KEPERAWATAN ANAK 2
“ Intervensi Keperawatan Pada Bayi dan Anak Pemberian Kemoterapi “
OLEH :
Kelompok 10
DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Delima, S. Kep, S.Pd. M. Kes
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan Makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan Makalah sebagai Tugas dari Mata kuliah Keperawatan
Anak 2.
Penulis tentu menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk Makalah ini, supaya Makalah ini
nantinya dapat menjadi Makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kelompok 10
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………4
A. Latar Belakang…………………………………………………………………….4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………5
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………..5
BAB II TINJAUAN TEORITIS…………………………………………………..…6
A. Defenisi Kemoterapi………………………………………………………….……6
B. Tujuan Kemoterapi……………………………………………………………..….6
C. Prinsip-Prinsip Kemoterapi………………………………………………………..7
D. Klasifikasi Kemoterapi……………………………………………………….……7
E. Manfaat Kemoterapi……………………………………………………………….8
F. Tanda Gejala Setelah Kemoterapi………………………………………………....8
G. Macam-Macam Obat Kemoterapi…………………………………………………9
H. Cara Pemberian Obat Kemoterapi………………………………………………..12
I. Efek Samping Kemoterapi………………………………………………………...13
J. Web Of Caution Kemoterapi…………………………………………………...…14
K. Analisa Jurnal Kemoterapi…………………………………………………….....15
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………20
A. Kesimpulan…………………………………………………………….…..……..20
B. Saran………………………………………………………………………..…….21
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….22
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker dapat menyerang semua lapisan masyarakat tanpa mengenal status sosial,
umur,dan jenis kelamin. Tidak menutup kemungkinan anakanak, remaja dan
orang dewasa terkena serangan kanker. Pria dan wanita dapat juga teserang
penyakit yang banyak ditakuti. Kanker diketahui bisa diturunkan dari orang tua
kepada anaknya. Penyakit ini sebenarnya timbul akibat kondisi fisik yang tidak
normal, selain itu pola makan dan pola hidup yang tidak sehat juga dapat
menyebabkan kanker. Wanita lebih beresiko terkena serangan kanker, terutama
pada organ reproduksi seperti rahim, indung telur dan vagina (Mardiana, 2004).
Terdapat empat macam cara mengobati kanker yaitu pembedahan, radioterapi,
kemoterapi dan terapi hormon. Dari keempat cara tersebut, salah satunya adalah
kemoterapi.
Teknik pemberian kemoterapi ditentukan dari jenis keganasan dan jenis obat yang
diperlukan (Adiwijono, 2006). Obat kemoterapi umumnya berupa kombinasi dari
beberapa obat yang diberikan secara bersamaan dengan jadwal yang telah
ditentukan .Selain membunuh sel kanker, obat kemoterapi juga berefek pada sel-sel
sehat yang normal, terutama yang cepat membelah atau cepat tumbuh seperti
rambut, lapisan mukosa usus dan sumsum tulang. Beberapa efek samping yang
terjadi pada kemoterapi, gangguan mual dan muntah adalah efek samping
frekuensi terbesar (Yusuf, 2007). Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi keluhan mual muntah setelah kemoterapi diantaranya adalah dengan
terapi farmakologik, yaitu dengan obat anti mual dan muntah sebelum dan sesudah
kemoterapi (premedikasi) dan non farmakologik yaitu berupa lingkungan yang
4
kondusif untuk tenang dan nyaman, pengaturan pemberian nutrisi dan relaksasi
(Abdulmuthalib, 2006).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Konsep Teoritis Pemberian Kemoterapi pada Bayi dan Anak ?
Bagaimana Intervensi Keperawatan Pemberian Kemoterapi pada Bayi dan Anak ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Konsep Teoritis Pemberian Kemoterapi pada Bayi dan Anak
2. Mengetahui Intervensi Keperawatan Pemberian Kemoterapi pada Bayi dan
Anak
5
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Defenisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang
bertujuan untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel-sel Kanker.
Banyak obat yang digunakan dalam Kemoterapi. Kemoterapi adalah upaya untuk
membunuh sel-sel kanker dengan mengganggu fungsi reproduksi sel. Kemoterapi
merupakan cara pengobatan kanker dengan jalan memberikan zat / obat yang
mempunyai khasiat membunuh sel kanker. Kemoterapi bermanfaat untuk
menurunkan ukuran kanker sebelum operasi, merusak semua sel-sel kanker yang
tertinggal setelah operasi, dan mengobati beberapa macam kanker darah.
Kemoterapi adalah pemberian obat untuk membunuh sel kanker. Tidak seperti
radiasi atau operasi yang bersifat local, kemoterapi merupakan terapi sistemik,
yang berarti obat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mencapai sel kanker yang
telah menyebar jauh atau metastase ke tempat lain (Rasjidi, 2007). Kemoterapi
merupakan bentuk terapi utama dan pada beberapa kasus dapat menghasilkan
perbaikan yang berlangsung sampai setahun atau lebih (Handayani, 2008).
Kemoterapi adalah penggunaan zat kimia untuk perawatan penyakit. Dalam
penggunaan modernnya, istilah ini hampir merujuk secara eksklusif kepada obat
sitostatik yang digunakan untuk merawat kanker. Obat-obat anti kaker ini dapat
digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa
kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel
kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif
terhadap obat lainnya.
B. Tujuan Kemoterapi
1. Mengendalikan atau melenyapkan tumor dan untuk meringankan gejala
kanker seperti rasa sakit
2. Mencegah kemunculan kembali sel-sel kanker setelah pembedahan
3. Membunuh sel-sel kanker atau menghentikan pertumbuhan sel-sel kanker
yang masih tertinggal
4. Memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker
6
C. Prinsip-Prinsip Kemoterapi
Beberapa prinsip umum digunakan dalam menjelaskan kemoterapi. Pertama,
karena kemoterapi bekerja terbaik melawan sel dalam proses pembelahan, tumor
dengan fraksi pembelahan yang tinggi (mis., persentase besar pembelahan sel)
ditangani lebih efektif dengan kemoterapi daripada dengan fraksi pertumbuhan
yang rendah. Karena tumor dapat membesar, biasanya sedikit sel-sel yang sedang
aktif membelah, karena itu tumor yanng lebih besar mepunyai fraksi pertumbuhan
yang rendah dan juga kurang responsif terhadap kemoterapi. Sebaliknya
tumor-tumor yang lebih kecil biasanya mempunyai fraksi pertumbuahan yang
lebih tinggi dan lebih sensitif terhadap kemoterapi. Dengan kata lain kemoterapi
biasanya lebih efektif saat ada inti tumor kecil dan kurang efektif pada penyakit
lanjut bila ada inti tumor besar. Prinsip lain adalah bahwa kebanyakan agen
kemoterapeutik mengikuti urutan kinetik pertama, yang menyebabkan sebuah
persentase sel yang sulit dibunuh pada setiap pengobatan kemoterapi, bukan
jumlah pasti dari sel. Karena itu, walau tumor-tumor dengan inti sel kecil
mungkin memerlukan beberapa jenis pengobatan kemoterapi sebelum keuntungan
pengobatan sepenuhnya terealisasi.Untuk kebanyakan obat dosis tinggi, makin
besar sel yang terbunuh. Tetapi karena dosis ditingkatkan, toksisitas mulai
membatasi manfaat dari terapi dosis tunggal.
D. Klasifikasi Kemoterapi
1. Kemoterapi Induksi
Ditujukan untuk secepat mungkin mengecilkan massa tumor atau jumlah sel
kanker, contoh pada tomur ganas yang berukuran besar (Bulky Mass Tumor)
atau pada keganasan darah seperti leukemia atau limfoma, disebut juga
dengan pengobatan penyelamatan.
2. Kemoterapi Adjuvant
Ialah kemoterapi yang diberikan sesudah operasi. Kemoterapi adjuvant:
Setelah menjalani operasi untuk mengangkat organ atau bagian tubuh yang
terdapat sel kanker, mungkin masih ada beberapa sisa sel kanker yang
tertinggal yang tidak terlihat. Ketika obat-obatan kemoterapi digunakan untuk
membunuh sisa sel-sel kanker yang tak terlihat, hal ini disebut sebagai
pengobatan kemoterapi adjuvant. Pengobatan adjuvant juga dapat diberikan
7
setelah menjalani radiasi. Manfaatnya mengurangi kekambuhan local dan
mengurangi penyebaran yang akan timbul.
3. Kemoterapi Neo Adjuvant
Ialah kemoterapi yang diberikan sebelum operasi. Kemoterapi dapat
diberikan sebelum pengobatan utama dilakukan, seperti operasi atau radiasi.
Pemberian kemoterapi pertama ditujukan untuk mengecilkan besarnya ukuran
tumor dari sel-sel kanker, sehingga lebih mudah untuk diangkat ketika
menjalani operasi. Menyusutnya ukuran tumor juga memungkinkan untuk
dilakukan sebelum radiasi. Kemoterapi neoadjuvant juga dapat membunuh
deposit kecil dari sel-sel kanker yang tidak dapat dilihat saat dilakukan scan.
Manfaatnya adalah mengurangi ukuran tumor sehingga mudah dioperasi.
E. Manfaat Kemoterapi
Adapun manfaat kemoterapi adalah sebagai berikut:
1. Pengobatan
Beberapa jenis kanker dapat disembuhkan secara tuntas dengan satu jenis
Kemoterapi atau beberapa jenis Kemoterapi.
2. Kontrol
Kemoterapi ada yang bertujuan untuk menghambat perkembangan Kanker
agar tidak bertambah besar atau menyebar ke jaringan lain.
