Anda di halaman 1dari 76

MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK 2
“ Intervensi Keperawatan Pada Bayi dan Anak Pemberian Kemoterapi “

OLEH :
Kelompok 10

1. Silvia Wahyuni (183310824)


2. Siti Nabila Rustam (183310825)
3. Siti Salsabila (183310826)

DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Delima, S. Kep, S.Pd. M. Kes

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES RI PADANG
2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan Makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan Makalah sebagai Tugas dari Mata kuliah Keperawatan
Anak 2.

Penulis tentu menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk Makalah ini, supaya Makalah ini
nantinya dapat menjadi Makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga Makalah ini dapat bermanfaat.Terima kasih.

Padang, 15 Oktober 2020

Kelompok 10

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………4
A. Latar Belakang…………………………………………………………………….4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………5
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………..5
BAB II TINJAUAN TEORITIS…………………………………………………..…6
A. Defenisi Kemoterapi………………………………………………………….……6
B. Tujuan Kemoterapi……………………………………………………………..….6
C. Prinsip-Prinsip Kemoterapi………………………………………………………..7
D. Klasifikasi Kemoterapi……………………………………………………….……7
E. Manfaat Kemoterapi……………………………………………………………….8
F. Tanda Gejala Setelah Kemoterapi………………………………………………....8
G. Macam-Macam Obat Kemoterapi…………………………………………………9
H. Cara Pemberian Obat Kemoterapi………………………………………………..12
I. Efek Samping Kemoterapi………………………………………………………...13
J. Web Of Caution Kemoterapi…………………………………………………...…14
K. Analisa Jurnal Kemoterapi…………………………………………………….....15
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………20
A. Kesimpulan…………………………………………………………….…..……..20
B. Saran………………………………………………………………………..…….21
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….22

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker dapat menyerang semua lapisan masyarakat tanpa mengenal status sosial,
umur,dan jenis kelamin. Tidak menutup kemungkinan anakanak, remaja dan
orang dewasa terkena serangan kanker. Pria dan wanita dapat juga teserang
penyakit yang banyak ditakuti. Kanker diketahui bisa diturunkan dari orang tua
kepada anaknya. Penyakit ini sebenarnya timbul akibat kondisi fisik yang tidak
normal, selain itu pola makan dan pola hidup yang tidak sehat juga dapat
menyebabkan kanker. Wanita lebih beresiko terkena serangan kanker, terutama
pada organ reproduksi seperti rahim, indung telur dan vagina (Mardiana, 2004).
Terdapat empat macam cara mengobati kanker yaitu pembedahan, radioterapi,
kemoterapi dan terapi hormon. Dari keempat cara tersebut, salah satunya adalah
kemoterapi.

Kemoterapi merupakan salah satu modalitas pengobatan pada kanker secara


sistemik yang sering dipilih terutama untuk mengatasi kanker stadium lanjut, local
maupun metastatis. Kemoterapi sangat penting dan dirasakan besar manfaatnya
karena bersifat sistemik mematikan/membunuh sel-sel kanker dengan cara
pemberian melalui infuse, dan sering menjadi pilihan metode efektif dalam
mengatasi kanker terutama kanker stadium lanjut local (Desen, 2008).

Teknik pemberian kemoterapi ditentukan dari jenis keganasan dan jenis obat yang
diperlukan (Adiwijono, 2006). Obat kemoterapi umumnya berupa kombinasi dari
beberapa obat yang diberikan secara bersamaan dengan jadwal yang telah
ditentukan .Selain membunuh sel kanker, obat kemoterapi juga berefek pada sel-sel
sehat yang normal, terutama yang cepat membelah atau cepat tumbuh seperti
rambut, lapisan mukosa usus dan sumsum tulang. Beberapa efek samping yang
terjadi pada kemoterapi, gangguan mual dan muntah adalah efek samping
frekuensi terbesar (Yusuf, 2007). Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi keluhan mual muntah setelah kemoterapi diantaranya adalah dengan
terapi farmakologik, yaitu dengan obat anti mual dan muntah sebelum dan sesudah
kemoterapi (premedikasi) dan non farmakologik yaitu berupa lingkungan yang

4
kondusif untuk tenang dan nyaman, pengaturan pemberian nutrisi dan relaksasi
(Abdulmuthalib, 2006).

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Konsep Teoritis Pemberian Kemoterapi pada Bayi dan Anak ?
Bagaimana Intervensi Keperawatan Pemberian Kemoterapi pada Bayi dan Anak ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Konsep Teoritis Pemberian Kemoterapi pada Bayi dan Anak
2. Mengetahui Intervensi Keperawatan Pemberian Kemoterapi pada Bayi dan
Anak

5
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Defenisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang
bertujuan untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel-sel Kanker.
Banyak obat yang digunakan dalam Kemoterapi. Kemoterapi adalah upaya untuk
membunuh sel-sel kanker dengan mengganggu fungsi reproduksi sel. Kemoterapi
merupakan cara pengobatan kanker dengan jalan memberikan zat / obat yang
mempunyai khasiat membunuh sel kanker. Kemoterapi bermanfaat untuk
menurunkan ukuran kanker sebelum operasi, merusak semua sel-sel kanker yang
tertinggal setelah operasi, dan mengobati beberapa macam kanker darah.

Kemoterapi adalah pemberian obat untuk membunuh sel kanker. Tidak seperti
radiasi atau operasi yang bersifat local, kemoterapi merupakan terapi sistemik,
yang berarti obat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mencapai sel kanker yang
telah menyebar jauh atau metastase ke tempat lain (Rasjidi, 2007). Kemoterapi
merupakan bentuk terapi utama dan pada beberapa kasus dapat menghasilkan
perbaikan yang berlangsung sampai setahun atau lebih (Handayani, 2008).
Kemoterapi adalah penggunaan zat kimia untuk perawatan penyakit. Dalam
penggunaan modernnya, istilah ini hampir merujuk secara eksklusif kepada obat
sitostatik yang digunakan untuk merawat kanker. Obat-obat anti kaker ini dapat
digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa
kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel
kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif
terhadap obat lainnya.

B. Tujuan Kemoterapi
1. Mengendalikan atau melenyapkan tumor dan untuk meringankan gejala
kanker seperti rasa sakit
2. Mencegah kemunculan kembali sel-sel kanker setelah pembedahan
3. Membunuh sel-sel kanker atau menghentikan pertumbuhan sel-sel kanker
yang masih tertinggal
4. Memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker

6
C. Prinsip-Prinsip Kemoterapi
Beberapa prinsip umum digunakan dalam menjelaskan kemoterapi. Pertama,
karena kemoterapi bekerja terbaik melawan sel dalam proses pembelahan, tumor
dengan fraksi pembelahan yang tinggi (mis., persentase besar pembelahan sel)
ditangani lebih efektif dengan kemoterapi daripada dengan fraksi pertumbuhan
yang rendah. Karena tumor dapat membesar, biasanya sedikit sel-sel yang sedang
aktif membelah, karena itu tumor yanng lebih besar mepunyai fraksi pertumbuhan
yang rendah dan juga kurang responsif terhadap kemoterapi. Sebaliknya
tumor-tumor yang lebih kecil biasanya mempunyai fraksi pertumbuahan yang
lebih tinggi dan lebih sensitif terhadap kemoterapi. Dengan kata lain kemoterapi
biasanya lebih efektif saat ada inti tumor kecil dan kurang efektif pada penyakit
lanjut bila ada inti tumor besar. Prinsip lain adalah bahwa kebanyakan agen
kemoterapeutik mengikuti urutan kinetik pertama, yang menyebabkan sebuah
persentase sel yang sulit dibunuh pada setiap pengobatan kemoterapi, bukan
jumlah pasti dari sel. Karena itu, walau tumor-tumor dengan inti sel kecil
mungkin memerlukan beberapa jenis pengobatan kemoterapi sebelum keuntungan
pengobatan sepenuhnya terealisasi.Untuk kebanyakan obat dosis tinggi, makin
besar sel yang terbunuh. Tetapi karena dosis ditingkatkan, toksisitas mulai
membatasi manfaat dari terapi dosis tunggal.

D. Klasifikasi Kemoterapi
1. Kemoterapi Induksi
Ditujukan untuk secepat mungkin mengecilkan massa tumor atau jumlah sel
kanker, contoh pada tomur ganas yang berukuran besar (Bulky Mass Tumor)
atau pada keganasan darah seperti leukemia atau limfoma, disebut juga
dengan pengobatan penyelamatan.
2. Kemoterapi Adjuvant
Ialah kemoterapi yang diberikan sesudah operasi. Kemoterapi adjuvant:
Setelah menjalani operasi untuk mengangkat organ atau bagian tubuh yang
terdapat sel kanker, mungkin masih ada beberapa sisa sel kanker yang
tertinggal yang tidak terlihat. Ketika obat-obatan kemoterapi digunakan untuk
membunuh sisa sel-sel kanker yang tak terlihat, hal ini disebut sebagai
pengobatan kemoterapi adjuvant. Pengobatan adjuvant juga dapat diberikan

7
setelah menjalani radiasi. Manfaatnya mengurangi kekambuhan local dan
mengurangi penyebaran yang akan timbul.
3. Kemoterapi Neo Adjuvant
Ialah kemoterapi yang diberikan sebelum operasi. Kemoterapi dapat
diberikan sebelum pengobatan utama dilakukan, seperti operasi atau radiasi.
Pemberian kemoterapi pertama ditujukan untuk mengecilkan besarnya ukuran
tumor dari sel-sel kanker, sehingga lebih mudah untuk diangkat ketika
menjalani operasi. Menyusutnya ukuran tumor juga memungkinkan untuk
dilakukan sebelum radiasi. Kemoterapi neoadjuvant juga dapat membunuh
deposit kecil dari sel-sel kanker yang tidak dapat dilihat saat dilakukan scan.
Manfaatnya adalah mengurangi ukuran tumor sehingga mudah dioperasi.

E. Manfaat Kemoterapi
Adapun manfaat kemoterapi adalah sebagai berikut:
1. Pengobatan
Beberapa jenis kanker dapat disembuhkan secara tuntas dengan satu jenis
Kemoterapi atau beberapa jenis Kemoterapi.
2. Kontrol
Kemoterapi ada yang bertujuan untuk menghambat perkembangan Kanker
agar tidak bertambah besar atau menyebar ke jaringan lain.
3. Mengurangi Gejala
Bila kemotarapi tidak dapat menghilangkan Kanker, maka Kemoterapi yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala yang timbul pada penderita,
seperti meringankan rasa sakit dan memberi perasaan lebih baik serta
memperkecil ukuran Kanker pada daerah yang diserang.

F. Tanda Gejala Setelah Pemberian Kemoterapi

1. Mual
2. Muntah
3. Penurunan jumlah sel darah merah, sel darah putih, trombosit
4. Kerontokan rambut, termasuk bulu mata dan alis
5. Menimbulkan mukositis (luka pada dinding saluran cerna / rongga mulut)
6. Gangguan saraf tepi, seperti kebas dan kesemutan di jari kaki dan tangan

8
7. Gangguan pencernaan
8. Tubuh terasa lemas
9. Kulit kering dan berubah warna
10. Produksi hormon tidak stabil
11. Disfungsi Ginjal
12. Depresi sumsum tulang
13. Efek terhadap jantung dan paru

G. Macam-Macam Obat Kemoterapi.


Menurut mekanisme kerjanya,maka obat kemoterapi dapat diklasifikasikan
menjadi:
1. Alkylating Agent Obat ini bekerja dengan cara :
a. Menghambat sintesa DNA dengan menukar gugus alkali sehingga
membentuk ikatan silang DNA.
b. Mengganggu fungsi sel dengan melakukan transfer gugus alkali pada
gugus amino, karboksil, sulfhidril, atau fosfat.
c. Merupakan golongan sel spesifik non fase spesifik. Yang termasuk
golongan ini adalah:
1. Amsacrine
2. Cisplatin
3. Busulfan
4. Carboplati
5. Chlorambucil
6. Dacarbazine
7. Cyclophospamid
8. Procarbazin
9. Ifosphamid
10. Streptozocin
11. Thiotepa
12. Mephalan
2. Antibiotik
Golongan anti tumor antibiotik umumnya obat yang dihasilkan oleh suatu
mikroorganisme, yang umumnya bersifat sel non spesifik, terutama berguna

9
untuk tumor yang tumbuh lambat. Mekanisme kerja terutama dengan jalan
menghambat sintesa DNA dan RNA. Yang termasuk golongan ini:
1. Actinomicin D
2. Mithramicin
3. Bleomicin
4. Mitomicyn
5. Daunorubicin
6. Mitoxantron
7. Doxorubicin
8. Epirubicin
9. Idarubicin
3. Antimetabolit
Golongan ini menghambat sintesa asam nukleat. Beberapa antimetabolit
memiliki struktur analog dengan molekul normal sel yang diperlukan untuk
pembelahan sel, beberapa yang lain menghambat enzym yang penting untuk
pembelahan.Secara umum aktifitasnya meningkat pada sel yang membelah
cepat. Yang termasuk golongan ini:
1. Azacytidine
2. Cytarabin
3. Capecitabine
4. Fludarabin
5. Mercaptopurin
6. Fluorouracil
7. Metotrexate
8. Luekovorin
9. Mitoguazon
10. Capecitabine
4. Mitotic Spindle
Golongan obat ini berikatan dengan protein mikrotubuler sehingga
menyebabkan disolusi struktur mitotic spindle pada fase mitosis. Antara lain:
1. Plakitaxel
2. Vinorelbin
3. Docetaxel
4. Vindesine

10
5. Vinblastin
6. Vincristin
5. Topoisomerase Inhibitor
Obat ini mengganggu fungsi enzim topoisomerase sehingga menghambat
proses transkripsi dan replikasi. Macam-macamnya antara lain:
1. Irinotecan
2. Topotecan
3. Etoposit
6. Hormonal
Beberapa hormonal yang dapat digunakan dalam kemoterapi antara lain:
1. Adrenokortikosteroid
a. Prednison
b. Metilprednisolon
c. Dexametason
2. Adrenal inhibitor
a. Aminoglutethimide
b. Anastrozole
c. Letrozole
d. Mitotane
3. Androgen
4. Antiandrogen
5. LHRH
6. Progestin
7. Cytoprotektive Agents
Macam- macamnya antara lain:
1. Amifostin
2. Dexrazoxan
8. Monocronal Antibodies
Obat ini memiliki selektifitas relatif untuk jaringan tumor dan toksisitasnya
relatif rendah. Obat ini dapat menyerang sel tertentu secara langsung, dan
dapat pula digabungkan dengan zat radioaktif atau kemoterapi tertentu.
Macam - macamnya antara lain:
1. Rituximab
2. Trastuzumab

11
9. Hematopoietic Growth Factors
Obat-obat ini sering digunakan dalam kemoterapi tetapi tidak satupun yang
menunjukan peningkatan survival secara nyata. Macam-macamnya antara
lain:
1. Eritropoitin
2. Coloni stimulating factors (CSFs)
3. Platelet growth Factors

H. Cara Pemberian Obat Kemoterapi


a. Intra vena (IV)
Kebanyakan sitostatika diberikan dengan cara ini, dapat berupa bolus IV
pelan-pelan sekitar 2 menit, dapat pula per drip IV sekitar 30 – 120 menit,
atau dengan continous drip sekitar 24 jam dengan infusion pump upaya
lebih akurat tetesannya.
b. Intra tekal (IT)
Diberikan ke dalam canalis medulla spinalis untuk memusnahkan tumor
dalam cairan otak (liquor cerebrospinalis) antara lain MTX, Ara.C.
c. Radiosensitizer
Yaitu jenis kemoterapi yang diberikan sebelum radiasi, tujuannya untuk
memperkuat efek radiasi, jenis obat untukl kemoterapi ini antara lain
Fluoruoracil, Cisplastin, Taxol, Taxotere, Hydrea.
d. Oral
Pemberian per oral biasanya adalah obat Leukeran, Alkeran, Myleran,
Natulan, Puri-netol, hydrea, Tegafur, Xeloda, Gleevec.
e. Subkutan dan intramuskular
Pemberian sub kutan sudah sangat jarang dilakukan, biasanya adalah
L-Asparaginase, hal ini sering dihindari karena resiko syok anafilaksis.
Pemberian per IM juga sudah jarang dilakukan, biasanya pemberian
Bleomycin.
f. Topikal
g. Intra arterial
h. Intracavity
i. Intraperitoneal/Intrapleural

12
Intraperitoneal diberikan bila produksi cairan acites hemoragis yang banyak
pada kanker ganas intra-abdomen, antara lain Cisplastin. Pemberian
intrapleural yaitu diberikan kedalam cavum pleuralis untuk memusnahkan
sel-sel kanker dalam cairan pleura atau untuk mengehntikan produksi efusi
pleura hemoragis yang amat banyak , contohnya Bleocin.

