Anda di halaman 1dari 14

Tugas

Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan

Globalisasi dan transkulturak pada budaya Bugis

Oleh

Kelompok 2 :

1. Dinda Milisri Joesa 183310804


2. Hanifa Putri 183310807
3. Nindika Ario Pangesti 183310817
4. Rita Agnes Nanggolan 183310820
5. Sonia Komala Dewi 183310827
6. Wanda Rafika 183310831
7. Yoga Efrizons 183310834

Dosen Pembimbing :
Ns. Lola Feinanda Amri, S.Kep, M.Kep

Prodi Sarjana Terapan Keperawatan


Poltekkes Kemenkes RI Padang
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Psikososial dan Budaya dalam
Keperawatan.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Padang, 13Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...…………………………………….………………………... 1


1.2 Rumusan Masalah ...…………………………………….……………………. 1
1.3 Tujuan ..…………….……………………………………….………………… 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Globalisasi dan Sperpektif Transkultura…………………………. 2


2.2 Jamu dan Obat Tradisional Suku Bugis……………………………………… 3
2.3 Tumbuhan Obat dan Pelayanan Kesehatan Suku Bugis ……………………... 4
2.4 Sehat dan Kecantikan Suku Bugis……….…………………………………… 6
2.5 Paranormal dan Kedukunan Suku Bugis …………………………………….. 6
2.6 Kelahiran, usia lanjut, dan Kematian di Suku Bugis………………………….. 7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ………………………………………………………………………. 9
B. Saran ……………………………………………………………………………... 9

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………. 10


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagaimana yang sudah kita ketahui, di Indonesia ini terdapat banyak sekali
kebudayaan, adat istiadat, dan tata cara kehidupan yang sangat berbeda beda anatara satu
daerah dengan daerah lainnya. Maka sudah selayaknya kita sebagai petugas kesehatan juga
mengenal perbedaan tersebut.
Maka dari itu kami kelompok 2 akan membahas salah satu daerah dengan kebudayaan
yang cukup unik di Indonesia ini, yaitu daerah Sulawesi Selatan, lebih tepatnya pada suku
Bugis di Sulawesi Selatan ini.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa itu globalisasi dan transkultural ?
2) Apa saja jamu dan obat tradisional suku Bugis ?
3) Bagaimana tumbuhan obat dan pelayanan kesehatan pada suku Bugis ?
4) Bagaimana sehat dan kecantikan pada suku Bugis ?
5) Bagaimana paranormal dan kedukunan pada suku Bugis ?
6) Bagaimana kelahiran, usia lanjut, dan kematian pada suku Bugis ?

1.3 Tujuan
1) Mengetahui apa itu globalisasi.
2) Mengetahui jamu dan obat tradisional suku bugis.
3) Mengetahuo tumbuhan obat dan pelayanan kesehatan pada suku Bugis.
4) Mengetahui sehat dan kecantikan suku bugis.
5) Mengetahui bagaimana paranormal dan kedukunan di suku Bugis
6) Mengetahui bagaimana kelahiran, usia lanjut, dan kematian di suku Bugis.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Globalisasi dan Sperpektif Transkultural


