NIM : 041305853
TT ke : 3
Jawab:
1.Frederich List
Menurut Frederich List, ia menguraikan bahwa pertumbuhan perekonomian sebuah negara
bergantung kepada cara produksi (teknik produksi) dan mata pencaharian masyarakat. Frederich
membagi pertumbuhan ekonomi berdasarkan tingkatan atau disebut dengan “Shuffen Throrien”
atau teori tangga. Simak juga penyebab ekonomi lemah . Tahapan pertumbuhan ekonomi yang
dimaksud oleh Frederich List adalah sebagai berikut :
Masa Berburu dan Mengembara (Tahap I)
Pada tahap I ini, manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara berburu dan mengembara.
Laki-laki bertugas memburu hewan liar sedangnya perempuan bertugas mencari sayur-sayuran
dan umbi-umbian. Jika pada suatu lokasi hewan buruan dan tanaman telah habis maka mereka
akan berpindah mencari sumber baru atau mengembara ketempat lain. Kondisi ini akan terus
berulang karena pada masa ini belum ada istilah pertukaran. Selain itu, pada masa itu manusia
cenderung untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pada tahap II ini telah terjadi perkembangan dimana manusia telah menetap di suatu wilayah.
Mereka juga memenuhi hidup dengan cara beternak dan bertani. Binatang buruan sebagian
dikonsumsi dan sebagian lagi di pelihara dan diternakkan. Begitupula dengan umbi dan sayuran
yang didapat sebagian akan di makan dan sebagian lagi ditanam agar kelak dapat dipanen.
Karena telah tinggal menetap maka pada saat itu mulai muncul perkampungan dan desa-desa
Masa Bertani dan Kerajinan (Tahap III)
Pada tahap III ini manusia telah mengalami perkembangan dengan mulai melakukan kegiatan
yang bersifat kerajinan. Kegiatan tersebut meliputi kerajian pertukangan dan pandai besi.
Kegiatan tersebut dilakukan sebagai sampingan di sela-sela kegiatan bertani.
Pada masa ini manusia telah mengalamai perkembangan dimana telah terdapat sejumlah pabrik
yang didirikan dan aktivitas indistri dan perniagaan. Pada tahap ini muncul kota-kota besar
sebagai pusat industri dan perdaganagan. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi, kini perdaganagan tidak hanya terjadi secara nasional tapi juga secara
internasional. Hal ini disebabkan karena adanya dukungan transportasi yang telah lebih moderen
dan maju. Simak juga faktor penghambat pertumbuhan ekonomi .
2. Karl Bucher (1847-1930)
Menurut Karl Bucher pertumbuhan ekonomi sebuah negara didasarkan pada hubungan antara
produsen san konsumen sebagaimana ciri-ciri ekonomi pasar . Menurutnya masyarakat
merupakan satu kesatuan rumah tangga produsen dan konsumen . Lebih lanjut dijelaskan bahwa
menurutnya pertumbuhan ekonomi dibagi kedalam beberapa tahap berikut :
Masa Rumah Tangga Tertutup
Pada masa ini masyarakat hanya memproduksi barang untuk kebutuhan mereka sendiri. Bisa
dikatakan bahwa kehidupan keluarga atau rumah tangga saat itu masih sangat sederhana.
Sehingga dapat dikatakan bahwa saat itu bersifat tertutup karena belum ada pertukaran antar desa
atau antar kelompok.
Kecepatan pertumbuhan penduduk membuat masyarakat tak lagi bisa memenuhi kebutuhannya
sendiri. Sehingga pada masa ini kemudian muncul pertukaran antar desa yang disebut dengan
perdagangan. Masa ini juga masyarakat mulai membangun pusat perdagangan dan industri yang
disebut dengan kota. Sehingga kemudian terjadilah pertukaran yang menimbulkam hubungan
antara desa dengan kota.
Didukung dengan kemajuan ilmu pengretahuan dan teknologi perdagangan atau bertukaran tidak
hanya berkutat dalam satu negara. Tapi juga memungkinkan terjadinya pertukaran dengan negara
lain. Kemajuan zama dan kecanggihan teknologi membuat kita dapat berhubungan dengan
orang-orang negara lain. Sehingga mendukung terjadinya pertukaran produk secara
internasional.
