Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

KIMIA BAHAN ALAM


OBJEK III
ISOLASI SENYAWA FENOLIK DARI KAYU ANGIN
(Usnea sp.)

OLEH:

NAMA : NORIZZA FAJRAROZA


NO.BP : 1911012032
HARI/TANGGAL : SENIN, 01 MARET 2021
SHIFT : 1 (SATU)

LABORATORIUM KIMIA BAHAN ALAM


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
ISOLASI SENYAWA FENOLIK DARI KAYU ANGIN
(Usnea sp.)
I. TUJUAN
1. Mengetahui dan mempraktekkan cara mengisolasi golongan senyawa
golongan fenolik.
2. Mengetahui cara mengidentifikasi senyawa golongan fenolik.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tinjauan Botani

Usnea sp.
2.1.1 Klasifikasi tanaman kayu angin(1):
Divisi : Thallophyta
Subdivisi : Lichenes
Kelas : Ascolichenes
Ordo : Discocarpineae
Famili : Usneaceae
Genus : Usnea
Spesies : Usnea sp.

2.1.2 Morfologi
Usnea sp. Termasuk tanaman epifit tahunan, hidup menempel
pada pohon yang keras. Thalus seperti benang, tegak atau
bergantungan, tanpa rhizoid-rhizoid dan melekat pada substrat dengan
suatu cakram pelekat yang berasal dari lapisan teras (empulur). Thalus
bercabang-cabang yang bentuknya seperti serabut, kulit seperti
tanduk, rapuh terdiri atas hipa-hipa berdinding tebal, bersepta, dan
tegak lurus pada poros bujur. Lapis teras (empulur) terdiri atas dua
bagian: (1) Bagian luar seperti jarring laba-laba, lepas terdiri dari hifa-
hifa berdinding tipis, (2) Bagian dalam seperti tanduk, merupakan
suatu bagian yang mudah dipisahkan dari lapis teras yang luar (2).
2.1.3 Habitat dan Distribusi
Usnea sp merupakan salah satu spesis lichen yang termasuk
dalam suku usneaceae. Usnea sp terdapat di daerah pegunungan di
Indonesia, Malaysia, India, China, Jepang, Eropa, Amerika, Afrika,
Amerika Tengah, Australia, dan Selandia Baru, Inggris. Di Indonesia,
Usnea sp dapat ditemukan hampir semua pegunungan dengan
ketinggian mulai 1000 m dari permukaan laut. Di Jawa Usnea sp
ditemukan di pegunungan antara lain di Cibodas, Jawa Barat, dan
pegunungan Jawa Timur. Di Sumatera ditemukan dikaki gunung
Kerinci (3).

2.2 Kandungan Kimia


Usnea bisa digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit,
karena mengandung berbagai macam metabolit sekunder. Setiap spesies
Usnea mengandung perbedaan kandungan metabolit sekunder yang
spesifik. Kandungan metabolit sekunder seperti lecanoric acid, dan usnic
acid dimanfaatkan untuk antioksidan, antimikroba dan induksi apoptosis
pada sel kanker. Selain itu, usnic acid juga bisa digunakan untuk bahan
pengawet (4).

2.3 Kegunaan Secara Tradisional


Masyarakat kota Jakarta memanfaatkan Usnea untuk mengobati
berbagai macam penyakit baik sebagai simplisia tunggal maupun
dicampurkan dengan bahan lain. Pemanfaatan dengan pencampuran
bahan lain memerlukan campuran bahan lainnya yang memiliki efek
sinergis dalam pengobatan suatu penyakit. Pemanfaatan Usnea dalam
bentuk simplisia tunggal hanya digunakan untuk mengobati masuk angin.
Masyarakat pada umumnya mendapatkan informasi bahwa Usnea
berkhasiat sebagai obat dari pengalaman secara turun-temurun dari
orang-orang yang terdahulu. Hal tersebut mengakibatkan banyak
ditemukan spesies Usnea yang berbeda ditemukan dalam satu racikan
jamu. Selain itu, Usnea juga ditemukan dalam semua racikan jamu.
Peracik jamu mengemukakan bahwa Usnea merupakan bahan utama
yang harus ada dalam racikan jamu (4).

