Anda di halaman 1dari 6

PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL HEWANI

(Rabu, 17 Februari 2021)


(Kelompok C, Viona Florencia Agatha, Eglatis Naftalia, Yehuda Dwi Ananda Christian, 6103018019,
6103018021, 6103018147)

Acara
Proses curing untuk daging

Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengetahui proses curing dalam pengolahan daging
mengkaji pengaruhnya karakteristik produk

Pendahuluan
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki kandungan gizi yang baik. Daging
kaya akan kandungan protein, mineral, lemak, vitamin dan zat-zat bermanfaat lainnya yang dibutuhkan
oleh tubuh manusia. Daging merupakan sumber protein hewani yang lebih mudah dicerna oleh tubuh
manusia dibandingkan dengan protein nabati (Komariah dkk., 2009). Kandungan daging yang
bermanfaat tersebut menyebabkan daging mudah dicemari oleh mikroorganisme dan termasuk dalam
bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) (Saputro dkk., 2016). Daging yang memiliki kualitas
yang baik adalah daging yang berwarna merah cerah, memiliki serabut daging yang halus namun tidak
mudah hancur, memiliki sedikit lemak, dan memiliki tekstur yang kenyal serta aroma khas daging
(Aritonang, 2015).
Daging setelah dipotong, daging dapat mengalami oksigenasi sehingga membuat pigmen
myoglobin pada daging yang berwarna merah keunguan menjadi oksimioglobin yang berwarna merah
cerah (Chichester dkk., 1984). Pada pemanasan daging, warna daging akan berubah menjadi coklat
karena pigmen pemberi warna merah pada daging merupakan myoglobin yang terdiri dari heme dan
protein globin (Chichester dkk., 1984) yang terdenaturasi selama pemanasan. Protein globin yang
terdenaturasi akan terbuka strukturnya dan membuat gugus heme terpapar secara langsung oleh
oksigen. Gugus heme yang terpapar lebih rentan terhadap oksidasi. Denaturasi protein globin dalam
bentuk myoglobin ferro menuntun pada pembetukan ferrohemochrome yang mengandung ion Fe2+ dan
berwarna merah/merah muda yang siap dengan perlahan akan teroksidasi menjadi ferrihemochrome
yang coklat dan mengandung ion Fe3+ (Dikeman dan Devine, 2014) dan membentuk pigmen
metmyoglobin (Chichester dkk., 1984).
Pencegahan terjadinya pencoklatan dapat dilakukan dengan cara curing. Proses curing
merupakan suatu proses yang bertujuan untuk mempertahankan warna daging (merah cerah), sebagai
preservatif atau pengawet, menghambat terjadinya ketengikan dan meningkatkan organoleptik
(meningkatkan cita warna dan rasa) (Soekarto, 2020). Nitrit, asam askorbat, gula, dan garam merupakan
beberapa bahan yang digunakan dalam proses curing. Pada proses curing, nitrit yang dicampurkan pada
daging akan tereduksi menjadi NO- dengan bantuan dari enzim yang ada di dalam daging dimana NO-
akan berikatan dengan myoglobin membentuk nitrosomyoglobin yang berwarna merah dan tidak stabil
dan dapat teroksidasi dengan cepat membentuk warna coklat. Saat dipanasakan, nitrosomyoglobin akan
membentuk nitrosohemochrome yang merupakan pigmen stabil berwarna pink (Collins dan Huey,
2015). Selain nitrit, asam askorbat juga merupakan salah satu bahan curing agent karena asam askorbat
adalah reducing agent yang kuat sehingga dapat mereduksi ion ferri menjadi ion ferro dan dapat
mencegah terjadinya pencoklatan. Namun, penggunaan asam askorbat kurang efektif pada daging yang
dipanaskan karena asam askorbat mudah rusak pada proses pemanasan (Thohari dkk., 2017;
Suprayitno, 2017). Pada proses curing, gula dan garam berfungsi untuk meningkatkan keawetan bahan
serta memberikan cita rasa tambahan pada daging, namun tidak mempengaruhi perubahan warna pada
daging. Selain itu, garam dan gula juga dapat digunakan sebagai pengawet karena kedua bahan tersebut
memiliki tekanan osmotik yang tinggi yang dapat menyebabkan plasmolisis pada mikroba. selain itu,
kedua bahan tersebut bersifat higroskopis sehingga dapat menurunkan kadar air yang dapat digunakan
oleh mikroorganisme sebagai media untuk bertumbuh (Ratnasari dkk., 2014).

