Anda di halaman 1dari 113

BUKU PEGANGAN MATA KULIAH EKONOMI KESEHATAN

BAGI PENGAJAR DAN MAHASISWA PROGRAM ILMU


KESEHATAN JENJANG SARJANA

Oleh tim penyusun yang merupakan dewan pengurus dan anggota


The Indonesian Health Economic Association (InaHEA)

Dr. Adiatma Yudistira Manogar Siregar, SE, MEconSt


Dr. dra. Chriswardani Suryawati, MKes
Dr. Abdillah Ahsan, SE, MSE
Dr. Pujiyanto, SKM, MKes
Dr.sc.hum. Budi Aji, SKM, MSc
Dr. Atik Nurwahyuni, SKM, MKes
Dr. dr. Henni Djuhaeni, MARS
Dr. drg. Yulita Hendrartini, MKes
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
Dr. drg. Mardiati Nadjib, MS
Sepatiara Putri, SKM, MPH

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA)


2018
Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 1

BUKU PEGANGAN MATA KULIAH EKONOMI KESEHATAN


BAGI PENGAJAR DAN MAHASISWA PROGRAM ILMU
KESEHATAN JENJANG SARJANA

Oleh tim penyusun yang merupakan dewan pengurus dan anggota


The Indonesian Health Economic Association (InaHEA)

Dr. Adiatma Yudistira Manogar Siregar, SE, MEconSt


Dr. dra. Chriswardani Suryawati, MKes
Dr. Abdillah Ahsan, SE, MSE
Dr. Pujiyanto, SKM, MKes
Dr.sc.hum. Budi Aji, SKM, MSc
Dr. Atik Nurwahyuni, SKM, MKes
Dr. dr. Henni Djuhaeni, MARS
Dr. drg. Yulita Hendrartini, MKes
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
Dr. drg. Mardiati Nadjib, MS
Sepatiara Putri, SKM, MPH

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA)


2018

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 2

SEKAPUR SIRIH KETUA INAHEA

Sejawat penggiat ekonomi kesehatan, para sarjana ekonomi, dan sarjana


kesehatan yang saya hormati.

Dunia terus berkembang, pelayanan kesehatan dunia berkembang jauh lebih


cepat dari perkembangan pelayanan kesehatan Indonesia. Program JKN telah
mendorong percepatan perubahan sistem kesehatan, khususnya pada aspek
pendanaan dan efisiensi layanan kesehatan. Dalam usianya yang baru lima
tahun, program JKN sudah dikenal oleh hampir seluruh penduduk. Meskipun
perjalanannya terseok-seok, program JKN telah menarik perhatian dunia.

Program JKN menjadi lahan yang bagus untuk mempelajari ilmu ekonomi kesehatan. Di luar JKN,
banyak aspek layanan kesehatan, mulai promotif sampai rehabilitatif, banyak hal-hal yang belum
diungkap. Dengan JKN memicu kesadaran banyak pihak terhadap pentingnya ilmu ekonomi
kesehatan, kita memiliki peluang besar untuk berkontribusi pada perbaikan sistem kesehatan, bukan
hanya JKN. Hanya saja, kontribusi kita bisa tidak efektif jika kita bergantung pada persepsi sendiri,
tanpa didasari ilmu yang memadai. Jika sesuatu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, akan terjadi
kehancuran, rusak—begitu Sabda Nabi Muhammad.

Maka untuk membantu pembangunan kesehatan berjalan dengan baik dan tidak terjadi kehancuran
akibat pejabat mendengarkan keluhan atau ocehan orang yang tidak paham ekonomi kesehatan,
InaHEA perlu menyamakan persepsi. Penyamaan persepsi terbaik adalah pendidikan dengan standar
referensi yang baku. Untuk itulah, InaHEA mencoba menyusun modul atau buku pegangan bagi
pengajar dan mahasiswa program ilmu kesehatan agar mampu mengembangkan keilmuannya untuk
membangun negeri ini.