Jawab:
Dalam keunggulan absolut yang digagasnya, Adam Smith mengemukakan arti pentingnya sistem
ekonomi liberal, yakni bebas dari keterlibatan dan campur tangan pemerintah.
Smith memandang kemakmuran rakyat di suatu negara dapat dicapai melalui produksi dan
perdagangan. Untuk menghasilkan kekayaan yang universal, maka produksi dan perdagangan
harus dilakukan secara maksimal.
Sebab itulah, Smith menganjurkan agar pemerintah di setiap negara memberikan kebebasan
ekonomi kepada rakyat untuk melakukan perdagangan bebas baik dalam lingkup domestik
maupun internasional. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui
pertumbuhan penduduk dan total output yang dihasilkan.
Total output menggambarkan tingkat produksi barang dan jasa yang dipengaruhi oleh
ketersediaan sumber daya alam, tenaga kerja, dan persediaan barang. Untuk memaksimalkan
pertumbuhan output, maka segala sumber daya alam yang ada harus dikelola secara efektif dan
efisien oleh tenaga kerja dengan barang modal. Dengan pertumbuhan output yang maksimal
akan mampu menghasilkan keuntungan yang maksimal pula.
Dalam teorinya, Adam Smith mengungkapkan bahwa keuntungan absolut dapat diperoleh suatu
negara apabila berhasil membuat biaya produksi barang lebih murah dibandingkan dengan
negara lain.
Logika yang dikembangkan, jika biaya produksi antar-negara sama, maka tidak ada alasan untuk
melakukan perdagangan internasional. Atas dasar itulah, Smith mengemukakan dua ide utama
dalam teorinya terkait dengan perdagangan internasional sebagai berikut.
Dalam perdagangan internasional akan selalu ada pihak yang bertindak sebagai eksportir dan
importir. Suatu negara akan mengimpor barang dari negara lain apabila barang tersebut
diproduksi di dalam negeri justru tidak akan efisien atau kurang menguntungkan. Sebab itulah,
suatu negara dapat melakukan spesialisasi pada produksi barang yang menguntungkan, sehingga
dapat diperoleh keunggulan absolut.
Pembagian kerja internasional yang dimaksudkan di sini adalah perpindahan ruang industri
pabrikan. Artinya, proses produksi suatu barang tidak terbatas di suatu negara saja. Dengan
adanya pembagian kerja internasional, suatu negara dapat melakukan proses produksi barang
dengan biaya yang lebih murah dari negara lain. Efisiensi biaya produksi yang dicapai melalui
pembagian kerja internasional dinilai mampu mendorong perolehan keunggulan absolut di saat
negara melakukan perdagangan internasional.
Bagaimana realisasi dari teori keunggulan absolut dari Adam Smith ini? Untuk memberikan
gambaran yang lebih jelas, simak contoh studi kasus berikut ini.
Keuntungan Absolut
(Produksi 1 orang dalam 1 hari kerja)
Dari tabel di atas tampak bahwa Indonesia lebih unggul dalam memproduksi beras dibandingkan
dengan Jepang. Sebaliknya, Jepang lebih unggul memproduksi elektronik daripada Indonesia.
Berdasarkan data tersebut, seharusnya Indonesia melakukan spesialisasi pada produk beras,
sedangkan Jepang pada produk elektronik. Jika kedua negara tersebut melakukan perdagangan
internasional, maka masing-masing dapat memperoleh keuntungan.
Untuk Indonesia, diketahui DTD-nya 1 kg beras akan mendapatkan 1 unit elektronik, sedangkan
Jepang 1 kg beras sebanding dengan 4 unit elektronik. Apabila Indonesia menukarkan beras
dengan produk elektronik Jepang, maka akan mendapatkan keuntungan sebesar 3 unit elektronik
yang diperoleh dari 4 unit elektronik dikurangi 1 unit elektronik.
Sementara keuntungan untuk Jepang dengan DTD 1 unit elektronik sebanding dengan 0,25 kg
beras, sedangkan di Indonesia 1 unit elektronik sebanding dengan 1 kg beras. Jika Jepang
melakukan barter dengan Indonesia, maka akan memperoleh keuntungan sebesar 0,75 kg beras
yang diperoleh dari 1 kg beras dikurangi 0,25 kg beras.
