage bronchoalveolar,
peradangan dan proses stres oksigen yang terjadi saat tenggelam.
b. Antitripsin alfa 1
Antitripsin alfa 1 adalah inhibitor protease serin yang diproduksi oleh sel alveolar paru,
monosit, dan makrofag. Antitripsin α-1 terlibat dalam perlindungan sel alveolar paru.
Antitripsin α-1 ditemukan kadar yang lebih rendah pada mereka yang tenggelam. Penurunan
tingkat antitripsin α-1 yang ditunjukkan dalam plasma pada kasus tenggelam mungkin
menjelaskan untuk adanya peradangan akut, stres oksigen dan aktivitas protease di paru-paru
mereka.
c. Specific microRNAs
Specific microRNA yang ekspresinya meningkat di air tawar dan menurun di air asin. miR-
706 diidentifikasi sebagai biomarker potensial untuk identifikasi tenggelam. miR-706 secara
khusus diekspresikan dalam neuron hipokampus seperti yang dideteksi oleh hibridisasi in
situ.5
Tenggelam merupakan adalah masalah yang menantang dalam patologi forensik. Dimana
pentingnya interpretasi yang tepat dari semua temuan otopsi. Untuk menentukan kematian
karena tenggelam, banyak tanda internal dan eksternal dari tenggelam yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang mempengaruhi bukti yang signifikan. Selain itu, otopsi seringkali
mengungkap temuan patologis lebih lanjut yang tidak boleh dianggap remeh untuk menentukan
penyebab kematian. 14
Pemeriksaan otopsi kasus tenggelam pada manusia:
1. Pemeriksaan Luar 15, 16
a. Tidak ada yang patognomis untuk drowning, fungsinya hanya untuk menguatkan
b. Pakaian basah, kadang-kadang bercampur lumpur
c. Wajah pucat dan sianosis
d. Mata ditemukan setengah terbuka atau tertutup
e. Lidah mungkin bengkak dan menonjol
f. Adanya “busa cukur” putih yang berlebihan seperti buih di mulut dan lubang hidung
adalah temuan eksternal antemortem yang paling khas
g. Cutis anserina (kulit angsa/daging angsa/bulu angsa) adalah keadaan kulit yang mengerut
dan tampak seperti granul pada ekstremitas yang terendam air dingin akibat kontraksi
otot erector pilorum
h. Washerwomen's hand adalah tampilan telapak tangan yang keriput, basah, dan memutih,
aspek telapak tangan dan jari tangan yang lebih pucat termasuk permukaan plantar jari-
jari kaki akibat tenggelamnya tubuh
i. Kadang terdapat cadaveric spasme
j. Lebam mayat biasanya sianosis terutama pada leher dan kepala, kecuali pada air sangat
dingin maka lebam mayat akan berwarna merah muda
2. Pemeriksaan Dalam 16,17
a. Paru
Air tawar Air asin
Paru-paru besar tapi ringan Paru-paru besar dan berat
Batas anterior menutupi jantung Batas anterior menutupi mediastinum
Warna merah pucat Warna ungu/kebiruan permukaan
mengkilat
Bila dikeluarkan dari thorax, paru- Bila dikeluarkan dari thorax, terdapat
paru tidak kempes cetakan iga, bentuknya datar, dan bila
ditekan menjadi cekung
Bila diirsis tidak mengempis, tidak Bila diiris terdengar krepitasi
mengandung cairan, dipijat keluar menurun, tanpa ditekan akan keluar
buih banyak cairan
Paltauf's hemorrhage, sepanjang septa interlobular; sebagian besar terlihat di
permukaan anterior dan tepi paru-paru
Bila terjadi hemolisis maka akan terlihat adanya bercak hemolisis pada
dinding aorta