Terima kasih kepada para sejawat yang telah berkontribusi untuk menulis modul pertama ini. Semua
menyadari bahwa modul pertama masih jauh dari sempurna. Keberanian kawan-kawan untuk menulis
dan menebar amal jariah keilmuan, merupakan langkah pertama terwujudnya reformasi kesehatan
yang realistis dan rasional. Terima kasih kepada para sejawat penulis dan para staf sekretariat InaHEA
dan CHEPS UI yang telah bekerja keras mewujudkan buku ini.

Selamat membaca dan jangan pernah lelah berkontribusi memperbaikinya.

Salam

Hasbullah Thabrany
Ketua InaHEA

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 3

DAFTAR ISI

SEKAPUR SIRIH KETUA INAHEA .................................................................................................... 2

BAB 1. PENGANTAR ILMU EKONOMI MIKRO .............................................................................. 4


Dr. Adiatma Yudistira Manogar Siregar, SE, MEconSt
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran

BAB 2. DEFINISI DAN RUANG LINGKUP EKONOMI MAKRO .................................................. 24


Dr. Abdillah Ahsan, SE, MSE
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

BAB 3. PENGANTAR EKONOMI KESEHATAN ............................................................................ 32


Dr. dra. Chriswardani Suryawati, MKes
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro

BAB 4. DEMAND DAN SUPPLY PELAYANAN KESEHATAN .................................................... 46


Dr. Pujiyanto, SKM, MKes
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

BAB 5. STRUKTUR DAN KEGAGALAN PASAR: MONOPOLI, OLIGOPOLI DAN


EKTERNALITAS, BARANG PUBLIK DAN ASIMETRIK INFORMASI ....................................... 55
Dr.sc.hum. Budi Aji, SKM, M.Sc.
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman

BAB 6. KARAKTERIKSTIK UNIK INDUSTRI PELAYANAN KESEHATAN .............................. 63


Dr. Atik Nurwahyuni, SKM, MKes
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

BAB 7. PENDANAAN KESEHATAN (SUATU PENGANTAR) ..................................................... 75


Dr. dr. Henni Djuhaeni, MARS
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

BAB 8. SISTEM PEMBAYARAN PROVIDER ................................................................................. 85


Dr. drg. Yulita Hendrartini, MKes
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

BAB 9. BEHAVIORAL ECONOMICS AND MEDICAL DOCTOR ................................................. 97


Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

BAB 10. EVALUASI EKONOMI DI BIDANG KESEHATAN ......................................................... 98


Dr. drg. Mardiati Nadjib, MS
Sepatiara Putri, SKM, MPH
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 4

BAB 1. PENGANTAR ILMU EKONOMI MIKRO


Dr. Adiatma Yudistira Manogar Siregar, SE, MEconSt
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran

A. PENDAHULUAN
Tujuan instruksional umum:
Mahasiswa mampu menjelaskan dasar pemikiran ilmu ekonomi, khususnya ilmu ekonomi mikro.

Tujuan instruksional khusus:


1. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip-prinsip dasar ilmu ekonomi, khususnya ilmu ekonomi
mikro.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan dasar konsep maksimisasi untuk individu dan perusahaan.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan keterkaitan prinsip-prinsip dasar ilmu ekonomi mikro dengan
topik kesehatan.

Apa yang anda pikirkan disaat anda mendengar kata-kata “ekonomi”? Kebanyakan rekan-rekan saya
yang tidak berlatar belakang ilmu ekonomi ketika mendengar kata-kata tersebut akan langsung
menghubungkannya dengan kata “uang”. Kurang lebih seperti ini kalimatnya: “untuk urusan uang-
uangan kasih saja ke orang ekonomi.” Apakah mereka salah? Tidak juga, tetapi tidak sepenuhnya
benar. Uang memang sebuah bahasan yang penting di dalam ilmu ekonomi, tetapi uang tidak identik
dengan keilmuan tersebut.

