Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

ABO INKOMPATIBILITAS

Disusun Oleh:
Arina Zhabrina
1102013042

Pembimbing :

dr. H. Rizki Safaat Nurahim, SpOG

DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK SMF OBSGYN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD. DR. SLAMET GARUT

16 OKTOBER 2017 – 22 DESEMBER 2017


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Allhamdulillah, segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT dan
shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
saya dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “ABO INKOMPATIBILITAS”
dengan baik.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Obsgyn di RSUD Dr.Slamet Garut. Dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. H. Rizki Safaat Nurahim, SpOG, selaku dokter pembimbing.

2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Obsgyn RSUD Dr.Slamet Garut.

3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr.Slamet Garut.

Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan
bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada
akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang
lebih baik di kemudian hari.

Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani
aplikasi ilmu.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

i
DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………...1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Fisiologi…………………………………………………………………………..3

Definisi Inkompatibilitas ABO……………………………………………………………10

Epidemiologi Inkompatibilitas ABO…………………………………………………..….10

Etiologi Inkompatibilitas ABO………………………………………..…………………..10

Manifestasi Klinis Inkompatibilitas ABO…………………………………………………11

Patofisiologi Inkompatibilitas ABO……………………………..……………….………..13

Pemeriksaan Diagnostik Inkompatibilitas ABO……………..……………………………17

Penatalaksanaan Inkompatibilititas ABO……………………..…………………………..20

Pencegahan Inkompatibilitas ABO………………………..………………………………26

BAB 3. KESIMPULAN………………………………………..………………………...28

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...………………..29

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

Inkompatibilitas ABO merupakan suatu keadaan akibat reaksi ikatan antara


antibodi dalam plasma darah dengan antigen pada sel darah merah. Keadaan ini dapat
dijumpai pada kesalahan memberikan tranfusi darah dari donor ke penerima dan
ketidaksesuaian golongan darah ibu dan janinnya pada waktu kehamilan.
Inkompatibilitas ABO dalam kasus kesalahan memberikan tranfusi darah dapat
mengakibatkan reaksi tranfusi letal (lethal tranfusion reaction), sehingga membutuhkan
penanganan dengan cepat dan tepat. Kasus inkompatibilitas pada kesalahan tranfusi
sangat jarang ditemukan pada era kesehatan modern seperti sekarang. Pengidentifikasian
golongan darah donor dan penerima (crossmatch test) sudah memadai, selain itu tuntutan
sikap untuk disiplin dan berhati-hati dalam memberikan pelayanan kesehatan oleh
praktisi kesehatan menghindarkan dari kelalaian dalam pemberian tranfusi darah yang
tidak sesuai dengan resipien.
Inkompatibilitas ABO dalam kehamilan adalah suatu keadaan dimana umur sel
darah merah janin atau neonatus yang memendek akibat antibodi ibunya.
Inkompatibilitas ABO lebih sering ditemukan pada bayi golongan darah A atau B dan
ibu golongan darah O. Angka kejadian dalam kasus ini lebih bermakna dibandingkan
dengan kehamilan inkompatibel pada ibu golongan darah A atau B. Kehamilan
inkompatibilitas ibu golongan darah O dengan janin golongan darah A atau B ditemukan
sekitar 15-40% dari seluruh kehamilan.
Inkompatibilitas ABO dalam keadaan ini dapat menyebabkan bayi kuning (ikterus)
dan kadar bilirubin meningkat, jika ikterus pada bayi tidak mendapatkan penanggulangan
yang baik akan berakibat kernikterus (penimbunan bilirubin di sel-sel otak), yang
berdampak keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral (cerebral palsy), tuli, dan
bahkan kematian.
Inkompatibilitas ABO didapatkan Sekitar 20%-30% pada penderita ikterus
neonatal dari berbagai ras. Sejumlah penelitian menemukan bahwa resiko kejadian PHN
(Penyakit Hemolitik Neonatal) – ABO lebih tinggi pada ras kulit berwarna dibandingkan
dengan ras kulit putih. Di Afrika Selatan ditemukan 47% dari penderita ikterus neonatal
disebabkan oleh inkompatibilitas ABO. Dalam masyarakat Indonesia, kelompok
golongan darah O merupakan persentase tertinggi dibandingkan kelompok golongan

