Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENDEKATAN – PENDEKATAN
TEORITIK-ETIS TERHADAP BISNIS

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Etika Bisnis

Dosen:

SUPENA, SE ,MM.

Oleh :

AGUM GUMELAR (1802040)

IRMA ASTUTI (1802016)

RENI SRIYANTI (1802035)


YANI ABDUROHIM (1802002)

PRODI MANAJAMEN

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI MIFTAHUL HUDA

SUBANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat tuhan yang maha esa, karena berkat

limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik

dan tepat pada waktunya. dalam makalah ini kami membahas mengenai Pendekatan-

pendekatan Teoritik-Etis Terhadap Bisnis dalam Mata kuliah Etika Bisnis. atas dukungan

yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami mengucapkan terima kasih.

kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. namun demikian, penulis berharap

semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikin dengan makalah ini. oleh karena itu,

kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami

selanjutnya.

Pamanukan, 13 Maret 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam konteks bisnis sering kita mendengar karyawan/ti saling bertukar pengalaman tentang
kondisi kerja mereka masing-masing. Hal yang menarik bahwa semua pengalaman kerja,
entah getir entah manis, selalu bermuara kepada perilaku dan perlakuan yang diterima dari
pimpinan mereka. Penilaian terhadap pimpinan tentu berbeda antar satu karyawan dengan
karyawan lainya. Kalaupun terdaoat kesamaan dalam penilaian tersebut, tidak menjadi
pengalaman relasional itu identik. Persoalan nya, mengapa terdaoat distingsi dalam penilaian
karyawan terhadap pimpinan organisasi bisnis. Persoalan seperti itu merupakan persoalan
universal karena tergantung pada satu hal yang juga bersifat universal, yakni kualitas refleksi
kritis-sistematik pebisnis terhadap hakikat peran dan pelaku peran dalam konteks bisnis.
Pimpinan organisasi bisnis yang selalu mereflesikan norma-norma atau sistem-sistem moral
dan selalu mengaplikasikanya dalam aktivitas bisnisnya sehari-hari adalah mereka yang
dinilai oleh karyawan-karyawati sebagai pemimpin yang baik secara moral, sebaiknya adalah
tipikal pemimpin yang hanya berhenti dengan mewacanakan prinsip-prinsip dan norma-
norma moral tanpa menerapkanya dalam kehidupan konkret. Mencari dasar hakiki
sehubungan dengan perbedaan penilaian bawahan terhadap pimpinan organisasi bisnis adalah
identi dengan memasuki wilayah teori etika yang dikemas dalam sebuah istilah khas yang
tengah naik daun saat ini, yakni etika bisnis.
Dalam makalah ini, saya akan mencoba beberapa prinsip atau teori umum yang menurut
saya erat kaitanya dengan pebisnis dan aktivitas bisnis. Teori-teori tersebut adalah: (1) Teori
kebahagiaan yang mencakup utilitarisme dan hedonisme etis; (2) Teori kewajiban atau
deontologisme; (3) Teori keutamaan atau virtues ethics. Asumsi yang ingin saya jawab di
makalah ini adalah bahwa seorang pebisnis yang meminati usahanya tentu akan
melaksanakan aktivitas bisnisnya berdasarkan keutamaan-keutamaan moral, seperti:
Keadilan, kejujuran, kepedulian terhadap semua orang yang terkait dalam jaringan bisnisnya,
serta selalu siap untuk mempertanggungjawabkan perilakunya ( virtues ethics ).
1.2 Rumusan Masalah

1. Penjelasan Teori Kebahagiaan yang dimaksud :

a. Hedonisme ?

b. Utiliratianisme ?

2. Deontologi ?

3. Etika Keutamaan ?

4. Catatan

1.3 Metode Penulisan

Adapun metode penulisan makalah ini adalah dengan cara kajianpustaka dengan
mencari sumber dari buku Etika bisnis dan situs Internet

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :


1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis.
2. Untuk lebih memahami materi tentang Pendekatan-pendekatan Teoritik-
etis terhadap bisnis.

1.5 Manfaat
1. Bagi Peneliti :Untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika bisnis dan
mengetahui banyak hal Terkait materi Pendekatan-pendekatan Teoritik-etis
terhadap bisnis.
2. Bagi Pembaca:Untuk mengetahui tentang materi Pendekatan-pendekatan
Teoritik-etis terhadap bisnis.

3. Bagi universitas/kampus : sebagai koleksi perpustakaan dan sebagai


referensi bagi mahasiswa dan dosen-dosen yang mengajar dibidang
tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Kebahagiaan

Teori kebahagiaan mencakup hedonisme dan utilitarisme, Baik hedonisme


maupun utilitarisme sama-sama merupakan teori etika normatif yang
mempersoalkan tujuan hidup manusia. Kedua teori ini hendak menjawab
persoalan-persoalan pokok berikut : Apa tujuan hidup manusia dan apa
prasyaratnya agar tujuan hidup sedimikan itu dapat dicapai. Secara umum, baik
penganut hedonisme maupun utilitarisme sependapat bahwa kebahagiaan
merupakan satu-satunya tujuan hidup. Bagaimana hedonisme dan utilitarisme
menjawab persoalan tersebut?

a. Hedonisme

Hedonisme berasal dari kata hedone dalam bahasa yunani “yang berarti nikmat
atau kegembiraan. Sebagai paham atau teori moral, hedonisme bertolak dari
asumsi dasar bahwa manusia hendaknya berperilaku sedemikian rupa agar
hidupnya bahagia. Dengan singkat namun tegas, kaum hedonis merumuskan:
“carilah nikmat dan hindarilah rasa sakit!” Berdasarkan rumusan ini, tampak
jelas bagaimana kaum hedonis (terutama Aristippos dan Epikuros) memaknai
hidup. Bagi mereka, hidup adalah upaya menjauhi rasa sakit dan mendekati diri
pada rasa nikmat. Itulah hakikat sekaligus tujuan hidup hedonis itu tentu bisa
memunculkan berbagai tafsiran yang terkadang jauh dari yang dimaksudkan
kaum hedonis, Persoalanya, apa sesunggahnya yang dimaksudkan kaum hedonis
dengan “mencari nimat” atau “menghindari rasa sakit?” Jawaban atas persoalan
ini hanya bisa ditemukan dengan menapaki sejarah munculnya hedonisme
sebagai teori etika.
1) Gagasan Hedonisme