2.1.1 Pengertian Globalisasi
Kata globalisasi berasal dari kata globe yang berarti bola dunia. Globalisasi bias
diartikan sebagai “tindakan” yang mendunia. Artinya dunia yang begitu luas kini
seperti kertas yang dilipat atau dibuat seolah olah menjadi kecil. Dunia yang luas dan
dihuni berbagai suku bangsa seolah-olah hanya dimiliki oleh satu bangsa, yaitu bangsa
dunia atau warga dunia.
Giddens mengatakan bahwa ketergantungan masyarakat dunia semakin meningkat.
Proses ketergantungan ini ia sebut sebagai globalisasi dan ditandai dengan adanya
kesenjangan antara masyarakat industry dan masyarakat dunia ketiga.
Globalisasi menurut para ahli menurut Patta & Yana, 2018 :
1) Thomas L. Friedman : Globalisasi memiliki dimensi ideology dan teknologi.
Dimensi teknologi yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi
tekhnologi adalah tekhnologi informasi yang telah menyatukan dunia.
2) Malcom Waters : Globalisasi adalah sebuah proses social yang berakibat bahwa
pembatasan geografis pada keadaan social budaya menjadi kurang penting, yang
terjelma didalam kesadaran orang.
3) Emanuel Ritcher : Globalisasi adalah jaringan kerja global secara bersamaan
menyatukan masysarakat yang sebelumnya terpencar pencar dan terisolasi
kedalam saling ketergantungan dan persatuan dunia.
4) Achmad Suparman : Globalisasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu benda
atau perilaku sebagai cirri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh
wilayah.
5) Martin Albrown : Globalisasi menyangkut seluruh proses dimana penduduk dunia
terhubung kedalam komunitas dunia tunggal, komunitas global.
6) Laurence E. Rothenberg : Globalisasi adalah percepatan dan intensifikasi interaksi
dan integrasiantara orang-orang, perusahaan, dan pemerintah dari Negara yang
berbeda.
7) Selo Soemardjan : Globalisasi adalah suatu proses terbentuknya sistem organisasi
dan komunikasi antar masyarakat diseluruh dunia. Tujuan globalisasi adalah untuk
mengikuti sistem dan kaidah-kaidah tertentu yang sama misalnya terbentuknya
PBB, OKI.
8) Scholte : Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional.
Dalam hal ini masing-masing Negara tetap mempertahankan identitasnya masing-
masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
2.1.2 Perspektif Transkultural
Bila ditinjau dari makna kata, transkultural berasal dari kata trans dan culture,
trans berarti alur perpindahan, jalan lintas atau penghubung, sedangkan culture berate
budaya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia; trans berarti melintang,menembus,
melintas, dan melalui. Cultur berarti kebudayaan, cara pemeliharaan, kepercayaan,
nilai-nilai dan pola prilaku yang umum berlaku bagi suatu kelompok dan diteruskan
pada generasi berikutnya, prilaku yang umum berlaku bagi suatu kelompok dan
diteruskan pada generasi berikutnya, sedangkan cultural berarti sesuatu yang berkaitan
dengan kebudayaan. Jadi transkultural dapat diartikan sebagai pertemuan kedua nilai-
nilai budaya yang berbeda melalui proses interaksi social. Transkultural nursing
merupakan suatu area kajian ilmiah yang berkaitan dengan perbedaan maupun
kesamaan nilai nilai budaya (Rohadi & Langgeng, 2007).

2.2 Jamu dan Obat Tradisional Suku Bugis


Pengobatan atau penyembuhan oleh masyarakat Suku Bugis melalui pemanfaatan ramuan
obat yang berasal dari tanaman, pada umumnya dilakukan dengan cara digosokan ataupun
dibuat parem. Ramuan tersebut terdiri atas bahan-bahan antara lain : buah pala, kepingan
batang kayu atakkac(sejenis pohon kayu yang berukiran besar dan tunggi dengan daun yang
rimbun). Kayu tersebut dipandang magis dan sacral karena bertalian dengan proses
kehadiran manusia pertama di bumi (dewa). Ramuan lain yang digunakan berasal dari jenis
rempah-rempah antara lain, merica putih, bawang putih, intan hitam dan putih, temu, daun
jeringo, jeruk purut, tapak dara, kunyit, kencur, dan sebagainya. Semua bahan dicampur
menjdai satu kemudian dilumat dan digosokkan pada bagian tubuh yang sakit. Ramuan ini
digunakan untuk penyembuhan penyakit luar. Sebagian besar masyarakat bugis masih akrab
dengan pengobatan tradisional ini, karena tumbuhan ini berada didekat lingkungan hidup
masyarakat Bugis (Dloyana, 2017).
Selain itu obat tradisional masyarakat bugis yang cukup dikenal dan bermanfaat, adalah
colli jampu (daun jambu biji). Beberapa manfaat dari obat ini yaitu sebagai obat diare, obat
maag, mengibati luka, mengobati keputihan, mengobati ambeien, dan mengatasi jerawat dan
komedo.