1
darah lainnya yaitu 40,8%, diikuti golongan A, B kemudian. AB. Di Rumah Sakit Umum
Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSUPN CM), 59,2% ibu bergolongan
darah O melahirkan bayi golongan darah A atau B.m
Inkompatibilitas ABO sering ditemukan pada kasus ikterus neonatal, meskipun
bermanifestasi ringan sampai sedang jika tidak ditangani dengan segera dapat berakibat
buruk bagi kesehatan bayi. pemahaman yang baik mengenai jenis inkompatibilitas
beserta gejala klinis yang muncul, dapat sangat membantu praktisi kesehatan untuk dapat
membedakan jenis inkompatibilitas yang dihadapi sehingga dapat pula menentukan jenis
terapi yang tepat-guna bagi janin. Oleh sebab itu, inkompatibilitas ABO perlu untuk
dipelajari dan dicermati dengan baik.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi
1. Komponen darah manusia
Volume darah manusia sekitar 6-8% (5 liter) dari total berat badan. Komponen
penyusun darah terdiri dari sel darah dan plasma darah. Sel darah merupakan 45%
penyusun komponen darah. Sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah
putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Semua sel darah tersebut terendam
dalam larutan kompleks yang disebut plasma darah. Kandungan plasma sebesar 55%
dari komponen penyusun darah, dan sisanya ± 1% merupakan sel darah putih dan
keping darah.

Gambar 1. Komponen penyusun darah

a. Sel darah merah


Eritrosit merupakan bagian utama dari sel darah. Setiap milliliter darah
mengandung rata-rata sekitar 5 miliar eritrosit (sel darah merah), yang secara klinis
sering dilaporkan dalam hitung terdapat 5 juta per millimeter kubik (mm3). Eritrosit
berbentuk lempeng bikonkaf,yang merupakan sel gepeng berbentuk piringan yang
dibagian tengah dikedua sisinya mencekung,seperti sebuah donat dengan bagian

3
tengah mengepeng bukan berlubang dengan diameter 8 µm, tepi luar tebalnya 2 µm
dan bagian tengah 1 µm.

Gambar 2. Penampang eritrosit

Sel darah merah memiliki struktur yang jauh lebih sederhana dibandingkan
kebanyakan sel pada manusia. Pada hakikatnya, sel darah merah merupakan suatu
membran yang membungkus larutan hemoglobin (protein ini membentuk sekitar 95%
protein intrasel sel darah merah), dan tidak memiliki organel sel, misalnya
mitokondria, lisosom atau aparatus Golgi. Sel darah manusia, seperti sebagian sel
darah merah pada hewan, tidak berinti. Namun, sel darah merah tidak inert secara
metabolis. Melalui proses glikolisis, sel darah merah membentuk ATP yang berperan
penting dalam proses untuk mempertahankan bentuknya yang bikonkaf dan juga
dalam pengaturan transpor ion (mis. oleh Na+-K+ ATPase dan protein penukar anion
serta pengaturan air keluar-masuk sel. Bentuk bikonkaf ini meningkatkan rasio
permukaan-terhadap-volume sel darah merah sehingga mempermudah pertukaran
gas. Sel darah merah mengandung komponen sitoskeletal yang berperan penting
dalam menentukan bentuknya.

b. Sel darah putih


Jumlah sel darah putih sekitar 5-10 ribu dalam setiap mikrometerdarah manusia.
Fungsi utamanya adalah melawan infeksi. Selain itu jg berfungsi untuk mencerna
zat seperti sel yang sudah mati, sisa jaringan dan eritrosit yg sudah tua. Sel darah putih
juga berfungsi sebagai proteksi terhadap benda asing yg masuk ke aliran darah,
seperti alergen dan proteksi melawan sel-sel yg bermutasi, seperti kanker. Sel darah

4
putih bersifat diapedesis, dapat dengan mudah keluar-masuk jaringan dan pembuluh
darah.

Gambar 3. Sel darah putih

c. Keping darah
Merupakan bagian terkecil dari sel darah, dengan diameter 1-4 mikrometer.
Trombosit mempunyai peranan penting dalam proses pembekuan darah. Volume
normal dari trombosit berkisar 150-450 ribu mikroliter.

Gambar 4. Platelets

d. Plasma darah
Plasma merupakan cairan yg relatif jernih, cairan berwarna kekuningan, yg
mengandung gula, lemak, protein, dan larutan garam yg berfungsi membawa sel
darah merah, lekosit, trombosit dan bahan kimia lain. Kandungan plasma darah
sebagian besar (90-95%) adalah air, dan sisanya merupakan substansi albumin,
globulin dan fibrinogen, dan zat metabolik lainnya.