Salah satu dosen saya ketika kuliah pernah berkata “economics is a science of choice” (ilmu ekonomi
ialah ilmu memilih). Saya bukan mahasiswa yang baik, sehingga kata-kata itu hanya saya ingat tetapi
tidak saya mengerti maknanya. Seiring berjalannya perkuliahan hingga ke jenjang yang lebih tinggi
(anda harus lebih cepat memahami makna kata-kata tersebut!), saya semakin memahami maksud
dosen saya dan saya juga paham bahwa kehidupan sehari-hari tidaklah pernah lepas dari ilmu
ekonomi. Setiap hari kita memilih, mulai dari hal kecil seperti akan sarapan apa hingga keputusan
yang lebih besar, seperti saya akan investasi di produk apa, bahkan hingga kebijakan apa yang tepat
untuk mengatasi sebuah masalah di sebuah negara.

Pertanyaannya ialah kenapa kita perlu memilih? Apa tujuan akhir kita dalam memilih? Anda tentu
sudah bisa membayangkan uang akan berperan penting dalam menentukan pilihan ini, tetapi mungkin
anda juga sudah bisa membayangkan kalau uang bukanlah tujuan akhir. Bab ini akan membahas
prinsip dasar ekonomi ini secara sederhana, tetapi cukup untuk memberikan pemahaman mendasar
tentang ilmu ekonomi. Saya akan memulai bab ini dengan penjelasan perbedaan antara ekonomi
mikro dan makro, dan saya akan membahas hal-hal berikutnya dalam konteks ekonomi mikro.
Pembahasan mengenai ekonomi makro akan dipaparkan pada bab selanjutnya. Kemudian bab ini juga
akan memberikan beberapa prinsip dan alat analisis ilmu ekonomi lainnya yang sering anda dengar
secara umum. Terakhir saya akan secara singkat menempatkan konteks pemahaman dasar ilmu
ekonomi ini pada ilmu ekonomi kesehatan dan memperlihatkan bagaimana konsep-konsep tersebut
terkait. Saya juga akan mempergunakan referensi dari beberapa buku teks dasar ilmu ekonomi, selain
untuk menunjukkan seolah-olah saya banyak membaca, tetapi juga agar anda dapat mengetahui
keberadaan buku-buku tersebut dan membacanya (saya yakin anda haus akan ilmu dan akan segera
membaca semua).

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 5

Judul untuk tiap sub-bab akan saya namakan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang sering saya
dengar sehingga saya harap tulisan ini dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sama yang mungkin
anda punyai. Apa yang saya tulis pada bab ini ialah akumulasi dari apa yang telah saya pelajari dari
para guru saya, dan juga dari beberapa buku yang telah saya baca dalam mempelajari dasar ilmu
ekonomi. Jadi walaupun saya tidak membubuhkan sumber referensi untuk semua konsep-konsep yang
saya sampaikan, perlu diingat bahwa semua konsep tersebut tidak datang dari saya. Sebagaimana saya
sampaikan sebelumnya, referensi-referensi ini akan saya sampaikan di akhir bab ini. Referensi yang
saya sampaikan ialah berdasarkan bahan bacaan yang saya miliki, dan anda kemungkinan besar dapat
menemukan judul yang sama dengan edisi yang lebih baru. Apabila demikian halnya maka saya
anjurkan anda mencari dan membaca edisi yang lebih baru tersebut.

Bab ini tidak bertujuan untuk membuat anda seorang ahli ekonomi mikro dalam beberapa jam dan
meraih hadiah nobel, tetapi untuk memberikan sekilas gambaran tentang dunia ilmu ekonomi yang
sangat luas. Betul, kami para ekonom ada dimana-mana, di berbagai topik: kesehatan, lingkungan,
moneter, industri, internasional, behavior, dan seterusnya. Tetapi kesemua itu mempunyai beberapa
prinsip dasar yang akan saya sampaikan dalam bab ini. Susunan bab ini tidak seluruhnya mengikuti
susunan buku teks ilmu ekonomi pada umumnya, tetapi lebih ke alur pertanyaan-pertanyaan yang
muncul disaat saya mengajar.

