Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENGANTAR SOSIOMETRI

A. PENDAHULUAN
Metode ini ditemukan oleh Moreno (1934), merupakan metode baru di kalangan
ilmu sosial, dan bermaksud untuk meneliti intra-group relations atau saling hubungan
antara anggota kelompok di dalam suatu kelompok. Di bawah ini akan diterangkan
mengenai dasar-dasar metode tersebut.
Moreno dkk. mempersoalkan suatu penelitian yang diadakan pada tahun 1930-an
di antara murid-murid dari The New York Training School for Girls di Hudson, New
York. Murid wanita yang ditempatkan pada sekolah tersebut sedang menjalani latihan
dalam rangka rehabilitasi sosial mereka. Para murid bertempat tinggal di 14 "pondok"
yang masing-masing menempatkan 25 gadis, sedangkan setiap pondok dikepalai oleh
seorang ibu asrama. Suasana di sekolah (agak) sangat tidak harmonis dan ketegangan di
antara murid cukup banyak. Moreno dalam menerapkan metode sosiometrinya memakai
daftar pertanyaan berupa kuestioner, artinya bahwa ia minta kepada setiap murid (dengan
jaminan bahwa masing-masing pilihan akan dirahasiakan) untuk menulis nama mereka
sendiri serta nama dari murid lain dengan siapa mereka ingin tinggal bersama di salah
satu pondok. Demikian pula nama-nama murid dengan siapa mereka justru tidak suka
bertempat tinggal bersama. Jadi baik pilihan sosial yang positif maupun penolakan sosial
dipersoalkan. Berdasarkan masing-masing pilihan positif tersebut maka Moreno
menempatkan kembali para murid ke dalam 14 pondok dan temyata ia lebih berhasil
untuk menghilangkan ketegangan di dalam sekolahnya. Pilihan sosiometris tersebut
diulangi setiap 6 minggu sekali dan dengan demikian masing-masing murid diberi
kesempatan untuk mengubah lagi pilihan pertama mereka berdasarkan pengalaman
dengan susunan baru.
Moreno mengemukakan sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk mengadakan
tes sosiometris. Tetapi ternyata bahwa hanya sebagian saja dari syarat-syarat tersebut
yang dipertahankan pada studi-studi yang lebih lanjut, baik oleh Moreno sendiri maupun
oleh peneliti yang memakai metode sosiometrinya.
Menurut Moreno ada enam hal penting yang harus diperhatikan dalam sosiometri:
1. Batas kelompok yang harus ditandai subyek
2. Subyek diberi kebebasan tanpa dibatasi untuk memilih atau menolak

1
3. Subyek diminta untuk menandai individu yang subyek pilih atau tolak dalam
kaitannya dengan kriteria-kriteria khusus
4. Hasil pertanyaan sosiometri harus dapat digunakan untuk mengatur kembali
kelompok
5. Subyek diberi kebebasan untuk membuat berbagai pilihan dan penolakan
6. Taraf pertanyaan diukur dari pada tingkat pengertian anggota kelompok
Lindzey dan Borgatta (1959) mempersoalkan hal tersebut secara panjang lebar.
Sebagai titik tolak umum dapat dikemukakan bahwa suatu tes sosiometri barus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tes harus berhubungan dengan suatu kelompok yang "tertutup", artinya bahwa
pilihan sosial semata-mata berhubungan dengan anggota kelompok tersebut dan tidak
dengan orang di luar kelompok.
2. Setiap anggota kelompok harus diberi kesempatan untuk memilih anggota lain dan ia
juga harus dapat dipilih oleh anggota lain.
3. Baik pilihan sosial positif (penerimaan sosial) maupun yang negatif (penolakan sosial)
harus dipersoalkan dalam tes tersebut.
4. Pilihan harus didasarkan atas suatu masalah, yaitu masing-masing anggota kelompok
harus mengadakan pilibannya berdasarkan suatu kriterium yang jelas sehingga
mereka tahu untuk tujuan apa mereka menerima atau menolak anggota-anggota
sekelompoknya.
5. Validitas dari tes lebih tercapai kalau kriterium yang dipakai bagi pilihan-pilihan
adalah riil, artinya mempunyai konsekuensi sosial.
6. Biasanya pilihan sosial dibatasi sampai beberapa anggota kelompok saja yang jarang
melebibi 3 orang, terutama kalau tujuannya berhubungan dengan membuat suatu
sosiogram.
Beberapa Penerapan
Hasil dari ukuran sosiometris agak mudah dipraktekkan, dan hal ini juga dapat
menjelaskan mengapa teknik tersebut suka dipakai dalam bidang industri, militer,
pendidikan dan sebagainya. Dalam perindustrian makin dirasa perlu untuk memakia
sosiomerti mengingat pentingnya peranan dari organisasi-organisasi formil. Berdasarkan
hasil tes sosiometri ada kemungkinan akan diketahui faktor-faktor sosial yang
menentukan harmoni dalam suatu kelompok dengan akibat yang positif terhadap
produksi. Organisasi-organisasi militer juga diketahui memanfaatkan ukuran sosiometris

2
untuk menyelesaikan masalah penyesuaian sosial,, memilih pemimpin, mengukur moril
dari kelompok, dan sebagainya.
Sosiometri juga pernah dipakai oleh Antropolog untuk mempelajari ”attractions
and repulsions in an Indian Society” dan psikolog sosial, memakai ukuran sosiometri
dalam beberapa eksperimen yang diadakan dalam ”summer camps for boys”. Baik
sosiolog maupun antropolog dapat memanfaatkan hasil dari ukuran sosiometris untuk
mengetahui kelompok-kelompok dan atau pemimpin informil di dalam masyarakat yang
akan diteliti guna meletakkan dasar komunikasi dengan para responden dan
mengembangkan rapport.

B. Apa Pengukuran Sosiometri?


Untuk memperoleh keterangan mengenai saling hubungan antar anggota
sekelompok itu, diajukan sebuah daftar pertanyaan kepada semua anggota kelompok yang
ingin diselidiki, misalnya sebuah kelas di sekolah. Daftar pertanyaan itu merupakan
ajakan untuk menentukan sikap anggota kelompok terhadap anggota kelompok lainnya,
yang ia kenal. la, misalnya, diajak untuk memilih antara kawannya sekelompok kelas,
siapa yang menurut pendapatnya paling memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya:
kawan yang paling cakap sebagai pemimpin kelompok, atau kawan yang paling cocok
sebagai kawan sekerja, dan lain-lain, bergantung kepada sifat-sifat saling hubungan yang
ingin kita selidiki dengan metode ini.
Pertanyaan untuk memilih kawan sekelompok yang mempunyai sifat-sifat tertentu
itu dapat juga berlaku bagi pilihan lebih dari satu orang, bergantung kepada tujuan
penelitian itu. Misalnya pertanyaan itu dapat berbunyi sebagai berikut: Pilihlah tiga orang
kawan sekelompok yang menurut pendapat saudara adalah orang yang paling cocok
sebagai rekan sekerja (kawan untuk kerja sama). Yang paling cocok hendaknya
disebutkan pertama dan seterusnya.
Untuk membuat suatu sosiogram, peneliti mengumpulkan keterangan dari orang
yang menjadi sasaran perhatiannya dengan mengajukan pertanyaan pada mereka masing-
masing berhubungan dengan perasaan., sentimen, pandangan ataupun sikap masing-
masing dalam hubungan mereka satu suma lain. Keterangan-keterangan yang diperoleh
yang juga bisa diperoleh dengan mengadakan penelitian, digambarkan dalam bentuk
sosiogram.
Pada hakekatnya, sosiogram terdiri dari sejumlah tanda yang memperlihatkan
berdasarkan masing-masing keterangan yang diperoleh mengenai sifat hubungan masing-

3
masing anggota kelompok atau kumpulan satu sama lain struktur hubungan para anggota
kumpulan yang bersangkutan. Tanda panah misalnya digunakan untuk memperlihatkan
anggota yang menunjuk anggota lain yang dianggap sebagai pilihannya, sebagai orang
yang disukai, sehingga lingkaran yang dianggap merupakan anggota tertentu yang
menjadi sasaran dari berbagai panah memperlihatkan bahwa anggota yang digambarkan
dengan lingkaran dipilih oleh banyak anggota lain: dia adalah semacam tokoh, pemimpin
dalam kumpulan atau kelompok yang bersangkutan dengan menggunakan cara
pengamatan dapatlah dikumpulkan keterangan, mengenai pola kegiatan orang yang
menjadi sasaran penelitian dalam hubungan mereka satu sama lain: ulama yang banyak
dikunjungi orang tentu berpengaruh banyak dalam masyarakat setempat yang
bersangkutan, atau malah sampai di luar batas masyarakat setempat itu. Mungkin juga ada
seseorang yang sering nampak menghadiri pertemuan kelompok tertentu, tetapi setelah
sikap anggota lain dari kelompok ini diperhatikan dengan saksama, teryata tidak mereka
anggap sungguh-sungguh sebagai sesama anggota kelompok. Tentu saja, ada
kemungkinan lain.
C. Sistem.
Sistem adalah suatu susunan. yang berfungsi dan bergerak; suatu cabang ilmu
niscaya mempunyai obyeknya, dan obyek yang menjadi sasaran itu umumnya dibatasi.
Sehubungan dengan itu, maka setiap ilmu lazimnya mulai dengan merumuskan suatu
batasan (definisi) perihal apa yang hendak dijadikan obyek studinya. Setelah pembatasan
itu maka obyek studi itu ditempatkan dalam suatu susunan tertentu sehingga nyata
kedudukannya
Yang relatif dengan obyek-obyek atau kenyataan-kenyataan lainnya Yang
(meskipun ada hubungannya dengan obyek studi yang didefinisikan) ditinjau dari cabang
ilmu. Yang bersangkutan, diletakkan di luar batasan Yang dirumuskan itu. Adapun
kedekatan-kedekatan Yang terdapat antara. obyek studi dari suatu cabang ilmu tertentu
dengan hal-hal lain di luar i1mu itu, tetapi yang ada hubungannya dengan obyeknya, akan
terwujud nanti dalam apa Yang biasa dikenal sebagai kerjasama inter atau
multi-disipliner.
Kalau dikatakan bahwa suatu "sistem" adalah suatu. susunan Yang berfungsi dan
bergerak, maka Yang dimaksudkan di sini adalah suatu. "susunan dari relasi-relasi Yang
ada. pada, suatu realitet. Apa yang kita sebut sistem ini sebenarnya telah termuat dalam.
uraian perihal azas pengaturan. Kekhususannya dalam hal i1mu ialah bahwa

4
perbedaan-perbedaan obyek studi (formel maupun materiel) seringkali memaksakan
sistematik Yang berbeda atau setidak-tidaknya meletakkan aksentuasi yang berlainan.
Freud dalam studinya tentang kejiwaan manusia menyimpulkan adanya berbagai
tingkat. kesadaran, maka, berdasarkan konsepsi itu disusunlah kemudian olehnya suatu
sistem, Yang menyusun kehidupan kejiwaan itu atas berbagai taraf: sadar, sub-sadar, dan
tak-sadar. Kemudian dengan menguraikan ketiga taraf itu lebih lanjut sampailah ia pada
suatu perincian sistematis tentang kehidupan kejiwaan manusia. Adapun tokoh lain yang
menganut anggapan bahwa kehidupan kejiwaan itu pada dasarnya adalah suatu
penjelmaan dari kehidupan instinktif, akan menyusun sejumlah instink-instink dasar
Yang kemudian diuraikan dalam suatu perincian. sistematis pula.
Dari dua contoh sederhana ini kita saksikan betapa mungkin terjadinya perbedaan
meskipun obyek studi adalah sama. (Segera. dapat ditambahkan sebagai catatan bahwa
kenyataan ini masih saja menjadi persoalan bagi ilmu pengetahuan. sosial umumnya,
yaitu masih tersedianya, cukup kelonggaran untuk menampilkan perbedaan-perbedaan
sistematik; suatu kenyataan yang tentunya ada hubungannya dengan masih mudanya usia
ilmu-ilmu tersebut). Bagaimanapun juga, jelaslah hendaknya, bahwa sistem yang dituntut
oleh suatu upaya i1miah adalah merupakan persyaratan; soalnya bukanlah kemungkinan
perbedaan sistematik, melainkan adanya sistematik.
Walaupun demikian, jangan dianggap bahwa segala sesuatu yang berupa himpunan
data secara sistematis sudah bisa dianggap sebagai upaya i1miah. Sebuah buku petunjuk
telpon misalnya jelas tersusun sistematis; bahkan dalam suatu buku telpon bisa saja
didapati dua bagian, di mana satu bagian sistimatis didasarkan pada tata urut abjad,
sedangkan bagian satunya lagi didasarkan pada susunan menurut jenis perusahaan atau
kantor dan badan-badan lainnya. Namun demikian, buku telpon dengan sistematik yang
konsisten dipertahankan itu, belumlah sesuatu yang bisa disebut sebagai produk sesuatu
ilmu. Bagi mereka yang menggunakannya, cukup mempelajari petunjuk-petunjuk
penggunaannya, dan sama sekali tidak dituntut dari padanya untuk lebih dahulu
mendalami suatu cabang i1mu pengetahuan.
Sebuah buku telpon tidak mengungkapkan hal-hal yang bersifat
penemuan-penemuan baru. Sistematik yang dikandungnya sekedar disusun untuk
memudahkan pemakaiannya yang menuruti petunjuk penggunaannya. Efek.efek yang
hendak dicapai dengan penyusunan tersebut tidak melebihi efek yang dicapai misalnya
dengan sistem pemberian nomor rumah pada suatu jalan; yang satu deret mengikuti tata
urut angka genap, sedangkan deret di seberangnya mengikuti tata urut angka ganjil.