Proses curing
a. Alat

1. Timbangan Analitis 6. Piring

2. Timangan Digital 7. Plastik Wrap

3. Pisau dan Telenan 8. Kompor

4. Gelas Beker 9. Dandang

5. Spatula

b. Bahan

1. Daging sapi 4. Asam askorbat

2. Garam dapur (NaCl) 5. Gula pasir

3. Nitirt 6. Aquades

c. Cara Kerja Curing

Penimbangan Bahan

Penyiangan

Penimbangan 1 kg daging

Pemotongan 4x250 g daging

Pemotongan menjadi dadu 2x2 cm

Peletakan kedalam gelas beker

Penimbangan kembali daging

1. Kontrol 2. Garam dan gula 3. Garam dan gula, 3. Garam dan gula, Na-
Na-Nitrit Nitrit, asam askorbat

A
A

Pelarutan bahan curing

Pencampuran

Homogenisasi

Penutupan gelas beker dengan plastik wrap

Pendiaman selama 2 jam

Pengukusan 15 menit

Pengamatan warna daging

Pembandingan warna daging sebelum dan setelah dikukus

Reaksi Curing
Oksigen
Myoglobin Oksimyoglobin
Oksigen
(Merah ungu) (Merah cerah)

Reduksi Oksidasi
Nitrit, nitrat Reduksi
Nitrosomyoglobin Metmyoglobin
(Merah) Oksigen (coklat)

Panas

Bakteri, Oksigen Oksida porfirin


Nitrosohemoyoglobin (hijau, kuning,
(pink) pH, cahaya
tidak berwarna)
(Sugiyono,1989)
- -
NO2 NO + H2O
NO- + Myogblobin Nitriteoxidemyoglobin
Nitriteoxidemyoglobin + Heat Nitrosohemochrome
Karakteristik produk hasil curing
Kerakteristik produk hasil curing dapat bermacam-macam. Jika ditambahkan garam dan gula
pada daging, daging dapat menjadi lebih awet karena garam dan gula memiliki tekanan osmotik yang
tinggi dan memiliki cita rasa yang khas. selain itu, berdasarkan hasil praktikum daging hasil curing
dengan garam dan gula memiliki warna merah keunguan sebelum dimasak dan mengalami pencoklatan
setelah dimasak karena terjadinya oksidasi. Sedangkan produk hasil curing dengan nitrit, garam, dan
gula; serta nitrit, garam, gula, dan asam askorbat sebagai curing agentnya memiliki warna coklat
sebelum dipanaskan karena terbentuknya nitrosomyoglobin yang tidak stabil dan akan berwarna merah
muda setelah dipanaskan karena membentuk nitrosohemochrome.

Hasil dan Pembahasan


Tabel 1. Data Hasil Pengamatan Warna Daging Setelah Curing dan Setelah Dipanaskan
Intensitas Warna
No. Perlakuan Bahan Curing
Sebelum dimasak Setelah dimasak
P1: Merah Ungu P1: Coklat (+3)
P2: Merah Ungu P2: Coklat (+4)
Suhu
1. NaCl, Gula P3: Merah Ungu P3: Coklat (+4)
Kamar
P4: Merah Ungu P4: Coklat (+4)
P5: Merah Ungu P5: Coklat (+5)
P1: Coklat P1: Merah muda (+1)
P2: Coklat P2: Merah muda (+2)
Suhu NaCl, Gula, Na-
2. P3: Coklat P3: Merah muda (+3)
Kamar Nitrit
P4: Coklat P4: Merah muda (+2)
P5: Coklat P5: Merah muda (+3)
P1: Coklat P1: Merah muda (+3)
NaCl, Gula, Na- P2: Coklat P2: Merah muda (+2)
Suhu
3. Nitrit, As. P3: Coklat P3: Merah muda (+3)
Kamar
Askorbat P4: Coklat P4: Merah muda (+2)
P5: Coklat P5: Merah muda (+1)
P1: Merah Ungu P1: Coklat (+5)
Tanpa P2: Merah Ungu P2: Coklat (+5)
Suhu
4. Penambahan P3: Merah Ungu P3: Coklat (+4)
Kamar
(kontrol) P4: Merah Ungu P4: Coklat (+4)
P5: Merah Ungu P5: Coklat (+5)
Keterangan: Semakin banyak tanda (+) menunjukkan intensitas warna yang semakin pekat.