3. Mengurangi Gejala
Bila kemotarapi tidak dapat menghilangkan Kanker, maka Kemoterapi yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala yang timbul pada penderita,
seperti meringankan rasa sakit dan memberi perasaan lebih baik serta
memperkecil ukuran Kanker pada daerah yang diserang.
1. Mual
2. Muntah
3. Penurunan jumlah sel darah merah, sel darah putih, trombosit
4. Kerontokan rambut, termasuk bulu mata dan alis
5. Menimbulkan mukositis (luka pada dinding saluran cerna / rongga mulut)
6. Gangguan saraf tepi, seperti kebas dan kesemutan di jari kaki dan tangan
8
7. Gangguan pencernaan
8. Tubuh terasa lemas
9. Kulit kering dan berubah warna
10. Produksi hormon tidak stabil
11. Disfungsi Ginjal
12. Depresi sumsum tulang
13. Efek terhadap jantung dan paru
9
untuk tumor yang tumbuh lambat. Mekanisme kerja terutama dengan jalan
menghambat sintesa DNA dan RNA. Yang termasuk golongan ini:
1. Actinomicin D
2. Mithramicin
3. Bleomicin
4. Mitomicyn
5. Daunorubicin
6. Mitoxantron
7. Doxorubicin
8. Epirubicin
9. Idarubicin
3. Antimetabolit
Golongan ini menghambat sintesa asam nukleat. Beberapa antimetabolit
memiliki struktur analog dengan molekul normal sel yang diperlukan untuk
pembelahan sel, beberapa yang lain menghambat enzym yang penting untuk
pembelahan.Secara umum aktifitasnya meningkat pada sel yang membelah
cepat. Yang termasuk golongan ini:
1. Azacytidine
2. Cytarabin
3. Capecitabine
4. Fludarabin
5. Mercaptopurin
6. Fluorouracil
7. Metotrexate
8. Luekovorin
9. Mitoguazon
10. Capecitabine
4. Mitotic Spindle
Golongan obat ini berikatan dengan protein mikrotubuler sehingga
menyebabkan disolusi struktur mitotic spindle pada fase mitosis. Antara lain:
1. Plakitaxel
2. Vinorelbin
3. Docetaxel
4. Vindesine
10
5. Vinblastin
6. Vincristin
5. Topoisomerase Inhibitor
Obat ini mengganggu fungsi enzim topoisomerase sehingga menghambat
proses transkripsi dan replikasi. Macam-macamnya antara lain:
1. Irinotecan
2. Topotecan
3. Etoposit
6. Hormonal
Beberapa hormonal yang dapat digunakan dalam kemoterapi antara lain:
1. Adrenokortikosteroid
a. Prednison
b. Metilprednisolon
c. Dexametason
2. Adrenal inhibitor
a. Aminoglutethimide
b. Anastrozole
c. Letrozole
d. Mitotane
3. Androgen
4. Antiandrogen
5. LHRH
6. Progestin
7. Cytoprotektive Agents
Macam- macamnya antara lain:
1. Amifostin
2. Dexrazoxan
8. Monocronal Antibodies
Obat ini memiliki selektifitas relatif untuk jaringan tumor dan toksisitasnya
relatif rendah. Obat ini dapat menyerang sel tertentu secara langsung, dan
dapat pula digabungkan dengan zat radioaktif atau kemoterapi tertentu.
Macam - macamnya antara lain:
1. Rituximab
2. Trastuzumab
11
9. Hematopoietic Growth Factors
Obat-obat ini sering digunakan dalam kemoterapi tetapi tidak satupun yang
menunjukan peningkatan survival secara nyata. Macam-macamnya antara
lain:
1. Eritropoitin
2. Coloni stimulating factors (CSFs)
3. Platelet growth Factors
12
Intraperitoneal diberikan bila produksi cairan acites hemoragis yang banyak
pada kanker ganas intra-abdomen, antara lain Cisplastin. Pemberian
intrapleural yaitu diberikan kedalam cavum pleuralis untuk memusnahkan
sel-sel kanker dalam cairan pleura atau untuk mengehntikan produksi efusi
pleura hemoragis yang amat banyak , contohnya Bleocin.
Intensitas efek samping tergantung dari karakteristik obat, dosis pada setiap
pemberian, maupun dosis kumulatif, selain itu efek samping yang timbul pada
setiap penderita berbeda walaupun dengan dosis dan obat yang sama, faktor
nutrisi dan psikologis juga mempunyai pengaruh bermakna.
13
J. Web Of Caution (WOC) Pemberian Kemoterapi pada Bayi dan Anak
14
K. Analisis Jurnal Pemberian Kemoterapi Menggunakan PICO
a. Judul Jurnal :
“ Pengaruh Berkumur Air Kelapa Muda Terhadap Penurunan Skor ”
Mukositis Akibat Kemoterapi Pada Anak
15
METODE PICO
P : Patient, Patient : 15 responden pada kelompok intervensi dan 15
Population, Problem responden pada kelompok kontrol di RSUD dr. Moewardi.
Problem : Kanker anak harus ditangani secara berkualitas
untuk mengendalikan jumlah dan penyebaran sel-sel kanker.
Menurut Hockenberry dan Wilson (2009), kemoterapi efektif
untuk menangani kanker pada anak. Selain memiliki efek
terapeutik yang mengambat pertumbuhn sel kanker,
kemoterapi juga memiliki efek samping yang berbahaya dan
memerlukan penanganan. Efek samping yang banyak
ditemukan pada anak yang mendapat kemoterapi adalah
depresi sumsung tulang, diare, kehilangan rambut,
masalahmasalah kulit, mual, muntah serta gangguan
kesehatan mulut yaitu mukositis (CCNS, 2008).
16
(Motta lebnejad, 2008).
17
saliva menunjukan bahwa air kelapa muda berpengaruh
dalam menurunkan pH saliva. Kandungan ion-ion, pH, total
padatan atau asam laktat serta reduksi yang terdiri dari
fruktosa, glukosa dan asam amino dapat mempengaruhi
perubahan pH saliva. Semakin banyak sumber asam-asam
organik yang dapat dimetabolisme, maka semakin menurun
pH saliva (Farapti dan Sayogo, 2014; Yanwar dan Sutrisno,
2015).
18
mikroba, mempercepat pertumbuhan sel mukosa baru dan
meningkatkan proses penyembuhan mukositis.
O : Outcome (Hasil) Hasil Penelitian dan Kesimpulan dari jurnal penelitian ini
adalah :
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Defenisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang
bertujuan untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel-sel Kanker.
Banyak obat yang digunakan dalam Kemoterapi. Kemoterapi adalah upaya untuk
membunuh sel-sel kanker dengan mengganggu fungsi reproduksi sel. Kemoterapi
merupakan cara pengobatan kanker dengan jalan memberikan zat / obat yang
mempunyai khasiat membunuh sel kanker. Kemoterapi bermanfaat untuk
menurunkan ukuran kanker sebelum operasi, merusak semua sel-sel kanker yang
tertinggal setelah operasi, dan mengobati beberapa macam kanker darah.
Tujuan Kemoterapi
1. Mengendalikan atau melenyapkan tumor dan untuk meringankan gejala
kanker seperti rasa sakit
2. Mencegah kemunculan kembali sel-sel kanker setelah pembedahan
3. Membunuh sel-sel kanker atau menghentikan pertumbuhan sel-sel kanker
yang masih tertinggal
4. Memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker
Manfaat Kemoterapi
Adapun manfaat kemoterapi adalah sebagai berikut:
1. Pengobatan
Beberapa jenis kanker dapat disembuhkan secara tuntas dengan satu jenis
Kemoterapi atau beberapa jenis Kemoterapi.
2. Kontrol
Kemoterapi ada yang bertujuan untuk menghambat perkembangan Kanker
agar tidak bertambah besar atau menyebar ke jaringan lain.
3. Mengurangi Gejala
Bila kemotarapi tidak dapat menghilangkan Kanker, maka Kemoterapi yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala yang timbul pada penderita,
20
seperti meringankan rasa sakit dan memberi perasaan lebih baik serta
memperkecil ukuran Kanker pada daerah yang diserang.
B. Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Pemberian materi yang lebih mendalam dapat meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan disamping
pengarahan dan bimbingan yang senantiasa diberikan sehingga keberhasilan dalam
tugas dapat dicapai.
21
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume
2, EGC, Jakarta.
Firmansyah, M.A. (2010). Penatalaksanaan Mual Muntah yang Diinduksi Kemoterapi.
Cermin Dunia Kedokteran. 37 : 249-50.
Gunawan, Rianto Gan. 2008. Farmakologi dan Terapi (Edisi 5). Jakarta : FK UI.
Ignatavicius, D.D et al. (2006), Medical Surgical Nursing, A Nursing Process
Approach, 2nd Edition, W.B Saundres Company, Philadelphia.
Katsung, B.G. (2001). Farmakologi Dasar Dan Klinik. Ed. ke-6 ECG. Jakarta.
Moh. Anief. (2000). Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Rasjidi, I. (2007). Kemoterapi Kanker Ginekologi dalam praktik sehari-hari,
Sagung-seto. Jakarta.
Suparmanto, G. (2019). Pengaruh Berkumur Air Kelapa Muda Terhadap Penurunan
Skor Mukositis Akibat Kemoterapi Pada Anak. Profesi (Profesional Islam): Media
Publikasi Penelitian, 16(2), 20-26.
22
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id
20
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id
21
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id
sebelumnya, jenis kemoterapi, status gizi dan bahan dalam sel-sel epitel mukosa oral akibat
skor mukositis sebelum dan setelah intervensi kemoterapi. Setelah fase penyembuhan, mukosa
adalah sebagai berikut: oral kembali terlihat normal tetapi lingkungan
mukosa secara signifikan telah berubah. Angio-
Tabel 1. Distribusi Responden (n1-n2: 15) genesis terus berlanjut setelah fase penyembuhan.