Secara hakiki, hedonisme muncul sebagai teori etika untuk menentang teori-teori etika
sebelumnya yang terkenal kaku dan munafik karena hanya menekankan peraturan atau
norma-norma moral tanpa penjelasan yang memadai atas norma-norma tersebut. Wujud
serangan kaum hedonis terhadap teori-teori etika sebelumnya diajukan dalam pertanyaan-
pertanyaan berikut: “Apakah ada yang lebih masuk akal untuk dijadikan pedoman hidup
selain mencari kebahagiaan? Apakah artinya kebahagiaan kecuali bebas dari penderitaan dan
memperoleh nikmat sebesar-besarnya?" Kedua pertanyaan ini sesungguhnya didasarkan para
penganut hedonisme pada teori hedonisme psikologis yang menegaskan bahwa manusia
dalam kondisi apapun selalu bergerak untuk mencari kenikmatan dan menghindari perasaan-
perasaan yang menyakitkan. Motivasi yang paling kuat di balik tujuan-tujuan yang luhur,
seperti: penegakan kebenaran dan keadilan serta tujuan-tujuan suci, misalnya penyebaran
iman, bahwa dalam melakukan kegiatan apapun juga secara kodrati manusia selalu tergerak
untuk mencari dan mendapatkan kenikmatan hidup. Sebuah penipuan diri dan suatu
kemunafikan jikalau ada orang yang mengatakan bahwa segala kegiatannya ditujukan demi
cita-cita luhur atau demi membantu atau menolong orang-orang lain. Jadi, menurut paham
hedonisme psikologis, manusia itu pada dasarnya sang egois karena segala tindakannya
hanya ditujukkan untuk mendapatkan kenikmatan dirinya sendiri. Persoalannya, mengapa
hedonisme yang mendasarkan teori atau pahamnya pada hedonisme psikologis itu juga
digolongkan sebagai teori etika?

Di satu sisi, sebagai teori etika hedonisme menegaskan, seseorang adalah baik jika
berhasil menjauhi rasa sakit atau berhasil mendekatkan dirinya kepada kenikmatan maksimal
dalam tindakan-tindakannya. Namun, di lain sisi, tindakan-tindakan yang dapat menghasilkan
rasa nikmat maksimal itu justru tidak hanya tindakan-tindakan moral-etis. Dengan kata lain,
bagaimana dengan tindakan-tindakan yang mendatangkan kenikmatan maksimal ternyata
juga digerakkan oleh nafsu- nafsu irasional dalam diri seseorang?

Pengalaman hidup penganut hedonisme pertama, Aristippos dapat saya kemukakan di sini
untuk lebih memperjelas persoalan di atas. Selama hidupnya, Aristippos mempunyai seorang
wanita penghibur yang cantik bernama Lais. Aristippos, sang hedonis mendapatkan
kenikmatan maksimal selama hidupnya dari wanita penghiburnya itu. Semua rekan dan
sejawat Aristippos mengetahui hal tersebut sehingga tak segan-segan mereka mengkritik
Aristippos. Namun, jawaban Aristippos sang hedonis itu? Inilah jawaban Aristippos yang
terkenal sepanjang sejarah hedonisme: "Saya memiliki Lais, namun Lais sama sekali tidak
memiliki saya." Apa makna yang tersirat di balık jawaban sang hedonis itu? Dengan
jawabannya seperti itu Aristippos mau menegaskan bahwa manusia tidak boleh begitu saja
membiarkan dirinya dikuasai oleh hawa nafsunya sendiri.
Manusia tidak boleh begitu saja mengikuti dorongan-dorongan irasional di dalam dirinya,
melainkan harus bersikap bijaksana, seimbang, dan harus dapat menguasai dirinya dalam
setiap upaya untuk mendapatkan kenikmatan maksimal bagi diri sendiri. Itulah yang khas
dari hedonisme. Kekhasannya itulah yang menyebabkan para filsuf etikawan menerima dan
mengakui hedo- nisme sebagai salah satu teori etika. Akan halnya Aristippos, kebijaksanaan,
keseimbangan dan penguasaan diri telah membuatnya mampu menempatkan kenikmatan dan
hanya pada kehadiran Lais yang menghiburnya tanpa harus mencari kenikmatan dengan
melakukan hal-hal vane bersifat immoral. Pandangan Aristippos kemudian diperluas oleh
Epikuros (341- 270SM) yang juga memandang kenikmatan sebagai tujuan hidup manusia.
Menurut Epikuros, secara kodrati manusia selalu tergerak untuk mencari kenikmatan bagi
dirinya sendiri. Hal itu disebabkan karena secara fisik, tubuh manusia merupakan dasar
sekaligus akar dari segala kenikmatan manusiawi. Pada tataran ini, kenikmatan badaniah
adalah yang paling hakiki bagi semua manusia. Walaupun demikian, Epikuros mengakui
adanya kenikmatan lain di luar kenikmatan badaniah dan menurutnya kenikmatan lain itu
mengatasi kenikmatan badaniah. Adanya kenikmatan lain yang mengatasi kenikmatan
badaniah itu dapat dicermati dalam pembagian keinginan yang dilakukan oleh Epikuros.
Menurut Epikuros, ada tiga jenis keinginan dalam diri manusia yang dapat memotivasi
seseorang untuk mengupayakan kenikmatan. Tiga keinginan itu adalah: (1) Keinginan
alamiah yang mutak perlu, seperti keinginan untuk makan dan minum. Keinginan alamiah
seperti ini selalu berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan yang paling primer dari manusia.
(2) Keinginan alamiah yang dapat ditunda, misalnya keinginan untuk makan enak atau
keinginan untuk mendapatkan televisi baru yang lebih besar padahal sudah memiliki televisi
kecil. (3) Keinginan yang sia-sia atau keinginan yang belum pasti realisasinya, seperti ingin
menjadi kepala negara atau ingin memiliki lukisan karya Leonardo da Vinci padahal
menderita rabun mata. Menurut Epikuros, hanya keinginan alamiah yang mutlak perlu atau
keinginan pertamalah yang harus dipuaskan karena dapat menghasilkan kenikmatan yang
paling tinggi atau kenikmatan maksimal. Walaupun demikian, sekali lagi menurut Epikuros,
di atas keinginan alamiah yang bersifat mutlak itu masih ada keinginan lain, yakni keinginan
rohani atau ataraxia.
Dengan mencermati gagasan Epikuros di atas, nampaknya ada sesuatu yang istimewa
yang patut diberi catatan khusus. Hal yang menarik dan istimewa itu adalah gagasannya
tentang hidup sederhana dan Visi manusia terhadap hidup. Penegasannya bahwa satu-satunya
keinginan yang dapat dipuaskan, karenanya dapat mendatangkan kenikmatan maksimal bagi
manusia, atau yang disebut Epikuros scbagai keinginan alamiah yang bersifat mutlak itu
Epikuros sesungguhnya mau menggaris bawahi pola hidup sederhana. Kata kunci yang
dipakai oleh Epikuros adalah "sederhana". Istilah "sederhana" dalam gagasan Epikuros
berarti terdiri dari satu keinginan saja, yakni keinginan untuk makan. Di atas dasar itulah
Epikuros mendefinisikan "orang bijaksana” sebagai insan yang mampu membebaskan dirinya
dari berbagai keinginan sehingga mampu mencapai ketenangan jiwa atau ataraxia. itulah
yang disebut Epikuros sebagai keinginan rohani. Bertolak dari persepsinya perihal keinginan
rohani Epikuros kemudian menganjurkan agar manusia selalu memandang kehidupan sebagai
suatu keseluruhan yang terdiri dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
Itulah inti gagasan hedonisme hasil rintisan Aristippos dan Epikuros. Konsepsi yang diajukan