5
Sebaliknya, sistematik yang dikenal didalam rangka keilmuan sesuai dengan tujuan
ilmu itu bisa dilihat dari sedikitnya dua segi di satu fihak sistematik itu merupakan hasil
dari suatu usaha menemukan penemuan baru yang bisa dihasilkan kemudian. Jadi sesuatu
sistematik dalam dunia i1miah bisa dipandang sebagai terminus ad quem, akan tetapi dari
sudut tinjauan lainnya bisa saja dianggap sebagai terminus quo.
Dalam upaya ilmiah, maka data yang dihimpun dalam suatu sistem tertentu
menimbulkan tuntutan baru. Keseluruhan susunan itu sendiri dinilai secara kritis, dan
dipertimbangkan apakah sebagai keseluruhan sudah selengkapnya mencakup segala
sesuatu yang seharusnya bernaung di dalamnya. Orang misalnya bisa menimbulkan
persoalan, sejauh mana. sistem saraf pusat ada hubungannya dengan suatu susunan
lainnya yang diperkembangkan oleh ahli-ahli Kyungkrak di Korea? Apakah kedua hal itu
merupakan dua sistem, atau yang satu merupakan bagian dari lainnya dalam satu
konfigurasi sistematis? Lagipula, dalam suatu sistematik yang relatif mantap, maka suatu
hal yang termuat dalam sistematik itu bisa lebih disoroti lagi sehingga ada kalanya bisa
menimbulkan elaborasi lebih lanjut dari sistematik itu sendiri. Kemajuan dalam fisika
nuclear membuktikan hal ini.
Maka nyatalah pula. perbedaannya antara tujuan sistematik yang dilakukan dalam
penyusunan suatu buku petunjuk tilpon atau sebangsanya, dengan sistematik sebagai
tuntutan ilmiah. Sistematik ilmiah sebagai hasil pengorganisasian data membuka
perspektif untuk explorasi baru.
D. Metode
Satu hal lain yang dalam dunia keilmuan segera dilekatkan pada masalah sistem
adalah metode. Dalam arti katanya yang sesungguhnya, maka metode (Yunani:
methodos) adalah cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metoda
menyangkut masalah cara-kerja; yaitu cara keria untuk dapat memahami obyek menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan.
Sehubungan dengan itu, maka cabang-cabang ilmu itu. memperkembangkan
metodologinya (yaitu pengetahuan. tentang berbagai cara kerja) yang disesuaikan dengan
obyek studi ilmu-ilmu yang bersangkutan. Metodik (yaitu kumpulan metode-metode) itu
merupakan jalan-jalan atau cara-cara yang nantinya akan ditempuh guna lebih mendalami
obyek studi.
Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa sesuatu metode dipilih dengan
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan obyek studi; kecenderungan untuk menempuh
jalan yang sebaliknya (yaitu untuk mencocok-cocokkan obyek studi dengan metodik yang

6
asal-ada saja) sesungguhnya keliru. Catatan ini ditambahkan di sini khususnya, karena
adanya kecenderungan yang kuat untuk mengagungkan kwantifikasi terhadap berbagai
gejala yang sesungguhnya sukar "diukur". Demikianlah maka kita dapat menampilkan
beberapa data kwantitatif yang diperoleh melalui metode statistik mengenai gejala-gejala
yang pada dasarnya tidak cocok untuk kwantifikasi; akan tetapi dengan metode statistik
sebagai cara. kerja yang dikenal "ilmiah" memenuhi syarat, maka hasil yang kwantitatif
tadi mendapatkan suatu corak yang ilmiah.
Khususnya, dalam hubungan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, maka soal metodik
masih menuntut banyak penyempurnaan seperti halnya juga dengan sistematisasi
gejala-gejala sosial dan budaya. Dalam hubungan ini Perry membuat pengibaratan yang
menarik, dan yang patut menjadi perhatian khususnya bagi para sarjana dalam ilmu-ilinu
sosial dan kemanusiaan (1954: h1m. 174).
"Science in simply knowledge; or, in a more restricted sense knowledge when this
has reached a certain pitch of perfection. Since knowledge consists in well-grounded
expectations, it submits itself to what in called "the facts" : which is simply a name for an
existing state of affairs when taken in relation to the hypotheses which men entertain
about it. When the state of affairs to be known to culture its method must be adapted to its
cultural subject matter, and not to the fashionable methodology of the day. A science is
hand in glove with its facts; the method of cultural science is the glove, and culture in the
hand".

Kutipan ini mentinjukkan bahwa antara obyek studi dengan metode yang
dipekembangkan untuk mempelajarinya terdapat hubungan sedemikian rupa sehingga
metode menjadi masalah apriori. Obyeklah yang menentukan metode, dan bukan
sebaliknya; di mana metode yang telah ada menentukan obyek manakah ditetapkan
sebagai sasaran upaya ilmiah. Misalnya, ada pendapat, bahwa suatu gejala yang tidak bisa
dikwantifikasikan (umpamanya dengan metode statistik), tidak dapat dinilai sebagai
suatu gejala yang dapat dipandang sebagai obyek studi bersifat ilmiah. Lain pendapat
mengatakan bahwa suatu gejala yang tidak memungkinkan dilaksanakannya metode
experimen (sebagai metode yang mantap dalam usaha mempelajarinya, juga tidak dapat
dijadikan obyek studi bersifat imiah. Pendapat-pendapat demikian itu membalik urutan
antara obyek studi dengan metodologinya.
Erat hubungannya dengan metodik sebagai cara kerja ilmiah adalah masalah alat
kerja yang merupakan perpanjangan dari cara kerja; dengan demikian maka menyusul
pada masalah metode adalah masalah teknik. Pada sesuatu metode biasanya melekat
tekniknya yang bisa berupa alat maupun "seni" dari penggunaan alat-alat itu (Yunani:'
tekhnikos).

7
E. Fakta.
Usaha pengaturan ilmiah itu merupakan suatu proses di mana pikiran manusia itu
beralih menurut disiplin, sistem dan metode ilmiah, dari pengamatan terhadap kejadian
kejadian dan gejala-gejala yang nyata di alam konkret ke generalisasi-generalisasi di alam
abstrak. Proses berpikir-seperti itu disebut proses induktif, dan suatu, generalisasi abstrak
dari kejadian-kejadian yang konkret adalah suatu induksi.
Di dalam ilmu-ilmu sosial obyek pengamatan dan penelitian yang merupakan
pangkal dari pengetahuan ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus
terdiri dari kejadian-kejadian yang konkret. Namun, sebelum bisa dikenakan sistem dan
metode pengaturan ilmiah, maka kejadian-kejadian dari sesuatu gejala masyarakat tadi
harus dinyatakan dulu secara deskriptif oleh si peneliti. Pernyataan-pernyataan deskriptif
tadi, yang sudah merupakan abstraksi tahap pertama dari kejadian-kejadian masyarakat
yang konkrit, disebut fakta sosial (social fact). Kalau suatu fakta, menjadi penyebab dari
fakta lain, maka sering dipakai,istilah faktor. Adapun kejadian kejadian khas adalah hal
yang dinyatakan sebagai fakta, tetapi dalam wujud hasil pengukuran hal itu disebut data.
Contoh: Dalam kenyataan masyarakat dari suatu desa ada lima rumah tangga.
Seorang peneliti mengamati berbagai kegiatan kehidupan bersama dari kelima rumah
tangga itu, artinya ia mengamati suatu gejala masyarakat. Dalam pengamatannya itu ia
bisa mengkhusus kepada berbagai hal seperti misalnya perbedaan derajad sosial dari
k.elima rumah tangga, gaya hidup anggotanya, jumlah rata-rata penghasilan setahunnya
dari masing-masing rumah tangga, jumlah rata-rata anggota rumah tangga dsb. Ambil
misalnya bahwa si peneliti meneliti jumlah rata-rata anggota rumah tangga dan
menyatakan dalam laporannya: " ………..besar kelima rumah tangga itu masing-masing
adalah 7, 6, 4, 5 dan 4 anggota, atau semuanya rata-rata 5 anggota." Dengan kalimat itu si
peneliti telah menyatakan suatu fakta, yang mcrupakan suatu abstraksi dari suatu keadaan
atau gejala masyarakat yang konkret berdasarkan data bahwa ada rumah tangga sebesar 7,
ada yang sebesar 6 ada yang sebesar 5, dan ada, dua yang sebesar 4 anggota.
Fakta banyak yang dikumpulkan oleh si peneliti dalam 1aporannya itu tak akan
berarti kalau tidak diatur lebih lanjut. Dalam hal itu si peneliti menganalisa dan
mengklasifikasi fakta-fakta yang dikumpulkannya itu menurut sistem dan motode ilmiah
tertentu, dan berdasarkan disiplin ilmiah yang ketat Kemudian ia mencari hubungan dan
korelasi, juga berdasarkan disiplin ilmiah yang ketat, antara berbagai klas fakta tadi.
Adapun tafsirannya mengenai pola-pola korelasi antara kelas-kelas fakta tadi menuju ke
tingkat pengetahuan yang lebih abstrak lagi, ialah konsep dan teori.

8
F. Teori
Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori
hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada, ilmu
pengetahuan. Kecuali (1) menyimpulkan generalisa dari fakta- fakta hasil pengamatan,
teori itu juga: (2) memberi kerangka orientasi untak analisa dan klasifikasi dari fakta yang
dikumpulkan dalam penelitian; (3) memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang
yang akan terjadi (4) mengisi lowongan- lowongan dalm pengetahuan kita, tentang
gejala-gejala yang telah atau sedang terjadi.
Teori Sebagai Generalisasi. Teori dalam ilmu-ilmu sosial yang menyimpulkan
hubungan korelasi antara fakta-fakta atau kelas-kelas fakta, sosial itu, bisa merupakan
generalisasi empiris yang bersifat sederhana, tetapi juga generalisasi luas yang komplex.
Contoh dari suatu generalisasi empiris yang sederhana adalah misalnya kesimpulan
bahwa anak- anak yang berasal dari keluarga di mana ada keseimbangan selaras antara
pengasuhan dengan disiplin dan pengasuhan dengan kemesraan orangtua, umumnya
mempunyai IQ yang tinggi. Dalam hal itu si peneliti telah mengamati sejumlah keluarga
di mana pengasuhan dan pendidikan anak di dalamnya berdasarkan atas keimbangan
yang selaras antara disiplin dan kemesraan. Pernyataannya mengenai sifat keselarasan
tadi merupakan fakta-fakta berdasarkan beberapa data khas yang dapat diukur. Demikian
juga si peneliti memeriksa apakah 10 dari anak-anak tadi tinggi, dengan. bantuan seorang
ahli psikologi yang diminta untuk mengambil test IQ mereka. Pernyataan kemudian
bahwa misalnya 80% dari anak-anak tadi tinggi IQ-nya merupakan fakta berdasarkan
data khas hasil test-test tadi. Untuk menguatkan kesimpulannya si peneliti tentu juga
mengamati sejumlah keluarga di mana, pengasuhan dan pendidikan anak-anak tidak
selaras, dan ia juga menyuruh mengambil test IQ mereka. Pernyataannya kemudian
bahwa misalnya hanya 30% dari anak-anak tadi memiliki IQ tinggi merupakan fakta
berdasarkan data khas hasil test yang kedua. Kemudian, berdasarkan fakta-fakta hasil
penelitiannya terhadap sejumlah keluarga tadi, peneliti menyimpulkan suatu generalisasi
mengenai hubungan antara keselarasan pengasuhan dan IQ tinggi, menjadi suatu
hubungan yang lebih umum sifatnya (seperti dirumuskan di atas). Dengan itu ia. telah
menyimpulkan secara induktif suatu teori yang berwujud suatu generalisasi empiris
sederhana.
Generalisasi-generalisasi induktif bisa juga bersifat jauh lebih komplex dari itu. Di
dalam hal itu klas-klas fakta dihubungkan satu dengan lain, dan diteliti frekwensi dan
intensitas korelasi hubungannya. Dengan melanjutkan contoh di atas, konsep "keluarga

9
dengan keselarasan disiplin dan kemesraan" dapat diperluas dengan menambah misalnya
adanya unsur-unsur saling pengertian, rasa kesenian, olahraga, dan kebiasaan membaca
menjadi "keluarga selaras". Demikian juga konsep "anak-anak dengan IQ tinggi" dapat
diperluas menjadi "anak anak yang baik". Dengan melakukan penelitian seperti terurai di
atas maka seorang peneliti akan menemukan bahwa ada misalnya suatu korelasi tinggi
antara "keluarga selaras" dengan "anak-anak yang baik", sehingga ia menyimpulkan suatu
generalisasi induktif bahwa dalam keluarga-keluarga yang selaras pada umumnya ada
anak-anak yang baik, atau dibalik: dari keluarga-keluarga yang selaras jarang timbul
kenakalan anak anak.
Teori Sebagai Kerangka Penelitian. Disamping merupakan kesimpulan induktif
yang menggeneralisasi hubungan antara fakta-fakta atau klas-klas fakta-fakta, suatu teori
yang telah matang juga dapat berfungsi sebagai; pendorong proses berpikir deduktif yang
bergerak dari alam abstrak ke alam fakta-fakta konkret. Di dalam hal itu suatu teori
dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan kepadanya terhadap
fakta-fakta konkrit yang tak terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat,
yang harus diperhatikannya.
Fungsi Meramal dari Teori. Fungsi deduktif lain dari teori adalah memberi prediksi
atau ramalan sebelumnya kepada si peneliti mengenai fakta-fakta yang akan terjadi.
Karena suatu Teori itu merupakan generalisasi abstrak dari fakta-fakta yang konkrit,
maka kalau teori itu kita pegang dan kita terapkan kepada kehidupan yang konkrit maka
kita seolah-olah bisa meramalkan bahwa fakta-fakta yang merupakan unsur-unsur dari
teori itu akan terjadi di situ. Ambillah sebagai contoh teori bahwa kalau di dalam
kehidupan keluarga itu tak cukup perhatian orang tua terhadap anak-anaknya, maka
kemungkinan besar bahwa anak-anak itu menjadi nakal. Dengan memegang teori itu
maka si peneliti para pendidik, atau polisi, dapat meramalkan bahwa di daerah-daerah di
kota tempat tinggal keluarga-keluarga yang orang tuanya terlampau sibuk dengan
kehidupan sosialnya, maka di sanalah kemungkinan besar adanya banyak anak nakal.
Teori Sebagai Pengisi Lowongan Dalam Pengetahuan. Masih ada satu fungsi lagi
dari teori yang sifatnya juga deduktif, yaitu fungsi sebagai pengisi lowongan dalam
pengetahuan kita. Sebenarnya fungsi ini, yang sering tampak dalam ilmu sejarah, pada
prinsipnya sama dengan fungsi teori untuk meramalkan timbulnya gejala-gejala baru.
Contoh: Kita lihat dalam sejarah bahwa pusat kebudayaan Jawa-Hindu dalam abad ke-8
dan ke-9 berada di daerah- subur di antara gunung-gunung berapi di Jawa Tengah;
kemudian kita lihat bahwa dalam abad ke-10 ada suatu zaman kegelapan, tanpa