I. Efek Samping Kemoterapi Terbagi Atas :


1. Efek samping segera terjadi (Immediate Side Effects) yang timbul dalam 24
jam pertama pemberian, misalnya mual dan muntah.
2. Efek samping yang awal terjadi (Early Side Effects) yang timbul dalam
beberapa hari sampai beberapa minggu kemudian, misalnya netripenia dan
stomatitis.
3. Efek samping yang terjadi belakangan (Delayed Side Effects) yang timbul
dalam beberapa hari sampai beberapa bulan, misalnya neuropati perifer,
neuropati.
4. Efek samping yang terjadi kemudian ( Late Side Effects) yang timbul dalam
beberapa bulan sampai tahun, misalnya keganasan sekunder.

Intensitas efek samping tergantung dari karakteristik obat, dosis pada setiap
pemberian, maupun dosis kumulatif, selain itu efek samping yang timbul pada
setiap penderita berbeda walaupun dengan dosis dan obat yang sama, faktor
nutrisi dan psikologis juga mempunyai pengaruh bermakna.

13
J. Web Of Caution (WOC) Pemberian Kemoterapi pada Bayi dan Anak

WOC Pemberian Kemoterapi

Proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan


untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel-sel Kanker.

Mengendalikan atau melenyapkan tumor dan untuk meringankan gejala


kanker seperti rasa sakit, Mencegah kemunculan kembali sel-sel kanker
setelah pembedahan, Memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker

Kemoterapi Induksi : Kemoterapi Adjuvant : Kemoterapi Neo Adjuvant :


Ditujukan untuk secepat Setelah menjalani operasi untuk Ialah kemoterapi yang
mungkin mengecilkan massa mengangkat organ atau bagian diberikan sebelum operasi.
tumor atau jumlah sel kanker tubuh yang terdapat sel kanker

Manfaat Pemberian Kemoterapi yaitu sebagai


Pengobatan, Kontrol, Mengurangi Gejala

Tanda Gejala Setelah Pemberian Kemoterapi : Mual Muntah,


Penurunan jumlah sel darah merah, sel darah putih, trombosit,
Kerontokan rambut, Menimbulkan mukositis (luka pada
dinding saluran cerna / rongga mulut), Gangguan pencernaan

Cara Pemberian Obat Kemoterapi :


Intra Vena, Intra Tekal, Radiosensitizer,
Oral, Subkutan, Intramuskular, Topikal.

14
K. Analisis Jurnal Pemberian Kemoterapi Menggunakan PICO

PICO merupakan suatu akronim dari kata-kata berikut:


1. P : Patient, Population, Problem
Kata-kata ini mewakili pasien, populasi, dan masalah yang diangkat dalam
karya ilmiah yang ditulis.
2. I : Intervention, Prognostic Factore, Exposure
Kata- kata ini mewakili intervensi, factor prosnostik atau paparan yang akan
diangkat dalam karya ilmiah.
3. C : Comparison (Pembanding)
Kata-kata ini mewakili perbandingan atau intervensi yang ingin
dibandingkan dengan intervensi atau paparan pada karya ilmiah yang akan
ditulis.
4. O : Outcome (Hasil)
Kata ini mewakili target apa yang ingin dicapai dari suatu penelitian
misalnya pengaruh atau perbaikan dari suatu kondisi atau penyakit tertentu

a. Judul Jurnal :
“ Pengaruh Berkumur Air Kelapa Muda Terhadap Penurunan Skor ”
Mukositis Akibat Kemoterapi Pada Anak

b. Pengarang : Gatot Suparmanto dan Setiyawan.


c. Tujuan Penelitian :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berkumur air kelapa
muda terhadap mukositis akibat kemoterapi pada pasien anak.
d. Metode Penelitian :
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan design pre dan post
test group with control. Penelitian ini dilakukan di RSUD dr. Moewardi.
e. Sampel Penelitian :
Sampel pada penelitian ini adalah 15 responden pada kelompok intervensi
dan 15 responden pada kelompok kontrol dengan menggunakan teknik simple
random sampling.

15
METODE PICO
P : Patient, Patient : 15 responden pada kelompok intervensi dan 15
Population, Problem responden pada kelompok kontrol di RSUD dr. Moewardi.
Problem : Kanker anak harus ditangani secara berkualitas
untuk mengendalikan jumlah dan penyebaran sel-sel kanker.
Menurut Hockenberry dan Wilson (2009), kemoterapi efektif
untuk menangani kanker pada anak. Selain memiliki efek
terapeutik yang mengambat pertumbuhn sel kanker,
kemoterapi juga memiliki efek samping yang berbahaya dan
memerlukan penanganan. Efek samping yang banyak
ditemukan pada anak yang mendapat kemoterapi adalah
depresi sumsung tulang, diare, kehilangan rambut,
masalahmasalah kulit, mual, muntah serta gangguan
kesehatan mulut yaitu mukositis (CCNS, 2008).

Mukositis akibat kemoterapi meyebabkan terjadinya berbagai


konsekuensi. Depkes, (2011) menyatakan bahwa anak dengan
mukositis memerlukan penyesuaian dosis kemoterapi. Hal ini
dapat memperpanjang penatalaksanaan kanker sehingga
perawatan menjadi lebih lama, meningkatkan pembiayaan
serta menurunkan kualitas hidup anak. Telah banyak tindakan
yang dilakukan untuk mengatasi efek radikal dari obat
kemoterapi tersebut, baik tindakan medis maupun tindakan
keperawatan untuk menangani mukositis.

Intervensi keperawatan penanganan mukositis diantaranya


adalah oral care yang berkualitas, pemberian agen antiseptic,
pembersihan mulut (multiagen mouthwashes), agen anti
inflamasi, growth factor, cytokine-like agent serta berbagai
agen lainnya (Keefe et al., 2007). Saat ini belum ada
kesepakatan mengenai intervensi yang menjadi standar untuk
menangani mukositis akibat kemoterapi dan belum ditemukan
zat yang dapat menangani mukositis pada pasien kanker

16
(Motta lebnejad, 2008).

I : Intervention, Intervensi yang di berikan pada jurnal penelitian ini adalah :


Prognostic Factore, Pemberian air kelapa muda untuk berkumur Terhadap
Exposure Penurunan Skor Mukositis Akibat Kemoterapi Pada Anak.
Pemberian perlakuan dengan berkumur air kelapa muda
dilakukan pada kelompok intervensi yaitu mendapatkan
tindakan keperawatan oral care dan berkumur air kelapa
muda. Setiap hari dilakukan 3 kali oral care, yaitu setiap 30
(tiga puluh) menit setelah makan pagi, makan siang, makan
malam, selama 5 hari. Analisis data menggunakan uji paired
t-test dengan tingkat kepercayaan 95% untuk mengetahui
pengaruh berkumur air kelapa muda terhadap skor mukositis
pasien anak dengan kemoterapi.

Salah satu sumber makanan yang termasuk nutraceutical


adalah air kelapa muda. Penelitianpenelitian yang sudah ada
menyebutkan bahwa berkumur air kelapa muda berpengaruh
dalam menurunkan pH saliva. Saliva merupakan salah satu
faktor yang berperan dalam mengontrol pH rongga mulut
terhadap pertumbuhan parasit atau mikroba (Mokoginta,
Wowor, Juliatri, 2017). Air kelapa muda mempunyai efek
terapeutik yaitu sebagai minuman steril, yang mengandung
antioksidan, anti inflamasi dan mineral berupa kalium,
natrium, kalsium serta vitamin C yang menyebabkan bakteri
sulit hidup pada kondisi ini (Runtunuwu, 2011; Yanwar dan
Sutrisno, 2015).

C : Comparison Penelitian pembandig pada jurnal penelitian ini sejalan dengan


(Pembanding) penelitian yang dilakukan oleh :

Penelitian yang dilakukan oleh Farapti dan Sayogo (2014)


tentang pengaruh berkumur air kelapa muda terhadap pH

17
saliva menunjukan bahwa air kelapa muda berpengaruh
dalam menurunkan pH saliva. Kandungan ion-ion, pH, total
padatan atau asam laktat serta reduksi yang terdiri dari
fruktosa, glukosa dan asam amino dapat mempengaruhi
perubahan pH saliva. Semakin banyak sumber asam-asam
organik yang dapat dimetabolisme, maka semakin menurun
pH saliva (Farapti dan Sayogo, 2014; Yanwar dan Sutrisno,
2015).

Menurut Waworuntu, (2014), Ionisasi asam laktat pada air


kelapa muda akan menghasilkan ion H+ sehingga
menyebabkan suasana asam pada saliva yaitu menurunkan pH
dan mikrobakteri sulit untuk berkembang pada kondisi ini.
Kandungan air yang cukup tinggi dalam buah kelapa dapat
membantu fungsi saliva dalam pembersihan mulut, sehingga
menghambat perkembangbiakan bakteri merugikan dalam
rongga mulut, serta vitamin C merupakan zat alami anti
inflamasi, antibodi dalam menurunkan nyeri, memperbaiki sel
atau jaringan yang rusak. Efek teraupetik air kelapa muda
dikarenakan air kelapa muda mengandung air kelapa sekitar
300ml dengan pH berkisar 3.5-6.1 yang menyebabkan bakteri
sulit hidup pada kondisi ini (Farapti dan Sayogo, 2014) serta
mengandung gula reduksi yang akan mengkonversi glukosa
menjadi glucose acid yang menghambat pertumbuhan bakteri
(Affilation, 2013).

Menurut Farapti dan Sayogo (2014), air kelapa muda


merupakan air steril, mengandung vitamin B (B1,B2, B3, B5,
B6, B7, B9) dan vitamin C serta mengandung mineral berupa
kalium, natrium, kalsium, Potasium dan magnesium.
Kandungan berbagai zat didalam air kelapa menyebabkan air
kelapa muda mampu mencegah cedera sel akibat agen
kemoterapi, menjaga keutuhan mukosa mulut, membunuh

18
mikroba, mempercepat pertumbuhan sel mukosa baru dan
meningkatkan proses penyembuhan mukositis.

O : Outcome (Hasil) Hasil Penelitian dan Kesimpulan dari jurnal penelitian ini
adalah :

1. Gambaran responden pasien kanker yang menjalani


kemoterapi sebagian besar memiliki riwayat pengalaman
mukositis sebelumnya (73%), hampir seluruh responden
(70%) mendapatkan kemoterapi dengan tingkat
mukosatoksik tinggi, sebagian besar responden memiliki
status gizi normal (53.3%).
2. Terdapat perbedaan yang signifikan antara skor mukositis
sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok
intervensi (p=0,002) dan kelompok kontrol (p=0,000).
3. Terdapat pengaruh berkumur air kelapa muda terhadap
mukositis akibat kemoterapi pada anak yaitu pada
kelompok intervensi terdapat penurunan skor mukositis
yang signifikan sebesar 0.53 sedangkan pada kelompok
kontrol terdapat peningkatan skor mukositis sebesar 3.91
(p value=0,000).

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Defenisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang
bertujuan untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel-sel Kanker.
Banyak obat yang digunakan dalam Kemoterapi. Kemoterapi adalah upaya untuk
membunuh sel-sel kanker dengan mengganggu fungsi reproduksi sel. Kemoterapi
merupakan cara pengobatan kanker dengan jalan memberikan zat / obat yang
mempunyai khasiat membunuh sel kanker. Kemoterapi bermanfaat untuk
menurunkan ukuran kanker sebelum operasi, merusak semua sel-sel kanker yang
tertinggal setelah operasi, dan mengobati beberapa macam kanker darah.

Tujuan Kemoterapi
1. Mengendalikan atau melenyapkan tumor dan untuk meringankan gejala
kanker seperti rasa sakit
2. Mencegah kemunculan kembali sel-sel kanker setelah pembedahan
3. Membunuh sel-sel kanker atau menghentikan pertumbuhan sel-sel kanker
yang masih tertinggal
4. Memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker

Manfaat Kemoterapi
Adapun manfaat kemoterapi adalah sebagai berikut:
1. Pengobatan
Beberapa jenis kanker dapat disembuhkan secara tuntas dengan satu jenis
Kemoterapi atau beberapa jenis Kemoterapi.
2. Kontrol
Kemoterapi ada yang bertujuan untuk menghambat perkembangan Kanker
agar tidak bertambah besar atau menyebar ke jaringan lain.
3. Mengurangi Gejala
Bila kemotarapi tidak dapat menghilangkan Kanker, maka Kemoterapi yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala yang timbul pada penderita,

20
seperti meringankan rasa sakit dan memberi perasaan lebih baik serta
memperkecil ukuran Kanker pada daerah yang diserang.

B. Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Pemberian materi yang lebih mendalam dapat meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan disamping
pengarahan dan bimbingan yang senantiasa diberikan sehingga keberhasilan dalam
tugas dapat dicapai.

21
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume
2, EGC, Jakarta.
Firmansyah, M.A. (2010). Penatalaksanaan Mual Muntah yang Diinduksi Kemoterapi.
Cermin Dunia Kedokteran. 37 : 249-50.
Gunawan, Rianto Gan. 2008. Farmakologi dan Terapi (Edisi 5). Jakarta : FK UI.
Ignatavicius, D.D et al. (2006), Medical Surgical Nursing, A Nursing Process
Approach, 2nd Edition, W.B Saundres Company, Philadelphia.
Katsung, B.G. (2001). Farmakologi Dasar Dan Klinik. Ed. ke-6 ECG. Jakarta.
Moh. Anief. (2000). Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Rasjidi, I. (2007). Kemoterapi Kanker Ginekologi dalam praktik sehari-hari,
Sagung-seto. Jakarta.
Suparmanto, G. (2019). Pengaruh Berkumur Air Kelapa Muda Terhadap Penurunan
Skor Mukositis Akibat Kemoterapi Pada Anak. Profesi (Profesional Islam): Media
Publikasi Penelitian, 16(2), 20-26.

22
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id

Pengaruh Berkumur Air Kelapa Muda Terhadap Penurunan Skor Mukositis


Akibat Kemoterapi Pada Anak

Gatot Suparmanto1*, Setiyawan2


1, 2
Prodi Sarjana Keperawatan, STIKes Kusuma Husada Surakarta
*Email: stikes_kh@yahoo.com

Kata Kunci Abstrak


Air Kelapa Kemoterapi merupakan salah satu penatalaksanaan pasien kanker. Namun, obat
Muda, kemoterapi dapat merusak sel mukosa normal, menyebabkan inflamasi,
Oral Care, pembentukan lesi dan ulserasi sehingga mencetuskan cedera sel mukosa (mukositis).
Kemoterapi, Reaktivitas radikal bebas akibat kemoterapi dapat dihambat oleh sistem antioksidan
Mukositis yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan.Berkumur air kelapa muda
direkomen-dasikan dalam tindakan oral care. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh berkumur air kelapa muda terhadap mukositis akibat
kemoterapi pada pasien anak. Penelitian kuantitatif pre test post test control group
design dengan instrumen Oral Assasment Guide pada 15 responden kelompok
intervensi dan 15 responden kelompok kontrol dengan teknik simple random
sampling. Hasil uji statistik paired t-test menunjukkan terdapat penurunan yang
signifikan pada rerata skor mukositis setelah intervensi pada kelompok intervensi
(p=0.000). Peneliti menyim-pulkan berkumur air kelapa muda dalam tindakan oral
care dapat menurunkan mukositis akibat kemoterapi, sehingga diharapkan hasil
penelitian ini dapat diaplikasikan dalam protokol oral care pada anak yang
menjalani kemoterapi sebagai bagian dari penerapan ilmu komplementer.

The Effect of Gargling Young Coconut Water on Mukositis Score Due To


Chemotherapy On Pediatrie Patients
Key Words: Abstract
Young Coconut Chemotherapy is one of the management of cancer patients. However, chemotherapy
Water, drugs can damage normal mucosal cells, causing inflammation, formation of lesions
Oral Care, and ulceration, triggering mucosal cell injury (mucositis). The reactivity of free
Chemotherapy, radicals due to chemotherapy can be inhibited by an antioxidant system found in
Mukositis vegetables and fruits. Gargling young coconut water is recommended in the oral
care. The aim of this study is to determine the effect of gargling young coconut
water on mucositis due to chemotherapy on pediatric patients. This research was
quantitative research pre-test post test control group design with the Oral Assistance
Guide instrument in with 15 respondents in the intervention group and 15
respondents in the control group with simple random sampling technique. The results
of the paired t-test statistical test showed that there was a significant decrease in the
mean of mucositis score after intervention in the intervention group (p = 0.000).
Researchers concluded that gargling of young coconut water in the oral care can
reduce mucositis due to chemotherapy, so that the results of this study can be applied
in the oral care protocol for children undergoing chemotherapy as part of the
application of complementary science.