5
Gambar 5. Plasma darah

2. Pembentukan sel Darah Merah


Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam kantong kuning (yolk
sac) saat embrio pada minggu-minggu pertama. Proses pembentukan eritrosit disebut
eritropoisis. Setelah beberapa bulan kemudian, eritrosit terbentuk di dalam hati, limfa,
dan kelenjar sumsum tulang. Produksi eritrosit ini dirangsang oleh hormon
eritropoietin. Setelah dewasa eritrosit dibentuk di sumsum tulang membranosa.
Semakin bertambah usia seseorang, maka produktivitas sumsum tulang semakin
turun.
Sel pembentuk eritrosit adalah hemositoblas yaitu sel batang myeloid yang
terdapat di sumsum tulang. Sel ini akan membentuk berbagai jenis leukosit, eritrosit,
megakariosit (pembentuk keping darah). Rata-rata umur sel darah merah kurang lebih
120 hari. Sel-sel darah merah menjadi rusak dan dihancurkan dalam sistem retikulum
endotelium terutama dalam limfa dan hati. Hemoglobin dipecah menjadi asam amino
(globin) untuk digunakan sebagai protein dalam jaringan-jaringan dan zat besi dalam
hem dari hemoglobin dikeluarkan untuk dibuang dalam pembentukan sel darah merah
lagi. Sisa hem dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin (warna kuning empedu) dan
biliverdin, yaitu yang berwarna kehijau-hijauan yang dapat dilihat pada perubahan
warna hemoglobin yang rusak pada luka memar.

6
Gambar 6. Pembentukan sel darah

3. Penghancuran sel darah merah


Penghancuran sel darah merah terjadi dalam sistem retikuloendotelial yaitu dalam
hati dan limpa. Hemoglobin bebas dipecah menjadi heme (persenyawaan Fe-
protoporfirin) dan globin. Persenyawaan Fe-protoporfirin kemudian menjadi hematin.
Rantai porfirin dipecah oleh suatu oksidasi pada jembatan a-metan, Fe tetap terikat
pada persenyawaan ikatan globin pun tetep tidak terputus. Persenyawaan tersebut
dinamakan verdo-hemoglobin. Kemudian Fe dan globin lepas dan terbentuk
biliverdin. Biliverdin selanjutnya akan menjadi bilirubin. Fe yang dilepaskan itu diikat
oleh protein dalam jaringan dan melalui plasma diangkut ke sumsum tulang untuk
dipergunakan pada pembentukan heme, sedangkan globin yang dilepaskan akan
dipecah menjadi asam amino lagi yang kemudia disintesis menjadi protein.
Bilirubin yang dibentuk (tidak larut dalam air) diikat oleh albumin dan diangkut
dalam plasma dari tempat penghancuran ke hati. Dalam hati bilirubin ini bersenyawa
dengan asam glukoronat dengan bantuan enzim glukoronil transverase. Persenyawaan
ini larut dalam air dan menyebabkan reaksi Hijmans van den Bergh positif. Bilirubin
yang belum bersenyawa dengan asam glukoronat akan bereaksi indirek dengan
reagensia Hijmans van den Bergh. Persenyawaan bilirubin-glukoronid ini akan keluar
dari hati dan masuk ke dalam saluran pencernaan. Oleh bakteri yang ada pada usus,
persenyawaan ini akan diubah menjadi urobilin yang akan dikeluarkan bersama-sama
tinja dalam bentuk sterkobilin. Sebagian urobilinogen yang terdapat dalam usus akan

7
diserap kembali melalui plasma, sebagian kembali ke hati dan sebagian lagi
dikeluarkan melalui ginjal.

Gambar 7. Destruksi eritrosit

4. Golongan Darah Manusia


Manusia memiliki Alel ganda pada golongan darah ABO dan Rh. Dalam
golongan darah sistem ABO, penggolongan darah pada manusia dipengaruhi oleh alel
IO, IA, dan IB. Sifat alel golongan darah manusia memiliki ketentuan sebagai berikut:
a. Sifat alel IO resesif terhadap IA dan IB,
b. IA dan IB saling kodominan dan tidak saling mengalahkan.
c. Interaksi ketiga alel tersebut menghasilkan 4 variasi fenotip golongan darah, yaitu
A, B, AB dan O.