cukup masuk akal. Buktinya, sebagai teori etika hedonisme masih memiliki pengikut hingga
saat ini. Bagaimana implikasi gagasan hedonisme dalam bisnis kontemporer? Apakah
hedonisme etis memang relevan dengan bisnis kontemporer?

Gagasan Epikuros tentang jenis-jenis keinginan manusia tentu memiliki relevansi yang
cukup kuat dengan perhelatan hidup para pebisnis modern, bahkan para pebisnis
kontemporer. Ketiga jenis keinginan alamiah Epikuros (keinginan mutlak, keinginan yang
dapat ditunda sertakeinginan yang sia-sia) juga terdapat dalam diri setiap manusia, khususnya
para pebisnis kontemporer. Bahkan harus dikatakan bahwa keinginan-keinginan seperti itulah
yang memotivasi para pebisnis kontemporer untuk menggeluti hidupnya sebagai pengusaha
atau sebagai pebisnis. Sulit untuk dikatakan bahwa pebisnis kontemporer bebas dari
keinginan alamiah mutlak sebagaimana digagas Epikuros. Hal itulah yang menjadi dasar di
atasnya sang hedonis itu menganjurkan pola hidup sederhana. Menurutnya, mencari dan
menemukan kenikmatan melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer, khususnya
makan, itulah yang secara konkret akan mendatangkan kenikmatan yang sesungguhnya.
Meskipun demikian, harus segera diberi catatan tentang penghayatan kenikmatan mutlak ala
Epikuros di masa kini, mengingat orang pada akhirnya akan menyadari bahwa mereka
memang harus maka supaya hidup, bahkan hidup hanya untuk makan.
Kenyataan aktual saat ini dengan cukup jelas menunjukkan bahwa bagi para bisnis
kontemporer tidak ada keinginan alamiah kedua sebagaimana yang terdapat dalam
pembagian keinginan menurut Epikuros Bahkan harus dikatakan bahwa bagi para pebisnis
kontemporer semua keinginan sebagaimana digagas Epikuros telah menyatu dalam satu
keinginan saja yang sekaligus mencirikan derap jelajah bisnis kontemporer, yakni meraup
keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Upaya meraup keuntungan
kini telah bergeser dari upaya-upaya co-speed menjadi co-present. Semua strategi bisnis
kontemporer sebagaimana dapat ditelusuri melalui analisis yang jitu terhadap akurasi
penerapan SWOT dan SWAN menunjukkan bahwa maximizing profit telah menjadi tujuan
yang sekalıgus mengilhami dan memotivasi para pebisnis kontemporer untuk memenuhı
keinginan para pebisnis kontemporer "to have more. Pada tataran ini, menjadi orang bijak
yang menurut sang hedonis, Epikuros lalu menjadi sesuatu yang hampir tidak mungkin
dicapai oleh para pebisnis kontemporer. Di satu sisi,menurut Epikuros menjadi orang bijak
adalah identik dengan mencapai ketenangan jiwa atau ataraxia karena berhasil membebaskan
diri dari berbagai keinginan, namun di lain sisi keinginan "to have more" masih merupakan
dorongan yang paling kuat bagi para pebisnis kontemporer untuk menyukseskan bisnisnya.
Pada tataran ini, konsepsi Epikuros perihal orang bijak tentu akan dianggap oleh para
pebisnis kontemporer Sebagai sesuatu yang tidak relevan dengan praktis bisnis kontemporer.
3) Implikasi Hedonisme dalam Kegiatan Bisnis