20
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id

1. PENDAHULUAN Salah satu sumber makanan yang termasuk


Kanker anak harus ditangani secara ber- nutraceutical adalah air kelapa muda. Penelitian-
kualitas untuk mengendalikan jumlah dan penye- penelitian yang sudah ada menyebutkan bahwa
baran sel-sel kanker. Menurut Hockenberry dan berkumur air kelapa muda berpengaruh dalam
Wilson (2009), kemoterapi efektif untuk mena- menurunkan pH saliva. Saliva merupakan salah
ngani kanker pada anak. Selain memiliki efek satu faktor yang berperan dalam mengontrol pH
terapeutik yang mengambat pertumbuhn sel rongga mulut terhadap pertumbuhan parasit atau
kanker, kemoterapi juga memiliki efek samping mikroba (Mokoginta, Wowor, Juliatri, 2017). Air
yang berbahaya dan memerlukan penanganan. kelapa muda mempunyai efek terapeutik yaitu
Efek samping yang banyak ditemukan pada anak sebagai minuman steril, yang mengandung
yang mendapat kemoterapi adalah depresi sum- antioksidan, anti inflamasi dan mineral berupa
sung tulang, diare, kehilangan rambut, masalah- kalium, natrium, kalsium serta vitamin C yang
masalah kulit, mual, muntah serta gangguan menyebabkan bakteri sulit hidup pada kondisi ini
kesehatan mulut yaitu mukositis (CCNS, 2008). (Runtunuwu, 2011; Yanwar dan Sutrisno, 2015).
Mukositis akibat kemoterapi meyebabkan Berdasarkan latar belakang tersebut diatas,
terjadinya berbagai konsekuensi. Depkes, (2011) maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah
menyatakan bahwa anak dengan mukositis me- bagaimana pengaruh berkumur air kelapa muda
merlukan penyesuaian dosis kemoterapi. Hal ini terhadap mukositis akibat kemoterapi pada anak.
dapat memperpanjang penatalaksanaan kanker Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
sehingga perawatan menjadi lebih lama, mening- pengaruh berkumur air kelapa muda terhadap
katkan pembiayaan serta menurunkan kualitas mukositis akibat kemoterapi pada anak.
hidup anak.
Telah banyak tindakan yang dilakukan untuk 2. METODE
mengatasi efek radikal dari obat kemoterapi ter- Penelitian ini merupakan penelitian kuanti-
sebut, baik tindakan medis maupun tindakan tatif dengan design pre dan post test group with
keperawatan untuk menangani mukositis. Inter- control. Penelitian ini dilakukan di RSUD dr.
vensi keperawatan penanganan mukositis dian- Moewardi. Sampel pada penelitian ini adalah 15
taranya adalah oral care yang berkualitas, pem- responden pada kelompok intervensi dan 15
berian agen antiseptic, pembersihan mulut (multi- responden pada kelompok kontrol dengan
agen mouthwashes), agen anti inflamasi, growth menggunakan teknik simple random sampling.
factor, cytokine-like agent serta berbagai agen Instrumen yang digunakan dalam pengum-
lainnya (Keefe et al., 2007). Saat ini belum ada pulan data menggunakan ceklist data demografi
kesepakatan mengenai intervensi yang menjadi dan hasil pengukuran skor mukositis responden
standar untuk menangani mukositis akibat kemo- menggunakan kuesioner Oral Assesment Guide
terapi dan belum ditemukan zat yang dapat mena- (OAG). Pemberian perlakuan dengan berkumur
ngani mukositis pada pasien kanker (Motta- air kelapa muda dilakukan pada kelompok inter-
lebnejad, 2008). vensi yaitu mendapatkan tindakan keperawatan
Berdasarkan literatur yang telah dipelajari oral care dan berkumur air kelapa muda. Setiap
menyebutkan bahwa efek radikal bebas akibat hari dilakukan 3 kali oral care, yaitu setiap 30
kemoterapi dapat dihambat oleh sistem antioksi- (tiga puluh) menit setelah makan pagi, makan
dan yang dapat diperoleh melalui sayuran dan siang, makan malam, selama 5 hari. Analisis data
buah-buahan yang mengandung antioksidan menggunakan uji paired t-test dengan tingkat
tinggi. Penggunaan makanan dan nutraceutical kepercayaan 95% untuk mengetahui pengaruh
merupakan salah satu terapi komplementer dan berkumur air kelapa muda terhadap skor muko-
sesuai dengan teori keperawatan Florence Nigti- sitis pasien anak dengan kemoterapi.
ngale. Dalam konsep nutraceutical diyakini
bahwa makanan atau bagian dari makanan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
memberikan manfaat bagi kesehatan dan dapat 3.1 Analisis Univariat
digunakan sebagai obat, termasuk sebagai pen- Hasil analisis univariat karakteristik respon-
cegahan terhadap penyakit (Nursing, 2006). den mendiskripsikan karakteristik masing-masing
variabel yang diteliti yaitu pengalaman mukositis

21
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id

sebelumnya, jenis kemoterapi, status gizi dan bahan dalam sel-sel epitel mukosa oral akibat
skor mukositis sebelum dan setelah intervensi kemoterapi. Setelah fase penyembuhan, mukosa
adalah sebagai berikut: oral kembali terlihat normal tetapi lingkungan
mukosa secara signifikan telah berubah. Angio-
Tabel 1. Distribusi Responden (n1-n2: 15) genesis terus berlanjut setelah fase penyembuhan.
Variabel Kontrol Intervensi Total
Menurut Dodd et al., (2008) pasien akan memi-
f % f % f % liki risiko untuk mengalami mukositis berulang
Pengalaman saat pasien mendapatkan kemoterapi berikutnya.
Mukositis 10 66.7 12 80 22 73
Ada riwayat 5 33.3 3 20 8 27
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa
Tidak ada secara keseluruhan hampir seluruh responden
riwayat atau sejumlah 21 orang (70%) mendapatkan
Jenis
Kemoterapi 4 6.7 5 33.3 9 30 kemoterapi dengan tingkat mukosatoksik tinggi.
Mukosatoksi 11 93.3 10 66.7 21 70 Menurut Harris et al., (2008), kemoterapi anti
k sedang kanker akan menyebabkan sel kanker serta
Mukosatoksi
k tinggi beberapa jenis sel sehat yang juga sedang mem-
Status Gizi belah atau tumbuh mengalami kerusakan. Namun
Normal 8 53.3 8 53.3 16 53.3 sel kanker akan mengalami kerusakan lebih parah
Tidak 7 46.7 7 46.7 14 46.7
Normal dibanding kerusakan pada sel sehat. Setelah
beberapa periode 1-3 minggu sel sehat pulih dan
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Skor sel kanker juga akan pulih kembali namun
Mukositis Sebelum Intervensi (n1-n2: 15) mengalami kerusakan, sehingga atas dasar inilah
obat anti kanker dipergunakan. Mencegah keru-
Variabel Mean SD Min-Mak 95% CI
Skor sakan permanent dari sel sehat, maka obat kanker
Mukositis 8.80 0.62 8 – 10 8.55 – 9.09 tidak bisa diberikan sekaligus tetapi dapat diberi-
- Intervensi 8.91 0.64 8 – 10 8.65 – 9.20
- Kontrol
kan selama 4-8 siklus. Hal ini dimaksud untuk
memulihkan sel sehat. Diantara sel sehat yang
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Skor terkena akibat obat kemoterapi adalah sel
Mukositis Setelah Intervensi (n1-n2: 15) mukosa, namun sel-sel tersebut akan mengalami
perbaikan (recovery). Proses perbaikan sel
Variabel Mean SD Min- 95% CI
Mak
mukosa tergantung dari jenis obat kemoterapi
Skor yang digunakan, biasanya 14 hari setelah pem-
Mukositis 8.27 0.54 8–9 8.20 – 8.62 berian obat kemoterapi tergantung jenis obat.
- Intervensi 12.82 1.46 11 – 16 12.12 – 13.31
- Kontrol
Distribusi responden berdasarkan status gizi,
secara keseluruhan sebagian besar dari responden
Pada tabel 1. menunjukkan bahwa hampir memiliki status gizi yang normal (53.3%). Menu-
seluruh responden pada kelompok intervensi rut uji homogenitas, kategori status gizi pada
maupun kelompok kontrol memiliki riwayat kelompok kontrol dan kelompok intervensi
pengalaman mukositis pada kemoterapi sebe- setara, dimana secara keseluruhan, sebagian besar
lumnya, yaitu masing-masing 66.7% dan 80 %. responden memiliki status gizi normal. Hal ini
Menurut Cancer Care Nova Stovia atau membuktikan bahwa status gizi sebagai variabel
CCNS (2008), mukositis dapat terjadi pada 45- potensial perancu telah dapat dikontrol, sehingga
80% pasien yang menjalani kemoterapi. Menurut perbedaan yang bermakna pada skor mukositis
Sutrisno, Dharmayuda & Ren (2010); Motta- antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi
lebnejad et al., (2008) menyatakan bahwa 30- tidak dipengaruhi status gizi.
70% pasien yang mendapatkan kemoterapi akan Berbagai penelitian telah melaporkan hasil
mengalami mukositis pada setiap siklus kemo- penelitian yang berbeda-beda terkait dengan
terapi, sedangkan pada pasien yang menjalani status gizi dan hubungannya dengan terjadinya
transplantasi sumsum tulang 90%-nya akan mukositis. Pasien dengan BMI yang tinggi seperti
mengalami mukositis. Hal tersebut terjadi karena pada pasien dengan gizi normal atau gizi lebih
secara mikroskopis lingkungan flora normal di justru lebih berpotensi mendapatkan mukositis
mukosa oral berubah dan terjadi berbagai peru- karena dosis obat kemoterapi yang diterima lebih

22
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id

banyak dari pasien dengan BMI yang rendah Tabel 4. Analisis Uji Normalitas Data Skor
seperti pasien yang kurus atau sangat kurus. Hal Mukositis Sebelum dan Setelah Intervensi
tersebut terjadi karena pada BMI tinggi, rasio (n1-n2: 15)
jaringan adiposa dan berat badan tubuh akan Variabel Intervensi Kontrol pValue
meningkat. Hal itu akan mempengaruhi distribusi Skor mukoitis mean: 8.80 mean: 8.91 0.402
obat kemoterapi dan farmakokinetiknya. sebelum mean: 8.27 mean: 12.82 0.883
Skor mukoitis
Menurut CCNS (2008) menyatakan bahwa setelah
pasien dengan status gizi buruk biasanya akan
mendapatkan mukositis yang lebih berat karena Tabel 5. Analisis Perbedaan Rata-rata Skor
sistem imun yang tidak bekerja optimal dan Mukositis Sebelum dan Setelah Intervensi Pada
kurangnya zat gizi yang diperlukan untuk pe- Kelompok Intervensi dan Kontrol (n1-n2: 15)
nyembuhan mukositis. Mukositis pasca kemo-
Variabel Kelompok n Mean SD pValue
terapi dapat terjadi baik pada pasien dengan gizi Skor
normal, gizi kurang atau gizi lebih. Mukusitis Intervensi 15 8.80 0.62 0.002
Hasil skor mukositis sebelum intervensi di- - Sebelum 15 8.27 0.54
- Setelah
dapatkan bahwa rata-rata skor mukositis sebelum
intervensi pada pasien kanker yang menjalani - Sebelum Kontrol 15 8.91 0.64 0.000
- Setelah 15 12.82 1.46
kemoterapi pada kelompok intervensi 8.80
dengan standar deviasi 0.62. Sedangkan hasil
analisis data pada kelompok kontrol didapatkan Tabel 6. Analisis Perbedaan Rata-rata Skor
bahwa rata-rata skor mukositis sebelum inter- Mukositis Setelah Intervensi Pada Kelompok
vensi pasien kanker yang menjalani kemoterapi Intervensi dan Kelompok Kontrol (n1-n2: 15)
8.91 dengan standar deviasi 0.64. Menurut Dodd, Variabel Kelompok n Mean SD pValue
(2014) mengkategorikan hasil OAG dalam dua Skor Intervensi 15 8.27 0.54 0.000
Mukositis
kategori yaitu tidak mukositis (normal) jika skor Kontrol 15 12.82 1.46
OAG <10 dan mukositis jika skor OAG ≥10.
Oleh sebab itu, secara umum hasil skor oral Berdasarkan hasil uji normalitas data di-
assessment guide (OAG) sebelum intervensi pada dapatkan bahwa skor mukositis sebelum dan
penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh res- setelah intervensi pada kedua kelompok ber-
ponden termasuk dalam kategori normal/tidak distribusi normal, dengan nilai p value > 0.05.
mukositis (skor <10). Hasil analisis rata-rata skor mukositis sebelum
Hasil skor mukositis setelah intervensi data dan setelah intervensi dapat disimpulkan bahwa
didapatkan bahwa rata-rata skor mukositis sebe- terdapat perbedaan yang signifikan antara skor
lum intervensi pada pasien kanker yang men- mukositis sebelum dan setelah intervensi pada
jalani kemoterapi pada kelompok intervensi 8.27 kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Skor
dengan standar deviasi 0.54. Sedangkan hasil mukositis setelah intervensi pada kelompok
analisis data pada kelompok kontrol didapatkan intervensi menunjukkan nilai rata-rata yang lebih
bahwa rata-rata skor mukositis sebelum inter- rendah dibandingkan dengan skor mukositis
vensi pasien kanker yang menjalani kemoterapi sebelumnya, dengan selisih sebesar -0.53, se-
12.82 dengan standar deviasi 1.46. dangkan pada kelompok kontrol skor mukositis
setelah kemoterapi menunjukkan skor yang lebih
3.2 Analisis Bivariat tinggi dibandingkan dengan skor sebelum kemo-
Berikut ini adalah tabel uji normalitas data terapi sebesar 3.91.
setiap variabel dan hasil analisis perbedaan rata- Hasil ini menunjukkan bahwa intervensi
rata skor mukositis sebelum dan setelah inter- oral care dengan berkumur air kelapa muda
vensi pada kelompok kontrol dan intervensi: memberikan hasil yang signifikan terhadap skor
mukositis pada anak pasca kemoterapi. Penelitian
Mokoginta et al., (2017) menyimpulkan bahwa
berkumur air kelapa terbukti efektif untuk
menurunkan pH saliva serta mengurangi
mukositis. Menurut peneliti, hal ini terjadi karena

23
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id

air kelapa memiliki berbagai zat yang sangat inflamasi, antibodi dalam menurunkan nyeri,
berguna untuk mengurangi mukositis dan memperbaiki sel atau jaringan yang rusak.
mempercepat penyembuhan mukositis. Pada anak Efek teraupetik air kelapa muda dikarenakan
yang mendapatkan intervensi, dengan ber-kumur air kelapa muda mengandung air kelapa sekitar
air kelapa muda selama 5 hari maka anak akan 300ml dengan pH berkisar 3.5-6.1 yang menye-
mendapatkan protocol oral care alami yang babkan bakteri sulit hidup pada kondisi ini
berfungsi sebagai agen topical, larutan kumur, (Farapti dan Sayogo, 2014) serta mengandung
agen stimulasi pertumbuhan jaringan, agen anti- gula reduksi yang akan mengkonversi glukosa
inflamasi, agen anti septic dan pelindung mu- menjadi glucose acid yang menghambat pertum-
kosa. Hal ini kemungkinan menyebabkan efek buhan bakteri (Affilation, 2013). Menurut Farapti
berkumur air kelapa muda secara statistik sangat dan Sayogo (2014), air kelapa muda merupakan
signifikan untuk menurunkan efek kemoterapi air steril, mengandung vitamin B (B1,B2, B3, B5,
berupa mukositis. Air kelapa muda merupakan B6, B7, B9) dan vitamin C serta mengandung
salah satu bahan makanan atau minuman yang mineral berupa kalium, natrium, kalsium, Pota-
mengandung zat-zat yang diharapkan mampu sium dan magnesium. Kandungan berbagai zat
mencegah mukositis, sehingga dapat mengatasi didalam air kelapa menyebabkan air kelapa muda
efek kemoterapi tersebut (NHS Foundation Trust, mampu mencegah cedera sel akibat agen kemo-
2010; Yanwar dan Sutrisno, 2015). terapi, menjaga keutuhan mukosa mulut, mem-
Air kelapa muda mempunyai efek terapeutik bunuh mikroba, mempercepat pertumbuhan sel
yaitu sebagai minuman steril, yang mengandung mukosa baru dan meningkatkan proses penyem-
antioksidan, anti inflamasi dan mineral berupa buhan mukositis.
kalium, natrium, kalsium serta vitamin C dengan
pH 5.5 (asam) (Runtunuwu, 2011; Yanwar dan 4. SIMPULAN
Sutrisno, 2015). Air kelapa muda merupakan Gambaran responden pasien kanker yang
salah satu bahan makanan atau minuman yang menjalani kemoterapi sebagian besar memiliki
mengandung zat-zat yang diharapkan mampu riwayat pengalaman mukositis sebelumnya
mencegah mukositis, sehingga dapat mengatasi (73%), hampir seluruh responden (70%) men-
efek kemoterapi tersebut. dapatkan kemoterapi dengan tingkat muko-
Penelitian yang dilakukan oleh Farapti dan satoksik tinggi, sebagian besar responden me-
Sayogo (2014) tentang pengaruh berkumur air miliki status gizi normal (53.3%).
kelapa muda terhadap pH saliva menunjukan Terdapat perbedaan yang signifikan antara
bahwa air kelapa muda berpengaruh dalam skor mukositis sebelum dan sesudah intervensi
menurunkan pH saliva. Kandungan ion-ion, pH, pada kelompok intervensi (p=0,002) dan kelom-
total padatan atau asam laktat serta reduksi yang pok kontrol (p=0,000).
terdiri dari fruktosa, glukosa dan asam amino Terdapat pengaruh berkumur air kelapa
dapat mempengaruhi perubahan pH saliva. muda terhadap mukositis akibat kemoterapi pada
Semakin banyak sumber asam-asam organik anak yaitu pada kelompok intervensi terdapat
yang dapat dimetabolisme, maka semakin penurunan skor mukositis yang signifikan sebesar
menurun pH saliva (Farapti dan Sayogo, 2014; 0.53 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat
Yanwar dan Sutrisno, 2015). Menurut peningkatan skor mukositis sebesar 3.91 (p
Waworuntu, (2014), Ionisasi asam laktat pada air value=0,000).
kelapa muda akan menghasilkan ion H+ sehingga
menyebabkan suasana asam pada saliva yaitu 5. SARAN
menurunkan pH dan mikrobakteri sulit untuk Mempertimbangkan hasil penelitian ini
merkembang pada kondisi ini. sebagai rujukan untuk merancang atau memo-
Kandungan air yang cukup tinggi dalam difikasi standar asuhan keperawatan pada anak
buah kelapa dapat membantu fungsi saliva dalam dengan penyakit kanker dalam intervensi
pembersihan mulut, sehingga menghambat per- keperawatan berupa program/protokol oral care
kembangbiakan bakteri merugikan dalam rongga pada anak selama anak menjalani program
mulut, serta vitamin C merupakan zat alami anti kemoterapi di rumah sakit.

