Anda di halaman 1dari 10

15

Psikologia, 2014, Vol. 9, No. 1, hal. 15-24

TORELANSI TERHADAP PEMALASAN SOSIAL: PERAN DIMENSI BUDAYA


INDIVIDUALISME-KOLEKTIVISME
Santa Vinensia Samosir*
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Di dalam penelitian ini, saya meneliti hubungan antara dimensi budaya individualisme kolektivisme terhadap
toleransi terhadap pemalasan sosial, yaitu sejauh mana individu bertahan dengan perilaku pemalasan sosial
yang dilakukan oleh rekan kerjanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kolektivisme, baik itu
kolektivisme horisontal, maupun kolektivisme vertikal, yang dimiliki individu tidak berhubungan dengan
toleransi individu terhadap perilaku pemalasan sosial yang dilakukan rekan kerjanya. Toleransi individu
terhadap pemalasan sosial justru diprediksikan oleh derajat individualisme horisontal dan vertikal yang
dimiliki oleh individu, semakin tinggi derajat individualisme, baik yang bersifat vertikal, maupun yang
horisontal; semakin individu mentolerir perilaku pemalasan sosial yang dilakukan rekan kerjanya.

Kata kunci: Individualisme vertikal, individualisme horizontal, kolektivisme vertikal, kolektivisme


horisontal, dan toleransi pemalasan sosial

SOCIAL LOAFING TOLERANCE: THE ROLES OF INDIVIDUALISM-


COLLECTIVISM

ABSTRACT
In the present research, I examined the roles of individualism-collectivism on individual’s tolerance towards
social loafing. The results showed that tolerance towards social loafing appear to be associated with
individual’s degree of horizontal and vertical individualism. In contrast, vertical and horizontal collectivism
did not predict individuals’ willingness to tolerate social loafing. Hence, the act of social loafing is more
tolerable for individuals who possess high degree of individualism than those who are more collective.

Keywords: Vertikal individualism, horizontal individualism, vertical collectivism, horizontal collectivism,


social loafing tolerance

Pemalasan sosial (social loafing) sosial (lihat Liden, Wayne, Jaworski, &
merupakan suatu kondisi di mana individu Bennet, 2004). Di dalam penelitian ini,
mengurangi usaha dan upaya ketika saya mencoba untuk menelaah sejauh apa
bekerja dalam kelompok (Karau & dimensi budaya individualisme-
Williams, 1993). Penelitian-penelitian kolektivisme berdampak pada kerelaan
sebelumnya menunjukkan bagaimana individu terhadap perilaku pemalasan
kelompok yang terdiri atas pelaku sosial yang dilakukan oleh rekan kerja atau
pemalasan sosial cenderung menghasilkan sekelompoknya.
luaran atau produk yang lebih buruk
daripada kelompok yang seluruh TOLERANSI PEMALASAN SOSIAL
anggotanya berperan aktif dalam
penyelesaian tugas (Latane, Williams, & Toleransi adalah kemampuan individu
Harkins, 1979). Pemalasan sosial untuk bertahan, menderita, atau menerima
melahirkan konsekuensi negatif yang sesuatu hal yang tidak disetujui atau tidak
mempengaruhi tidak hanya kelompok disukainya (Allport, 1954; lihat juga
secara keseluruhan, namun juga bagi Chong, 1994). Sedangkan pemalasan
individu yang melakukannya (Schnake, sosial merupakan kecenderungan individu
dalam Liden, Wayne, Jaworski & Bennett, untuk mengurangi usaha ketika bekerja di
2004). Para telah menemukan berbagai dalam kelompok, khususnya ketika usaha
faktor yang berasosiasi atau menjadi yang diberikan individu tersebut tidak
penyebab individu melakukan pemalasan dapat dibedakan dengan usaha yang
Rekomendasi mensitasi:
*Korespondensi mengenai penelitian ini dapat Samosir, S. V. (2014). Toleransi terhadap
dilayangkan kepada Santa Vinensia Samosir melalui pemalasan sosial: Peran dimensi budaya
email: 09.055ss@gmail.com individualisme-kolektivisme. Psikologia, 9(1), hal. 15-
24.
16

diberikan oleh individu lain (Karau & memiliki ikatan emosional antar individu
Williams, 1993; Baron & Byrne, 2005). yang kuat. Kolektivisme merupakan
Menggabungkan kedua definisi ini, budaya yang menekankan bahwa individu
toleransi pemalasan sosial dapat saling tergantung dengan individu lain,
didefinisikan sebagai kemampuan individu mendefinisikan diri sebagai bagian dari
untuk bertahan, menderita, menerima atau kelompok, dan memprioritaskan tujuan-
mengizinkan perilaku rekan kerja atau tujuan kelompoknya sebagai prioritas di
kelompok untuk mengurangi usaha terkait atas tujuan-tujuan pribadi (Triandis, 1995).
dengan pengerjaan tugas tertentu. Seperti halnya individualisme ,
kolektivisme juga dibagi menjadi vertikal
INDIVIDUALISME-KOLEKTIVISME maupun horisontal (Lee & Choi, 2005).
Individu dengan kolektivisme vertikal
Individualisme merupakan individu yang menekankan
integritas kelompok, individu bersedia
Hofstede (2005) mengartikan
mengorbankan tujuan pribadi demi tujuan
individualisme sebagai tatanan sosial yang
kelompok, dan memiliki preferensi dalam
dikarakteristikkan oleh ikatan emosional
kompetisi antar kelompok yang tinggi.
antar individu yang longgar.
Individu ini juga melihat dirinya sebagai
Individualisme adalah budaya yang
bagian penting kelompok, tetapi menyadari
menekankan gagasan bahwa individu
perbedaan antara satu anggota dengan
terpisah dan tidak tergantung dengan
yang lainnya (misal: status sosial
individu lain, mendefinisikan diri sebagai
pemimpin lebih tinggi daripada anggota).
otonom dari ingroup, tujuan pribadi
Selanjutnya, individu yang tinggi
menjadi prioritas di atas tujuan kelompok,
dalam dimensi kolektivisme horisontal
sikap individu secara personal lebih
adalah individu yang memandang dirinya
menentukan perilaku sosial individu
sebagai bagian dari kelompok akan tetapi
daripada norma (Triandis, 1995).
mereka memahami bahwa semua anggota
Triandis (dalam Lee & Choi, 2005)
kelompok setara. Individu kolektivisme
menyarankan bahwa individualisme dapat
horisontal melihat diri mereka mirip
dibagi menjadi horisontal maupun vertikal.
dengan dengan individu lain dan
Individu yang memiliki derajat vertikal
menekankan tujuan umum dengan orang
individualisme yang tinggi merupakan
lain, saling bergantung, dan bersosialisasi,
individu yang independen dan otonom
namun mereka tidak mudah untuk tunduk
tetapi juga kompetitif dan berusaha untuk
pada otoritas.
menjadi yang terbaik serta berusaha untuk
mendapatkan posisi status yang tinggi.
Dalam pola budaya ini, kompetisi PERAN INDIVIDUALISME-
merupakan aspek penting bagi setiap KOLEKTIVISME TERHADAP
individu. Individu-individu dengan derajat TOLERANSI PEMALASAN SOSIAL
individualisme horizontal yang tinggi
memandang diri mereka sepenuhnya Peran Individualisme vertikal
otonom, dan percaya bahwa kesetaraan Sebagaimana telah saya jelaskan,
antar individu merupakan hal yang ideal. individualisme vertikal adalah budaya
Meskipun menginginkan kemandirian dan yang menilai individu berdasarkan
keunikan pribadi, mereka tidak tertarik keunikan, yang diakui berdasarkan hierarki
untuk memiliki status yang lebih tinggi atau status sosial yang didapatkan melalui
dari anggota kelompok lainnya. kompetisi. Ketika bekerja dalam
Kolektivisme kelompok, individu yang tinggi dalam
derajat dimensi ini menginginkan agar
Hofstede (2005) mengartikan dirinya lebih baik daripada orang lain,
kolektivisme sebagai tatanan sosial yang keberhasilan atau kegagalan kelompok
17

dipandang keberhasilan atau kegagalan rekannya yang melakukan pemalasan


pribadi (Triandis & Gelfand, 1998). Di sosial.
satu sisi, ketika ada perilaku pemalasan Di sisi lain, individu dengan
sosial dalam kelompoknya individu individualisme yang tinggi merupakan
dengan derajat individualisme vertikal individu yang memiliki kepedulian yang
yang tinggi dapat merasa terganggu, rendah terhadap anggota-anggota
karena ia percaya bahwa perilaku kelompoknya (Piezon & Donaldson,
pemalasan sosial akan menurunkan kinerja 2005). Pengurangan usaha yang dilakukan
dan prestasi kelompok, yang berararti oleh anggota kelompoknya, selama hal
kegagalan bagi pencapaian prestasi tersebut tidak mengganggu kinerja dan
pribadinya. Sebagai konsekuensi, individu prestasi pribadi, tidak akan membuat
dengan derajat individualisme vertikal individu ini merasa terusik dengan
yang tinggi akan akan sulit mentolerir pengurangan usaha yang dilakukan
perilaku pemalasan sosial, karena anggota kelompoknya. Penelitian
kegagalan kelompok dapat ia terdahulu bahkan menyebutkan bahwa
internalisasikan sebagai kegalan pribadi. individu yang berorientasi pada dimensi ini
Namun, di sisi lain, individu yang menjaga jarak dengan anggota kelompok
berorientasi pada dimensi ini lain (Chrisnawati, 2007). Jarak ini akan
menempatkan kepentingan personal di atas membuat anggota individu tidak berusaha
kepentingan kelompok (Triandis, 1995). untuk mengomentari tanggung jawab
Ketika ada anggota kelompok yang individu lain, terlepas dari tinggi atau
melakukan pemalasan sosial, ia justru rendahnya kontribusi usaha yang
dapat memandang hal tersebut sebagai dilakukan oleh anggota kelompoknya yang
kesempatan bagi dirinya untuk lain. Dengan demikian, individu dengan
menunjukkan kehebatannya di atas derajat individualisme horisontal yang
anggota-anggota kelompok lain dengan tinggi kemungkinan justru akan lebih
cara menyelesaikan tugas sendirian mentolerir perilaku pemalasan sosial.
(Sarwono, 2005). Dengan demikian,
individu dengan derajat individualisme Peran kolektivisme vertikal
vertikal yang tinggi kemungkinan justru
Budaya kolektivisme vertikal
akan lebih mentolerir perilaku pemalasan
dicirikan dengan adanya saling
sosial.
ketergantungan antar individu,
pengorbanan kepentingan pribadi demi
Peran individualisme horizontal kepentingan kelompok, serta kepatuhan
Dimensi budaya individualisme kepada otoritas. Individu dengan yang
horisontal menekankan pada keunikan memiliki derajat kolektivisme vertikal
masing-masing individu, dalam ranah yang tinggi akan menjunjung tinggi norma
kesetaraan sosial. Di satu sisi, individu kelompok dan menempatkan kesuksesan
dengan derajat individualisme horisontal kelompok di atas kesuksesan pribadi
yang tinggi akan menolak pemalasan sosial (Husain, 2012). Individu yang tinggi
yang dilakukan oleh rekan-rekan dalam dimensi budaya ini juga memiliki
sekelompoknya, karena tindakan sikap melayani dalam kelompok dan rela
pemalasan sosial tersebut tidak sesuai berkorban untuk keuntungan kelompok
dengan prinsip kesetaraan (equality) (Markus & Kitayama, 1991). Pengorbanan
pengalokasian sumber daya atau usaha merupakan aspek penting dalam pola ini
setiap individu anggota kelompok terhadap (Triandis dalam Soeboer, 2003). Oleh
kinerja kelompok (Soeboer, 2003). Jadi, karena itu, ketika anggota kelompoknya
individu dengan derajat individualisme melakukan pemalasan sosial, melakukan,
horisontal yang tinggi akan memiliki individu ini akan rela menggantikan
toleransi yang rendah terhadap perilaku anggota kelompoknya dalam proses
18

pengerjaan tugas, karena ia percaya bahwa yang dilakukan anggota kelompoknya.


perilaku anggota kelompoknya akan Salah satu ciri dari budaya dengan dimensi
memberikan dampak negatif bagi kolektivisme horisontal yang tinggi adalah
kesuksesan kelompok. Dengan kata lain, adanya kelekatan emosional yang kuat
individu yang memiliki derajat antar anggota kelompok (Triandis, 1995).
kolektivisme vertikal yang tinggi akan Ikatan emosional ini membuat individu
memiliki toleransi terhadap perilaku untuk tidak membiarkan anggota
pemalasan sosial yang dilakukan rekan kelompoknya melakukan pemalasan sosial,
kerjanya. karena anggota kelompok yang melakukan
Di sisi lain, individu dengan pemalasan sosial akan kehilangan
kolektivisme vertikal yang tinggi juga kesempatan untuk mengembangkan
menjunjung tinggi fungsi kelompok secara dirinya dan kelompok tidak akan
keseluruhan. Di mana kelompok menghasilkan performa yang maksimal
merupakan hal yang utama yang patut (Welter dkk., 2002). Dengan demikian,
untuk diperjuangkan melebihi kepentingan individu yang berorientasi pada dimensi
pribadinya. Sedangkan penelitian kolektivisme vertikal akan menolak
menyebutkan bahwa pemalasan sosial pemalasan sosial dan berusaha membantu
merusak identitas kelompok secara anggota kelompok lain untuk dapat
keseluruhan (Triandis, 1995). Sehingga mengembangkan dirinya (Carron, Burke &
individu yang memiliki kolektivisme yang Prapavessis, 2004).
tinggi akan peduli terhadap kelompok dan Sesuai dengan penalaran saya diatas
tidak akan membiarkan satupun anggota bahwa toleransi pemalasan sosial akan
kelompoknya untuk melakukan pemalasan memiliki hubungan dengan individualisme
sosial, karena akan mengganggu performa vertikal (hipotesis 1), individualisme
dan produktivitas kelompok secara horisontal (hipotesis 2), kolektivisme
keseluruhan menurun (Schnake, 1991). vertikal (hipotesis 3) dan kolektivisme
horisontal (hipotesis 4), dimana hubungan
Peran kolektivisme horizontal yang terjadi dapat bersifat positif maupun
negatif.
Budaya kolektivisme horisontal
dicirikan dengan adanya status yang sama
pada setiap individu dan penolakan METODE
terhadap otoritas atau dominasi yang
bersifat hierarkis di dalam kelompok. Partisipan
Hubungan atau relasi dengan anggota- Partisipan dalam penelitian ini
anggota kelompoknya sangat penting bagi merupakan mahasiswa baru (angkatan
individu yang memiliki derajat 2012 dan 2013) Fakultas Psikologi
kolektivisme horisontal yang tinggi. Universitas Sumatera Utara dan
Individu ini akan menjauhi hal-hal yang Universitas Medan Area. Sampling
akan mengancam relasinya dengan dilakukan dengan metode incidental
anggota kelompoknya yang lain (Bond, sampling. Sampel penelitian berjumlah
dalam Triandis, 1995). Ketika anggota 100 mahasiswa (44 orang dari USU dan 56
kelompok melakukan hal yang kurang orang dari UMA) yang terdiri dari 91
disukainya (e.g. pemalasan sosial), perempuan dan 9 laki-laki (M = 121,18;
individu akan mentolerir perilaku anggota SD = 7,77).
kelompoknya tersebut dengan alasan untuk
menjaga relasinya dengan anggota lain Alat ukur
tersebut.
Untuk mengumpulkan data penelitian,
Di sisi lain, individu yang berorientasi
saya menyusun alat ukur untuk mengukur
pada dimensi ini juga kemungkinan tidak
variabel-variabel dalam penelitian. Metode
dapat menerima perilaku pemalasan sosial
19

pengumpulan data yang digunakan dalam toleransi pemalasan sosial rendah; 4 =


penelitian ini adalah self report berupa toleransi pemalasan sosial tinggi). Jadi,
kuesioner. Dalam penelitian ini saya semakin tinggi skor partisipan pada
menggunakan dua buah skala yakni, skala pengukuran toleransi pemalasan sosial ini,
individualisme-kolektivisme dan skala maka individu akan memiliki toleransi
toleransi pemalasan sosial yang masing- yang tinggi terhadap perilaku pemalasan
masing menggunakan penskalaan model sosial.
likert.
Alat ukur individualisme- Prosedur
kolektivisme yang digunakan dalam
Alat ukur yang telah saya konstruk
penelitian ini adalah skala individualisme
kemudian saya distribusikan kepada para
kolektivisme yang telah diadaptasi ke
partisipan penelitian. Kemudian saya minta
dalam bahasa Indonesia agar dapat lebih
mereka untuk mengisi skala
mudah dipahami dan sesuai dengan
individualisme kolektivisme dan toleransi
kondisi individu di Indonesia. Skala saya
pemalasan sosial. Setelah partisipan
ciptakan dengan mererata aitem untuk
melengkapi alat ukur secara keseluruhan
membentuk skala individualisme
kemudian saya meminta mereka untuk
kolektivisme yang merentang antara 1
menyerahkan kembali alat ukur kepada
sampai 4 (1 = rendah – 4 = tinggi). Jadi,
saya.
semakin tinggi skor partisipan pada
Pengolahan data dilakukan dengan
pengukuran individualisme kolektivisme,
menggunakan teknik korelasi Regresi
maka semakin tinggi derajat
Berganda dengan menggunakan bantuan
individualisme kolektivisme yang ia
komputer program SPSS for windows 20.0
miliki.
version.
Alat ukur ini terdiri dari 32 item. Di
mana partisipan diminta untuk memilih
HASIL
“STS” (sangat tidak setuju), “TS” (tidak
setuju), “S” (setuju), atau “SS” (sangat Sebelum melakukan pengujian
setuju). Setiap aitem akan diberikan skor 1 hipotesis, terlebih dahulu, saya periksa,
= “STS”, 2 = “TS”, hingga 4= “SS”. satu-per-satu, linearitas setiap variabel
Jumlah aitem pada skala ini ada 32 aitem bebas terhadap variabel terikat dengan
dan terbagi menjadi 4 dimensi, di mana menggunakan opsi curve estimation pada
individualisme horisontal memiliki 10 program SPSS 20. Dapat dilihat pada
aitem. Individualisme vertikal memiliki 5 Tabel 1, hanya Kolektivisme Horisontal
aitem. Kolektivisme horisontal memiliki yang tidak memiliki hubungan linear yang
12 aitem. Kolektivisme vertikal terdiri atas signifikan terhadap Toleransi Pemalasan
5 aitem. Sosial. Sebagai konsekuensi, Hipotesis 4
Toleransi pemalasan sosial pada secara otomatis ditolak dan analisis saya
penelitian ini akan diukur dengan lanjutkan untuk mengujikan Hipotesis 1, 2,
menggunakan skala yang disusun dan 3.
berdasarkan defenisi yang dikembangkan
Tabel 1 Linearitas setiap variabel bebas terhadap
oleh Chong pada tahun 1994. Skala ini toleransi pemalasan sosial
memiliki 8 pernyataan dengan 4 poin skala
likert yang akan mengarahkan responden
untuk menentukan tingkat toleransi yang
dimilikinya terhadap individu lain yang
melakukan pemalasan sosial. Skala saya
ciptakan dengan mererata aitem untuk
membentuk skala kolektivisme vertikal
yang merentang antara 1 sampai 4 (1 =
20

Analisis saya lanjutkan dengan toleran individu tersebut terhadap


melakukan analisis regresi berganda, di pemalasan sosial yang dilakukan oleh
mana Kolektivisme Vertikal, rekan sekelompoknya. Bertolak belakang
Individualisme Horisontal, dan dengan Hipotesis 3 dan 4, kolektivisme
Individualisme Vertikal saya masukkan vertikal dan horisontal tidak berhubungan
sebagai prediktor Toleransi Pemalasan secara unik dengan toleransi pemalasan
Sosial. Untuk menghindari permasalahan sosial. Pembahasan terkait dengan hasil
asumsi normalitas, analisis saya jalankan penelitian ini adalah sebagai berikut.
dengan pengaturan sampel bootstrap Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebanyak 20.000 (lihat Field, 2009). Hasil individualisme vertikal dan horisontal
menunjukkan equasi yang signifikan, F(3, berhubungan searah dengan toleransi
96) = 5,72; R2 = 0,15; p = 0,001. Hal ini pemalasan sosial, yang berarti bahwa
menunjukkan bahwa peranan setiap semakin tinggi derajat individualisme
variabel bebas terhadap toleransi vertikal dan horisontal yang dimiliki
pemalasan sosial adalah sebesar 15%, individu, semakin individu tersebut dapat
sedangkan sisa 85% dipengaruhi oleh mentolerir perilaku pemalasan sosial. Hal
faktor lainnya. ini dapat terjadi karena individu yang
Selanjutnya, hasil penelitian berorientasi pada dimensi individualisme
menunjukkan individualisme vertikal (B = vertikal menempatkan kepentingan
0.25; p = 0,047) dan individualisme personal di atas kepentingan kelompok
horisontal (B = 0,28; p = 0,052) memiliki (Triandis, 1995). Ketika ada anggota
hubungan yang unik terhadap toleransi kelompok yang melakukan pemalasan
pemalasan sosial, sedangkan kolektivisme sosial, individu justru dapat memandang
vertikal tidak (B = 0,23; p = 0,06). Dengan hal tersebut sebagai kesempatan bagi
demikian, sesuai dengan Hipotesis 1 dan 2, dirinya untuk menunjukkan kehebatannya
hasil menunjukkan bahwa semakin tinggi di atas anggota-anggota kelompok lain
derajat individualisme vertikal dan dengan cara menyelesaikan tugas sendirian
horisontal, semakin tinggi pula toleransi (Sarwono, 2005). Demikian halnya,
individu terhadap perilaku pemalasan dengan individualisme horisontal yang
sosial yang dilakukan oleh rekan tinggi merupakan individu yang memiliki
sekelompoknya. Bertolak belakang dengan kepedulian yang rendah terhadap anggota-
Hipotesis 3, derajat kolektivisme vertikal anggota kelompoknya (Piezon &
bukanlah determinan toleransi pemalasan Donaldson, 2005). Pengurangan usaha
sosial yang unik. yang dilakukan oleh anggota
kelompoknya, selama hal tersebut tidak
DISKUSI mengganggu kinerja dan prestasi pribadi,
tidak akan membuatnya merasa terusik.
Di dalam penelitian ini saya Penelitian terdahulu, bahkan menyebutkan
memeriksa peran individualisme bahwa individu yang berorientasi pada
kolektivisme, yang dapat berupa dimensi ini menjaga jarak dengan anggota
individualisme vertikal dan horisontal kelompok lain (Chrisnawati, 2007). Jarak
maupun kolektivisme vertikal dan ini membuat individu tidak berusaha untuk
horisontal terhadap toleransi pemalasan mengomentari tanggung jawab anggota
sosial. Sesuai dengan Hipotesis 1 dan 2, kelompoknya. Dengan demikian, individu
individualisme vertikal dan individualisme dengan derajat individualisme horisontal
horisontal berhubungan searah (positif) yang tinggi justru memiliki toleransi
secara unik dengan toleransi pemalasan terhadap perilaku pemalasan sosial.
sosial. Ini berarti bahwa semakin tinggi Untuk kolektivisme (baik itu vertikal
derajat individualisme vertikal dan dan horisontal), pada awalnya, saya
horisontal yang dimiliki individu, semakin menduga bahwa kedua variabel akan
21

memiliki hubungan dengan toleransi mengidentifikasikan dan menjunjung


pemalasan sosial. Adapun dugaan ini tinggi kelompok sebagai bagian penting
berdasarkan penalaran bahwa kolektivisme dari dirinya (Stephan, Ybarra, & Morrison,
vertikal dicirikan dengan adanya saling 2009). Identifikasi terhadap kelompok
ketergantungan antar individu, yang tinggi ini berdampak pada kerelaan
pengorbanan kepentingan pribadi demi individu untuk menjaga dan melindungi
kepentingan kelompok, serta kepatuhan identitas kelompok (Branscombe,
kepada otoritas dimana individu memiliki Ellemers, Spears, & Doosje, 1999;
sikap melayani dalam kelompok dan rela Ellemers, Kortekaas, & Ouwerkerk, 1999;
berkorban untuk keuntungan kelompok Stephan & Renfro, 2002). Pemalasan
(Markus & Kitayama, 1991). Sedangkan sosial merupakan ancaman yang dapat
budaya kolektivisme horisontal dicirikan merusak identitas kelompok secara
dengan adanya kesetaraan pada setiap keseluruhan (Triandis, 1995). Oleh karena
individu dan menolak otoritas di dalam itu, untuk melindungi kelompok dari
kelompok. Individu akan sangat ancaman identitas, individu yang memiliki
memperhatikan hubungan atau relasinya derajat kolektivisme vertikal yang tinggi
dan menjauhi hal-hal yang akan akan cenderung mengusahakan agar
mengancam relasinya dengan anggota anggota-anggota kelompoknya tidak
kelompoknya yang lain (Bond, dalam melakukan pemalasan sosial (Schnake,
Triandis, 1995; Ali, Lee, Hsich & 1991).
Krishnan, dalam Dewantoro, 2012). Dari Selanjutnya, derajat kolektivisme
penalaran tersebut saya menyimpulkan horisontal individu tidak berhubungan
bahwa individu yang memiliki derajat dengan toleransi pemalasan sosial. Salah
kolektivisme baik vertikal maupun satu ciri dari budaya dengan dimensi
horisontal dalam dirinya akan memiliki kolektivisme horisontal yang tinggi adalah
sikap toleransi terhadap perilaku adanya kelekatan emosional yang kuat
pemalasan sosial yang dilakukan oleh antar anggota kelompok (Triandis, 1995).
anggota kelompoknya. Ikatan emosional ini membuat individu
Bertolak belakang dengan penalaran untuk tidak membiarkan anggota
yang saya lakukan, derajat kolektivisme kelompoknya melakukan pemalasan sosial,
vertikal individu tidak berhubungan karena anggota kelompok yang melakukan
dengan toleransi pemalasan sosial. Tidak pemalasan sosial akan kehilangan
adanya hubungan antara kolektivisme kesempatan untuk mengembangkan
vertikal dengan toleransi pemalasan sosial dirinya dan kelompok tidak akan
dapat dijelaskan dengan menggunakan menghasilkan performa yang maksimal
teori identitas sosial. Identitas sosial adalah (Welter dkk., 2002). Selain itu, individu
pengetahuan individu tentang dengan orientasi kolektivisme horisontal
keanggotaannya terhadap kelompok (atau memandang kesetaraan dalam kelompok
kelompok-kelompok) tertentu (Tajfel & (Triandis, 1995), sehingga setiap anggota
Turner, 1979). Identitas sosial juga kelompok seharusnya mendapatkan dan
merupakan bagian dari konsep diri memberikan hal yang sama untuk
seseorang yang dibentuk berdasarkan kelompok. Dapat disimpulkan bahwa
afiliasinya dengan kelompok di mana individu dengan derajat kolektivisme baik
dirinya bernaung (Hogg & Vaughan, secara vertikal maupun horisontal tidak
2002). Individu yang mengidentifikasikan memiliki toleransi terhadap perilaku
dirinya sebagai bagian dari kelompok, pemalasan sosial yang dilakukan oleh
akan berperilaku sesuai dengan harapan- rekan kelompoknya.
harapan dalam kelompok. Individu yang Pada penelitian ini, ditemukan bahwa
berorientasi pada dimensi kolektivisme hasil analisis berbeda dengan hasil
vertikal memiliki kecenderungan untuk penelitian terdahulu seperti yang telah saya
22

bahas sebelumnya. Hal ini mungkin kehidupan masyarakatnya. Hal tersebut


disebabkan teori yang digunakan dalam yang kemungkinan mempengaruhi hasil
penelitian ini masih kurang komprehensif, penelitian ini, yang mengakibatkan nilai
di mana belum banyak penelitian yang individualisme lebih berhubungan dengan
meneliti tentang toleransi terhadap tingkat toleransi pemalasan sosial anggota
pemalasan sosial. Selain itu, skala yang kelompok.
saya gunakan masih kurang reliabel. Hal
ini dapat dilihat dari hasil uji reliabilitas PERNYATAAN
skala penelitian yang saya gunakan seperti
skala toleransi pemalasan sosial yang Terima kasih saya ucapkan kepada Omar
hanya 0,69 dan dimensi kolektivisme Khalifa Burhan atas waktu dan tenaga
vertikal pada skala individualisme yang diberikan dalam membimbing saya
kolektivisme hanya 0,62. Walaupun ada untuk menyelesaikan dan menuliskan
ahli yang menyatakan bahwa 0,60 sudah manuskrip penelitian ini.
bisa dikatakan reliabel, namun nilai ini
masih sangat kurang dalam melakukan REFERENSI
analisis data. Kurang memuaskannya
koefisien reliabilitas tiap komponen dalam Allport, G. W. (1954). The Nature of
skala toleransi pemalasan sosial adalah Prejudice. Oxford, England: Addison-
karena jumlah aitem yang sedikit, yaitu 15 Wesley
item, dan pada dimensi kolektivisme Azwar, S. (2009). Reliabiltas dan
vertikal hanya 5 aitem. Azwar (2009) dan validitas. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Suryabrata (2000) menyatakan kan bahwa Baron, R. A.,dan Byrne, D. (2005).
panjang tes akan berpengaruh terhadap Psikologi sosial (ed. ke-10). Jakarta:
reliabilitas suatu alat ukur. Erlangga.
Selanjutnya, hasil penelitian ini juga
mungkin dipengaruhi kurang baiknya Branscombe, N. R., Ellemers, N., Spears,
adaptasi aitem skala penelitian. R., & Doosje, B. (1999). The context
Kemungkinan aitem tidak dapat and content of Social identity threat. In
diterjemahkan secara baik dari bahasa N. Ellemers, R. Spears, & B. Doodje
aslinya dan tidak sesuai dengan budaya (Eds), Social Identity: Context,
sampel penelitian yang akan dijadiikan commitment Content. Oxford:
partisipan penelitian. Untuk penelitian Blackwell.
lebih lanjut dapat dicermati penerjemahan Carron, A., Burke, S., & Prapavessis, H.
secara lebih teliti dan menghindari (2004). Journal of Applied Sport
ambiguitas makna pada tiap-tiap item, Psychology, 16, 41-58.
gunanya untuk meningkatkan validitas dan
Chrisnawati, N. (2007). Pengaruh Self-
reliabilitas skala. Hal ini yang menjadi
Construal, Individualisme-
kelemahan dari penelitian ini.
Kolektivisme, dan Identitas Etnik
Untuk memperkaya penelitian ini,
Terhadap Kecenderungan Individu
saya juga menghubungkan penelitian ini dalam Memilih Pasangan dalam
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kelompok Etnis Batak. Jakarta:
Murniati (1996) yang menyebutkan bahwa Universitas Indonesia.
Indonesia berada di antara dimensi
individualisme-kolektivisme, dan agaknya Chong D. (1994). Tolerance and Social
tepat berada di ambang individualisme. Adjustment To New Norms and
Hasil penelitian menyebutkan, meskipun Practices. Political Behavior. 16(1),
sedang terjadi pergeseran menuju 21-53.
individualisme, namun nilai-nilai budaya Dewantoro, R. S. (2012). Faktor-Faktor
tampaknya masih cukup mengakar dalam yang Mempengaruhi Sikap Karyawan
23

terhadap Keanggotaan Serikat Pekerja Emotion, And Motivation.


PT. Linfox Logistics Indonesia. Psychological Review. 98, 224-53.
Jakarta: Universitas Indonesia. Piezon, S. L., & Donaldson, R. L. (2005).
Ellemers, N., Kortekaas, P., & Ouwerkerk, Online groups and social loafing:
J. W. (1999). Self-categorization, Understanding Student Group
commitment to the group, and group Interactions. Online Journal of
self esteem as related but distinct Distance Learning Administration.
aspects of social identity. European 8(4).
Journal of Social Psychology, 29, 371- Sarwono, Sarlito Wirawan. (2005).
389. Psikologi sosial: psikologi kelompok
Field, A. (2009). Discovering Statistic dan psikologi terapan (ed. Ke-3).
Using SPSS (3rd ed.). London: Sage Jakarta: Balai Pustaka.
Publication Ltd. Schnake, M. E. (1991). Equity in Effort:
Hofstede, G. (2005). Cultures and The 'sucker effect' in co-acting groups.
organizations: Software of the mind. Journal of Management, 17(1), 41-56.
New York: McGraw Hill. Soeboer, R. (2003). Keadilan Distributif
Hogg, M. A., & Vaughan, G. M.. (2002). dalam Konteks Mayoritas-Minoritas
Social psychology (3rd ed.). London: (Studi Lapangan di Dua Perguruan
Tottenham Court Road. Tinggi di Jakarta). Jakarta: Universitas
Husain, Akbar. (2012). Social Psychology. Indonesia.
India: Dorling Kindersley (India) Pvt. Stephan, W. G., & Renfro, C. L.
Ltd. (2002).The role of threats in intergroup
Karau S. J., & Williams K. D. (1993). relations. In D. Mackie& E. R. Smith
Pemalasan sosial: A Meta Analytic (Eds.), From prejudice to intergroup
Review and The Integration. Journal of emotions (pp. 191-208). New York:
Personality and Social Psychology Psychology Press.
65(4), 681-706. Stephan, W. G., Ybarra, O., & Morrison,
Latane, B., Williams, K., & Harkins, S. K. R. (2009). Intergroup threat theory.
(1979). Many hands make light the In T. D. Nelson (Eds.), Handbook of
work: The causes and consequences of prejudice (pp. 43-60). Mahwah, NJ:
pemalasan sosial. Journal of Lawrence Erlbaum Associates.
Personality and Social Psychology, Suryabrata, S. (2010). Metodologi
37(6), 822-832. penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Lee, W., & Choi S. M. (2005). The Role of Persada.
Horizontal and Vertical Individualism Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An
and Collectivism in Online integrative theory of social confict. In
Consumers’ Responses Toward W. Austin, & S. Worchel (Eds), The
Persuasive Communication on the social psychology of intergroup
Web. Journal of Computer-Mediated relations. California: Brooks/Cole..
Communication. 11(1). Triandis, H. C . (1995). Individualism and
Liden, R. C., Wayne, S. J., Jaworski, R. A. Collectivism. Boulder, CO: Westview.
& Bennett, N. (2004). Social loafing: A Triandis, H. C. & Gelfand, M. J. (1998).
field investigation. Journal of Converging Measurement Horizontal
Management 30(2), 285-304. and Vertical Individualism and
Markus, H. R., & Kitayama, S. Collectivism. Journal of Personality
(1991). Culture And The and Social Psychology. 74(1), 118-128.
Self: Implications For Cognition,
24

Welter, Canale, Fiola, Sweeney &


L’armand. (2002). Effects of
Pemalasan sosial on Individual
Satisfaction and Individual
Productivity. Psi Chi, The National
Honor Society in Psychology. 7(3),
142-144.

Anda mungkin juga menyukai