Variabel Kontrol Intervensi Total
Menurut Dodd et al., (2008) pasien akan memi-
f % f % f % liki risiko untuk mengalami mukositis berulang
Pengalaman saat pasien mendapatkan kemoterapi berikutnya.
Mukositis 10 66.7 12 80 22 73
Ada riwayat 5 33.3 3 20 8 27
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa
Tidak ada secara keseluruhan hampir seluruh responden
riwayat atau sejumlah 21 orang (70%) mendapatkan
Jenis
Kemoterapi 4 6.7 5 33.3 9 30 kemoterapi dengan tingkat mukosatoksik tinggi.
Mukosatoksi 11 93.3 10 66.7 21 70 Menurut Harris et al., (2008), kemoterapi anti
k sedang kanker akan menyebabkan sel kanker serta
Mukosatoksi
k tinggi beberapa jenis sel sehat yang juga sedang mem-
Status Gizi belah atau tumbuh mengalami kerusakan. Namun
Normal 8 53.3 8 53.3 16 53.3 sel kanker akan mengalami kerusakan lebih parah
Tidak 7 46.7 7 46.7 14 46.7
Normal dibanding kerusakan pada sel sehat. Setelah
beberapa periode 1-3 minggu sel sehat pulih dan
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Skor sel kanker juga akan pulih kembali namun
Mukositis Sebelum Intervensi (n1-n2: 15) mengalami kerusakan, sehingga atas dasar inilah
obat anti kanker dipergunakan. Mencegah keru-
Variabel Mean SD Min-Mak 95% CI
Skor sakan permanent dari sel sehat, maka obat kanker
Mukositis 8.80 0.62 8 – 10 8.55 – 9.09 tidak bisa diberikan sekaligus tetapi dapat diberi-
- Intervensi 8.91 0.64 8 – 10 8.65 – 9.20
- Kontrol
kan selama 4-8 siklus. Hal ini dimaksud untuk
memulihkan sel sehat. Diantara sel sehat yang
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Skor terkena akibat obat kemoterapi adalah sel
Mukositis Setelah Intervensi (n1-n2: 15) mukosa, namun sel-sel tersebut akan mengalami
perbaikan (recovery). Proses perbaikan sel
Variabel Mean SD Min- 95% CI
Mak
mukosa tergantung dari jenis obat kemoterapi
Skor yang digunakan, biasanya 14 hari setelah pem-
Mukositis 8.27 0.54 8–9 8.20 – 8.62 berian obat kemoterapi tergantung jenis obat.
- Intervensi 12.82 1.46 11 – 16 12.12 – 13.31
- Kontrol
Distribusi responden berdasarkan status gizi,
secara keseluruhan sebagian besar dari responden
Pada tabel 1. menunjukkan bahwa hampir memiliki status gizi yang normal (53.3%). Menu-
seluruh responden pada kelompok intervensi rut uji homogenitas, kategori status gizi pada
maupun kelompok kontrol memiliki riwayat kelompok kontrol dan kelompok intervensi
pengalaman mukositis pada kemoterapi sebe- setara, dimana secara keseluruhan, sebagian besar
lumnya, yaitu masing-masing 66.7% dan 80 %. responden memiliki status gizi normal. Hal ini
Menurut Cancer Care Nova Stovia atau membuktikan bahwa status gizi sebagai variabel
CCNS (2008), mukositis dapat terjadi pada 45- potensial perancu telah dapat dikontrol, sehingga
80% pasien yang menjalani kemoterapi. Menurut perbedaan yang bermakna pada skor mukositis
Sutrisno, Dharmayuda & Ren (2010); Motta- antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi
lebnejad et al., (2008) menyatakan bahwa 30- tidak dipengaruhi status gizi.
70% pasien yang mendapatkan kemoterapi akan Berbagai penelitian telah melaporkan hasil
mengalami mukositis pada setiap siklus kemo- penelitian yang berbeda-beda terkait dengan
terapi, sedangkan pada pasien yang menjalani status gizi dan hubungannya dengan terjadinya
transplantasi sumsum tulang 90%-nya akan mukositis. Pasien dengan BMI yang tinggi seperti
mengalami mukositis. Hal tersebut terjadi karena pada pasien dengan gizi normal atau gizi lebih
secara mikroskopis lingkungan flora normal di justru lebih berpotensi mendapatkan mukositis
mukosa oral berubah dan terjadi berbagai peru- karena dosis obat kemoterapi yang diterima lebih
22
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id
banyak dari pasien dengan BMI yang rendah Tabel 4. Analisis Uji Normalitas Data Skor
seperti pasien yang kurus atau sangat kurus. Hal Mukositis Sebelum dan Setelah Intervensi
tersebut terjadi karena pada BMI tinggi, rasio (n1-n2: 15)
jaringan adiposa dan berat badan tubuh akan Variabel Intervensi Kontrol pValue
meningkat. Hal itu akan mempengaruhi distribusi Skor mukoitis mean: 8.80 mean: 8.91 0.402
obat kemoterapi dan farmakokinetiknya. sebelum mean: 8.27 mean: 12.82 0.883
Skor mukoitis
Menurut CCNS (2008) menyatakan bahwa setelah
pasien dengan status gizi buruk biasanya akan
mendapatkan mukositis yang lebih berat karena Tabel 5. Analisis Perbedaan Rata-rata Skor
sistem imun yang tidak bekerja optimal dan Mukositis Sebelum dan Setelah Intervensi Pada
kurangnya zat gizi yang diperlukan untuk pe- Kelompok Intervensi dan Kontrol (n1-n2: 15)
nyembuhan mukositis. Mukositis pasca kemo-
Variabel Kelompok n Mean SD pValue
terapi dapat terjadi baik pada pasien dengan gizi Skor
normal, gizi kurang atau gizi lebih. Mukusitis Intervensi 15 8.80 0.62 0.002
Hasil skor mukositis sebelum intervensi di- - Sebelum 15 8.27 0.54
- Setelah
dapatkan bahwa rata-rata skor mukositis sebelum
intervensi pada pasien kanker yang menjalani - Sebelum Kontrol 15 8.91 0.64 0.000
- Setelah 15 12.82 1.46
kemoterapi pada kelompok intervensi 8.80
dengan standar deviasi 0.62. Sedangkan hasil
analisis data pada kelompok kontrol didapatkan Tabel 6. Analisis Perbedaan Rata-rata Skor
bahwa rata-rata skor mukositis sebelum inter- Mukositis Setelah Intervensi Pada Kelompok
vensi pasien kanker yang menjalani kemoterapi Intervensi dan Kelompok Kontrol (n1-n2: 15)
8.91 dengan standar deviasi 0.64. Menurut Dodd, Variabel Kelompok n Mean SD pValue
(2014) mengkategorikan hasil OAG dalam dua Skor Intervensi 15 8.27 0.54 0.000
Mukositis
kategori yaitu tidak mukositis (normal) jika skor Kontrol 15 12.82 1.46
OAG <10 dan mukositis jika skor OAG ≥10.
Oleh sebab itu, secara umum hasil skor oral Berdasarkan hasil uji normalitas data di-
assessment guide (OAG) sebelum intervensi pada dapatkan bahwa skor mukositis sebelum dan
penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh res- setelah intervensi pada kedua kelompok ber-
ponden termasuk dalam kategori normal/tidak distribusi normal, dengan nilai p value > 0.05.
mukositis (skor <10). Hasil analisis rata-rata skor mukositis sebelum
Hasil skor mukositis setelah intervensi data dan setelah intervensi dapat disimpulkan bahwa
didapatkan bahwa rata-rata skor mukositis sebe- terdapat perbedaan yang signifikan antara skor
lum intervensi pada pasien kanker yang men- mukositis sebelum dan setelah intervensi pada
jalani kemoterapi pada kelompok intervensi 8.27 kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Skor
dengan standar deviasi 0.54. Sedangkan hasil mukositis setelah intervensi pada kelompok
analisis data pada kelompok kontrol didapatkan intervensi menunjukkan nilai rata-rata yang lebih
bahwa rata-rata skor mukositis sebelum inter- rendah dibandingkan dengan skor mukositis
vensi pasien kanker yang menjalani kemoterapi sebelumnya, dengan selisih sebesar -0.53, se-
12.82 dengan standar deviasi 1.46. dangkan pada kelompok kontrol skor mukositis
setelah kemoterapi menunjukkan skor yang lebih
3.2 Analisis Bivariat tinggi dibandingkan dengan skor sebelum kemo-
Berikut ini adalah tabel uji normalitas data terapi sebesar 3.91.
setiap variabel dan hasil analisis perbedaan rata- Hasil ini menunjukkan bahwa intervensi
rata skor mukositis sebelum dan setelah inter- oral care dengan berkumur air kelapa muda
vensi pada kelompok kontrol dan intervensi: memberikan hasil yang signifikan terhadap skor
mukositis pada anak pasca kemoterapi. Penelitian
Mokoginta et al., (2017) menyimpulkan bahwa
berkumur air kelapa terbukti efektif untuk
menurunkan pH saliva serta mengurangi
mukositis. Menurut peneliti, hal ini terjadi karena
23
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id
air kelapa memiliki berbagai zat yang sangat inflamasi, antibodi dalam menurunkan nyeri,
berguna untuk mengurangi mukositis dan memperbaiki sel atau jaringan yang rusak.