Menurut hedonisme, hakikat kehidupan manusia adalah gerakan dari rasa sakit menuju rasa
nikmat. Namun, kenikmatan tidak boleh meng halalkan cara-cara untuk memperolehnya.
Untuk itu, kaum hedonis menganjurkan agar manusia selalu bijaksana, seimbang, dan
menguasai diri dalam mengupayakan kenikmatan. Bertolak dari ketiga anjuran he donistik itu
(bijaksana, seimbang, dan menguasai diri), kita masuk . dalam ranah bisnis kontemporer.
Kenyataan membuktikan bahwa setiap pebisnis kontemporer akan berupaya mati-matian
untuk mempertahankan dan mengembangkan bisnis Seluruh proses bisnis, bahkan bisnis itu
sendiri, merupakan suatu keei. atan meninggalkan atau menjauhi kondisi susah untuk
mendekatkan diri ke kondisi senang atau nikmat. Dalam alur pemikiran ini, apa jawaban
mereka ketika Anda bertanya: "Untuk apa mereka berupaya mati-matian demi on going
concern bisnis mereka?" Jawaban yang sudah hampir pasti muncul adalah agar hidup mereka
enak. Istilah 'enak" di sini tentu sangat konotatif, bukan denotatif. Hidup enak memang tidak
terlalu jauh dari hi- dup nikmat karena setiap pebisnis menginginkan sesuatu. Sesuatu itu
pasti dapat dipuaskan karena selalu ada uang untuk itu. Persoalan moral dengan sendirinya
akan muncul ketika menyentuh cara-cara dengannya uang terse- but diperoleh. Di sinilah
gagasan hedonisme etis dapat diterapkan. Berbisnis secara hedonis-etis mengandaikan bahwa
para pebisnis kontemporer selalu bijaksana, seimbang, dan menahan diri. Menjalankan bisnis
dengan bijaksana mengindikasikan bahwa para pebisnis selalu mendasarkan setiap keputusan
dan kebijakan bisnis pada pertimbanga-pertimbangan yang tidak hanya luas tetapi juga kritis
dan rasional. Sebelum memutuskan sesuatu, sebelum mengambil suatu kebijakan strategis
pebisnis kontemporer semestinya secara reliastik mempertimbangkannya dengan sungguh-
sungguh. Apakah sumber daya non human dan sumberdaya manusianya memadai atau tidak,
profesionalisme dan kompetensi SDM-nya memungkinkan atau tidak, dan waktu yang
tersedia memungkinkan atau tidak. Singkat kata, pebisnis harus secara jujur mengevaluası
diri (perusahaannya) baik dari segi kekuatan, kelemahan, dan kesempatan yang dimiliki agar
dapat menentukan sikap yang tepat menghadapı semua tantangan yang ada (SWOT).
Penerapan semua hal ini secara saksama adalah indikasi konkret betapa para pebisnis
kontemporer merupakan pengusaha-pengusaha yang seimbang karena mampu menguasai
diri, bukan membiarkan diri hanyut dalam keinginan-keinginan irasional untuk meraup
keuntungan semata.
Keseimbangan dan penahanan diri juga berlaku untuk penegakkan hak dan kewajiban.
Sebagai insan yang seimbang dan mampu menahan diri, para pebisnis tentu saja akan selalu
menegakkan hak dan kewajiban semua pihak yang terjaring di dalam proses dan kegiatan
bisnis. Mereka tentu akan selalu memberikan kepada para karyawan apa yang menjadi hak
mereka, menepati janj-janji dengan mitra bisnis mereka. Mereka akan merasa sungguh-
sungguh bersalah jikalau lalai dalam hal-hal ini. Sebagai insan yang seimbang dan mampu
menahan diri, parapebisnis kontemporer juga akan selalu bersedia memberikan bonus dan
insentif kepada karyawan-karyawati di luar ketentuan-ketentuan normatif, seperti gaji atau
upah, tunjangan kesehatan dan harı tua, uang transpor dan uang makan serta menyediakan
kondisi kerja yang memenuhi persyaratan kerja. Semuanya itu merupakan indikasi seorang
pebisnis kontemporer yang bijaksana, seimbang, dan mampu menahan diri. Dalam konteks
ini, para pebisnis kontemporer merupakan pengusaha-pengusaha yang menjalankan bisnis
mereka secara bertanggung jawab.
b. Utilitarisme

Sebagai teori etika, utilitarisme sudah sangat umum dan populer. Di satu pihak teori ini sering
dikritik dan dicemooh oleh sejumlah filsuf-etikawan yang tidak memahaminya secara
komprehensit, namun di lain utilitarisme sesungguhnya telah memberikan sumbangan yang
sangat besar dalam etika karena ciri ajarannya yang sangat rasional dan univereal.
Persoalannya, apa itu utilitarisme? Apa inti ajarannya? Apa kelebih dan kekurangannya
sebagai teori etika? Terlebih, apa relevansinya terhadap bisnis? Jawaban yang pas dan
menyeluruh atas semua persoalan diatas tentu tidak mungkin dipaparkan secara lengkap di
sıni. Pada baan ini, saya hanya akan mengemukakan sejumlah hal yang dapat dipakai sebagai
entry-points untuk memahami semua persoalan di atas.

1) Beberapa Pengertian Dasar

Secara etimologis, "utilitarisme" berasal dari kata utilis dalam bahasa Latin yang berarti
berguna atau berfaedah. Menurut utilitarisme, suatu perbuatan atau tindakan adalah baik
jikalau tindakan tersebut bermanfaat atau berguna. Persoalannya, berguna atau bermanfaat
untuk siapa dan dalam kondisi seperti apa? Pada pertanyaan seperti itu, kaum utiltaris akan
menjawab, suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika berguna atau bermanfaat baik bagi
si pelaku maupun bagi semua orang yang terkena dampak dari perbuatan atau tindakan itu.
Pada tataran ini gagasan atau ajaran utilitarisme persis menyentuh situasi konkret manusia,
yakni kondisi riil manusia pada saat menghadapi berbagai alternatif atau kemungkinan untuk
bertindak atau kondisi di mana manusia memilih alternatif tindakan manakah yang
semestinya didahulukan dan manakah yang seharusnya ditunda. Jadi, di satu pihak,
utilitarisme masih melanjutkan paham hedonisme, khususnya hedonisme klasik, namun di
lain pihak utilitarisme juga sudah melangkah lebih jauh meninggalkan hedonisme, khususnya
hedonisme egois atau hedonisme psikologis.