Warna pada daging dipengaruhi karena adanya pigmen pada daging yaitu hemoglobin dan
mioglobin. Umumnya daging segar saat dilakukan pemotongan akan berwarna merah ungu dan
kemudian berubah menjadi merah terang dan hasil akhir berwarna coklat sebagai akibat terjadinya
reaksi-reaksi. Adanya warna coklat pada daging merupakan salah satu indikasi terjadinya penurunan
mutu daging (Ermawati, 2008).
Berdasarkan hasil pada Tabel 1. menurut panelis, setelah diberi perlakuan curing, daging
dengan perlakuan 1 (NaCl dan Gula) dan 4 (Kontrol) memiliki warna merah keunguan sebelum dimasak
dan memiliki warna coklat setelah dimasak dengan intensitas yang tidak berbeda jauh. Menurut panelis
3, 4, dan 5, daging sampel 1 dan 4 memiliki warna coklat dengan intensitas yang sama setelah dimasak.
Hal ini terjadi karena garam dan gula hanya berfungsi sebagai pemberi cita rasa dan pengawet pada
daging karena tekanan osmotiknya yang tinggi dan menyebabkan plasmolisis pada mikroorganisme
(Ratnasari dkk., 2014). Menurut Ermawati (2008), NaCl mampu mengalami disosiasi (terdisosiasi)
membentuk Cl- yang bersifat toksis pada mikroorganisme sehingga dapat dikatakan bahwa NaCl
optimal digunakan untuk mengawetkan daging dalam proses curing dan tidak memberikan pengaruh
dalam mempertahankan warna daging. Sedangkan untuk gula, dalam proses curing ini gula selain
sebagai pengawet juga berperan dalam mempertahankan kesetimbangan rasa yang dapat ditimbulkan
oleh pengaruh dari pengawet lain yang ditambahkan seperti nitrit, garam dan lain-lain serta berperan
dalam mengurangi pengerutan pada produk daging. Namun, menurut panelis 1 dan 2 daging sampel 4
(kontrol) memiliki warna yang lebih coklat dibandingkan dengan daging sampel 1 (NaCl dan gula). Hal
ini dapat terjadi karena pengamatan dilakukan secara subjektif sehingga terdapat perbedaan persepsi
oleh antar panelis. Pada daging kontrol (perlakuan 4), didapatkan warna coklat setelah proses
pemanasan disebabkan karena adanya kerusakan pigmen yaitu oksimioglobin berubah menjadi
metmioglobin karena pemanasan (Waziiroh dkk., 2017). Protein globin yang terdapat pada pigmen
warna merah daging akan mengalami denaturasi sehingga struktur akan terbuka dan membuat gugus
heme terpapar secara langsung oleh oksigen dan mengalami oksidasi. Adanya denaturasi protein globin
dalam bentuk mioglobin ferro menuntun pada pembentukan ferrohemochrome yang memiliki ion Fe2+
dan berwarna merah/merah muda yan secara perlahan akan teroksidasi menjadi ferrihemochrome yang
berwarna coklat dan memiliki ion Fe3+ (Dikeman dan Devine, 2014) dan kemudian membentuk pigmen
metmyoglobin yang berwarna coklat (Chichester dkk., 1984).
Pada daging untuk perlakuan 2 (NaCl, Gula, Na-Nitrit) dan 3 (NaCl, Gula, Na-Nitrit, As.
Askorbat), daging memiliki warna coklat sebelum pemanasan karena NO yang dihasilkan dari reduksi
nitrit akan berikatan dengan myoglobin membentuk nitrosomyoglobin yang berwarna merah namun
tidak stabil dan dapat teroksidasi dengan cepat kemudian membentuk warna coklat. Namun, setelah
pemanasan sampel daging dengan perlakuan 2 dan 3 menghasilkan warna merah muda karena saat
dipanasakan nitrosomyoglobin akan membentuk nitrosohemochrome yang merupakan pigmen stabil
berwarna merah muda (Collins dan Huey, 2015). Selain mempertahankan warna dari daging, nitrit juga
bersifat toksik terhadap mikroorganisme anaerob. Hal ini terjadi karena nitrit dapat bereaksi dengan
gugus sulfhidrol dan membentuk senyawa yang tidak dapat dimetabolisme oleh mikroba dalam keadaan
anaerob (Ermawati dkk., 2014). Menurut panelis 2,3, dan 4 daging dengan perlakuan 2 dan 3 tidak
memiliki perbedaan dalam warna, sedangkan menurut panelis 1 daging perlakuan 3 memiliki warna
merah muda lebih baik dibandingkan daging perlakuan 2, dan menurut panelis 5 daging perlakuan 2
memiliki warna merah muda lebih baik dibandingkan daging perlakuan 3. Hal ini menunjukan tidak
ada perbedaan nyata antara warna pada daging perlakuan 2 dan 3 yang sudah dimasak. Hal ini terjadi
karena penambahan asam askorbat dapat mencegah terjadinya pencoklatan sebagai reduktor kuat ion
ferri menjadi ion ferro, namun setelah itu ion ferro dapat teroksidasi kembali membentuk ion ferri.
Selain itu, asam askorbat juga mudah mengalami kerusakan pada proses pemanasan sehingga tidak
dapat berfungsi optimal pada proses pengolahan suhu tinggi. Adanya penambahan asam askorbat dalam
proses curing dapat berperan untuk mengurangi residu nitrit dan penghambatan pembentukan senyawa
nitrosamin. Hal ini disebabkan karena penambahan asam askorbat menyebabkan terjadinya penurunan
pH yang dapat berperan sebagai reduktor pada nitrit dan kemudian membentuk nitrit oksid, sehingga
nitrit tidak bereaksi dengan amina (reaksi nitrosasi) dan membentuk nitrosamin yang dapat berbahaya
bagi tubuh (bersifat karsinogenik). Nitrit oksid yang terbentuk kemudian dapat bereaksi dengan
mioglobin yang terdapat pada daging dan kemudian membentuk warna merah muda (Ermawati, 2008).
Berdasarkan keseluruhan hasil, adanya penambahan Na-nitrit dan asam askorbat sebagai agen
curing memberikan pengaruh pada daging yaitu mempertahankan warna merah pada daging dimana
warna tersebut diharapkan pada produk daging setelah dimasak. Dibandingkan dengan daging kontrol
(perlakuan 4) dan daging dengan penambahan agen curing NaCl dan gula (perlakuan 1), daging
perlakuan 2 dan 3 memberikan hasil akhir yang lebih baik yaitu berwarna merah muda, dan memiliki
daya pengawetan yang lebih baik karena adanya NaCl dan gula. Perlakuan 3 dengan penambahan asam
askorbat juga memberikan pengaruh yang baik karena dapat mengurangi residu nitrit dan menghambat
pembentukan senyawa nitrosamin, hal ini perlu diperhatikan karena nitrit bersifat toksik apabila
dikonsumsi pada jumlah yang berlebihan. Berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 36 Tahun 2013, batas
maksimum kandungan nitrit dalam produk olahan daging adalah 30 mg/kg dengan ADI (Acceptable
Daily Intake) adalah 0-0,06 mg/kg berat badan.