B. PENYAJIAN MATERI
B.1. Apa perbedaan antara ilmu ekonomi mikro
dan makro?
Rationality
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis
yang saya paparkan di atas terkait alasan dan tujuan “Rational people systematically and
akhir dalam memilih, kita coba untuk menjawab purposefully do the best they can to achieve
terlebih dahulu pertanyaan sub-bab ini. Jawaban their objectives, given the opportunities they
yang mungkin sering anda dengar ialah ekonomi have.” (Mankiw 2007)
mikro membahas hal kecil, sedangkan makro
Asumsi rasionalitas sangatlah penting, dimana
membahas hal besar. Seperti komentar saya
pada ilmu ekonomi manusia diasumsikan
sebelumya terkait komentar rekan-rekan saya akan
rasional. Walaupun asumsi ini tidak akan
ekonomi, jawaban tersebut tidak salah tetapi juga selalu benar, tetapi pada kebanyakan kasus
tidak sepenuhnya benar, masih banyak yang bisa di asumsi ini dapat diterapkan.
elaborasi. Definisi kecil dan besar sangatlah tidak
pasti dan terdengar kurang ilmiah.

Perbedaan mendasar antara ekonomi mikro dan makro ialah pada ruang lingkup. Misalnya, ekonomi
mikro membahas tentang perilaku individu, perusahaan, dan pasar, sedangkan ekonomi makro
membahas di tatanan kota/kabupaten, provinsi, negara, regional, dan global. Anda pasti pernah
mendengar tentang demand and supply curve (kurva permintaan dan penawaran). Maka demand and
supply curve untuk pembahasan di ilmu ekonomi mikro akan mewakili, misalnya, indvidu atau
konsumen dalam sebuah pasar. Sedangkan demand and supply curve pada ilmu ekonomi makro akan
bersifat agregat dan mewakili, misalnya, sebuah negara. Seperti telah saya kemukakan sebelumnya,
pemaparan pada bab ini akan berfokus pada konteks ilmu ekonomi mikro.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 6

B.2. Mengapa kita harus memilih?


Sekarang kita kembali ke pertanyaan filosofis yang
Scarcity
saya sampaikan pada bagian pendahuluan. Mungkin
“The limited nature of society’s resources.” jawabannya sudah terbayang oleh anda.
(Mankiw 2007) Kemungkinan besar yang terlintas saat ini difikiran
anda ialah karena keterbatasan dana, dan lebih jauh
lagi anda akan mulai membayangkan barang-barang yang anda sangat inginkan tetapi belum bisa
dibeli karena keterbatasan tersebut dan adanya kebutuhan lain, sehingga anda dengan berat hati harus
memilih untuk tidak membelinya saat ini. Sebelum saya membuat anda depresi, mari kita kembali ke
kata-kata “keterbatasan dana”. Dalam ilmu ekonomi dikenal istilah “scarcity” (kelangkaan atau
keterbatasan), yakni terdapatnya kelangkaan atau keterbatasan dalam berbagai hal, misalnya seperti
waktu, uang, sumber daya alam, dan kapasitas lambung (maka dari itu anda kemungkinan tidak bisa
makan nasi Padang dan satu loyang pizza disaat bersamaan, karena selain mahal dan tidak sehat,
lambung anda punya keterbatasan).

Bayangkan diri anda akan membeli mobil, dan anda harus menentukan antara merk A dan B. Hal ini
akan sangat sulit jika anda sangat menyukai kedua mobil tersebut dan anda sangat ingin membeli
keduanya, tetapi apa daya dana tidak tersedia. Seperti telah saya sampaikan sebelumnya, pilihan-
pilihan ini dimulai dari tahap yang sangat sederhana, sampai dengan tingkat yang kompleks seperti
kebijakan. Misalnya, dengan dana pemerintah yang terbatas, penanganan penyakit apa yang harus
mendapat prioritas, program demam berdarah atau TB (tuberculosis)?