Sebagai teori etika, utilitarisme sering juga disebut sebagai the greatest happiness theory
atau teori kebahagiaan terbesar. Dibedakan antara utilitarisme tindakan dan utilitarisme
peraturan, tergantung apakah kriteria utilitaristik itu diterapkan pada tindakan atau pada
peraturan. Sebagai patokan dapat dipegang teguh prinsip utilitarisme tindakan : "Bertindaklah
sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu menghasilkan kebaikan terbesar bagi sebanyak
mungkin orang" Sementara prinsip yang berlaku untuk utilitarisme peraturan : “Bertindaklah
menurut peraturan yang pelaksanaanya akan menghasilkan kebaikan atau kebahagiaan
terbesar bagi sebanyak mungkin orang”

2) Inti Ajaran Utilitarisme

Sebaga teori etika, utilitarisme pertama kali dimunculkan oleh filsuf Inggris Jeremy Bentham
(1748-1832) dalam bukunya Introduction to the principles of Moral and Legislation (1789).
Pada mulanya, utilitarisme diajukan Bentham sebagai dasar etis untuk memperbaharui hukum
pidana kerajaan Inggris. Dalam mengawali teori utilitarisme, Bentham menegaskan: “Nature
has placed mankind under the governance of two sovereign masters: plain and pleasures.”
Artinya, secara kodrati manusia telah ditempatkan di bawah dia peguasa yang berdaulat,
yakni : rasa sakit dan rasa nikmat. Dengan kata lain, Bentham mau menegaskan bahwa dalam
keseharian hidup manusia selalu berada di antara kedua penguasa tersebut. Secara psikoligis,
kedua penguasa tersebut memberikan perasaan-perasaan tertentu, maka yang nyata terjadi
bagi manusia dalam kehidupan konkretnya adalah menghindari pain atau rasa sakit dan
mendekatkan diri ke pleasure atau rasa nikmat. Kebahagian akan tercipta jikalau manusia
mendekatkan dirinya pada rasa nikmat atau menjauhkan diri dari rasa sakit. Dalam konteks
ini, sebagaimana telah saya tegaskan di atas, gagasan utilitarisme Bentham merupakan
kelanjutan dari hedonisme klasik,

Penegasan bahwa kebahagiaan merupakan sasaran atau tujuan dari segala tindakan manusia,
Bentham sesungguhnya menyediakan suatu jawab yang memadai atas pertanyaan seputar
bobot moral tindakan seseorang. Kapan suatu tindakan disebut baik atau buruk secara moral?
Bentham menjawab pertanyaan ini, bahwa suatu tindakan dikatakan secara moral baik jikalau
tindakan tersebut menghasilkan lebih besar akibat baik yang membahagiakan sebanyak
mungkin orang yang terkena dampak dari tindakan tersebut. Di sini, Bentham telah membuat
sebuah lompatan besar dalam gagasan utilitaristiknya. Ia melampaui hedonisme egois. Persis
di pengujung lompatan tersebut Bentham sampai pada the principle of utility (prinsip utilitas)
yang menjadi prinsip utilitarisme. Prinsip itu berbunyi: “the greatest happines of the greatest
number” atau kebahagian terbesar dari jumlah orang terbanyak. Oleh karena berpedoman
pada prinsip ini, teori utilitarisme sering disebut juga sebagai teori kebahagiaan terbesar.
3) Berbisnis dalam Konteks Utilitarisme

Meskipun dalam banyak hal paham utilitarisme tidak tahan uji, namun prinsip dasar
“kebahagiaan terbasar bagi jumlah orang terbanyak” nampaknya dapat dijadikan sebagai
salah satu pegangan awal bagi para pebisnis kontemporer dalam mengoperasikan kegiatan
mereka yang bersifat profir-oriented itu. Sehubungan dengan hal ini, perlu segera dicatat
bahwa prinsip kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak dapat diterapkan dalam
dunia bisnis asalkan bukan satu-satunya prinsip dalam berbisnis. Dengan kata lain, prinsıp
utilitarisme itu hanya dapat dipakai sebagai landasan atau patokan dalam berbisnis, jika tidak
dipisahkan dari prinsip keadilan dan penegakkan hak-hak asasi manusia. Hanya dengan cara
seperti itu, prinsip utilitarisme, juga prinsip utilitarianisme memadai, karenanya dapat dipakai
sebagai acuan dalam bisnis kontemporer. Prinsip kebahagiaan terbesar disertai rasa keadilan
serta penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dengan sendirinya akan menghindarkan
para pebisnis kontemporer dari perilaku-perilaku immoral, seperti memperlakukan karyawan-
karyawati hanya sebagai sarana untuk mencapai keuntungan maksimal, tidak menepati apa
yang dijanjikan kepada mitra dan pelanggan atau menghindar untuk mempertanggung-
jawabkan kualitas produk yang dihasilkan kepada masyarakat, dan lain- lain. Lebih lagi,
prinsip kebahagiaan terbesar yang diserta rasa keadilan dan penegakkan hak-hak asasi
manusia dengan sendirinya akan membuat para pebisnis kontemporer untuk selalu siap
mempertanggungjawabkan setiap keputusan dan tindakan-tindakan mereka. Pada aras ini,
para pebisnis kontemporer dengan sendirinya akan memperlakukan para pemasok atau
konsumen dan para pebisnis lainnya sebagai mitra bisnis, bukan sebagai lawan bisnis yang
selalu dapat dicurigai dan dicurangi setiap saat dalam kancah pencarian dan pelipatgandaan
keuntungan. Itulah kelebih- an dan kekurangan utilitarisme dan utilitarianisme etis.
2.2 Deontologi

Jika teori ketika kebahagiaan sebagaimana diuraikan dalam kedua teori etika sebelumnya
(hedonisme dan utilitarisme) mengukur baik-buruknya suatu perbuatan atau tindakan dari
segi saldo kesenangan atau saldo kenikmatan yang yang ditimbulkan, teori deontologi justru
mengukur baik atau buruknya suatu tindakan dari segi wajib dan tidaknya perbuatan tersebut
dilakukan. Kata “deon” (Yunani) dari istiliah deontologi berarti kewajiban atau apa yang
wajib dilakukan. Sistem atau teori moral ini pertama kali diajukan oleh filsuf-etikawan Jerma,
Immanuel Kant (1724-1904). Apa ini ajarant Kant tentang kewajiban dan apa relevansinya
teori atau ajaran deontologis-etis yang digagas Immanuel Kant terhadap bisnis kontemporer?