10
keterangan sejarah sedikitpun; setelah itu kita lihat pusat-pusat kebudayaan Jawa Hindu
muncul lagi di Jawa Timur dalam abad ke-11 dan 12. Dengan demikian, dalam
pengetahuan kita tentang sejarah Indonesia ada. suatu lowongan mengenai abad ke-10.
Timbullah seorang ahli sejarah yang menunjukan suatu teori yang menyatakan. bahwa
pusat kebudayaan Jawa-Hindu itu beralih ke Jawa Timur, karena, pusat, perdagangan
besar di Jawa beralih dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dalam abad ke-10. Dengan
demikian ahli sejarah tadi mempergunakan. teori tentang hubungan korelasi antara pusat
aktivitas kebudayaan dan perdagangan sebagai bahan untuk mengisi lowongan dalam
pengetahuan kita mengenai sejarah Indonesia abad ke-10.

11
BAB II
SOSIALSELF

Pembahasan tentang "self” (diri) merupakan salah satu topik yang mendapat porsi
banyak dalam bidang psikologi. Biasanya kajian tentang hal ini dimulai dengan bagaimana
orang membentuk konsep diri dan harga diri. Dalam topik ini, penulis sengaja tidak
membahas masalah ini tetapi lebih memfokuskan bagaimana peranan self (diri) dalam
interaksi dengan orang lain. Oleh karena itu, pembahasan akan lebih difokuskan pada hal-hal
yang menyangkut bagaimana individu menempatkan atau menghadirkan self ini dalam
konteks sosial.

A. Presentasi Diri (Self-Presentation)


Dalam interaksi tentunya kita tidak dapat menghindari untuk mengungkapkan diri
kita pada orang lain. Sungguhpun kita mencoba untuk membatasi apa yang kita
ungkapkan, tapi tetaplah kita akan bercerita sedikit tentang diri kita. Bahkan walaupun
kita meyakini bahwa tak akan membohongi orang tentang siapa sesungguhnya kita, dalam
kenyataannya kita semua berusaha membentuk atau mengelola kesan.
Dalam proses presentasi diri biasanya individu akan melakukan pengelolaan kesan
(impression management). Pada saat ini, individu melakukan suatu proses dimana dia
akan menseleksi dan mengontrol perilaku mereka sesuai dengan situasi dimana perilaku
itu dihadirkan serta memproyeksikan pada orang lain suatu image yang diinginkannya.
Kita melakukan hal tersebut, karena kita ingin orang lain menyukai kita, ingin
mempengaruhi mereka, ingin memperbaiki posisi, memelihara status dan sebagainya.
Dengan demikian prestasi diri atau pengelolaan kesan dibatasi dalam pengertian
menghadirkan diri sendiri dalam cara-cara yang sudah diperhitungkan untuk memperoleh
penerimaan atau persetujuan orang lain.Kita dapat mengidentifikasikan dua komponen
dari pengelolaan kesan (impression management), yakni motivasi pengelolaan kesan
(impression-motivation) dan konstruksi pengelolaan kesan (impression-construction).
Motivasi pengelolaan kesan menggambarkan bagaimana motivasi yang kamu
miliki untuk mengendalikan orang lain dalam melihatmu atau untuk menciptakan kesan
tertentu dalam benak pikiran orang lain. Sedangkan konstruksi pengelolaan kesan
menyangkut pemilihan image tertentu yang ingin diciptakan dan mengubah perilakunya
dalam cara-cara tertentu untuk mencapai tujuannya.

12
Argyle (1994) mengemukakan ada tiga motivasi primer pengelolaan kesan, yaitu
keinginan untuk mendapatkan imbalan materi atau sosial, untuk mempertahankan atau
meningkatkan harga diri, dan untuk mempermudah pengembangan identitas diri
(menciptakan dan mengukuhkan identitas diri).
Motivasi untuk mengelola kesan biasanya sering terjadi dalam situasi yang
melibatkan tujuan-tujuan penting (seperti : persahabatan, persetujuan, imbal materi)
dimana individu yang melakukannya merasa kurang puas dengan image yang
diproyeksikan saat ini (self- discrepancy). Motivasi mengelola kesan juga lebih kuat
ketika seseorang merasa tergantung pada seseorang yang berkuasa yang mengendalikan
sumber-sumber penting bagi dirinya (Misal, atasannya) atau setel dia mengalami
kegagalan atau hampir mengalami kejadian yang dapat meruntuhkan harga dirinya.
Model presentasi diri itu dapat diperjelas dengan bagan di bawah ini:

Tabel 5

Motivasi untuk melakukan pengelolaan kesan

Primary self-presentational motives Disposition/situasional antecedent

untuk memperoleh Pengelolaan relevan dengan


ganjaran sosial atau tujuan sesorang (seorang
materi (persetujuan; tergantung pada target)
persahabatan; kekuasaan; Tujuan bernilai tinggi
status; uang) (sumber langka, kompetisi Usaha-usaha untuk
untuk mempertahankan tinggi, dll) membentuk kesan
atau meningkatkan harga Kesenjangan yang lebar yang diinginkan
diri (pujian; perasaan diantara self-image yang
kesan baik) ada dan yang diinginkan
untuk menciptakan atau (kegagalan sebelumnya,
mengukuhkan identitas perasan orang lain memiliki
diri pandangan yang negatif
tentang dirinya

Diambil dari Brigham, 1991

13
1. Teori Goffman tentang Pengelolaan Kesan
Goffman menggambarkan interaksi sosial sebagai suatu pertunjukan teater
dimana masing-masing orang bertindak dalam "jalur" tertentu. "Jalur" itu adalah
sejumlah akan verbal dan nonverbal yang dipilih secara hati-hati untuk
mengekspresikan diri Tentu saja "jalur" ini dapat berubah dari suatu situasi ke situasi
lain menurut derajat kepentingan yang dimiliki individu.
Menurut Goffman bahwa salah satu aturan dasar interaksi sosial adalah
komitmen yang saling timbal-balik diantara individu-individu yang terlibat mengenai
peran (role) yang harus dimainkannya.Satu pertanyaan yang cukup mendasar
sehubungan dengan hal tersebut, adalah bagaimana individu dapat menciptakan suatu
kesan yang baik? Goffman mengajukan syara-syarat yang perlu dipenuhi bila individu
mengelola kesan secara baik, yaitu :
a. Penampilan muka (proper front),
Yakni perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus agar orang lain
mengetahui dengan jelas peran si pelaku (aktor). Front ini terdiri dari peralatan
lengkap yang kita gunakan untuk menampilkan diri. Front ini mencakup 3 aspek
(unsur) : setting (serangkaian peralatan ruang dan benda yang kita gunakan);
appearance (penggunaan petunjuk artifaktual, missal pakaian, lencana,
atribut-atribut, dll; manner (gaya bertingkah laku, misal cara berjalan, duduk,
berbicara, memandang, dll.).
b. Keterlibatan dalam perannya.
Hal yang mutlak adalah aktor sepenuhnya terlibat dalam perannya. Dengan
keterlibatannya secara penuh akan menolong dirinya untuk sungguh-sungguh
meyakini perannya dan bisa menghayati peran yang dilakukannya secara total.
C. Mewujudkan idealiasi harapan orang lain tentang perannya.
Misalnya seorang dokter harus mengetahui tipe perilaku apa yang diharapkan dari
orang-orang pada umumnya mengenai perannya, dan memanfaatkan pengetahuan
ini untuk diperhitungkan dalam penampilannya. Kadang-kadang untuk memenuhi
harapan orang pada umumnya, dia harus melakukan sesuatu yang sebenamya
tidak perlu. Misalnya, seorang dokter yang ahli dan sudah berpengalaman
sebenamya dia dapat mendiagnosa penyakit pasiennya hanya dengan menatap
sekilas pada wama kulit atau pupil matanya. jika dia melakukan hal ini sebelum
menuliskan resep obat yang cocok, maka pasien mungkin merasa dibohongi.
Untuk menghindari masalah ini, maka dokter itu akan melengkapi permeriksaan

14
dengan stethoscope,thermometer dll. Meskipun hal tersebut sesungguhnya tak
diperlukan untuk membuat diagnosa .
d. Mystification
Akhimya Goffman mencatat bahwa bagi kebanyakan peran performance yang
baik menuntut pemeliharaan jarak sosial tertentu diantara aktor dan orang lain.
MisaInya : seorang dokter harus memelihara jarak yang sesuai dengan pasien dia
tak boleh terlalu kenal/akrab, supaya dia tetap menyadari perannya tidak hilang
dalam proses tersebut.
2. Strategi Presentasi Diri
Presentasi diri dapat memiliki beberapa tujuan. Seseorang mungkin ingin disebut
nampak kompeten, berkuasa, budiman atau menimbulkan simpati. Masing-Masing
tujuan melibatkan strategi presentasi yang bervariasi. Tujuan itu biasanya tidak hanya
satu, seseorang mungkin berusaha mencapai beberapa tujuan dalam wahana yang
sama. Ada beberapa strategi presentasi diri, yaitu :
a. Mengambil muka/menjilat (Ingratiation).
Tujuan dari strategi ini adalah supaya dipersepsi sebagai orang yang
menyenangkan atau menarik. Taktik umum meliputi memuji orang lain, menjadi
pendengar yang baik, karena melakukan hal-hal yang memberi keuntungan pada
orang lain menyesuaikan diri atau konform dalam sikap dan perilakunya. Menurut
Jones (dalam Wrightsman, 1987), dalam menggunakan taktik ini agar ingratiator
mampu mempertahankan kredibilitasnya sehingga pujian dianggap tulus, maka
dia tak boleh memuji hal-hal yang tak dimiliki seseorang yang menjadi targetnya.
Sebab jika hal ini dilakukan akan menjadi bumerang bagi dirinya karena pujian itu
dianggap sebagai hinaan. Orang yang menggunakan strategi ini mungkin
beranggapan bahwa orang cender menyukai orang lain yang memiliki kesamaan
sikap dan nilai. Jone Wortman memberi nama sebagai taktik illicit
(gelap/tersembunyi) ke motivasi pelaku yang sebenamya tersembunyi. Sebab yang
ditekankan ada membangun penampilan sebagai orang yang benar-benar tulus
hatinya perilakunya itu asli (otentik).
b. Mengancam atau menakut-nakuti (intimidation).
Strategi ini digunakan untuk menimbulkan rasa takut dan cara memperoleh
kekuasaan dengan meyakinkan pada seseorang bahwa kamu adalah orang yang
berbahaya. Jadi berbeda dengan penjilat (ingratiatory) yang ingin disukai, maka

15
mereka justru ingin ditakuti. Strategi intimidasi kemungkinan lebih sering
digunakan dalam situasi dimana meloloskan diri adalah tidak mudah.
c. Promosi diri (self-promotion).
Ketika tujuan seseorang adalah supaya dilihat nampak kompeten atau ahli pada
tugas tertentu, strategi promosi diri biasanya digunakan. Orang yang
menggunakan strategi ini akan menggambarkan kekuatan-kekuatan dan berusaha
untuk memberi kesan dengan prestasi mereka. Melebih-lebihkan tentang
kemamnpuan diri dapat beresiko mereka dianggap sombong, dan tidak dapat
dipercaya. Menyadari masalah ini, cara yang digunakan adalah tidak langsung
sehingga memungkinkan orang sampai pada kesimpulan bahwa dia kompeten.
d. Pemberian contoh/teladan (Exemplification).
Orang yang menggunakan strategi ini berusaha memproyeksikan penghargaannya
pada kejujuran dan moralitas. Biasanya mereka mempresentasikan dirinya sebagai
orang yang jujur, disiplin dan baik hati atau dermawan, Kadang-kadang
penampilan yang ditunjukkan ini memang keadaan yang sebenamya, namun yang
sering pengguna strategi ini berusaha memanipulasi dan tidak tulus hati dalam
melakukannya.
e. Permohonan (supplification)
Strategi ini dengan cara memperlihatkan kelemahan atau ketergantungan untuk
mendapatkan pertolongan atau simpati. Ini merupakan altematif strategi yang
terakhir, jika orang tidak memiliki sumber-sumber yang dapat digunakan untuk
melakukan strategi-strategi yang tersebut di atas. Biasanya yang dilakukan adalah
melakukan kritik pada diri sendiri. Meskipun self-critizers cenderung menerima
dukungan dari orang lain, namun mereka akan dipersepsi sebagai individu yang
kurang berfungsi.
f. Hambatan diri (self-handicapping).
Strategi ini digunakan ketika individu merasa egonya terancam karena kelihatan
tidak mampu. Ketika orang merasa kuatir bahwa kesuksesannya sebelumnya
karena nasib baik, mereka takut gagal dalam melaksanakan tugas. Sehingga
mereka berpura-pura mendapatkan suatu hambatan (rintangan) sebelum atau
selama kejadian-kejadian yang mengancam egonya. Ini dilakukan dalam rangka
melindungi agar egonya tidak hancur sehingga harga dirinya menurun. Misalnya,
dengan tidak melakukan latihan, menggunakan obat-obat terlarang, tidak berusaha
mencoba dengan sungguh-sungguh.