Teori keunggulan komparatif David Ricardo lahir dari adanya kelemahan yang ditemukan pada
teori keunggulan absolutnya Adam Smith. Ricardo mengkritisi teori keunggulan absolut, di mana
perdagangan internasional hanya mungkin dilakukan oleh negara-negara yang mampu
melakukan proses produksi untuk mencapai keuntungan absolut saja. Teori dari Adam Smith
tersebut seolah hanya berlaku bagi negara-negara yang mampu melakukan spesialisasi produksi
barang.
Lantas, bagaimana dengan negara-negara yang mengalami kerugian absolut, dalam arti tidak
mampu melakukan spesialisasi produksi barang? Apakah negara-negara tersebut tidak bisa atau
tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk melakukan perdagangan internasional?
Atas dasar kelemahan-kelemahan itulah, David Ricardo mengemukakan gagasan baru dalam
lingkup perdagangan internasional berupa teori keunggulan komparatif. Menurut Ricardo, negara
yang tidak memiliki keunggulan absolut bisa ikut terlibat dalam perdagangan internasional yang
menguntungkan apabila mampu melakukan spesialisasi produksi barang yang memiliki biaya
relatif lebih rendah dibandingkan negara lain. Sebab, negara yang berhasil memproduksi barang
dengan harga relatif lebih murah memiliki keunggulan komparatif.
Teori keunggulan komparatif ini bisa diterapkan dengan menggunakan asumsi sebagai berikut.
Objek barang atau komoditi yang diperdagangkan hanya ada dua jenis saja.
Skala produksi bersifat content return to scale, yang artinya harga relatif barang-barang
komoditas tersebut sama pada berbagai kondisi produksi.
Berlaku teori nilai tenaga kerja (labor theory of value) yang menyatakan harga barang sama
dengan atau dapat dihitung dari jumlah jam kerja tenaga kerja yang digunakan dalam proses
produksi barang tersebut.
Dari berbagai asumsi tersebut, keunggulan komparatif terjadi apabila suatu negara mampu
melakukan proses produksi barang dengan biaya tenaga kerja yang lebih murah dibandingkan
dengan biaya tenaga kerja di negara lain.
Contoh studi kasus berikut dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dari penerapan teori
keunggulan komparatif dalam lingkup perdagangan internasional.
Keuntungan Komparatif
(Jam Kerja Per Satuan Output)
Besar keuntungan yang bisa diperoleh Indonesia dengan DTD 1 kg beras sebanding dengan 1
unit elektronik, sedangkan Jepang 1 kg beras sebanding dengan 1,3 unit elektronik. Apabila
Indonesia barter beras dengan elektronik Jepang, maka akan mendapatkan keuntungan sebesar
0,3 yang diperoleh dari 1,3 unit elektronik – 1 unit elektronik.
Sebaliknya Jepang juga akan mendapatkan keuntungan. Dengan DTD Jepang 1 unit elektronik
sebanding dengan 0,75 kg beras, sedangkan Indonesia 1 unit elektronik sebanding dengan 1 kg
beras. Nah, jika Jepang barter elektroniknya dengan beras Indonesia, maka akan mendapatkan
keuntungan sebesar 0,25 yang diperoleh dari 1 kg beras dikurangi 0,75 kg beras.
Meski brilian, namun tak ada gagasan yang sempurna. Artinya, sebaik-baiknya ide pemikiran
yang dikemukakan meski mampu memberikan sumbangsih pada perubahan dan perkembangan
perekonomian dunia, pasti ada saja kelemahannya.
Jawab:
Robert Solow adalah ahli ekonomi yang memenangkan hadiah nobel pada tahun 1987. Solow
berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi akan tercapai jika ada pertumbuhan output.
Pertumbuhan output terjadi jika dua faktor input, yakni modal dan tenaga kerja dikombinasikan,
sedangkan faktor teknologi dianggap konstan (tidak berubah).
Adapun yang tergolong sebagai modal adalah bahan baku, mesin, peralatan, komputer, bangunan
dan uang. Dalam memproduksi output, faktor modal dan tenaga kerja bias dikombinasikan dalam
berbagai model kombinasi. Sehingga, bisa dituliskan dalam rumus sebagai berikut:
Q = f (C.L)
Keterangan:
Q = Jumlah output yang dihasilkan
f = Fungsi
C = Capital (modal sebagai input)
L = Labour (tenaga kerja, sebagai input)
Rumus di atas menyatakan bahwa output (Q) merupakan fungsi dari modal (C) dan tenaga kerja
(L). Ini berarti tinggi rendahnya output tergantung pada cara mengombinasikan modal dan
tenaga kerja.
Robert Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang
bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan hasil atau output.
Adapun pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh
karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber
daya yang positif.
ketika nilai modal rendah, rata-rata pekerja hanya memiliki sedikit modal untuk bekerja,
sehingga satu unit modal tambahan akan begitu berguna dan dapat memproduksi output
tambahan lebih banyak. Ketika nilai modal tinggi, rata-rata pekerja memiliki banyak modal,
sehingga satu unit tambahan modal hanya akan sedikit menghasilkan output tambahan.
Investasi dan Konsumsi dalam Keseimbangan
Peranan permintaan terhadap barang dalam model neoklasik berasal dari konsumsi dan investasi.
Dengan kata lain, output per pekerja merupakan jumlah dari konsumsi per pekerja dan investasi
per pekerja. Dalam model neoklasik, diasumsikan setiap tahun seseorang akan menabung
sebagian dari pendapatan mereka dengan nilai tetap dan mengkonsumsi sebesar selisih nilai
pendapatan dengan tabungan tersebut, yang merupakan bentuk fungsi konsumsi sederhana.
Untuk melihat pengaruh fungsi konsumsi tersebut terhadap investasi, kita substitusikan asumsi di
atas ke dalam identitas perhitungan pendapatan nasional, sehingga diperoleh bahwa tingkat
investasi sama dengan tabungan. Jadi secara tidak langsung, tingkat tabungan menunjukan
seberapa besar bagian output yang dialokasikan untuk investasi.
Seiring dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi, persediaan modal akan mengalami perubahan.
Perubahan ini dapat bersumber dari dua hal : investasi dan depresiasi. Investasi berupa perluasan
usaha dan penambahan modal, sedangkan depresiasi mengacu pada penggunaan modal sehingga
persediaan modal berkurang. persediaan modal yang dimiliki dengan akumulasi modal baru.
Untuk memasukkan depresiasi ke dalam model, kita asumsikan bahwa sebagian dari persediaan
modal menyusut setiap tahun (tingkat depresiasi). Dengan demikian, kita bisa menyatakan
dampak investasi dan depresiasi terhadap persediaan modal merupakan perubahan persediaan
modal antara satu tahun tertentu ke tahun berikutnya.
Dengan demikian semakin tinggi persediaan modal, maka semakin besar jumlah output dan
investasi. Namun, semakin tinggi persediaan modal, maka semakin besar pula jumlah
depresiasinya. Ketika perekonomian berada di dalam kondisi tertentu, yakni pada saat jumlah
investasi sama dengan jumlah depresiasi, persediaan modal dalam perekonomian dinyatakan
dalam keseimbangan. Kondisi ini disebut steady state level of capital, dimana persediaan modal
dan output berada dalam kondisi mapan sepanjang waktu (tidak akan bertumbuh ataupun
menyusut). Dari sini juga kita dapat mengetahui berapa tingkat modal per pekerja pada kondisi
steady state. Kondisi steady state ini, dengan kata lain, menunjukkan ekuilibrium perekonomian
di jangka panjang.
Gambar 2.2
Fungsi Produksi Harrod-Domar
Dalam teori Harrod-Domar ini, fungsi produksinya berbentuk L karena sejumlah modal hanya
dapat menciptakan suatu tingkat output tertentu (modal dan tenaga kerja yang tidak substitutif).
Untuk menghasilkan output sebesar Q1 diperlukan modal K1 dan tenaga kerja L1, dan apabila
kombinasi itu berubah maka tingkat output berubah. Untuk output sebesar Q2, misalnya hanya
dapat diciptakan jika stok modal sebesar K2.Menurut Harrod-Domar, setiap perekonomian dapat
menyisihkan suatu proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya jika hanya untuk mengantikan
barang-barang modal (gedung-gedung, peralatan, material) yang rusak. Namun demikian, untuk
menumbuhkan perekonomian tersebut, diperlukan investasi investasi baru sebagai tambahan stok
modal. Jika kita menganggap bahwa ada
hubungan ekonomis secara langsung antara besarnya stok modal (K) dan output total (Y),
misalnya jika 3 rupiah modal diperlukan untuk menghasilkan (kenaikan) 36 output total sebesar
1 rupiah, maka setiap tambahan bersih terhadap stok modal (investasi baru) akan mengakibatkan
kenaikan output total sesuai dengan rasio modal-output tersebut. Jika kita menetapkan COR = k,
rasio kecenderungan menabung (MPS) =s yang merupakan proporsi tetap dari output total, dan
investasi ditentukan oleh tingkat tabungan, maka kita bisa menyusun model pertumbuhan
ekonomi yang sederhana sebagai berikut :