a. Gagasan Immanuel Kant

Menurut Immanuel Kant inti ajaran deontologi yang disebut "baik" dalam arti yang
sesungguhnya hanyalah "good will" atau kehendak baik. Jadi, good will merupakan satu-
satunya hal yang baik pada dirinya sendiri. Hal-hal lain di luar good will hanya bisa
dikatakan baik jika memenuhi persyaratan tertentu. Pada tataran ini, politik, bisnis,
kepandaian, atau kekuasaan adalah baik jika dilaksanakan atau dipergunakan di atas dasar
good will atau kehendak baik. Sebaliknya, tentu buruk karena tidak dasarkan pada kehendak
baik. Kepedulian seorang pebisnis atau manajer terhadap karyawan dapat saja menjadi hal
yang sangat buruk jika dilakukan tanpa good will, misalnya, perhatian khusus yang diberikan
oleh direktur kepada sekretarisnya. Perhatian direktur kepada sekretarisnya adalah baik
secara moral jika didasarkan pada kehendak baik atau good will. Artinya, yang memotivasi
direktur untuk memberikan perhatian kepada sekretarisnya bahwa sekretaris pada dirinya
sendiri bernilai. bernilai hanya karena ia manusia. Perhatian direktur akan menjadi sesuatu
yang buruk sekali jika yang memotivasinya bukan kehendak baik, misalnya, ia
memperhatikan sekretaris karena kecantikan paras nya saja. Dengan demikian, kehendak baik
itu pada dirinya sendiri selalu baik dan sama sekali tidak tergantung pada sesuatu yang lain.
Sejauh seseorang berkehendak baik, ia adalah orang baik begitu saja tanpa pembatasan dan
tanpa persyaratan apa-apa. Persoalannya, apakah yang sesungguhnya membuat suatu
kehendak itu menjadi baik? Berikut penjelasan Immanuel Kant. Menurut Kant, kehendak itu
menjadi baik, kalau yang menjadi dasar dari suatu tindakan adalah kewajiban. Dengan
penegasannya Kant mau menggarisbawahi bahwa suatu perbuatan hukum moral. Hukum
moral yang dimaksudkan Kant adalah kewajiban Seseorang berkehendak baik jika ia hanya
menghendaki untuk melakukan yang wajib baginya. Kehendak untuk melakukan
kewajibannya mengalahkan segala jenis motivasi atau dorongan lam dalam dirinya. Paling
tidak ada tiga kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan apa yang wajib baginya.
Pertama, ia dapat memenuhi kewajibannya karena hal itu menguntungkan dirinya, misalnya
mendapatkan nama baik atau penghargaan dari orang lain. Kedua, ia melaksanakan
kewajibannya karena merasa adanya dorongan langsung dalam hatinya untuk melakukan hal
itu, misalnya membantu orang yang mengalami musibah karena terdorong oleh rasa belas
kasih atau rasa iba yang merupakan dorongan langsung dari dalam hatinya. Ketiga, ia
melakukan kewajibannya karena ia mau memenuhi apa yang menjadi kewajibannya. Nah,
manakah dari ketiga kemungkinan itu yang sungguh-sungguh merupakan kewajiban moral?
Bagaimana pendapat Immanuel Kant? Menurut Kant, kemungkinan ketiga, yaitu melakukan
kewajiban hanya untuk memenuhi apa yang menjadi kewajiban itulah kehendak baik atau
kehendak tanpa syarat. Kehendak baik tanpa syarat dalam is- tilah Kant adalah identik
dengan moral atau moralitas. Kemungkinan pertama (melakukan kewajiban karena
menguntungkan) lebih merupakan kebijaksanaan sementara kemungkinan yang kedua
(melakukan kewajiban karena adanya dorongan langsung dari dalam hati) adalah wilayah
institusi emosional. Walaupun demikian, masih ada persoalan yang perlu diangkat dalam alur
pemikiran ini. Bagaimana seseorang mengetahui apa yang wajib bagi dirinya? Apa kriteria
untuk kewajiban moral? Bagi Immanuel Kant, satu-satunya kriteria untuk kewajiban moral
adalah "imperatif kategoris," Imperatif kategoris berbunyi: “Bertindaklah secara moral!”
Imperatif di sini berarti perintah yang bernada wajib (das Sollen) bukan permintaan. Kant
membedakan keharusan atau kewajiban ke dalam dua jenis. Pertama, imperatif hipotetis,
yakni perintah atau keharusan bersyarat, misalnya, kalau ingin mempunyai uang, bekerjalah.
Kedua, imperatif kategoris atau perintah tanpa syarat. Tanpa syarat di sini berarti berlaku
begitu saja, bersifat mutlak atau secara niscaya Jadi, imperatif kategoris merupakan
keharusan mutlak dan tanna kecuali Penting untuk diperhatikan bahwa kalimat-kalimat dalam
tata bahasa Indonesia sering membingungkan kita untuk membedakan mana yang
sesungguhnya imperatif hipotesis da manakah yang seharusnya imperatif kategoris. Perintah
yang nampaknya kategoris, ternyata hipotetis atau sebaliknya yang nampaknya kategoris,
ternyata hipotesis atau sebaliknya yang nampaknya hipotesis ternyata berisi kategoris.
b. Relevansi Deontologi Kant atas Bisnis Kontomporer

Pertama-tama harus saya tegaskan bahwa sebagai ajaran atau paham moral-etis ajaran
deontologi Kant sangat relevan dengan bisnis kontemporer.cRelevansinya jelas, bukan
dicari-cari. Relevansi deontologi Kant dalamcdunia bisnis kontemporer terletak persis pada
keputusan dan tindakan para pebisnis itu sendiri. Namun, untuk itu perlu dibedakan di antara
pebisnis sebagai pengusaha yang baik dan pebisnis sebagai manusia yang baik. Pebisnis
sebagai pengusaha yang baik di sini, saya maksudkan untuk pengusaha yang berhasil
mewujudkan tujuan bisnisnya, yakni melipatgandakan keuntungan. Bagi pebisnis seperti ini
tentu hanya berlaku imperatif hipotetis Immanuel Kant. Keuntungan berhasil diraup karena