2.3 Tumbuhan Obat dan Pelayanan Kesehatan Suku Bugis


2.3.1 Tumbuhan Obat Suku Bugis
Tumbuhan yang biasa dijadikan obat oleh masyarakat bugis adalah :
1) Colli jampu (daun jambu biji).
2) Buah pala.
3) Kepingan batang kayu atakka.
4) Merica putih
5) Bawang putih
6) Jintan putih dan hitam
7) Temu
8) Daun jeringo
9) Jeruk purut
10) Tapak dara
11) Kunyit
12) Kencur, dan jenis rempah lainnya.
2.3.2 Pelayanan Kesehatan Suku Bugis
Pelayanan kesehatan seperti puskesmas telah ada di Bugis, namun pelayanan
kesehatan ini belum berjalan maksimal atau belum terlaksana dengan baik. Pelayanan
kesehatan di Bugis ini belum terlaksana dengan baik disebabkan oleh kurangnya
sumber daya manusia, dukungan finansial, dukungan pemerintah, serta partisipasi dari
masyarakat.
Masyarakat Bugis sendiri, banyak yang memilih pengobat tradisional. Dimana
dalam praktiknya pengobat tradisional ini dibagi menjadi beberapa kategori :
1) Sanro pakdektek tolo, atau pemotong ari-ari bayi.
2) Sanro pabbura-bura, ahli mengobati berbagai macam penyakit dengan ramuan
tradisional.
3) Sanro pajjappi, mengobati melalui pembacaan mantra mantra.
4) Sanro tapolo, ahli pengobatan dan penyembuhan penyakit patah tulang, melalui
praktik urut dan pembacaan mantera.
5) Sanro pattirotiro, pengobat tradisional yang memusatkan diri pada usaha
pengobatan melalui ramalan/nujum.
Menurut konsep kebudayaan orang Bugis sanro tidak hanya dikenal sebagai orang
yang mampu memberikan bantuan kepada orang sakit yang datang kepadanya melalui
praktik pengobatan, tetapi sanro juga dikenal sebagai orang yang mampu
mengendalikan bahkan melakukan pemunahan penyakit-penyakit tertentu.

2.4 Sehat dan Kecantikan Suku Bugis


Konsep sehat dan sakit dalam pemahaman social masyarakat bugis adalah sebagai berikut.
Persepsi mereka tentang sakit terungkap dalam berbagai istilah yang digunakan dalam
pembicaraan sehari-hari , antara lain malasa, madoko, makdokkong (Surmiani, 2016). Kata
tersebut mengacu pada konsep sakit yang berarti kondisi atau keadaan fisik seseorang sedang
tidak seimbang. Dalam pemahaman mereka ketidakseimbangan yang dialami seseorang
disebabkan oleh dua factor, yaitu : faktor internal (pengaruh dari dalam tubuh seseorang) dan
faktor eksternal (pengaruh yang datang dari luar). Menurut mereka faktor pertama diseabkan
oleh adanya kondisi organ tubuh yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, atau bias juga
disebabkan oleh faktor keturunan. Faktor eksternal, disebabkan oleh beberapa unsure seperti
wabah penyakit, perubahan iklim, gangguan makhluk halus, keracunan, dan berbagai unsure
yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan termasuk perbuatan sesame manusia.
2.4.1 Kecantikan bagi masyarakat Suku Bugis
Budaya Bugis memandang kecantikan sebagai suatu hal yang sangat
membanggakan, terutama bagi kaum wanita. Secara fisik kecantikan dalam kriteria
orang bugis adalah kulit yang cerah bersih, sorot mata yang diibaratkan sebagai intan
jamrud atau ungkapan ungkapan lainnya. Selain itu kecantikan wanita bugis juga
dipancarkan oleh inner beauty yang bersumber dari hati atau sifat manusia.
Berada didaerah dengan paparan sinar matahari tinggi, masyarakat suku Bugis
mempunyai resep agar wajah tetap cerah dan bersih serta tidak bau badan. Resep ini
menggunakan cangkang telur ayam kampong. Telur yang digunakan, haruslah telur
yang baru die ram dan masih hangat jika dipegang. Selanjutnya, telur bulat itu diusap ke
wajah anak gadis Bugis dengan keyakinan kulitnya akan menjadi mulus dan bersih
seperti kulit telur yang dimaksud. Selain diusap kewajah, telur itu juga diusap ke ketiak
anak gadis agar ketiak tidak bau meski tidak menggunakan tawas atau obat penghilang
bau. Ritual ini biasanya dilakukan pada hari Jumat yang merupakan hari sakral dalam
umat islam dan disaat telur bulat diusapkan keseluruh wajah, orangtua yang mengusap
telur kewajah anak gadisnya itu menyertainya dengan bacaan sholawat (Surmiani,
2017).
Selain adanya resep tradisional orang bugis dalam kecantikan, masyarakat Bugis
juga menggunakan alat kecantikan modern dalam menghias diri seperti saat pesta.
Namun tetap saja hal ini tidak menghilangkan resep tradisional masyarakat Bugis
tersebut.

