Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

HIPOGLIKEMIA + NON INSULIN DEPENDENT DIABETES MELLITUS

PEMBIMBING
Omar Akbar, dr.
Keman Turnip, dr.

PENYUSUN
Ilma Syifannisa

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


RS TNI AU DR M SALAMUN
KOTA BANDUNG
2020
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny, R
Tempat/ tgl lahir : Solo, 17 September 1965
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Bandung
Status : menikah
Suku : Jawa
Tanggal masuk RS : 1 Agustus 2020

1.2 Anamnesis (Alloanamnesis dengan Suami Pasien)


Keluhan utama : Penurunan Kesadaran
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD RS AU Salamun dengan keluhan penurunan kesadaran
sejak 3 jam SMRS. Keluhan diawali rasa lemas yang dirasakan pasien sejak 10 jam
SMRS, rasa lemas dirasakan hingga pasien sulit beraktivitas. Pasien juga tampak
berkeringat dingin dan gemetar saat memegang benda. Kemudian pasien tidur karena
merasa lemas, lalu setelah tidur pasien sulit untuk dibangunkan dari tidurnya dan
segera dibawa ke rumah sakit.
Sejak 3 hari SMRS pasien tidak mau makan, namun tetap meminum obat anti
diabetesnya seperti biasa. Hal tersebut dikarenakan saat kontrol ke Puskesmas, gula
darahnya mencapai 350 mg/dL. Selama 3 hari ini juga pasien mengalami mual dan
muntah. Muntah sebanyak 3x/hari berisi cairan berwarna kekuningan.
Keluhan demam, nyeri perut, BAB cair, dada berdebar disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Mellitus sejak 5 tahun terakhir dan
meminum obat rutin Glibenclamid 1 x 3 mg, metformin 3 x 500 mg
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit darah tinggi sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa, DM, ataupun hipertensi

1.3 Pemeriksaan Fisik


- Keadaan umum : Sakit berat
- Kesadaran : Coma (GCS E1V1M1)
- Suhu : 36,5 °C
- Frekuensi Pernapasan : 20x/menit
- Nadi : 100x/menit isi cukup, regular, kuat angakat
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Berat Badan : 55 kg
- Tinggi Badan : 155 cm
- IMT : 22 (Normal)

Status Generalis
 Mata : Conjungtiva anemis (-) Sklera ikterik (-)
 Hidung : Sekret (-)
 Telinga : Normotia
 Mulut : Sianosis (-) Mukosa bibir kering (-)
 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-) JVP 5+2 cmH2O
 Thorax (Paru)
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
- Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus
simetris kesan normal
- Perkusi : Sonor kiri = kanan
- Auskultasi : Bunyi napas vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing (-)
 Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba
- Perkusi : Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV Linea parasternalis
dextra
Batas jantung kiri : ICS V Linea midclavicular
sinistra
- Auskultasi :Bunyi jantung : S I/II regular, murmur (-) gallop (-)
 Abdomen :
- Inspeksi : Cembung
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Palpasi : Turgor kulit normal, nyeri tekan tidak ada, pembesaran
- organ tidak ada, supel,
- Perkusi : timpani
 Ekstremitas : Akral dingin pada kedua ekstremitas, CRT 2 dtk.

Status Neurologis
 Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Laseque : (-)
Kernig : (-)
 Nervi Kranialis
Nervi Cranialis Kanan Kiri
N III Ptosis Tdk Tdk
dilakukan dilakukan
Gerakan Mata Tdk Tdk
dilakukan dilakukan
Ukuran Pupil 3 mm 3 mm
Bentuk Pupil Bulat Bulat
Refleks Cahaya (+) (+)
Nistagmus Tdk Tdk
dilakukan dilakukan
N VII Lipatan Nasolabial Normal
Tdk Tdk
Mengerutkan Dahi
dilakukan dilakukan
Deviasi wajah Tidak
Menutup Mata (+) (+)
Meringis Tdk dilakukan
Menggembungkan Pipi Tdk dilakukan
Mendengar Suara Berbisik Tdk Tdk
Nervi Cranialis Kanan Kiri
dilakukan dilakukan

 Motorik
1) Pergerakan : sulit dinilai
Tremor : (-) / (-)
Mioklonik: (-) / (-)
Chorea : (-) / (-)

2) Trofi Normal Normal


Normal Normal

3) Tonus Normal Normal


Normal Normal

4) Refleks fisiologis
 Biseps : (++) / (++)
 Triseps : (++) / (++)
 Patella : (++) / (++)
 Achilles : (++) / (++)
5) Refleks patologis
 Hoffman – Tromner : (-) / (-)
 Babinski : (-) / (-)
 Chaddock : (-) / (-)
 Schaefer : (-) / (-)
 Oppenheim : (-) / (-)
 Gordon : (-) / (-)
 Koordinasi, gait, dan keseimbangan
Cara berjalan : tidak dilakukan
Tes Romberg : tidak dilakukan
Disdiadokinesis : tidak dilakukan
Point to point : tidak dilakukan
 Alat vegetatif
Refleks anal : tidak dilakukan
Refleks kremaster : tidak dilakukan
Refleks bulbokavernosus : tidak dilakukan

1.4 Pemeriksaan Penunjang


 Laboratrium
Laboratorium Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 12.5 g/dL 12.0-16.0 g/dL
Hematokrit 36% 35-46%
Leukosit 9.000 mm3 4.500-11.000 mm3
Trombosit 258.000 mm3 150.000-450.000 mm3
Eritrosit 4.50 juta/mm3 4.10-5.10 juta/mm3
Basofil 0% 0-1%
Eosinofil 1% 1-6%
Neutrofil batang 3% 2-6%
Neutrofil segmen 65% 50-70%
Limfosit 22% 20-40%
AST 22 U/L < 31 U/L
ALT 29 U/L < 34U/L
Ureum 46 mg/dL 10-50 mg/dL
Kreatinin 1.1 mg/dL 0.6-1.1 ,g/dL
GDS 34 mg/dL < 200 mg/dL
Natrium 137 mmol/L 135-148 mmol/L
Kalium 3.6 mmol/L 3.5 – 5.3 mmol/L

 EKG
Interpretasi:
Kalibrasi 10 mm/mV , Kecepatan 25 mm/s , Negative wave pada lead aVR
Heart rate : 92 x/menit
Rhytm : normo sinus rhytm
Axis : tidak ada deviasi axis
Gelombang P : 0,08 detik, 0,1 mV
PR interval : 0,16 detik
QRS complex : 0,08 detik
Q pathology : tidak ada
ST segment : pada garis isoelektrik
Gelombang T : 0,12 detik, 0,2 mV

1.4 Diagnosis Kerja


Hipoglikemia
Non Insulin Dependen Diabetes Mellitus

1.5 Penatalaksanaan
 Farmakologis (Advice dr. Haneng, Sp.PD)
a. Bolus D40% 50 cc IV
b. Drip D10% 6jam/kolf IV
c. Hentikan obat DM sementara
d. Pantau gula darah setiap ½ jam, pertahankan glukosa ~200 mg/dL
e. Ondansetron 3 x 4mg IV
f. Omeprazole 2 x 40mg IV

1.6 Prognosis
 Quo Ad Vitam : ad Bonam
 Qua Ad Functionam : ad bonam
 Qua Ad Sanationam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipoglikemia
Hipoglikemia berdampak serius pada morbiditas, mortalitas, dan kualitas
hidup. The diabetes control and complication trial (DCCT) melaporkan terjadi
peningkatan tiga kali lipat hipoglikemia berat dan koma pada pasien yang
ditangani secara intensif dibandingkan pasien yang dirawat secara konvensional.
2.1.1 Definisi
Definisi hipoglikemi menurut American Diabetes Association (ADA) segala
episod dimana terdapat ketidaknormalan konsentrasi glukosa dalam plasma pada
individu dan menyebabkan gangguan potensial. Nilai ambang glikemik bersifat
dinamis dan tidak sama dalam reaksi respon, maka cukup sulit untuk menentukan
nilai konsetrasi glukosa secara spesifik sampai dapat memberikan gejala. Hal ini
menyebabkan ADA merekomendasikan kepada pasien DM dengan terapi yang
berhubungan dengan insulin untuk memonitor dirinya akan resiko hipoglikemi
dengan konsentrasi glukosa plasma ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L). Hal ini tidak
kemudian menjadi indikasi penderita untuk memberikan terapi pada dirinya
sendiri ketika konsentrasi glukosa plasmanya ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L),
melainkan lebih waspada akan tanda dan gejala hipoglikemia, mengukur ulang
konsentrasi glukosa dalam rentang waktu tertentu serta menghindari beberapa
pekerjaan seperti menyetir, kemudian hipoglikemi dapat dicegah dengan
mengkonsumsi karbohidrat atau gula per oral[ CITATION Phi11 \l 1033 ].

Klasifikasi kejadian hipoglikemi menurut ADA ialah sebagai berikut.

Severe hypoglycemia Kondisi di mana membutuhkan bantuan dari


orang lain untuk memberikan tambahan
karbohidrat, glukagon, atau aksi resusitasi
lain. Perubahan konsentrasi glukosa plasma
mungkin tidak terjadi, tetapi terdapat
perubahan neurologis setelah terapi
hipoglikemi diberikan.

Documented severe hypoglycemia Kondisi dimana terdapat gejala tipikal


hipoglikemi yang berhubungn dengan nilai
konsentrasi glukosa plasma ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9
mmol/L).
Asymptomatic hypoglycemia Kondisi dimana tidak terdapat gejala tipikal
hipoglikemi tetapi nilai konsentrasi glukosa
plasma ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L).

Propable symptomatic Kondisi dimana terdapat gejala tipikal


hypoglicemia hipoglikemi namun tidak berhubungan
keadaan glukosa tetapi dicurigai disebabkan
oleh nilai konsentrasi glukosa plasma ≤ 70
mg/dL (≤ 3.9 mmol/L).

Relative hypoglycemia Keadaan di mana seseorang dengan diabetes


mengalami gejala tipikal hipoglikemi namun
konsentrasi glukosa plasma >70 mg/dL (>3.9
mmol/L).

2.1.2 Etiologi
Sebagian besar penyebab hipoglikemia ialah penderita DM dengan terapi
insulin atau sulfonylurea (hipoglikemia iatrogenik), tetapi juga terdapat penyebab
hipoglikemia pada pasien non-DM seperti pankereatitis atau sel tumor non-islet,
autoimun, kegagalan organ, penyakit endokrin, kelainan metabolisme dari lahir,
toksin dari makanan, dan lain-lain (sepsis, kelaparan, kegiatan yang sangat
berlebihan)[CITATION Tre11 \l 1033 ].

2.1.3 Faktor Risiko


Beberapa faktor dapat meningkatkan resiko terjadikan hipoglikemia pada
pasien DM dengan terapi insulin, salah satunya ialah gangguan kecemasan. Angka
kejadian hipoglikemia dengan gangguan kecemasan 9 kali lebih tinggi
dibandingkan hipoglikemia dengan episode normal dari kecemasan. Usia muda
juga merupakan factor resiko terjadinya hipoglikemi berhubungan dengan
kurangnya pemahaman mengenai tanda dan gejala dari hipoglikemia, sedangkan
pada orang tua juga dapat terjadi akibat factor penuaan sehingga kurang
memahami tanda dan gejala hipoglikemia. Pencegahan terhadap hipoglikemia
berat dipengaruhi oleh pengawasan orang tua atau pengasuh penderita DM
terhadap intake makanan, dosis insulin, dan pengaturan latihan atau kegiatan
penderita. Lamanya penyakit yang diderita dan pernah mengalami episode
hipoglikemia berat juga merupakan faktor resiko dari kejadian
hipoglikemi[ CITATION Tre11 \l 1033 ].
2.1.4 Penegakkan Diagnosis
Manifestasi klinis dari hipoglikemi berat tampak sebagai gejala-gejala yang
berhubungan dengan aktivasi simpatoadrenal dan neuroglikopenia. Aktivasi
simpatoadrenal tampak sebagai gejala berkeringat, takikardi, takipnea, kecemasan,
gemetar, dan mual. Gejala neuroglikopenia meliputi perubahan penglihatan, lelah,
pusing, sakit kepala, perubahan kesadaran, perubahan status mental, kejang, koma,
hingga menyebabkan kematian[CITATION GRE11 \l 1033 ].
Berdasarkan Eckman&Golden, terdapat trias yang menjadi tanda dan gejala
hipoglikemi yang dikenal sebagai trias Whipple. Trias Whipple ialah gejala muncul
dan konsisten dalam keadaan hipoglikemia, nilai konsentrasi glukosa plasma rendah,
dan terdapat perbaikan klinis ketika konsentrasi glukosa plasma dinaikkan [ CITATION
Ari11 \l 1033 ].

2.1.5 Tatalaksana
Penanganan hipoglikemia tergantung pada derajat keparahan hipoglikemia itu
sendiri. Hipoglikemia ringan hingga sedang lebih mudah ditangani yaitu dengan
intake oral karbohidrat aksi cepat seperti minuman glukosa, tablet, atau makanan
ringan. Hipoglikemia derajat berat memerlukan tindakan segera dan
khusus[ CITATION Tre11 \l 1033 ].
Dekstrosa
Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi glukosa oral seperti pada pasien
penurunan kesadaran, kejang, atau perubahan status mental dapat diberikan cairan
dekstrosa secara intra vena baik perifer maupun sentral. Konsentrasi dekstrosa 50%
pada air dapat diberikan pada pasien dewasa, sementara dekstrosa dengan konsentrasi
25% biasa digunakan sebgai terapi pada pasien anak. Perlu diperhatikan pada cairan
dekstrosa 50% dan 25% dapat menyebabkan nekrosis jaringan jika diberikan pada
jalur intra vena yang tidak benar, oleh karena itu, cairan tersebut harus diberikan pada
jalur IV yang paten[ CITATION Tre11 \l 1033 ]
Glukagon
Glukagon merupakan lini pertama terapi hipoglikemi pada pasien hipoglikemi
dengan terapi insulin karena glukagon merupakan hormon utama pengatur insulin.
Tidak seperti dekstrosa, glukagon diberikan melalui subkutan atau intra muskular. Hal
ini menjadi penting karena glucagon dapat dijadikan pilihan terapi selagi menunggu
paramedic datang untuk memberikan dekstrosa[ CITATION Tre11 \l 1033 ].
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glucagon efektif dalam menyediakan
kembali glukosa darah dan dapat mengembalikan kesadaran, serta sifatnya aman
dalam penanganan hipoglikemia berat baik diberikan secara intra vena, subkutan,
ataupun intra muskular. Glukagon yang diberikan secara parenteral biasa diberikan
pada pasien DM tipe 1 dengan riwayat hipoglikemia berat. Glukagon yang diberikan
secara intra vena biasa diberikan pada pasien hipoglikemia berat dengan DM tipe 2.

Mengingat bahwa glukagon menstimulasi sekresi insulin berkaitan dengan


glikogenolisis maka sangat perlu diperhatikan pemberian glukagon pada pasien DM
tipe 2 dengan terapi insulin atau dengan komplikasi tertentu. Glukagon sangat tidak
disarankan diberikan secara infus intra vena atau dengan pasien yang menggunakan
sulfonilurea; pada pasein tersebut lebih baik diberikan glukosa secara bolus kemudian
diikuti dengan infus hingga efek dari sulfonilurea telah habis.

Mual dan muntah sering dilaporkan sebagai efek samping terhadap penggunaan
glucagon dengan dosis >1mg, namun menurut penelitian yang pernah dilaporkan
sangat jarang membahas tentang kejadian mual dan muntah tersebut, selain itu mual
dan muntah tetap akan dapat terjadi walaupun tanpa penggunaan glukagon. Ada juga
laporan mengenai reaksi alergi setelah pemberian glukagon, namun hal ini biasanya
terjadi apabila glukagon diberikan sebagai terapi selain untuk hipoglikemia
[ CITATION Tre11 \l 1033 ]

Manajemen Hipoglikemia Menurut Perkeni

Stadium permulaan (sadar)

1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop atau permen gula murni
(bukan pemanis pengganti gula) atau gula diet atau gula diabetes) dan makanan
yang mengandung karbohidrat
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara
3. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
4. Pertahankan glukosa darah sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
5. Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)

1. Diberikan larutan Dextrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan Dextrose 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa glukosa darah sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer:
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dextrose 40%
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
3. Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus Dextrose 40%
4. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dextrose
10%
5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2
jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan
mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%
6. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4
jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan
mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%
7. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam :

8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin


seperti adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glucagon 0,5-1 mg IV/IM (bila
penyebabnya insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : Hidrokortison 100 mg per 4
jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6
jam dan Manitol 1,5-2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain kesadaran
menurun.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cryer, P. E. (2011). Hypoglicemia During Therapy of Diabetes. Dipetik


January 8, 2012, dari Endotext.org: http://www.endotext.org/

2. Eckman, A., & Golden, S. (2011, March 2). Diabetes Guided - Trinidad and
Tobago. Dipetik January 8, 2012, dari John Hopkins Point of care Information
Technology: http://www.ttdiabetesguide.org/index.html

3. Epidemiology of Hypoglikemia. (2011, May). Dipetik January 8, 2012, dari


Diabates Treatments: http://diabetesmellitustreatments.com//

4. Rutecki, G. W. (2011, June 22). Recurrent Hypoglicemia: When Diabaetes IS


Not the Cause. Dipetik January 8, 2012, dari ConsultantLive:
http://www.consultantlive.com/

5. The Endocrine Society. (2009). The Journal of Clinical Endocrinology and


Metabolism. Evaluation and Management of Adult Hypoglycemic Disorders:
An Endocrine Society Clinical Practice Guideline , 18.

6. Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes therapeutic


approach. (2011, September 6). Dipetik January 8, 2012, dari Dovepress open
acces to scientific and medical research: http://www.dovepress.com/diabetes-
metabolic-syndrome-and-obesity-targets-and-therapy-journal

7. Sastroasmoro S, Soegondo S, Rani A, editor. Hipoglikemia. Dalam : Panduan


Pelayanan Medis Departemen Penyakit Dalam. Jakarta : RSUP Nasional Dr.
Cipto Mangunkusumo. 2007. Hal : 5-8.

8. Rani AA, Soegondo S, Nasir AU, dkk, editor. Hipoglikemia. Dalam : Panduan
Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Jakarta : InternaPublishing. 2009. Hal 23-5.

Anda mungkin juga menyukai