mempercepat penyembuhan mukositis. Pada anak Efek teraupetik air kelapa muda dikarenakan
yang mendapatkan intervensi, dengan ber-kumur air kelapa muda mengandung air kelapa sekitar
air kelapa muda selama 5 hari maka anak akan 300ml dengan pH berkisar 3.5-6.1 yang menye-
mendapatkan protocol oral care alami yang babkan bakteri sulit hidup pada kondisi ini
berfungsi sebagai agen topical, larutan kumur, (Farapti dan Sayogo, 2014) serta mengandung
agen stimulasi pertumbuhan jaringan, agen anti- gula reduksi yang akan mengkonversi glukosa
inflamasi, agen anti septic dan pelindung mu- menjadi glucose acid yang menghambat pertum-
kosa. Hal ini kemungkinan menyebabkan efek buhan bakteri (Affilation, 2013). Menurut Farapti
berkumur air kelapa muda secara statistik sangat dan Sayogo (2014), air kelapa muda merupakan
signifikan untuk menurunkan efek kemoterapi air steril, mengandung vitamin B (B1,B2, B3, B5,
berupa mukositis. Air kelapa muda merupakan B6, B7, B9) dan vitamin C serta mengandung
salah satu bahan makanan atau minuman yang mineral berupa kalium, natrium, kalsium, Pota-
mengandung zat-zat yang diharapkan mampu sium dan magnesium. Kandungan berbagai zat
mencegah mukositis, sehingga dapat mengatasi didalam air kelapa menyebabkan air kelapa muda
efek kemoterapi tersebut (NHS Foundation Trust, mampu mencegah cedera sel akibat agen kemo-
2010; Yanwar dan Sutrisno, 2015). terapi, menjaga keutuhan mukosa mulut, mem-
Air kelapa muda mempunyai efek terapeutik bunuh mikroba, mempercepat pertumbuhan sel
yaitu sebagai minuman steril, yang mengandung mukosa baru dan meningkatkan proses penyem-
antioksidan, anti inflamasi dan mineral berupa buhan mukositis.
kalium, natrium, kalsium serta vitamin C dengan
pH 5.5 (asam) (Runtunuwu, 2011; Yanwar dan 4. SIMPULAN
Sutrisno, 2015). Air kelapa muda merupakan Gambaran responden pasien kanker yang
salah satu bahan makanan atau minuman yang menjalani kemoterapi sebagian besar memiliki
mengandung zat-zat yang diharapkan mampu riwayat pengalaman mukositis sebelumnya
mencegah mukositis, sehingga dapat mengatasi (73%), hampir seluruh responden (70%) men-
efek kemoterapi tersebut. dapatkan kemoterapi dengan tingkat muko-
Penelitian yang dilakukan oleh Farapti dan satoksik tinggi, sebagian besar responden me-
Sayogo (2014) tentang pengaruh berkumur air miliki status gizi normal (53.3%).
kelapa muda terhadap pH saliva menunjukan Terdapat perbedaan yang signifikan antara
bahwa air kelapa muda berpengaruh dalam skor mukositis sebelum dan sesudah intervensi
menurunkan pH saliva. Kandungan ion-ion, pH, pada kelompok intervensi (p=0,002) dan kelom-
total padatan atau asam laktat serta reduksi yang pok kontrol (p=0,000).
terdiri dari fruktosa, glukosa dan asam amino Terdapat pengaruh berkumur air kelapa
dapat mempengaruhi perubahan pH saliva. muda terhadap mukositis akibat kemoterapi pada
Semakin banyak sumber asam-asam organik anak yaitu pada kelompok intervensi terdapat
yang dapat dimetabolisme, maka semakin penurunan skor mukositis yang signifikan sebesar
menurun pH saliva (Farapti dan Sayogo, 2014; 0.53 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat
Yanwar dan Sutrisno, 2015). Menurut peningkatan skor mukositis sebesar 3.91 (p
Waworuntu, (2014), Ionisasi asam laktat pada air value=0,000).
kelapa muda akan menghasilkan ion H+ sehingga
menyebabkan suasana asam pada saliva yaitu 5. SARAN
menurunkan pH dan mikrobakteri sulit untuk Mempertimbangkan hasil penelitian ini
merkembang pada kondisi ini. sebagai rujukan untuk merancang atau memo-
Kandungan air yang cukup tinggi dalam difikasi standar asuhan keperawatan pada anak
buah kelapa dapat membantu fungsi saliva dalam dengan penyakit kanker dalam intervensi
pembersihan mulut, sehingga menghambat per- keperawatan berupa program/protokol oral care
kembangbiakan bakteri merugikan dalam rongga pada anak selama anak menjalani program
mulut, serta vitamin C merupakan zat alami anti kemoterapi di rumah sakit.
24
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id
Mengintegrasikan materi tentang terapi Harris, J.D., Eilers, J., Harriman, A., Cashavelly,
komplementer dan terapi non-farmakologis dari B., & Maxwell, C. (2008). Putting
berbagai hasil penelitian yang telah diterapkan evidence into practice: Evidance based
dan terbukti efektif dalam menangani mukositis intervention for the management of oral
akibat kemoterapi pada anak dalam kurikulum mucositis. Clinical Journal of Oncology
sarjana keperawatan. Nursing. 12(1): 141-147
Mengadakan kerjasama dan membangun
koordinasi yang baik antara institusi pendidikan Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2009).
keperawatan dengan institusi pelayanan kese- Antiproliferative effect and of its
hatan, serta industri terkait untuk mengembang- polyphenols: a review. Journal of
kan penerapan hasil penelitian terkait intervensi Biomedicine and Biotechnology. 9:1-13.
keperawatan oral care dengan menggunakan Keefe, D.M., Schubert, M.M., Elting, L.S., Sonis,
agen-agen yang terbukti efektif sesuai dengan S.T., Epstein, J.B., Raber-Durlacer, J.,
hasil-hasil penelitian untuk menangani mukositis Migliorati, C.A. (2007). Update clinical
akibat kemoterapi pada anak sebagai produk practices guidlines for the prevention and
inovasi kampus. treatment of mucositis. American Cancer
Society. 109(5): 24-73.
6. REFERENSI
Mokoginta, Z.P., Wowor, V.N.S., Juliatri. (2017).
Affilation. (2013). The effect of coconut water on Pengaruh berkumur air kelapa muda
the salivary pH of the oral cavity among terhadap pH saliva. Pharmacon Jurnal
the selected Dentistry student of Cebu Ilmiah Farmasi. 6 (1). Universitas
Doctors‟ University with induced acidity Samratulangi.
method AY 2012-2013. Thesis. Mandue:
Mottalebnejad, M., Akram, S., Moghadamina.,
Cebu Doctors‟ University. 2013.p.1
Moulana, Z., & Omidi, S. (2008). The
Cancer Care Nova Stovia. (2008). Best practice effect of topical application of pure
guidelines for the management of oral honey on radiation-induced mucositis.
complication from cancer therapy. The Journal of Contemporary Dental
California: Nova Stovia Goverment. Pratice.
Diperoleh melalui www.cancercare.ns.ca
NHS Foundation Trust. (2010). Children‟s
tanggal 13 Februari 2017.
nursing oral hygine. London: Doncaster
Depkes RI. (2011). Press release hari kanker anak and Bassetlaw Hospital Release. Diakses
sedunia. Diperoleh dari http://www.tvl. melalui www.dhb.nhs.uk tanggal 1
com/press release hari kanker anak Februari 2017.
sedunia html tanggal 26 Februari 2017.
Nursing, BC. (2006). Complementary and
Dodd, M.J. (2014). The pathogenesis and alternative health care: the role of the
characterization of oral mucositis nurse. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
associated with cancer therapy. Oncology pubmed/12943134, diperoleh tanggal 21
Nursing Forum. 31(4):5-12. Januari 2017.
Eiler, J., Berger, A.M., & Petersen, M.C. (2004). Runtunuwu, S.D. (2011). Kandungan kimia
Development, testing and application of daging dan air buah sepuluh tetua kelapa
oral assesment guide. Oncology Nursing dalam komposit. Buletin Palma. 12 (1) :
Forum. 15: 325-330. 58, 61-2.
Farapti & Sayogi, S. (2014). Air kelapa muda- Sutrisno H., Dharmayuda T.G., Ren R.A. (2010).
pengaruhnya terhadap tekanan darah. Gambaran kualitas hidup pasien kanker
Jurnal CDK-223. 41 (12). Universitas limfoma non Hodgkin yang dirawat di
Airlangga. RSUP Sanglah Denpasar (studi
pendahuluan) http://www.ojs.unud.ac.id/
25
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id
26
MAKALAH
KEPERAWATAN ANAK 2
OLEH :
Kelompok 10
DOSEN PEMBIMBING :
2020
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan Makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan Makalah sebagai Tugas dari Mata kuliah Keperawatan Anak 2.
Penulis tentu menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk Makalah ini, supaya Makalah ini nantinya dapat menjadi Makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kelompok 10
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..3
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..4
A. Latar Belakang………………………………………………………………………4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………...5
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………….5
A. Defenisi Desferal……………………………………………………..……..….……6
B. Tujuan Desferal…………………………………………………………………..…..6
C. Cara Pemberian Terapi Desferal………………………………..……………..……..6
D. Indikasi dan Kontraindikasi ………………………………………………...……….7
E. Efek Samping Pemberian Desferal……………………………………………...……7
F. Web Of Caution (WOC) Pemberian Desferal Pada Anak…………………………….….…..8
A. Kesimpulan…………………………………………………………….…..….…….12
B. Saran………………………………………………………………………..….……12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...….13
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi produk
rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Penyakit thalasemia merupakan salah
satu penyakit genetik tersering di dunia. Penyakit genetic ini diakibatkan oleh
ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk
memproduksi hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007). Hemoglobin merupakan protein
kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut
oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh (McPhee & Ganong, 2010).
Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih 7% dari penduduk
dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai dengan 40%
kasus nya adalah di Asia.
Pemberian kelasi besi (desferal) dimulai setelah diberikan saat kada feritin serum ≥ 1.000
ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah 10-15 kali, dan sudah menerima darah
sebanyak 3 liter. Kelebihan beban besi akan terjad apabila penderita thalasemia dibiarkan
tidak diterapi sehingga menyebabkan morbiditas berat dan kematian usia muda.
4
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
5
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Desferal ( deferoxamine ) merupakan obat cair yang diberikan di bawah kulit. Biasanya
obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam “portable pump”. Pemberian
desferal merupakan salah satu penatalaksanaan dari penyakit thalasemia. Penyakit
thalasemia sendiri adalah penyakit kelainan darah yang diakibatkan oleh faktor genetika
dan menyebabkan protein yang ada di dalam sel darah merah (hemoglobin) tidak
berfungsi secara normal.
Terapi desferal merupakan pemberian obat untuk kondisi kelebihan zat besi, pada saat ini
yang paling sering digunakan yaitu desferrioxamine, yang umumnya digunakan untuk
menangani kelebihan kadar zat besi pada darah, yang dapat disebabkan oleh transfusi
darah berulang, kelainan darah seperti thalasemia atau keracunan zat besi. Desferoxamine
termasuk golongan obat iron chelators. Deferoxamine adalah obat yang bekerja dengan
mengikat zat besiberlebih pada tubuh dan membantu ginjal dan kandung empedu
membuang kelebihan zat besi.
6
2. Anak > tahun mendapat dosis 40-60 mg/kg bb/hari dan bila mengalalami ganggguan
jantung mendapatkan dosis 100mg/kgbb/hari.
3. Rute pemberian injeksi sub kutan menggunakan syringe pump selama 8-12 jam/1X hari
sebanyak 5 - 7 kali pemberian / minggu.
4. Jika mendapatkan dosis 60 - 100 mg/kg bb/hari maka diberikan via infus selama 24 jam
berturut- turut setiap hari (1 VIAL = 500mg dilarutkan dengan 250 ml NaCl 0.9 %)
selama 8-12 jam/1x hari.
D. Indikasi / Kontraindikasi
Indikasi
1. Dilakukan pada klien dengan thalasemia yang mendapatkan transfusi darah secara
rutin (berulang).
2. Kadar Fe >= 1000 mg/ml.
3. Dilakukan 4 – 7 kali dalam seminggu post transfuse.
Kontraindikasi
Deferoxamine adalah obat yang dapat menyebabkan efek samping, efek samping
umumnya meliputi nyeri dan pembengkakan pada area yang disuntik atau pandangan
7
yang kabur, gatal-gatal, kesulitan bernapas, pembengkakan wajah, bibir, lidah, atau
tengorokan.
Hentikan penggunaan deferoxamine dan segera hubungi dokter jika anda mengalami efek
samping serius seperti :
Efek samping yang tidak terlalu serius dapat meliputi pemakaian deferoxamine adalah :
1. Pusing
2. flushing ( hangat, kemerahan dan perasaan geli pada wajah)
3. gatal atau ruam pada kulit
4. Mati rasa atau perih pada tubuh
5. Diare ringan, mual atau sakit perut
8
6. Urin kemerahan
7. Adanya nyeri, perih, bengkak, kemerahan, iritasi atau benjolan di area suntikan.
Efek samping umum : Nyeri, pembengkakan Efek samping serius : Batuk, napas tersengal, permasalahan
pada area yang disuntik, pandangan kabur, pernapasan, Jarang buang air kecil atau tidak sama sekali,
gatal-gatal, kesulitan bernapas, pembengkakan Mengantuk, pusing, meningkatnya rasa haus, kehilangan
wajah, bibir, lidah, atau tengorokan. nafsu makan, mual muntah, Pembengkakan, naiknya berat
badan, sesak napas
9
ANALISIS JURNAL
Evaluasi penggunaan obat kelasi besi dalam menurunkan kadar ferritin pada pasien thalasemia
anak di RSUD 45 kuningan
P (patient, population, problem) Populasi : Populasi dalam penelitian ini adalah pasien
Thalasemia di RSUD 45 Kuningan, dengan sampel
Gambaran pasien atau
sebanyak 46 pasien. Dari 46 pasien yang dijadikan sampel,
karakteristik penting dari pasien.
5 orang mengalami penurunan kadar ferritin dengan baik, 8
orang mengalami penurunan di 3 bulan petama tetapi naik
kembali di 3 bulan selanjutnya, sedangkan 33 pasien
lainnya cenderung tidak mengalami penurunan kadar
ferritin.
I (intervention, prognostic factor, Intervensi : penggunaan obat kelasi besi seperti Ferriprox (
exsposure) Deferiprone), Desferal (Deferoxamine), Exjade
(Deferaxirox). Terapi Deferaxirox dapat di pertimbangkan
Intervensi apa yang dipertimbangkan
jika pasien memiliki serum feritinin lebih besar dari 300
untuk diberikan kepada pasien atau
apa yang harus dilaakukan pada
mcg/L. selain obat-obat kelasi besi, pasien Thalasemia juga
C (comparison atau control) Penelitian yang dilakukan oleh Dahlui, Hishamsah, Rahman
dan Aljunid (2009) di Malaysia menemukan bahwa kualitas
Apa yang menjadi pembanding dari
hidup pasien Thalasemia berhubungan dengan kadar
intervensi yang dipilih untuk pasien.
ferritinin, komplikasi kelebihan zat besi, dan penghasilan
10
keluarga.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Desferal ( deferoxamine ) merupakan obat cair yang diberikan di bawah kulit. Biasanya
obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam “portable pump”. Pemberian
desferal merupakan salah satu penatalaksanaan dari penyakit thalasemia. Tujuan diberikan
terapi ini adalah untuk detoksifikasi kelebihan besi yaitu mengikat besi yang tidak terikat
transferin di plasma dan mengeluarkan besi dari tubuh serta menurunkan/ mencegah
penumpukan Fe dalam tubuh baik itu hemocromatosis (penumpukan Fe di bawah kulit )
atau pun hemosiderosis (penumpukan Fe dalam organ).
Deferoxamine adalah obat yang dapat menyebabkan efek samping, efek samping
umumnya meliputi nyeri dan pembengkakan pada area yang disuntik atau pandangan
yang kabur, gatal-gatal, kesulitan bernapas, pembengkakan wajah, bibir, lidah, atau
tengorokan.
B. Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat
berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Pemberian materi yang lebih
mendalam dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mahasiswa dalam
menyelesaikan tugas yang diberikan disamping pengarahan dan bimbingan yang
senantiasa diberikan sehingga keberhasilan dalam tugas dapat dicapai.
12
DAFTAR PUSTAKA
Kyle, T., & Carman, S. (2014). Buku Praktik Keperawatan Pediari. Jakarta : EGC
Safitri, R., Ernawaty, J., & Karim, D. (2015). HUBUNGAN KEPATUHAN TRANFUSI
DAN KONSUMSI KELASI BESI TERHADAP PERTUMBUHAN ANAK DENGAN
THALASEMI. JOM, II, 1474 – 1483.
13
Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 5, No. 1 Januari 2020
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kadar ferritin pada pasien
Thalasemia anak di RSUD 45 Kuningan saat pertama kali didiagnosa menderita
Thalasemia dan mengetahui ada atau tidaknya penurunan kadar ferritin setelah
pasien diberikan terapi obat kelasi besi. Populasi yang digunakan adalah pasien
Thalasemia di RSUD 45 Kuningan, dengan sampel sebanyak 46 pasien. Setelah
melakukan penelitian, pengolahan data dan wawancara diperoleh hasil bahwa
kadar ferritin pasien Thalasemia anak ketika pertama kali didiagnosa menderita
Thalasemia adalah >500 mcg/L, dari 46 pasien yang dijadikan sampel, 5 orang
mengalami penurunan kadar ferritin dengan baik, 8 orang mengalami penurunan
di 3 bulan pertama tetapi naik kembali di 3 bulan selanjutnya, sedangkan 33 pasien
lainnya cenderung tidak mengalami penurunan kadar ferritin. Hasil penelitian
tersebut semoga menjadi perhatian bagi semua bagian yang terkait agar tujuan
pengobatan pada pasien Thalasemia anak di RSUD 45 Kuningan bisa tercapai.
Pendahuluan
Pengaruh era globalisasi di segala bidang, perkembangan teknologi dan industri
mengakibatkan perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat serta situasi
lingkungan, seperti perubahan terhadap pola konsumsi makanan yang serba instan, serta
perkembangan dunia teknologi dan komunikasi yang semakin meninggi membuat
manusia seakan enggan untuk bergerak dan berolahraga (Subandi, 2017).
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh
defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Susanto & Suryadi, 2010). Penyakit
thalasemia merupakan salah satu penyakit genetik terbanyak di dunia. Penyakit genetik
ini diakibatkan oleh ketidak mampuan sumsum tulang membentuk protein yang
dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Mandleco & Potts, 2007) Hemoglobin
merupakan protein kaya zat besi yang berada didalam sel darah merah yang berfungsi
untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh.
Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih 7% dari
penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai
dengan 40% adalah di Asia. Gejala awal yang muncul pada penderita thalasemia antara
28
Evaluasi Penggunaan Obat Kelasi Besi dalam Menurunkan Kadar Ferritin
lain pucat, lemas, dan tidak nafsu makan (Swayze, Hoffman, Stefanchik, Goldin, &
Nobis, 2003). Pada kasus yang lebih berat pasien thalasemia menunjukkan gejala klinis
berupa hepatosplenomegali, kerapuhan, penipisan tulang dan anemia. Anemia pada
pasien thalasemia terjadi akibat gangguan produksi hemoglobin.