8
Atas dasar sifat dari alel tersebut, didapatkan karakteristik sebagai berikut:
a. Orang dengan alel IA dapat membentuk aglutinogen atau antigen yang disebut
antigen-A pada permukaan eritrosit dan membentuk antibodi atau aglutinin atau
anti-B dalam serum atau plasma darah.
b. Orang dengan alel IB dapat membentuk antigen-B dalam eritrosit, dan zat anti-A
dalam serum darah.
c. Golongan darah AB memiliki antigen-A dan antigen-B
d. Golongan darah O tidak memiliki antigen

Gambar 8. Karakteristik golongan darah ABO:

Gambar 9. Klasifikasi golongan darah ABO:

9
1. Definisi inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas grup darah (ABO) merupakan suatu mekanisme yang
melibatkan ikatan antara antibodi plasma darah dengan antigen pada permukaan
(membran) sel darah merah (eritrosit). Reaksi antara antigen-antibodi ini
menimbulkan reaksi penggumpalan darah (aglutinasi).
Keadaan inkompatibilitas ABO dapat dialami oleh seorang yang mendapatkan
tranfusi darah dan antara ibu dan janinnya selama periode kehamilan. Inkompatibilitas
ABO merupakan suatu kondisi sebagai akibat dari ketidaksesuaian golongan darah
antara ibu dan janin yang dikandungnya (Ann Longsdon, 2012). Inkompatibilitas
ABO dalam kehamilan adalah suatu keadaan dimana umur sel darah merah janin atau
neonatus yang memendek akibat antibodi ibunya.

2. Epidemiologi inkompatibilitas ABO


Inkompatibilitas ABO menurut stastitik kira-kira 2-% seluruh kehamilan terlihat
dalam ketidakselarasan golongan darah ABO dari 75% dari jumlah ini terdiri dari ibu
golongan darah O dan janin golongan darah A atau B. Mayoritas inkompatibilitas
ABO 40% diderita oleh anak pertama, dan anak-anak berikutnya makin lama makin
baik keadaannya.
Lebih sering terjadi pada bayi golongan B daripada A dan lebih sering pada bayi
kulit hitam daripada bayi kulit putih dengan golongan A atau B

3. Etiologi inkompatibilitas ABO


Inkompabilitas ABO disebabkan golongan darah ibu O yang secara alami
mempunyai antibodi anti-A dan anti-B pada sirkulasinya. Jika janin memiliki
golongan darah A atau B, eritroblastosis dapat terjadi karena IgG melewati plasenta
a) Pada tranfusi darah
Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan karena ketidaksesuaian
golongan darah antara penerima dan pendonor. Ketidaksesuaian ini
mengakibatkan adanya reaksi penghancuran pada sel darah merah donor oleh
antibodi penerima. Keadaan ini disebut lethal tranfusion reaction.
Keadaan ini terjadi karena kurang hati-hati dan teliti dalam memberikan transfusi
darah pada:
1) Golongan A, B, atau AB kepada penerima yang bergolongan darah O
2) Golongan darah A atau AB kepada penerima yang bergolongan darah B
10
3) Golongan darah B atau AB kepada penerima yang bergolongan darah A.

b) Pada kehamilan
Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh ketidak cocokan
dari golongan darah ibu dengan golongan darah janin, dimana umumnya ibu
bergolongan darah O dan janinnya bergolongan darah A, atau B, atau AB.
Dikarenakan dalam kelompok golongan darah O, terdapat antibodi anti-A dan
anti-B (IgG) yang muncul secara natural, dan dapat melewati sawar plasenta.
Situasi ini dapat juga disebabkan oleh karena robekan pada membran plasenta
yang memisahkan darah maternal dengan darah fetal, sama halnya seperti pada
previa plasenta, abruptio placenta, trauma, dan amniosentesis.

4. Manifestasi klinis inkompatibilitas ABO


1. Pada tranfusi darah
Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam menggigil,
nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin
berwarna kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria). Pada reaksi hemolitik akut yang
terjadi di intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat berupa disseminated
intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal akut (GGA), dan syok.
Pada reaksi hemolitik tipe lambat memunculkan gejala dan tanda klinis reaksi
timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi,
penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus
prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus
reaksi hemolitik tipe lambat tidak memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah
beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan
dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian
sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, reaksi ini
akan memperburuk kondisi penyakit

2. Pada kehamilan
Manifestasi yang ditimbulkan inkompatibilitas ABO pada kehamilan terhadap
janin bervariasi mulai dari ikterus ringan dan anemia sampai hidrops fetalis.

