Anda di halaman 1dari 9

Data Penunjang

Lumbal pungsi

Lumbal pungsi adalah prosedur sering dilakukan di departemen gawat darurat untuk
mendapatkan informasi tentang cairan cerebrospinal (CSF). Meskipun biasanya
digunakan untuk tujuan diagnostik untuk menyingkirkan potensi kondisi yang
mengancam jiwa seperti meningitis bakteri atau perdarahan subarachnoid, pungsi
lumbal juga kadang-kadang dilakukan untuk alasan terapeutik, seperti pengobatan
pseudotumor cerebri. Analisis cairan CSF juga dapat membantu dalam diagnosis
berbagai kondisi lain, seperti penyakit demielinasi dan meningitis carcinomatous.
Pungsi lumbal harus dilakukan hanya setelah pemeriksaan neurologis namun tidak
pernah menunda intervensi berpotensi menyelamatkan nyawa seperti antibiotik dan
steroid untuk pasien dengan dicurigai meningitis bakteri.

Pemeriksaan rutin dari CSF mencakup pengamatan visual warna dan kejelasan dan tes
untuk glukosa, protein, laktat, laktat dehidrogenase, jumlah sel darah merah, jumlah
sel darah putih dengan diferensial, serologi sifilis (tes antibodi menunjukkan sifilis),
Gram stain dan bakteri budaya. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan
tergantung pada hasil tes awal dan diagnosis dicurigai.

Nilai normal:

 Tekanan: 70 - 180 mm H20


 Tampilan: Jernih, tidak berwarna
 CSF total protein: 15 - 60 mg/100 mL
 Gamma globulin: 3 - 12% of the total protein
 CSF glucose: 50 - 80 mg/100 mL (atau lebih besar dari 2/3 kadar gula dalam
darah)
 CSF cell count: 0 - 5 sel darah putih (semua mononuclear), dan tiada sel darah
merah
 Chloride: 110 - 125 mEq/L
LCS pada Berbagai Infeksi:

Penyakit Tekanan LCS Protein Hitung sel Glukosa

Meningitis sedang-tinggi > 50 PMN Rendah


bakteri

Meningitis virus N sedikit sd limfosit Normal


normal

Meningitis N sedang Pleositosis atau Rendah


tuberkulosis limfositosis
Ensefalitis /N sedikit sd limfositosis normal
normal

Glukosa: CSF glukosa biasanya sekitar dua-pertiga dari glukosa plasma puasa.
Sebuah tingkat glukosa di bawah 40 mg / dL adalah signifikan dan terjadi pada
meningitis bakteri dan jamur dan keganasan.

Protein: Tingkat total protein dalam CSF biasanya sangat rendah, dan albumin
membuat sampai sekitar twothirds dari total. Tinggi tingkat yang terlihat dalam
berbagai kondisi termasuk meningitis bakteri dan jamur, multiple sclerosis, tumor,
perdarahan subarachnoid, dan tap traumatis.

Laktat: CSF laktat digunakan terutama untuk membantu membedakan meningitis


bakteri dan jamur, yang menyebabkan laktat yang lebih besar, meningitis virus, tidak
ada.

Laktat dehidrogenase: Enzim ini meningkat pada meningitis bakteri dan jamur,
keganasan, dan perdarahan subarachnoid.

