Anda di halaman 1dari 20

ONTOLOGI DALAM

FILSAFAT SAINS MODERN

MAKALAH

Untuk Memenuhi Syarat di Mata Kuliah Filsafat Ilmu Islam

Diampu oleh : Dr. H. Syamsul Bakhri, MA

Program Studi Magister Kesehatan

Ahmad Zaki Hasibuddin 005310132020

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat. Studi tersebut membahas

keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.Ontologi membahas realitas atau suatu entitas

dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu

fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana

realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar

pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan

sebagai dasar pembahasan realitas. 1

Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari suatu pengetahuan dengan jalan

melakukan pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut

berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan atau penelitiannya

tersebut.Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya

operasional.Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan

berasal.Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak dapat

menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajiannya. 2


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Munculnya Ontologi

Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke 17. Menurut akar kata

yunani, ontologi berarti ‘teori mengenai ada yang berada’.Aristoteles, yang kemudian

disebut sebagai metafisika. Beberapa ahli filsafat mempunyai banyak pengertian yang

berbeda satu sama lain. ada beberapa hubungan yang hampir sama bahwa ontologi

adalah ilmu tentang “yang ada” sebagai bagian cabang filsafat yang sama. Baumgarten

mendefinisikan ontologi sebagai studi tentang predikat-predikat yang paling umum atau

abstrak dari semua hal pada umumnya. Heidegger memahami ontologi sebagai analasis

konstitusi “yang ada dari eksistensi”. Ontologi menemukan keterbatansan eksistensi dan

bertujuan menemukan apa yang memungkinkan eksistensi. Ontologi merupakan “ilmu

pengetahuan”yang paling universal dan paling menyeluruh.Ontologi berupaya mencari

inti yang termuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan yang ada meliputi semua

realitas dalam semua bentuknya. Ontologi adalah teori atau pengetahuan tentang

wujud,tentang hakikat yang ada ontologi tidak terlalu berdasar pada alam nyata tetapi

berdasar pada logika semata-mata yaitu : 1.2

a.  Objek formal ontologi

Objek formal ontologi Adalah hakikat seluruh realitas Bagi pendekatan kuantitatif,

realitas tampil dalam kuantintas atau jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif.
b. Dasar ontologi ilmu

Dasar ontologi ilmu berbicara tentang apakah yang ingin diketahui ilmu? Atau apa

yang bisa dirumuskan secara eksplisit yang menjadi bidang tentang ilmu ?berbeda

dengan agama atau bentuk pengetahuan yang lainnya, maka ilmu membatasi diri

hanya kepada kejadian yang bersifat empiris.  secara sederhana objek kajian ilmu

ada dalam jangkauan pengalaman manusia. 3

c. Metode dalam ontologi menurut loren bagus memperkenalkan 3 tingkatan abstraksi

ontologi, yaitu 3

1.  abstraksi fisik, yaitu menampilkan keseluruhan sifat khas suatu objek

2. abstraksi bentuk yaitu mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua

yang sejenis.

3.  abstraksi metaphisik yaitu prinsip umum yang menjadi dasar dari semua

realitas.

2.2 Ontologi Filsafat Sains

Secara sederhana, ontologi merupakan cabang filsafat yang melukiskan hakikat

keberadaan atau eksistensi sesuatu. Ontologi berupaya mencari struk- tur dasar dalam

sebuah eksistensi atau objek yang dijelajahinya.4Pertanyaan yang berhubungan dengan

ontologi adalah apa hakikat eksistensi atau keberadaan itu? 5 Dalam konteks sains,

dimensi ontologi sains adalah alam semesta dengan segala perkakasnya. Dalam
perspektif Mehdi Golshani, dalam al-Qur’an terdapat lebih dari tujuh ratus lima puluh

ayat yang merujuk kepada fenomena alam semesta. Sedangkan dalam pengamatan Agus

Purwanto, dalam al-Qur’an ternyata terdapat sekitar 1108 (seribu seratus delapan) ayat

yang membicarakan tentang alam semesta dengan segala dimensinya.6

Dalam beragam ayat-Nya, Allah memerintahkan manusia untuk melaku- kan

penjelajahan saintifik terhadap keragaman fenomena alam semesta baik yang berada di

bumi maupun berada di ufuk cakrawala. Misalnya:

QS. Yunus [10]: 101,

“Katakanlah (Nabi Muhammad): Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di

bumi. Tidaklah bermanfaat ayat-ayat (bukti-bukti kekuasaan Allah SWT) dan

peringatan-peringatan bagi kaum yang tidak beriman.” 6

QS. al-‘Ankabut: [29]: 20,


“Katakanlah (Nabi Muhammad): Berjalanlah di atas bumi, lalu perhatikanlah

bagaimana Allah memulai penciptaan (semua makhluk), kemudian Allah

menjadikannya di kali lain (yakni setelah penciptaan yang pertama itu). Sesungguhnya

Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Ayat-ayat tersebut dengan jelas memerintahkan manusia untuk memper-

hatikan, mengamati, dan meneliti secara saintifik seluruh fenomena yang ada pada

wajah alam semesta. Jika bumi (arḍ) merupakan representasi seluruh fakta kehidupan

yang berada di atas kehidupan bumi yang meliputi manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan

dengan seluruh fenomena yang menyertainya, maka langit (samāwāt) sebagai

representasi semua fenomena di luar bumi (langit) yang mencakup matahari, rembulan,

bintang-gemintang dengan segala planet-planet lain yang mengiringinya. Dengan

perintah tersebut, manusia sangat memungkinkan mampu mengeksplorasi dan

menyingkap rahasia hukum-hukum kehidupan bumi sekaligus alam semesta secara

saintifik. Sebab tidak mungkin Allah telah memerintahkan hamba-Nya untuk menelaah

alam semesta, kalau kita sebagai hamba-Nya tidak mampu mengungkap misterinya

secara ilmiah. 4,6


Namun dalam perspektif Islam, satu hal yang sangat prinsipil dalam mengkaji

alam semesta beserta isinya adalah kesadaran kita bahwa alam semesta itu merupakan

tanda-tanda (āyāt) dari Sang Pencipta. Dalam tilikan al- Qur’an, alam semesta tidak

berdiri sendiri, melainkan sebagai tanda sekaligus simbol tentang makna-makna yang

berada di baliknya. Berikut beberapa ayat al-Qur’an yang melukiskan bahwa alam

semesta sebagai tanda-tanda (āyāt) bagi orang-orang yang berpikir:

QS. al-Rum [30]: 22 - 24

“Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya adalah penciptaan langit dan bumi

serta perbedaan lidah (bahasa dan dialek) kamu dan warna kulit kamu. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar (terdapat) bukti-bukti bagi orang yang dalam

pengetahuannya”. “Dan di antara tanda-tanda (ke- kuasaan)-Nya, Dia memperlihatkan

kepada kamu kilat (untuk menimbul- kan) ketakutan dan harapan (bagi turunya hujan),

dan Dia menurunkan air dari langit, lalu denganya Dia menghidupkan (menyuburkan

bumi sesudah mati/kering-nya). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ter-
dapat bukti-bukti bagi kaum yang berakal (yakni yang memikirkan dan

merenungkannya)”.10

Dengan berpijak pada prinsip-prinsip Qurani tersebut, menurut Osman Bakar,

para ilmuwan Muslim era klasik telah memandang alam semesta se- bagai simbol.

Dalam paradigma tradisional Islam, simbol merupakan “refleksi” pada tingkat eksistensi

yang lebih rendah, dari sebuah realitas yang datang dari status ontologis yang lebih

tinggi. Alam yang lebih tinggi yang disimbolkan oleh simbol-simbol alamiah adalah

alam spiritual. Sebagai contoh, matahari me- nyimbolkan Akal Ilahi; ruang angkasa

yang luas menyimbolkan Keserba- mungkinan Ilahi dan juga Kekekalan Ilahi; seekor

burung menyimbolkan jiwa; sebatang pohon menyimbolkan tingkat-tingkat wujūd; dan

air menyimbolkan pengetahuan dan hujan menyimbolkan wahyu. Kita dapat

menyebutkan se- jumlah tidak tehingga contoh yang lain.5

Dalam perspektif Osman Bakar, ada pertalian batin antara simbol dan yang

disimbolkan. Pertalian ini bersifat metafisik, bukan fisik. Pengetahuan me- ngenai