16
g. Strategi presentasi diri
Memiliki tujuan untuk mempengaruhi bagaimana cara pandang orang lain tentang
diri anda, tetapi mungkin juga mengubah cara pandang anda terhadap diri anda
sendiri. Disini terdapat suatu "carryover effect", yang berpengaruh pada konsep
diri seseorang. Pemilihan strategi presentasi diri mungkin akan semakin
menonjolkan gambaran diri dan ini akan mempengaruhi perilakunya yang akan
datang. Hal ini dapat dijelaskan karena ada kecenderungan sikap atau perilaku
seseorang akan menyelaraskan dengan gambaran dirinya.
3. Gaya Presentasidiri : Self-Monitoring (PemantauanDiri)
Self-monitoring merupakan proses dimana individu mengadakan pemantauan
(memonitor) terhadap pengelolaan kesan yang telah dilakukannya individu yang
memiliki self-monitoring yang tinggi (high self- monitors) menitikberatkan pada apa
yang layak secara sosial dan menaruh perhatian pada bagaimana orang berperilaku
dalam setting atau latar sosial. Mereka menggunakan informasi ini sebagai pedoman
tingkah laku mereka. Perilaku mereka lebih ditentukan oleh kecocokan dengan situasi
daripada sikap dan perasaan mereka yang sebenamya. Mereka dapat disebut sebagai
pengelola kesan yang lihai (Skilled impression)
Sebaliknya individu yang termasuk low self-monitors cenderung lebih
perhatian pada perasaan mereka sendiri dan kurang menaruh perhatian isyarat-isyarat
(cues) situasi yang dapat menunjukkan apakah perilaku mereka sudah layak. Dalam
suatu alat tes yang dinamakan "self-monitoring Scale" yang disusun Mark Snyder
dapat diketahui bahwa temyata. orang mempunyai variasi secara dalam kesiapan dan
kemampuan untuk memantau diri mereka sendiri. Skala ini terdiri 25 item dengan
altematif jawaban Benar atau Salah yang mengukur beberapa karakteristik :
a. Seberapa jauh perhatian orang mengenai kesesuaian presentasi dirinya (contoh
"pada pesta atau perkumpulan sosial, saya tidak berusaha untuk bertindak berkata
sesuatu yang membuat orang lain akan suka).
b. Apakah dia akan mengamati orang lain untuk mengetahui bilakah I
bertingkahlaku sesuai. (contoh "ketika saya tak dapat menentukan bagaimana
bertingkah laku dalam suatu situasi, saya mengamati perilaku orang lain dan
melihat isyarat-isyarat yang diperlihatkan).
c. Kemampuan seseorang untuk memodifikasi presentasi dirinya

17
d. Apakah seseorang menggunakan taktik ingratiasi (contoh : 'Saya mungkin menipu
orang lain dengan menunjukkan ramah-tamah, ketika saya sebenar tidak menyukai
mereka).
e. Apakah orang memodifikasi perilaku mereka untuk menyegarkan suasana situasi
(contoh : "Dalam situasi yang berbeda dengan orang-orang yang berb pula, saya
selalu bertindak untuk menyenangkan mereka.
Berdasar hasil penelitian, orang yang mendapat skor tinggi pada
self-monitoring scale, akan mendapat keberuntungan dalam situasi sosial,
orang-orang akan menganggap mereka sebagai orang yang ramah dan relaks (Lippa,
1978), tidak pemalu dan lebih siap untuk mengambil inisiatif dalam berbagai situasi
(Pilkon, 1977). Tetapi kemungkinan mereka menjadi kurang dapat dipercaya dan dini
dangkal (Gergen, 1977). Sehingga dapat diangsumsikan bahwa mereka yang berada
pada tingkat self monitoring yang moderat (sedang/di-tengah-tengah) adalah yang
secara sosial ide Sebab hal ini akan membuat mereka bisa berfungsi secara efektif
dalam merepresentasikan diri mereka, tanpa menjadi "bunglon sosial".

B. Kesadaran diri (Self- awareness)


Keadaan kesadaran diri muncul ketika kita mengarahkan perhatian kita dalam
untuk memfokuskan pada isi dari diri sendiri. Menurut Brigham (1991), kesadaran diri
menunjukan derajat (seberapa jauh) perhatian diarahkan ke dalam untuk memusatkan
perhatian pada aspek-aspek dari diri sendiri. Kesadaran diri adalah hal yang sangat
penting untuk memahami konsep diri standar, nilai serta tujuan yang dimiliki seseorang.
Orang yang berada dalam kondisi kesadaran dirinya tinggi pada umumnya akan
bertingkah laku dalam cara-cara yang lebih konsisten dengan sikap dan nilai yang
dimilikinya (Gibbon, 1978; Wicklund, 1982). Mereka juga merasakan perasaannya lebih
intens (Scheier & Carver, 1977) dan menunjukkan ingatan tentang pengalaman
pribadinya dengan lebih baik (Pyror et al., 1977).
Menurut Buss, (1980) , ada dua jenis kesadaran diri yaitu kesadaran diri pribadi
private self-awareness) dan kesadaran diri publik (public self-awareness),penggolongan
ini berdasar pada : (1) keadaan mental dipengaruhi oleh stimuli ngkungan; dan (2) daya
tahan ciri sifat kepribadian yang menggambarkan aspek dari skema diri apa yang
biasanya diaktifkan (pribadi atau publik). (dalam Brigham, 1991).
Kesadaran diri pribadi adalah ketika perhatian difokuskan pada aspek-aspek yang
relatif pribadi dari diri, seperti mood, persepsi dan perasaannya. Sedangkan kesadaran diri

18
publik adalah ketika perhatian diarahkan pada aspek-aspek tentang diri yang kelihatan
(nampak) kepada orang lain, seperti penampilan dan tindakan-tindakan sosial.
Orang yang memiliki ciri khas kesadaran diri pribadi yang tinggi secara terus menerus
memusatkan perhatian pada identitas diri mereka dan sangat perhatian dengan pikiran dan
perasaannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki kesadaran
diri pribadi yang tinggi, mereka akan lebih cepat memproses informasi yang mengacu diri
sendiri, dan memiliki gambaran tentang diri sendiri lebih konsisten. Selain itu, mereka
khususnya lebih mungkin untuk melihat diri mereka sendiri yang bertanggung jawab atas
kejadian-kejadian yang menimpa mereka (causal agent). Sebaliknya, orang yang memiliki
kesadaran diri publik yang tinggi lebih menaruh perhatian pada identitas sosial mereka
dan reaksi orang lain terhadap dirinya. Selain itu, mereka cenderung lebih konform, lebih
mungkin menggunakan self-handicapping strategies, lebih tertarik pada pakaian dan
penampilan (Brigham, 1991).

C. Pengungkapan Diri (self- disdosure)


Dalam suatu interaksi antara individu dengan orang lain, apakah orang lain akan
menerima atau menolak kita, bagaimana kita ingin orang lain mengetahui tentang kita
akan ditentukan oleh bagaimana individu dalam mengungkapkan dirinya. Pengungkapan
diri (self-disdosure) adalah proses menghadirkan diri yang diwujudkan dalam kegiatan
membagi perasaan dan informasi dengan orang lain (Wrightsman, 1987). Menurut
Morton (dalam Sears, dkk., 1989) pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi
perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di dalam pengungkapan
diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu melukiskan berbagai
fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui oleh pendengar seperti, jenis
pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan
pendapat atau perasan pribadinya seperti tipe orang yang kita sukai atau hal-hal yang kita
sukai atau kita benci.
Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku,
sikap, perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat di dalam diri orang
yang bersangkutan. Kedalaman dari pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi
dan orang yang diajak untuk berinteraksi jika orang yang berinteraksi dengan kita
menyenangkan dan membuat kita merasa aman serta dapat membangkitkan semangat
maka kemungkinan bagi kita untuk lebih membuka diri amatilah besar. Sebaliknya pada

19
beberapa orang tertentu kita dapat saja menutup diri karena merasa kurang percaya
(Devito, 1992).
Dalam proses pengungkapan diri nampaknya individu-individu yang terlibat
memiliki kecenderungan mengikuti norma resiprok (timbal balik). Bila seseorang
menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada kita, kita akan cenderung memberikan
reaksi yang sepadan. Pada umumnya kita mengharapkan orang lain memperlakukan kita
sama seperti kita memperlakukan mereka (Raven & Rubin, 1983).
Seseorang yang mengungkapkan informasi pribadi yang lebih akrab daripada
yang kita lakukan akan membuat kita merasa terancam dan kita akan lebih senang
mengakhiri hubungan semacam ini. Bila sebaliknya kita yang mengungkapkan diri terlalu
akrab dibandingkan orang lain, kita akan merasa bodoh dan tidak aman (Sears, dkk.,
1988).
Kebudayaan juga memiliki pengaruh dalam pengungkapan diri seseorang. Tiap-
tiap bangsa dengan corak budaya masing-masing memberikan batas tertentu sampai
sejauh mana individu pantas atau tidak pantas mengungkapkan diri. Kurt lewin (dalam
Raven & Rubin, 1983) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa orangorang Amerika
nampaknya lebih mudah terbuka daripada orang-orang Jerman, tetapi keterbukaan ini
hanya terbatas pada hal-hal permukaan saja dan sangat enggan untuk membuka rahasia
yang menyangkut pribadi mereka. Di lain pihak, orang jerman pada awalnya lebih sulit
untuk mengungkapkan diri meskipun untuk hal-hal yang bersifat permukaan, namun jika
sudah menaruh kepercayaan, maka mereka tidak enggan untuk membuka rahasia pribadi
mereka yang paling dalam.
1. Fungsi pengungkapan diri.
Menurut Derlega dan Grzelak (dalam Sears, dkk., 1988) ada lima fungsi
pengungkapan diri, yaitu :
a. Ekspresi (expression)
Dalam kehidupan ini kadang-kadang kita mengalami suatu kekecewaan atau
kekesalan, baik itu yang menyangkut pekerjaan ataupun yang lainnya. Untuk
membuang semua kekesalan itu biasanya kita akan merasa senang bila berceritera.
pada seorang teman yang sudah kita percaya. Dengan pengungkapan diri
semacam ini kita mendapat kesempatan untuk mengekspresikan perasaan kita.
b. Penjernihan diri (self-darification)
Dengan saling berbagi rasa serta menceritakan perasaan dan masalah yang sedang
kita hadapi kepada orang lain, kita berharap agar dapat memperoleh penjelasan

20
dan pemahaman orang lain akan masalah yang kita hadapi sehingga. pikiran kita
akan menjadi lebih jemih dan kita dapat melihat duduk persoalannya. dengan
lebih baik.
c. Keabsahan sosial (sosial validation)
Setelah kita selesai membicarakan masalah yang sedang kita hadapi, biasanya
pendengar kita akan memberikan tanggapan mengenai permasalahan tersebut.
Sehingga dengan demikian, kita akan mendapatkan suatu informasi yang
bermanfaat tentang kebenaran akan pandangan kita. Kita dapat memperoleh
dukungan atau sebaliknya.
d. Kendali sosial (social control)
Seseorang dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang
keadaan dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan kontrol sosial, misalnya
orang akan mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan kesan baik tentang
dirinya.
e. Perkembangan hubungan (relationship development).
Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kita kepada orang lain serta saling
mempercayai merupakan saran yang paling penting dalam usaha merintis suatu
hubungan sehingga. akan semakin meningkatkan derajat keakaraban.
2. Pedoman dalam Pengungkapan Diri
Pengungkapan diri kadang-kadang menimbulkan bahaya, seperti resiko adanya
penolakan atau dicemooh orang lain, bahkan dapat menimbulkan kerugian material.
Untuk itu, kita harus mempelajari secara cermat konsekuensi-konsekuensinya
sebelum memutuskan untuk melakukan pengungkapan diri.
Menurut Devito (1992) hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengungkapan diri
adalah sebagai berikut :
a. Motivasi melakukan pengungkapan diri
Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa berkepentingan terhadap
hubungan dengan orang lain dan diri sendiri. Sebab pengungkapan diri tidak
hanya bersangkutan dengan diri kita saja tetapi juga bersangkutan dengan orang
lain. Kadang-kadang keterbukaan yang kita ungkapkan dapat saja melukai
perasaan orang lain
b. Kesesuaian dalam pengungkapan diri.
Dalam melakukan pengungkapan diri haruslah disesuaikan dengan keadaan
lingkungan. Pengungkapan diri haruslah dilakukan pada waktu dan tempat yang

21
tepat. Misalnya bila kita ingin mengungkapkan sesuatu pada orang lain maka kita
haruslah bisa melihat apakah waktu dan tempatnya sudah tepat.
c. Timbal balik dari orang lain.
Selama melakukan pengungkapan diri, berikan lawan bicara kesempatan untuk
melakukan pengungkapan dirinya sendiri. jika lawan bicara kita tidak melakukan
pengungkapan diri juga, maka ada kemungkinan bahwa orang tersebut tidak
menyukai keterbukaan yang kita lakokan.