b. Laring, trakea, dan bronkiolus


Dapat ditemukan buih halus pada lumen
c. Jantung dan pembuluh darah
Seperti dalam bentuk asfiksia lainnya, jantung kiri biasanya akan kosong; jantung kanan
berisi darah gelap, konsistensi cairan
d. Lambung dan usus
Perut mengandung air dalam 70% kasus dapat berupa butir-butir pasir dan algae, tetapi
ada kemungkinan korban telah meminum air yang sama sebelum meninggal
e. Sinus ethmoid dan sphenoid
Air dapat masuk ke dalam sinus
3. Pemeriksaan penunjang: 15,16,17
a. Tes asal air
Tes dilakukan dengan cara memeriksa air dari paru-paru atau lambung secara
mikroskopik. Tujuannya adalah mengetahui apakah air dalam paru-paru berasal dari luar
atau dari proses edema dan mencocokkan air dalam paru-paru dengan air di lokasi
tempat tenggelam.
b. Tes Gettler
Normalnya kandungan klorida jantung sisi kanan dan kiri hampir sama, sekitar 600
mg/100 ml. Jika perbedaan adalah 25 mg% atau lebih, hal ini menunjukkan tenggelam
antemortem. Jika tenggelam di air tawar, kandungan klorida darah di jantung kiri akan
lebih rendah daripada di kanan karena proses hemodilusi. Sedangkan jika tenggelam air
asin, kandungan klorida darah di jantung kiri akan lebih besar dari jantung kanan karena
terjadi hemokonsentrasi.

c. Tes diatom jaringan


Untuk mencari diatome (binatang bersel satu) dalam tubuh korban. Karena adanya
anggapan bahwa bila orang masih hidup pada waktu tenggelam, maka akan terjadi
aspirasi, dan karena terjadi adanya usaha untuk tetap bernafas maka terjadi kerusakan
bronkioli/bronkus sehingga terdapat jalan dari diatome untuk masuk ke dalam tubuh.
4. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histologis (pewarnaan hematoksilin eosin) menunjukkan edema intra-
alveolar dan dilatasi ruang alveolar, perdarahan, kongesti dengan kompresi sekunder kapiler
septum. Tenggelam di air tawar dan air laut tidak menunjukkan perbedaan secara histologis.1