11
Manifestasi yang muncul pada bayi setelah persalinan meliputi:
1) Asfiksia
2) Pucat (oleh karena anemia)
3) Distres pernafasan
4) Jaundice
5) Hipoglikemia
6) Hipertensi pulmonal
7) Edema (hydrops, berhubungan dengan serum albumin yang rendah)
8) Koagulopati (penurunan platelets dan faktor pembekuan darah)
9) Kern ikterus (oleh karena hiperbilirubinemia)

Inkompatibilitas ABO ialah penyebab tersering dari kasus hemolitik pada


neonatus. Sekitar 15% dari bayi yang lahir berisiko untuk mengalami hal ini, namun
manifestasi nyata hanya terjadi pada sekitar 0,3-2,2%. Inkompatibilitas ABO terjadi
jika ibu hamil dengan golongan darah tipe O dan janin yang dikandungnya memiliki
golongan darah A atau B. Keadaan ini diperkirakan kurang dari limabelas persen
(15%) kehamilan, dan kejadian hemolitik pada kasus ini tidak lebih dari tiga persen
(3%). Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO yang parah hanya mencapai satu
persen (1%) dari seribu kehamilan.
Inkompatibilitas pada kelompok golongan darah mayor di antara ibu dan fetus
umumnya akan berakhir pada kasus yang lebih ringan dibandingkan pada kasus
inkompatibilitas Rh. Penyakit ini sering tidak parah jika dibandingkan dengan
inkompatibilitas Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia
neonatus ringan sampai sedang serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan
transfusi tukar. Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu
penyebab hemolisis. Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama
(40%), dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya.
Pada beberapa kasus, penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan
sampai sedang selama 24-48 jam pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul
dengan anemia yang signifikan. Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan
kernikterus terutama pada neonatus preterm.

12
Gambar 10. Hydrops fetalis dan ikterus

5. Patofisiologi inkompatibilitas ABO


Inkompatibilitas ABO terjadi ketika sistem imun Ibu menghasilkan antibodi
melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin
dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan
fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat
pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun
anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam
peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan
antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan
menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II).

Ibu yang golongan O secara alamiah mempunyai antibodi anti A dan anti-B pada
sirkulasi darahnya. Jika janin mempunyai golongan darah A atau B, eritoblastosis
dapat terjadi. Sebagian besar, secara alamiah, membentuk anti-A dan anti-B berupa
antibodi IgM, yang tidak melewati plasenta dan melisiskan eritrosis janin. Oleh karena
itu, meskipun dapat menyebabkan anem penyakit hemolitik pada neonatus, namus
isoimunisasi ABO tidak dapat menyebabkan hidrops fetalis dan lebih merupakan
penyakit pediatrik dari pada obstetris. Beberapa ibu juga relatif mempunyai kadar
IgG anti-A atau anti-B yang tinggi, yang potensial menyebabkan eritoblastosis, karena
IgG melewati plasenta. Ibu golongan O mempunyai kadar IgG anti-A lebih tinggi
daripada ibu golongan B dan kadar IgG-anti B lebih tinggi dari pada ibu golongan A.
Dengan demikian, penyakit hampir selalu terjadi pada ibu golongan darah O. Penyakit

13
jarang terjadi bila ibu golongan A dan bayi golongan B. Sekitar seperti tiga bayi
golongan A atau B dari ibu O akan mempunyai antibodi ibu yang dapat didekteksi
pada eritrositnya.
Akibat terjadi anemia yang berlebihan dalam tubuh bayi maka tubuh
mengkompensasi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah
yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum
tulang) secara berlebihan.
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan
limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa.
Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet
dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor
pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat
memperberat komplikasi.
Patofisiologi yang dapat menjelaskan timbulnya reaksi hemolitik pada
inkompatibilas ABO akibat kesalahan transfusi adalah antibodi
dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel.
Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka
akan semakin meningkatkan risiko.Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam
pembuluh darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II.

Reaksi hemolitik akut akibat transfusi merupakan antigen (major


incompatability) yang berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang berupa
imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-B, atau terkadang antirhesus. Proses hemolitik
dibantu oleh reaksi komplemen sampai terbentuknya C5b6789 (membrane attack
complex). Reaksi komplemen ini terjadi di dalam intravaskuler dan merupakan reaksi
hemolisis tipe akut. Pada beberapa kasus juga dapat terjadi interaksi plasma donor
sebagai antibodi dan eritrosit resipien sebagai antigen (minor incompatability). Malah
dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dengan eritrosit donor sendiri
sebagai antigen (inter-donor incompatability) pada saat diberikan kepada resipien,
tetapi kasus seperti ini jarang.

