Anda di halaman 1dari 13

Tasman

Fakultas Dakwah dan Komunikasi


UIN Jakarta
Kebudayaan pada dasarnya merupakan sistem
makna dan sistem nilai yang dikomunikasikan
melalui simbol-simbol. Sistem makna dan
sistem nilai terdiri dalam empat tingkat, yakni
- common sense,
- ilmu pengetahuan,
- estetika,
- agama dan
- Ideologi
 Common sense adalah suatu realisme naif, di mana dunia
yang dialami dan diisinya diterima sebagaimana
tampaknya. Tidak ada distingsi yang dibuat antara gejala
yang menampak (seeming) dengan wujud sebenarnya dari
gejala-gejala tersebut (being). Realitas diandaikan benar
(given). Dalam berhadapan dengan dunia hidupnya orang-
orang berdasarkan “common sense” ini dibimbing oleh
motif pragmatis. Dunia ditanggapi sejauh memenuhi
kebu-tuhannya sehari-hari. Tanggapan terhadap dunia
dan lingkungan hidupnya dilakukan melalui semacam
analisis yang berdasarkan konsep-konsep informal.
 Ilmu pengetahuan bertolak dari paham yang dinamakan
relisme kritis. Mulai dicoba mengadakan pembedaaan
antara gejala-gejala yang tampak (seeming) dan wujud
sebenarnya yang berada di balik gejala-gejala itu (being).
Realitas tidak diterima sebagaimana apa adanya tetapi
mulai dipertanyak-kan. Dunia hidup tidak semata-mata
secara pragmatis, tetapi “diawasi” dalam observasi yang
terkontrol. Tanggapan terhadap dunia atau lingkungan
hidup dilakukan berdasarkan analisa dengan bantuan
konsep-konsep formal yang teruji dan terus menerus.
 Estetik menunjuk suatu kecendrungan yang khas. Kalau dalam
“common sense” jarak antara penampakan gejala-gejala tidak
dilihat, kalau dalam ilmu pengetahuan jarak itu dipertegas dan
diawasi, maka dalam estetika jarak itu diabaikan sama sekali.
Wujud yang sebenarnya dari gejala-gejala menjadi tidak penting,
karena estetika sebetulnya sudah merasa cukup puas dengan
kualitas penampakan-penampakan itu. Perjumpaan seseorang
dengan penampakan-penampakan itu justru diintensifkan agar
supaya yang bersangkutan dapat terserap secara total ke
dalamnya. Realitas tidak dipertanyakan melainkan diterima atau
ditolak, dianggap penting atau diabaikan. Kalau ilmu
dipertaruhkan dalam observasi kritis tentang gejala-gejala
empiris, maka estetika dipertaruhkan dalam kontemplasi intensif
tentang aktualitas-aktualitas sensoris.
 Agama ditinjau secara khusus di sini dari ketiga bidang di atas. Kalau
dalam “common sense” orang sudah puas dengan kenyataan sehari-hari
(every day-life realities), maka dalam agama orang akan mencari realitas
yang lebih benar dan bahkan terakhir, yang dapat menjadi ukuran untuk
kenyataan hidup sehari-hari. Tanggapan terhadap dunia tidak dilakukan
secara pragmatis, melainkan dilakukan berdasarkan persepsinya
mengenai kenyataan terakhir (ultimate realities).

 Agama berbeda dari ilmu pengetahuan justru dalam sikap keduanya


teradap kenyataan sehari-hari tersebut. Kalau ilmu mempertanyakan
berdasarkan kebenaran-kebenaran kategoris dan bekerja atas dasar
analisis yang dilakukan dalam jarak (detacement), maka agama justru
menghimbau penganutnya untuk berjumpa/berhadapan dengan
kenyataan-kenyataan terakhir dan melakukan komitment terhadapnya.

 Agama berbeda dari estetika dalam definitisinya mengenai kenyataan-


kenyataan terakhir. Kalau dalam estetika seseorang merasa cukup
menerimanya sebagai gejala/penampakan, maka dalam agama
seseorang dituntut untuk memenrimanya sebagai fakta, sebagai realitas,
“sebagai really real”.
 Seperangkat kepercayaan yang bersifat koheren dan
komprehensif yang menguasai dan menetukan semua
pertimbangan.
 Untuk memperjelas pengetian ideologi akan dibedakan melalui
ide dengan kepercayaan.
 Ide berurusan dengan ada tidaknya realitas (fact or reality).
Dengandemikian sifatnya rasional dan teoritis.
 Kepercayaan ialah dorongan-dorongan yang muncul dari suatu
realitas tertentu, disertai ikatan emosional yang kuat.
 Oleh karena itu, sekalipun suatu kepercayaan disusun dalam
bentuk suatu teori, wataknya yang sebenarnya hanyalah teori
yang semu, suatu parateori.
 Ada berbagai tingkatan pandangan dunia/sistem makna tersebut
akan memungkinkan bahwa seseorang yang kehilangan sistem
makna pada lapis yang satu masih dapat diselamatkan pada lapis
lainnya. Dengan demikian maka seseorang yang kahilangan
sistem makna dalam agama, masih dapat memperoleh pegangan
dalam ilmu pengetahuan, sedangkan seseorang yang kehilangan
pegang-an dalam ilmu pengetahuan, masih dapat mengandalkan
pegangannya dalam dunia seni.