1. Tabungan (S) adalah bagian dalam jumlah tertentu, atau (s), dari pendapatan nasional (Y).
Oleh karena itu, kita pun dapat menuliskan hubungan tersebut dalam bentuk persamaan yang
sederhana :
S = sY (2.1)
2. Investasi neto (I) didefinisikan sebagai perubahan stok modal (K) yang dapat diwakili oleh
ΔK, sehingga kita dapat menuliskan persamaan sederhana yang kedua sebagai berikut :
I = ΔK (2.2)
Akan tetapi, karena jumlah stok modal, K, mempunyai hubungan langsung dengan jumlah
pendapatan nasional atau output, Y, seperti telah ditunjukkan oleh rasio modal-output, k, maka :
k=k
y
atau
Δk=k
Δy
atau, akhirnya
Δk=kΔy (2.3)
3. Terakhir, mengingat tabungan nasional neto (S) harus sama dengan investasi neto (I), maka
persamaan berikutnya dapat ditulis sebagai berikut :
S=I (2.4)
Dari persamaan (2.1) telah diketahui bahwa S = sY dan dari persamaan (2.2) dan (2.3), telah
mengetahui bahwasannya :
I = Δk = kΔy
Dengan demikian, kita dapat menuliskan ”identitas” tabungan sama dengan investasi dalam
persamaan (2.4) sebagai berikut :
S = sY = kΔY = ΔK =1 (2.5)
atau bisa diringkas menjadi:
sY = kΔY (2.6)
Selanjutnya, apabila kedua sisi persamaan (2.6) dibagi mula-mula dengan Y dan kemudian
dengan K, maka didapat :
ΔY= s (2.7)
Y k
Sisi kiri dari persamaan (2.7), atau ΔY/Y , sebenarnya merupakan tingkat perubahan atau tingkat
pertumbuhan GDP (yaitu, angka persentase perubahan GDP) (Todaro, 2006: 128 – 129).
Persamaan (3.7), yang merupakan versi sederhana dari persamaan terkenal dalam teori
pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, secara jelas menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan
GDP (ΔY/Y) ) ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan nasional, s, serta rasio
modal-output nasional, k. Secara lebih spesifik, persamaan itu menyatakan bahwa tanpa adanya
intervensi
pemerintah, tingkat pertumbuhan pendapatan nasional akan secara langsung atau secara “positif”
berbanding lurus dengan rasio tabungan (yakni, semakin banyak bagian GDP yang ditabung dan
diinvestasikan, maka akan lebih besar lagi pertumbuhan GDP yang dihasilkannya) dan secara
”negatif” atau berbanding terbalik terhadap rasio modal-output dari suatu perekonomian (yakni,
semakin besar rasio modal-output nasional atau k, maka tingkat pertumbuhan GDP akan
semakin rendah).Logika ekonomi yang terkandung dalam persamaan (3.7) diatas sangatlah
sederhana. Agar bisa tumbuh dengan pesat, setiap perekonomian harus menabung dan
menginvestasikan sebanyak mungkin bagian dari GDP-nya. Semakin banyak yang dapat
ditabung dan kemudian diinvestasikan, maka laju pertumbuhan perekonomian akan semakin
cepat. Akan tetapi, tingkat pertumbuhan aktual yang dapat dijangkau pada setiap tingkat
tabungan dan investasi–banyaknya tambahan output yang didapat dari tambahan satu unit
investasi–dapat diukur dengan kebalikan rasio modal-output, k, karena rasio yang sebaliknya ini,
yakni 1/k,
adalah rasio output-modal atau rasio output-investasi. Selanjutnya, dengan mengalikan tingkat
investasi baru s = I/Y, dengan tingkat produktivitasnya, 1/k, maka akan didapat tingkat
pertumbuhan dimana pendapatan nasional atau GDP akan naik (Todaro, 2006: 129 – 130).