makna sebuah simbol atau tentang pertalian batin itu tidak dapat diper- oleh melalui

analisis logika atau matematika atau melalui investigasi empiris. Pengetahuan ini

merupakan sains yang secara tradisional disebut sains tentang simbolisme, yang bersifat

metafisik. Karenanya, sains simbolisme teramat penting dalam menyelidiki kesatuan

antara sains dan pengetahuan spiritual.5


2.2 Aliran-aliran ontologi

Dalam mengkaji ontologi, muncul beberapa pertanyaan yang melahirkan aliran

aliran dalam filsafat.Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut

pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa :     

Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir 5 aliran dalam filsafat yaitu:

2.2.1 Naturalisme

Dari segi bahasa, Naturalisme berasal dari 2 kata, yaitu Natural (Alami)

dan Isme (Paham) Sehingga, aliran naturalisme dapat juga disebut sebagai

Paham Alami.Maksudnya, bahwa setiap manusia yang terlahir ke bumi ini

pada dasarnya memiliki kecenderungan atau pembawaan yang baik, dan tak

ada seorangpun terlahir dengan pembawaan yang buruk.

Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai

keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan

bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia,

sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah

dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme

adalah kebalikan dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan

dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas

atau di luar alam ( Harold H. Titus e.al. 1984)


Aristotalian-Thomistik.Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan

mengalami perkembangan pada abad ke 18.Naturalisme berkembang dengan

cepat di bidang sains.Ia berpandangan bahwa “Learned heavily on the

knowledge reported by man’s sense” Aliran ini dipelopori oleh J.J Rosseau,

filsuf Perancis yang hidup pada tahun 1712-1778. Rosseau berpendapat

bahwa semua anak baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik. Pembawaan

baik akan menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang

diberikan orang dewasa, justru dapat merusak pembawaan baik anak itu,

sehingga aliran ini sering disebut negativisme. 7

2.2.2 Materialisme

aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan

ruhani. Materialisme merupakan faham atau aliran yang menganggap bahwa

di dunia ini tidak ada selain materi atau nature (alam) dan dunia fisik adalah

satu. Pada abad pertama masehi faham ini tidak mendapat tanggapan yang

serius, dan pada abad pertengahan orang masih menganggap asing terhadap

faham ini. Baru pada zaman Aufklarung (pencerahan), materialisme

mendapat tanggapan dan penganut yang penting di Eropa Barat. Pada abad

ke-19 pertengahan, aliran ini tumbuh subur di Barat disebabkan, dengan

faham ini, orang-orang merasa mempunyai harapan-harapan yang besar atas

hasil-hasil ilmu pengetahuan alam.


Selain itu, faham Materialisme ini praktis tidak memerlukan dalil-dalil

yang muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada

kenyataan-kenyataan yang jelas dan mudah dimengerti. Kemajuan aliran ini

mendapat tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama di mana-mana.

Hal ini disebabkan bahwa faham ini pada abad ke-19 tidak mengakui adanya

Tuhan (ateis) yang sudah diyakini mengatur budi masyarakat. Pada masa ini,

kritik pun muncul di kalangan ulama-ulama barat yang menentang

materialisme. Adapun beberapa kritik yang dilontarkan tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Materialisme menyatakan bahwa alam wujud ini terjadi dengan sendirinya

dari chaos (kacau balau). Kata Hegel, kacau balau yang mengatur bukan

lagi balau namanya itu Tuhan.

2. Materialisme menerangkan bahwa segala peristiwa diatur oleh hukum

alam. Padahal pada hakikatnya hukum alam ini adalah perbuatan ruhani

juga.

3. Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal

benda itu sendiri. Padahal dalil itu menunjukkan adanya sumber dari luar

itu sendiri yaitu Tuhan

4. Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian ruhani yang

paling mendasar sekalipun.