Sel darah putih (WBC count): Jumlah sel darah putih dalam CSF sangat rendah,
biasanya memerlukan jumlah pengguna WBC. Peningkatan leukosit dapat terjadi
dalam berbagai kondisi termasuk infeksi (virus, bakteri, jamur, dan parasit), alergi,
leukemia, multiple sclerosis, perdarahan, tekan traumatis, ensefalitis, dan sindrom
Guillain-Barré. Perbedaan WBC membantu untuk membedakan banyak penyebab.
Misalnya, infeksi virus biasanya berhubungan dengan limfosit meningkat, sementara
infeksi bakteri dan jamur terkait dengan peningkatan leukosit polimorfonuklear
(neutrofil). Diferensial juga dapat mengungkapkan eosinofil berhubungan dengan
alergi dan shunt ventrikel; makrofag dengan bakteri yang tertelan (menunjukkan
meningitis), sel darah merah (menunjukkan perdarahan), atau lipid (menandakan
infark serebral mungkin); blasts (sel belum matang) yang mengindikasikan leukemia,
dan karakteristik sel-sel ganas dari jaringan asal. Sekitar 50% kanker metastatik yang
menyusup sistem saraf pusat dan sekitar 10% dari tumor sistem saraf pusat akan
menumpahkan sel ke dalam CSF.

Sel darah merah (RBC count): Meskipun tidak biasanya ditemukan dalam CSF, sel
darah merah akan muncul setiap kali perdarahan telah terjadi. Merah sel dalam
subarachnoid hemorrhage sinyal CSF, stroke, atau tekan traumatis. Karena sel darah
putih dapat masuk CSF dalam menanggapi infeksi lokal, peradangan, atau
perdarahan, jumlah RBC digunakan untuk memperbaiki jumlah WBC sehingga
mencerminkan kondisi selain perdarahan atau tekan traumatis. Hal ini dilakukan
dengan sel darah merah dan jumlah leukosit dalam darah dan CSF. Rasio sel darah
merah dalam CSF ke darah dikalikan dengan jumlah darah WBC. Nilai ini dikurangi
dari CSF WBC count untuk menghilangkan leukosit berasal dari perdarahan atau tap
traumatis.

Gram stain: Pewarnaan Gram dilakukan pada sedimen dari CSF dan positif sekitar
setidaknya 60% dari kasus meningitis bakteri. Budaya dilakukan untuk bakteri
aerobik dan anaerobik. Selain itu, noda lainnya (Pewarnaan kultur misalnya untuk
Mycobacterium tuberculosis, kultur jamur dan tes identifikasi cepat [tes untuk antigen
bakteri dan jamur]) dapat dilakukan secara sistematis.

Serologi sifilis: Hal ini melibatkan pengujian untuk antibodi yang menunjukkan
neurosifilis. Antibodi fluorescent treponemal penyerapan (FTA-ABS) tes sering
digunakan dan positif pada orang dengan sifilis aktif dan diobati. Tes ini digunakan
bersama dengan tes VDRL untuk antibodi nontreponema, positif pada paling dengan
sifilis aktif, tetapi negatif dalam kasus dirawat.
Pengukuran kadar klorida dapat membantu dalam mendeteksi adanya meningitis
tuberkulosis.

Elektroensefalografi

Prosedur pemeriksaan ini merupakan suatu cara untuk mengukur aktivitas gelombang
listrik dari otak. Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk mendiagnosa adanya
gangguan kejang. Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktivitas
lambat bilateral). Bila terdapat tanda klinis fokal yang ditunjang dengan gambaran
EEG atau CT scan, dapat dilakukan biopsi otak di daerah yang bersangkutan. Bila
tidak ada tanda klinis fokal, biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis
yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes simplex.

Pemeriksaan imaging otak.

Diantaranya CT Scan dan MRI yang dapat mendeteksi adanya pembengkakan otak.
Jika pemeriksaan imaging memiliki tanda-tanda dan gejala yang menjurus ke
ensefalitis maka lumbal fungsi harus dilakukan untuk melihat apakah terdapat
peningkatan tekanan intrakranial.

Biopsi otak

Biopsi otak jarang dilakukan, kecuali untuk mendiagnosa adanya herpes simpleks
ensefalitis yang jika tidak mungkin dilakukan metode DNA atau CT Scan dan MRI

Pemeriksaan darah

Polymerase Chain Reaction (PCR): pemeriksaan ini merupakan metode yang


digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi HSV 1, enterovirus 2, pada susunan saraf
pusat.

F. PENATALAKSANAAN
Dengan pengecualian dari ensefalitis herpes simplex dan varicella-zoster, bentuk
ensefalitis virus tidak dapat diobati. Tujuan utama adalah untuk mendiagnosa pasien
secepat mungkin sehingga mereka menerima obat yang tepat untuk mengobati gejala.
Hal ini sangat penting untuk menurunkan demam dan meringankan tekanan yang
disebabkan oleh pembengkakan otak.
Pasien dengan ensefalitis yang sangat parah beresiko bagi komplikasi sistemik
termasuk shock, oksigen rendah, tekanan darah rendah, dan kadar natrium rendah.
Setiap komplikasi yang mengancam nyawa harus diatasi segera dengan perawatan
yang tepat.
Penderita dengan kemungkinan ensefalitis harus dirawat inap sampai
menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah
mempertahankan fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka,
pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah. Tata laksana yang dikerjakan
sebagai berikut :
I. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis
biasanya berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang
sering terjadi, perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk
infus selama 3 menit.
II. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S
(tergantung umur) dan pemberian oksigen.
III. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh
anoksia serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam
3 dosis.
IV. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan
intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat
diulang setiap 8-12 jam
V. Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak
(ensefalitis bakterial), maka harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral.
Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek diberikan
Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari.
Jika terjadi toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu
juga ketika terjadi kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir. Dengan
pengecualian penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh
herpes simpleks, maka pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan
empiris yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan serta menopang
setiap sistem organ yang terserang. Efektivitas berbagai cara pengobatan yang
dianjurkan belum pernah dinilai secara objektif
VI. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh.
VII. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.

G. GEJALA SISA DAN KOMPLIKASI


Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf
pusat dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan
pendengaran, sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat
terlibat secara menetap.
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid),
hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi.

1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


neuromuskuler
Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri

Penyebab

 Kerusakan integritas struktur tulang


 Perubahan metabolisme
 Ketidakbugaran fisik
 Penurunan kendali otot
 Kekakuan sendi
 Nyeri Kecemasan
 Gangguan kognitif
 Efek agen farmakologis
 Malnutrisi
Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

Mengeluh sulit menggerakan ekstremitas

Objektif

 Kekuatan otot menurun


 Rentang gerak ( ROM ) menurun
Gejala dan Tanda Minor

Subjektif
 Nyeri saat bergerak
 Enggan melakukan pergerakan
 Merasa cemas sat bergerak
Objektif

 Sendi kaku
 Gerakan tidak terkoordinasi
 Gerakan terbatas
 Fisik lemah
Kondisi Klinis Terkait

 Stroke
 Cedera medulla Spinalis
 Trauma
 Fraktur
 Osteoarthritis
 Ostemalasia
 Keganasan (PPNI, 2017 , pp. 124 – 125 )
1. Resiko trauma fisik berhubungan dengan kejang
Definisi : respon maladaptif yang berkelanjutan terhadap kejadian trauma

Penyebab

 Bencana alam
 Peperangan
 Riwayat perilaku kekerasan
 Kecelakan
 Saksi pembunuhan
Gejala dan Tanda Mayor

 Mengungkapkan secara berlebihan atau menghindari pembicaran


kejadian trauma
 Merasa cemas
 Teringat kembali kejadian traumatis
 Teringat kembali kejadian traumatis
Objektif

 Memori masa lalu tergangu


 Mimpi buruk berulang
 Ketakutan berulang
 Menghindari aktivitas, tempat atau orang yang membangkitkan
kejadian trauma
Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

 Tidak percaya pada orang lain


 Menyalahkan diri sendiri
Objektif

 Minat berinteraksi dengan orang lain menurun


 Konfusi atau disosiasi
 Gangguan interpretasi realitas
 Sulit berkonsentrasi
 Waspada berlebihan
 Pola hidup terganggu
 Tidur terganggu

1. Status kesehatan saat ini


 Keluhan utama
Demam, gejala menyertai flu, perubahan tingkat kesadaran, sakit kepala
letargi, mengantuk, kelemahan umum, aktifitas kejang (Kyle & Carman, 2012,
hal. 559-560).

 Alasan masuk rumah sakit


Biasanya ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri
tenggorokan, nyeri ektrim dan pucat, kemudian diikuti tanda insefalitis berat
ringannya tergantung dari trisbusi dan luas lesi pada neuron (Ridha, 2014,
hal. 336).

 Riwayat penyakit sekarang


Faktor riwayat penyakit yang sangat penting diketahui karena untuk
mengetahui jenis kuman penyebab. Disini harus ditanya dengan jelas tentang
gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah
buruk. Pada pengkajian klien encefalitis biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK. Keluhan gejala
awal yang sering adalah sakit kepala dan demam. Sakit kepala disebabkan
encefalitis yang berat dan sebagi akibat iritasi selaput otak. Demam umumnya
ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit (Muttaqin, 2011, hal. 178).

1. Riwayat penyakit terdahulu


 Riwayat penyakit sebelumnya
Pada kasus encephalitis, pasien biasanya akan mempunyai gejala di sebabkan
virus sebelum penyakit yang sekarang. Virus memasuki sistem syaraf pusat
via aliran darah dan melalui reproduksi. Terjadi radang diarea, menyebabkab
kerusakan pada neuron (Digiulio, 2014, hal. 230)

 Riwayat penyakit keluarga


Pada pasien encefalitis tidak ada riwayat penyakit keluarga, namun
pengkajian pada anak mungkin didapatkan riwayat menderita penyakit yang
disebabkan oleh virus influenza, varicella, adenovirus,kokssakie, atau
parainfluenza, infeksi bakteri, parasit satu sel, cacing fungus,
riketsia (Muttaqin, 2011, hal. 180)
 Riwayat pengobatan
Semua pasien dengan kecurigaan encefalitis HSV sebaiknnya diterapi dengan
asiklovir IV (10mg/kg setiap 8 jam) selama menunggu hasil pemeriksaan
dignostik. Pasien dengan diagnostik ensefalitis HSV yang dikonfirmasi PCR
sebaiknya mendapat minimum serial terapi selam 14 hari. Perlu
dipertimbangkan pemeriksaan ulang PCR LCS setelah terapi asiklovir
diselesaikan , pada pasien dengan PCR LCR untuk HSV yang tetap positif
setelah menyelesaikan pengobatan terapi standart, sebaiknaya diberikan
selama 7 hari terapi tambahan, diikuti dengan pemeriksaan PCR LCS ulang.
Tetapi asiklovir juga memberikn manfaat pada kasus encephalitiss karena
EBV dan VZV. Belum ada terapi terkini untuk ensefalitis enterovirus,
perotitis, epidemika, atau measles. Ribavirin intravena (15-25mg/kg perhari
yang diberikan dalam dosis terbagi 3) mungkin bermanfaat untuk encefalitis
arbovirus yang berat karena encefalitis california(LaCrosse). Encephalitis
CMV sebaiknnya diterapi dengan gansiklovir, foscarnet, atau kombinasi dari
kedua obat inin, codovofir dapat memberikan alternatif untuk pasien yang
tidak memberi respons. Belum ada terapi yang terbukti untuk encefalitis
WNV, sekelompok kecil pasien pernah di terapi dengan interferon, ribavirin,
oligonukleotida antisense yang spesifik WNV, dan preparat imunoglobin
intravena asal israeli yang mengandung antibodi titer yang tinggi (Harrison,
2013, hal. 172-1

https://samoke2012.wordpress.com/2018/09/14/asuhan-keperawatan-pasien-dengan-
encefalitis/

Anda mungkin juga menyukai