Air payau
Konsentrasi ion air payau mungkin tidak konstan karena pasang surut air laut. Pada korban
terjadi aspirasi air dengan konsentrasi elektrolit yang sama dengan cairan tubuh saat air laut dan
sungai bercampur. Dalam kasus lain, kadar ionnya tinggi, yang mungkin menunjukkan adanya
aspirasi air laut. Hasil penelitian mungkin menunjukkan bahwa korban tenggelam baik di laut
maupun di daerah payau saat air laut mengalir ke dalamnya. Air payau memiliki konsentrasi
isotonic dengan darah dan pergerakan cairan antara alveoli dan darah sangat terbatas.18,19
Telah terbukti relatif awal dalam penelitian diatom bahwa diatom sangat dipengaruhi oleh
salinitas air, dan bahwa diatom air tawar dan laut sangat berbeda. Banyak klasifikasi spesies
diatom yang mencerminkan hubungannya dengan salinitas. Setiap klasifikasi didasarkan pada
pengalaman penulisnya dengan diatom yang menghuni perairan segar, asin, dan menengah dari
jenis tertentu (muara, wilayah pesisir, dan perairan pedalaman) dan di wilayah geografis tertentu.
Spesies yang termasuk dalam berbagai kategori salinitas dan posisi pasti dari batas antara
kategori-kategori ini, oleh karena itu, berbeda di antara klasifikasinya. Visualisasi distribusi
spesies dalam bentuk tabel dan grafik membantu menemukan diskontinuitas, yang
diinterpretasikan sebagai ambang yang bermakna secara biologis, dan yang digunakan untuk
menetapkan batas antara kategori halobien. Kolbe (1927, p. 112), misalnya, menetapkan tiga
kategori utama diatom dalam kaitannya dengan salinitas: "euhalobien" (salinitas optima dalam
kisaran 30-40 g / l), "mesohalobien" (salinitas optima dalam kisaran 5– 20 g / l), dan
"oligohalobien" (salinitas optima di bawah 5 g / l). Kategori terakhir ini pada gilirannya dibagi
menjadi tiga subkategori: "halophile" (mentolerir beberapa garam), "indifferente" (toleransi
lebar), dan "halophobe" (hanya mentolerir salinitas yang sangat rendah).20
Remane menjelaskan bahwa keragaman minimum terjadi karena sebagian besar organisme
yang ditemukan di perairan payau berasal dari laut atau air tawar, dan air payau merupakan
bagian marginal dari rentang distribusinya: “Spesies air payau berasal dari air tawar dan bersifat
'limnogenous 'atau dari laut' thalassogenous. Gagasan bahwa sebagian besar diatom yang
ditemukan di air payau adalah spesies air tawar atau laut yang berhasil beradaptasi dengan
kondisi payau, atau merupakan keturunan langsung dari organisme laut dan air tawar. Quinlan
dan Phlips (2007) membandingkan distribusi berbagai kelompok alga di sepanjang gradien
salinitas di estuary Suwanee, Florida. Plot pentahbisan mereka menunjukkan bahwa komposisi
komunitas diatom berubah secara bertahap seiring dengan peningkatan salinitas. Muylaert dkk.
(2009) mempelajari respon spesies fitoplankton terhadap salinitas di River Schelde estuary.
Mereka menyimpulkan bahwa perubahan komposisi fitoplankton, yang sebagian besar terdiri
dari diatom, terus menerus sepanjang gradien salinitas yang membentang dari 0,15 hingga 30 g /
l. Mereka juga menemukan peningkatan keragaman alfa (kekayaan spesies) di zona transisi
antara perairan tawar dan laut, bukan dari jumlah minimum yang diharapkan. Pengaruh massa
spasial, yaitu pengayaan spesies dari habitat air tawar dan laut yang berdekatan, diduga sebagai
penyebab peningkatan keanekaragaman di zona transisi ini. Menurut sistem Venice (1959), batas
antara air tawar dan air payau adalah 0,5 g / l (konduktivitas ~ 750 mS / cm), sedangkan batas
antara air payau (mixohaline) dan air laut (euhaline) adalah 30 g / l. 20
Jenis diatom air laut tampaknya paling banyak karena dominasi spasial dan stabilitas
temporal relatif laut dibandingkan dengan air tawar dan air payau. mengungkapkan setidaknya
tiga garis keturunan air tawar: Diatoma + Asterionella, Staurosira (saudara perempuan
Nanofrustulum laut), dan Fragilaria + Fragilariforma + Ulnaria. Selain itu, klade yang
mengandung Tabularia juga dapat dianggap sebagai penjajah yang berhasil di Inland water
karena T. fasciculata adalah penghuni umum badan air pedalaman dengan kandungan ion yang
tinggi. Silsilah diatom monoraphid air tawar termasuk Achnanthidium minutissimum dan
Planothidium lanceolatum yang ditemukan di perairan tawar dan payau, dan Pauliella taeniata,
diatom planktik umum di laut utara. Sebagaimana dicatat oleh Mann (1999), beberapa genera
diatom yang dianggap sebagian besar berasal dari laut (misalnya, Hantzschia, Achnanthes sensu
stricto) juga mengandung spesies yang biasa ditemukan di habitat subarial darat. Contoh lain dari
genera yang ditemukan di habitat darat dan pesisir adalah Melosira dan Cosmioneis. Faktanya,
sifat laut dari genera ini relatif: Melosira, Hantzschia, dan Achnanthes sangat umum di perairan
pantai dengan salinitas lebih rendah dari pada umumnya, dan seringkali di kisaran payau (0,5-30
g / l). 20
DAFTAR PUSTAKA

1. Lee SY, Ha EJ, Cho HW. et al. 2019. Potential Forensic Application Of Receptor for
Advanced Glycation End Products (RAGE) And Aquaporin 5 (AQP5) As Novel
Biomarkers for Diagnosis Of Drowning. Journal of Forensic and Legal Medicine. 62: 56-
62.
2. Flobdy P., et al. 2017. Cell-Specific Expression Of Aquaporin-5 (Aqp5) In Alveolar
Epithelium Is Directed By GATA6/ SP1 Via Histone Acetylation. Sciefic Report. 1-12
3. Cho HW., Eom YB. 2019. Potential Forensic Application of Receptor for Advanced
Glycation End Products (RAGE) as a Novel Biomarker for Estimating Postmortem
Interval. Journal of Forensic Science. 1-6
4. Wittekindt OH., Dietl P. 2019. Aquaporin In The Lung. Europan Journal Physiology.
471: 519-532
5. Kartika AI. 2018. Optimasi Annealing Temperature Primer mRNA RECK dengan
Metode One Step qRT-PCR. Jurnal Labora Medika. 2(1): 22-31
6. Rahayu, RC., Auerkari EI. 2008. Tekhnik Imunohistokimia Sebagai Pendeteksi Antigen
Spesifik Penyakit Infeksi. IJD. 11(2): 76-82
7. Susanti., Suksama E., Lesmana R., Supratman U. 2019. Optimization of Western Blot
Technique for Protein Expression of Rice Plant (Oryza sativa L.). Jurnal Bioteknologi
dan Biosains Indonesia. 6(2): 174-183
8. Frianto F., Fajriaty I., Riza H. 2018. Evaluasi Faktor yang Mempengaruhi Jumlah
Perkawinan Tikus Putih (Rattus norvegicus) Secara Kualitatif. Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura, Pontianak.
9. Sihombing M., Raflizar. 2010. Status Gizi dan Fungsi Hati Mencit (Galur CBS-Swiss)
dan Tikus Putih (Galur Wistar) di Laboratorium Hewan Percobaan Puslitbang Biomedis
dan Farmasi. Media Litbang Kesehatan. 20(1): 33.
10. Yu W., Wu M., He G., et al. 2012. Glyceraldehyde-3-phosphate dehydrogenase: A
universal internal control for Western blots in prokaryotic and eukaryotic cells.
Analytical Biochemistry. 423: 15-22.
11. Nie X., Li C., Hu S., et al. 2017. An Appropriate Loading Control for Western Blot
Analysis in Animal Models of Myocardial Ischemic Infarction. Biochemistry and
Biophysics Report. 12: 108-113.
12. Romero DH., Rodrigues ES., Osuna E., et al. 2020. Proteomics in Deaths by Drowning:
Diagnostic Efficacy of Apolipoprotein A1 and α-1 Antitrypsin, Pilot Study. Diagnostics.
10(747): 1-13
13. Yu Sy. Na YJ. Lee YJ. et al. 2015. Forensic Application Of microRNA-706 As A
Biomarker For Drowning Pattern Identification. Forensic Science International. 255: 96-
101.
14. Schneppe S., Dokter M., Bockholdt B. 2020. Macromorphological Findings In Cases Of
Death In Water: A Critical View On “Drowning Signs. International Journal of Legal
Medicine. 1-11
15. Wilianto W. 2012. Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam. Kedokteran
Forensik Indonesia. 14(3): 39-46.
16. Biswas G. Review of Forensic Medicine and Toxicology. 2 nd Ed. 2012. Jaypee Brothers
Medical Publisher. USA.
17. Dahlan S. 2002. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Universitas Diponegoro. 120-3
18. Yajima D., Inokuchi G., Makino Y. et al. 2018. Diagnosis of drowning by summation of
sodium, potassium, and chloride ion levels in sphenoidal sinus fluid: Differentiating
between freshwater and seawater drowning and its application to brackish water and
bathtub deaths. Forensic Science International 284: 219–225
19. Karmakar RN. 2007. Forensic Medicine and Toxicology. Academic Publishers Kolkata.
India.
20. Seckbach J., Kociolek, P. 2011. The Diatom World. Cellular Origin, Life in Extreme
Habitats and Astrobiology. Springer. New York.

Anda mungkin juga menyukai