Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

GIZI BURUK

Disusun oleh:

Antonius Priambodo Budiono 19710001


M. Raihan Rustan 19710010
Alvin Azwan Amirullah 19710046

Pembimbing:
dr. Fita Shofiyah, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD SIDOARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2019
DAFTAR ISI

Cover ..................................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................... ii
BAB I : Pendahuluan ....................................................................................... 1
BAB II : Tinjauan Pustaka ................................................................................ 2
2.1 Definisi ....................................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi .............................................................................................. 2
2.3 Etiologi ....................................................................................................... 3
2.4 Patofisiologi ............................................................................................... 4
2.5 Diagnosis Gizi Buruk pada Anak ............................................................... 7
2.6 Tatalaksana ................................................................................................. 20
2.7 Prognosis .................................................................................................... 28
BAB III : Kesimpulan......................................................................................... 29
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 30

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Masalah gizi buruk pada balita merupakan masalah kesehatan masyarakat


sejak dahulu. Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 sampai saat ini masih
belum dapat ditanggulangi dengan baik. Hal ini menyebabkan jumlah keluarga
miskin semakin banyak dan daya beli terhadap pangan menurun. Lebih lanjut,
ketersediaan bahan makanan dalam keluarga menjadi terbatas yang pada akhirnya
berpotensi menimbulkan terjadinya gizi kurang bahkan gizi buruk. Kekurangan
gizi merupakan faktor utama yang menyebabkan kematian bayi dan balita.
Masalah gizi umumnya disebabkan oleh dua faktor utama, yakni infeksi penyakit
dan rendahnya asupan gizi akibat kekurangan ketersediaan pangan ditingkat
rumah tangga atau pola asuhan yang salah. Masalah gizi buruk dan gizi kurang
pada anak balita merupakan masalah yang perlu ditanggulangi (Depkes RI, 2006).
Balita merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan,
terutama masalah gizi kurang atau buruk. Hal ini disebabkan karena pada saat fase
balita akan terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Balita juga
cenderung susah makan dan asupanzat gizi yang tidak baik(Depkes RI, 2006).
Maka dibuatlah referat ini untuk menambah pengetahuan penulis mengenai Gizi
Buruk pada anak.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Malnutrisi Pada Anak

2.1 Definisi
Malnutrisi adalah suatu keadaan klinis yang disebabkan
ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi, baik karena kekurangan
atau kelebihan asupan makanan maupun akibat kebutuhan yang meningkat.
Pada pembahasan selanjutnya yang dimaksud dengan malnutrisi adalah
keadaan klinis sebagai akibat kekurangan asupan makanan ataupun kebutuhan
nutrisi yang meningkat ditandai dengan adanya gejala klinis, antropometris,
laboratoris dan data analisis diet. (Depkes RI, 2007)

2.2 Epidemiologi
Menurut WHO salah satu masalah gizi buruk terjadi akibat konsumsi
makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena adanya
gangguan kesehatan. Anak disebut gizi buruk apabila berat badannya kurang
dari berat badan normal. Sedangkan menurut Depkes RI (2005), gizi buruk
adalah status gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) dengan Z-
score <-3 dan atau dengan tanda-tanda klinis (marasmus, kwasiorkor dan
marasmus-kwasiorkor). Gizi buruk juga diartikan seseorang yang kurang gizi
yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan
sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu (Supariasa et al, 2013).
Faktor Jumlah balita gizi buruk dan kurang menurut hasil Riskesdas
2013 masih sebesar 19,6% dan terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010.
Childhood stunting atau tumbuh pendek pada masa anak merupakan akibat
kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan di masa lalu dan
digunakan sebagai indicator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak.
Childhood stunting berkorelasi dengan gangguan perkembangan neurokognitif

2
dan resiko menderita penyakit tidak menular dimasa depan. (Kemenkes RI,
2015)

Gambar 1. Presentase Balita Pendek dan Sangat Pendek di Indonesia

Presentase balita sangat pendek dan pendek di Indonesia masih tinggi


yaitu 37,3% dan tidak terjadi penurunan dibandingkan tahun 2007 dan 2010.
Jika jumlah balita adalah 23.708.844 maka dapat diperkirakan terdapat lebih
dari 4 juta balita sangat pendek di Indonesia.
Terjadinya tumbuh pendek merupakan suatu proses kumulatif yang
dapat terjadi sejak masa kehamilan, masa bayi, kanak – kanak dan sepanjang
siklus kehidupan. Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan, asupan gizi,
dan infeksi berulang yang dialami merupakan faktor yang mempengaruhi
terjadinya tumbuh pendek. (Kemenkes RI, 2015)

2.3 Etiologi

Unicef (1998), mengemukan bahwa faktor-faktor penyebab kurang gizi


dapat di lihat dari penyebab langsung, tidak langsung, pokok permasalahan dan
akar masalah. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yaitu :

3
a. Faktor Langsung :

1. Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah
makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang
dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan.