14
Reaksi hemolitik pada tranfusi tipe lambat diawali dengan reaksi antigen-
antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara
ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major
incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien.
Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag
di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan
komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah
dandihancurkan di limpa.

Gambar 11. Reaksi antigen-antibodi pada lethal blood tranfusion

Sedangkan patofisiologi yang dapat menjelaskan timbulnya penyakit


inkompabilitas ABO pada kehamilan terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan
antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu
hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu
yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen
seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk
imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian
masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti
(coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang
kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan
dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel
darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal
dari sumsum tulang) secara berlebihan.

15
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan
limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa.
Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet
dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor
pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat
memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit,
tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik.
Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika
terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri
pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.

Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal


sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis. Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah
merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin
secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat
mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu.
Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi.
Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus. Gejala lain yang mungkin hadir adalah
peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula darah, dimana keadaan ini
disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan
cairan pada tubuh, yang memberikan gambaran membengkak (swollen). Penumpukan
cairan ini menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang
maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka
waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia
dapat menimbulkan masalah jantung.

16
Gambar 12. Mekanisme inkompatibilitas ABO pada kehamilan

6. Pemeriksaan diagnostik inkompatibilitas ABO


A. Pemeriksaan diagnostik pada inkompatibilitas ABO reaksi tranfusi
a. Pemeriksaan crossmatch ulang antara darah pendonor dan penerima
b. Direct Antiglobulin Test (DAT)
c. Pemeriksaan serologis rhesus
d. Urinalisis didapatkan adanya hemoglobinuria
e. Pemeriksaan lain untuk mengetahui komplikasi dari reaksi hemolitik, antara lain:
 Renal function test
 LDH, bilirubin dan haptoglobin
 Status koagulasi (prothrombin time, partial thromboplastin time, dan
fibrinogen).

B. Pemeriksaan diagnostik pada inkompatibilitas ABO pada kehamilan


a. Hitung sel darah merah
Pengukuran status anemia akan lebih akurat menggunakan darah vena sentral
atau arteri dibandingkan dengan menggunakan darah kapiler. Pemeriksaan darah
akan memberikan gambaran sel darah merah yang ternukleasi, retikulositosis,
polikromasia, anisositosis, sferosit, dan fragmentasi sel. Hitung retikulosit dapat
mencapai 40% pada pasien tanpa intervensi intrauterine. Hitung sel darah merah
yang ternukleasi meningkat disertai peningkatan palsu leukosit, menunjukkan
keadaan eritropoiesis. Sferosit lebih umum ditemukan pada kasus
inkompatibilitas ABO melalui pemeriksaan gambaran darah tepi.

17
Retikulosit merupakan sel darah merah imatur. Jika terjadi anemia, sumsum
tulang berusaha mengkompensasi dengan meningkatkan aktivitas eritropoiesis,
yang tercermin pada peningkatan hitung retikulosit. Jika produksisu msum tulang
terganggu maka hitung retikulosit akan tetap rendah.

18
Gambar 13. Nilai normal hemoglobin, hematokrit dan retikulosit pada neonatus

b. Direct Coomb Test (DCT)


 Untuk mengetahui apakah sel darah merah diselubungi oleh IgG atau
komplemen, artinya apakah ada proses sensitisasi pada sel darah merah di
invivo (pada tubuh pasien).
 Bahan yang dipergunakan : sel darah merah pasien
 Sampel yang diperlukan : darah dengan antikoagulan EDTA

Gambar 14. DCT negatif

19
Gambar 15. DCT positif

c. Pemeriksaan bilirubin serum


Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin mencapai >5 mg/dl. Kadar bilirubin
(total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15 mg/dl, namun jika masih <15mg/dl
masih dikatakan ikterus fisiologis dan akan hilang dalam 14 hari. Ikterus patologis
terjadi jika peningkatan bilirubin total mencapai >15mg/dl.