Gejala anemia pada anak thalasemia sudah dapat terlihat pada usia kurang dari 1
tahun. Derajat anemia yang terjadi dapat bervariasi dari ringan sampai berat. Anemia
merupakan masalah utama pada thalasemia dan dapat diatasi dengan memberikan
transfusi darah. Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan kadar hemoglobin 9-
10 g / dl (Rahayu, 2012) Akan tetapi pemberian transfusi darah secara terus menerus
akan menyebabkan terjadinya penumpukan besi pada jaringan parenkim hati dan
disertai dengan serum besi dan ferritin yang tinggi.
Ferritin merupakan protein dalam tubuh yang mengikat zat besi. Sebagian besar
zat besi yang tersimpan dalam tubuh terikat dengan protein tersebut. Zat besi bebas
bersifat toksik atau berbahaya bagi sel, tubuh memiliki mekanisme perlindungan untuk
mengikat zat besi bebas tersebut. Di dalam sel, zat besi disimpan dalam bentuk ikatan
dengan protein ferritin. Oleh karena itu, ferritin berfungsi menyimpan zat besi dalam
bentuk terlarut dan non toksik. Kadar ferritin dalam serum darah berkorelasi dengan
jumlah total simpanan zat besi tubuh sehingga pengukuran ferritin serum adalah
pemeriksaan laboratorium yang paling mudah untuk memperkirakan status simpanan
zat besi.
Darah terdiri dari beberapa beberapa bagian seperti gambar 1
Kelasi besi adalah obat obatan yang ditujukan untuk mengurangi kadar zat besi
dalam darah terutama ferritin. Fungsi dari kelasi besi ini adalah menurunkan jumlah
ferritin dan serum iron dalam darah supaya tidak mengganggu kerja organ organ vital
dalam tubuh. macam-macam obat kelasi besi adalah :
1. Ferriprox (Deferiprone)
2. Desferal (Deferoxamine)
3. Exjade (Deferasirox)
Terapi Deferasirox dapat dipertimbang kan jika pasien memilik serum feritin
lebih besar dari 300 mcg/L. Selain obat obat kelasi besi, pasien Thalasemia juga
membutuhkan suplemen asam folat 1-2 gram/hari untuk membantu meningkatkan kadar
hemoglobin, vitamin E 200-400 IU / hari untuk memperpanjang umur sel darah merah
dan Vitamin C 100-250 mg / hari untuk meningkatkan ekskresi zat besi.
Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan
cross sectional, dimana pengukuran variabelnya dilakukan hanya satu kali. Studi cross
sectional mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor resiko) dengan variabel
tergantung (efek) dengan pengukuran sesaat. Variabel resiko serta efek tersebut diukur
menurut keadaan statusnya pada waktu observasi (Sastroasmoro & Ismael, 2010)
Dalam penelitian ini, jumlah populasi pasien thalasemia anak sebanyak 85 orang
dan batas toleransi kesalahan adalah 10%, maka sampel yang diperoleh berdasarkan
rumus Slovin adalah :
hidup anak thalasemia diantaranya adalah kadar Hb, jenis kelasi besi dan kadar feritin
dalam darah.
Berdasarkan penurunan kadar ferritin setelah menggunakan obat kelasi besi,
sampel dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu:
1. Kelompok A yaitu kelompok pasien pengguna Ferriprox (Deferiprone) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin dengan baik, sebanyak 2 pasien atau 8,70%.
2. Kelompok B yaitu kelompok pasien pengguna Ferriprox (Deferiprone) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin di 3 bulan pertama tapi kembali naik di 3
bulan kedua, sebanyak 4 pasien atau 17,40%
3. Kelompok C yaitu kelompok pasien pengguna Ferriprox (Deferiprone) yang tidak
menunjukkan penurunan kadar ferritin, sebanyak 17 pasien atau 73,90%.
4. Kelompok D yaitu kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin dengan baik.
5. Kelompok E yaitu kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin di 3 bulan pertama tapi kembali naik di 3
bulan kedua.
6. Kelompok F yaitu kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang tidak
menunjukkan penurunan kadar ferritin.
Tabel 1
Data Pasien Pengguna Obat Ferriprox (Deferiprone) kelompok A
Kadar
Jenis Kadar Feri Kadar Feri
Nama Kadar Feri
Obat Dosis tin 3 Bulan tin 3 Bulan
No Pasien / Feritin tin 3
Kelasi Obat Perta Selan jut
No. Medrec Awal Bulan
Besi ma nya
Kedua
A B E F G H I J
Ferri 3x2
1. Vira 7967 6948 6742 5501
Prox tab
Ferri 3x2
2. Shelly 2920 2192 1825 1262
Prox tab
Tabel 2
Data Pasien Pengguna Obat Ferriprox (Deferiprone) Kelompok B
Kadar Kadar Kadar
Ka
Nama Jenis Feri Feri Feri
dar
Pasien / Obat Do tin 3 tin 3 tin 3
No Feri
No. Kelasi sis Obat Bulan Bulan Bulan
tin
Medrec Besi Per Ke Selan
awal
tama dua jutnya
A B E F G H I J
Ferri
1. M. Nabil 3x2 tab 2234 2050 3310 2059
prox
Nur Afni
Ferr
2. Okta 3x2 tab 4704 2285 3921 3510
iprox
vin
Nizam Ferri
3. 3x1 tab 1946 948 1718 1680
Alfarizi prox
Yuda M Ferri
4. 3x2 tab 4543 1468 2005 1708
Zaemali prox
Tabel 3
Data Pasien Pengguna Obat Ferriprox (Deferiprone) Kelompok C
Ka
Ka
dar
Ka dar
Feriti
Jenis Obat Kadar dar Feri Feriti
Nama Pasien / No. Dosis n3
No Kelasi Feri tin 3 Bu n3
Medrec Obat Bu
Besi tin Awal lan Bu
lan
Pertama lan Ke
Selanj
dua
utnya
A B E F G H I J
1. Haidar Mahasin Ferriprox 3x1 cth 2829 5168 4007 4126
2. M. Dzikri Ferriprox 3x1 tab 2752 6339 2049 3873
2009
3. Novi Yanti Ferriprox 3x2 tab 1934 2657 3079
4. Iryad Firmn Syah Ferriprox 3x2 tab 3419 3876 4421 6467
5. Vera Olivia Ferriprox 3x2 tab 1330 1330 1486 1773
6. Rizky Nur Fajar Ferriprox 3x1 tab 1441 1972 1141 1427
7. Reyhan Rizky Ferriprox 3x2 tab 2412 2577 3257 3878
8. Risky Wahyuni Ferriprox 3x2 tab 3874 3801 3098 3627
9. Ratna Sumiar Ferriprox 3x2 tab 1949 1960 2164 3264
10. Rania Aqila Ferriprox 3x2 cth 1601 1794 2226 2491
11. Rafa R Ferriprox 3x1 tab 3457 4955 7129 4031
12. Rizqy Langit Ferriprox 3x2 tab 1264 1261 5097 802
13. Rafif Ferriprox 3x2 tab 1358 1226 1314 1369
14. Stephani Ferriprox 3x1 cth 7719 8040 7012 8035
15. Syifa Nadira Ferriprox 3x1 cth 5362 7590 4953 5295
16. Febriansyah Ferriprox 3x1 tab 3791 3739 3178 3463
17. Fahri Ferriprox 3x2 tab 2148 2857 3265 3630
Diagram lingkaran untuk hasil pengamatan kadar ferritin pada pasien pengguna
obat Ferriprox (Deferiprone) adalah sebagai berikut:
Diagram 1
Data Pasien Thalasemia Anak Pengguna Ferriprox (Deferiprone)
8,70% 17,40%
Kelompok A
73,90% Kelompok B
Kelompok C
Tabel 4
Data Pasien Pengguna Obat Exjade (Deferasirox) Kelompok D
Kadar Kadar
Jenis Kadar Kadar
Nama Feriti Feritin
Obat Dosis Feriti Feritin 3
No Pasien / n3 3 Bulan
Kelasi Obat n Bulan
No. Medrec Bulan Selanju
Besi Awal Pertama
Kedua tnya
A B E F G H I J
1x2
1. M. Imdad D Exjade 7592 5816 5722 5678
tab
Alya 1x1
2. Exjade 1985 1760 1511 1500
Ramdhani tab
1x1
3. Alif Falih Exjade 4206 2678 1340 1210
tab
Tabel 5
Data Pasien Pengguna Obat Exjade (Deferasirox) Kelompok E
Kadar
Ka Kadar Kadar
Nama Jenis Feri
Do dar Feri Feritin 3
Pasien / Obat tin 3
No sis Feri tin 3 Bulan
No. Kelasi Bulan
Obat tin Bulan Selan
Medrec Besi Ke
awal Pertama jutnya
dua
A B E F G H I J
Dinda 1x2
1. Exjade 1655 889 2355 878
Afifah tab
1x2
2. M. Fardan Exjade 1466 1369 2081 1337,92
tab
1x2
3. M. Rizky Exjade 1354 1235 1635 1383
tab
Mawar 1x2
4. Exjade 3402 3234 4117 3907
Wulansari tab
Tabel 6
Data Pasien Pengguna Obat Exjade (Deferasirox) Kelompok F
Kadar
Nama Jenis Kadar Feri
Kadar Feri Kadar Feri
Pasien / Obat Dosis tin 3 Bulan
No Feritin tin 3 tin 3 Bulan
No. Kelasi Obat Selan
awal Bulan Ke dua
Medrec Besi jutnya
Pertama
A B E F G H I J
1. Al Rizky Exjade 1x2 tab 1238 1732 1861 2039
2. Aida Exjade 1x2 tab 5509 8575 7983 8140
3. Andres J Exjade 1x2 tab 6995 9701 8717 8819
Arikan
4. Exjade 1x2 tab 5027 6625 5114 4846
Zul
5. Aftar Exjade 1x1 tab 1305 1333 1429 1528
6. Ardan Exjade 1x2 tab 1322 1322 1365 2145
Bang
7. Exjade 1x2 tab 1840 2556 3242 3652
Kit
8. Candy Exjade 1x2 tab 5585 5741 5673 8998
Daffa
9. Exjade 1x2 tab 39778 4644 11921 5125
Sigit
M. Adri
10. Exjade 1x1 tab 1621 2205 2808 3228
An
M. Fahry
11. Exjade 1x2 tab 1400 1873 2005 2030
M. Azka
12. Exjade 1x2 tab 2705,98 2572,48 3806 4129
T
M. Azka
13. Exjade 1x2 tab 2559 2951 1965 3221
Q
14. Maureen Exjade 1x1 tab 8980 8836 9760 9034
M.