2.5 Paranormal dan Kedukunan Suku Bugis


Dalam referensi, pengetahuan tradisional tentang tanaman obat dan tata cara
pengobatan di provinsi Sulawesi Selatan tidak terlepas dari peran penting seorang sanro.
Sanro adalah seorang cerdik pandai atau cendekiawan lokal yang berperan sebagai penolong
dan mengupayakan penyembuhan orang-orang yang sakit. Pada umumnya pengobat
tradisional itu bukanlah seorang paramedic yang berpendidikan formal dibidang kesehatan,
melainkan seorang anggota masyarakat biasa yang mempunyai keahlian dan kemampuan
dalam bidang pengobatan tradisional (Dloyana, 2017). Diapun mengetahui dengan dalam
berbagai jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit tertentu. Dengan
demikian dapat dipastikan seorang sanro akan memiliki banyak koleksi tanaman berkhasiat
obat.
Dalam praktiknya, masyarakat setempat mengelompokan sanro menjadi beberapa
kategori :
1) Sanro pakdektek tolo, atau pemotong ari-ari bayi.
2) Sanro pabbura-bura, ahli mengobati berbagai macam penyakit dengan ramuan
tradisional.
3) Sanro pajjappi, mengobati melalui pembacaan mantra mantra.
4) Sanro tapolo, ahli pengobatan dan penyembuhan penyakit patah tulang, melalui
praktik urut dan pembacaan mantera.
5) Sanro pattirotiro, pengobat tradisional yang memusatkan diri pada usaha
pengobatan melalui ramalan/nujum.
Menurut konsep kebudayaan orang Bugis sanro tidak hanya dikenal sebagai orang yang
mampu memberikan bantuan kepada orang sakit yang datang kepadanya melalui praktik
pengobatan, tetapi sanro juga dikenal sebagai orang yang mampu mengendalikan bahkan
melakukan pemunahan penyakit-penyakit tertentu. Dengan demikian sanro memiliki
pengertian yang lebih luas bukan hanya sekedar pengobat tradisional. Sanro tidak hanya
menyembuhkan dengan tanaman namun juga dengan mantera-mantera dan doa-doa.

2.6 Kelahiran, Usia Lanjut & Kematian Suku Bugis


2.6.1 Kelahiran di Suku Bugis
Masyarakat Bugis memiliki adat istiadat dinamakan naik tojang. Naik artinya
menaiki atau menempati, sedangkan tojang artinya ayunan atau alat untuk berayun.
Tradisi ini merupakan adat untuk melaksanakan kelahiran bayi, ditandai dengan
dimulainya seorang bayi diperbolehkan masuk ke ayunan. Setelah itu orang tua
perempuan bias turun ke air atau sungai untuk melakukan berbagai aktivitas.
Dalam pelaksanaanya adat ini dilakukan disaat sang bayi berusia 7 (tujuh) hari, 9
(Sembilan) hari, ataupun 13 (tiga belas) hari, boleh dilaksanakan dihari lain dengan
syarat harus dilaksanakan dihari-haari ganjil dan masih dalam rentang waktu 40 hari.
Hal ini dikarenakan masyarakat Bugis percaya bahwa angka ganjil diperuntukkan
untuk bayi yang lahir, karena kelahiran bermakna adanya rasa sukacita, kesejahteraan
dan keberuntungan, sedangkan angka genap diperuntuan bagi orang yang meninggal.
Menurut kepercayaan masyarakat suku bugis, tujuan dari pelaksanaan naik tojang
ini adalah untuk meminta keberkahan dari Allah SWT, dan mendoakan sang bayi agar
diberi keselamatan oleh Allah SWT serta agar sang bayi menjadi anak yang taat pada
agama dan orang tua. Bagi setiap masyarakat yang tidak melaksanakannya diyakini
akan mendapat malapetaka (Hanum, 2016).