7. Penatalaksanaan pada inkompatibilitas ABO


1. Pada inkompatibilitas ABO reaksi tranfusi
a. Pemberian tranfusi harus diberhentikan
b. Pemberian cairan intravena
Dilakukan hidrasi dengan PZ (3000ml/m2/hari)
c. Untuk pencegahan GGA:
 Dapat diberikan dopamin dosis rendah 1-5 mcg/kg/menit
 Diuretik osmotik: manitol (100 ml/kg/hari), selanjutnya diberikan
30ml/kg/hari atau furosemid 1-2ml/kgBB
d. Jika dijumpai tanda DIC, pertimbangkan untuk dilakukan tranfusi FFP,
kriopresipitat, dan/ atau trombosit.

2. Pada inkompatibilitas ABO masa kehamilan


1) Farmakologi
a. Pemberian antihistamin
b. Pemberian steroids
c. Cairan intravena

20
2) Non farmakologi
a. Fototerapi
Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi
apabila terpajan ke sinar dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru
(panjang gelombang 420 nm - 470 nm) dan hal ini akan menyebabkan
fotoisomerasi bilirubin. Turunan bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat
polar oleh karena itu akan larut dalam air dan akan lebih mudah `diekskresikan
melalui urine. Bilirubin dalam jumlah yang sangat kecil juga akan dipecah oleh
oksigen yang sangat reaktif secara irreversibel yang diaktifkan oleh sinar.
Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut diekskresikan melalui urine dan
empedu. Fototerapi kurang efektif diterapkan pada bayi dengan penyakit
hemolitik, tetapi mungkin dapat berguna untuk mengurangi laju akumulasi
pigmen setelah melakukan transfusi tukar.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama berlangsung terapi sinar
ini ialah:
a) Diusahakan agar tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin, bila perlu
bukalah pakaian bayi
b) Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang memantulkan cahaya
untuk melingungi sel-sel retina dan mencegah gangguan maturasi seksual
c) Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah jarak terbaik
untuk mendapat energi cahaya yang optimal
d) Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar sinar
e) Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali
f) Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam
24 jam
g) Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan bayi
h) Lama terapi sinar dicatat

b. Transfusi darah
Transfusi eritrosit dengan packed red cells (PRC) yang sudah diuji
crossmatch merupakan terapi paling umum untuk anemia berat pada neonatus.
Mengingat risikonya, baik infeksi maupun non-infeksi, perlunya transfusi
darah sering diperdebatkan. Berikut kriteria tranfusi untuk neonatus:
21
Gambar 16. Tabel kriteria tranfusi neonatus

c. Suplementasi zat gizi


Defisiensi zat besi pada periode neonatal disebabkan oleh proses
kehilangan darah kronis atau deplesi cepat cadangan zat besiyang jumlahnya
terbatas. Defisiensi zat besi terjadi lebih berat pada bayi prematur yang
pertumbuhannya lebih cepat dan cadangan zat besinya minimal. Oleh karena
itu suplementasi zat besi sering diperlukan untuk mendukung proses
eritropoiesis yang efektif. Terapi utama adalah mengatasi penyebab deplesi zat
besi (misalnya kehilangan darah akut atau kronis, masalah absorbsi) dan
memberikan suplementasi dengan zat besi elemental 6 mg/kgBB/hari.

d. Tranfusi tukar
Transfusi tukar bertujuan untuk membersihkan antibodi yang ada di
sirkulasi atau karena tingginya kadar bilirubin akibat proses hemolisis. Pada
umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:

a) Anemia hemolitik isoimun berat dengan eritrosit tersensitisasi dan


isoantibodi dalam sirkulasi
b) Anemia hemolitik kronis atau anemiahemoragik dengan peningkatan
tekananvena sentral

22
c) Koagulopati konsumtif
d) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg%
e) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam
f) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
g) Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat <14 mg% dan uji Coombs direk
positif
Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek
toksisitas bilirubin ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak
mencukupi. Sebagai tambahan, prosedur ini dilakukan dengan bayi yang
memiliki indikasi eritroblastosis dengan anemia hebat, hidrops, atau bahkan
keduanya bahkan ketika tidak adanya kadar bilirubin serum yang tinggi.
Sebelum dilakukan transfusi dapat diberikan albumin 1,0 g/kg untuk
mempercepat keluarnya bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin
yang diikatnya akan lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar, lalu
kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg untuk kasus hemolisis yang diperantarai
oleh antibodi.

