Anda di halaman 1dari 13

Tugas

MATA KULIAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI


Pengaduan dan Perlindungan Hukum

Oleh
Kelompok V
Ariana Yuni Syarofah (A 241 18 011)
Amina Musdalifa (A 241 18 050)
Ashari (A 241 18 079)
Asmaul Syahril (A 241 18 067)
Lili Eka (A 241 16 )
Ma’rifah Arwan (A 241 18 055)
Utari Faradisa (A 241 18 035)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Praktik korupsi di Indonesia telah terjadi sejak masa kerajaan di wilayah
nusantara bahkan telah tersistematisasi mulai pada masa VOC dan pemerintahan
Hindia Belanda. Meskipun telah merdeka, tidak menjadikan wilayah nusantara
terbebas dari praktik dan budaya korupsi, sebab faktanya korupsi semakin
merajalela. Salah satu produk hukum yang menjadi legitimasi korupsi
yang dikeluarkan oleh Soeharto adalah Keppres (Keputusan Presiden), yang
semestinya dibuat untuk menciptakan tatanan yang lebih baik, tetapi kenyataan
menunjukan bahwa Keppres yang mempunyai kekuatan layaknya undang-undang
tersebut dibuat untuk kepentingan keluarga dan kroni-kroni Soeharto sendiri.
Upaya pemberantasan korupsi bukan persoalan yang mudah, upaya untuk
memberantas korupsi sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 1950 an, oleh Jaksa
Agung Suprapto, yang sudah melakukan berbagai tindakan terhadap para koruptor,
yang telah berakhir dengan penuntutan terhadap beberapa orang menteri pada
waktu itu, antara lain Menteri Penerangan Syamsudin Sutan Makmur, Menteri
Kehakiman Djodi Gondokusumo, dan lain-lain.
Dilihat dari sejarah mengenai korupsi di Indonesia, maka masalah korupsi
ini tidak dapat lagi di golongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary-crimes)
melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Sehingga
dalam upaya pemberantasannya tidak dapat lagi dilakukan secara biasa, tetapi di
butuhkan cara-cara yang luar biasa (extra-ordinary enforcement). Komisi
Pemberantasana Korupsi diberikan kewenangan dan tugas yang luar biasa (extra
ordinary), bagi pemberantasan korupsi yang merupakan kejahatan yang luar biasa.
Namun, pola pemberantasan korupsi kenyataannya tidak bisa dilakukan hanya oleh
instansi tertentu namun membutuhkan pelaksanaan secara komprehensif dan
bersama-sama oleh lembaga penegak hukum, lembaga masyarakat, dan individu
anggota masyarakat.
Terkait masalah tersebut, masyarakat juga dapat berkontribusi
memberantas korupsi diantaranya dengan melakukan pengaduan tindak pidana
korupsi dengan tata cara pengaduan yang akan dibahas pada makalah ini. Akan
dibahas juga mengenai perlindungan hukum bagi pengadu tindak pidana korupsi
beserta penghargaan bagi pelapor tindak pidana korupsi.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, rumusan masalah yang akan
dipecahkan yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana tata cara pengaduan tindak pidana korupsi ?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi pengadu tindak pidana korupsi ?

1.3.Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang ada, tujuan penulisan makalah ini yaitu
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui tata cara pengaduan tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui terkait perlindungan hukum bagi pengadu tindak pidana
korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi di Indonesia telah melibatkan banyak kalangan,
baik di pusat maupun di daerah, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan tokoh
masyarakat. Korupsi sendiri berasal dari kata corruptio atau corruptus yang
memiliki arti kerusakan atau kebobrokan. Pengertian korupsi menurut masyarakat
awam adalah suatu tindakan mengambil uang negara agar memperoleh
keuntungan untuk diri sendiri. Akan tetapi menurut buku yang menjadi referensi
bagi penulis, pengertian korupsi yang dikutip dari KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) bahwa korupsi merupakan penyelewengan atau penggelapan uang
negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Akan tetapi korupsi juga mempunyai beberapa macam jenis, menurut
Beveniste dalam Suyatno korupsi didefenisikan dalam 4 jenis yaitu sebagai
berikut:
Discretionery corupption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya bersifat sah.
Contoh : Seorang pelayan perizinan Tenaga Kerja Asing, memberikan pelayanan
yang lebih cepat kepada ”calo”, atau orang yang bersedia membayar lebih,
ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja. Alasannya karena calo adalah
orang yang bisa memberi pendapatan tambahan.
Illegal corupption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi hukum.
Contoh: di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang
jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Tetapi karena waktunya
mendesak (karena turunnya anggaran terlambat), maka proses itu tidak
dimungkinkan. Untuk pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa
mendukung atau memperkuat pelaksanaan sehingga tidak disalahkan oleh
inspektur. Dicarilah pasal-pasal dalam peraturan yang memungkinkan untuk bisa
digunakan sebagai dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan tender.
Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus ini, sebenarnya sah atau tidak sah,
bergantung pada bagaimana para pihak menafsirkan peraturan yang berlaku.
Bahkan dalam beberapa kasus, letak illegal corruption berada pada kecanggihan
memainkan kata-kata, bukan substansinya.
Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud
untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan. Contoh: Dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang
mempunyai kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara
terselubung atau terang-terangan ia mengatakan untuk memenangkan tender
peserta harus bersedia memberikan uang ”sogok” atau ”semir” dalam jumlah
tertentu.
Ideologi corruption, ialah jenis korupsi ilegal maupun discretionery yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Contoh: Kasus skandal watergate
adalah contoh ideological corruption, dimana sejumlah individu memberikan
komitmen mereka terhadap presiden Nixon ketimbang kepada undang-undang
atau hukum. Penjualan aset-aset BUMN untuk mendukung pemenangan pemilihan
umum.
Dari penjelasan mengenai pengertian korupsi di atas, dapat disimpulkan
bahwa kejahatan tindak pidana korupsi mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
• Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, dan sarana.
• Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
• Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2.2.Pengaduan Tindak Pidana Korupsi


Definisi pengaduan atau laporan ini tidak hanya merujuk pada Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang memberitahukan tentang
terjadinya tindak pidana yang dilaporkan oleh whistleblower. Whistleblower
merupakan seorang pengungkap fakta, atau yang sering disebut oleh masyarakat
umum dengan kata pelapor. Sebab, setiap orang yang merasa dirugikan atas
perbuatan pidana yang dilakukan pihak lain berhak mengadukan atau melaporkan
peristiwa kepada aparat penegak hukum. Namun, pengaduan/pelaporan dalam
konteks ini merujuk pada pengertian secara umum yang merupakan tindak
pemberitahuan oleh pihak-pihak yang berkepentingan kepada pejabat/instansi
yang berwenang tentang adanya penyimpangan yang dilakukan oleh aparat terkait
pelayanan publik. Tindakan pemberitahuan tersebut dimaksudkan agar
penyimpangan yang terjadi dapat ditindaklanjuti oleh pejabat pengawas yang
berwenang. Pada prinsipnya setiap orang berhak mengadu atau membuat laporan
apabila merasa kepentingannya dirugikan atas tindakan penyimpangan yang
dilakukan aparat, pegawai, pejabat, petugas, profesi tertentu yang melaksanakan
tindakan pelayanan publik. Pihak-pihak yang dapat mengadu atau melapor antara
lain sesorang atau keluarganya, kelompok masyarakat, organisasi masyarakat,
organisasi politik, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Secara umum lembaga
yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik oleh instansi pemerintah atau
swasta dilaksanakan Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang sejak terbitnya
UU No.37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, perubahan
menjadi ORI.
Pada dasarnya pengaduan disampaikan secara tertulis. Walaupun peraturan
yang ada menyebutkan bahwa pengaduan dapat dilakukan secara lisan, tetapi
untuk lebih meningkatkan efektifitas tindak lanjut atas suatu perkara, maka
pengaduan yang diterima masyarakat hanya berupa pengaduan tertulis. Format
penyampaian pengaduan tersebut adalah sebagai berikut:
Identitas Pelapor atau Pemberi Informasi Pengaduan. Untuk memudahkan
tindak lanjut, dan jika diperlukan adanya penjelasan lebih dalam, maka wajib
disertakan identitas diri pelapor. Identitas yang perlu disampaikan dalam
pelaporan, mencakup nama, pekerjaan, alamat rumah dan tempat bekerja, telepon
yang dapat dihubungi, serta identitas lain yang dianggap perlu. Pengaduan melalui
telpon, Fax, e-mail, dan SMS akan ditindak-lanjuti apabila telah disusulkan dengan
data lengkap, sesuai dengan PP No.71/2000 pasal 2 dan 3.
Pengungkapan Materi Pengaduan. Laporan setidaknya mengungkap jenis
penyimpangan, fakta/proses kejadian, penyebab dan dampak (kerugian negara
yang ditimbulkan)
Alat dan barang bukti. Jika ada, laporan dapat disertai alat bukti, Pasal 184
ayat (1) KUHP merujuk beberapa alat/barang bukti berupa keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, dan petunjuk. Sedangkan didalam UU No. 20/2001 tentang
perubahan atas UU No.31/1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
pada pasal 26A , dikenal juga bukti lain dan tidak terbatas pada informasi/data
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun
elektronik atau optik.

3.2. Perlindungan Hukum Bagi Pengadu Tindak Pidana Korupsi


Adanya jaminan perlindungan dari pemerintah terhadap masyarakat harus
berlaku secara meluas, baik dari ancaman yang berasal dari luar wilayah Indonesia,
maupun dari dalam wilayah Indonesia. Di samping itu, perlindungan ini harus pula
diberikan baik dari serangan terhadap masyarakat Indonesia secara keseluruhan,
maupun terhadap individu masing-masing. Salah satu konkretisasi dari tanggung
jawab pemerintah untuk memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakatnya
(warga negara) adalah pemerintah berkewajiban untuk melindungi masyarakatnya
dari segala bentuk kejahatan atau perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya yang
mungkin dialami.
Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa perlindungan hukum bagi
pengadu tindak pidana korupsi merupakan upaya yang dilakukan untuk
memberikan rasa aman kepada saksi atau korban oleh instansi yang berwenang.
Pelapor atau pengadu tindak pidana korupsi ini nantinya akan dilindungi baik
secara fisik maupun psikis. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa
perlindungan ini diberikan untuk menghindari bentuk perbuatan yang
menimbulkan akibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
mengakibatkan saksi atau korban merasa takut atau dipaksa untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu hal yang menyangkut pemberian kesaksiannya pada saat
proses peradilan pidana.
Terkait perlindungan hukum bagi pengadu tindak pidana korupsi, terdapat
lembaga yang bertugas dan berwenang untuk menjalankan tugas tersebut.
Lembaga tersebut adalah LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Dalam hal tindak pidana korupsi, upaya perlindungan terhadap saksi yang
dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diperlukan demi
tercapainya proses penegakan hukum. Peranan tersebut tercermin dari dimulainya
proses penegakan hukum karena adanya permohonan dari saksi atau korban.
Hukum Acara Pidana sebagai prosedur penegakan hukum di Indonesia
belum mengatur secara tegas perlindungan saksi. Pentingnya kedudukan saksi
pelapor dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan
pidana. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada
akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi
pertimbangan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas
bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan
hukum dan keadilan.
LPSK dapat memperhatikan kepentingan whistleblower untuk
mendapatkan perlindungan, keadilan dan pemulihan hak-haknya. Selain itu LPSK
juga dapat rmeningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengungkap tindak
pidana dengan menciptakan suasana yang kondusif agar setiap orang yang
mengetahui terjadinya tindak pidana atau menjadi korban tindak pidana memiliki
kemauan dan keberanian untuk melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diharapkan dapat
memberikan perlindungan terhadap saksi pelapor (whistleblower) pada perkara
korupsi agar berani memberikan keterangan yang sebenarnya dalam proses
pemeriksaan perkara pidana tanpa mengalami ancaman atau tuntutan hukum.
Ketersediaan mekanisme sangat penting guna mendukung kewenangan LPSK
dalam menjamin diperolehnya kebenaran materiil sekaligus untuk memenuhi rasa
keadilan bagi semua, termasuk bagi saksi dan korban yang terkait. Penegakan
hukum perlu didukung oleh kerangka regulasi yang memadai demi menjamin
proses penegakan hukum bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, tidak larinya
tersangka koruptor, hingga terselamatkannya aset negara yang dikorupsinya.
Beberapa perlindungan dilakukan terhadap saksi dan korban dalam kasus-kasus
serius, di mana dari perlindungan itu kemudian turut andil dalam menegakkan
hukum demi mencapai keadilan. Beberapa instrumen perlindungan hukum bagi
whistleblower diantaranya:
UNCAC (United Nation Convention Against Corruption). Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa ini merupakan instrument hukum internasional
tentang perlindungan hukum terhadap whistleblower, terutama yang terkait
dengan perkara tindak pidana korupsi. Hal ini tercantum dalam Article 37 section
3 tentang Cooperation with law enforcement authorities yang menjelaskan Each
State Party Shall consider providing for the possibility, in accordancewith
fundamental principles of the domestic aw, of granting immunity form prosecution
to a personwho provides substansial cooperation in the investigation of an offence
established in accordance with this convention. (setiap negara peserta wajib
mempertimbangkan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum
nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang-orang yang
memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan).
Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasi konvensi ini menjadi
undang-undang nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi PBB anti
korupsi
SEMA No. 4 Tahun 2011 . SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) ini
mengatur tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan pelaku
yang bekerjasama (justice collaborator). Dalam SEMA dijelaskan mengenai
perlakuan berbeda terhadap whistleblower, yaitu apabila pelapor dilaporkan oleh
terlapor, maka penanganan perkara atas tindak pidana pelapor didahulukan
daripada laporan yang diajukan kembali oleh terlapor.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban . Undang-undang ini merupakan perubahan atas undang-undang nomor 13
tahun 2006 yang mana didalamnya mengatur mengenai pelapor. Pelapor dalam
undang-undang ini tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun secara perdata
atass keterangan yang akan, sedang, atau telah disampaikannya.
Peraturan bersama Kemenkumham, Jaksa Agung, Polri, KPK, dan LPSK
Tentang perlindungan bagi saksi pelapor, pelapor, dan pelaku yang bekerjasama.
Meskipun peran LPSK terhadap whistleblower sangat dibutuhkan dalam
penegakan hukum, namun sistem dan kondisi hukum di Indonesia ternyata belum
memberikan jaminan perlindungan yang semestinya terhadap keamanan dan
keselamatan mereka, sebab UU No. 13 Tahun 2006 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban belum memberikan pelindungan hukum yang
ideal dan proporsional bagi keberadaan whistleblower. Jika pelindungan atas
keamanan dan keselamatan para whistleblower dapat dijalankan, maka potensi
untuk mengungkapkan berbagai kasus korupsi akan berjalan lancar. Undang-
undang hanya mengatur mengenai tanggung jawab LPSK, keanggotaan dan proses
seleksi LPSK, pengambilan keputusan dan pendanaan namun tidak mengatur
secara jelas mengenai organisasi dan dukungan kelembagaan, administrasi, serta
tranparansi dan akuntabilitas dari LPSK.
Muladi menyatakan bahwa perlunya pengaturan dan perlindungan hukum
bagi saksi dan korban tindak pidana dapat dibenarkan secara sosiologis bahwa
dalam kehidupan bermasyarakat semua warga Negara harus berpartisipasi penuh,
sebab masyarakat dipandang sebagai system kepercayaan yang melembaga
(system of in instuitutionalizet trust). Tanpa kepercayaan ini, kehidupan sosial
tidak mungkin berjalan baik, sebab tidak ada pedoman atau patokan yang pasti
dalam bertingkah laku. Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang
diekspresikan di dalam struktur kelembagaan (organisasi) seperti kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, lembaga koreksi dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Pengaduan merupakan tindak pemberitahuan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan kepada pejabat/instansi yang berwenang tentang adanya
penyimpangan yang dilakukan oleh aparat terkait pelayanan publik,
memberitahukan tentang terjadinya tindak pidana yang dilaporkan oleh
whistleblower. Whistleblower merupakan seorang pengungkap fakta, atau yang
sering disebut oleh masyarakat umum dengan kata pelapor.
2. Perlindungan hukum bagi pengadu tindak pidana korupsi merupakan upaya
yang dilakukan untuk memberikan rasa aman kepada saksi atau korban oleh
instansi yang berwenang yang nantinya akan dilindungi baik secara fisik
maupun psikis. Perlindungan ini diberikan untuk menghindari bentuk
perbuatan yang menimbulkan akibat, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang mengakibatkan saksi atau korban merasa takut atau dipaksa
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang menyangkut
pemberian kesaksiannya pada saat proses peradilan pidana.

3.2. Saran
3.2.1. Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat meningkatkan partisipasinya dalam
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, salah satunya adalah
dengan menjadi whistleblower/saksi pelapor.
3.2.2. Bagi Pemerintah
Mengingat bahwa resiko dari whistleblower berbeda dengan saksi
biasa, karena itu diperlukan lembaga yang secara khusus/independen untuk
menangani dan melindungi whistleblower dengan penuh tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA

Aditya, Moch Reza. 2012 Perlindungan Hukum Terhadap Para Pelaku Whistleblower
Pada Tindak Pidana Korupsi. Surabaya: Skripsi Universitas Pembangunan
Nasional Veteran.
Atmasasmita, Romli. 2002. Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi.
Jakarta: Percetakan Negara R.I.
Darmono. 2011. Komitmen Kejaksaan RI Dalam Perlindungan Saksi Dan Korban
Tindak Pidana. Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban.

Anda mungkin juga menyukai