2.6.2 Usia Lanjut di Bugis


Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara
terus menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan
anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan memengaruhi fungsi
tubuh (Siti, Mia, Rosidawati, Ahmad & Irwan, 2008)
Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran biologis yang terlihat sebagai
gejala-gejala kemunduran fisik, antara lain, kulit mulai mengendur, timbul keriput,
rambut mulai beruban, gigi ompong, pendengaran dan penglihatan mulai berkurang,
mudah lelah, gerakan mulai lamban dan kurang lincah. Kemunduran lain yang terjadi
adalah kemampuan-kemampuan kognitif seperti suka lupa, kemunduran orientasi
terhadap waktu, ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal/ide baru.
2.6.3 Kematian di Masyarakat Suku Bugis
Ritual kematian yang sering dilakukan masyarakat suku Bugis terdiri dari
beberapa rangkaian yang secara khusus dilaksanakan selama 7 hari, terhitung setelah
dikuburkannya jenazah. Di dalam rangkaian itu terdapat beberapa prosesi seperti
khataman al-quran, takziah, oleh masyarakat dimaknai ceramah. makkulluhuwallah,
membaca-baca mattelu ma mapitu essona dan mattapung.
Ritual makkulluhuwallah merupakan salah satu rangkaian dari ritual kematian.
Akar sejarah dari ritual makkulluwallah tidak diketahui secara pasti. Namun
diperkirakan muncul sekitar tahun 80-an yang diprakarsai oleh tokoh agama dan tokoh
masyarakat setempat. Dalam ritual ini dilakukan pembacaan surat al-ikhlas.
Surat al-ikhlas dibaca sesuai kesepakatan, biasanya sekitar 15.000-100.000 kali
dalam tempo tujuh hari. Jumlah tersebut tergantung dari sedikit banyaknya masyarakat
yang hadir. Media yang digunakan untuk menghitung jumlah bacaan surat al-ikhlas
dengan kerikil, biasanya kerikil yang dikumpulkan sejumlah 2.000 kemudian diletakan
diatas wadah. Setelah hari ketujuh dan bacaan tersebut telah sesuai dengan
kesepakatan, maka kerikil akan diletakkan di atas batu nisan. Ritual ini biasanya
dilakukan setelah sholat isya, bersamaan dengan itu juga dilakukan pembacaan al-
qur’an yang diperuntukan untuk jenazah dengan berkali kali khataman (Misbah
&Radya, 2018)s.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini
masing-masing Negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi
semakin tergantung satu sama lain.
Pengobatan atau penyembuhan oleh masyarakat Suku Bugis melalui pemanfaatan ramuan
obat yang berasal dari tanaman, pada umumnya dilakukan dengan cara digosokan ataupun
dibuat parem.
Pelayanan kesehatan seperti puskesmas telah ada di Bugis, namun pelayanan kesehatan
ini belum berjalan maksimal atau belum terlaksana dengan baik.
Masyarakat Bugis memiliki seorang pengobat yang sering disebut Sanro.
Masyarakat Bugis memiliki Ritual adat Naik Tojang sebagai ritual kelahiran, dan ritual
Makkuluhuwallah sebagai ritual Kematian.

3.2 Saran
Di Indonesia ini banyak sekali adat istiadat dengan kebiasaan yang berbeda. Maka kita harus
mengetahui dan memaklumi adat istiadat di daerah lain. Selain itu kita seharusnya juga
menghargai adat istiadat daerah lainnya di Indonesia ini.
Daftar Pustaka

Anisa Hanum. 2016. “Upacara Adat Naik Tojang oleh Masyarakat Bugis Desa Wajok Hilir
Kecamatann Siantan Kabupaten Mempawah. Skripsi Kementrian Reset Teknologi dan Pendi-
Dikan tinggi Universitas Tanjung Pura. Universitas Tanjung Pura.

Hudri Misbah & Yudantiasa Muhammad Radya. 2018. “Tradisi Makkuluhuwallah dalam Ritual
Kematian Suku Bugis”. Jurnal Ilmu Al-qur’an dan tafsir. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kusumah S. Dloyana. 2017. “Pengobatan Tradisional Orang Bugis-Makassar”. Jurnal


Pengobatan Tradisional. Pusat Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan.

Maryam Siti Raden , Ekasari Mia Fatma, Rosidawati, Jubaedi Ahmad, & Batubara Irwan. 2008.
Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika.

Rappana Patta, & Fajriah Yana. 2018. Menembus Badai Ekonomi dalam Sperpektif Kearifan
Lokal. Makassar : CV. Sah Media

Sumiani. 2016. “Simbol dan Makna Tata Rias Pengantin Bugis Makassar”. Jurnal Seni Budaya
Pakarena Vol. 1 No.1. Fakultas Seni dan Budaya Desain UNM.

Wibowo Rohadi, & Nugroho Langgeng. 2007. Ilmu Pengetahuan Sosial . Jakarta : Erlangga

Anda mungkin juga menyukai