Tabel 1. Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbul dan kadar bilirubin

23
8. WOC (Web of Causation)
a. Ikompatibilitas ABO pada reaksi tranfusi

24
b. Inkompatibilitas ABO pada kehamilan

25
Pencegahan
Pencegahan inkompabilitas ABO dapat dilakukan dengan:
- Uji antiglobulin direk atau indirek untu anti-A atau anti-B pada setiap bayi
bergolongan darah A atau B.
- transfuse darah yang digunakan adalah golongan darah O yang rhesus negative dan
kalau mungkin dalam plasma golongan AB.
- Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik adalah
imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan
memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram anti-A/B
- Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai vaksin
dan tak membuat wanita kebal terhadap penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk
membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada kehamilan
berikutnya.

Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati
dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat
dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi
menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah
mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus
negatif.
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi
diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah
1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.

a. Mortalitas
Angka mortalitas dapat diturunkan jika :
1. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi
secara dini.
2. Hemolisis pada janin dari ibu golongan darah O dapat diketahui melalui kadar
bilirubin yang tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh
darah umbilikus yang diarahkan secara USG.
3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum
meninggal di dalam rahim atau dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal
26
atau intravaskuler langsung sel darah merah.

b. Perkembangan anak selanjutnya


Menurut Bowman (1978), kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah
mengalami tranfusi janin akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa
ketika berusia 18 bulan atau lebih, 74 anak berkembangan secara normal, 4 anak
abnormal dan 11 anak mengalami gangguan tumbuh kembang

27
BAB 3
KESIMPULAN

Inkompatibilitas ABO merupakan salah satu penyebab penyakit hemolitik pada bayi
baru lahir yang merupakan faktor resiko tersering kejadian hiperbilirubinemia. Ibu yang
golongan darah O secara alamiah mempunyai antibody anti-A dan anti-B pada
sirkulasinya. Jika janin mempunyai golongan darah A atau B, eritroblastosis dapat
terjadi. Sebagian besar secara alamiah, membentuk anti-A atau anti-B berupa antibody
IgM yang tidak melewati plasenta. Beberapa ibu juga relative mempunyai kadar IgG anti-
A atau anti-B yang tinggi yang potensial menyebabkan eritroblastosis karena melewati
sawar plasenta. Ibu golongan darah O mempunyai kadar IgG anti-A lebih tinggi daripada
ibu golongan darah B dan mempunyai kadar IgG anti-B lebih tinggi daripada ibu dengan
golongan golongan darah A. Dengan demikian, penyakit hampir selalu terjadi bila
golongan darah O. Penyakit jarang terjadi bila ibu golongan darah A dan bayi golongan
darah B. Kehamilan pertama sering terkena sensitisasi ibu tejadi sejak awal kehidupan
melalui kontak dengan antigen A dan B. Penyakit tidak memburuk pada kehamilan
berikutnya yang juga terkena dan jika ada penyakitnya cenderung menajdi lebih ringan.
Prognosis Inkompatibilitas ABO dengan penatalaksanaan yang baik, (95%) dari bayi
yang lahir hidup dapat diselamatkan. Kira-kira 30-35% dari bayi dengan kelainan ini
tidak memerlukan transfusi tukar.

28
DAFTAR PUSTAKA

1) Sabiston, David C. Buku ajar bedah (sabiston’s essentials surgery).alih bahasa Petrus
Andrianto, Timan I.S; editor: Jonathan Oswari. Jakarta: EGC, 1995

2) Wang, et.al., (2005). Hemolytic Disease of the Newborn Caused by a High Titer Anti-
Group B IgG From a Group A Mother. Pediatric Blood & Cancer

3) Haque KM, and Rahman M. (2000). An Unusual Case of ABO-Haemolytic Disease


of the Newborn. Bangladesh Medical Research Council

4) Mennuti, M. (2011). Management of Pregnancy with ABO Incompatibility.The


Foundation for Exxcellence in Women's Health Care

5) Stiller RJ, et.al., Fetal ascites associated with ABO incompatibility:case report and
review of the literature. Am J Obstet Gynecol 1996. No.175(S): p.1371-1372

6) McDonnell M, et.al.( 1998 ). Hydrops fetalis due to ABO incompatibility. Arch Dis
Child Fetal neonatal Ed. 78: p. 220-221

7) Yi-Bin Chen. (2014). Leukemia/Bone Marrow Transplant Program, Massachusetts


General Hospital.
8) Joyce Poole, (2001). International Blood Group Reference Laboratory..
ENCYCLOPEDIA OF LIFE SCIENCES & Nature Publishing Group: Bristol, UK

9) Intensive Care Nursery House Staff Manual.2004). Hemolytic Disease of the


Newborn. The Regents of the University of California

29

Anda mungkin juga menyukai