secara operasional bisnis telah dilaksanakan atau didasarkan pada syarat syarat tertentu.
Keuntungan selalu tergantung pada syarat-syarat lain diuarnya, misalnya ketepatan membaca
dan memanfaatkan peluang bisnis yang tentu saja hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
yang kompeten,loyal, dan berkomitmen tinggi. Hal ini tergantung pada syarat lain, seperti
jika para pebisnis benar-benar menjunjung tinggi dan menegakkan hak dan kewajiban bagi
semua. Lagi pula kalau pebisnis mau menaikan gaji atau upah buruh, ia tentu hanya
melakukannya karena diwajibkan oleh peraturan-peraturan ketenagakerjaan atau peraturan
perusahaan dalam Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), bukan karena didasarkan oleh good

will atau kehendak baik. Bagi para pebisnis kontemporer tentu tidak berlaku imperan
kategoris Kant, misalnya, jika menemukan karyawan atau buruh yang menderita dia wajib
membantu. Pebisnis tentu tidak akan melakulan imperatif kategoris seperti ini karena dia
atau mereka bukan dermawan melainkan pebisnis yang selalu terikat dengan tujuan
ekonomis bisnis. Bisnis tidak mengenal pemberian cuma-cuma. Bisnis juga tidak mengenal
istilah "prodeo" atau gratis. Dalam bisnis, yang dikenal adalah "do, ut des, saya memberikan
sesuatu agar Anda memberikannya kembali, bila perlu lebih tinggi nilainya daripada yang
telah saya berikan kepadamu. Bisnis merupakan usaha mencari keuntungan, bukan karya
amal. Setidak nya, yang dapat dilakukan pebisnis terhadap karyawan atau buruh yang
menderita adalah menambah volume pekerjaan atau menaikan standar mutu hasil pekerjaan
agar dapat dipakai sebagai alasan untuk menaikan upah atau memberikan insentif kepada
buruh tersebut. Itulah satu-satu nya hal yang mungkin dilakukan.
Sekali lagi, pada tataran bisnis, yang berlaku hanyalah imperatif hipotetis, bukan imperatif
kategoris. Lain halnya jika pebisnis kontemporer sekaligus adalah sekaligus manusia yang
baik secara moral. Dia atau mereka tentu akan membantu orang-orang tua yang ditemui di
jalan-jalan atau di kolong-kolong jembatan Mereka merasa wajib membantu, misalnya
memberikan uang sesuka hati meski hanya recehan. Pemberian mereka itu bukan karena di
dorong oleh sesuatu yang lain, misalnya supaya dipuji atau dihormati melainkan semata-
mata hanya karena kehendak baik yang timbul begitu saja. Mereka merasa wajib membantu
orang-orang yang menderita begitu saja. Mereka melakukan hal seperti itu tanpa pamrih
tertentu. Itulah tindakan moral sejati atau tindakan yang secara moral baik menurut
Immanuel Kant.
2.3 Etika Keutamaan

Pertanyaan pokok yang menjadi titik kaji bagian teoritik ketiga adalah seperti apakah Anda?
Dalam konteks bisnis, rumusan pertanyaanya lalu menjadi “orang macam apakah si pebisnis
X atau Y?” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu saya kemukakan mengingat setiap orang,
apapun pekerjaan atau profesinya selalu ingin menjadi orang yang kuat secara moral. Apa
artinya "kuat secara moral dalam konteks ini? Kuat secara moral yang saya maksudkan di sini
selalu berarti kepribadian yang mantap sehingga selalu sanggup untuk bertindak sesuai
dengan apa yang diyakini sebagai baik dan benar. Kepribadian yang kuat dan mantap secara
moral hanya dapat dicermati melalui sikap-sikap moral yang lazimnya disebut "keutamaan
moral" Oleh karena luasnya lingkup kajian tentang keutamaan moral, maka pada bagian ini
saya hanya akan membatasi diri pada sembilan jenis keutamaan moral yang menurut saya
merupakan dasar bagi kepribadian moral yang kuat sekaligus memiliki relevansi rill dengan
perilaku para pebisnis kontemporer. Sembilan keutamaan atau sikap moral itu adalah
kejujuran, kepercayaan, tanggung jawab, keberanian atau keuletan moral, realistik dan kritis,
fairness, rendah hati, hormat (terhadap diri sendiri dan terhadap diri yang lain), serta
kepedulian. Dalam kenyataannya, kesembilan keutamaan etis (virtue ethics) ini berhubungan
satu sama lain.

a. Kejujuran

Secara umum, kejujuran diakui sebagai keutamaan atau sikap moral pertama sekaligus
terpenting yang harus dimiliki oleh setiap orang, khususnya para pebisnis sebagai maklhluk
beretika. Sampai saat ini, diakui bahwa kejujuran identik dengan kesesuaian antara kata-kata
atau ucapan dengan fakta atau perbuatan. Dalam praktik hidup, orang lebih cenderung untuk
memaknai kejujuran dalam format negatif seperti tidak berbohong atau tidak menipu.
Seorang pebisnis kontemporer disebut orang jujur" jika segala perkataan yang diucapkan,
termasuk janji-janji nya sesuai dengan fakta atau tindakannya, yakni menepati janji-janjinya.
Apa yang dijanjikan dalam kontrak atau kesepakatan (transaksi) entah dengan pihak luar
(mitra bisnis dan pelanggan atau konsumen) atau dengan pihak dalam perusahaan (KKB)
selalu ditepati. Dalam kenyataannya, terutama di dunia bisnis, kejujuran selalu mengandaikan
kebenaran dan keterbukaan. Kebenaran informasi dan keterbukaan pebisnis dan mitra bisnis
untuk memberikan informasi yang sebenarnya menyangkut kondisi riil bisnis masing-masing.
Pebisnis ng jujur tentu akan menganggap kebohongan sebagai sesuatu yang tabu untuk
dilakukan.
b. Kepercayaan