Karena adanya keterbatasan ini, maka anda pasti akan mengorbankan satu atau banyak pilihan-pilihan
yang dinamakan “trade-off”. Ketika anda membaca bab ini, anda sudah mengorbankan waktu yang
sangat berharga untuk bercengkerama bersama keluarga atau pasangan hidup anda, atau kalau anda
masih sendiri paling tidak mengorbankan waktu
untuk tidur. Hal-hal yang dikorbankan ini dikenal
Opportunity cost
dengan istilah “opportunity cost”, atau biaya
kesempatan yang hilang. Saya anjurkan anda “The value of the best alternative use of an
memakai istilah opportunity cost karena lebih hemat economic good… Opportunity cost is
kata-kata dan mudah diingat. Terkait contoh demam particularly useful for valuing non marketed
berdarah dan TB, disaat program TB mendapat goods such as environmental health or safety.”
(Samuelson and Nordhaus 2010)
prioritas, maka opportunity cost dari kebijakan
tersebut ialah dampak akibat tidak diproritaskannya
program demam berdarah.

Dengan demikian sudah jelas konsep dasar “scarcity”, “trade-off”, dan “opportunity cost” akan selalu
menemani hidup anda. Kemudian, sebagaimana saya sebutkan di awal bab ini, anda mungkin
bertanya apa tujuan akhir kita melakukan pilihan. Apa yang kita kejar, apakah menjadi kaya?
Mungkin demikian adanya untuk sekelompok orang, tetapi belum tentu sekitar 250 juta warga negara
Indonesia berpikiran sama. Tujuan akhir dari pada perilaku ekonomi sangatlah sederhana, dan akan
saya bahas di sub bab berikut.

B.3. Apakah tujuan akhir dari melakukan pilihan?


Jawabannya tidak semata-mata karena ada keterbatasan, tetapi lebih mendasar lagi. Ketika anda harus
memilih akan sarapan roti bakar atau nasi Padang (kita asumsikan anda mampu membeli salah satu

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 7

diantara keduanya, dan mempunyai waktu yang cukup untuk sarapan), apa yang anda pikirkan?
Kemungkinan besar anda akan memikirkan makanan apa yang akan paling membuat anda merasa
puas, dan anda membuat pilihan anda berdasarkan pemikiran itu. Bagi penggemar nasi Padang maka
kemungkinan besar mereka akan memilih makanan tersebut karena menurut mereka pilihan
tersebutlah yang akan memberikan kepuasan tertinggi, dan demikian juga dengan penggemar roti
bakar. Tetapi lain cerita apabila anda penggemar kedua makanan tersebut. Maka anda harus
memutuskan dari kedua pilihan itu mana yang akan memberikan kepuasan tertinggi. Kepuasan (atau
lebih tepatnya rasa manfaat) ini dikenal dengan istilah “utility”, dan menurut saya utility adalah esensi
paling mendasar dari perilaku ekonomi. Orang suka mengira ekonomi hanyalah tentang uang, tetapi
saya nyatakan lagi hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Coba anda bayangkan sebuah dunia
dimana kita melakukan transaksi tidak dengan menggunakan fiat money, tetapi dengan menggunakan
sapi. Maka mungkin saja nanti tidak ada lagi topik ekonomi keuangan, tetapi akan muncul topik
ekonomi kesapian. Atau dalam pembahasan ekonomi
keuangan akan dibahas juga mengenai seluk beluk Fiat money
persapian. Saya harap sekarang anda sudah bisa
memahami bahwa uang kartal ialah sebuah alat tukar “Money without intrinsic value that is used as
money because of government decree.”
yang sangat praktis (anda bisa bayangkan diri anda
(Mankiw 2007)
harus membawa sapi hanya untuk membeli permen
di warung???), tetapi bukan “jantung” daripada pembahasan ilmu ekonomi. Saya tidak akan
membahas uang lebih jauh disini, anda bisa melihat di bab selanjutnya atau di buku ilmu ekonomi
khususnya bagian makroekonomi.

