0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
188 tayangan13 halaman
Dokumen tersebut membahas empat tingkat sistem makna dan nilai dalam kebudayaan, yaitu common sense, ilmu pengetahuan, estetika, agama, dan ideologi. Common sense merupakan pandangan realistik sederhana, sedangkan ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan kritis. Estetika lebih menekankan pengalaman sensoris. Agama dan ideologi memberikan pandangan dunia yang koheren dan komprehensif.
Dokumen tersebut membahas empat tingkat sistem makna dan nilai dalam kebudayaan, yaitu common sense, ilmu pengetahuan, estetika, agama, dan ideologi. Common sense merupakan pandangan realistik sederhana, sedangkan ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan kritis. Estetika lebih menekankan pengalaman sensoris. Agama dan ideologi memberikan pandangan dunia yang koheren dan komprehensif.
Dokumen tersebut membahas empat tingkat sistem makna dan nilai dalam kebudayaan, yaitu common sense, ilmu pengetahuan, estetika, agama, dan ideologi. Common sense merupakan pandangan realistik sederhana, sedangkan ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan kritis. Estetika lebih menekankan pengalaman sensoris. Agama dan ideologi memberikan pandangan dunia yang koheren dan komprehensif.
UIN Jakarta Kebudayaan pada dasarnya merupakan sistem makna dan sistem nilai yang dikomunikasikan melalui simbol-simbol. Sistem makna dan sistem nilai terdiri dalam empat tingkat, yakni - common sense, - ilmu pengetahuan, - estetika, - agama dan - Ideologi Common sense adalah suatu realisme naif, di mana dunia yang dialami dan diisinya diterima sebagaimana tampaknya. Tidak ada distingsi yang dibuat antara gejala yang menampak (seeming) dengan wujud sebenarnya dari gejala-gejala tersebut (being). Realitas diandaikan benar (given). Dalam berhadapan dengan dunia hidupnya orang- orang berdasarkan “common sense” ini dibimbing oleh motif pragmatis. Dunia ditanggapi sejauh memenuhi kebu-tuhannya sehari-hari. Tanggapan terhadap dunia dan lingkungan hidupnya dilakukan melalui semacam analisis yang berdasarkan konsep-konsep informal. Ilmu pengetahuan bertolak dari paham yang dinamakan relisme kritis. Mulai dicoba mengadakan pembedaaan antara gejala-gejala yang tampak (seeming) dan wujud sebenarnya yang berada di balik gejala-gejala itu (being). Realitas tidak diterima sebagaimana apa adanya tetapi mulai dipertanyak-kan. Dunia hidup tidak semata-mata secara pragmatis, tetapi “diawasi” dalam observasi yang terkontrol. Tanggapan terhadap dunia atau lingkungan hidup dilakukan berdasarkan analisa dengan bantuan konsep-konsep formal yang teruji dan terus menerus. Estetik menunjuk suatu kecendrungan yang khas. Kalau dalam “common sense” jarak antara penampakan gejala-gejala tidak dilihat, kalau dalam ilmu pengetahuan jarak itu dipertegas dan diawasi, maka dalam estetika jarak itu diabaikan sama sekali. Wujud yang sebenarnya dari gejala-gejala menjadi tidak penting, karena estetika sebetulnya sudah merasa cukup puas dengan kualitas penampakan-penampakan itu. Perjumpaan seseorang dengan penampakan-penampakan itu justru diintensifkan agar supaya yang bersangkutan dapat terserap secara total ke dalamnya. Realitas tidak dipertanyakan melainkan diterima atau ditolak, dianggap penting atau diabaikan. Kalau ilmu dipertaruhkan dalam observasi kritis tentang gejala-gejala empiris, maka estetika dipertaruhkan dalam kontemplasi intensif tentang aktualitas-aktualitas sensoris. Agama ditinjau secara khusus di sini dari ketiga bidang di atas. Kalau dalam “common sense” orang sudah puas dengan kenyataan sehari-hari (every day-life realities), maka dalam agama orang akan mencari realitas yang lebih benar dan bahkan terakhir, yang dapat menjadi ukuran untuk kenyataan hidup sehari-hari. Tanggapan terhadap dunia tidak dilakukan secara pragmatis, melainkan dilakukan berdasarkan persepsinya mengenai kenyataan terakhir (ultimate realities).
Agama berbeda dari ilmu pengetahuan justru dalam sikap keduanya
teradap kenyataan sehari-hari tersebut. Kalau ilmu mempertanyakan berdasarkan kebenaran-kebenaran kategoris dan bekerja atas dasar analisis yang dilakukan dalam jarak (detacement), maka agama justru menghimbau penganutnya untuk berjumpa/berhadapan dengan kenyataan-kenyataan terakhir dan melakukan komitment terhadapnya.
Agama berbeda dari estetika dalam definitisinya mengenai kenyataan-
kenyataan terakhir. Kalau dalam estetika seseorang merasa cukup menerimanya sebagai gejala/penampakan, maka dalam agama seseorang dituntut untuk memenrimanya sebagai fakta, sebagai realitas, “sebagai really real”. Seperangkat kepercayaan yang bersifat koheren dan komprehensif yang menguasai dan menetukan semua pertimbangan. Untuk memperjelas pengetian ideologi akan dibedakan melalui ide dengan kepercayaan. Ide berurusan dengan ada tidaknya realitas (fact or reality). Dengandemikian sifatnya rasional dan teoritis. Kepercayaan ialah dorongan-dorongan yang muncul dari suatu realitas tertentu, disertai ikatan emosional yang kuat. Oleh karena itu, sekalipun suatu kepercayaan disusun dalam bentuk suatu teori, wataknya yang sebenarnya hanyalah teori yang semu, suatu parateori. Ada berbagai tingkatan pandangan dunia/sistem makna tersebut akan memungkinkan bahwa seseorang yang kehilangan sistem makna pada lapis yang satu masih dapat diselamatkan pada lapis lainnya. Dengan demikian maka seseorang yang kahilangan sistem makna dalam agama, masih dapat memperoleh pegangan dalam ilmu pengetahuan, sedangkan seseorang yang kehilangan pegang-an dalam ilmu pengetahuan, masih dapat mengandalkan pegangannya dalam dunia seni.