2.4 Bioaktivitas
2.4.1 Bioaktivitas Ekstrak
Usnea dapat digunakan sebagai antibiotik, inhibitor garam positif
termasuk positif TB, staphylococcus, streprococcus dan
pneumonococcus.Selain itu, juga dapat digunakan sebagai anti-
inflamasi, analgesik, antikanker karena mengandung asam usnat.
Ekstrak metanol dari Usnea rubrotincta memiliki aktivitas antioksidan
dan antibakteri terhadap S. aureus dan B. subtilis. Ekstrak aseton dari
Usnea rubrotincta memiliki aktivitas antioksidan dan antibakteri
terhadap S. aureus dan B. subtilis karena mengandung senyawa asam
usnat dan antranorin (3).
2.4.2 Bioaktivitas Metabolit Sekunder
Usnea sp yang merupakan salah satu genus dari lichen yang
menghasilkan metabolit sekunder yang telah diketahui memiliki
banyak aktivitas farmakologis sebagai antibakteri, antiprotozoal,
antisitotoksik, antiproliferasi, antioksidan dan antiinflamasi [1]. Di
antara aktivitas tersebut yang berperan terhadap proses penyembuhan
luka bakar adalah anti-inflamasi dan anti bakteri. Kandungan kimia
yang terdapat pada Usnea sp yaitu fenol, quinon, dibenzofuran,
depsidon, γ-lakton, turunan asam pulvinat dan xanton (5).

2.5 Teori Ekstraksi


Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa tertentu yang
terdapat pada suatu bahan dengan bantuan pelarut. Pelarut yang
digunakan harus sesuai dengan karakteristik senyawa yang diinginkan.
Metode yang diduga efektif dalam mengekstrak senyawa bioaktif adalah
Soxhletasi. Prinsip Soxhletasi adalah penyaringan yang berulang-ulang
sehingga hasil yang didapat sempurna dan pelarut yang digunakan relatif
sedikit. Pelarut organik dapat menarik senyawa organik dalam bahan
alam secara berulang-ulang. Ekstraksi cara Soxhlet menghasilkan
rendemen yang lebih besar jika dibandingkan dengan maserasi. Hal ini
disebabkan karena dengan adanya perlakuan panas yang dapat
meningkatkan kemampuan pelarut untuk mengekstraksi senyawa-
senyawa yang tidak larut didalam kondisi suhu kamar, serta terjadinya
penarikan senyawa yang lebih maksimal oleh pelarut yang selalu
bersirkulasi dalam proses kontak dengan simplisia sehingga memberikan
peningkatan rendemen (6).

2.6 Rekristalisasi
Rekristalisasi adalah teknik pemurnian suatu zat padat dari campuran
atau pengotornya yang dilakukan dengan cara mengkristalkan kembali
zat tersebut setelah dilarutkan dalam pelarut (solven) yang sesuai atau
cocok. Ada beberapa syarat agar suatu pelarut dapat digunakan dalam
proses kristalisasi yaitu memberikan perbedaan daya larut yang cukup
besar antara zat yang dimurnikan dengan zat pengotor, tidak
meninggalkan zat pengotor pada kristal, dan mudah dipisahkan dari
kristalnya. Prinsip dasar dari rekristalisasi adalah perbedaan kelarutan
antara zat yang akan dimurnikan dengan kelarutan zat pencampur atau
pencemarnya. Larutan yang terbentuk dipisahkan satu sama lain,
kemudian larutan zat yang diinginkan dikristalkan dengan cara
menjenuhkannya (mencapai kondisi supersaturasi atau larutan lewat
jenuh). Secara toritis ada 4 metoda untuk menciptakan supersaturasi
dengan mengubah temperatur, menguapkan solven, reaksi kimia, dan
mengubah komposisi solven(7).
2.7 Kromatografi
Pelaksanaan analisis dengan KLT diawali dengan menotolkan
alikuot kecil sampel pada salah satu ujung fase diam (lempeng KLT),
untuk membentuk zona awal. Kemudian sampel dikeringkan. Ujung fase
diam yang terdapat zona awal dicelupkan ke dalam fase gerak (pelarut
tunggal ataupun campuran dua sampai empat pelarut murni) di dalam
chamber. Jika fase diam dan fase gerak dipilih dengan benar, campuran
komponen-komponen sampel bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda
selama pergerakan fase gerak melalui fase diam. Hal ini disebut dengan
pengembangan kromatogram. Ketika fase gerak telah bergerak sampai
jarak yang diinginkan, fase diam diambil, fase gerak yang terjebak dalam
lempeng dikeringkan, dan zona yang dihasilkan dideteksi secara
langsung (visual) atau di bawah sinar ultraviolet (UV) baik dengan atau
tanpa penambahan pereaksi penampak noda yang cocok(8).
Pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dilakukan
beberapa kali menggunakan beberapa eluen dengan tingkat kepolaran
yang berbeda untuk mendapatkan pelarut yang mampu memberikan
pemisahan yang baik serta noda zat warna yang bagus. Bercak pada plat
KLT dimonitor di bawah lampu UV 254 nm dan UV 365 nm. Penentuan
golongan senyawa pada uji KLT dilakukan dengan penyemprotan plat
KLT dengan beberapa pereaksi. Komponen kimia yang yang dievaluasi
dari ekstrak meliputi uji alkaloid, fenol, terpenoid, dan flavonoid dengan
menggunakan pereaksi Dragendorff ’s reagent, FeCl3 , dan Vanilin Asam
Sulfat, secara berturut-turut(9).