 Batas terakhir yang tidak bisa dilanggar untuk tetap


memertahankan suatu kehidupan yang normal adalah “common
sense”. Seseorang bisa saja tak acuh secara religius, tidak
terlatih secara ilmiah, tidak peka secara estetis, tetapi dia tak
bisa hidup tanpa “common sense” sama sekali.
 Suatu sistem makna, suatu pandangan dunia adalah kebutuhan
dasar kebudayaan, karena tanpa itu dunia akan tampak sebagai
suatu khaos, yang bukan saja tanpa arti, tetapi tak mungkin
diberi arti.

 Ada tiga titik di mana khaos dapat menelusup masuk ke dalam


hidup manusia, yaitu titik analitis, di mana kemampuan
seseorang untuk memahami dan menjelaskan sesuatu berakhir,
titik emosional di mana kemampuan seseorang untuk menahan
sesuatu berakhir, dan titik moral di mana di mana pengertian
moral seseorang mencapai batasnya.

 Khaos pada tingkat analitik menghasilkan kebingungan, khaos


pada tingkat emosional menghasilkan penderitaan, dan khaos
pada tingkat moral menimbulkan semacam rasa
pertentangan/paradok moral.
 Salah satu pokok perdebatan di antara ahli-ahli ilmu sosial adalah manakah dari
keempat tingkat pandangan hidup itu yang paling menetukan kehidupan manusia
khususnya pada orang-orang yang belum terpengaruh oleh kebudayaan ilmu dan
tekhnologi?

 Levy-Bruhl misalnya membela pendapat bahwa pandangan dasar manusia sebetulnya


bersifat religious. Orang-orang atau suku-suku yang masih hidup dalam
kebudayaan asli pada dasarnya selalu berada dalam pertemuan dan pengalaman
mistik. Pandangan dunia yang dasar selalu ditentukan oleh konteks religious.

 Malinowski, berpendapat, pandangan dunia yang terpenting adalah “common sense‟.


Manusia pada dasarnya hidup dalam pragmatis, dengan tindakan dan kegiatan-
kegiatan yang bersifat praktis. Tingkah laku manusia lebih banyak ditentukan atau
dipengaruhi oleh “everyday-life reality” dan bukan “ultimate reality”.

 Clifford Gertz, dengan menyetujui pendapat Alfred Scutz, nampaknya ter-pesona


oleh dunia “common sense”, yang bagi Schutz selalu merupakan the paramount
reality. Ini berarti suatu penyelidikan terhadap suatu sistem budaya mau tak mau
harus mulai dengan penyelidikan dengan dunia “common sense” sekelompok orang,
karena di situlah terlihat tanggapan dan pengertian mereka sehari-hari mengenai
dunia hidupnya, yaitu tanggapan yang langsung mempengaruhi tingkah laku mereka
sebelum mereka tersentuh oleh agama, ideologi atau ilmu pengetahuan.
 Kalau wahyu adalah faktor yang menetukan dalam agama,
metode adalah faktor yang menetukan dalam ilmu pengetahuan,
“moral passion” adalah faktor yang menen-tukan dalam ideologi
---maka hal yang menjadi unsur konstitutif „common sense”
adalah “the mere matter-of-fact apprehensif of reality”, yang
memang dimungkinkan oleh beberapa sifatnya yang khas.

 Dengan demikian, kalau dalam ilmu kita berurusan dengan


kebenaran hipotetis, kalau dalam agama kita berurusan dengan
kebenaran kategoris, kalau dalam seni kita berurusan dengan
keindahaan, kalau dalam “common sense” kita berurusan dengan
kebenaran ad hoc dan pragmatis, maka dalam ideologi kita
berurusan dengan keterlibatan, semangat, keberpihakan dan
“moral passion”.
 Rasa pada orang Jawa diterjemahkan menjadi sense
(gerak), taste (selera), feeling (emosional), meaning
(politik).
 Rasa bagi orang Jawa adalah ringkasan paham kosmologis,
seperangkat kepercayaan agama, suatu tanggapan
terhadap hubungan-hubungan sosial dan semacam
„komentar” tentang peristiwa-peristiwa psikologis.
 Rasa menekankan aspek koginitif orang Jawa menunjuk
kepada padangan dunia orang Jawa.
 Rasa menekankan aspek evaluatif menunjuk etos orang
Jawa
 Yang dikomunikasikan melalui sistem simbol-simbol
 Dalam pandangan dunia orang Jawa Tuhan terdapat di
dalam kedalaman batin dan hanya bisa tercapai sebagai
rasa yang murni melalui disiplin-disiplin rohani. kebijakan
hidup terletak dalam sikap “kebebasan jiwa” yang tidak
terpengaruh lagi oleh kegembiraan atau frustasi. Gejolak
batin diatur melalui teori-teori spekulatif tentang emosi.

 Pada segi evaluatif, etos orang Jawa maka yang terlihat


adalah tuntutan untuk menekankan tingkah laku yang
sopan, halus dan teratur. Kebahagiaan atau kesedihan
tidak banyak bedanya, karena seseorang dituntut
melampaui gejolak perasaan dan bertahan dalam suatu
ketenangan yang mantap atau kemantapan yang tenang.
Persepsi-persepsi batin yang diuji melalui analisa empiris
yang cermat.

Anda mungkin juga menyukai