Kesimpulan

- Perlakuan ke-2 (NaCl, Gula, Na-Nitrit) dan perlakuan ke-3 (NaCl, Gula, Na-Nitrit, As. Askorbat)
merupakan perlakuan terbaik dalam memperbaiki warna dari daging.
- Perlakuan pertama tidak memiliki perbedaan nyata terhadap warna produk.

Daftar Pustaka
Aritonang, S.N. 2015. Perilaku Konsumen Rumah Tangga Dalam Memilih Daging Sap di Kota Padang,
Jurnal Ilmu Ternak 15(2):1-7.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). 2013. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2013 tentang Batas
Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pengawet.
https://asrot.pom.go.id/img/Peraturan/PerKa%20BPOM%20No.%2036%20Tahun%202013%
20tentang%20Batas%20Maksimum%20Pengawet.pdf (17 Februari 2021).

Collins, D.S. dan R.J. Huey. 2015. Gracey’s Meat Hygiene. West Sussex: Willey Blackwell.

Chichester, C.O., E.M. Mrak dan B.S. Schweigert. 1984. Advance In Food Research. Florida: Academic
Press, Inc.

Dikeman, M. dan C. Devine. 2014. Encyclopedia of Meat Science. London: Elsevier.

Ermawati, D. 2008. Pengaruh Penggunaan Ekstrak Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia Swingle) terhadap
Residu Nitrit Daging Curing Selama Proses Curing, Skripsi S-1, Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.

Ermawati, D., M.A.M. Andriani dan R. Utami. 2014. Pengaruh Ekstrak Jeruk Nipis
(Citrus aurantifolia) Terhadap Residu Nitrit Daging Curing Selama Proses Curing, J.
Biofarmasi 12(1):18-26.

Komariah, S. Rahayu, dan Sarjito. 2009. Sifat Fisik Daging Sapi, Kerbau dan Domba Pada Lama
Postmortem yang Berbeda, Buletin Peternakan 33(3):183-189.

Ratnasari, Z., A. Baehaki dan A. Supriadi. 2014. Penggunaan Garam, Sukrosa, dan Asam Sitrat
Konsentrasi Rendah Untuk Mempertahankan Mutu Fillet Ikan Gabus yang Disimpan Pada
Suhu Rendah, J. Fishtech 3(1):8-14.

Saputro, E., V.P. Bintoro dan Y.B. Pramono. 2016. Agen Kyuring Alami Pengganti Natrium Nitrit
Sintetis Pada Kyuring Daging Sapi, Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian 12(1):65-75.

Soekarto, S.T. 2020. Teknologi Hasil Ternak. Bogor: IPB Press


Sugiyono. 1989. Pengetahuan Bahan Pangan Hewani dan Hasil Olahannya. Bogor: IPB.
Suprayitno, E. 2017. Dasar Pengawetan. Malang: Tim UB Press.

Thohari, I., Mustakim, M.C. Padaga, dan P.P. Rahayu. 2017. Teknologi Hasil Ternak. Malang: Tim UB
Press

Waziiroh, E., D.Y. Ali dan N. Istianah. 2017. Proses Termal pada Pengolahan Pangan. Malang: UB
Press.

Anda mungkin juga menyukai