15. Exjade 1x2 tab 4932 4984 3766 6691
Fahmi
M.
16. Fahmi Exjade 1x2 tab 1932 2984 3766 6691
Kaisan
Diagram lingkaran untuk hasil pengamatan kadar ferritin pada pasien pengguna
obat Exjade (Deferasirox) adalah sebagai berikut:
Diagram 2
Data Pasien Thalasemia Anak Pengguna Exjade (Deferasirox)
Obat kelasi besi yang ada di RSU 45 Kuningan ada 3 macam, yaitu Ferriprox
(Deferiprone), Exjade (Deferasirox) dan Desferal (Deferoxamine), pada penelitian ini
pengamatan hanya dilakukan pada pasien Thalasemia anak yang menggunakan obat
kelasi besi Ferriprox (Deferiprone) dan Exjade (Deferasirox). Penggunaan kelasi besi
desferal (Deferoxamine) tidak rutin digunakan setiap hari, hanya diberikan pada pasien
Thalasemia dengan kadar ferritin lebih dari 10.000 mcg/L dengan cara disuntikkan.
Dosis pemberian Desferal adalah 40 mg/ kg/ hari selama 5 hingga 7 hari setiap
minggunya. Desferal bekerja dengan mengikat zat besi dan mengubahnya menjadi
ferrioxamine yang merupakan kompleks stabil sehingga akan mudah dikeluarkan oleh
ginjal. Deferoxamine dimetabolisme di enzim plasma dan beberapa diekskresikan ke
tinja dan urin.
Standar Prosedur Operasional (SPO) di Klinik Thalasemia RSUD 45 Kuningan
untuk pasien thalasemia anak yang pertama adalah pemeriksaan Hemoglobin (Hb)
karena pasien Thalasemia yang cenderung anemis, terapi selanjutnya adalah transfusi
darah yang dilakukan minimal satu bulan sekali tergantung kondisi Hemoglobin (Hb)
pasien. Obat kelasi besi diberikan setelah pasien 5 kali mendapatkan transfusi darah,
kemudian selanjutnya rutin diberikan setiap 1 bulan sekali. Selain pemberian obat kelasi
besi yaitu Ferriprox (Deferiprone) atau Exjade (Deferasirox) biasanya diberikan juga
vitamin E dan asam folat. Sementara obat injeksi yaitu Desferal (Deferoxamine) hanya
diberikan pada pasien yang kadar ferritinnya mencapai 10.000 mcg/ L untuk mencegah
keracunan zat besi secara cepat.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan di Klinik Thalasemia RSUD 45 Kuningan,
diperoleh kesimpulan bahwa kadar ferritin pada pasien Thalasemia anak setelah
mendapatkan obat kelasi besi pada 46 pasien yang dijadikan sampel dapat dibagi dalam
6 kelompok, yaitu:
BIBLIOGRAFI
Dahlui, M., Hishamsah, M.I., Rahman, A., & Aljunid, S.M. (2009) Quality of life in
transfusin dependent thalasemia patients on desferrioxamine treatment, Singapore
Med J, 50 (8), 794-799. Diperoleh dari http://smj.sma.org.sg/5008/5008a8.pdf
Mandleco, B. L., & Potts, N. L. (2007). Pediatric nursing: Caring for children and their
families. Thomson Delmar Learning.
Rahayu, I. (2012). dkk. 2012. Panduan Lengkap Ayam. Penerbit. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2010). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Ed. 3
Cet. 2. Jakarta: Sagung Seto.
Subandi, E. (2017). Pengaruh Senam Diabetes Perhadap Penurunan Kadar Gula Darah
Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Upt Puskesmas Mundu Kabupaten Cirebon
Tahun 2017. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(7), 53–68.
Susanto, S., & Suryadi, D. (2010). Pengantar data mining: mengagali pengetahuan dari
bongkahan data. Penerbit Andi.
Swayze, J. S., Hoffman, D. B., Stefanchik, D., Goldin, M. A., & Nobis, R. H. (2003,
March 11). Anastomosis device having improved tissue presentation. Google
Patents.
Kelompok 10
DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Delima, S. Kep, S.Pd. M. Kes
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
Makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis tentu menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk
itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk Makalah
ini, supaya Makalah ini nantinya dapat menjadi Makalah yang lebih baik
lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga Makalah ini dapat bermanfaat.Terima kasih
Kelompok 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) merupakan masalah
kesehatan serius pada anak dengan morbiditas dan mortalitas yang makin meningkat serta
menimbulkan masalah sosial ekonomi yang signifikan. Deteksi dan intervensi dini sangat
penting untuk memperlambat progresivitas penyakit dan menjaga kualitas hidup, namun
pengobatan sering terlambat karena kurangnya kesadaran masyarakat dan tenaga medis.
Pengenalan CKD dini sangat penting karena berkaitan dengan pengelolaan untuk
mempertahankan kemampuan fungsional nefron tersisa selama mungkin, sehingga
penderita dapat hidup layak dan tumbuh maksimal. Kesulitan mengenali penderita CKD
dini karena klinis CKD baru terlihat bila fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus berupa
nyeri kepala, lelah, kurang nafsu makan, muntah, poliuria, dan gangguan pertumbuhan.
Kecurigaan adanya CKD diperkuat bila ada riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Peran
tenaga kesehatan ataupun dokter umum adalah mengenali secara dini penderita CKD dan
kemudian merujuknya ke dokter spesialis anak atau ke dokter konsultan ginjal anak agar
dapat ditangani seawal mungkin, sehingga dapat mencegah atau menghambat
progresivitas kerusakan ginjal. Pelaksanaan hemodialisis pada anak membutuhkan tim
yang terdiri dari ahli ginjal, perawat, pekerja sosial, administrasi, dan ahli gizi yang
memiliki pelatihan dan keahlian dalam dialisis dan ilmu pediatri.
B. Rumusan masalah
1. Jelaskan konsep teoritis pemberian terapi hemodialisis pada anak dan bayi!
2. Jelaskan intervensi keperawatan pemberian terapi hemodialisis pada anak dan
bayi!
C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep teoritis pemberian terapi hemodialisis pada
anak dan bayi
2. Mahasiswa dapat menjelaskan intervensi keperawatan pemberian terapi
hemodialisis pada anak dan bayi!
BAB II
PEMBAHASAN
B. Tujuan
Hemodialisis adalah suatu terapi yang mempunyai beberapa tujuan. Tujuan dari
hemodialisis itu sendiri diantaranya adalah untuk menggantikan fungsi kerja ginjal untuk
proses ekskresi (membuang produk sisa metabolisme dalam tubuh, misalnya ureum,
kreatinin, dan produk sisa metabolisme lainnya), fungsi lainnya seperti menggantikan
fungsi ginjal untuk mengeluarkan cairan tubuh yang pada saat ginjal masih sehat cairan
tersebut dikeluarkan berupa urin, meningkatkan kualitas hidup pasien yang mengalami
penurunan fungsi ginjal serta mempunyai fungsi untuk menggantikan fungsi ginjal sambil
menunggu pengobatan lainnya (Suharyanto, 2009).
C. Indikasi
Keputusan memulai dialisis pada anak-anak sangat beragam, tergantung fungsi ginjal
yang tersisa, nilai-nilai laboratorium, faktorfaktor psikososial, dan waktu yang optimal
untuk pencangkokan ginjal. Di beberapa negara Eropa, hemodialisis (HD) lebih sering
dilakukan untuk anak-anak di atas usia lima tahun. HD tidak ditawarkan kepada anak-
anak kurang dari 5 tahun kecuali ada kontra-indikasi penting untuk peritoneal dialysis
(PD). Untuk anak berusia lebih tua, HD diterapkan jika berhenti dari program PD atau
jika ada alasan medis (jarang) atau psikososial (lebih sering) untuk tidak melakukan PD.
Sebaliknya, PD ditawarkan kepada anakanak terutama di bawah usia dua tahun atau
beratnya kurang dari 10 kg. Sebuah studi Eropa multisenter telah menemukan bahwa
prioritas pertama PD adalah usia anak (30%), pilihan orang tua (27%), jarak dari unit
(14%), pilihan pasien (11%), kondisi sosial (7%), dan tidak dapat melakukan satu mode
(6%). Memilih mode dialisis, baik HD maupun PD, untuk anak membutuhkan
pertimbangan, di antaranya faktor-faktor lain dari kemungkinan dampak dari salah satu
mode dialisis pada pemeliharaan sisa fungsi ginjal (RRF), karena dampaknya yang
spesifik pada hasil pasien. Meskipun tidak ada konsensus umum, peritoneal dialisis
dikaitkan dengan kurangnya risiko kehilangan RRF.13
Indikasi absolut memulai dialisis pada anak meliputi anuria, gangguan elektrolit berat,
gangguan neurologis pada gagal ginjal (misalnya ensefalopati, kejang, foot drop),
perikarditis, diatesis perdarahan, mual berulang, gejala uremia, volume berlebihan, atau
kegagalan pertumbuhan meskipun terapi medis sudah tepat, dan hipertensi. Efek samping
uremia yaitu kelelahan dan kelemahan, disfungsi kognitif, gangguan tidur, dan gejala
gastrointestinal, merupakan indikasi relatif untuk dimulainya dialisis.
D. Kontraindikasi
Menurut Wijaya, dkk (2013) menyebutkan kontra indikasi pasien yang hemodialisa
adalah sebagai berikut:
1. Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg).
2. Hipotensi (TD < 100 mmHg).
3. Adanya perdarahan hebat.
4. Demam tinggi.
E. Penatalaksanaan
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap
akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu
penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya
memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal
ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan
kehidupan pasien yang gagal ginjal (Wijayakusuma, 2008).
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk
akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien
dan bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut
secara kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan
demikian meminimalkan gejala (Smeltzer & Bare, 2001).
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif
serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep
diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien
dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan
pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan (Smeltzer & Bare, 2001).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia dan
antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini
dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik
(Smeltzer & Bare, 2001).
F. Komplikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2002), Komplikasi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal
berikut:
1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika
udara memasuki sistem vaskuler pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan
muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadi lebih besar
jika terdapat gejala uremia yang berat.
6. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
Komplikasi atau dampak Hemodialisa terhadap fisik menjadikan klien lemah dan lelah
dalam menjalani kehidupan sehari- hari terumtama setelah menjalani hemodialisis
(Farida, 2010)
G. Web of caution (WOC) Pemberian Terapi Hemodialisis pada Anak dan Bayi
Tujuan :
Tujuan dari hemodialisis itu sendiri diantaranya adalah
untuk menggantikan fungsi kerja ginjal untuk proses
ekskresi
Indikasi :
1. Gagal ginjal kronis.
2. Gagal ginjal akut jika filtrasi laju glomerolus
kurang dari 5ml/menit.
3. Anuria berkepanjangan.
Kontraindikasi :
1. Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg).
2. Hipotensi (TD < 100 mmHg).
3. Adanya perdarahan hebat.
4. Demam tinggi.
5.
Komplikasi :
1. Hipotensi
2. Emboli udara
3. Kram otot
4. Mual dan muntah
ANALISA JURNAL
EFEKTIVITAS AFIRMASI POSITIF DAN STABILISASI DZIKIR VIBRASI SEBAGAI MEDIA
TERAPI PSIKOLOGIS UNTUK MENGATASI KECEMASAN PADA KOMUNITAS PASIEN
HEMODIALISA
A. Kesimpulan
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit
akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau End Stage Renal Disease
(ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis
adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan.
B. Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih
baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan pembaca pada umumnya. Pemberian materi yang lebih mendalam dapat meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan disamping
pengarahan dan bimbingan yang senantiasa diberikan sehingga keberhasilan dalam tugas dapat
dicapai
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Kesehatan mental merupakan kondisi kesejahteraan emosional seseorang yang
harus senantiasa ditingkatkan sehingga memberikan kelangsungan hidup yang
bermakna. Kesehatan mental merupakan proses kesehatan yang berkelanjutan. Adanya
kolaborasi kesehatan jasmani yang selaras akan menunjang kesehatan mental yang
optimal. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki kesehatan mental yang baik mampu
mengelola permasalahan psikologis seperti stres, kecemasan dan depresi. Pada
penelitian ini, permasalahan psikologis yang dirasakan pasien gagal ginjal yaitu
kecemasan karena gagal ginjal merupakan penyakit terminal sehingga membuat pasien
harus menjalani serangkaian prosedur terapi hemodialisa (cuci darah). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efektivitas afirmasi positif dan stabilisasi dzikir vibrasi
sebagai media terapi psikologis untuk mengatasi kecemasan pada pasien hemodialisa.
Metode yang digunakan adalah pre experimental one group pre and post test design.
Hasil penelitian menunjukkan enam orang pasien hemodialisa yang mendapatkan
intervensi afirmasi positif dan stabilisasi dzikir vibrasi mengalami penurunan
kecemasan, sedangkan satu orang pasien mengalami peningkatan kecemasan. Kondisi
tersebut disebabkan karena pasien kurang aktif dalam mempraktekkan terapi stabilisasi
dzikir vibrasi secara konsisten di rumah.
PENDAHULUAN
Ginjal merupakan organ yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam
tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam-basa darah,
mengontrol sekresi hormon, dan ekskresi sisa metabolisme, racun dan kelebihan garam.
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh
atau melakukan fungsi regulernya. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan
merupakan jalur akhir dan umum dari berbagai penyakit trakturs urinarus dan ginjal
(Smeltzer dan Bare, 2004).
Dalam hal ini, pasien gagal ginjal mengalami penurunan fungsi ginjal yang terjadi
secara akut (kekambuhan) maupun secara kronis (menahun). Gagal ginjal akut bila
penurunan fungsi ginjal berlangsung secara tiba-tiba, tetapi kemudian dapat kembali
normal setelah penyebabnya segera dapat diatasi. Sedangkan pada pasien gagal ginjal
kronik, gejala yang muncul terjadi secara bertahap, biasanya tidak menimbulkan gejala
awal yang jelas sehingga penurunan fungsi ginjal tidak dirasakan. Pasien dengan
METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu pre experimental
one group pre and post test design. Dalam penelitian ini, intervensi digunakan untuk
menurunkan kecemasan dengan menggunakan teknik afimasi positif dan stabilisasi
dzikir vibrasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive
sampling yang sesuai dengan kriteria. Dari jumlah pasien hemodialisa di RSUD Cilacap
yaitu 22 orang, diambil 12 orang yang menjalani hemodialisa pada jadwal pagi. Dari 12
orang, hanya 7 orang responden yang bersedia mengikuti proses penelitian. Kriteria
responden yaitu beragama Islam, mengalami kecemasan dengan kriteria sedang dan
berat yang sebelumnya sudah diukur dengan instrumen BAI, dapat menulis dan
membaca, pasien dalam kondisi sadar, dan bersedia menjadi respoden penelitian dengan
menyetujui dan menandatangani informed consent
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan instrumen skala
kecemasan (BAI). BAI terdiri dari 20 pernyataan yang berisikan perasaan terkait
dengan kecemasan, ketegangan, sulit tidur, keluhan fisik dan perilaku. Kategori
kecemasan bergerak dari skor 0-7: kecemasan sangat rendah, 8-15: kecemasan rendah,
16-25: kecemasan sedang dan 26-63: kecemasan berat. Pre test dilakukan sebelum
intervensi sesi 1 dimulai. Berdasarkan hasil pre test terhadap orang responden di
dapatkan hasil skor kecemasan berkisar antara 25-45. Hal ini menunjukkan bahwa
kondisi kecemasan termasuk kategori sedang-tinggi.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik responden dari orang sebagian besar berada pada rentang usia 30-40
tahun, berjenis kelamin perempuan, latar belakang pendidikan rendah (SD, SMP,
SMA), responden sudah menikah, tidak bekerja, mengalami ketergantungan dengan
Dilihat dari diagram diatas, ada 6 orang pasien yang mengalami penurunan
kecemasan. Namun ada 1 pasien yang justru kecemasannya masih berada pada kategori
tinggi. Dalam hal ini skor kecemasannya meningkat namun kategorinya masih sama
yaitu kecemasan tinggi. Peneliti melakukan evaluasi terkait kondisi pasien yang justru
kecemasannya meningkat pasca intervensi. Kondisi fisik dan psikologis kurang baik dan
pasien sedang mengalami masalah pribadi sehingga pasien tidak konsisten dalam
mempraktekkan pelatihan saat dirumah. Hal inilah yang membuat pasien tidak
merasakan penurunan kecemasan yang pasca pelatihan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, perlu adanya rekomendasi intervensi untuk
dapat diterapkan secara bersamaan antara intervensi yang berfokus pada pasien dan
intervensi yang mendukung perubahan perilaku pasien. Rekomendasi intervensi yang
disarankan pada penelitian ini adalah support group therapy antara penderita gagal
ginjal, dengan tujuan berbagi pengalaman antara pasien yang sudah lama menjalani
hemodialisis dan pasien yang baru menjalani hemodialisis sehingga antara penderita
gagal ginjal dapat saling menguatkan dan mendukung.
PEMBAHASAN
Pasien gagal ginjal menunjukkan penilaian negatif mengenai penyakitnya, seperti
kekhawatiran harapan hidup yang pendek dan pesimisme pada penyakitnya. Lazarus
(1996) menjelaskan respon kognitif yang ditunjukkan pada seseorang yang mengalami
DAFTAR PUSTAKA
Cukor, D., Coplan, J., Brown, C., & Friedman, S. 2008. Anxiety disorders in
adults treated by hemodialysis. Clinical Journal of the American
Society of Nephrology.
Hawari, D. 2004. Kanker payudara dimensi psikoreligi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI.
Lazarus, 1996. Psychological Stress and the Coping Process. New York: McGraw-Hill
Mahdavi A, Gorji MH, Gorji AH, Yazdani J, Ardebil MD. 2013. Implementing
Benson’s Relaxation Training in Hemodialysis Patients: Changes in Perceived
Stress, Anxiety, and Depression. North Am J Med Sci.