.
III. PROSEDUR PERCOBAAN
3.1. Alat dan Bahan
A. Alat
Sokhlet, labu destilasi 250 mL, kondensor, mantel pemanas,
Erlenmeyer 125 mL 2 buah, dan rotary evaporator.
B. Bahan
Kayu angin (Usnea sp.) 100 g, heksana, kertas saring, etil asetat, dan
metanol.

3.2. Cara Kerja


1. Bungkus sample kayu angin dengan kertas saring sedemikian rupa
sehingga dapat masuk kedalam alat soklet.
2. Pasang kondensor dan mantel pemanas.
3. Masukkan pelarut n-heksana.
4. Lakukan proses sokletasi sehingga penyarian sempurna.
5. Pekatkan larutan asam usnat dengan rotary evaporator.
6. Tambahkan sedikit etil asetat sehingga kristal asam usnat larut baik
dalam etil asetat panas.
7. Biarkan larutan dalam frizer dan saring kristal yang terbentuk dengan
kertas saring. Bilas kristal dengan methanol dingin.
8. Tentukan titik leleh kristal yang terbentuk.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
A. Perhitungan Rf
Panjang lintasan sampel asam usnat = 4,3 cm
Panjang lintasan asam usnat pembanding = 4,4 cm
Panjang lintasan KLT = 8 cm
Maka:
Rf sampel asam usnat = = 0,5375

Rf asam usnat pembanding = = 0,55

B. Dokumentasi

Gambar 4.1 Gambar 4.2


Sampel yang belum digrinder Sampel yang sudah digrinder

Gambar 4.3 Gambar 4.4


Kristal asam usnat Plat KLT + Penampak noda
FeCl3
Gambar 4.5 Gambar 4.5
Plat KLT + Penampak noda Plat KLT di bawah sinar UV
ANS 254 nm
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini membahas tentang bagaimana tahapan
metoda pemisahan dalam mengisolasi senyawa metabolit sekunder,
khususnya senyawa fenolik yaitu asam usnat, dari serbuk kayu angin
(Usnea sp.) dan cara mengidentifikasi senyawa hasil isolasi. Berikut
adalah skema kerja praktikum kali ini:

Membuat selongsong dari kertas saring

Memasukkan serbuk kayu angin ke dalam selongsong lalu diikat


dengan benang jagung

Masukkan pelarut 2,5x ke dalam labu destilasi dan ditambahkan batu


didih

Memasang semua alat sokhlet

Memasukkan selongsong berisi sampel ke dalam timbal, lalu


dilakukan sokhletasi

Setelah pelarut pada timbal menjadi jernih, sokhletasi dihentikan.

Ambil hasil sokhlet dan uapkan dengan rotary evaporator sampai


pekat dan ada endapan.

Masukkan ekstrak ke dalam vial lalu uapkan pelarut dengan penangas


air.

Pisahkan pelarut dengan endapan dengan cara dekantasi.

Sonikasi asam usnat, lalu panaskan di atas waterbath sampai larutan


menjadi bening.

Tambahkan n-heksana sedikit demi sedikit sampai terbentuk kabut.

Tutup botol dengan aluminium foil, lubangi dengan jarum, lalu


tunggu 24 jam agar kristal terbentuk
Potong plat KLT dan garis batas atas dan bawah

Jenuhkan chamber dengan eluen dan kertas saring

Totolkan sampel dan asam usnat pembanding pada plat KLT, lalu
masukkan ke dalam chamber

Hentikan KLT jika eluen sudah mencapai batas atas, kemudian


keluarkan plat KLT.

Tuang reagen FeCl3 atau ANS ke dalam wadah datar, lalu plat KLT
dicelup kemudian diangkat dan didiamkan hingga kering.

Lihat plat KLT di bawah sinar UV.

Hitung Rf sampel dan pembanding, kemudian bandingkan keduanya.

Sebelum melakukan ekstraksi, sampel dari kayu angin terlebih


dahulu digrinder menggunakan blender hingga halus. Tujuan dari proses
grinder adalah agar ukuran partikel kayu angin menjadi lebih kecil
sehingga luas permukaannya menjadi lebih besar agar sampel lebih
mudah larut dalam pelarutnya. Metode ekstraksi yang dipakai adalah
sokhletasi. Perbedaan metode sokhletasi dari maserasi adalah pada
sokhletasi proses ekstraksi berlangsung lebih cepat, jumlah pelarut yang
diperlukan lebih sedikit, dan sokhletasi memakai suhu tinggi sehingga
digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang tahan atau stabil terhadap
panas.
Langkah selanjutnya adalah membuat selongsong dengan cara
menggulung kertas saring dengan tabung reaksi, kemudian mengeluarkan
tabung reaksi tersebut. Selongsong yang telah jadi dimasukkan ke
dalamnya sampel kayu angin yang telah halus tadi, kemudian ujung
selongsong diikat dengan benang jagung yang berlebih. Kelebihan
benang jagung tersebut nantinya digunakan untuk menggantung
selongsong di dalam alat sokhlet. Selongsong tidak boleh menyentuh
bagian bawah timbal dikarenakan hal tersebut dapat mengganggu ekstrak
yang sudah terpisah untuk turun melewati sifon. Pada bagian bawah alat
sokhlet terdapat labu destilasi yang diisi dengan pelarut n-heksana dan
etil asetat dengan perbandingan 9:1. Alasan dipakainya pelarut n-heksan
lebih banyak adalah akan memudahkan ekstraksi asam usnat dari sampel
kayu angin. Banyaknya pelarut yang dimasukkan kira-kira sebanyak 2,5x
siklus. Alasannya adalah supaya sokhletasi dapat berjalan terus menerus
walaupun ada kebocoran pada alat. Pada labu destilasi diletakkan batu
didih agar panas pada labu merata dan pelarut lebih cepat menguap.
Pelarut yang menguap akan melewati pipa F kemudian akan terus naik
lalu menyentuh kondensor yang dialiri air, sehingga akan terjadi proses
kondensasi yang menimbulkan adanya uap air yang kemudian jatuh dan
membasahi selongsong yang berisi sampel. Pelarut kemudian menarik
ekstrak dari sampel dan berkumpul di dasar timbal. Jika jumlah ekstrak
sudah lebih tinggi dari sifon, maka ekstrak akan keluar melalui sifon dan
masuk kembali ke labu destilasi. Hal tersebut dihitung sebagai satu
siklus. Sokhletasi kemudian dilanjutkan terus menerus hingga pelarut
pada timbal tampak jernih, artinya sudah tidak ada lagi ekstrak yang
dapat diambil dari sampel, maka sokhletasi bisa dihentikan.
Setelah sokhletasi selesai dilakukan, ekstrak dimasukkan ke dalam
labu rotary evaporator untuk diuapkan. Prinsip dari rotary evaporator
adalah memisahkan larutan dengan menggunakan vakum yang dapat
menurunkan tekanan agar pelarut dapat menguap di bawah titik didihnya.
Saat menggunakan rotary evaporator kita harus memperhatikan tekanan
pada vakum agar tidak terjadi ‘bumping’, yaitu keadaan dimana sampel
ikut menguap sehingga kembali bercampur dengan pelarut yang telah
menguap. Kemudian saat memberhentikan rotary evaporator, vakum
dimatikan sehingga tekanan akan naik perlahan dan pada saat tekanan
menunjukkan angka 800-900 barulah labu bisa dilepas. Jika melepas labu
sebelum waktu yang tepat, dikhawatirkan dapat merusak labu karena
benturan dengan penangas air. Setelah labu rotary evaporator dilepaskan,
hasil ekstrak kental yang didapatkan dipindahkan ke dalam vial. Pelarut
dalam vial kemudian diuapkan dengan memanaskannya dalam penangas
air, kemudian dilakukan dekantasi. Dekantasi adalah pemisahan larutan
dari endapan dengan menuangkan larutan secara perlahan-lahan ke
wadah lain agar endapan tidak ikut terbuang.
Vial yang berisi endapan berbentuk kristal tersebut kemudian
dilakukan sonikasi. Sonikasi adalah memperkecil ukuran partikel untuk
meningkatkan kelarutan kristal dengan menggunakan gelombak
ultrasonik. Setelah itu, vial dipanaskan dalam waterbath sampai warna
larutan menjadi bening. Kemudian ditambahkan n-heksan sedikit demi
sedikit sampai terbentuk kabut. Penyebab terjadinya kabut adalah karena
kelarutan asam usnat dalam etil asetat terganggu oleh penambahan n-
heksan sehinnga terjadi proses penjenuhan dan mengakibatkan
terbentuknya kristal asam usnat.
Plat KLT ukuran 20x20 cm kemudian dipotong sesuai kebutuhan.
Kemudian plat digaris dengan jarak 1 cm dari pinggir atas dan bawah
plat. Saat menggaris usahakan untuk tidak menggaris terlalu keras agar
tidak merusak silika pada plat. Kemudian ditotolkan ekstrak asam usnat
tadi dengan menggunakan pipet kapiler. Untuk jarak antar totolan adalah
1-2 cm agar nantinya saat totolan naik tidak menyinggung satu sama lain.
Sebelum plat KLT dimasukkan ke dalam chamber, terlebih dahulu
chamber KLT harus dijenuhkan. Tujuan chamber dijenuhkan adalah
supaya keadaan di dalam chamber sama dan proses elusi menjadi lebih
cepat. Caranya dengan memasukkan eluen n-heksan dan etil asetat
dengan perbandingan 4:1 ke dalam chamber. Lalu dimasukkan kertas
saring sepanjang tinggi chamber dan harus mengelilingi dinding chamber
tersebut. Jika kertas saring sudah terbasahi semuanya maka chamber
telah jenuh. Barulah dimasukkan plat KLT ke dalam chamber, usahakan
eluen tidak mengenai totolan pada KLT, karena jika totolan terendam
eluen, maka totolan tersebut tidak akan naik pada plat dan malah larut
bersama eluen. Setelah totolan yang naik menyentuh batas atas pada plat,
maka KLT dihentikan.
Untuk memudahkan melihat hasil KLT dan mengidentifikasi
golongan senyawa maka bisa digunakan reagen FeCl3 dan ANS
(anisaldehid sulfuric acid). Reagen FeCl3 yang berwarna kuning akan
menghasilkan warna kuning kecoklatan pada plat jika senyawa
mengandung fenol. Untuk cara penggunaanya dilakukan dengan
menuangkan reagen FeCl3 ke wadah datar, lalu plat KLT dicelupkan
kemudian ditunggu hingga kering, maka akan menghasilkan warna
kuning kecoklatan. Sedangkan pada reagen ANS, noda sampel pada plat
akan berubah menjadi warna ungu. Berikut adalah reaksi penampak noda
FeCl3 dengan sampel asam usnat:

Setelah itu plat KLT bisa dilihat menggunakan lampu UV dengan


panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Perbedaan penggunaan sinar
UV berdasarkan panjang gelombangnya adalah sumber fluoresensi yang
dapat kita lihat. Jika menggunakan sinar UV 254 nm, yang berfluoresensi
adalah silika pada lempeng plat, sedangkan noda sampel terlihat gelap.
Lalu jika menggunakan sinar UV 366 nm, yang berfluoresensi adalah
noda sampel, sedangkan silika pada plat KLT terlihat gelap.
Setelah dilakukan perhitungan untuk mencari panjang Rf nya,
didapatkan Rf dari sampel asam usnat adalah 0,5375. Sedangkan Rf dari
asam usnat pembandingnya adalah 0,55. Ini membuktikan bahwa
terdapat senyawa asam usnat di dalam ekstrak kayu angin (Usnea sp.).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Tanaman kayu angin (Usnea sp.) mengandung senyawa asam usnat
yang bersifat fenolik.
2. Sokhletasi merupakan ekstraksi senyawa dengan menggunakan pelarut
yang sesuai dengan proses penguapan dan kondensasi secara berulang.
3. Fase diam yang digunakan adalah silika gel, sedangkan fase geraknya
adalah n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 4:1.
4. Perbandingan fase gerak yang dipakai disesuaikan dengan sifat dari
senyawa pada sampel.
5. Untuk mengetahui adanya senyawa asam usnat digunakan kromatografi
lapis tipis yang menghasilkan nilai Rf mendekati 0,55.

5.2 Saran
1. Saat melaukan sokhletasi, dianjurkan untuk menggunakan pelarut
setidaknya 2,5x siklus sokhlet.
2. Gunakan penampak noda agar identifikasi senyawa tepat.
3. Lakukan penjenuhan chamber dengan menggunakan kertas saring.
4. Selalu menggunakan handscoon, masker, jaslab, dan sepatu tertutup
saat melaksanakan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wijayanti EL. Uji Daya Antibakteri Ekstrak Aseton Kayu Angin (Usnea
sp.) Terhadap Bakteri Pseudomonas aeroginosa dan Bacillus subtilis.
Universitas Sanata Dharma; 2005.
2. Miharjo S. Pemanfaatan Ekstrak Kayu Angin (Usnea sp) Sebagai
Antibakteri Terhadap Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif. Universitas
Diponegoro; 1996.
3. Marlina T, Dini I, Maryono. Isolasi Senyawa Alkaloid dari Fraksi Ekstrak
Kloroform. 2017;137–40.
4. Jannah M, Afifah N. STUDI KAYU ANGIN (Usnea spp.) SEBAGAI
BAHAN OBAT TRADISIONAL Studi Kasus: Pasar Tradisional Kota
Jakarta. Teknosains Media Inf Sains Dan Teknol. 2020;14(1).
5. Fitriani L, Melisa, Saputra F, Zaini E. Studi Awal Sediaan Gel Ekstrak
Etanol Kayu Angin (Usnea Sp) untuk Penyembuhan Luka Bakar. J Sains
Farm Klin. 2018;5(2):83–7.
6. Anam C, Agustini T, Romadhon R. Pengaruh Pelarut Yang Berbeda Pada
Ekstraksi Spirulina Platensis Serbuk Sebagai Antioksidan Dengan Metode
Soxhletasi. J Pengolah dan Bioteknol Has Perikan. 2014;3(4):106–12.
7. Rositawati A., Taslim C., Soetrisnanto D. Rekristalisasi Garam Rakyat Dari
Daerah Demak Untuk Mencapai SNI Garam Industri. J Teknol Kim dan
Ind. 2013;2(4):217–25.
8. Wulandari L. Kromatografi Lapis Tipis. Jember: Taman Kampus Presindo;
2011.
9. Alen Y, Agresa FL, Yuliandra Y. Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
dan Aktivitas Antihiperurisemia Ekstrak Rebung Schizostachyum
brachycladum Kurz (Kurz) pada Mencit Putih Jantan. J Sains Farm Klin.
2017;3(2):146–52.

Anda mungkin juga menyukai