Diantara tokoh-tokoh aliran ini adalah Anaximenes (585-528),

Anaximandros (610-545 SM), Thales (625-545 SM), Demokritos (460-545


SM), Thomas Hobbes (1588-1679 M), Lamettrie (1709-1775 M), Feuerbach

(1804-1877 M), Spencer (1820- 1903 M), dan Karl Marx (1818-1883 M). 8

2.2.3 Idealisme

Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.

Aliran ini ditemui dalam ajaran plato (428-348SM) dengan teori idenya.

Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik

hanya dapat dipahami kaitannya dengan jiwa dan ruh. Istilah idealisme

diambil dari kata idea, yakni seseuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme

mempunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh

teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung kepada spirit tidak

disebut idealis karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi

yang digunakan oleh idealisme.

Idealisme juga didefinisikan sebagai suatu ajaran, faham atau aliran

yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas ruh-ruh (sukma) atau jiwa,

ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. Aliran ini merupakan aliran

yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Mula-

mula dalam filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari

Plato, yang menyatakan bahwa alam idea itu merupakan kenyataan

sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa

bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat keruhanian

dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga


(entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya

dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah

faham idealisme hilang sama sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-

satunya pendapat yang disepakati oleh semua alat pikir adalah dasar

idelaisme ini.

Pada zaman Aufklarung para filsuf yang mengakui aliran serbadua,

seperti Descartes dan Spinoza, yang mengenal dua pokok yang bersifat

keruhanian dan kebendaan maupun keduanya, mengakui bahwa unsur

keruhanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum

agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme yang paling

setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat

yang mendalam. Puncak zaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19, yaitu

saat Jerman sedang memiliki pengaruh besar di Eropa.

Tokoh-tokoh aliran ini adalah : Plato (477-347), B. Spinoza (1632-1677

M), Liebniz (1685-1753 M), Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant(1724-

1881 M), J. Fichte (1762-1814 M), F.Schelling (1755-1854 M), dan G. Hegel

(1770-1831 M) 8

2.2.4 Hylomorfisme,

Yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang ada di dunia ini

terdiri atas dua unsur utamanya yaitu materi (al-hayula) dan bentuk (ṣūrah).

Dalam sejarah filsafat, ajaran ini dirumuskan dengan jelas oleh Aristoteles,
sebagai hasil reformasi terhadap ajaran gurunya, Plato, yang mengatakan

bahwa apa yang ada di dunia ini tidak lain dari pada bayang-bayang dari ide-

ide yang ada di dunia atas –yang kemudian biasa disebut ide-ide Plato. Ide-ide

ini direformulasikan Aristoteles sebagai bentuk, dan bayang-bayangnya

sebagai materi. Tetapi yang dimaksud dengan bentuk di sini bukanlah bentuk

fisik, melainkan semacam esensi (hakikat) dari sesuatu, sedangkan materi

adalah bahan, yang tidak akan mewujud (atau muncul dalam bentuk

aktualitas) kecuali setelah bergabung dengan bentuk hakikat 7

2.2.5 Positivisme

Merupakan salah satu aliran filsafat modern. Positivisme merupakan

suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata,

dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa

pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.

Pada dasarnya, positivisme adalah sebuah filsafat yang menempatkan

pengetahuan yang benar jika didasarkan pada pengalaman aktual fisikal. Jadi,

positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa ilmu alam

merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak

aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. 7


Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi dan ilmu gaib.

Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup

manusia dan dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-

benar bisa dipercaya kehandalan dan dan akurasinya dalam kehidupan dan

keberadaan masyarakat. 7

Auguste Comte merupakan tokoh aliran positivisme yang paling

terkenal sekaligus pendiri dari aliran ini dan sering disebut Bapak

Positivisme. Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak metafisika

dan teologik. Comte menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa

melampaui fakta sehingga positivisme benar-benar menolak metafisika dan

menerima adanya "das Ding an Sich" atau objek yang tidak dapat diselidiki

oleh pengetahuan ilmiah. Comte menggaris bawahi perkembangan penting

yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase

teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Fase teologis

(tahapan agama/religi dan ketuhanan) menjelaskan bahwa semua fenomena

yang terjadi merupakan kehendak Tuhan. Fase ini dibagi menjadi tiga yaitu

animisme, politeisme dan monoteisme. Fase metafisis (tahapan filsafat)

menjelaskan bahwa fenomena-fenomena terjadi dengan pemahaman

metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi.