24
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id

Mengintegrasikan materi tentang terapi Harris, J.D., Eilers, J., Harriman, A., Cashavelly,
komplementer dan terapi non-farmakologis dari B., & Maxwell, C. (2008). Putting
berbagai hasil penelitian yang telah diterapkan evidence into practice: Evidance based
dan terbukti efektif dalam menangani mukositis intervention for the management of oral
akibat kemoterapi pada anak dalam kurikulum mucositis. Clinical Journal of Oncology
sarjana keperawatan. Nursing. 12(1): 141-147
Mengadakan kerjasama dan membangun
koordinasi yang baik antara institusi pendidikan Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2009).
keperawatan dengan institusi pelayanan kese- Antiproliferative effect and of its
hatan, serta industri terkait untuk mengembang- polyphenols: a review. Journal of
kan penerapan hasil penelitian terkait intervensi Biomedicine and Biotechnology. 9:1-13.
keperawatan oral care dengan menggunakan Keefe, D.M., Schubert, M.M., Elting, L.S., Sonis,
agen-agen yang terbukti efektif sesuai dengan S.T., Epstein, J.B., Raber-Durlacer, J.,
hasil-hasil penelitian untuk menangani mukositis Migliorati, C.A. (2007). Update clinical
akibat kemoterapi pada anak sebagai produk practices guidlines for the prevention and
inovasi kampus. treatment of mucositis. American Cancer
Society. 109(5): 24-73.
6. REFERENSI
Mokoginta, Z.P., Wowor, V.N.S., Juliatri. (2017).
Affilation. (2013). The effect of coconut water on Pengaruh berkumur air kelapa muda
the salivary pH of the oral cavity among terhadap pH saliva. Pharmacon Jurnal
the selected Dentistry student of Cebu Ilmiah Farmasi. 6 (1). Universitas
Doctors‟ University with induced acidity Samratulangi.
method AY 2012-2013. Thesis. Mandue:
Mottalebnejad, M., Akram, S., Moghadamina.,
Cebu Doctors‟ University. 2013.p.1
Moulana, Z., & Omidi, S. (2008). The
Cancer Care Nova Stovia. (2008). Best practice effect of topical application of pure
guidelines for the management of oral honey on radiation-induced mucositis.
complication from cancer therapy. The Journal of Contemporary Dental
California: Nova Stovia Goverment. Pratice.
Diperoleh melalui www.cancercare.ns.ca
NHS Foundation Trust. (2010). Children‟s
tanggal 13 Februari 2017.
nursing oral hygine. London: Doncaster
Depkes RI. (2011). Press release hari kanker anak and Bassetlaw Hospital Release. Diakses
sedunia. Diperoleh dari http://www.tvl. melalui www.dhb.nhs.uk tanggal 1
com/press release hari kanker anak Februari 2017.
sedunia html tanggal 26 Februari 2017.
Nursing, BC. (2006). Complementary and
Dodd, M.J. (2014). The pathogenesis and alternative health care: the role of the
characterization of oral mucositis nurse. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
associated with cancer therapy. Oncology pubmed/12943134, diperoleh tanggal 21
Nursing Forum. 31(4):5-12. Januari 2017.
Eiler, J., Berger, A.M., & Petersen, M.C. (2004). Runtunuwu, S.D. (2011). Kandungan kimia
Development, testing and application of daging dan air buah sepuluh tetua kelapa
oral assesment guide. Oncology Nursing dalam komposit. Buletin Palma. 12 (1) :
Forum. 15: 325-330. 58, 61-2.
Farapti & Sayogi, S. (2014). Air kelapa muda- Sutrisno H., Dharmayuda T.G., Ren R.A. (2010).
pengaruhnya terhadap tekanan darah. Gambaran kualitas hidup pasien kanker
Jurnal CDK-223. 41 (12). Universitas limfoma non Hodgkin yang dirawat di
Airlangga. RSUP Sanglah Denpasar (studi
pendahuluan) http://www.ojs.unud.ac.id/

25
PROFESI (Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian
2019; Volume 16; No 2.
Website: ejournal.stikespku.ac.id

index.php/jim/article/download/3952/294 Yanwar, S.E., Sutrisno, A. (2015). Minuman


4, diperoleh tanggal 13 Februari 2017. probiotik dari air kelapa muda dengan
strate bakteri asam laktat Lactobacilus
Waworuntu, A. (2014). Efektifitas permen karet
xylitol terhadap derajad keasaman saliva casol. Jurnal Pangan dan Agroindustri.
setelah mengkonsumsi minuman bersoda. 3: 913
Skripsi. Manado: Program Studi Pendi-
dikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi.

26
MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK 2

“ Intervensi Keperawatan Pada Bayi dan Anak Pemberian Desferal “

OLEH :

Kelompok 10

1. Silvia Wahyuni (183310824)


2. Siti Nabila Rustam (183310825)
3. Siti Salsabila (183310826)

DOSEN PEMBIMBING :

Ns. Delima, S. Kep, S.Pd. M. Kes

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan Makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan Makalah sebagai Tugas dari Mata kuliah Keperawatan Anak 2.

Penulis tentu menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk Makalah ini, supaya Makalah ini nantinya dapat menjadi Makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga Makalah ini dapat bermanfaat.Terima kasih.

Padang, 15 Oktober 2020

Kelompok 10

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..4

A. Latar Belakang………………………………………………………………………4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………...5
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………….5

BAB II TINJAUAN TEORITIS……………………………………………….……..…6

A. Defenisi Desferal……………………………………………………..……..….……6
B. Tujuan Desferal…………………………………………………………………..…..6
C. Cara Pemberian Terapi Desferal………………………………..……………..……..6
D. Indikasi dan Kontraindikasi ………………………………………………...……….7
E. Efek Samping Pemberian Desferal……………………………………………...……7
F. Web Of Caution (WOC) Pemberian Desferal Pada Anak…………………………….….…..8

BAB III PENUTUP……………………………………………………………….……..12

A. Kesimpulan…………………………………………………………….…..….…….12
B. Saran………………………………………………………………………..….……12

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...….13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi produk
rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Penyakit thalasemia merupakan salah
satu penyakit genetik tersering di dunia. Penyakit genetic ini diakibatkan oleh
ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk
memproduksi hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007). Hemoglobin merupakan protein
kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut
oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh (McPhee & Ganong, 2010).

Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih 7% dari penduduk
dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai dengan 40%
kasus nya adalah di Asia.

Anak yang menderita thalasemia sering mengalami gangguan pertumbuhan dan


perkembangan reproduksi. Faktor yang berperan pada pasien thalasemia adalah factor
genetik dan lingkungan. Selain itu hemoglobin juga berpengaruh, bila kadar hemoglobin
dipertahankan tinggi, lebih kurang 10 /dl disertai pencegahan hemokromatosis, maka
gangguan pertumbuhan tidak terjadi (Arijanti 2008). Gangguan pertumbuhan pada
penderita thalasemia disebabkan oleh kondisi anemia dan masalah endokrin. Kondisi
anemia dan masalah endokrin ini dapat mengganggu proses pertumbuhan anak penderita
thalasemia, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pertumbuhan seperti postur
yang pendek (Mariani,2011).

Pemberian kelasi besi (desferal) dimulai setelah diberikan saat kada feritin serum ≥ 1.000
ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah 10-15 kali, dan sudah menerima darah
sebanyak 3 liter. Kelebihan beban besi akan terjad apabila penderita thalasemia dibiarkan
tidak diterapi sehingga menyebabkan morbiditas berat dan kematian usia muda.

4
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Teoritis Pemberian Desferal pada Bayi dan Anak ?


2. Bagaimana Intervensi Keperawatan Pemberian Desferal pada Bayi dan Anak ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui Konsep Teoritis Pemberian Desferal pada Bayi dan Anak


2. Mengetahui Intervensi Keperawatan Pemberian Desferal pada Bayi dan Anak

5
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Defenisi Pemberian Desferal

Desferal ( deferoxamine ) merupakan obat cair yang diberikan di bawah kulit. Biasanya
obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam “portable pump”. Pemberian
desferal merupakan salah satu penatalaksanaan dari penyakit thalasemia. Penyakit
thalasemia sendiri adalah penyakit kelainan darah yang diakibatkan oleh faktor genetika
dan menyebabkan protein yang ada di dalam sel darah merah (hemoglobin) tidak
berfungsi secara normal.

Terapi desferal merupakan pemberian obat untuk kondisi kelebihan zat besi, pada saat ini
yang paling sering digunakan yaitu desferrioxamine, yang umumnya digunakan untuk
menangani kelebihan kadar zat besi pada darah, yang dapat disebabkan oleh transfusi
darah berulang, kelainan darah seperti thalasemia atau keracunan zat besi. Desferoxamine
termasuk golongan obat iron chelators. Deferoxamine adalah obat yang bekerja dengan
mengikat zat besiberlebih pada tubuh dan membantu ginjal dan kandung empedu
membuang kelebihan zat besi.

B. Tujuan di Berikan Desferal


Tujuan diberikan terapi ini adalah untuk detoksifikasi kelebihan besi yaitu mengikat besi
yang tidak terikat transferin di plasma dan mengeluarkan besi dari tubuh serta
menurunkan/ mencegah penumpukan Fe dalam tubuh baik itu hemocromatosis
(penumpukan Fe di bawah kulit ) atau pun hemosiderosis (penumpukan Fe dalam organ).

C. Cara Pemberian Terapi Desferal


Pemberian terapi desferal pada anak
1. Dosis DFO yang diberikan pada anak ≤ 3 tahun 20 – 30 mg/kg bb/hari dengan
monitoring ketat (ES : Gangguan pertumbuhan)

6
2. Anak > tahun mendapat dosis 40-60 mg/kg bb/hari dan bila mengalalami ganggguan
jantung mendapatkan dosis 100mg/kgbb/hari.
3. Rute pemberian injeksi sub kutan menggunakan syringe pump selama 8-12 jam/1X hari
sebanyak 5 - 7 kali pemberian / minggu.
4. Jika mendapatkan dosis 60 - 100 mg/kg bb/hari maka diberikan via infus selama 24 jam
berturut- turut setiap hari (1 VIAL = 500mg dilarutkan dengan 250 ml NaCl 0.9 %)
selama 8-12 jam/1x hari.

Pemberian terapi desferasi :


1. Dilakukan pada klien dengan thalasemia yang mendapatkan transfusi darah secara rutin
(berulang).
2. Kadar Fe3 1000mg/ml.
3. Dilakukan 5 - 7 kali dalam seminggu post transfuse.
4. Tidak dilakukan pada klien dengan gagal ginjal.

D. Indikasi / Kontraindikasi

Indikasi

1. Dilakukan pada klien dengan thalasemia yang mendapatkan transfusi darah secara
rutin (berulang).
2. Kadar Fe >= 1000 mg/ml.
3. Dilakukan 4 – 7 kali dalam seminggu post transfuse.

Kontraindikasi

Tidak dilakukan pada klien dengan gagal ginjal.

E. Efek Samping Dari Pemberian Desferal

Deferoxamine adalah obat yang dapat menyebabkan efek samping, efek samping
umumnya meliputi nyeri dan pembengkakan pada area yang disuntik atau pandangan

7
yang kabur, gatal-gatal, kesulitan bernapas, pembengkakan wajah, bibir, lidah, atau
tengorokan.

Hentikan penggunaan deferoxamine dan segera hubungi dokter jika anda mengalami efek
samping serius seperti :

1. Batuk, napas tersengal atau permasalahan pernapasan lainnya


2. Jarang buang air kecil atau tidak sama sekali
3. Mengantuk, pusing, perubahan mood, meningkatnya rasa haus, kehilangan nafsu
makan, mual dan muntah
4. Pembengkakan, naiknya berat badan, sesak napas
5. Mual, sakit pada lambung atas, gatal-gatal, kehilangan napsu makan, urin keruh, tinja
bewarna pekat, sakit kuning
6. Masalah pendengaran
7. Pandangan kabur, sakit mata, atau melihat lingkaran pada cahaya
8. Kejang (convulsion)
9. Jantung berdetak cepat
10. Bibir, kulit, kuku yang kebiruan
11. Diare parah, berair dan berdarah disertai kram
12. Hidung tersumbat, demam, kemerahan atau pembengkakan di sekitar hidung dan
mata, koreng pada bagian dalam hidung
13. Nyeri pada lambung atau punggung, batuk darah
14. Mudah memar atau perdarahan, kelemahan
15. Kram kaki, masalah pada tulang atau perubahan pertumbuhan (pada anak)

Efek samping yang tidak terlalu serius dapat meliputi pemakaian deferoxamine adalah :

1. Pusing
2. flushing ( hangat, kemerahan dan perasaan geli pada wajah)
3. gatal atau ruam pada kulit
4. Mati rasa atau perih pada tubuh
5. Diare ringan, mual atau sakit perut

8
6. Urin kemerahan
7. Adanya nyeri, perih, bengkak, kemerahan, iritasi atau benjolan di area suntikan.

F. Web Of Caution (WOC) Pemberian Desferal Pada Anak

WOC Pemberian Desferal

Pemberian Desferal ( deferoxamine ) merupakan


obat cair yang diberikan di bawah kulit.

Detoksifikasi kelebihan besi yaitu mengikat besi yang tidak


terikat transferin di plasma dan mengeluarkan besi dari tubuh
serta menurunkan/ mencegah penumpukan Fe dalam tubuh

Pemberian terapi desferasi : Dilakukan pada klien dengan thalasemia


yang mendapatkan transfusi darah secara rutin (berulang), Kadar Fe3
1000mg/ml, Dilakukan 5 - 7 kali dalam seminggu post transfuse.

Kontraindikasi : Tidak dilakukan pada klien


dengan gagal ginjal.

Efek samping umum : Nyeri, pembengkakan Efek samping serius : Batuk, napas tersengal, permasalahan
pada area yang disuntik, pandangan kabur, pernapasan, Jarang buang air kecil atau tidak sama sekali,
gatal-gatal, kesulitan bernapas, pembengkakan Mengantuk, pusing, meningkatnya rasa haus, kehilangan
wajah, bibir, lidah, atau tengorokan. nafsu makan, mual muntah, Pembengkakan, naiknya berat
badan, sesak napas

9
ANALISIS JURNAL

Evaluasi penggunaan obat kelasi besi dalam menurunkan kadar ferritin pada pasien thalasemia
anak di RSUD 45 kuningan

P (patient, population, problem) Populasi : Populasi dalam penelitian ini adalah pasien
Thalasemia di RSUD 45 Kuningan, dengan sampel
Gambaran pasien atau
sebanyak 46 pasien. Dari 46 pasien yang dijadikan sampel,
karakteristik penting dari pasien.
5 orang mengalami penurunan kadar ferritin dengan baik, 8
orang mengalami penurunan di 3 bulan petama tetapi naik
kembali di 3 bulan selanjutnya, sedangkan 33 pasien
lainnya cenderung tidak mengalami penurunan kadar
ferritin.