2. Penyakit infeksi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ
tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik.

b. Faktor tidak Langsung :

1. Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat

2. Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak

3. Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.


(Adriani & Wirjatmadi, 2012)

2.4 Patofisiologi

Riwayat alamiah terjadinya masalah (defisiensi gizi), dimulai dari tahap


prepathogenesis yaitu proses interaksi antara penjamu dengan penyebab (agent
= zat-zat gizi) serta lingkungan. Pada tahap ini terjadi keseimbangan antar
ketiga komponen yaitu tubuh manusia, zat gizi dan lingkungan dimana
manusia dan zat-zat gizi makanan berada (konsep John Gordon). Empat
kemungkinan terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi yaitu makanan
yang dikonsumsi kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas, peningkatan
kepekaan tubuh terhadap kebutuhan gizi misalnya kebutuhan yang meningkat
karena sakit, pergeseran lingkungan yang memungkinkan kekurangan pangan,
misalnya karena gagal panen, dan perubahan lingkungan yang meningkatkan
kerentanan tubuh misalnya kepadatan penduduk di daerah kumuh (Ali, 2009).

4
Kemungkinan
penyebab Gizi Buruk

Geografis
Kualitas &
kuantitas
makanan
Kepekaan Kekurangan
kebutuhan pangan
gizi tubuh

Gambar 2. Prepatogenesis Gizi Buruk

Bila salah satu kemungkinan terjadinya patogenesis penyakit defisiensi


gizi tersebut di atas maka tahap pertama yang terjadi adalah simpanan
berkurang yaitu zat-zat gizi dalam tubuh terutama simpanan dalam bentuk
lemak termasuk unsure-unsur biokatalisnya akan menggantikan kebutuhan
energi dari karbohidrat yang kurang. Apabila hal ini terus terjadi maka
simpanan habis yaitu titik kritis, tubuh akan menyesuaikan dua kemungkinan
yaitu menunggu asupan gizi yang memadai atau menggunakan protein tubuh
untuk keperluan energi. Bila menggunakan protein tubuh maka perubahan faal
dan metabolik akan terjadi. Pada tahap awal akan terlihat seseorang tidak sakit
dan tidak sehat sebagai batas klinis terjadinya penyakit defisiensi gizi, bukan
saja terjadi pada zat gizi penghasil energi tetapi juga vitamin, mineral dan air
termasuk serat (Ali, 2009).

Setelah beberapa waktu defisiensi nutrien berlangsung maka akan


terjadi deplesi cadangan nutrien pada jaringan tubuh dan selanjutnya kadar
dalam darah akan menurun. Hal ini akan mengakibatkan tidak cukupnya
nutrien tersebut di tingkat seluler sehingga fungsi sel terganggu misalnya
sintesis protein, pembentukan dan penggunaan energi, atau tidak mampu

5
menjalankan fungsi normal lainnya. Bila berlangsung terus maka gangguan
fungsi sel ini akan menimbulkan masalah pada fungsi jaringan atau organ yang
bermanifestasi secara fisik seperti gangguan pertumbuhan, serta kemunculan
tanda dan gejala klinis spesifik yang berkaitan dengan nutrien tertentu misal
edema, xeroftalmia, dermatosis, dan lain-lain yang kadang-kadang ireversibel.
(Depkes RI, 2007)

Prinsip terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi, seperti terlihat pada


gambar monitoring gizi di bawah ini :

Gambar 3. Patogenesis Gizi Buruk

Zat gizi dipergunakan oleh sel tubuh untuk dipergunakan berbagai


aktifitas, bila zat gizi kurang maka sel tubuh akan mengambil cadangan zat gizi
(depot), bila zat gizi yang dikonsumsi berlebihan maka akan disimpan dalam
tubuh. Bila depot simpanan habis dan konsumsi zat gizi kurang maka akan
terjdi proses biokimia untuk mengubah unsur-unsur pembangun struktur tubuh,
ini artinya telah terjadi gangguan biokimia tubuh misalnya kadar Hb dan serum
yang turun. Bila tidak segera diatasi dengan konsumsi gizi yang adekuat maka
secara anatomi sel-sel, jaringan dan organ tubuh akan terlihat mengalami
kerusakan misalnya saja pada penyakit defisiensi gizi kwashiorkor dan

6
marasmus. Gangguan anatomi dengan kerusakan jaringan yang parah dapat
berakhir dengan kematian (Ali, 2009).

2.5 Diagnosis Gizi Buruk pada Anak

Pemeriksaan Gizi Buruk dengan cara seperti berikut ini.

ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK


AWAL  Apakah anak tampak sangat
 Kejadian mata cekung yang
kurus / edema / pembengkakan
baru saja muncul
kedua kaki
 Lama dan frekuensi muntah
 Tanda-tanda terjadinya syok
atau diare, serta tampilan dari
(renjatan): tangan dan kaki
bahan muntah atau diare
dingin, nadi lemah dan
 Saat terakhir kencing kesadaran menurun
 Sejak kapan tangan dan kaki  Suhu tubuh: hipotermia atau
teraba dingin demam
LANJUTAN  Kehausan
 Kebiasaan makan sebelum sakit
 Frekuensi pernafasan dan tipe
 Makan / minum / menyusui pernafasan: gejala pneumonia
pada saat sakit atau gejala gagal jantung
 Jumlah makanan dan cairan  Berat badan dan tinggi badan
yang didapat dalam beberapa atau panjang badan untuk di
hari terakhir bandingkan
 Kontak dengan penderita  Pembesaran hati dan adanya
campak atau tuberkulosis paru kekuningan (ikterus) pada
 Pernah sakit campak dalam 3 bagian putih mata (konjungtiva)
bulan terakhir  Adanya perut kembung, suara
 Kejadian atau penyebab usus dan adanya suara pukulan
kematian dari kakak atau adik pada permuakaan air
 Berat badan lahir (abdominal splash)

7
 Tumbuh kebang, misalnya:  Pucat yang sangat berat teruta
duduk, berdiri dan lain-lain pada telapak tangan
 Riwayat imunisasi  Gejala pada mata: kelainan pada
 Apakah ditimbang setiap bulan kornea dan konjungtiva sebagai
di Posyandu tanda kekurangan vitamin A
 Apakah sudah mendapatkan  Telinga, mulut dan tenggorokan:
imunisasi lengkap tanda-tanda infeksi
 Kulit: tanda-tanda infeksi atau
adanya purpura
 Tampilan (konsistensi) dari tinja

Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran


antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:

 BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)


 Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor:
BB/TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak
bawah kulit terutama pada kedia bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat
jelas, dengan atau tanpa adanya edema.

Gejala klinis Kwashiorkor

 Perubahan mental sampai apatis


 Anemia
 Perubahan warna dan tekstur rambur, mudah dicabut atau rontok
 Gangguan sistem gastrointestinal
 Pembesaran hati
 Perubahan kulit (dermatosis)
 Atrofi otot

8
 Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh

Gejala klinis Marasmus

 Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus


 Perubahan mental, cengeng
 Kulit kering, dingin dan mengendor, keriput
 Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang
 Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihat jelas
 Bradikardia (kadang-kadang)
 Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak yang sehat

Marasmik-kwashiorkor: Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan


kwashiorkor secara bersamaan.

Gambar 4. Marasmus dan Kwashiorkor

9
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak
tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak
membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali ditemukan penyakit lain yang
berat.

Kategori status gizi berdasarkan baku pertumbuhan WHO:

 Status gizi balita dinilai menurut 3 indeks, yaitu Berat Badan Menurut
Umur (BB/U), Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U), Berat Badan
Menurut Tinggi Badan (BB/TB).
1. BB/U adalah berat badan anak yang dicapai pada umur tertentu.
2. TB/U adalah tinggi badan anak yang dicapai pada umur tertentu.
3. BB/TB adalah berat badan anak dibandingkan dengan tinggi badan
yang dicapai.

Ketiga nilai indeks status gizi diatas dibandingkan dengan baku


pertumbuhan WHO.

 Z-score adalah nilai simpangan BB atau TB dari nilai BB atau TB normal


menurut baku pertumbuhan WHO.
 Contoh perhitungan Z score BB/U: (BB anak – BB standar)/standar
deviasi BB standar.
 Batasan untuk kategori status gizi balita menurut indeks BB/U, TB/U,
BB/TB menurut WHO dapat dilihat pada tabel berikut:

10
Gambar 5. Tabel Pengertian Kategori Status Gizi Balita

Sifat indikator status gizi:

 Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)


1. Memberikan indikasi masalah gizi secara umum karena berat badan
berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan.
2. Berat badan menurut umur rendah dapat disebabkan karena pendek
(masalah gizi kronis) atau menderita penyakit infeksi (masalah gizi
akut).
 Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
1. Memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnnya kronis sebagai
akibat dari keadaan yang berlangsung lama.
2. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan asupan
makanan kurang dalam waktu yang lama sehingga mengakibatkan
anak menjadi pendek.
 Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
1. Memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnnya akut sebagai akibat
dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat).

11
2. Misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan)
yang menyebabkan anak menjadi kurus.
3. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus
dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat
pada risiko berbagai penyakit degenerative pada saat dewasa (Teori
Barker).

Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi
akut dan kronis. Contoh: anak yang kurus dan pendek. Beberapa contoh kurva
pertumbuhan WHO 2006:

Gambar 6. Indikator Pertumbuhan WHO (2006)

Catatan :

1. Anak dalam kelompok ini berperawakan tubuh tinggi. Hal ini tidak masih
normal. Singkirkan kelainan hormonal sebagai penyebab perawakan tinggi.

12
2. Anak dalam kelompok ini mungkin memiliki masalah pertumbuhan tapi
lebih baik jika diukur menggunakan perbandingan beratbadan terhadap
panjang / tinggi atau IMT terhadap umur.
3. Titik plot yang berada di atas angka 1 menunjukan berisiko gizi lebih. Jika
makin mengarah ke garis Z-skor 2 resiko gizi lebih makin meningkat.
4. Mungkin untuk anak dengan perawakan pendek atau sangat pendek
memiliki gizi lebih.
5. Hal ini merujuk pada gizi sangat kurang dalam modul pelatihan IMCI
(Integrated Management of Childhood Illness in-service training. WHO,
Geneva, 1997).

Gambar 7. Weight-for-age BOYS (0-5 years)

13
Gambar 8. Weight-for-age GIRLS (0-5 years)

Gambar 9. Length/height-for-age BOYS (0-5 years)

14
Gambar 10. Length/height-for-age BOYS (0-5 years)

Gambar 11. Weight-for-length BOYS (0-2 years)

15
Gambar 12. Weight-for-length GIRLS (0-2 years)

16
Gambar 13. Growth Chart CDC (BOYS)

17
Gambar 14. Growth Chart CDC (GIRLS)

18
Status pertumbuhan anak di Indonesia umumnya menggunakan Kartu Menuju
Sehat (KMS) berdasarkan BB/U.

Gambar 15. Kartu Menuju Sehat

Pengukuran antropometri juga diukur menggunakan lingkar kepala (LK),


indeks massa tubuh (IMT), lingkar lengan atas (LILA) dan tebal lipatan kulit
(TLK) yang dapat digunakan untuk mengetahui resiko penyakit. Masih banyak
cara pengukuran status gizi lainnya seperti kurva CDC, klasifikasi menurut
waterlow.

19
2.6 Tatalaksana

Tatalaksana perawatan

Pada saat masuk rumah sakit:

 Anak dipisahkan dari pasien infeksi


 Ditempatkan di ruangan yang hangat (25–30°C, bebas dari angin)
 Dipantau secara rutin
 Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera
keringkan.

Demi keberhasilan tatalaksana diperlukan:

 Fasilitas dan staf yang profesional (Tim Asuhan Gizi)


 Timbangan badan yang akurat
 Penyediaan dan pemberian makan yang tepat dan benar
 Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga kemajuan
selama perawatan dapat dievaluasi
 Keterlibatan orang tua.

Gambar 16. Tatalaksana Anak Gizi Buruk

20
1. Hipoglikemia
 Segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya
memungkinkan.
 Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml
larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml
air) secara oral atau melalui NGT.
 Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2–3 jam, siang dan malam selama
minimal dua hari.
 Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal
pemberian F-75.
 Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara
intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan
gula pasir 50 ml dengan NGT.
 Beri antibiotik.

2. Hipotermia
 Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu).
 Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan
selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada
anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada
atau perut ibunya (dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila
menggunakan lampu listrik, letakkan lampu pijar 40 W dengan jarak 50
cm dari tubuh anak.
 Beri antibiotik sesuai pedoman.

3. Dehidrasi
 Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi
berat dengan syok.
 Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat
dibanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik.

21
 Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama
 Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/jam berselang-
seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama
10 jam. Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau,
volume tinja yang keluar dan apakah anak muntah.
 Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan
mempunyai kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah; cairan
yang lebih tepat adalah ReSoMal.
 Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam
 Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-
100 ml setiap buang air besar, usia ≥ 1 th: 100-200 ml setiap buang air
besar.

4. Gangguan Keseimbangan Elektrolit


 Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium,
yang sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang
ditambahkan ke dalam F-75, F-100 atau ReSoMal
 Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi
 Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).

5. Infeksi

Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:

 Antibiotik spektrum luas


 Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah
mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah
diberi vaksin sebelum berumur 9 bulan. Tunda imunisasi jika anak syok.

22
 Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri
Kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12 jam
(dosis: lihat lampiran 2) selama 5 hari
 Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat
letargis atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:
 Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari),
dilanjutkan dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam
selama 5 hari) ATAU, jika tidak tersedia amoksisilin, beri
Ampisilin per oral (50 mg/kgBB setiap 6 jam selama 5 hari)
sehingga total selama 7 hari, DITAMBAH:
 Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.
 Catatan: Jika anak anuria/oliguria, tunda pemberian gentamisin
dosis ke-2 sampai ada diuresis untuk mencegah efek
samping/toksik gentamisin.
 Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam, tambahkan
Kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari.
 Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan
obati dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari.
 Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (seperti pneumonia,
tuberkulosis, malaria, disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak), beri
antibiotik yang sesuai. Beri obat antimalaria bila pada apusan darah tepi
ditemukan parasit malaria. Walaupun tuberkulosis merupakan penyakit
yang umum terdapat, obat anti tuberkulosis hanya diberikan bila anak
terbukti atau sangat diduga menderita tuberkulosis.
 Jika terdapat bukti adanya infestasi cacing, beri mebendazol (100
mg/kgBB) selama 3 hari atau albendazol (20 mg/kgBB dosis tunggal).
Beri mebendazol setelah 7 hari perawatan, walaupun belum terbukti
adanya infestasi cacing.

23
6. Defisiensi Zat Gizi Mikro

Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.


Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal,
tetapi tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai
bertambah berat badannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase
rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah infeksi.

Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:

 Multivitamin
 Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
 Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
 Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
 Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase
rehabilitasi)
 Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah
diberikan sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini:

Gambar 17. Pemberian Vitamin A

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2,
dan 15.

24
7. Pemberian Makanan Awal

Sifat utama yang menonjol dari pemberian makan awal adalah:

 Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas


maupun rendah laktosa
 Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
 Energi: 100 kkal/kgBB/hari
 Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari
 Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)
 Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah
F-75 yang ditentukan harus dipenuhi. (lihat bawah)

Gambar 18. Pemberian Makanan Awal

25
Gambar 19. Formula Gizi WHO

8. Tumbuh Kejar

Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula


tumbuh-kejar (F-100) (fase transisi):

 Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75
selama 2 hari berturutan.
 Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali
pemberian sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit.
Biasanya hal ini terjadi ketika pemberian formula mencapai 200
ml/kgBB/hari. Dapat pula digunakan bubur atau makanan pendamping
ASI yang dimodifikasi sehingga kandungan energi dan proteinnya
sebanding dengan F-100.
 Setelah transisi bertahap, beri anak:

26
 pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai
kemampuan anak)
 energi: 150-220 kkal/kgBB/hari
 protein: 4-6 g/kgBB/hari.

Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan
anak sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak
mengandung cukup energi untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-
terapeutik-siap-saji (ready to use therapeutic food = RUTF) yang
mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet 92 g dapat digunakan pada
fase rehabilitasi.

Gambar 20. Kebutuhan Zat Gizi Anak Gizi Buruk

9. Stimulasi Sensorik dan Emosional


 Ungkapan kasih sayang.
 Lingkungan yang ceria.
 Terapi bermain terstruktur selama 15–30 menit per hari.
 Aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat.
 Keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi
makan, memandikan, bermain)
 Sediakan mainan yang sesuai dengan umur anak.

27
2.7 Prognosis

Anak dengan gizi buruk tentu harus segera mendapatkan penanganan secepat
mungkin supaya kebutuhan gizi mereka segera terpenuhi. Dan apabila tidak
segera ditangani gizi buruk dapat mengakibatkan menurunnya mutu kehidupan,
terganggunya pertumbuhan, maupun gangguan perkembangan mental anak,
bahkan anak yang menderita gizi buruk dapat berakhir dengan kematian .
Malnutrisi akut sedang atau gizi buruk mempengaruhi 11% dari anak-anak balita
di seluruh dunia dan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Resiko
mortalitas 3 kali lebih besar dari anak status gizi baik dan mengalami morbiditas
seperti terkena penyakit menular dan tertundanya pertumbuhan anak, serta
terganggunya perkembangan kognitif anak (Chang, et al. 2013; Nurwitasari,
2015). Malnutrisi juga akan mempengaruhi kualitas hidup, terutama dari segi
status kesehatan, prestasi belajar, dan produktivitas (Oktaviana, 2013 dan Utami,
2014). kekurang gizi juga akan menyebabkan timbulnya infeksi dan sebaliknya
penyakit infeksi akan semakin memperburuk keadan anak yang mengalami gizi
buruk. Jika tidak segera diatasi Gizi buruk juga berpotensi menjadi faktor
penyebabkan morbiditas akibat penyakit menular, misalnya TBC. Diperkirakan
lebih dari 56% anak gizi buruk dengan TBC tersebar di Asia Tenggara dan Pasifik
Barat (WHO, 2013; Nurjanah dkk, 2016). Oleh karena itu masalah gizi perlu
ditangani secara cepat dan tepat.

28
BAB III

KESIMPULAN

Masalah gizi buruk pada balita merupakan masalah kesehatan masyarakat


sejak dahulu. Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 sampai saat ini masih
belum dapat ditanggulangi dengan baik. Jumlah balita gizi buruk dan kurang
menurut hasil Riskesdas 2013 masih sebesar 19,6% dan terjadi peningkatan
dibandingkan tahun 2010. Childhood stunting atau tumbuh pendek pada masa
anak merupakan akibat kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan di
masa lalu dan digunakan sebagai indicator jangka panjang untuk gizi kurang pada
anak. Childhood stunting berkorelasi dengan gangguan perkembangan
neurokognitif dan resiko menderita penyakit tidak menular di masa depan. Empat
kemungkinan terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi yaitu makanan yang
dikonsumsi kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas, peningkatan
kepekaan tubuh terhadap kebutuhan gizi misalnya kebutuhan yang meningkat
karena sakit, pergeseran lingkungan yang memungkinkan kekurangan pangan,
misalnya karena gagal panen, dan perubahan lingkungan yang meningkatkan
kerentanan tubuh misalnya kepadatan penduduk di daerah kumuh.

29
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Arsad Rahim. 2009. “Patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi”.


http://arali2008.files.wordpress.com/2009/10/monitoring.gizi. Diunduh
tanggal 26 Agustus.

Depkes RI. 2007. Pedoman Pemantauan Konsumsi Gizi. Jakarta: Depkes RI

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Petunjuk Teknis Tatalaksana


Anak Gizi Buruk. Cetakan ke 6. Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. InfoDATIN. Indonesia.


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Buku Saku Pemantauan Status
Gizi Tahun 2017. Indonesia: Jakarta.

Nurwitasari, A. dan Wahyuni, C.U., 2015 Pengaruh Status Gizi dan Riwayat
Kontak Terhadap Kejadian Tuberkulosis Anak di Kabupaten Jember.
Jurnal Berkala Epidemiologi, 3 (2): 158-169.

Nurjanah, M., Rusdi, Demawati, 2016. Hubungan Status Gizi Dengan Derajat
Pneumonia Pada Balita di RS Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 5 (1): 21-27.

Sjarif DR, et al. 2011. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik.
Cetakan ke 1. Badan Penerbit IDAI, Jakarta.

Supariasa, I.D.N. dkk. 2013. Penilaian Status Gizi (Edisi Revisi). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG.

WHO. 2013. Pocket Book of Hospital Care for Children. 2nd Ed.

30

Anda mungkin juga menyukai