Dan yang terakhir yaitu fase positif (tahap positivisme) menjelaskan tentang

manusia yang telah dapat membatasi diri pada fakta yang tersaji dan

menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi. 8


Menurut positivisme, tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis

terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori, filsafat adalah

aktivitas. Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas

filsafat karena filsafat bukanlah ilmu. Filsafat diartikan sebagai sesuatu yang

lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah

bahwa tugas utama dari sebuah ilmu adalah untuk memberi tafsiran terhadap

materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Seperti halnya tugas dari ilmu

eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam

dan sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu sosial adalah memberi tafsiran

terhadap hubungan yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu maupun

masyarakat. Karena semua obyek pengetahuan baik yang berhubungan

dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia sudah ditafsirkan

oleh masing-masing ilmu yang berhubungan, maka tidak ada lagi obyek yang

perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa

filsafat bukanlah ilmu. Dengan adanya penekanan dari filsafat positivisme

terhadap segi rasional ilmiah, maka berfungsi pula kemampuannya untuk

menerangkan kenyataan, sedemikian rupa sehingga keyakinannya akan

kebenaran semakin terbuka, 8


BAB III

PENUTUP

Filsafat merupakan pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada yang diperoleh

dari ikhtiar secara radikal.Filsafat memiliki beberapa aliran dan salah satunya adalah

aliran naturalism aliran ini beranggapan bahwa manusia lahir dengan pembawaan yang

baik, aliran ini dicetusakan oleh J.J Rosseau pada abad ke-17.Cara berfikir aliran ini

yang abstrak menjadikan peranan keluarga menjadi yang paling penting dalam

membekali dan membimbing seorang anak untuk menjadi lebih baik khususnya dalam

dunia pendidikan. Tujuan pendidikan menurut paham naturalisme adalah mengamankan


kebutuhan hidup; meningkatkan pengetahuan; memelihara hubungan sosial dan politik;

menikmati waktu luang; serta pemeliharaan diri; 1

Dalam Al-Qur’an dengan jelas memerintahkan manusia untuk memperhatikan,

mengamati, dan meneliti secara saintifik seluruh fenomena yang ada pada wajah alam

semesta. Jika bumi (arḍ) merupakan representasi seluruh fakta kehidupan yang berada

di atas kehidupan bumi yang meliputi manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dengan

seluruh fenomena yang menyertainya, maka langit (samāwāt) sebagai representasi

semua fenomena di luar bumi (langit) yang mencakup matahari, rembulan, bintang-

gemintang dengan segala planet-planet lain yang mengiringinya. Dengan perintah

tersebut, manusia sangat memungkinkan mampu mengeksplorasi dan menyingkap

rahasia hukum-hukum kehidupan bumi sekaligus alam semesta secara saintifik. Sebab

tidak mungkin Allah telah memerintahkan hamba-Nya untuk menelaah alam semesta,

kalau kita sebagai hamba-Nya tidak mampu mengungkap misterinya secara ilmiah 6

                       
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagus Loren, Kamus Filsafat (Cet. III; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2002.Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo,

2006.

2. Kattsoff Louis O, Pengantar Filsafat Cet. IX; Yogyakarta: Tiara wacana

Yogya, 2004.

3. Zaprulkhan, The Significance Of Philosophy Of Science For Humanity In

Islamic Perspective, STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung :

Walisongo, November 2015


4. Stephen Palmquis, Pohon Filsafat, (Yogyakarta: Pusyaka Pelajar, 2007), h.

6; Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1996), h.33-35.

5. Mehdi Golshani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, terj. Agus Effendi,

(Bandung: Mizan, 1989)

6. Issawi Charles, Filsafat Islam tentang Sejarah Cet. II; Jakarta: Tintamas,

1976

7. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka

Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

8. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Ali Maksum,

Penerbit Ar-Ruzz Media, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Jogjakarta,

Oktober 2009

Anda mungkin juga menyukai