Batas terakhir yang tidak bisa dilanggar untuk tetap
memertahankan suatu kehidupan yang normal adalah “common sense”. Seseorang bisa saja tak acuh secara religius, tidak terlatih secara ilmiah, tidak peka secara estetis, tetapi dia tak bisa hidup tanpa “common sense” sama sekali. Suatu sistem makna, suatu pandangan dunia adalah kebutuhan dasar kebudayaan, karena tanpa itu dunia akan tampak sebagai suatu khaos, yang bukan saja tanpa arti, tetapi tak mungkin diberi arti.
Ada tiga titik di mana khaos dapat menelusup masuk ke dalam
hidup manusia, yaitu titik analitis, di mana kemampuan seseorang untuk memahami dan menjelaskan sesuatu berakhir, titik emosional di mana kemampuan seseorang untuk menahan sesuatu berakhir, dan titik moral di mana di mana pengertian moral seseorang mencapai batasnya.
Khaos pada tingkat analitik menghasilkan kebingungan, khaos
pada tingkat emosional menghasilkan penderitaan, dan khaos pada tingkat moral menimbulkan semacam rasa pertentangan/paradok moral. Salah satu pokok perdebatan di antara ahli-ahli ilmu sosial adalah manakah dari keempat tingkat pandangan hidup itu yang paling menetukan kehidupan manusia khususnya pada orang-orang yang belum terpengaruh oleh kebudayaan ilmu dan tekhnologi?
Levy-Bruhl misalnya membela pendapat bahwa pandangan dasar manusia sebetulnya
bersifat religious. Orang-orang atau suku-suku yang masih hidup dalam kebudayaan asli pada dasarnya selalu berada dalam pertemuan dan pengalaman mistik. Pandangan dunia yang dasar selalu ditentukan oleh konteks religious.
Malinowski, berpendapat, pandangan dunia yang terpenting adalah “common sense‟.
Manusia pada dasarnya hidup dalam pragmatis, dengan tindakan dan kegiatan- kegiatan yang bersifat praktis. Tingkah laku manusia lebih banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh “everyday-life reality” dan bukan “ultimate reality”.
Clifford Gertz, dengan menyetujui pendapat Alfred Scutz, nampaknya ter-pesona
oleh dunia “common sense”, yang bagi Schutz selalu merupakan the paramount reality. Ini berarti suatu penyelidikan terhadap suatu sistem budaya mau tak mau harus mulai dengan penyelidikan dengan dunia “common sense” sekelompok orang, karena di situlah terlihat tanggapan dan pengertian mereka sehari-hari mengenai dunia hidupnya, yaitu tanggapan yang langsung mempengaruhi tingkah laku mereka sebelum mereka tersentuh oleh agama, ideologi atau ilmu pengetahuan. Kalau wahyu adalah faktor yang menetukan dalam agama, metode adalah faktor yang menetukan dalam ilmu pengetahuan, “moral passion” adalah faktor yang menen-tukan dalam ideologi ---maka hal yang menjadi unsur konstitutif „common sense” adalah “the mere matter-of-fact apprehensif of reality”, yang memang dimungkinkan oleh beberapa sifatnya yang khas.
Dengan demikian, kalau dalam ilmu kita berurusan dengan
kebenaran hipotetis, kalau dalam agama kita berurusan dengan kebenaran kategoris, kalau dalam seni kita berurusan dengan keindahaan, kalau dalam “common sense” kita berurusan dengan kebenaran ad hoc dan pragmatis, maka dalam ideologi kita berurusan dengan keterlibatan, semangat, keberpihakan dan “moral passion”. Rasa pada orang Jawa diterjemahkan menjadi sense (gerak), taste (selera), feeling (emosional), meaning (politik). Rasa bagi orang Jawa adalah ringkasan paham kosmologis, seperangkat kepercayaan agama, suatu tanggapan terhadap hubungan-hubungan sosial dan semacam „komentar” tentang peristiwa-peristiwa psikologis. Rasa menekankan aspek koginitif orang Jawa menunjuk kepada padangan dunia orang Jawa. Rasa menekankan aspek evaluatif menunjuk etos orang Jawa Yang dikomunikasikan melalui sistem simbol-simbol Dalam pandangan dunia orang Jawa Tuhan terdapat di dalam kedalaman batin dan hanya bisa tercapai sebagai rasa yang murni melalui disiplin-disiplin rohani. kebijakan hidup terletak dalam sikap “kebebasan jiwa” yang tidak terpengaruh lagi oleh kegembiraan atau frustasi. Gejolak batin diatur melalui teori-teori spekulatif tentang emosi.
Pada segi evaluatif, etos orang Jawa maka yang terlihat
adalah tuntutan untuk menekankan tingkah laku yang sopan, halus dan teratur. Kebahagiaan atau kesedihan tidak banyak bedanya, karena seseorang dituntut melampaui gejolak perasaan dan bertahan dalam suatu ketenangan yang mantap atau kemantapan yang tenang. Persepsi-persepsi batin yang diuji melalui analisa empiris yang cermat.