Problem : evaluasi pengunaan obat kelasi besi dalam


menurunkan kadar ferritinin pada pasien Thalasemia anak

I (intervention, prognostic factor, Intervensi : penggunaan obat kelasi besi seperti Ferriprox (
exsposure) Deferiprone), Desferal (Deferoxamine), Exjade
(Deferaxirox). Terapi Deferaxirox dapat di pertimbangkan
Intervensi apa yang dipertimbangkan
jika pasien memiliki serum feritinin lebih besar dari 300
untuk diberikan kepada pasien atau
apa yang harus dilaakukan pada
mcg/L. selain obat-obat kelasi besi, pasien Thalasemia juga

pasien. membutuhkan suplemen asam folat 1-2 gram/hari untuk


membantu meningkatkan kadar hemoglobin, vitamin E 200-
400 IU/ hari untuk memperpanjang umrur sel darah merah
dan vitamin C 100-250 mg/ hari untuk meningkat ekskresi
zat besi

C (comparison atau control) Penelitian yang dilakukan oleh Dahlui, Hishamsah, Rahman
dan Aljunid (2009) di Malaysia menemukan bahwa kualitas
Apa yang menjadi pembanding dari
hidup pasien Thalasemia berhubungan dengan kadar
intervensi yang dipilih untuk pasien.
ferritinin, komplikasi kelebihan zat besi, dan penghasilan

10
keluarga.

O (outcome) Berdasarkan hasil pengamatan di klinik Thalasemia RSUD


45 kuningan, di peroleh kesimpulan bahwa kadar ferritinin
Apa yang ingin dicapai dengan
pada pasien Thalasemia anak setelah mendapatkan obat
intervensi: ukuran, perbaikan, atau
kelasi besi pada 46 pasien yang dijadikan sampel

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Desferal ( deferoxamine ) merupakan obat cair yang diberikan di bawah kulit. Biasanya
obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam “portable pump”. Pemberian
desferal merupakan salah satu penatalaksanaan dari penyakit thalasemia. Tujuan diberikan
terapi ini adalah untuk detoksifikasi kelebihan besi yaitu mengikat besi yang tidak terikat
transferin di plasma dan mengeluarkan besi dari tubuh serta menurunkan/ mencegah
penumpukan Fe dalam tubuh baik itu hemocromatosis (penumpukan Fe di bawah kulit )
atau pun hemosiderosis (penumpukan Fe dalam organ).

Deferoxamine adalah obat yang dapat menyebabkan efek samping, efek samping
umumnya meliputi nyeri dan pembengkakan pada area yang disuntik atau pandangan
yang kabur, gatal-gatal, kesulitan bernapas, pembengkakan wajah, bibir, lidah, atau
tengorokan.

B. Saran

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat
berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Pemberian materi yang lebih
mendalam dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mahasiswa dalam
menyelesaikan tugas yang diberikan disamping pengarahan dan bimbingan yang
senantiasa diberikan sehingga keberhasilan dalam tugas dapat dicapai.

12
DAFTAR PUSTAKA

Kyle, T., & Carman, S. (2014). Buku Praktik Keperawatan Pediari. Jakarta : EGC

Safitri, R., Ernawaty, J., & Karim, D. (2015). HUBUNGAN KEPATUHAN TRANFUSI
DAN KONSUMSI KELASI BESI TERHADAP PERTUMBUHAN ANAK DENGAN
THALASEMI. JOM, II, 1474 – 1483.

13
Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 5, No. 1 Januari 2020

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT KELASI BESI DALAM MENURUNKAN


KADAR FERRITIN PADA PASIEN THALASEMIA ANAK DI RSUD 45
KUNINGAN
Cece Supriatna, Bambang Karsidin Indriani dan Ratih Akbari
Prodi Profesi Apoteker dan Prodi Sarjana Farmasi STF YPIB Cirebon
Email: cecesupriatna72@gmail.com, bambangkarsidin@yahoo.co.id dan
rthindriani@gmail.com

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kadar ferritin pada pasien
Thalasemia anak di RSUD 45 Kuningan saat pertama kali didiagnosa menderita
Thalasemia dan mengetahui ada atau tidaknya penurunan kadar ferritin setelah
pasien diberikan terapi obat kelasi besi. Populasi yang digunakan adalah pasien
Thalasemia di RSUD 45 Kuningan, dengan sampel sebanyak 46 pasien. Setelah
melakukan penelitian, pengolahan data dan wawancara diperoleh hasil bahwa
kadar ferritin pasien Thalasemia anak ketika pertama kali didiagnosa menderita
Thalasemia adalah >500 mcg/L, dari 46 pasien yang dijadikan sampel, 5 orang
mengalami penurunan kadar ferritin dengan baik, 8 orang mengalami penurunan
di 3 bulan pertama tetapi naik kembali di 3 bulan selanjutnya, sedangkan 33 pasien
lainnya cenderung tidak mengalami penurunan kadar ferritin. Hasil penelitian
tersebut semoga menjadi perhatian bagi semua bagian yang terkait agar tujuan
pengobatan pada pasien Thalasemia anak di RSUD 45 Kuningan bisa tercapai.

Kata kunci: Kadar Ferritin, Obat Kelasi Besi, Thalasemia

Pendahuluan
Pengaruh era globalisasi di segala bidang, perkembangan teknologi dan industri
mengakibatkan perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat serta situasi
lingkungan, seperti perubahan terhadap pola konsumsi makanan yang serba instan, serta
perkembangan dunia teknologi dan komunikasi yang semakin meninggi membuat
manusia seakan enggan untuk bergerak dan berolahraga (Subandi, 2017).
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh
defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Susanto & Suryadi, 2010). Penyakit
thalasemia merupakan salah satu penyakit genetik terbanyak di dunia. Penyakit genetik
ini diakibatkan oleh ketidak mampuan sumsum tulang membentuk protein yang
dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Mandleco & Potts, 2007) Hemoglobin
merupakan protein kaya zat besi yang berada didalam sel darah merah yang berfungsi
untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh.
Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih 7% dari
penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai
dengan 40% adalah di Asia. Gejala awal yang muncul pada penderita thalasemia antara

28
Evaluasi Penggunaan Obat Kelasi Besi dalam Menurunkan Kadar Ferritin

lain pucat, lemas, dan tidak nafsu makan (Swayze, Hoffman, Stefanchik, Goldin, &
Nobis, 2003). Pada kasus yang lebih berat pasien thalasemia menunjukkan gejala klinis
berupa hepatosplenomegali, kerapuhan, penipisan tulang dan anemia. Anemia pada
pasien thalasemia terjadi akibat gangguan produksi hemoglobin.
Gejala anemia pada anak thalasemia sudah dapat terlihat pada usia kurang dari 1
tahun. Derajat anemia yang terjadi dapat bervariasi dari ringan sampai berat. Anemia
merupakan masalah utama pada thalasemia dan dapat diatasi dengan memberikan
transfusi darah. Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan kadar hemoglobin 9-
10 g / dl (Rahayu, 2012) Akan tetapi pemberian transfusi darah secara terus menerus
akan menyebabkan terjadinya penumpukan besi pada jaringan parenkim hati dan
disertai dengan serum besi dan ferritin yang tinggi.
Ferritin merupakan protein dalam tubuh yang mengikat zat besi. Sebagian besar
zat besi yang tersimpan dalam tubuh terikat dengan protein tersebut. Zat besi bebas
bersifat toksik atau berbahaya bagi sel, tubuh memiliki mekanisme perlindungan untuk
mengikat zat besi bebas tersebut. Di dalam sel, zat besi disimpan dalam bentuk ikatan
dengan protein ferritin. Oleh karena itu, ferritin berfungsi menyimpan zat besi dalam
bentuk terlarut dan non toksik. Kadar ferritin dalam serum darah berkorelasi dengan
jumlah total simpanan zat besi tubuh sehingga pengukuran ferritin serum adalah
pemeriksaan laboratorium yang paling mudah untuk memperkirakan status simpanan
zat besi.
Darah terdiri dari beberapa beberapa bagian seperti gambar 1

Gambar 1 Komponen Darah

Kelasi besi adalah obat obatan yang ditujukan untuk mengurangi kadar zat besi
dalam darah terutama ferritin. Fungsi dari kelasi besi ini adalah menurunkan jumlah
ferritin dan serum iron dalam darah supaya tidak mengganggu kerja organ organ vital
dalam tubuh. macam-macam obat kelasi besi adalah :
1. Ferriprox (Deferiprone)
2. Desferal (Deferoxamine)
3. Exjade (Deferasirox)

Syntax Literate, Vol. 5, No. 1 Januari 2020 29


Cece Supriatna, Bambang Karsidin Indriani dan Ratih Akbari

Terapi Deferasirox dapat dipertimbang kan jika pasien memilik serum feritin
lebih besar dari 300 mcg/L. Selain obat obat kelasi besi, pasien Thalasemia juga
membutuhkan suplemen asam folat 1-2 gram/hari untuk membantu meningkatkan kadar
hemoglobin, vitamin E 200-400 IU / hari untuk memperpanjang umur sel darah merah
dan Vitamin C 100-250 mg / hari untuk meningkatkan ekskresi zat besi.

Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan
cross sectional, dimana pengukuran variabelnya dilakukan hanya satu kali. Studi cross
sectional mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor resiko) dengan variabel
tergantung (efek) dengan pengukuran sesaat. Variabel resiko serta efek tersebut diukur
menurut keadaan statusnya pada waktu observasi (Sastroasmoro & Ismael, 2010)
Dalam penelitian ini, jumlah populasi pasien thalasemia anak sebanyak 85 orang
dan batas toleransi kesalahan adalah 10%, maka sampel yang diperoleh berdasarkan
rumus Slovin adalah :

n = 45,9 atau 46 orang

Sampel sebanyak 46 pasien yaitu pasien pengguna Deferiprone / Ferriprox


sebanyak 23 orang dan pasien pengguna Deferasirox / Exjade sebanyak 23 orang dan
pemilihannya dilakukan secara random / acak. Langkah langkah pengumpulan data
dalam penelitian ini meliputi prosedur administrative dan prosedur tekhnis
(Sastroasmoro & Ismael, 2010).
1. Mencatat identitas pasien thalasemia anak yang akan dijadikan sampel penelitian,
meliputi : nama, nomor rekam medis / medical record, tanggal didiagnosa
Thalasemia, tanggal pertama melakukan transfusi darah, jenis obat kelasi besi yang
digunakan dan dosis obat.
2. Mencatat kadar ferritin kadar ferritin awal sebelum melakukan pengobatan, kadar
ferritin 3 bulan pertama setelah minum obat kelasi besi, kadar ferritin 3 bulan kedua
dan 3 bulan ketiga setelah minum obat kelasi besi.sesuai data dalam medical record
pasien.

Hasil dan Pembahasan


Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 46 pasien
Thalasemia anak, yaitu pengguna obat kelasi besi Ferriprox (Deferiprone) sebanyak 23
pasien dan pengguna obat kelasi besi Exjade (Deferasirox) sebanyak 23 pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh Dahlui, Hishamsah, Rahman dan Aljunid (2009)
di malaysia menemukan bahwa kualitas hidup pasien thalasemia berhubungan dengan
kadar feritin, komplikasi kelebihan zat besi, dan penghasilan keluarga. Penelitian yang
berkaitan dengan kualitas hidup anak thalasemia di Indonesia sudah pernah dilakukan di
semarang oleh Bulan (2009), menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas

30 Syntax Literate, Vol. 5, No. 1 Januari 2020


Evaluasi Penggunaan Obat Kelasi Besi dalam Menurunkan Kadar Ferritin

hidup anak thalasemia diantaranya adalah kadar Hb, jenis kelasi besi dan kadar feritin
dalam darah.
Berdasarkan penurunan kadar ferritin setelah menggunakan obat kelasi besi,
sampel dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu:
1. Kelompok A yaitu kelompok pasien pengguna Ferriprox (Deferiprone) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin dengan baik, sebanyak 2 pasien atau 8,70%.
2. Kelompok B yaitu kelompok pasien pengguna Ferriprox (Deferiprone) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin di 3 bulan pertama tapi kembali naik di 3
bulan kedua, sebanyak 4 pasien atau 17,40%
3. Kelompok C yaitu kelompok pasien pengguna Ferriprox (Deferiprone) yang tidak
menunjukkan penurunan kadar ferritin, sebanyak 17 pasien atau 73,90%.
4. Kelompok D yaitu kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin dengan baik.
5. Kelompok E yaitu kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin di 3 bulan pertama tapi kembali naik di 3
bulan kedua.
6. Kelompok F yaitu kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang tidak
menunjukkan penurunan kadar ferritin.

Tabel 1
Data Pasien Pengguna Obat Ferriprox (Deferiprone) kelompok A
Kadar
Jenis Kadar Feri Kadar Feri
Nama Kadar Feri
Obat Dosis tin 3 Bulan tin 3 Bulan
No Pasien / Feritin tin 3
Kelasi Obat Perta Selan jut
No. Medrec Awal Bulan
Besi ma nya
Kedua
A B E F G H I J
Ferri 3x2
1. Vira 7967 6948 6742 5501
Prox tab
Ferri 3x2
2. Shelly 2920 2192 1825 1262
Prox tab

Tabel 2
Data Pasien Pengguna Obat Ferriprox (Deferiprone) Kelompok B
Kadar Kadar Kadar
Ka
Nama Jenis Feri Feri Feri
dar
Pasien / Obat Do tin 3 tin 3 tin 3
No Feri
No. Kelasi sis Obat Bulan Bulan Bulan
tin
Medrec Besi Per Ke Selan
awal
tama dua jutnya
A B E F G H I J
Ferri
1. M. Nabil 3x2 tab 2234 2050 3310 2059
prox
Nur Afni
Ferr
2. Okta 3x2 tab 4704 2285 3921 3510
iprox
vin

Syntax Literate, Vol. 5, No. 1 Januari 2020 31


Cece Supriatna, Bambang Karsidin Indriani dan Ratih Akbari

Nizam Ferri
3. 3x1 tab 1946 948 1718 1680
Alfarizi prox
Yuda M Ferri
4. 3x2 tab 4543 1468 2005 1708
Zaemali prox

Tabel 3
Data Pasien Pengguna Obat Ferriprox (Deferiprone) Kelompok C
Ka
Ka
dar
Ka dar
Feriti
Jenis Obat Kadar dar Feri Feriti
Nama Pasien / No. Dosis n3
No Kelasi Feri tin 3 Bu n3
Medrec Obat Bu
Besi tin Awal lan Bu
lan
Pertama lan Ke
Selanj
dua
utnya
A B E F G H I J
1. Haidar Mahasin Ferriprox 3x1 cth 2829 5168 4007 4126
2. M. Dzikri Ferriprox 3x1 tab 2752 6339 2049 3873
2009
3. Novi Yanti Ferriprox 3x2 tab 1934 2657 3079
4. Iryad Firmn Syah Ferriprox 3x2 tab 3419 3876 4421 6467
5. Vera Olivia Ferriprox 3x2 tab 1330 1330 1486 1773
6. Rizky Nur Fajar Ferriprox 3x1 tab 1441 1972 1141 1427
7. Reyhan Rizky Ferriprox 3x2 tab 2412 2577 3257 3878
8. Risky Wahyuni Ferriprox 3x2 tab 3874 3801 3098 3627
9. Ratna Sumiar Ferriprox 3x2 tab 1949 1960 2164 3264
10. Rania Aqila Ferriprox 3x2 cth 1601 1794 2226 2491
11. Rafa R Ferriprox 3x1 tab 3457 4955 7129 4031
12. Rizqy Langit Ferriprox 3x2 tab 1264 1261 5097 802
13. Rafif Ferriprox 3x2 tab 1358 1226 1314 1369
14. Stephani Ferriprox 3x1 cth 7719 8040 7012 8035
15. Syifa Nadira Ferriprox 3x1 cth 5362 7590 4953 5295
16. Febriansyah Ferriprox 3x1 tab 3791 3739 3178 3463
17. Fahri Ferriprox 3x2 tab 2148 2857 3265 3630

Diagram lingkaran untuk hasil pengamatan kadar ferritin pada pasien pengguna
obat Ferriprox (Deferiprone) adalah sebagai berikut:

32 Syntax Literate, Vol. 5, No. 1 Januari 2020


Evaluasi Penggunaan Obat Kelasi Besi dalam Menurunkan Kadar Ferritin

Diagram 1
Data Pasien Thalasemia Anak Pengguna Ferriprox (Deferiprone)

8,70% 17,40%
Kelompok A

73,90% Kelompok B
Kelompok C

Tabel 4
Data Pasien Pengguna Obat Exjade (Deferasirox) Kelompok D
Kadar Kadar
Jenis Kadar Kadar
Nama Feriti Feritin
Obat Dosis Feriti Feritin 3
No Pasien / n3 3 Bulan
Kelasi Obat n Bulan
No. Medrec Bulan Selanju
Besi Awal Pertama
Kedua tnya
A B E F G H I J
1x2
1. M. Imdad D Exjade 7592 5816 5722 5678
tab
Alya 1x1
2. Exjade 1985 1760 1511 1500
Ramdhani tab
1x1
3. Alif Falih Exjade 4206 2678 1340 1210
tab

Tabel 5
Data Pasien Pengguna Obat Exjade (Deferasirox) Kelompok E
Kadar
Ka Kadar Kadar
Nama Jenis Feri
Do dar Feri Feritin 3
Pasien / Obat tin 3
No sis Feri tin 3 Bulan
No. Kelasi Bulan
Obat tin Bulan Selan
Medrec Besi Ke
awal Pertama jutnya
dua
A B E F G H I J
Dinda 1x2
1. Exjade 1655 889 2355 878
Afifah tab
1x2
2. M. Fardan Exjade 1466 1369 2081 1337,92
tab
1x2
3. M. Rizky Exjade 1354 1235 1635 1383
tab
Mawar 1x2
4. Exjade 3402 3234 4117 3907
Wulansari tab

Syntax Literate, Vol. 5, No. 1 Januari 2020 33


Cece Supriatna, Bambang Karsidin Indriani dan Ratih Akbari

Tabel 6
Data Pasien Pengguna Obat Exjade (Deferasirox) Kelompok F
Kadar
Nama Jenis Kadar Feri
Kadar Feri Kadar Feri
Pasien / Obat Dosis tin 3 Bulan
No Feritin tin 3 tin 3 Bulan
No. Kelasi Obat Selan
awal Bulan Ke dua
Medrec Besi jutnya
Pertama
A B E F G H I J
1. Al Rizky Exjade 1x2 tab 1238 1732 1861 2039
2. Aida Exjade 1x2 tab 5509 8575 7983 8140
3. Andres J Exjade 1x2 tab 6995 9701 8717 8819
Arikan
4. Exjade 1x2 tab 5027 6625 5114 4846
Zul
5. Aftar Exjade 1x1 tab 1305 1333 1429 1528
6. Ardan Exjade 1x2 tab 1322 1322 1365 2145
Bang
7. Exjade 1x2 tab 1840 2556 3242 3652
Kit
8. Candy Exjade 1x2 tab 5585 5741 5673 8998
Daffa
9. Exjade 1x2 tab 39778 4644 11921 5125
Sigit
M. Adri
10. Exjade 1x1 tab 1621 2205 2808 3228
An
M. Fahry
11. Exjade 1x2 tab 1400 1873 2005 2030
M. Azka
12. Exjade 1x2 tab 2705,98 2572,48 3806 4129
T
M. Azka
13. Exjade 1x2 tab 2559 2951 1965 3221
Q
14. Maureen Exjade 1x1 tab 8980 8836 9760 9034
M.
15. Exjade 1x2 tab 4932 4984 3766 6691
Fahmi
M.
16. Fahmi Exjade 1x2 tab 1932 2984 3766 6691
Kaisan

Diagram lingkaran untuk hasil pengamatan kadar ferritin pada pasien pengguna
obat Exjade (Deferasirox) adalah sebagai berikut:

34 Syntax Literate, Vol. 5, No. 1 Januari 2020


Evaluasi Penggunaan Obat Kelasi Besi dalam Menurunkan Kadar Ferritin

Diagram 2
Data Pasien Thalasemia Anak Pengguna Exjade (Deferasirox)

Ketiga kelompok diatas adalah:


1. Kelompok D adalah kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin dengan baik sebanyak 3 pasien atau 13%.
2. Kelompok E adalah kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin di 3 bulan pertama tapi kembali naik di 3
bulan kedua sebanyak 4 pasien atau 17,40%.
3. Kelompok F adalah kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang tidak
menunjukkan penurunan kadar ferritin sebanyak 16 pasien atau 69,60%

Obat kelasi besi yang ada di RSU 45 Kuningan ada 3 macam, yaitu Ferriprox
(Deferiprone), Exjade (Deferasirox) dan Desferal (Deferoxamine), pada penelitian ini
pengamatan hanya dilakukan pada pasien Thalasemia anak yang menggunakan obat
kelasi besi Ferriprox (Deferiprone) dan Exjade (Deferasirox). Penggunaan kelasi besi
desferal (Deferoxamine) tidak rutin digunakan setiap hari, hanya diberikan pada pasien
Thalasemia dengan kadar ferritin lebih dari 10.000 mcg/L dengan cara disuntikkan.
Dosis pemberian Desferal adalah 40 mg/ kg/ hari selama 5 hingga 7 hari setiap
minggunya. Desferal bekerja dengan mengikat zat besi dan mengubahnya menjadi
ferrioxamine yang merupakan kompleks stabil sehingga akan mudah dikeluarkan oleh
ginjal. Deferoxamine dimetabolisme di enzim plasma dan beberapa diekskresikan ke
tinja dan urin.
Standar Prosedur Operasional (SPO) di Klinik Thalasemia RSUD 45 Kuningan
untuk pasien thalasemia anak yang pertama adalah pemeriksaan Hemoglobin (Hb)
karena pasien Thalasemia yang cenderung anemis, terapi selanjutnya adalah transfusi
darah yang dilakukan minimal satu bulan sekali tergantung kondisi Hemoglobin (Hb)
pasien. Obat kelasi besi diberikan setelah pasien 5 kali mendapatkan transfusi darah,
kemudian selanjutnya rutin diberikan setiap 1 bulan sekali. Selain pemberian obat kelasi
besi yaitu Ferriprox (Deferiprone) atau Exjade (Deferasirox) biasanya diberikan juga
vitamin E dan asam folat. Sementara obat injeksi yaitu Desferal (Deferoxamine) hanya
diberikan pada pasien yang kadar ferritinnya mencapai 10.000 mcg/ L untuk mencegah
keracunan zat besi secara cepat.

Syntax Literate, Vol. 5, No. 1 Januari 2020 35


Cece Supriatna, Bambang Karsidin Indriani dan Ratih Akbari

Berdasarkan hasil wawancara dengan keluarga pasien, diperoleh informasi


mengapa sebagian besar pasien tidak mengalami penurunan ferritin atau bahkan
cenderung meningkat
1. Kepatuhan dan pengetahuan pasien dalam meminum obat, dari 46 pasien yang
dijadikan sampel, 8 orang menyatakan enggan minum obat kelasi besi karena efek
samping obat yang bisa menyebabkan mual dan pusing. 5 orang pasien merasa
pengobatan cukup dengan transfusi darah, 5 pasien lainnya menyatakan obat kelasi
besi hanya diminum saat mereka merasa lemas. Ketidak tahuan pasien terhadap
pentingnya minum obat kelasi besi menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya
tujuan pengobatan.
2. Tidak adanya dukungan dan motivasi keluarga, selain pengetahuan tentang
pentingnya minum obat kelasi besi, pasien Thalasemia juga membutuhkan perhatian
dan dukungan dari keluarga dan lingkungan untuk bisa minum obat dengan teratur.
Peran orang tua sangat dibutuhkan, terutama karena usia mereka yang masih kecil
sehingga orang tualah yang harus mengingatkan pada jam jam minum obat.
3. Ketersediaan obat yang terbatas, yaitu jumlah persediaan obat kelasi besi yang tidak
sebanding dengan jumlah pasien Thalasemia seringkali menjadi penyebab pasien
tidak bisa mendapatkan obat untuk dikonsumsi, terkadang pasien mengurangi sendiri
dosis obat yang diminum supaya jika obat di rumah sakit habis mereka masih bisa
meminumnya meskipun tidak sesuai dosis yang dianjurkan dokter. Mahalnya harga
obat membuat mereka tidak mampu untuk membeli obat sendiri saat obat tidak
tersedia di rumah sakit.
4. Aturan penyelenggara kesehatan/ BPJS yaitu harus menyertakan surat protokol terapi
setiap mengambil obat ke apotek seringkali menjadi penyebab mereka tidak bisa
mendapatkan obat yang dibutuhkan jika tidak menyertakan protokol terapi tersebut.
Protokol terapi adalah surat bukti Pengobatan awal dari rumah sakit faskes 3,
umunya pasien RSUD 45 Kuningan mendapatkan surat protokol terapi dari dokter
spesialis hematologi anak di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta atau RS Hasan
Sadikin Bandung.
Dari analisa data terlihat bahwa kelompok A dan kelompok D berhasil
mengalami penurunan ferritin dengan baik karena mereka rutin minum obat kelasi besi,
kelompok B dan kelompok E mengalami penurunan ferritin di 3 bulan pertama tetapi
kembali naik di 3 bulan selanjutnya meskipun sebagian besar menyatakan rutin minum
obat, sedangkan kelompok C dan kelompok F sama sekali tidak mengalami penurunan
ferritin bahkan cenderung naik, karena mereka tidak rutin minum obat kelasi besi
dengan berbagai alasan.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan di Klinik Thalasemia RSUD 45 Kuningan,
diperoleh kesimpulan bahwa kadar ferritin pada pasien Thalasemia anak setelah
mendapatkan obat kelasi besi pada 46 pasien yang dijadikan sampel dapat dibagi dalam
6 kelompok, yaitu:

36 Syntax Literate, Vol. 5, No. 1 Januari 2020


Evaluasi Penggunaan Obat Kelasi Besi dalam Menurunkan Kadar Ferritin

1. Kelompok A yaitu kelompok pasien pengguna Ferriprox (Deferiprone) yang


menunjukkan penurunan kadar ferritin dengan baik, sebanyak 2 pasien.
2. Kelompok B yaitu kelompok pasien pengguna Ferriprox (Deferiprone) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin di 3 bulan pertama tapi kembali naik di 3
bulan kedua, sebanyak 4 pasien.
3. Kelompok C yaitu kelompok pasien pengguna Ferriprox (Deferiprone) yang tidak
menunjukkan penurunan kadar ferritin, sebanyak 17 pasien.
4. Kelompok D yaitu kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin dengan baik sebanyak 3 pasien.
5. Kelompok E yaitu kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang
menunjukkan penurunan kadar ferritin di 3 bulan pertama tapi kembali naik di 3
bulan kedua sebanyak 4 pasien.
6. Kelompok F yaitu kelompok pasien pengguna Exjade (Deferasirox) yang tidak
menunjukkan penurunan kadar ferritin sebanyak 16 pasien.

Syntax Literate, Vol. 5, No. 1 Januari 2020 37


Cece Supriatna, Bambang Karsidin Indriani dan Ratih Akbari

BIBLIOGRAFI

Bulan, S (2009), Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak


thalasemia beta mayor, diperoleh dari http://eprint.undip.ac.id/247/
Sandra_Bulan.pdf

Dahlui, M., Hishamsah, M.I., Rahman, A., & Aljunid, S.M. (2009) Quality of life in
transfusin dependent thalasemia patients on desferrioxamine treatment, Singapore
Med J, 50 (8), 794-799. Diperoleh dari http://smj.sma.org.sg/5008/5008a8.pdf

Mandleco, B. L., & Potts, N. L. (2007). Pediatric nursing: Caring for children and their
families. Thomson Delmar Learning.

Rahayu, I. (2012). dkk. 2012. Panduan Lengkap Ayam. Penerbit. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2010). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Ed. 3
Cet. 2. Jakarta: Sagung Seto.

Subandi, E. (2017). Pengaruh Senam Diabetes Perhadap Penurunan Kadar Gula Darah
Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Upt Puskesmas Mundu Kabupaten Cirebon
Tahun 2017. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(7), 53–68.

Susanto, S., & Suryadi, D. (2010). Pengantar data mining: mengagali pengetahuan dari
bongkahan data. Penerbit Andi.

Swayze, J. S., Hoffman, D. B., Stefanchik, D., Goldin, M. A., & Nobis, R. H. (2003,
March 11). Anastomosis device having improved tissue presentation. Google
Patents.

WHO. (201), The global burden of disease up date. Diperoleh dari


www.who.int/healthinfo/global_burder_disease/GBD_report_2004update_full.pdf

38 Syntax Literate, Vol. 5, No. 1 Januari 2020


MAKALAH KEPERAWATAN ANAK II
“ Intervensi Keperawatan Pada Bayi dan Anak Pemberian Terapi Lainnya “
Hemodialisis

Kelompok 10

1. Silvia Wahyuni (183310824)


2. Siti Nabila Rustam (183310825)
3. Siti Salsabila (183310826)

DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Delima, S. Kep, S.Pd. M. Kes

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES RI PADANG
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
Makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan Makalah sebagai Tugas dari Mata
kuliah Keperawatan Anak 2.

Penulis tentu menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk
itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk Makalah
ini, supaya Makalah ini nantinya dapat menjadi Makalah yang lebih baik
lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga Makalah ini dapat bermanfaat.Terima kasih

Padang, 15 Oktober 2020

Kelompok 10
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) merupakan masalah
kesehatan serius pada anak dengan morbiditas dan mortalitas yang makin meningkat serta
menimbulkan masalah sosial ekonomi yang signifikan. Deteksi dan intervensi dini sangat
penting untuk memperlambat progresivitas penyakit dan menjaga kualitas hidup, namun
pengobatan sering terlambat karena kurangnya kesadaran masyarakat dan tenaga medis.
Pengenalan CKD dini sangat penting karena berkaitan dengan pengelolaan untuk
mempertahankan kemampuan fungsional nefron tersisa selama mungkin, sehingga
penderita dapat hidup layak dan tumbuh maksimal. Kesulitan mengenali penderita CKD
dini karena klinis CKD baru terlihat bila fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus berupa
nyeri kepala, lelah, kurang nafsu makan, muntah, poliuria, dan gangguan pertumbuhan.
Kecurigaan adanya CKD diperkuat bila ada riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Peran
tenaga kesehatan ataupun dokter umum adalah mengenali secara dini penderita CKD dan
kemudian merujuknya ke dokter spesialis anak atau ke dokter konsultan ginjal anak agar
dapat ditangani seawal mungkin, sehingga dapat mencegah atau menghambat
progresivitas kerusakan ginjal. Pelaksanaan hemodialisis pada anak membutuhkan tim
yang terdiri dari ahli ginjal, perawat, pekerja sosial, administrasi, dan ahli gizi yang
memiliki pelatihan dan keahlian dalam dialisis dan ilmu pediatri.

B. Rumusan masalah
1. Jelaskan konsep teoritis pemberian terapi hemodialisis pada anak dan bayi!
2. Jelaskan intervensi keperawatan pemberian terapi hemodialisis pada anak dan
bayi!
C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep teoritis pemberian terapi hemodialisis pada
anak dan bayi
2. Mahasiswa dapat menjelaskan intervensi keperawatan pemberian terapi
hemodialisis pada anak dan bayi!
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definsi Pemberian Terapi Hemodialisis


Hemodialisis pertama kali dilakukan pada anak-anak di era tahun 1960-an dan peritoneal
dialisis sekitar satu dekade kemudian. Di Inggris, anak dengan penyakit ginjal kronis
stadium 5 yang membutuhkan dialisis (CKD5d), hampir dua kali lebih banyak menerima
dialisis peritoneal dibandingkan hemodialisis, meskipun di seluruh dunia anak lebih
banyak menggunakan hemodialisis.
Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, dan “dialisis” artinya pemisahan
zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat sampah,
melalui proses penyaringan di luar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan
berupa mesin dialisis. Hemodialisis dikenal secara awam dengan istilah cuci darah.
Menurut para ahli pengertian hemodialisis sebagai berikut :
1. Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga
beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau End
Stage Renal Disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau
permanen. Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang
toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto,
2009).
2. Hemodialisis adalah proses dimana darah penderita dialirkan untuk dilakukan
pemisahan (penyaringan) sisa-sisa metabolisme melalui selaput permeabel dalam
ginjal buatan dengan bantuan mesin hemodialisis. Darah yang sudah bersih
dipompakan kembali kedalam tubuh selama tindakan dialisis darah pasien berada
pada suatu sisi membran didalam kompartemen darah. Dialisat pada sisi yang
lain, yaitu pada kompartemen dialisat. Dialisat dan darah tidak akan bercampur
kecuali membran bocor atau rusak (Kristiana, 2011)
3. Hemodialisis adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal
untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran
darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat,
dan zat-zat lain melalui membrane semi permeabel sebagai pemisah darah dan
cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi (Rendi, 2012)
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hemodialisis adalah
suatu terapi yang digunakan untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak dengan
menggunakan suatu alat yang dinamakan mesin hemodialisis, yang nantinya akan terjadi
proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi yang bertujuan untuk mengeluarkan sisa
metabolesme dalam tubuh.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara hemodialisis dewasa dan pediatrik. Misalnya,
pada pediatrik, aliran darah dan hemodialyzer dipilih atas dasar bahwa anak-anak dapat
mentolerir 8% (maksimum 10%) total volume darah mereka di sirkuit ekstrakorporeal
berdasarkan perkiraan volume darah total 80 mL/ kg untuk bayi dan 70 mL/ kg untuk
anak yang lebih tua. Jika sirkuit hemodialisis terkecil yang tersedia melebihi volume
kritis ini, dapat ditutupi dengan larutan albumin manusia 4,5% atau darah donor untuk
mencegah gejala hipovolemia.12,14 Karena aliran darah bayi dan anak memiliki kaliber
lebih kecil, kecepatan pompa darah cenderung lebih cepat, dengan sasaran 8–10
mL/kg/menit, dibandingkan 3-5 mL/kg/menit untuk hemodialisis dewasa. Penggulung
kepala pompa darah (blood pump head rollers) harus disesuaikan dengan ukuran aliran
dialisis, hemolisis mekanik dapat terjadi jika aliran darah dewasa digunakan dalam mesin
dialisis yang disiapkan untuk saluran pediatrik.12 Untuk menghindari hipovolemia dan
hipotensi, pedoman dari Inggris merekomendasikan volume cairan yang dibuang selama
hemodialisis tidak melebihi 5% berat badan ideal anak.

B. Tujuan
Hemodialisis adalah suatu terapi yang mempunyai beberapa tujuan. Tujuan dari
hemodialisis itu sendiri diantaranya adalah untuk menggantikan fungsi kerja ginjal untuk
proses ekskresi (membuang produk sisa metabolisme dalam tubuh, misalnya ureum,
kreatinin, dan produk sisa metabolisme lainnya), fungsi lainnya seperti menggantikan
fungsi ginjal untuk mengeluarkan cairan tubuh yang pada saat ginjal masih sehat cairan
tersebut dikeluarkan berupa urin, meningkatkan kualitas hidup pasien yang mengalami
penurunan fungsi ginjal serta mempunyai fungsi untuk menggantikan fungsi ginjal sambil
menunggu pengobatan lainnya (Suharyanto, 2009).

C. Indikasi
Keputusan memulai dialisis pada anak-anak sangat beragam, tergantung fungsi ginjal
yang tersisa, nilai-nilai laboratorium, faktorfaktor psikososial, dan waktu yang optimal
untuk pencangkokan ginjal. Di beberapa negara Eropa, hemodialisis (HD) lebih sering
dilakukan untuk anak-anak di atas usia lima tahun. HD tidak ditawarkan kepada anak-
anak kurang dari 5 tahun kecuali ada kontra-indikasi penting untuk peritoneal dialysis
(PD). Untuk anak berusia lebih tua, HD diterapkan jika berhenti dari program PD atau
jika ada alasan medis (jarang) atau psikososial (lebih sering) untuk tidak melakukan PD.
Sebaliknya, PD ditawarkan kepada anakanak terutama di bawah usia dua tahun atau
beratnya kurang dari 10 kg. Sebuah studi Eropa multisenter telah menemukan bahwa
prioritas pertama PD adalah usia anak (30%), pilihan orang tua (27%), jarak dari unit
(14%), pilihan pasien (11%), kondisi sosial (7%), dan tidak dapat melakukan satu mode
(6%). Memilih mode dialisis, baik HD maupun PD, untuk anak membutuhkan
pertimbangan, di antaranya faktor-faktor lain dari kemungkinan dampak dari salah satu
mode dialisis pada pemeliharaan sisa fungsi ginjal (RRF), karena dampaknya yang
spesifik pada hasil pasien. Meskipun tidak ada konsensus umum, peritoneal dialisis
dikaitkan dengan kurangnya risiko kehilangan RRF.13
Indikasi absolut memulai dialisis pada anak meliputi anuria, gangguan elektrolit berat,
gangguan neurologis pada gagal ginjal (misalnya ensefalopati, kejang, foot drop),
perikarditis, diatesis perdarahan, mual berulang, gejala uremia, volume berlebihan, atau
kegagalan pertumbuhan meskipun terapi medis sudah tepat, dan hipertensi. Efek samping
uremia yaitu kelelahan dan kelemahan, disfungsi kognitif, gangguan tidur, dan gejala
gastrointestinal, merupakan indikasi relatif untuk dimulainya dialisis.

D. Kontraindikasi
Menurut Wijaya, dkk (2013) menyebutkan kontra indikasi pasien yang hemodialisa
adalah sebagai berikut:
1. Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg).
2. Hipotensi (TD < 100 mmHg).
3. Adanya perdarahan hebat.
4. Demam tinggi.

E. Penatalaksanaan
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap
akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu
penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya
memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal
ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan
kehidupan pasien yang gagal ginjal (Wijayakusuma, 2008).
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk
akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien
dan bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut
secara kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan
demikian meminimalkan gejala (Smeltzer & Bare, 2001).
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif
serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep
diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien
dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan
pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan (Smeltzer & Bare, 2001).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia dan
antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini
dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik
(Smeltzer & Bare, 2001).

F. Komplikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2002), Komplikasi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal
berikut:
1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika
udara memasuki sistem vaskuler pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan
muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadi lebih besar
jika terdapat gejala uremia yang berat.
6. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
Komplikasi atau dampak Hemodialisa terhadap fisik menjadikan klien lemah dan lelah
dalam menjalani kehidupan sehari- hari terumtama setelah menjalani hemodialisis
(Farida, 2010)
G. Web of caution (WOC) Pemberian Terapi Hemodialisis pada Anak dan Bayi

Pemberian terapi hemodialisis

Hemodialisis adalah suatu terapi yang digunakan untuk


menggantikan fungsi ginjal yang rusak dengan
menggunakan suatu alat yang dinamakan mesin
hemodialisis, yang nantinya akan terjadi proses difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi yang bertujuan untuk mengeluarkan
sisa metabolesme dalam tubuh.

Tujuan :
Tujuan dari hemodialisis itu sendiri diantaranya adalah
untuk menggantikan fungsi kerja ginjal untuk proses
ekskresi

Indikasi :
1. Gagal ginjal kronis.
2. Gagal ginjal akut jika filtrasi laju glomerolus
kurang dari 5ml/menit.
3. Anuria berkepanjangan.

Kontraindikasi :
1. Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg).
2. Hipotensi (TD < 100 mmHg).
3. Adanya perdarahan hebat.
4. Demam tinggi.
5.

Komplikasi :
1. Hipotensi
2. Emboli udara
3. Kram otot
4. Mual dan muntah
ANALISA JURNAL
EFEKTIVITAS AFIRMASI POSITIF DAN STABILISASI DZIKIR VIBRASI SEBAGAI MEDIA
TERAPI PSIKOLOGIS UNTUK MENGATASI KECEMASAN PADA KOMUNITAS PASIEN
HEMODIALISA

P (patient, population, problem) Dari jumlah pasien hemodialisa di RSUD Cilacap


yaitu 22 orang, diambil 12 orang yang menjalani
Gambaran pasien atau karakteristik penting
hemodialisa pada jadwal pagi. Dari 12 orang,
dari pasien hanya 7 orang responden yang bersedia mengikuti
proses penelitian. Kriteria responden yaitu
beragama Islam, mengalami kecemasan dengan
kriteria sedang dan berat yang sebelumnya sudah
diukur dengan instrumen BAI, dapat menulis dan
membaca, pasien dalam kondisi sadar, dan bersedia
menjadi respoden penelitian dengan menyetujui
dan menandatangani informed consent
I (intervention, prognostic factor, exsposure) Penelitian ini dilakukan dengan memberikan
Intervensi apa yang dipertimbangkan untuk pelatihan pada komunitas pasien hemodialisa
diberikan kepada pasien atau apa yang harus menggunakan pendekatan cognitive behavioral
dilaakukan pada pasien.
therapy (CBT). Pendekatan CBT memadukan
teknik afirmasi positif dan dzikir vibrasi untuk
membantu pasien hemodialisa mengatasi
kecemasannya. Afirmasi positif bertujuan untuk
meminimalisir pikiran pesimis pasien karena
ketakutan usia yang tidak akan lama lagi.
Sedangkan untuk membantu mengatasi perasaan
khawatir dan gelisah, pendekatan yang diberikan
yaitu dzikir vibrasi.
C (comparison atau control) Menurut Oemardjoedi (2003) menjelaskan bahwa
afirmasi merupakan bagian dari terapi cognitive
Apa yang menjadi pembanding dari intervensi
behavior modification. Proses terapi dengan
yang dipilih untuk pasien.
afirmasi merupakan kegiatan melatih pasien untuk
merubah instruksi yang diberikan pada diri mereka
sendiri agar mereka mau mengatasi masalah secara
lebih efektif. Meichenbaum (dalam Oemardjoedi,
2003) menjelaskan bahwa perubahan perilaku
terjadi dalam beberapa tahap melalui interaksi
dengan diri sendiri, perubahan struktur kognitif,
dan perubahan perilaku. Sesuai dengan pernyataan
Cohen (2008) bahwa afirmasi membantu seseoang
untuk merespon ancaman. Artinya, seseorang dapat
menerima kegagalan atau informasi yang
mengancam dan kemudian menggunakannya
sebagai dasar untuk perubahan sikap dan perilaku.
Respon kedua yaitu bagaimana seseorang dapat
beradaptasi terhadap ancaman yang ada. Adaptasi
psikologis yang dapat terjadi dalam proses afirmasi
yaitu menolak, menyangkal, atau menghindari
ancaman tersebut. Sedangkan dzikir vibrasi
merupakan pengembangan teknik eye movement
desensitization reprocessing (EMDR). EMDR
adalah pendekatan psikoterapi yang ditemukan dan
dikembangkan pertama kali oleh Francine Shapiro.
EMDR dapat dilakukan secara efektif dan
didukung secara empiris serta integratif dengan
pendekatan psikoterapi untuk pengobatan gangguan
stress pasca trauma (PTSD) (Bison & Andreas,
2007; Shapiro, 1995 dalam Van den Hart, et all,
2010).
O (outcome) Berdasarkan hasil penelitian tersebut, perlu adanya
rekomendasi intervensi untuk dapat diterapkan
Apa yang ingin dicapai dengan intervensi:
secara bersamaan antara intervensi yang berfokus
ukuran, perbaikan, atau
pada pasien dan intervensi yang mendukung
perubahan perilaku pasien. Rekomendasi intervensi
yang disarankan pada penelitian ini adalah support
group therapy antara penderita gagal ginjal, dengan
tujuan berbagi pengalaman antara pasien yang
sudah lama menjalani hemodialisis dan pasien yang
baru menjalani hemodialisis sehingga antara
penderita gagal ginjal dapat saling menguatkan dan
mendukung.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit
akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau End Stage Renal Disease
(ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis
adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan.

B. Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih
baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan pembaca pada umumnya. Pemberian materi yang lebih mendalam dapat meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan disamping
pengarahan dan bimbingan yang senantiasa diberikan sehingga keberhasilan dalam tugas dapat
dicapai
DAFTAR PUSTAKA

Pardede SO, Chunnaedy S. Penyakit ginjal kronik pada anak.


Sari Pediatri 2009;11(3): 199-205 2. Rees L. Renal replacement therapies in neonates: Issues and
ethics. Seminars in Fetal & Neonatal Medicine 2017;22:104-8 3.
Rachmadi D, Meilyana F. Hemodialisisis pada anak dengan chronic kidney disease. Maj Kedokt
Indon. 2009;59(11):555-60
Chand DH, Swartz S, Tuchman S, Valentini RP, Somers MJG. Dialysis in children and
adolescents: The Pediatric Nephrology Perspective, Am J Kidney Dis; 2016 : 1-9
Arliza, M. 2006. Prosedur dan Teknik Operasional Hemodialisa. Edisi pertama. Yogyakarta:
Tugu Pustaka.
Cahyaningsih, Niken. 2011. Hemodialisis : Panduan Praktis Perawatan Gagal Ginjal. Jogjakarta :
Mitra Cendekia Press.
Desitasari, Tri Gamya U, Misrawati. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap Dan
Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Diet Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang
Menjalani Hemodialisa. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau. Riau. 29-
114.
EFEKTIVITAS AFIRMASI POSITIF DAN STABILISASI DZIKIR VIBRASI
SEBAGAI MEDIA TERAPI PSIKOLOGIS UNTUK MENGATASI
KECEMASAN PADA KOMUNITAS PASIEN HEMODIALISA

Wanodya Kusumastuti, Itsna Iftayani, Erika Noviyanti

ABSTRAK
Kesehatan mental merupakan kondisi kesejahteraan emosional seseorang yang
harus senantiasa ditingkatkan sehingga memberikan kelangsungan hidup yang
bermakna. Kesehatan mental merupakan proses kesehatan yang berkelanjutan. Adanya
kolaborasi kesehatan jasmani yang selaras akan menunjang kesehatan mental yang
optimal. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki kesehatan mental yang baik mampu
mengelola permasalahan psikologis seperti stres, kecemasan dan depresi. Pada
penelitian ini, permasalahan psikologis yang dirasakan pasien gagal ginjal yaitu
kecemasan karena gagal ginjal merupakan penyakit terminal sehingga membuat pasien
harus menjalani serangkaian prosedur terapi hemodialisa (cuci darah). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efektivitas afirmasi positif dan stabilisasi dzikir vibrasi
sebagai media terapi psikologis untuk mengatasi kecemasan pada pasien hemodialisa.
Metode yang digunakan adalah pre experimental one group pre and post test design.
Hasil penelitian menunjukkan enam orang pasien hemodialisa yang mendapatkan
intervensi afirmasi positif dan stabilisasi dzikir vibrasi mengalami penurunan
kecemasan, sedangkan satu orang pasien mengalami peningkatan kecemasan. Kondisi
tersebut disebabkan karena pasien kurang aktif dalam mempraktekkan terapi stabilisasi
dzikir vibrasi secara konsisten di rumah.

Kata Kunci: Afirmasi Positif, Stabilisasi Dzikir Vibrasi, Kecemasan, Pasien


Hemodialisa

PENDAHULUAN
Ginjal merupakan organ yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam
tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam-basa darah,
mengontrol sekresi hormon, dan ekskresi sisa metabolisme, racun dan kelebihan garam.
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh
atau melakukan fungsi regulernya. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan
merupakan jalur akhir dan umum dari berbagai penyakit trakturs urinarus dan ginjal
(Smeltzer dan Bare, 2004).
Dalam hal ini, pasien gagal ginjal mengalami penurunan fungsi ginjal yang terjadi
secara akut (kekambuhan) maupun secara kronis (menahun). Gagal ginjal akut bila
penurunan fungsi ginjal berlangsung secara tiba-tiba, tetapi kemudian dapat kembali
normal setelah penyebabnya segera dapat diatasi. Sedangkan pada pasien gagal ginjal
kronik, gejala yang muncul terjadi secara bertahap, biasanya tidak menimbulkan gejala
awal yang jelas sehingga penurunan fungsi ginjal tidak dirasakan. Pasien dengan

TARB IYATUNA, Vol. 8 No. 2 Desember, 2017 123


kondisi gagal ginjal kronik tiba-tiba mengetahui kondisi ginjalnya sudah parah dan sulit
diobati. Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit tahap akhir yang sangat progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia (Smeltzer. C, Suzanne,
2001). Gagal ginjal kronik terbagi menjadi beberapa tahapan yaitu ringan, sedang dan
berat. Gagal ginjal tahap akhir (end stage) adalah tingkat ginjal yang dapat
menyebabkan kematian kecuali jika dilakukan terapi pengganti (Smeltzer dan Bare,
2004)
Menurut World Health Organization (WHO), secara global lebih dari 500 juta
orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik (Ratnawati, 2014). Berdasarkan data dari
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevelensi gagal ginjal kronik di
Indonesia sekitar 0,2%. Prevalensi kelompok umur ≥ 75 tahun dengan 0,6% lebih tinggi
dari kelompok umur lainnya. Prevelensi gagal ginjal kronik (GGK) di Sulawesi Utara
sebesar 0,4% dimana lebih tinggi dari prevalensi nasional.
Menurut hasil penelitian Global Burden of Disease tahun 2010, penyakit ginjal
kronis merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan
meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Di Indonesia pada tahun 2013
sebanyak 499.800 penduduk Indonesia menderita penyakit gagal ginjal dan sebanyak
1.499.400 penduduk menderita batu ginjal (Rikesdas, 2013). Berdasarkan data 7th
Report of Indonesian Renal Registry tahun 2014 menunjukkan 56% penderita penyakit
ginjal adalah penduduk usia produktif dibawah 55 tahun.
Diperkirakan ada 100.000 pasien yang akhir-akhir ini menjalani terapi hemodialisa
(Marlina dan Andika, 2013). Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan
pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal dengan
stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen.
Pasien memerlukan terapi dialisis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan
mengendalikan gejala uremia (Smetlzer dan Bare, 2004).
Gagal ginjal tergolong penyakit kronis yang mempunyai karakteristik menetap,
tidak dapat disembuhkan dan membutuhkan pengobatan rawat jalan dalam jangka
waktu yang lama. Kondisi tersebut tentu saja menimbulkan perubahan dan
ketidakseimbangan yang meliputi perubahan biologis, psikologis, sosial dan spiritual

TARB IYATUNA, Vol. 8 No. 2 Desember, 2017 124


pasien. Cemas menjadi salah satu permasalahan psikologis yang sering muncul pada
pasien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisa (Mahdavi, Gorji, Yazdani &
Ardebil, 2013).
Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan
merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman
baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti
hidup (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2007). Kecemasan yang tidak teratasi dapat
menimbulkan beberapa dampak diantaranya, seseorang cenderung mempunyai penilaian
negatif tentang makna hidup, penurunan kualitas hidup, perubahan emosional seperti
depresi kronis serta gangguan psikosa (Cukor, Coplan, Brown & Friedman, 2008;
Najmuddin, 2006). Kecemasan yang dialami pasien gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis dapat disebabkan oleh berbagai stressor, diantaranya pengalaman nyeri
pada daerah penusukan fistula saat memulai hemodialisis, ketergantungan pada orang
lain, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, finansial, ancaman kematian,
perubahan konsep diri, perubahan peran serta perubahan interaksi sosial (Smetlzer dan
Bare, 2002). Oleh karena itu, pasien gagal ginjal kronis memerlukan hubungan yang
erat dengan orang lain terutama keluarga sebagai support group sehingga pasien dapat
menumpahkan rasa cemas dan rasa pesimis/kehilangan semangat (Smetlzer dan Bare,
2004).
Berdasarkan asesmen psikologi yang dilakukan di Unit Hemodialisa RSUD
Cilacap, diperoleh data penderita gagal ginjal pada anak usia <15 tahun ada 2 orang
pasien, selebihnya 15 pasien gagal ginjal berusia 30 tahun ke atas. Pasien hemodialisa
yang berusia <15 tahun disebabkan karena faktor genetik, sedangkan pasien
hemodialisa yang berusia 30 tahun ke atas sebagian besar penyebabnya karena pola
hidup yang tidak sehat. Data asesmen psikologi tersebut diperkuat dengan data
wawancara pada dua orang pasien hemodialiasa sebagai sampel yang baru menjalani
perawatan kurang lebih 6 bulan dan harus menjalani terapi hemodialisa dua kali
seminggu untuk menurunkan kreatin dari 4gr% menjadi 2gr%. Pasien menyampaikan
bahwa mereka mengalami permasalahan psikologis, seperti perasaan takut, gelisah,
tegang, khawatir sepanjang hari, sedih dan perasaan pesimis. Namun bagi pasien yang
sudah menjalani perawatan selama kurang lebih 6 bulan dan kreatin sudah turun
menjadi 2gr%, maka pasien cukup menjalani terapi hemodialisa seminggu sekali dan

TARB IYATUNA, Vol. 8 No. 2 Desember, 2017 125


hal tersebut berpengaruh terhadap kondisi psikologis pasien yang sudah mampu
menyesuaikan dan menerima penyakit yang dideritanya.
Dari jumlah pasien hemodialisa yaitu 22 orang pasien, diberikan pre test
menggunakan skala kecemasan yaitu Beck Anxiety Inventory (BAI) hasilnya terdapat 6
orang mengalami kecemasan berat, 7 orang mengalami kecemasan sedang dan 9 orang
mengalami kecemasan ringan. Penelitian ini ingin mengetahui efektivitas stabilisasi
dzikir vibrasi untuk mengatasi kecemasan pada pasien gagal ginjal. Penelitian ini
dilakukan dengan memberikan pelatihan pada komunitas pasien hemodialisa
menggunakan pendekatan cognitive behavioral therapy (CBT). Pendekatan CBT
memadukan teknik afirmasi positif dan dzikir vibrasi untuk membantu pasien
hemodialisa mengatasi kecemasannya. Afirmasi positif bertujuan untuk meminimalisir
pikiran pesimis pasien karena ketakutan usia yang tidak akan lama lagi. Sedangkan
untuk membantu mengatasi perasaan khawatir dan gelisah, pendekatan yang diberikan
yaitu dzikir vibrasi.
Menurut Oemardjoedi (2003) menjelaskan bahwa afirmasi merupakan bagian dari
terapi cognitive behavior modification. Proses terapi dengan afirmasi merupakan
kegiatan melatih pasien untuk merubah instruksi yang diberikan pada diri mereka
sendiri agar mereka mau mengatasi masalah secara lebih efektif. Meichenbaum (dalam
Oemardjoedi, 2003) menjelaskan bahwa perubahan perilaku terjadi dalam beberapa
tahap melalui interaksi dengan diri sendiri, perubahan struktur kognitif, dan perubahan
perilaku. Sesuai dengan pernyataan Cohen (2008) bahwa afirmasi membantu seseoang
untuk merespon ancaman. Artinya, seseorang dapat menerima kegagalan atau informasi
yang mengancam dan kemudian menggunakannya sebagai dasar untuk perubahan sikap
dan perilaku. Respon kedua yaitu bagaimana seseorang dapat beradaptasi terhadap
ancaman yang ada. Adaptasi psikologis yang dapat terjadi dalam proses afirmasi yaitu
menolak, menyangkal, atau menghindari ancaman tersebut. Sedangkan dzikir vibrasi
merupakan pengembangan teknik eye movement desensitization reprocessing (EMDR).
EMDR adalah pendekatan psikoterapi yang ditemukan dan dikembangkan pertama
kali oleh Francine Shapiro. EMDR dapat dilakukan secara efektif dan didukung secara
empiris serta integratif dengan pendekatan psikoterapi untuk pengobatan gangguan
stress pasca trauma (PTSD) (Bison & Andreas, 2007; Shapiro, 1995 dalam Van den
Hart, et all, 2010). Seseorang yang melakukan dzikir vibrasi dengan khidmat akan

TARB IYATUNA, Vol. 8 No. 2 Desember, 2017 126


merasakan getaran dalam dirinya bersamaan saat melafalkan tauhid dan istighfar.
Ditambahkan menurut Subandi (2009) bacaan dzikir mampu menenangkan,
membangkitkan rasa percaya diri, kekuatan, perasaan aman, tentram dan memberikan
perasaan bahagia. Secara medis juga diketahui bahwa orang yang terbiasa berdzikir
mengingat Allah SWT secara otomatis otak akan merespon pengeluaran endorphine
yang mampu menimbulkan perasaan bahagia dan nyaman (Suryani, 2013). Dipandang
dari sudut kesehatan jiwa, doa dan dzikir mengandung unsur psikoterapeutik yang
mendalam. Terapi psikoreligius tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan
psikoterapi dan psikiatrik, karena mengandung kekuatan spiritual atau kerohanian yang
membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme (Hawari, 2004). Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi apakah ada pengaruh afirmasi positif dan stabilisasi
dzikir vibrasi terhadap tingkat kecemasan pada pasien hemodialisa.

METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu pre experimental
one group pre and post test design. Dalam penelitian ini, intervensi digunakan untuk
menurunkan kecemasan dengan menggunakan teknik afimasi positif dan stabilisasi
dzikir vibrasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive
sampling yang sesuai dengan kriteria. Dari jumlah pasien hemodialisa di RSUD Cilacap
yaitu 22 orang, diambil 12 orang yang menjalani hemodialisa pada jadwal pagi. Dari 12
orang, hanya 7 orang responden yang bersedia mengikuti proses penelitian. Kriteria
responden yaitu beragama Islam, mengalami kecemasan dengan kriteria sedang dan
berat yang sebelumnya sudah diukur dengan instrumen BAI, dapat menulis dan
membaca, pasien dalam kondisi sadar, dan bersedia menjadi respoden penelitian dengan
menyetujui dan menandatangani informed consent
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan instrumen skala
kecemasan (BAI). BAI terdiri dari 20 pernyataan yang berisikan perasaan terkait
dengan kecemasan, ketegangan, sulit tidur, keluhan fisik dan perilaku. Kategori
kecemasan bergerak dari skor 0-7: kecemasan sangat rendah, 8-15: kecemasan rendah,
16-25: kecemasan sedang dan 26-63: kecemasan berat. Pre test dilakukan sebelum
intervensi sesi 1 dimulai. Berdasarkan hasil pre test terhadap orang responden di
dapatkan hasil skor kecemasan berkisar antara 25-45. Hal ini menunjukkan bahwa
kondisi kecemasan termasuk kategori sedang-tinggi.

TARB IYATUNA, Vol. 8 No. 2 Desember, 2017 127


Pelaksanaan afimasi positif dan stabilisasi dzikir pada penelitian ini dilaksanakan
selama 4 hari. Dalam satu hari dilakukan satu sesi sebelum responden melakukan terapi
hemodialisa yaitu pukul 08.00-09.00. Intervensi dilakukan di aula RSUD yang sudah
melalui proses perijinan dan sudah di setting untuk melaksanakan intervensi. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan supaya pasien merasa nyaman secara fisik dan
psikologis saat hemodialisa. Adapun tahapan pelaksanaan afimasi positif dan
stabilisasi dzikir dengan cara memastikan lingkungan tenang dan nyaman untuk pasien
hemodialisa. Pada sesi 1 pasien diajak untuk mengidentifikasi pikiran, perasaan dan
motivasi dalam dirinya. Dari hasil identifikasi tersebut, peneliti mengetahui bahwa
bagaimana pikiran, perasaan pasien dan apa harapan yang ingin dicapai. Pada sesi 2
peneliti memberikan materi psikoedukasi afirmasi positif, kemudian meminta pasien
untuk menuliskan langkah-langkah afirmasi positif yang dapat mereka lakukan. Pada
sesi 3, pasien dilatih untuk mempraktekkan dzikir vibrasi. Sesi 4 mengintegrasikan
afirmasi positif bersama dengan stabilisasi dzikir vibrasi.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam dzikir vibrasi yaitu:
1. Membuat klien merasa tenang dan nyaman, yaitu mengawali dengan mengatur
pernafasan perut. Pernafasan perut dilaksanakan dengan menarik nafas sambil
mengembangkan perut kemudian tahan selama beberapa detik, kemudian
melepaskan nafas sambil mengempiskan perut.
2. Posisi tangan disilang, tangan kiri diletakkan pada area tulang selangka sebelah
kanan dan tangan kanan diletakkan pada area tulang selangka sebelah kiri sambil
menarik nafas dan menahan selama beberapa detik. Dzikir dilafalkan dengan
tempo lambat dan suara lembut tapi cukup terdengar di telinga sendiri. Pasien
melafalkan dzikir yaitu ‘Lailahailallah’ sebanyak 4x, ‘Astagfirullahaladzim’
sebanyak 3x. Dzikir ‘Astagfirullahaladzim’ pada kata terakhir ‘aladzim’
dilafalkan dengan memperpanjang huruf ‘m’ sampai terasa suara berdengung di
kepala. Setelah rangkaian afirmasi positif dan stabilisasi dzikir vibrasi selama 4
sesi, peneliti mengukur kembali pasien dengan instrumen BAI.

HASIL PENELITIAN
Karakteristik responden dari orang sebagian besar berada pada rentang usia 30-40
tahun, berjenis kelamin perempuan, latar belakang pendidikan rendah (SD, SMP,
SMA), responden sudah menikah, tidak bekerja, mengalami ketergantungan dengan

TARB IYATUNA, Vol. 8 No. 2 Desember, 2017 128


anggota keluarga, menjalani hemodialisis 2 kali seminggu, telah menjalani hemodialisis
selama 1 tahun terakhir.

Gambaran kecemasan pasien sebelum dan setelah intervensi afirmasi


positif dan stabilisasi dzikir vibrasi

Gambar 1. Tingkat kecemasan pasien sebelum dan setelah intervensi


afirmasi positif dan stabilisasi dzikir vibrasi

Dilihat dari diagram diatas, ada 6 orang pasien yang mengalami penurunan
kecemasan. Namun ada 1 pasien yang justru kecemasannya masih berada pada kategori
tinggi. Dalam hal ini skor kecemasannya meningkat namun kategorinya masih sama
yaitu kecemasan tinggi. Peneliti melakukan evaluasi terkait kondisi pasien yang justru
kecemasannya meningkat pasca intervensi. Kondisi fisik dan psikologis kurang baik dan
pasien sedang mengalami masalah pribadi sehingga pasien tidak konsisten dalam
mempraktekkan pelatihan saat dirumah. Hal inilah yang membuat pasien tidak
merasakan penurunan kecemasan yang pasca pelatihan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, perlu adanya rekomendasi intervensi untuk
dapat diterapkan secara bersamaan antara intervensi yang berfokus pada pasien dan
intervensi yang mendukung perubahan perilaku pasien. Rekomendasi intervensi yang
disarankan pada penelitian ini adalah support group therapy antara penderita gagal
ginjal, dengan tujuan berbagi pengalaman antara pasien yang sudah lama menjalani
hemodialisis dan pasien yang baru menjalani hemodialisis sehingga antara penderita
gagal ginjal dapat saling menguatkan dan mendukung.

PEMBAHASAN
Pasien gagal ginjal menunjukkan penilaian negatif mengenai penyakitnya, seperti
kekhawatiran harapan hidup yang pendek dan pesimisme pada penyakitnya. Lazarus
(1996) menjelaskan respon kognitif yang ditunjukkan pada seseorang yang mengalami

TARB IYATUNA, Vol. 8 No. 2 Desember, 2017 129


kecemasan. Pertama, penilaian primer yaitu pasien gagal ginjal menilai bahwa penyakit
yang diderita merupakan kondisi yang tidak nyaman sehingga memunculkan pikiran
bahwa orang yang mengalami gagal ginjal kecil untuk sembuh. Penilaian primer
tersebut merupakan gangguan awal dalam berpikir. Pasien yang cemas seringkali
dibayangi oleh pikiran ketakuran pada kematian.
Meskipun pasien menunjukkan penilaian negatif terhadap situasi yang terjadi,
pasien juga menunjukkan penilaian sekunder yaitu sumber yang dimiliki oleh seseorang
untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami. Gangguan fisik dialami hampir
seluruh pasien gagal ginjal, sehingga gangguan psikologislah yang sering ditemui pada
pasien gagal ginjal. Pasien akan mampu menyesuaikan diri dengan penyakitnya setelah
lebih dari 1 tahun menjalani hemodialisis. Selain itu, sumber positif yang dapat
membantu menurunkan kecemasan pasien dukungan keluarga, adanya perasaan tenang
dan pasrah. Kondisi tersebut akan dapat menumbuhkan motivasi eksternal supaya
pasien taat menjalani hemodialisis.
Berbagai reaksi kecemasan pada pasien gagal ginjal menjadi target pelaksanaan
intervensi yaitu memberikan psikoedukasi mengenai kecemasan dan cara mengatasinya,
mengajarkan afirmasi positif untuk menumbuhkan motivasi instrinsik pasien dalam
menjalani hemodialisis dan berpikir positif terhadap penyakitnya. Selain itu,
menstabilkan kondisi pasien dengan serta menumbuhkan sikap ikhlas dan pasrah pada
Allah SWT. Dzikir vibrasi merupakan bagian dari terapi psikoreligius. Dzikir
mengandung unsur psikoterapeutik mendalam dan mengandung kekuatan spiritual yang
membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme (Hawari, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Cohen, A.N. 2008. The family Forum: Directions for Implementation of


Family Psychoeducation for Severe Illness. Psychiatric Service
Arlington.

Cukor, D., Coplan, J., Brown, C., & Friedman, S. 2008. Anxiety disorders in
adults treated by hemodialysis. Clinical Journal of the American
Society of Nephrology.

Hawari, D. 2004. Kanker payudara dimensi psikoreligi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI.

TARB IYATUNA, Vol. 8 No. 2 Desember, 2017 130


Kaplan, B., & Sadock, V. 2003. Kaplan and Sadock’s synopsis of psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. (9th ed.). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

Kusumowardhani, R. 2012. Makalah Workshop Psikotraumatologi. Yogyakarta: UII.

Lazarus, 1996. Psychological Stress and the Coping Process. New York: McGraw-Hill

Mahdavi A, Gorji MH, Gorji AH, Yazdani J, Ardebil MD. 2013. Implementing
Benson’s Relaxation Training in Hemodialysis Patients: Changes in Perceived
Stress, Anxiety, and Depression. North Am J Med Sci.

Oemardjoedi, A.K. 2003. Pendekatan Cognitive Behavioral Dalam sikoterapi. Jakarta:


Kreativ Media.

Ratnawati, Widyastuti. (2014). Korelasi lama menjalani hemodialisis dengan indeks


massa tubuh pasien gagal ginjal kronik di RSUD ARIFIN ACHMAD
PROVINSI RIAU (Diakses 10 Februari 2016).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI.

Subandi, M.A. 2009. Psikologi Dzikir: Studi Fenomenologi Dzikir Tawakkal.


Pengalaman Transformasi Religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas
Psikologi UGM.

TARB IYATUNA, Vol. 8 No. 2 Desember, 2017 131

Anda mungkin juga menyukai