Sebagai keutamaan yang wajib dimiliki oleh para pebisnis kontemporer, kepercayaan selalu
bersifat timbal balik. Maksudnya, pebisnis yang selalu percaya kepada pihak-pihak lain
mengandaikan bahwa pihak-pihak lain itu entah karyawan atau mitra bisnis dan pelanggan
akan memercayainya juga Ciri timbal balik dalam hal kepercayaan juga menuntut sikap kritis
dari seorang pebisnis, Implikasinya, seorang pebisnis memang harus bersikap selektif dalam
memilih mitra bisnis, termasuk menyeleksi dan karyawan atau buruhnya. Hal ini didasarkan
pada kenyataan Setiap organisasi bisnis selalu bergerak menuju tujuan yang satu dan sama,
yakni meraup keuntungan. Kesamaan tujuan mengandaikan bahwa srategi dan taktik
merupakan hal-hal yang sangat menentukan bagi keberhasilan sebuah bisnis mencapai tujuan
tersebut. Pada tataran inilah sikap-sikap moral yang kuat, khususnya kepercayaan mendapat
tantangan berat. Kesamaan tujuan mengındikaskan bahwa sikap-sikap yang bertentangan
dengan kepercayaan bukan tabu untuk dilakukan bahwa para pebisnis mulai memudar, pada
saat itu juga studi-studi tentang ke oleh pebisnis kontemporer. Pada tataran in, selek as entah
dalam memilih mitra bisnis atau buruh merupakan kata kunci yang emilih mitra bisnis atau
dalam menerima karyawan yang tidak bisa ditawar-tawar Percayaan dalam relasi antar
manusia, termasuk Ketika keadaan mulai meningkat dan terket cningkat dan terkenal. Salah
satu studi yang sangat menyengat kesadaran manusia saat ini adalah studi yang dilakukan
oleh ilmuwan sosial Amerika serikat, Francis Fukuyama dengan bukunya yang terkenal
berjudul Trust, The Social Virtue and the Creations of Prosperity (1995).
c. Tanggung Jawab

Sebagai keutamaan moral, tanggung jawab pertama-tama merupakan sikap terhadap tugas
yang membebani seorang pebisnis dan karyawan atau buruhnya, baik pengusaha maupun
karyawan atau buruh merasa terikat untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang
dipercayakan atau yang di emban. Dalam implikasinya, tanggung jawab tidak pernah
memberi ruang untuk sikap-sikap, seperti malas, acuh tak acuh, dan ragu ragu. Sikap
bertanggung jawab menuntut bahwa sesuatu itu dilakukan dan diselesaikan dengan
sebaikbaiknya. Tuntutan sepert ini dengan sendirimya akan memberikan ruang eksisnya
pengorbanan karena tugas yang dilakukan itu bisa saja kurang atau bahkan tidak
menguntungkan atau mendapat tekanan bahkan penolakan dari ihak lain. Dalam bahasa
moral, tugas yang dilakukan secara bertanggung jawab disebut sebagai tugas mulia karena
harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, termasuk jika tidak ada yang melihat atau
mengawasi pelaksanaannya. Di sini, kesediaan untuk bertanggung jawab merupakan
entrypoint yang dapat mengantarkan seseorang ke singgasana moralitas sebagai good risk-
taker. Penegasan bahwa tugas yang dilakukan secara bertanggung jawab dilakukan dengan
sebaik-baiknya, merupakan tugas mulia karena harus merupakan tugas meskipun tidak ada
pimpinan yang melihat atau supervisor yang mengawasi pelaksanaannya adalah sama dengan
mengatakan bahwa secara hakiki tanggung jawab mengatasi etika peraturan yang pada
dirinya sendiri tak terpisahkan dari pengawasan atau pengontrolan. Pada tataran ini, wawasan
orang, entah manajer atau karyawan yang selalu bersedia untuk bertanggung jawab atas tugas
yang dipercayakan kepadanya bersifat tak terbatas. Ia atau mereka merasa bertanggung jawab
kapan dan di manapun berada. Pebisnis, manajer, dan karyawan atau buruh yang memiliki
sikap seperti ini merupakan pribadi-pribadi yang selalu bersikap positif, kreatif, kritis, dan
objektif terhadap kondisi riil perusahaan Dalam menghadapi situasi tertentu, tanggung jawab
menuntut agar ia atau mereka selalu bersikap kritis, kreatif, objektif, serta positif, termasuk
mengambil keputusan-keputusan yang tidak populis atau tidak umum karena bertentangan
dengan kebiasaan yang berlaku. Selanjutnya, pribadi-pribadi yang bertanggung jawab
pastilah orang yang selalu bersedia untuk dimintai dan memberikan pertanggungg jawaban
atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya, termasuk jika atau mereka lalai dalam pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab termasuk mereka tidak akan pernah melemparkan tanggung jawab.
atas apa yang dilakukan ke Banyak orang tersebut yang bertanggung jawab selalu siap untuk
menjadi Good-ristaker mereka takan pernah melempar tanggung jawab. Dalam kaitanna
dengan tanggung jawab, seorang pebisnis disebut orang yang bertanggung jawab jika ia
selalu siap untuk disalahkan. la tidak akan pernah melemparkan tanggung jawab atas apa
yang dilakukan pada bawahanya
BAB III
PENUTUP

Pada dasarnya semua teori etika yang dikemukakan di atas (teori kebahagiaan, deontology,
dan virtue ethics) mengarah ke satu fokus yang sama, yakni menjawab persoalan utama
dalam etika atau persoalan seputar tujuan hidup manusia. Apa tujuan hidup manusia? Baik
kaum hedonis, utilitarian, kaum Kantian, maupun pengikuti etika keutamaansepakat bahwa
yang menjadi tujuan tertinggi sekaligus terakhir bagisemua manusia adalah kebahagiaan
hidup. Namun, bagaimana kebahagiaan hidup dapat dicapai? Pertanyaan seperti itulah yang
membedakansemua teori etika. Bapak pendukung hedonis etis tentu akan menjawab:
"Bertindaklah sedemikian rupa agar tindakanmu menghasilkan nikmat lebih besar daripada
sakit." Senada dengan jawaban kaum hedonis, para pendukung utilitarisme dan
utilitarianisme juga akan menjawab: "Bertindaklah sedemikian rupa agar tindakanmu
menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbanyak orang yang terkena dampak dari
tindakanmu." Pada tataran ini, utilitarianisme mengoreksi gagasan hedonisme cgois dengan
memberi ciri universal kepada hasil sebuah tindakan sebagaimana digagas kaum hedonis
sebelumnya. Dengan prinsip "kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbanyak" utilitarianisme
mengoreksi hedonisme egois. Immanuel Kant kemudian mempertegas dan memberikan ciri
baru pada fokus teori-teori etika sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai