Anda di halaman 1dari 9

Edisi 33 Tahun 17

M enjelang datangnya Bulan Ramadan, biasanya para ustaz


dan khatib membawakan ayat puasa di dalam ceramah
atau khutbah mereka.
Ayat puasa yang dimaksud adalah firman Allah Ta’ala di
dalam Surah Al-Baqarah, yang artinya, “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajib-
kan atas umat-umat sebelum kalian agar kalian menjadi orang
yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183).
Pada buletin kali ini, kami mengajak segenap pembaca
untuk mendulang beberapa faidah dari ayat puasa tersebut
dengan membaginya dalam beberapa bagian ayat.

1. “Hai orang-orang yang beriman”


Allah memulai ayat puasa ini dengan berseru kepada
orang-orang yang beriman. Seruan seperti ini mengingatkan
kita kepada perkataan Abdullah bin Mas’ud (pakar Al-Qur’an
dari kalangan sahabat).
Beliau berkata, “Jika engkau mendengar firman Allah (yang
artinya) ‘Wahai orang-orang yang beriman’ maka pasanglah
telingamu karena akan datang ayat yang menjelaskan tentang
kebaikan yang engkau diperintahkan untuk melaksanakannya
atau tentang kejelekan yang engkau dilarang darinya.” (H.R.
Abu Nu’aim, Al-Hilyah 1/130). Maka semestinya kita senantia-
sa memusatkan perhatian kita terhadap apa yang akan Allah
sampaikan pada kelanjutan ayat puasa ini.
2
Seruan Allah “yaa ayyuhalladziina aamanu” jika ditinjau
secara bahasa hanyalah ditujukan kepada para laki-laki. Kali-
mat tersebut secara harfiah maknanya adalah “Hai para lelaki
yang beriman”. Apakah hal tersebut berarti yang diwajibkan
untuk berpuasa hanyalah laki-laki? Jawabannya adalah ti-
dak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Se-
sungguhnya para wanita itu serupa dengan laki-laki.” (H.R.
Ad-Darimi, statusnya sahih). Maksud serupa di sana adalah
serupa di dalam hukum Islam.
Terdapat kaidah yang dibawakan oleh para ulama Islam
yang berbunyi, “Perintah yang Allah tujukan untuk laki-laki juga
berlaku untuk perempuan. Sebaliknya, perintah yang Allah tu-
jukan untuk perempuan juga berlaku untuk laki-laki. Kecuali
jika terdapat dalil yang menjelaskan adanya pengecualian”.
Adapun untuk puasa, tidak ada dalil yang menjelaskan
bahwa para perempuan dikecualikan dari perintah tersebut.
Maka, perintah tersebut kembali kepada kaidah asalnya, yaitu
perempuan juga diwajibkan untuk berpuasa Ramadan.
Faidah lainnya, Allah membuka firman-Nya dengan
menyeru, “Hai orang-orang yang beriman”. Hal ini menun-
jukkan bahwa puasa adalah konsekuensi dari keimanan. Se-
baliknya, meninggalkan puasa adalah sesuatu yang bertolak
belakang dengan keimanan. Ada dua tingkatan orang yang
meninggalkan puasa.

3
Pertama, orang yang menganggap puasa tidaklah diwa-
jibkan bagi dirinya karena menganggap dirinya telah suci atau
mencapai tingkatan kewalian tertentu. Perbuatan seperti ini
adalah perbuatan yang disepakati oleh para ulama sebagai
perbuatan kekufuran yang membatalkan keimanan.
Kedua, orang yang meninggalkan puasa karena malas na-
mun masih menganggap puasa masih diwajibkan bagi diri-
nya. Perbuatan ini diperselisihkan oleh para ulama apakah
tergolong sebagai kekufuran atau merupakan dosa besar yang
tidak sampai membatalkan keimanan. Terlepas dari pendapat
mana yang lebih kuat, para ulama bersepakat bahwa mening-
galkan puasa dengan sengaja tanpa ada alasan yang dibenar-
kan adalah salah satu dosa besar.

2. “diwajibkan atas kalian puasa”


Berdasarkan potongan ayat ini, maka jelas sekali puasa
hukumnya adalah wajib. Bahkan, kewajiban puasa nilainya
lebih besar jika dibandingkan dengan mayoritas ibadah-iba-
dah wajib lainnya. Hal tersebut dikarenakan puasa merupakan
bagian dari rukun Islam. Tidak semua ibadah yang hukumnya
wajib tergolong sebagai rukum Islam. Ibadah-ibadah yang
digolongkan sebagai rukun Islam maka nilainya lebih besar
daripada ibadah-ibadah lainnya.
Jika kita menyambungkan potongan ayat ini dengan po-
tongan ayat sebelumnya akan jelas bahwa ditunaikannya ke-

4
wajiban puasa oleh seseorang adalah atas tuntutan keimanan.
Niat utama di dalam melaksanakan puasa haruslah keimanan
kepada Allah, bukan untuk mendapatkan keuntungan-keun-
tungan duniawi, semisal agar sehat, agar diet, atau agar bisa
menghemat pengeluaran.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengaitkan antara niat menjalankan puasa karena iman de-
ngan balasan puasa yang besar. Beliau bersabda, “Barangsiapa
yang berpuasa di Bulan Ramadan karena iman dan mengharap
pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.”
(H.R. Bukhari dan Muslim).

3. “sebagaimana diwajibkan atas


umat-umat sebelum kalian”
Allah menjelaskan bahwa puasa juga telah Allah wajibkan
untuk umat-umat terdahulu. Firman seperti ini tidak ditemui
untuk perintah ibadah-ibadah yang lain, seperti salat dan
zakat, padahal ibadah-ibadah itu juga telah diwajibkan bagi
umat-umat terdahulu. Tidak ada ayat di dalam Al-Qur’an yang
berbunyi, “Diwajibkan atas kalian salat sebagaimana salat
telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian”. Tidak ada
pula ayat yang berbunyi, “Diwajibkan atas kalian zakat se-
bagaimana zakat telah diwajibkan atas umat-umat sebelum
kalian”.

5
Apa hikmahnya? Hikmahnya adalah untuk memotivasi
orang-orang yang beriman agar bersemangat menjalankan
ibadah yang berat ini. Sudah menjadi tabiat manusia bah-
wa meninggalkan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan-
nya (semisal makan dan minum di siang hari) adalah sesuatu
yang berat. Allah menyebutkan “sebagaimana diwajibkan atas
umat-umat sebelum kalian” untuk menghibur orang-orang
yang beriman. Karena manusia merasakan bahwa sesuatu
yang berat akan terasa ringan jika mereka tahu banyak juga
yang merasakannya.
Faidah lainnya adalah untuk memotivasi orang-orang yang
beriman agar jangan mau kalah dengan umat-umat terdahulu
yang telah berhasil menunaikan kewajiban puasa.
Para ulama berbeda pendapat tentang apa makna ke-
samaan syariat puasa antara umat Muhammad dan umat se-
belumnya. Sebagian ulama mengatakan kesamaannya hanya-
lah pada kewajibannya, namun berbeda tata cara dan waktu
pelaksanaannya.
Namun ulama lainnya, seperti Ibnu Katsir, berpendapat
bahwa kesamaaan dalam syariat puasa ini selain sama wajib-
nya, juga sama dalam tata cara dan waktu pelaksanaannya.
Hanya terdapat sedikit perbedaan, yaitu pada umat Muham-
mad terdapat syariat sahur, sedangkan pada umat Nabi Musa
dan Isa tidak ada syariat sahur. Dalam sebuah hadis disebut-

6
kan, “Perbedaan antara puasa kita dan puasanya ahli kitab
adalah makan sahur.” (H.R. Muslim).
Ibnu Katsir menjelaskan tentang puasa umat terdahu-
lu, “Jika di malam hari mereka (umat sebelum kita) tertidur,
maka sudah diharamkan bagi mereka makan, minum, dan
berhubungan intim dengan istri serta dilarang melakukan
pembatal selain itu.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 54).

4. “agar kalian menjadi orang-orang


yang bertakwa”
Maksud pokok Allah mensyariatkan puasa kepada kita
adalah “agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa”. De-
ngan berpuasa, kita bisa terlatih untuk meninggalkan hal-hal
yang mubah (seperti makan dan minum) maka seharusnya
akan jadi lebih mudah untuk meninggalkan hal-hal yang ter-
larang setelah menjalankan ibadah puasa, sehingga kita bisa
menjadi orang yang bertakwa.
Selain itu, karena maksud pokok berpuasa adalah menjadi
orang yang bertakwa, tidak benar jika menjadikan maksud
pokok berpuasa adalah untuk mendapatkan kesehatan. Ada
sebuah hadis yang derajatnya lemah yang berbunyi, “berpua-
salah kalian maka kalian akan sehat”. Selain secara sanad
hadis ini lemah, secara makna juga bertentangan dengan
Al-Baqarah 183 ini.

7
Semoga Allah memberi kita taufiq sehingga dapat me-
mahami dan mengamalkan kandungan ayat tersebut.

Disarikan dari
khutbah Jumat Ustaz Dr. Aris Munandar di Masjid Pogung
Dalangan pada tahun 2013 dan di Masjid Al-Kautsar Pogung
Baru pada tahun 2021.

Ditulis ulang 
dengan beberapa penambahan oleh Muhammad Rezki Hr.,
Ph.D.

Dimurajaah oleh Ustadz Abu Salman BIS

YUK NGAJI DI
radiomuslim.com
(1467 AM)

Dengarkan
BEDAH BULETIN AT-TAUHID
Jum’at 20.00 WIB bersama
Ust. Abu Salman

SUSUNAN REDAKSI
Penanggung jawab Ari Wahyudi, S.Si. | Penasihat Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A.| Editor Ahli Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., B.A.,
Ustadz Abu Salman, B.I.S., Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A. | Pemimpin redaksi Wildan S., S.Farm., Apt. | Redaktur pelaksana &
Editor Arif Muhammad N, S.Pd | Layouter Ramane musa .

ALAMAT REDAKSI
Kantor Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari, Jalan Selokan Mataram No. 412 Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I. Yogyakarta, Indonesia

WEBSITE | buletin.muslim.or.id @buletintauhid INFORMASI | 0852 9080 8972

Anda mungkin juga menyukai