D. Stigmatisasi
Stigma adalah suatu karakteristik yang dipertimbangkan tidak diinginkan oleh
kebanyakan orang. Goffman (dalam Wrihtsman, 1987) menyatakan bahwa dalam
berbagai pengalaman orang-orang lain dengan niat sengaja atau tidak sengaja memaksa
orang yang terstigmatisasi untuk memainkan peran tertentu sebagaimana yang
dikehendaki mereka. Bahkan yang sering terjadi orang melakukan suatu peran yang telah
didefinisikan oleh masyarakat bagi mereka. Hasil penelitian Weinberg dan William
(1974) secara lintas budaya mendukung pemyataan di atas, yaitu kaum gay yang
mengukuhi stereotype sosial yang tidak benar tentang mereka dapat membentuk perilaku
mereka untuk mewujudkan stereotype itu.
Ada banyak bukti yang mendukung bahwa orang yang dibuat merasa
terstigmatisasi menjadi berperilaku seolah-olah mereka dalam kenyataan yang
memalukan atau namanya tercemar. Misalnya Farina, Gliha. Boudreau, Allen dan
Sherman (1971) meneliti pengaruh keyakinan pada pasien penyakit jiwa bahwa
orang-orang lain menyadari sejarah riwayat gangguan jiwa mereka. Hasilnya
menunjukkan bahwa pasien yang memiliki keyakinan bahwa orang lain tahu status atau
riwayat gangguan jiwa mereka menunjukkan perasaan kurang menghargai diri sehingga
lebih sulit dalam mengerjakan tugas dan kinerjanya menjadi buruk. Mereka juga nampak
lebih tegang, waspada dan lebih buruk penyesuaian dirinya daripada pasien yang
memiliki keyakinan bahwa orang lain tidak tahu status mereka.

22
BAB III
DAYA TARIK INTERPERSONAL

A. Daya Tarik Interpersonal


Dalam hubungan interpersonal atau Interaksi diantara dua orang atau
lebihj terdapat aspek-aspek psikologis yang mendasarinya. Pertanyaan pertama
yang relevan adalah “mengapa orang berafiliasi dengan orang lain ?" Kemudian
pertanyam kedua adalah "faktor-faktor apa yang terpenting dalam menentukan
seberapa jauh kita menyukai seseorang?”
Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, kita akan mengkaji
bagaimana orang bisa saling tertarik, saling kenal-mengenal, bagaimana ada
gairah tarikmenarik satu sama lain bahkan sampai seseorang jatuh cinta.
Kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang, kita sebut
sebagai daya tarik interpersonal. Afiliasi : Mengapa orang membutuhkan orang
lain, mengapa orang ingin bergabung dengan orang lain ?
Keinginan untuk melakukan kontak dengan orang lain, pada umumnya
dilandasi adanya imbalan sosial yang dapat diperoleh individu jika berhubungan
dengan orang lain. Kita dapat melakukan analisa terhadap fenomena ini dari dua
hal yaitu perbandingan sosial (social comparison) dan dukungan emosional
(emotional support).
Berdasar analisa perbandingan sosial, kita membutuhkan orang lain sebagai
standar untuk mengevaluasi perilaku kita. Sementara. hubungan dengan orang
lain akan memberikan dukungan emosional dalam bentuk perhatian dan kasih
sayang.
Pada dasamya faktor-faktor yang mendukung daya tarik interpersonal secara
garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu faktor personal dan situasional. Faktor
personal berasal dari karakteristik pribadi kita. MisaInya, yang menyebabkan
saya tertarik kepada anda, boleh jadi mood saya waktu itu sedang kesepian.
Sedang faktor situasional berasal dari sifat-sifat obyektif (karakteristik) persona
stimuli. Misalnya, yang menyebabkan saya tertarik kepada anda karena anda
cantik.
Pada umumnya beberapa faktor yang dianggap sangat penting dalam
menentukan daya tarik interpersonal adalah :
1. Kesamaan (similarity).

23
Kita cenderung menyukai orang yang sama dengan kita dalam sikap, nilai,
minat, latar belakang dan kepribadian. Banyak kebenaran dalam pepatah
kuno: "birds of the same feather flock together". Mengapa kesamaan menjadi
faktor penting sebagai penentu daya tarik interpersonal ? Ada berbagai
alasan yang bisa dikemukakan :
Pertama, menurut acuan teori Konsistensi Kognitif dari Heider, jika kita
menyukai orang, kita ingin mereka memilih sikap yang sama dengan kita. Hal
ini, supaya seluruh unsur kognitif kita konsisten. Anda resah kalau orang yang
anda sukai menyukai apa yang anda benci.
Kedua, Don Byme menunjukkan hubungan linear antara daya tarik dengan
kesamaan, dengan menggunakan teori Peneguhan dari Behaviorisme.
Persepsi tentang adanya kesamaan mendatangkan ganjaran, dan perbedaan
tidak mengenakkan. Kesamaan sikap orang lain dengan kita memperteguh
kemampuan kita dalam menafsirkan realitas sosial. Orang yang mempunyai
kesamaan dengan kita cenderung menyetujui gagasan kita dan mendukung
keyakinan kita tentang kebenaran pandangan kita.
Ketiga, pengetahuan bahwa orang lain adalah sama dengan anda,
meyebabkan anda mengantisipasi bahwa interaksi di masa datang akan
positif dan memberi ganjaran.
Terakhir, kita cenderung berinteraksi lebih akrab dengan orang yang memiliki
kesamaan dengan kita, merekapun juga menjadi lebih kenal dengan kita.
Perbedaan kepribadian dapat menjadi moderator bagi efek kesamaan ini.
Leonard (1975) menemukan bahwa kesamaan sebenamya akan mengurangi
ketertarikan ketika orang memiliki konsep diri yang negatif. Orang yang
memiliki konsep diri rendah lebih tertarik dengan orang-orang yang tidak
sama dengan mereka. Jamieson, Lydon, dan Zanna (1978) menemukan
bahwa individu yang memiliki self-monitoring rendah lebih dipengaruhi oleh
kesamaan sikap. Sebaliknya high self-monitors tertarik kepada orang lain
yang memiliki kesamaan pada aktivitas yang mereka sukai daripada
kesamaan dalam sikap dan nilai.
2. Kedekatan (proximity)
Orang cenderung menyukai mereka yang tempat tinggalnya berdekatan.
Persahabatan lebih mudah timbul (tumbuh) diantara tetangga yang

24
berdekatan. Atau diantara mahasiswa yang berdekatan. Apa yang membuat
orang berdekatan saling menyukai ?
Pertama, kedekatan biasanya meningkatkan keakraban. Kita lebih sering
berjumpa dengan tetangga sebelah kita daripada orang yang ada di jalan.
Eksposur yang berulang ini dapat meningkatkan rasa suka.
Kedua, kedekatan sering berkaitan dengan kesamaan.
Ketiga, orang yang dekat secara fisik lebih mudah didapat daripada orang
yang jauh. Kemudahan ini mempengaruhi keseimbangan ganjaran dan
kerugian interaksi, Hal ini sesuai dengan persepsi teori Pertukaran Sosial.
Diperlukan sedikit usaha untuk mengobrol dengan tetangga sebelah.
Sebaliknya, hubungan jarak jauh membutuhkan waktu, perencanaan dan
biaya yang relatif tinggi.
Keempat, berdasar teori Konsistensi Kognitif kita berusaha mempertahankan;
keseimbangan antara hubungan perasaan dan hubungan kesatuan kita.
Secara lebih spesifik, kita dimotivasi untuk menyukai orang yang ada
kaitannya dengan kita dan untuk mencari kedekatan dengan orang yang kita
sukai. Tinggal atau bekerja berdampingan dengan orang yang tidak kita sukai
akan menimbulkan tekanan psikologik, sehingga kita mengalami tekanan
kognitif untuk menyukai orang yang ada hubungannya dengan kita.
Kelima, orang memiliki harapan untuk berinteraksi lebih sering dengan
mereka yang tinggal paling dekat dengannya. Hal ini, menyebabkan ia
cenderung untuk menekankan aspek-aspek positif dan meminimalkan aspek
negatif dari hubungan itu sehingga hubungan di masa datang akan lebih
menyenangkan.
3. Keakraban (familiarity)
Kekerapan berhadapan dengan seseorang akan meningkatkan rasa suka kita
terhadap orang itu. Robert Zajonc (1968) perintis dari riset tentang : efek
terpaan" (mere exposure effect). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
orang mengembangkankan perasaan positif pada obyek dan individu yang
sering mereka lihat.
4. Daya tarik fisik
Dalam masyarakat kita biasanya muncul stereotip daya tarik fisik, yang
mengasumsikan bahwa "apa yang cantik adalah baik". Berdasar hanya
pengamatan sepintas, orang akan membuat suatu kesimpulan tentang

25
sejumlah asumsi kepribadian dan kompetensi, berdasar semata-mata hanya
pada penampilan.
Penelitian Dion, Berscheid, dan Walster (1972) tentang penilaian orang pada
wajah cantik, membuktikan bahwa mereka cenderung dinilai akan lebih
berhasil dalam hidupnya, dan dianggap memiliki sifat-sifat baik. Beberapa
penelitian lain mengungkapkan bahwa karangan orang yang dipandang cantik
dinilai lebih baik daripada karangan serupa yang dibuat oleh orang yang
dipandang jelek (Landy & Sigall, 1974). Orang cantik atau tampan juga lebih
efektif dalam mempengaruhi pendapat orang lain (Harai, Naccara dan
Fatoullah, 1974), dan biasanya diperlakukan lebih sopan (Freeman, dkk.
1977).
Mengapa daya tarik fisik menjadi salah satu faktor penting ? Salah satu
alasannya karena sebagaimana ras dan jenis kelamin, penampilan fisik
adalah sumber informasi yang tampak dan dengan cepat mudah didapat. jika
informasi karakteristik personal lain seperti inteligensi atau kebaikan hati tidak
cepat tersedia dan kurang menonjol.
Demikian juga, kecantikan bagi pasangan dapat meningkatkan harga diri
(radiating beauty effect). Meskipun penampilan fisik mungkin juga akan
berakibat negatif, artinya seseorang yang dikelilingi orang cantik nampak
menjadi kurang menarik karena adanya proses perbandingan. Hal ini
disebabkan adanya "contrast effect".
Daya tarik fisik sendiri dapat mempengaruhi kepribadian si pemiliknya. Kita
dapat mengidentifikasikan tiga faktor sosial yang berkaitan dengan daya tarik
fisik (Adams, 1977). Pertama, orang-orang memiliki harapan yang berbeda
tentang individu yang menarik penampilan fisiknya dengan yang tidak. Kedua,
orang-orang yang secara fisik menarik menerima perlakuan yang berbeda
dan lebih mendapatkan keberuntungan dalam pertukaran sosial. Ketiga,
perlakuan yang berbeda akan mengarahkan pada perbedaan kepribadian dan
ketrampilan sosial (social skill), barangkali ini disebabkan oleh keinginan
memenuhi diri sendiri (self- fulfilling prophecy).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki daya tarik
fisik cenderung memiliki harga diri tinggi daripada anak yang kurang menarik
fisiknya (Maruyama & Miller, 1981) dan cenderung kurang agresif
dibandingkan anak-anak yang kurang menarik. Selain itu, mereka cenderung

26
memiliki hubungan yang lebih baik, lebih asertif dan percaya diri (Dion &
Stein, 1978; Jackson & Houston, 1975).
5. Kemampuan (Ability).
Menurut teori Pertukaran Sosial dan Reinforcement, ketika orang lain
memberi ganjaran atau konsekuensi positif pada kita, maka kita cenderung
ingin bersama dan menyukainya. Orang yang mampu, kompeten dan pintar
dapat memberil beberapa ganjaran (keuntungan) kepada kita. Mereka dapat
membantu kita dalam menyelesaikan masalah, memberikan nasehat,
membantu kita menafsirkan kejadian-kejadian yang ada, dan sebagainya.
Hal, ini menyebabkan orang yang kompeten, orang yang pintar lebih disukai
daripada yang tidak kompeten atau tidak pintar. Suatu perkecualian yang
menarik adalah hasil telaah Aronson, Willerrman & Floyd (dalam Brigham,
1991) yang menemukan bahwa orang yang paling disenangi justru orang
yang memiliki kemampuan tinggi tetapi menunjukkan beberapa kelemahan. la
menciptakan empat kondisi eksperimental : (1) orang yang memiliki
kemampuan tinggi dan berbuat salah; (2) berkemampuan tinggi tapi tidak
berbuat salah; (3) orang yang memiliki kemampuan rata-rata dan berbuat
salah; (4) yang berkemampuan rata-rata dan tidak berbuat salah. Orang yang
pertama ( paling menarik, dan orang ketiga dinilai paling tidak menarik. Orang
yang sempuma tanpa kesalahan adalah yang kedua dalam hal daya tarik.
Dan orang biasa tidak berbuat salah menduduki urutan ketiga.
Tetapi beberapa penelitian berikutnya, kebanyakan menunjukkan bahwa
kesalahan mengurangi daya tarik bahkan meskipun hal itu terjadai pada
orang memiliki kompetensi tinggi (Brigham, 1991).
6. Tekanan emosional (stress).
Bila orang berada dalam situasi yang mencemaskan atau menakutkan,ia
cenderung menginginkan kehadiran orang lain. Sehingga timbul rasa suka
orang tersebut. Hasil penelitian Schahter menunjukkan bahwa subyek dengan
rasa takut tinggi lebih ingin berafiliasi dibandingkan subyek dengan rasa takut
rendah. Semakin besar rasa takut, semakin besar kecenderungan untuk
berafiliasi.
Pertanyaan yang diajukan : proses psikologik apa yang terdapat pada orang
itu sehingga terjadi hal demikian ? Dua kemungkinan telah diselidiki. Yang
pertama adalah hipotesis pengalihan : orang yang merasa takut berafiliasi

27
untuk mengalihkan pikiran mereka dari masalah yang mereka hadapi. Dalam
hal ini tidak banyak dipersoalkan dengan siapa mereka berafiliasi. Yang
kedua, adalah hipotesis diajukan teori perbandingan sosial
(Social-comparison Theory) : orang beraafiliasi untuk membandingkan
perasaan mereka sendiri dengan perasaan orang lain dalam situasi yang
sama. Bila kita berada dalam situasi yang baru atau luar biasa dan
mempunyai kepastian tentang bagaiman kita harus bereaksi, kita meminta
bantuan orang lain sebagai sumber informasi. Dalam hal ini, penting bagi kita
untuk berafiliasi hanya dengan orang yang menghadapi situasi yang sama.
Beberapa telaah telah menguji dua kemungkinan ini, dan hasilnya tetap
mendukung hipotesis perbandingan sosial.
7. Munculnya perasaan atau mood yang positif.
Kita cenderung tertarik atau suka kepada orang dimana kehadirannya,
berbarengan dengan munculnya perasaan positif, bahkan meski perasaan
positif yang muncul tidak berkaitan dengan perilaku orang tersebut. Beberapa
telaah menunjukkan bahwa kita cenderung tertarik pada orang-orang yang
kita jumpai saat sekeliling kita menyenangkan. Misalnya, orang lebih menilai
positif orang lain ketika mereka duduk bersama dalam.ruang dengan suhu
yang nyaman daripada dalam ruang yang panas (griffitt, 1970). Sebaliknya,
ketertarikan kepada orang lain berkurang ketika sekeliling kita padat, bising
atau tercemar (Rotton et al., 1978; Glass & Singer, 1972).
8. Harga diri yang rendah
Dari hasil penelitian, Elaine walster menarik kesimpulan, bahwa bila harga diri
direndahkan, hasrat afiliasi (bergabung dengan orang lain) bertambah, dan ia
makin responsive untuk menerima kasih sayang orang lain.

B. Hubungan Yang Erat (jangka Panjang)


Hubungan yang dilakukan antar individu kadang-kadang hanya
berlangsung singkat, tetapi dapat juga berlangsung lama. Hubungan yang
berlangsung lama biasanya ditandai oleh derajat keeratan yang semakin kuat.
Menurut Kelley (dalam Sears, dkk., 1988), suatu hubungan dapat disebut
hubungan yang erat bila di dalamnya terdapat interdependensi yang kuat dan
biasanya memiliki beberapa ciri khas:
1. ada frekuensi interaksi yang kerap untuk waktu yang relatif panjang;

28
2. melibatkan bermacam-macam bentuk kegiatan atau peristiwa.
3. Saling pengaruh yang kuat mewamai hubungan kedua orang tersebut.
Misalnya, persahabatan merupakan sumber perasaan-perasaan yang positif
seperti cinta,kasih sayang, dan perhatian. Akan tetapi, diakui juga bahwa
emosi-emosi yang kuat seperti rasa marah, cemburu, dan putus asa
seringkali muncul dalam hubungan yang erat.
Hubungan antar individu untuk menjadi suatu hubungan yang erat atau
berlangsung dalam waktu yang relatif panjang (long- term relationship) biasanya
melewati suatu tahapan atau proses. Ada beberapa model pendekatan atau teori
yang berusaha menjelaskan fenomena ini.
Pertama, Model interdependensi antara dua orang dikembangkan oleh
Levinger & Snoek (1972). Mereka menggambarkan beberapa tahap kontak,
dimulai dengan tahap menyadari, dan kontak permukaan, dan jika berlangsung
baik, interdependensi semakin mendalam dan akhimya mutualitas. Pada tahap
awal, kedua orang sama sekali tidak menyadari satu sama lain. Mereka berada
di titik yang disebut Zero contact. Mereka sampai pada tahap menyadari bila
salah satu mulai merasakan atau mempelajari sesuatu tentang yang lain, tetapi
belum terjadi kontak langsung. Tahap berikutnya disebut kontak permukaan
(dasar). Di sini kedua orang itu mulai berinteraksi, mungkin melalui percakapan
atau surat-menyurat. Kontak dasar ini merupakan awal dari interdependensi, dan
bahkan dari suatu hubungan. Bila derajat interdependensi bertambah, orang
memasuki tahap mutualitas. Mutualitas merupakan suatu kontinuum
interdependensi, mulai dari yang intensitasnya kurang kuat (hanya sedikit
perpotongan antara dua lingkaran) sampai yang kuat (perpotongan semakin
besar). Contoh yang sederhana adalah meningkatnya pengalaman mutualitas
dari dua orang yang mula-mula berkenalan biasa lalu menjadi sahabat karib
(Sears, dkk., 1988).
Kedua, teori Penetrasi sosial yang dikembangkan oleh Altman dan Taylor
juga menyorot tentang tahap-tahap perkembangan hubungan dari tahap yang
permukaan sampai menjadi akrab (intim). Walaupun hubungan tidak selalu
mengikuti tahapan itu secara pasti, tetapi biasanya langkah-langkah yang
semakin maju akan mereka lalui. Karena dua orang yang berhubungan semakin
dekat, maka disini akan terjadi peningkatan dalam keluasan wilayah pribadi dan
kedalaman yang saling diungkapkan. Proses itu adalah sebagai berikut :

29
1. Tahap orientasi. Interaksi terbatas pada pembicaraan yang sedikit, dangkal
(permukaan) dan impersonal. Orang biasanya hati-hati dan mencoba dalam
tahap ini.
2. Pertukaran penjajakan afeksi (Exploratory Affective Exchanges). Pada tahap
ini ada kesediaan untuk membolehkan orang lain mengetahui atau
memahamimu dengan baik.
3. Pertukaran afeksi (Affective Exchange). Interaksi.melibatkan beberapa aspek
pribadi. Disini terjadi peningkatan komunikasi yang menitikberatkan pada
wilayah pribadi, bahkan ungkapan perasaan intim sering ditunjukkan.
4. Pertukaran yang stabil (Stable exchange). Tahap ini biasanya jarang dicapai
dalam suatu hubungan. Tahap ini ditandai adanya pemahaman yang baik
diantara dua orang yang berhubungan dan kesiapan masing-masing untuk
menafsirkan dan meramalkan perasaan dan perilaku orang lain.
Ketiga, Stimulus-value-role model ( Murstein 1987) mengemukakan
bahwa pemilihan teman terjadi dalam tiga tahap. Pada tahap stimulus, dua orang
saling tertarik satu sama lain. Biasanya stimulus ini adalah penampilan fisik.
Berikutnya memasuki tahap nilai (value stage), dimana dua orang mencari
sejauh mana mereka memiliki kemiripan dalam nilai (values) dan sikap. Akhimya,
pada tahap peran (roel-stage), pasangan itu mulai melaksanakan peran-peran
dalam hubungan mereka.

30
BAB IV
TEKNIK-TEKNIK DALAM SOSIOMETRI

1. Analisa Hubungan atau Sosiometri self-rating


Teknik ini adalah suatu perluasan test sosiometri . Melibatkan penggunaan
sosiometri self-rating atau prediksi dari seseorang dalam memilih, contoh : Apa yang
anda pikirkan tentang pilihan anda ?. Metode ini pertama kali dikekembangkan oleh
Moreno (1942) dalam hubungannnya dengan pelatihan persepsi subyek yang mengulang
terus yang lain percobaan sosiometri.
Tagiuri (1952) menekuni dan mengambangkan pendekatan ini dengan istilah
relational analysis dan telah diindikasi penggunaannya adalah dalam study persepsi
sosial. Langkah selanjutnya subyek diminta untuk memberikan perkiraan semua pilihan
sosiometri pada semua anggota didalam kelompok. Ketepatannya dengan melihat apa
yang individu pilih dan tolak dari kelompok dan dibawah situasi yang penyimpangan
sistematik dari persepsi ini yang kelihatannya berlangsung pada variabel tambahan yang
penting dalam situasi sosiometri.

2. Metode Skala
Studi pengembangan dari Gardner dan Thompson (1956) mencoba untuk
menggabungkan tradisional psikometri kedalam kerangka pengukuran sosiometri. Pada
awalnya mereka menggunakan system kebutuhan Murray’s untuk mengerti kelompok
dalam kaitannya dengan kepuasan yang dapat diberikan kelompok untuk anggota didalam
kelompok. Kelompok merancang suatu desain skala agar individu memberikan penilaian
atau beban pada anggota dalam kelompok dengan kapasitas mereka untuk memenuhi
kebutuhan berikut : afiliasi, berteman, menolong dan berprestasi – penghargaan. Yang
termasuk dalam skala adalah rangkaian dorongan memilih pada anggota kelompok dan
hasil dalam menilai setiap variabel dari subyek satu untuk subyek lainnya dalam suatu
kelompok. Terbukti bahwa skala menghasilkan nilai interval dan penilaian dengan
memuaskan dapat dipercaya.

31
Skala partisipasi kelompok yang digunakan pada tes sosiometri dalam tiga
kelompok yaitu:
1. Nilai distribusi normal
2. Yang masuk dalam batas nilai operasional
3. Persetujuan dari anggota kelompok dalam memberikan pilihan

3. Catatan Pilihan Kelompok


Dalam teknik sosiometri ini meminta anggota kelompok untuk merespon suka,
tidak suka atau membiarkan saja anggota dalam kelompok (Newstetter, Feldstein and
Newcomb 1938). Berbeda dengan tes sosiometri yang konvensional terutama dalam
memberikan dorongan evaluasi pada semua anggota kelimpik oleh subyek atau individu.
Hal ini sering digunakan dalam mengkombinasi beberapa system pada pilihan yang perlu
dipertimbangkan.

4. Survey Sosiometri Multirelational


Teknik ini dengan mengkombinasikan beberapa data tambahan (Massarik et al,
1953, Weschler, Tannenbaum and Talbot, 1952). Adaptasi dari dua pertanyaan/kriteria
yang digunakan organisasional baik untuk tujuan langsung maupun tujuan tidak
langsung. Untuk masing-masing aktivitas tujuan langsung ada lima hubungan yaitu :
1. Yang ditentukan, menggambarkan pemimpin-pemimpin dalam organisasi atau skema
organisasi
2. Yang dilakukan, menggambarkan laporan subyek pada hubungan yang ditentukan
3. Hubungan nyata yang subyek laporkan
4. Keinginan, hubungan yang normal yang dipastikan oleh tes sosiometri positif
5. Menolak, hubungan yang normal yang dipastikan oleh tes sosiometri negative

5. Perkiraan Waktu
Alternatif prosedur lain pada tes sosiometri yang dikemukakan oleh Moreno,
Jennings dan Sargent (1940) dengan menggunakan perkiraan waktu yaitu mengukur
intesintas pilihan. Pada teknik ini peneliti meminta pada anggota kelompok untuk
memperkirakan proporsi pada waktu, memberikan suatu batas yang mereka inginkan
untuk interaksi dengan anggota kelompok lain dalam aktivitas. Modifikasi yang
dilakukan subyek diminta untuk membuat pilihan dengan tingkat yang diharapkan atau
diinginkan. Penggunaan waktu terutama untuk memberikan kebebasan dalam

32
mempertimbangkan membuat pilihan. Modifikasi kedua, memberikan respon pada level
yang diharapkan dan diminta untuk melaporkan fakta dari interaksi.

6. Teknik Guess-Who
Teknik hubungan tes sosiometri ini digunakan untuk mengidentifikasi atau
menanyakan siapa kira-kira orangnya. Teknik ini dikemukakan oleh Hartshorne, May dan
Maller (1929). Teknik ini meliputi berbagai uraian perilaku dan meminta mereka
memperkirakan siapa dari anggota kelompok yang uraiannya terbaik sesuai dengan
keinginannya.
7. Penilaian Daya Tarik Antar Pribadi
Variabel tergantung pada penelitian sosiometri adalah konsep dengan derajat
atraksi atau intensitas yang disukai, pengukuran ini tidak perlu ada batasan seperti
penamaan, pemilihan atau merangking pemilihan teman. Yang diukur dalam teknik ini
adalah respon atraksi/tanggapan daya tarik.

33
BAB V
MATRIK

A. Angket
Angket (self- administered questionnaire) adalah teknik pengumpulan data de-
ngan menyerahkan atau mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh
responden. Responden adalah orang yang memberikan tanggapan (respons) atas - atau
menjawab - pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Untuk dapat menggunakan teknik ini,
tentu saja para responden harus mempunyai tingkat pendidikan yang memadai untuk
dapat membaca dan menuliskan jawabannya.
Keuntungan teknik angket adalah :
1. Angket dapat menjangkau sampel dalam jumlah besar karena dapat dikirimkan
melalui pos.
2. Biaya yang diperlukan untuk membuat angket relatif murah.
3. Angket tidak terlalu mengganggu responden karena pengisiannya ditentukan oleh
responden sendiri sesuai dengan kesediaan waktunya.
Kerugian teknik angket adalah:
1. Jika angket dikirimkan melalui pos, maka persentase yang dikembalikan relatif
rendah.
2. Angket tidak dapat digunakan untuk responden yang kurang bisa membaca dan
meniilis.
3. Pertanyaan-pertanyaan dalam angket dapat ditafsirkan salah dan tidak ada
kesempatan untuk mendapat penjelasan.
Pertanyaan-pertanyaan dalam instrumen penelitian dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup.
1. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yarig jawabannya tidak disediakan se-
hingga responden bebas menuliskan jawabannya sendiri.
2. Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang jawabannya sudah disediakan
sehingga responden hanya tinggal memilih salah satu jawaban yang sudah
disediakan dengan memberikan tanda, misalnya melingkari huruf di depan
jawaban yang dipilih.
Keuntungan pertanyaan terbuka adalah memberikan kebebasan kepada responden
untuk memberikan jawaban yang sesuai dengan pandangannya. Kerugiannya adalah sulit

34
mengolahnya karena harus membaca semua jawaban yang diberikan dan kemudian
menggolong-golongkannya.
Keuntungan pertanyaan tertutup adalah mudah mengolahnya. Kerugiannya adalah
tidak memberikan kebebasan kepada responden untuk memberikan jawabannya. Untuk
mengatasi hal ini, biasanya dibuat gabungan antara pertanyaan tertutup dan pertanyaan
terbuka, yaitu setelah diberikan sernua pilihin jawaban, diberikan alternatif secara terbuka
untuk menuliskan jawaban lainnya, yaitu "lain- lain". Sebelum membuat
jawaban-jawaban untuk pertanyaan tertutup, dapat dilakukan studi pendahuluan untuk
mengetahui variasi jawaban yang mungkin diberikan oleh responden.
Dalam membuat jawaban alternatif untuk pertanyaan tertutup, atau dalam
menggolong-golongkan jawaban yang diberikan pada pertanyaan terbuka, perlu
memperhatikan ketentuan-ketentuan berikut:
1. Penggolongan hanya didasarkan atas satu prinsip atau satu dimensi. Syarat ini
adalah untuk menghindari agar seseorang tidak dapat masuk ke dalam lebih dari
satu golongan.
2. Golongan-golongan yang dibuat harus saling meniadakan (mutually exclusive),
artinya jika seseorang sudah dimasukkan ke dalam satu golongan, ia tidak dapat
dimasukkan ke dalam golongan lainnya.
3. Golongan-golongan yang dibuat liarus menyeluruh (exhaustive), artinya tidak
seorang pun yang tidak termasuk ke dalam salah satu golongan-yang dibuat.
Terdapat beberapa pedoman yang harus diperhatikan dalam membuat
pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan untuk instrumen penelitian. Pedoman
tersebut adalah sebagai berikut (Rubin & Babbie, 1989) :
1. Pertanyaan atau pernyataan yang dibuat harus jelas dan tidak meragukan. Syarat
ini terutama sekali penting untuk angket karena responden tidak mempunyai
kesempatan untuk bertanya.
2. Hindari pertanyaan atau pernyataan ganda. Dalam satu nomor, pertanyaan yang
harus dijawab atau pernyataan yang harus ditanggapi oleh responden harus
mengandung satu ide saja. jawaban atas pertanyaan atau tanggapan atas
pernyataan yang mengandung lebih dari satu ide akan tidak jelas dimaksudkan
untuk bagian pertanyaan atau pernyataan yang mana. Mungkin saja responden
tidak mau menjawab atau menanggapi karena dia sependapat dengan bagian
pernyataan yang satu, tetapi tidak sependapat dengan bagian pernyataan yang lain.
Sebagai pegangan, jika suatu nomor pertanyaan atau pernyataan mengandung kata

35
dan, maka perlu diteliti kembali apakah ini merupakan pertanyaan atau pernyataan
ganda (double- barreled questions).
3. Responden harus mampu menjawab. Syarat ini dimaksudkan untuk mendapat
jawaban yang dapat dipercaya.
4. Pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan harus relevan. Relevansi di
sini adalah berkenaan dengan tujuan penelitian dan tentunya sesuai dengan
responden yang tepat. Walaupun pertanyaan atau pernyataan relevan dengan
tujuan penelitian, namun apabila respondennya tidak sesuai, maka data yang
diperoleh tidak akan bermanfaat.
5. Pertanyaan atau pernyataan yang pendek adalah yang terbaik. Ini untuk
menghindari ketidak jelasan yang sering timbul dengan pertanyaan atau
pernyataan yang panjang sehingga menjadi lebih rumit.
6. Hindari pertanyaan, pernyataan, atau istilah yang bias, termasuk tidak
menanyakan pertanyaan atau mengajukan pernyataan yang sugestif, yaitu yang
mendorong responden untuk menjawab atau menanggapi ke arah tertentu.
Urutan pertanyaan juga perlu diperhatikan. Rubin dan Babbie (1989),
menyarankan urutan yang berbeda antara angket dan wawancara. Untuk angket, mereka
menyarankan agar dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang menarik dan tidak dengan
pertanyaan-pertanyaan yang sensitif atau yang sangat pribadi. Sedangkan
pertanyaan-pertanyaan untuk identitas, disarankan untuk ditanyakan pada bagian terakhir.
Untuk wawancara, pertama kali perlu dijalin hubungan baik dengan responden.
Setelah menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, tanyakanlah data tentang identitas
yang mudah dijawab. Selanjutnya, secara bertahap menanyakan pertanyaan-pertanyaan
yang lebih sulit atau mendalam.
Format instrumen perlu dibuat secara menarik dan juga mudah diisi. Petunjuk
pengisiannya harus jelas, misalnya dengan meminta membubuhkan tanda cek (V) atau
memberikan lingkaran. Ada juga pertanyaan yang setelah dijawab akan mengarahkan
pada pertanyaan beberapa nomor berikutnya. Dalam hal yang demikian, harus terdapat
petunjuk yang jelas.
Angket yang dikirimkan harus disertai surat pengantar yang menjelaskan maksud
dan tujuan penelitian serta siapa penelitinya. Perlu juga dilampirkan sampul
pengembalian yang sudah beralamat dan sudah berprangko cukup.
Contoh :

36
Misalnya untuk memilih teman-teman kelompok untuk bekerja bersama, dapat
berbentuk
1. Siapakah di antara teman-teman anda yang anda pilih sebagai teman kelompok
untuk bekerja sama
a. ………………………………………….. alasan …………………………….
b………………………………………….. alasan ……………………………
c ……………………………………….. alasan ………………………….
2. Siapakah di antara teman-teman anda tersebut yang anda pilih sebagai ketua
kelompok :
a. ………………………………………….. alasan …………………………….
b………………………………………….. alasan ……………………………
c ……………………………………….. alasan ………………………….
3. Siapakah di antara teman-teman anda yang tidak anda sukai sebagai teman untuk
bekerja sama :
a. ………………………………………….. alasan …………………………….
b………………………………………….. alasan ……………………………
c ……………………………………….. alasan ………………………….
Dengan contoh-contoh tersebut di atas dapat kami kemukakan bahwa dalam.
individu memilih atau menolak dapat menggunakan tiga intensitet atau tiga kemungkinan.
Namun hal ini tidak mutlak harus demikian. Dapat juga hanya satu intensitet (contoh
nomor 2) atau dapat juga dengan yang lebih dari tiga.
Dari contoh tersebut di atas ada 2 bentuk :
1. Bentuk pemilihan, yaitu sebagai arah yang positif (contoh nomor 1 dan 2).
2. Bentuk penolakan, yaitu sebagai arah yang negatif (contoh nomor 3).
Tentang bentuk nama yang akan digunakan tergantung kepada apa yang akan
dicapainya. Dengan cara ini dapat diketahui siapa-siapa yang populer dan sebaliknya
dapat diketahui pula siapa-siapa yang terasing (ditolak) oleh teman-temannya. Hal ini
adalah sangat penting sebab dengan demikian dapat mengetahui kedudukan
masing-masing individu di dalam hubungan sosialnya untuk menentukan
langkah-langkah yang lebih lanjut.

B. Analisis Matrik
Sebuah matriks terdiri dari suatu tabel yang dalam deretan (horisontal) dan kolom
(vertikal) mempersoalkan pilihan sosial dari para anggota kelompok. Nama dari

37
responden yang memilih dicatat dalam kolom (vertikal) dan pilihan mereka dicatat
horisontal dalam deretan yang bersangkutan. Intensitas dari pilihan (yaitu pilihan
pertama, kedua dan seterusnya) maupun penolakan sosial dapat disebutkan dengan tanda
khusus.

A B C D E F G H I J
A 1 2
B 1 2
C 1 2
D 1 2 -
E 2 1
F 2 1
G 2 1 -
H 1 2
I 2 1
J 1 2
Jumlah - 3 5 1 1 3 1 6 - 2

Dari matriks di atas ini nampak dengan jelas bahwa responden H adalah paling
populer dengan mendapat enam pilihan (4 pilihan pertama dan 2 pilihan kedua),
kemudian responden C dengan lima pilihan (2 pilihan pertama dan 3 pilihan kedua),
sedang responden J adalah responden yang paling tidak disukai dengan 2 penolakan sosial
dan tidak dipilih sama sekali (walaupun J memilih G yang. sebaliknya justru menolak J;
suatu contoh dari hubungan yang tidak harmonis). Responden 1 adalah neglectee,
memilih responden C dan H, tetapi ia sendiri tidak dipilih; demikian juga responden A.
Contoh dari mutual pair adalah responden B dan C yang masing-masing saling memilih
dengan intensitas besar (pilihan pertama) C dan F juga merupakan mutual pair dengan
intensitas lebih kecil (pilihan kedua). Demikian juga responden B dan H, walaupun tidak
dengan intensitas yang sama.
Pembuatan suatu matriks sosiometris biasanya mendahului penyusunan suatu
sosiogram. Dengan bertitik tolak dari responden yang menerima sejumlah besar pilihan
maka penggambaran sosiogram dapat dipermudah.
Apa yang dicapai dengan questionnaire pada umumnya diolah lebih lanjut. Hasil
dari questionnaire itu dikumpulkan dan dimasukkan dalam daftar tabulasi (di tabulasikan)
dan dikalkulir. Dengan hasil kalkulasi itu maka kita buat hasil sosiometri itu, menjadi
sosiogram. Untuk membuat sosiogram ini dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu. dengan

38
sistem grafis dan sistem sirkuler (target system); tetapi kedua-duanya harus melalui
tabulasi.

PEMILIHAN
Gambar 3

Berdasarkan jawaban-jawaban tiap anggota kelompok itu dapatlah dibuat sebuah


sosiogram yang memperlihatkan dengan jelas bagaimana layaknya saling hubungan antar
anggota kelompok sesuai dengan peranan sosial yang mereka pegang di dalam interaksi
dalam kelompok itu. Sosiogram merupakan hasil penelitian sosiometris, dan dengan
menganalisis sebuah sosiogram itu dapatlah kita ambil bermacam-macam kesimpulan
mengenai saling hubungan antar anggota kelompok yang diteliti.

39
BAB VI
SOSIOGRAM

Sebuah sosiogram adalah suatu diagram yang menunjukkan penerimaan dan


penolakan sosial dari anggota-anggota suatu kelompok secara grafis. Teknik tersebut
sederhana sekali. Dijelaskan kepada para responden untuk tujuan apa mereka dipersilakan
mengadakan sejumlah pilihan (positif dan negatif) dan kemudian para responden (anggota
kelompok) menulis pilihan mereka serta nama sendiri di atas sehelai kertas. Baik teknik
kuestioner maupun schedule dapat dipakai asal saja selalu dijelaskan kepada responden atas
dasar kriterium apa mereka diminta untuk mengadakan pilihan.
Sudah tentu sangatlah penting untuk mempersoalkan kriterium dengan responden
sebab pilihan yang dilakukan tergantung pada masalah (misalnya memilih anggota kelompok
untuk ikut serta mendaki gunung mungkin sekali akan sangat berbeda daripada pilihan untuk
main gaple atau menonton film). Kalau masing-masing pilihan diketahui, maka peneliti dapat
menggambarkan hasil pilihan tersebut sehingga kita dapat melihat pola-pola pilihan positif
dan negatif dari para anggota kelompok. Gambar grafik sedemikian mudah dipahami asal
saja jumlah pilihan yang diijinkan dibatasi.
Jika tidak, maka dengan sendirinya diagram tersebut akan jadi ruwet sekali dan
malahan tidak akan mencapai tujuannya. Biasanya masing-masing responden/anggota
kelompok digambarkan dalam suatu sosiogram melalui lingkaran-lingkaran kecil yang
menyebutkan nama-nama mereka. Melalui garis-garis lurus (misalnya) dapat dijelaskan
hubungan/pilihan positif antara anggota-anggota kelompok. Bagi penolakan sosial dapat
dipakai garis yang terputus-putus, sedangkan prioritas dalam pilihan (yaitu pilihan pertama,
kedua dan seterusnya) dapat dijelaskan dengan angka atau dengan warna yang berbeda-beda.
Suatu terminologi khusus telah diperkembangkan untuk menjelaskan konfigurasi-konfigurasi
sosiometris yang timbul sebagai akibat pilihan responden, seperti: mutual pair, isolate, star
(overchosen), refectee, chain dan sebagainya.

A. Konfigurasi Sosiometris
Di bawah ini kita akan memberi contoh mengenai masing-masing konfigurasi
tersebut. Sebelumnya kita akan mempersoalkan arti dari terminologi yang dipakai.
1. Star :

1
Salah satu responden disifatkan sebagai star kalau ia dipilih secara tidak setimpal oleh
anggota lain dari kelompoknya. Lindzey (1959 - 411) mengusulkan istilah
"overchosen”daripada "star". istilah tersebut dapat dipakai bagi salah seorang anggota
kelompok yang menerima sejumlah besar pilihan, terlepas dari konfigurasinya.
2. Mutual pair:
Pilihan timbal balik di antara anggota-anggota kelompok.
3. Isolate:
Salah seorang responden yang tidak memilih dan tidak dipilih; seperti telah
disindirkan oleh nama "isolate" maka orang tersebut diisolasi dalam kelompoknya.
4. Neglectee:
Responden yang memilih tetapi tidak dipilih, baik sebagai pilihan pertama maupun
sebagai preferensi yang lebih lanjut
5. Rejectee:
Responden yang menerima pilihan negatif (penolakan sosial).
6. Chain:
Subkelompok dari responden yang berhubungan melalui pilihan timbal balik (pairs).

Keenam konfigurasi sosiometris digambarkan di bawah ini:

Mutual pair A 1 1B

Isolate
Responden H dapat disifatkan A 1 C
“isolate” karena tidak memilih
dan tidak dipilih 1

2
Neglectee
Responden D dapat disifatkan A 1 C
sebagai”neglectee” karena 1
memilih tetapi sama sekali tidak 1 2
dipilih dalam preferensi apapun 2
E
juga
D

Rejectee 1
Responden yang menerima pilihan
G A
negatif (garis-garis terputus) yaitu
responden K

Chain L M
Kelompok L, M, dan N merupakan
suatu “chain”. L memilih M, M memilih N
sedang N memilih L

3
Star (overchosen)
Rasponden A disifatkan sebagai “star” karena menerima sejumlah besar pilihan
yang tidak setimpal dengan kemungkinan anda

F 2 2
2 B
1
2 2
1

1 A 1 C
G 1

2
1
1 H

K 2
D
E

Dari contoh-contoh di atas ini telah menjadi jelas bahwa jika suatu sosiogram
mengikutsertakan pilihan kedua, apalagi ketiga, dan juga penolakan sosial, maka dengan
sendirinya diagram menjadi ruwet! Maka dari itu jumlah pilihan dengan sengaja dibatasi,
demikian pula jumlah responden/anggota kelompok yang dipersoalkan oleh suatu
sosiogram.

4
Batasan demikian memang perlu diadakan jika suatu sosiogram hendak mencapai
tujuannya, yaitu memberi suatu gambaran yang jelas mengenai "social choices and
rejections" dari para anggota kelompok.
Batasan-batasan seperti disebutkan di atas ini telah mengakibatkan perkembangan
dari matrix- analysis dan index-analysis.

B. Aplikasi Sosiogram
Misalnya kita ingin menyelidiki interelasi anggota kelompok yang terdiri atas 12
orang, dan kita ingin mengetahui siapa di antara anggota kelompok ini yang dianggap
paling cakap untuk bertindak sebagai pemimpin kelompok oleh anggota-anggota
kelompok lainnya. Misalnya kelompok ini sudah lama kerja sama sehingga anggota yang
satu sudah cukup mengenal kemampuan dan kecakapan anggota sekelompok lainnya.
Misalkan pula kita ajukan pertanyaan sebagai berikut: "Pilihlah anggota kelompok yang
menurut pendapat saudara paling cakap untuk bertindak sebagai pemimpin kelompok
saudara. Pilihlah seorang saja di antara kawan-kawan kelompok saudara. Misalnya
kelompok yang sedang kita selidiki itu terdiri atas anggota-anggota yang bernama A, B,
C, D, E, F, G, H, I, J, K, dan L.
Maka mungkinlah kita, sesudah mengumpulkan jawaban ke- 12 orang anggota
kelompok itu, memperoleh gambaran sosiogram sebagai berikut. Garis tegak lurus yang
berangka 0 sampai dengan 8 itu merupakan skala pengukuran popularitas orang sebagai
pemimpin kelompok. Tiap-tiap lingkaran pada sosiogram itu berarti kedudukan anggota
kelompok, yang letaknya pada tingkat yang sesuai dengan jumlah pilihan (tingginya
popularitas sebagai pemimpin) yang ia peroleh dari kawan-kawan sekelompoknya.
Demikianlah A misalnya di pilih oleh 8 orang anggota lainnya, dan menduduki tempat
setinggi angka 8 pada skala pengukuran popularitas pemimpin. B terpilih oleh 7 orang
kawannya, dan menduduki tempat setinggi angka 7, C dipilih oleh 5 orang kawannya, dan
seterusnya, sedangkan J, K, dan L menduduki tempat yang terendah.

Gambar 1

5
Selain dari taraf disukainya anggota kelompok sebagai Pemimpin, dilihat dari
sikap-sikap kawannya, pada sosiogram itu dapat pula dilihat siapa di antara
kawan-kawannya yang menginginkan salah seorang anggota sebagai pemimpin yang
cakap itu. Demikian nyata. bahwa A memperoleh pilihan dari 8 orang kawan lainnya,
yaitu dari B, C, D, E, F, G ' H, 1, dan K.
Di antaranya yang tidak di Pilih sama sekali ialah K . Demikianlah dapat kita lihat
untuk tiap-tiap anggota kelompok bagaimana pandangan anggota-anggota lainnya
terhadap kecakapannya bertindak sebagai pemimpin kelompok. Pilihan itu dinyatakan
oleh garis-garis dan anak-anak panah. Tampak bahwa terdapat pula pilihan timbal-balik
antara 2 anggota kelompok, seperti antara A dan B, A dan C, dan lain-lain,
Dengan mengetahui sosiogram suatu kelompok seperti yang digambarkan ini,
dapat kita ketahui pula struktur manakah yang merupakan struktur yang paling disukai
untuk kelompok ini, supaya kerja sarananya antara anggota kelompok berlangsung paling
efektif dan efisien. Yaitu misalnya dengan A sebagai ketua, B sebagai wakil, dan C, D,
dan E sebagai anggota pimpinan lainnya.

6
Selanjutnya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kelompok yang bersangkutan
rnempunyai struktur yang cukup demokratis. Atau dengan lebih tepat, kelompok ini
mempunyai cukup kemungkinan untuk berganti-ganti kepemimpinannya apabila keadaan
memaksanya, tanpa bahaya bahwa mutu kerja sama antar anggota kelompok itu merosot.

Gambar 2

Pada gambar diatas kita bisa lihat, misalnya, dengan suatu kelompok lain yang
juga terdiri atas 12 orang anggota, tetapi di mana A, misalnya, dipilih oleh 11 orang, B
oleh 10 orang, dan sisanya hanya mernperoleh 0, 1, atau 2 pemilih sebagai pemimpin.
Kelompok ini mempunyai struktur saling hubungan kepemimpinan yang lebih
otoriter dari pada kelompok yang pertama. Dapat dibayangkan pula bahwa, apabila A dan
B tidak hadir kedua-duanya, maka mutu kerja sama kelompok menjadi rendah dan
pekerjaannya tidak lancar lagi, malah mungkin sekali kelompok itu kucar-kacir.
Selain dari saling hubungan antar anggota kelompok mengenai taraf popularitas
orang sebagai pemimpin kelompok, dapat pula diselidik misalnya, kesukaan anggota
terhadap anggota lainnya sebagai rekan sekerjanya. Sebaliknya dapat pula diselidiki
bagaimana sikap-sikap negatif anggota-anggota kelompok terhadap kawannya.

7
Bermacam-macam kemungkinan saling hubungan antar anggota kelompok itu dapat
diselidiki dengan menggunakan sosiometri.
Misalnya, apabila. kita ingin mengetahui di dalam suatu kelas di sekolah,
mengapa beberapa murid di antaranya mengalami kesulitan dalam pelajarannya walaupun
mereka termasuk anak-anak yang cukup pandai. Hal ini mungkin disebabkan. karena
penyesuaian. dirinya dengan kawan-kawan sekelas kurang beres. Keadaan ini, antara lain,
dapat diketahui dengan memperoleh sosiogram dari saling hubungan antar murid di kelas,
dengan menanyakan siapa di antara kawan sekelas paling tidak disukai kawan-kawan
muridnya.
Sosiogram semacam ini dapat memperlihatkan siapa saja di antara murid kelas
itu. paling tidak disenangi, dan murid-murid bersangkutan biasanya juga mengalami
kesulitan dalam penyesuaian dirinya berhubung dengan tidak diterimanya oleh kawan
anggota kelasnya. Murid-murid semacam ini dapat dibimbing ke arah perbaikan tingkah
lakunya seperlunya sesudah diadakan penelitian yang lebih mendalam mengenai alasan-
alasannya ia kurang diterima kawan-kawan lainnya.
Tentulah metode sosiometri bukanlah merupakan metode yang mutlak, tetapi
seperti juga metode lainnya, mempunyai batas kemampuan dalam menunjukkan
keadaan-keadaan yang sebenarnya begitu pula metode sosiometri hanyalah memberi
gambaran mengenai situasi saling hubungan antar anggota kelompok pada saat itu saja.
Belum tentu gambaran interalasi antar anggota itu masih tetap demikian sesudah beberapa
bulan. Hal ini pun dapat dicek kembali dengan mengadakan pertanyaan pertanyaan
sosiometris sekali lagi sesudah lewat beberapa bulan itu.
Selain itu, tidak pada tiap-tiap kelompok akan diperoleh keterangan sosiometris
yang dapat dipercaya. Hal ini bergantung kepada kerja sama dari anggota kelompok itu
dalam kesediaan mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sosiometri dengan
sejujur-jujurnya menurut keadaan yang sebenarnya.
Akhirnya, sukar pula untuk menggunakan metode ini pada kelompok kelompok
yang serba besar jumlah anggotanya, di mana kemungkinan interaksi kecil saja.

8
BAB VII
STATUS SOSIAL

A. Analisa indeks (Index - analysis)


Analisa indeks bertuiuan untuk menghitung beberapa rasio yang berlaku bagi
anggota kelompok atau sebuah kelompok dalam keseluruhannya. Berdasarkan
"index-analysis" maka dapat dihitung status pilihan ("choice status") dan status penolakan
("rejection status") dari masing-masing anggota kelompok. Jumlah pilihan yang diterima
oleh seorang responden dibagi (n-1) menyifatkan "choice status" sedang jumlah
penolakan yang diberikan kepada seorang anggota kelompok dibagi (n-1) menentukan
"rejection status". Dengan rumus (n-1) dimaksudkan jumlah anggota kelompok dikurangi
dengan satu, yaitu responden sendiri.
McKinney (1948) menghitung indeks status sosial ("social status index")
sebagai berikut :
Jumlah pilihan + jumlah penolakan
____________________________
n-1

Indeks tersebut juga terkenal dengan nama indeks-indeks intensitas sosial ("social
intensity index").
Nama yang terakhir ini kiranya lebih tepat, sebab pilihan positif maupun negatif
dapat disifatkan sebagai fungsi dari intensitas sosial. Proctor & Loomis (195 1) telah
menaruh banyak perhatian kepada sosiometri kelompok sebagai keseluruhan. Mereka
menentukan "group cohesion" sebagai jumlah "mutualpairs" dibagi oleh jumlah
"mutualpairs" yang secara teoritis dapat dihasilkan melalui pilihan sosiometris. "Group
integration" dihitung, demikian pula dengan menentukan prosentase dari "isolotes ".
Belum dipersoalkan perbedaan antara pilihan pertama, kedua dan seterusnya.
Peneliti harus hati-hati dalam menilai intensitas pilihan tersebut melalui teknik
"weighting" sebab "weighting of choices" selalu sangat arbitrer.

B. Reliability
Dalam sosiometri seorang peneliti juga mengharapkan bahwa tes sosiometris
untuk menunjukkan perbedaan dalam pilihan~anggota kelompok sesuai pula dengan
perubahan yang terjadi dalam struktur kelompok. Metode test- retest dapat dipakai untuk
menguji reliability. Sejumlah besar studi telah diadakan yang mempermasalahkan

9
reliability dari tes sosiometri. Lindzey (1959 - 422) berdasarkan studi-studi tersebut
mengemukakan sejumlah kesimpulan tentatif, antara lain: bahwa skor dalam tes
sosiometri kalau ditinjau dalam jangka waktu yang lebih lama, menunjukkan konsistensi
yang besar; reliability ternyata lebih besar pada orang dewasa daripada kanak-kanak.
Dalam hal ini Lindzey mengemukakan bahwa penemuan ini agak ganjil, sebab mungkin
sekali hal ini diakibatkan oleh stabilitas yang lebih besar pada hubungan antar manusia
atau daya ingat yang lebih besar (interpersonal relations or superior memory) dari orang
dewasa.
Pilihan kedua dan seterusnya ternyata lebih banyak berubah daripada pilihan
pertama. Moreno melaporkanm 8% perubahan dalam pilihan pertama dan 18%
perubahan pada pilihan kedua dalam waktu 3 bulan setelah tes pertama dilakukan.
Stabilitas dari pilihan sosiometris bertambah besar selaras dengan lamanya waktu suatu
kelompok berdiri, perubahan dalam pilihan sosiometris justru terjadi pada tahap-tahap
permulaan berdirinya suatu kelompok

C. Validity
Apakah suatu tes sosiometri benar mengukur apa yang hendak diukur? Kalau
suatu tes sosiometri dinilai sebagai hanya mengukur perilaku pilihan verbal (verbal
choice behavior), maka face validity cukup untuk mengetahui validity-nya. Walaupun
demikian selalu ada kemungkinan bahwa responden tidak memberi jawaban yang sesuai
dengan pikirannya atau pandangannya. Maka dari itu ahli sosiometri menegaskan
pentingnya mengemukakan pada responden bahwa pilihan sosial (social choices) mereka
akan dipakai untuk mengstruktur kembali kelompoknya.

10
EVALUASI

1. Jelaskan satu persatu sifat hubungan dari sosiogram dibawah ini mulai dari A sampai I
dan perhatikan baik-baik nomor yang ada di sosigram (kerjakan mulai no 1-13)

2
F
10 B
9
2
1

11
G A 3 C

8 4
12 13 5
7 H
I
6
D
E
2. Dari sosiogram diatas A adalah? dan H adalah?Jelaskan alasannya !
3. Baca matrik di bawah ini, mana aja yang mempunyai hubungan :
a. Mutual pair
b. Isolate
c. Negletee
d. Star
e. Rejectee
A B C D E F G H I J
A 1 1
B 1 1
C 1 1
D 1 1 -
E 1 1
F 1 1
G 1 1 -
H 1 1
I 1 1
J 1 1
Jumlah - 4 4 1 1 3 1 5 - 2
4. Dari matrik di atas, hitung status sosial H dan J?Berapa nilainya?

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Gerungan, W.A. 1996. Psikologi Sosial. Penerbit Eresco, Bandung


2. Linzey, G. 1980, Handbook of Social Psychology : Sosiometric Measurement. Mass
Addison Wesley
3. Vredenbregt, J. 1980. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Gramedia.Jakarta

12
13

Anda mungkin juga menyukai