Anda di halaman 1dari 23

DASAR TEORI TRANSAKSI EKONOMI

Zulia, Nurlaili, Nurul Hayati, Husniah

Abstract

The forms of contract in shari'ah economic transactions can be divided into two: First: the
tabarru contract is a contract made between the two parties with the aim of helping in order to
do good. Both tijarah contracts are contracts that are carried out with the aim of seeking
profit, because they are commercial. Tijarah contracts can be divided into two, namely:
natural certainity contracts (NCC) and natural uncertainity contracts.

Keywords :Akad - Transaction - Economy - Shariah


A. Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu ber- hubungan antara
yang satu dengan yang lainnya, karena tidak seorang pun dapat memenuhi kebutuhan hajat
hidupnya tanpa pertolongan orang lain. Di dalam masyarakat, manusia mempunyai aktivitas
yang beragam baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya. Keber- agaman tindakan
dan aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari tentunya akan berakibat kepada timbulnya
suatu ikatan secara hukum. Dalam bidang mu’amalah tindakan yang menimbulkan suatu
ikatan secara hukum dapat terlihat pada aktivias jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya.
Timbulnya suatu ikatan secara hukum diawali dengan suatu tindakan yang dinamakan akad
atau transaksi.

Akad atau transaksi menurut syara merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih yang sama-sama berkeingi- nan untuk mengikatkan diri.Secara garis
besar, terdapat dua jenis akad atau transaksi yang seringkali terjadi dan diakui secara syari’ah
yaitu, akad tabarru’ (kebaikan) dan akad tijârah (perdagangan). Akad tabarru’ merupakan
jenis akad dalam transaksi perjanjian antara dua orang atau lebih yang tidak berorientasi
profit atau bisnis (non profit oriented). Sedangkan akad tijârah merupakan jenis akad dalam
transaksi perjanjian antara dua orang atau lebih yang berorientasi profit atau bisnis (profit
oriented).Akad tabarru’ digunakan untuk tujuan saling menolong tanpa mengharapkan balsan
kecuali dari Allah semata. Dengan demikian, masing-masing pihak yang terlibat tidak dapat
mengambil keuntungan (profit) dari jenis transaksi ini. Namun demikian, salah satu pihak
mengenakan biaya untuk sekedar menutupi biaya yang muncul akibat transaksi. Sedangkan
akad tijârah digunakan dalam transaksi dengan tujuan mengambil keuntungan.Dengan
demikian masing- masing pihak yang terlibat dapat mengambil keuntungan (profit) dari jenis
transaksi ini.

Untuk memahami transaksi-transaksi yang tergabung dalam akad tabarru’ dapat


digunakan pendekatan dengan tori pemberian atau meminjamkan suatu obyek tertentu dari
satu pihak kepada pihak lain nya. Sedangkan untuk dapat memahami transaksi-transaksi yang
ter- gabung dalam akad tijârah dapat digunakan teori percampuran dan pertukaran. Oleh
karena itu, berdasarkan statement di atas yang difokuskan dalam pembahasan makalah ini
adalah teori percampuran dan pertukaran dengan tidak mengabaikan teori peminjaman atau
pemberian. Kemudian pengamplikasian teori-teori tersebut di dalam perbankan syari’ah.

Urgensi pembahasan ini karena, pertukaran merupakan hal yang pokok dalam bidang
ekonomi karena dapat mengatur dan menyele- saikan masalah pemakaian dan produksi.
Dalam dunia modern sistem pertukaran sangat diperlukan dalam kehidupan, karena setiap
orang tidak dapat memproduksi semua kebutuhan hidupnya tanpa hal tersebut.

B. Teori Pertukaran

Pengertian dari pertukaran (al-bai’) ialah mempertukarkan suatu (harta benda) untuk
tujuan kepemilikan. Dalam kehidupan modern, pertukaran barang sering dilakukan dengan
cara jual beli melalui perantaraan uang sebagai alat tukar (medium of change). Dengan cara
pertukaran, hasil terjadinya akad dapat diketahui secara langsung baik dari segi objek
maupun waktu penyerahan.

Teori pertukaran dibagi dari dua pilar yaitu:

A. Objek Pertukaran

Fiqh membedakan dua jenis objek pertukaran, yaitu:

1) ‘ayn (real assets) berupa barang dan jasa

2) Dayn, istilah dayn secara bahasa utang. 

Namun secara fiqh, dayn selain utang dapat diartikan sebagai asset financial. Objek
pertukaran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pertama dayn berupa uang; dan kedua dayn
berupa surat berharga. Perbedaan antara uang dengan surat berharga terdapat pada jangkauan
fungsinya. Kalau uang dinyatakan sebagai alat tukar resmi oleh pemerintah sehingga berlaku
secar umum. Sedangkan keberadaan surat berharga hanya terbatas pada kalangan tertentu saja
yang menggunakannya.

B. Waktu Pertukaran

Fiqh membedakan dua waktu pertukaran, yaitu:

1) Naqdan (Immediate delivery) yang berarti penyerahan saat itu juga

2) Ghairu Naqdan (Deferred delivery) yang berarti penyerahan kemudian.

Secara garis besar ada dua jenis asset yang dapat digunakan sebagai sarana investasi
yaitu :

a). Real asset yaitu investasi yang dilakukan dalam asset-asset yang berwujud nyata
seperti: emas, real estate dan karya seni.

b). Financial asset yaitu investasi yang dilakukan pada sektor-sektor financial, seperti:
deposito, saham, obligasi, reksadana. Berinvestasi di financial asset bisa dilakukan dengan 2
cara yaitu langsung dan tidak langsung. Langsung artinya investor membeli asset-asset
keuangan perusahaan, tidak langsung membeli saham dari perusahaan investasi yang
mempunyai portofolio asset-asset keuangan dari perusahaan lain.(Ningsih, 1999)

Dari  segi  objek  pertukaran,  dapat  diidentifikasi  tiga  jenis pertukaran,yaitu :

a) Pertukaran Real Assets (‘ayn) dengan real assets (‘ayn)


Bila jenisnya berbeda (misalnya upah tenaga kerja yang dibayar dengan sejumlah beras)
maka tidak ada masalah atau dibolehkan. Namun bila jenisnya sama, fiqih membedakan
antara real assets yang secara kasat mata tidak dapat dibedakan mu- tunya. Contoh,
pertukaran kuda dengan kuda diperbolehkan karena secara kasat mata dapat dibedakan
mutunya.

Satu-satunya kondisi yang membolehkan pertukaran antara sejenis dan secara kasat mata
tidak dapat dibedakan mutunya adalah :

• Sawa-an bi sawa-in (sama jumlahnya)

• Mitslan bi mistlin (sama mutunya)

• Yadan bi yadin (sama waktu penyerahanya)

b) Pertukaran ‘ayn (real assets) dengan dayn (financial assets)

Dalam pertukaran ini, yang dibedakan adalah jenis ‘ayn-nya.Apabila ‘ayn-nya berupa
barang, maka pertukaran tadi disebut jual-beli (al bai’). Dilihat dari waktu penyerahannya, al
bai’ (jual-beli) bisa dibedakan lagi menjadi:

a) Bai’Naqdan:  Akad  jual  beli  secara  tunai.  Baik  uang  maupun  barang  diserahkan  pada
waktu bersamaan pada awal akad.

b) Bai’Taqsith: Jual-beli-Cicilan, yaitu barang diserahkan  dimuka, sedangkan pembayaran


dilakukan secara cicilan selama periode utang. akan diserahkan kemudian.

c) Istishna’:    Sama  dengan  akad  salam,  namun  pembayarannya  dilakukan  selama


beberapa  tahap (cicilan) selama periode pembayaran.
Sedangkan pertukaran antara dayn dengan ‘ayn yang berupa jasa, disebut Ijarah. Ijarah
bisa dikatakan sebagai akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang maupun jasa atas
tenagakerja,apaibla digunakan  untuk  mendapatkan  manfat  (jasa)  atas  barang  maka
disebut sewa-menyewa.Sedangkan apabila digunakan untuk mendapatkan manfaat  jasa
tenaga kerja maka disebut upah-mengupah. Dalam akad ini, tidak terjadi perpindahan obyek
ijarah. Obyek Ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan.

c) Pertukaran Financial Asset (Dayn) dengan Financial Asset (Dayn)

Sistem pertukaran  financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn) dibedakan ke
dalam bentuk berupa (a) Uang11 dan (b) Surat ber harga. Jual beli surat berharga (bai’ al-
dayn bi al-dayn) pada dasarnya tidak diperbolehkan, tapi bila surat berharga dilihat lebih rinci
dapat dibedakan menjadi:

a) Penjualan kepada si penghutang (bai’ al-dayn lil madin, sale of debt to the debtor)
yang dapat dibedakan lagi menjadi: pertama, hutang yang pasti pembayarannya
(comfirmed, mustaqir). Bagi mazhab Hambali dan Zahiri, transaksi ini boleh. Kedua,
hutang yang tidak pasti pembayarannya (uncomfirmed, ghairu musta- qir) transaksi
ini dilarang.

b) Panjualan kepada pihak ketiga (bai’ al dayn lil ghairu madin, sale of debt to third
party). Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat, pertama, kebanyakan ulama
mazhab Hanafi dan Syafii serta beberapa ulama mazhab Hanbali dan Zahiri secara
tegas tidak membolehkan hal ini. Kedua, Ibnu Taimiyah mem- bolehkan bila
hutangnya adalah hutang yang pasti pembaya- rannya (comfirmed, mustaqir). Ketiga,
Imam Siraji, Subki dan Nawawi membolehkannya dengan tiga syarat. Keempat,
Imam Anas bin Malik dan Zarqani membolehkannya dengan delapan syarat.

c) Waktu pertukaran. Para ulama dalam melihat waktu pertuka- ran dengan transksi
natural certainty contracts ini yang kemu- dian dikodifikasikan dalam skim ilmu fiqih
membedakannya menjadi dua waktu pertukaran transaksi (NCC), yaitu:
1) Naqdan (immediet delivery) yang berarti kondisi dimana waktu pertukaran
dilakukan secara tunai, segera atau seka- rang (present), penyerahan saat itu
juga.

2) Ghairu naqdan (def ferred delivery) yang berarti kondisi dimana waktu
penyerahannya dilakukan masa mendatang atau penyerahan kemudian. (Islam
& Mataram, 2019)

C. Teori Percampuran

Teori ini juga mempunyai dua pilar utama: 

1. Obyek Percampuran

Tidak jauh beda dengan teori pertukaran objeknya juga dua yaitu ay’n (real asset)
berupa barang dan jasa, dan dayn (finan- cial asset) berupa uang dan surat berharga.

2. Waktu Percampuran 

Juga membedakan waktu percampuran menjadi dua yaitu naqdan yakni penyerahan
saat itu juga dan ghairu naqdan penyerahan kemudian atau tangguh.(Ningsih, 1999)

Fikih Islam juga membedakan dua jenis obyek percampuran, yaitu: 

a. ‘Ayn (real asset) berupa barang atau jasa 

b. Dayn (financial asset) berupa uang dan surat berharga. 

Sama seperti pada teori pertukaran, dari segi waktunya, fikih Islam juga membedakan
dalam dua waktu dalam teori percampuran, yaitu: 
a. Naqdan (immediate delivery) yaitu penyerahan saat itu juga, dan 

b. Ghairu naqdan (deferred delivery) yang berarti penyerahan kemudian. 

Selanjutnya, dari segi obyek percampuran, dapat diidentifikasi tiga jenis percampuran, yaitu: 

a. Real asset (‘ayn) dipercampurkan dengan real asset (‘ayn) 

b. Real asset (‘ayn) dipercampurkan dengan financial asset (dayn) 

c. Financial asset (dayn) dipercampurkan dengan financial asset (dayn) 

Kaidah fikh untuk ketiga jenis pertukaran diatas, bisa dijelaskan sebagai berikut: 

1. Real asset (‘ayn) dipercampurkan dengan real asset (‘ayn) 

Transaksi ini bisa terjadi pada kasus misalnya tukang kayu bekerja sama dengan tukang
batu utnuk membangun sebuah rumah. Baik tukang batu maupun tukang kayu keduanya
sama-sama menyumbangkan tenaga (keahliannya) dan mencampurkan jasa mereka untuk
membuat usaha bersama yaitu membangun sebuah rumah. Dalam kasus ini yang dicampur
dalam sebuah usaha baru adalah ‘ayn dengan’ayn. Tukang kayu menymbangkan jasa
keahlian perkayuan (jasa-‘ayn), sedangkan tukang batu  menyumbangkan jasa keahlian
perbatuan (‘ayn). Bentuk ini sering disebut dengan istilah Syirkah ‘Abdan.

2. Real asset (‘ayn) dipercampurkan dengan financial asset (dayn) 

Percampuran antara ‘ayn dan dain dapat mengambil beberapa bentuk: 

a. Syirkah Mudharabah. 

Dalam kasus ini, ‘ayn dicampurkan dengan jasa/keahlian orng lain. Contoh kasusnya
misalnya percampuran antara modal seseorang yang bertindak sebagai penyandang dana
untuk dicampurkan (digunakan usaha) oleh orang lain mempunyai keahlian/kecakapan
berusaha. 

b. Syirkah Wujuh 

Dalam syirkah ini, seorang penyandang dana memberikan sejumlah modal finansial
untuk dipakai sebagai modal usaha, sementara pihak lain menyumbangkan nama
baik/reputasinya. 

3. Financial asset (dayn) dipercampurkan dengan financial asset (dayn). 

Percampuran ini bisa terjadi dengan bentuk percampuran uang dengan uang dalam
jumlah yang sama (syirkah mufawadhah) ataupun uang dicampurkan dengan uang dalam
jumlah yang berbeda (syirkah ‘inan).

D. Transaksi Transaksi Tabarru’

Akad tabarru adalah akad yang melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari
Allah SWT semata. itu sebabnya akad ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan
komersial. Konsekuensi logisnya, bila akad tabarru’ dilakukan dengan mengambil
keuntungan komersial, maka ia bukan lagi akad tabarru’, ia akan menjadi akad tijarah.
Namun, bila ingin tetap menjadi akad tabarru’, maka ia tidak boleh mengambil (keuntungan
komersial) dari akad tabarru’ tersebut. Tentu saja ia tidak berkewajiban menanggung biaya
yang timbul dari pelaksanaan akad tabarru’. Artinya, ia boleh meminta pengganti biaya yang
dikeluarkan dalam melaksanakan akad tabarru’.

Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah bentuk transaksi atau perjanjian kontrak yang
bersifat non laba (sosial) sehingga tidak boleh digunakan untuk tujuan komersial atau bisnis
tetapi semata-mata untuk tujuan tolong menolong dalam rangka kebaikan. Ada pula yang
menyebutkan bahwa akad tabarru adalah perjanjian kontrak yang bersifat sosial dan
komersial demi memperoleh keuntungan dan tidak ada pihak yang dirugikan melalui akad
yang disetujui oleh pihak-pihak yang mengikat perjanjian. Para ulama masih menganggap
masalah akad tabarru merupakan masalah ijma/ijtihadiyah meskipun ada beberapa ulama
yang telah menyepakati beberapa metodedan sistem dari bentuk-bentuk akad tabarru.
(Setiyawan, 2013)

Jenis Akad (transaksi transaksi ) Tabarru’ Yang dikategorikan sebagai akad tabarru’
adalah qard, rahn, hawâlah, wakâlah, wadi’ah, kafâlah, hibah dan wakaf.

1. Al Qardh

Al Qardh adalah suatu bentuk akad tolong menolong di antara sesama manusia dengan
cara saling memberikan pinjaman uang dan barang dengan tanpa adanya tambahan manfaat
dengan tujuan saling tolong menolong. Sebagai salah satu bentuk akad syariah maka qard
juga dipakai oleh lembag keuangan syariah (LKS) di Indonesia, untuk itu Dewan Syariah
Nasional membuat ketentuan umum tentang qard yang bisa dipakai oleh Lembaga Keuangan
Syariah.

Ketentuan umum Al Qardh antara lain :

1. Al Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah yang memerlukan.


2. Nasabah Al Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada
waktu yang telah disepakati bersama
3. Biaya administrasi dapat dibebankan kepada nasabah
4. Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana
dipandang perlu.
5. Nasabah Al Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) sukarela kepada
LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya
pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan
ketidakkemampuannya, LKS dapat:
a) Memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
b) Menghapus sebagian atau seluruh kewajibannya

Sebagai salah satu produk LKS yang harus dijaga keutuhan dan keamanannya maka LKS
juga harus memberikan sanksi terhadap nasabah yang lalai dalam mengembalikan dana Qard.
Aturan sanksi dalam qard sebagaimana diatur dalam fatwa DSN antara lain :

1) Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian


atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat
menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2) Jika jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya
secara penuh.

2. Rahn

Secara Etimologi, kata al-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad alrahn dalam
istilah disebut dengan barang jaminan/ agunan atas utang.

Landasan Hukum

Firman Allah, Qs. Al-Baqarah ( 2) : 283 yang artinya :

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperolah seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 2:283) “

Para Ulama Fiqh sepakat menyatakan bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan
ataupun tidak, asalkan barang jaminan itu bisa langsung dikuasai secara hukum oleh pemberi
piutang. Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai
adalah surat jaminan tanah itu. Ar-rahn dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang
terkandung didalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
Ketentuan Al –Rahn :

a) Murtahin ( Penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun(barang)


sampai semua utang Rahin ( yang menyerahkan barang ) dilunasi.
b) Marhun dan manfaatnya tetep menjadi milik Rahin. Pada Prinsipnya, Marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecualiseizin Rahin, dengan tidak
mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.
c) Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkanbiaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
d) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan Jumlah pinjaman.
e) Penjualan Marhun

1) Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi
utangnya.

2) Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/ dieksekusi
melalui lelang sesuai syariah.

3) Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban
Rahin.

Aplikasi akad Rahn dalam produk Jasa bank syariah dapat diterapkan pada produk gadai
syariah yang sudah dijalankan oleh beberapa bank syariah yang ada. Produk gadai di bank
syariah umumnya menerima barang gadaian berupa barang berharga sperti emas dan permata
dan bank syariah memungut biaya-biaya penaksiran, biaya pemeliharaan, biaya sewa tempat,
biaya penurunan harga, biaya administrasi maupun biaya asuransi. Biaya-biaya yang
dibebankan bukan berdasarkan besarnya pokok pinjaman melainkan berdasarkan besarnya
resiko dan tingkat keuntungan yang ingin diperoleh oleh bank. Dengan aturan ini
dimungkinkan peminjaman dana sebesar Rp. 10 juta maupunRp. 15 juta dengan barang
gadaian yang sama biaya gadainya sama.

3. Hawalah

Secara Etimologi, Hawalah diambil dari kata tahwil yang berarti : intiqal (perpindahan).
Yang dimaksud adalah, pemindahan kewajiban membayar utang dari orang yang berutang
(Muhil) kepada orang yang berutanglainnya (Muhal‘alaih).

Secara terminologi, Hawalah adalah:

a. pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang yang berhutang kepada


orang yang bertanggung jawab (membayarnya), ataumemindahkan utang dari
tanggungan Muhil menjadi tanggungan Muhal ‘alaih.
b. Pelimpahan pembayaran utang kepada orang lain yang berutang kepadanya,
atau pengalihan kewajiban membayar hutang dari bebanpihak pertama kepada
pihak lain yang berhutang kepadanya, atas dasar saling mempercayai

Menurut DSN dan BI:

a. Hawalah adalah akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain
yang wajib menanggung (membayar)nya(Fatwa DSN No: 12/DSN-MUI/IV/2002)

b. Hawalah adalah transaksi pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak
lain yang wajib menanggung atau membayar (PBI No 9/19/PBI/2007).

c. Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Dalam istilah ulama, hal inimerupakan pemindahan beban utang dari Muhil
( orang yang utang ) menjadi tanggungan Muhal’alaih ( orang yang berkewajiban membayar
utang ).

Landasan Hukum

a. “Menunda-nunda pembayaran utang bagi orang yang mampu adalah perbuatan aniaya
(dhalim). Apabila utang itu dilimpahkan (diHawalahkan) kepada salah seorang di antara
kalian yang mampu, maka terimalah” (H.R. Bukhari).

b. “Barang siapa yang dialihkan (utangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah ia
menerima (pelimpahan itu)” (H.R. Ahmadd bin Hanbal).

c. Berdasakan hadits tersebut di atas, para ulama bersepakat (Ijma) bahwa transaksi Hawalah
hukumnya mubah (boleh).

Unsur-unsur Hawalah:

a. Orang yang berutang (Muhil)

b. Orang yang berpiutang (Muhal atau Muhtal);

c. Orang yang membayar utang Muhil kepada Muhal (Muhal ‘alaih).

d. Utang (Muhal bih)

4. Wakalah

Secara Etimologi: Al-Wakalah berarti penyerahan (al Tafwidh) dan pemeliharaan (al-
Hifdh). Wakalah yang berarti penyerahan terdapat dalam surat Ibrahim/14:12; Hud/11: 56,
sedangkan dalam arti pemeliharaan terdapat pada surat Ali Imran (3) : 173. Artinya secara
berturut-turut adalah sbb: “Dan hanya kepada Allah saja, orang-orang yang bertawakal itu
berserah diri”; “Karena sesungguhnya aku telah berserah diri kepada Allah, Tuhanku dan
Tuhan Kamu”; dan “ … mereka lalu berkata: ‘cukuplah Allah untuk (menolong) kami, dan Ia
sebaik-baik pemelihara’”.

Secara Terminologi: Menurut Wahbah, Wakalah ada dua pengertian, yaitu menurut
Mazhab Hanafi yang mengartikan Wakalah sebagai pendelegasian suatu tindakan hukum
kepada orang lain yang bertindak sebagaiwakil. Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i, dan
Hambali mengartikan Wakalah sebagai pendelegasian hak kepada seseorang dalam hal-hal
yang bisa diwakilkan kepada orang lain selagi orang tersebut masih hidup.

Rukun Wakalah
a. Orang yang memberi kuasa (al Muwakkil;

b. Orang yang diberi kuasa (al Wakil);

c. Perkara/hal yang dikuasakan (al Taukil);

d. Pernyataan Kesepakatan ( Ijab dan Qabul).

Aplikasi Wakalah Di Bank Syariah

a. Transfer, jasa yang diberikan bank untuk mewakili nasabah dalam pemindahan dana dari
satu rekening kepada rekening lainnya.

b. Collection (inkaso), melakukan penagihan dan menerima pembayaran tagihan untuk


kepentingan Nasabah.

c. Penitipan, yaitu kegiatan penitipan barang bergerak, yang penatausahaannya dilakukan


oleh Bank untuk kepentingan Nasabah berdasarkansuatu akad,

d. Memberikan fasilitas Letter of Credit (L/C) berdasarkan prinsip Wakalah, Murabahah,


Mudharabah, Musyarakah, Salam/Istishna,Qardh dan Hawalah.

e. Anjak Piutang (Factoring), kegiatan pengalihan piutang dagang jangka pendek suatu
perusahaan berikut pengurusan atas piutangberdasarkan akad wakalah.

5. Wadi’ah

Secara etimologi, wadi‟ah berasal dari bahasa arab yakni akar kata wad‟u yang berarti
meninggalkan dan wadi‟ah adalah sesuatu yang ditinggalkan pada orang yang bukan
pemiliknya untuk dijaga.Menurut Sayyid Sabiq, kata wadi‟ah berasal dari kata wada‟a al
asya-i yang berarti meninggalkannya. Dinamai sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada
orang lain untuk dijaga dengan sebutan wadi‟ah lantaran ia meninggalkannya pada orang
yang menerima titipan. Barang yang dititipkan disebut ida‟, orang yang menitipkan barang
disebut mudi‟ dan orang yang menerima titipan barang disebut wadi‟. Dengan demikian
maka wadi‟ah menurut istilah adalah akad antara pemilik barang (mudi‟) dengan
penerimabarang titipan (wadi‟) untuk menjaga harta atau modal (ida‟) dari kerusakan
ataukerugian dan untuk keamanan harta.

Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan wadiah, karena mereka juga berbeda
dalam beberapa syarat wadiah tersebut, dimana ulama Hanafiah dan Malikiah yang
mensyaratkan wadiah itu harus berupa harta, mereka tidak mensyaratkan dalam pemeliharaan
akadnya harus berupa akad tabarru‟, mereka mendefinisikan wadiah adalah: Pemilik harta
menyerahkan kepada orang lain untuk memelihara hartanya. Sedangkan ulama Syafi‟iyah
mensyaratkan pada wadiah tersebut harus berupa harta atau sesuatu yang khusus dari yang
haram (seperti berupa najis yang mengandung manfaat), mereka juga tidak mensyaratkan
dalam akad wadiah harus memakai akad tabarru‟, menurut mereka wadiah adalah
mewakilkan untuk pemeliharaan terhadap sesuatu yang dimiliki atau sesuatu yang khusus.
Sementara ulama Hanabilah mensyaratkan bahwa wadiah haruslah memakai akad tabarru‟,
menurut mereka wadiah adalah mewakilkan dalam pemeliharaan sesuatu yang dimiliki atau
sesuatu yang khusus dari barang yang diharamkan dengan akad tabarru‟.

Selain itu, menurut Bank Indonesia, wadi‟ah adalah akad penitipan barang/uang antara
pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan
untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang.Dalam tradisi fiqh Islam
wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu
maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja orang yang
menitipkan.(Hayati, 2016)

6. Kafalah

Secara Etimologi: Kafalah berarti menggabungkan (al-dhammu), menanggung


(hamalah), dan menjamin (za’amah). Kafalahadalah mempersatukan tanggungjawab dengan
tanggungjawab lainnya dalam hal tuntutan secara mutlak, baik berkaitan dengan jiwa,
hutang,materi, maupun pekerjaan.

Secara terminologiKafalah yaitu jaminan yang diberikan olehpenanggung (kafiil) kepada


pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful’anhu,
ashil).(DSN Fatwa DSNNo: 11/DSN/MUI/IV/2000) kafalah adalah akad pemberian jaminan
(makful alaih) yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimanan pemberi jaminan (kafiil)
bertanggungjawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak penerima
jaminan (makful).

Dasar Hukum

AL-QURAN

Penyeru-penyeru itu berkata : “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya” (Yusuf, Q.S. 12 : 72).

Ketentuan Khusus

a. Kewajiban Penanggung

1) Penanggung harus menanggung kerugian atas orang yang ditanggung apabila ia tidak
melaksanakan kewajibannya.

2) Dalam hal ia pergi, maka penanggung berkewajiban menghadirkan orang yang


ditanggungnya. bila penanggungan tersebut hanyadisyaratkan atas dirinya.

b. Objek yang Ditanggung/Tanggungan

1) Menurut sebagain besar ulama, obyek tanggungan adalah harta. Didasarkan kepada Hadits
Nabi SAW : “Az Za’îmu Ghârimun” (Penanggung itu menanggung kerugian).

2) Namun kewajiban penanggung berupa harta, dapat dikategorikan menjadi tiga hal, yaitu
sebagai berikut :a) Tanggungan dengan hutang, yaitu kewajiban membayar hutang yang
menjadi tanggungan orang lain.

b) Tanggungan dengan materi, yaitu kewajiban menyerahkan materi tertentu yang berada di
tangan orang lain. Jika berbentuk bukan jaminan seperti ‘ariyah (pinjaman) atau wadi’ah
(titipan), maka kafalah tidak sah.

c) Kafalah dengan harta, yaitu jaminan yang diberikan oleh seorang penjual kepada pembeli
karena adanya risiko yang mungkin timbul dari barang yang dijual belikan.

7. Waqaf Dan Hibah

Hibah merupakan transaksi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dimana salah satu
pihak memberikan suatu obyek yang berbentuk uang ataupun obyek lain- nya tanpa disertai
kewajiban mengembalikan, sementara jika obyek tersebut diberi- kan kepada Allah sehingga
tidak dapat diperjualbelikan, maka transaksi tersebut dinamakan wakaf.

Beberapa persamaan dan perbedaan antara wakaf dan hibah antara lain adalah:

1. Dalam wakaf dan hibah terdapat orang yang memberikan hartanya (yang
disebut Wakifdan Wahib), barang yang diberikan, dan orang yang menerimanya.

2. Apabila seseorang yang berwakaf telah mengatakan dengan tegas atau berbuat sesuatu
yang menunjukkan kepada adanya kehendak untuk mewakafkan hartanya atau mengucapkan
kata-kata, maka telah terjadi wakaf itu tanpa diperlukan penerimaan (qabul) dari pihak
lain. Sedangkan Hibah, selain adanya perkataan dan perbuatan yang tegas dari wahib untuk
menyerahkan barangnya (ijab) perlu ada pula penerimaan dari penerima harta yang
dihibahkan (qabul).

3. Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki
daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam, sedangkan benda
atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang hanya sekali pakai maupun tahan
lama. Tidak diperbolehkan mewakafkan ataupun menghibahkan barang yang terlarang untuk
diperjual belikan, seperti barang tanggungan (borg), barang haram dan yang sejenisnya.
4. Benda wakaf hanya boleh diberikan kepada sekelompok orang yang bisa dimanfa’atkan
untuk kepentingan orang banyak sedangkan hibah bisa diberikan kepada perorangan ataupun
kelompok baik untuk kepentingan orang banyak maupun kepentingan individu.

5. Barang wakaf tidak bisa menjadi hak milik seseorang sedangkan barang yang dihibahkan
bisa menjadi hak milik seseorang.

E. Transaksi Transaksi Tijarah

Akad tijarah bertujuan untuk mencari keuntungan karena itu bersifat komersial.


Bagaimana akad tijarah itu dilakukan, Islam telah mengatur dengan jelas agar tidak
mengandung unsur riba, sebagaimana Allah subhana wa ta’ala berfirman : 

‫اض ِّمن ُك ْم ۚ َواَل تَ ْقتُلُ ٓو ۟ا أَنفُ َس ُك ْم ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًم‬ ۟ ْ ۟ ٓ
ٍ ‫ٰيَأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُوا اَل تَأ ُكلُ ٓوا أَ ْم ٰ َولَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِ ْٱل ٰبَ ِط ِل ِإٓاَّل أَن تَ ُكونَ تِ ٰ َج َرةً عَن تَ َر‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu.........” (Surah An-Nisa 4:29).

Tijarah dalam ayat ini diartikan sebagai “perniagaan”. Perniagaan yang diridhoi Allah
adalah dengan syarat perniagaan yang berdasarkan kerelaan/saling ridho (yang tidak
melanggar ketentuan agama) atau ketiadaan paksaan (Quraish Shihab, 2011) diantara pihak
yang bertransaksi, yaitu orang yang memberi utang (kreditur) ataupun yang berutang
(debitur), dimana penggalan ayat sebelumnya bercerita akan larangan memperoleh harta
secara batil (tidak sesuai dengan tuntunan syari’at), dan pada penggalan kalimat terakhir
untuk menghindari bunuh diri dari segala aktivitas khususnya perniagaan yang mereka lalui
dalam kehidupan.
Dalam buku (Adiwarman A. Karim, 2007) membagi akad tijarah atau transaksi
komersial menjadi dua, yaitu :

Natural Certainty Contracs (NCC).

Yang dimaksud dengan natural certainty contracs adalah akad dalam bisnis yang
memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-
nya. Cash flow-nya bisa diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua
belah pihak yang telah bertransaksi di awal akad (Karim, 2007). Yang termasuk dalam
kategori NCC yaitu (Adam, 2017):

1. Prinsip Jual-beli. Al-Murabahah, adalah jual-beli dengan dasar adanya informasi dari 

pihak pennjual terkait dengan harga pokok pembelian dan tingkat keuntungan yang 

diinginkan. Bai’ salam, adalah transaksi jual-beli yang pembayarannya dilakukan dimuka 

secara tunai sementara barangnya diserahkan di kemudian hari/ditangguhkan. Bai’ 

istisna, adalah akad antara dua orang di mana salah seorang mustashni’ (pemesan) 

meminta dibuatkan sesuatu dengan karakteristik tertentu kepada pembuatnya (shani’). 

Dijelaskan (Adam, 2017) bahwa ulama Hanafi menyatakan bahwa akad istishna’

termasuk dalam jual-beli.

2. Prinsip Sewa-menyewa. Ijarah, adalah akad terhadap manfaat dengan waktu tertentu 

disertai imbalan atau pengganti tertentu pula. Terkait dengan akad Ijarah ini dalam fatwa 

DSN-MUI dijelaskan bahwa “perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan


opsi perpindahan hak milik atas benda yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa 

sewa” disebut sebagai Al-Ijarah Al-Mumtahiyah Bi Al-Tamlik.


 

Natural Uncertainty Contracs (NUC).

Yang dimaksud dengan natural uncertanty contracs adalah kontrak atau akad dalam
bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan (return), atau dengan prinsip bagi hasil.
Tingkat return bisa positif, negatif, atau nol. Yang termasuk kategori NUC yaitu:

1. Al-Mudharabah, adalah penyerahan harta (modal) terhadap seseorang untuk diperniagakan


(digolangkan), sedangkan keuntungannya dibagikan diantara mereka (pemodal dan yang
diberi modal). Dalam hasanah fikih muamalah mudharabah tidak bisa dilepaskan dari konsep
syirkah karena mudharabah bagian dari syirkah. Syirkah merupakan perkongsian atau bentuk
usaha kerjasama usaha tertentu guna mendapatkan keuntungan (berorientasi pada profit).
(Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok dalam Adam, 2017). Adapun dalam syirkah al-
mudharabah, keuntungan dibagi antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pelaku
usaha/pebisnis/mudharibberdasarkan nisbah yang disepakati, kerugian dibebankan hanya
kepada shahib al-mal, kecuali kerugian tersebut terjadi karena kelalaian mudharib.

2. Al-Muzaraah, adalah akad kerjasama atas pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, dimana pemilik lahan pertanian memberikan lahan pertanian kepada penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (prosentasi) dari hasil panen.

3. Al-Musaqah, adalah akad kerjasama terhadap pengelolaan pohon atau kebun


dengan keuntungan buah yang dihasilkannya berdasarkan persentase bagi hasil yang
telah ditentukan menurut kesepakatan kedua belah pihak antara pemilik pohon dengan petani 

penggarap. (Beik, 2010)


KESIMPULAN

Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperoleh, akad tijarah dapat
diklasifikasikan menjadi dua yang selanjutnya dikenal dengan teori pertukaran (natural
certainty contract) dan teori percampuran (na- tural uncertainty contract). Natural certainty
contract merupakan akad dalam bisnis yang memiliki kepastian keuntungan dan pendapatan
baik dari segi jumlah maupun waktu penyerahannya.

Transaksi pertukaran secara aplikatif dalam dunia usaha lazim di- sebut jual beli, yakni
transaksi pertukaran antara ‘ayn yang berbentuk barang dan dayn yang berbentuk uang.
Sedangkan transaksi percam- puran sesuai dengan istilahnya yaitu aktivitas menyatukan
barang atau modal untuk mencari keuntungan antara dua orang atau lebih, maka transaksi ini
dalam bidang muamalah lazim disebut musyarakah.

Bentuk-bentuk akad dalam transaksi ekonomi syari’ah dapat dibagi menjadi dua:

a. Akad tabarrumerupakan akad yang dilakukan antara kedua belah pihakdengan tujuan
tolong-menolong dalam rangka berbuatkebaikan.

b. Akad tijarah merupakan akad yang dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena
bersifat komersial. Akad tijarah dapat dibagi menjadi dua yaitu: natural certainity contracts
(NCC) dan natural uncertainitycontracts.
DAFTAR PUSTAKA

Beik, I. S. (2010). Keuangan Mikro Syariah. Iqtishodia: Jurnal Ekonomi Islam Republika
Edisi 04 November, 2(1), 15–28.

Hayati, I. (2016). Aplikasi Akad Tabarru’ Wadi’ah dan Qard di Perbankan Syariah. Journal of
Islamic Economics, 1(2), 194–196.

Islam, U., & Mataram, N. (2019). Teori Percampuran dan Pertukaran Pendahuluan.
11(April), 71–85.

Ningsih, P. A. (1999). Akad-Akad Perbankan Syariah; Pertukaran Dan Percampuran. Jurnal


Syariah, Vol. 2, No(32), 59–64.

Setiyawan. (2013). 済 無 No Title No Title. Journal of Chemical Information and Modeling,


53(9), 1689–1699.

Anda mungkin juga menyukai