Kembali ke konsep utility. Berdasarkan pemaparan yang telah diberikan sebelumnya, saya harap
sudah jelas bagi anda bahwa (paling tidak menurut saya) intisari dari ilmu ekonomi ialah bagaimana
manusia melakukan pilihan dengan memperhatikan segala keterbatasan untuk
memaksimumkan objektifnya yang akan bertujuan pada utility yang lebih baik. Orang yang
rasional akan melakukan hal ini. Anda mungkin bertanya bagaimana dengan perusahaan atau
pemerintah? Menurut Nicholson & Synder (2008), individu, perusahaan dan pemerintah masing-
masing akan memaksimumkan utility,
Ceteris paribus (all else equal) profit/keuntungan (atau minimizing cost), dan
welfare/kesejahteraan. Jika kita cermati makna
“A device used to analyze the relationship
profit dan welfare, tentu kita bisa sepakat bahwa
between two variabels while the values of
other variables are held unchanged.” (Case, tujuan akhir daripada kedua hal tersebut ialah utility.
Fair, and Oster 2012) Profit yang tinggi bagi sebuah perusahaan,
diharapkan akan membawa utility yang tinggi
Asumsi ini mungkin ialah asumsi yang paling (ceteris paribus) bagi pegawai perusahaan tersebut.
penting dalam ilmu ekonomi. Agar dapat Demikian halnya dengan welfare, peningkatan
menganalisis hubungan antara dua variabel aspek ini akan berujung pada utility yang tinggi bagi
tanpa terganggu oleh variabel lain, maka masyarakat (ceteris paribus), walaupun
asumsi ini digunakan. Tentu ini tidak sesuai kemungkinan besar tidak semua pihak akan
dengan realita, tetapi asumsi ini dapat
terpuaskan. Menurut saya, utility perlu menjadi
membantu kita dalam memahami hubungan
landasan bagi setiap orang dalam melakukan
antara dua variabel.
kegiatan ekonomi, dan bukan selalu mengenai
untung atau rugi dalam bentuk uang. Menurut anda, apakah seseorang yang suka memberi sumbangan
akan mendapatkan keuntungan dalam bentuk moneter? Mungkin jawabannya ialah ya apabila ketika
melakukan sumbangan tersebut dia juga melakukan promosi produk yang dijualnya, dan karena

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 8

liputan tersebut produknya menjadi semakin laku. Tapi katakanlah orang ini memberikan sumbangan
dan hanya diketahui oleh si penerima. Kemungkinan walaupun orang ini tidak mendapatkan manfaat
dalam bentuk uang, dia menerima manfaat dalam bentuk utility yang tinggi karena dia senang melihat
orang lain senang.

Kembali ke contoh roti bakar vs. nasi Padang, bagaimana kalau kita mampu membeli keduanya,
apalah kita akan menjadi lebih terpuaskan? Mungkin saja, tetapi jangan lupa kalau anda belum tentu
memiliki ruang lambung yang cukup dimana ini juga merupakan keterbatasan. Pertanyaan lain yang
mungkin muncul ialah bagaimana jika anda sangat suka roti bakar, apakah dengan membeli lebih
banyak porsi maka anda akan semakin terpuaskan? Jawabannya ialah ya sampai dengan titik tertentu.
Bayangkan anda saat ini sangat ingin membeli roti bakar isi selai kacang, selai cokelat, dan parutan
keju yang hangat dan renyah. Sudah terbayang? Kemudian secara tiba-tiba munculah seorang penjual
roti bakar keliling di sebelah anda. Setelah anda meyakinkan diri kalau penjual roti tersebut tidak
bermuka rata, saya yakin anda akan bergegas membeli roti bakar yang dia jual dengan spesifikasi
yang sudah anda impikan. Saat menyantap porsi pertama, saya juga yakin anda akan merasakan surga
dunia dan utility anda akan meningkat drastis (tentu dengan asumsi rasa roti bakarnya lezat). Setelah
porsi pertama ternyata anda masih ingin membeli lagi roti bakar tersebut. Kita asumsikan anda
mempunyai sumber pendanaan yang tidak terbatas (dompet ajaib), maka anda langsung membeli satu
porsi lagi. Yang terjadi ialah utility anda kemungkinan masih bertambah, tetapi tidak sebanyak pada
saat anda memakan porsi pertama. Entah kenapa anda kemudian terus membeli tambahan porsi roti
bakar ketiga, keempat, dan seterusnya. Apa yang terjadi kemudian? Kemungkinan besar, selain anda
takut kalau si penjual roti sudah mengenakan mantera pada anda, peningkatan utility yang anda
rasakan akan semakin rendah, dan bahkan menurun hingga anda akhirnya tidak akan mau melihat roti
bakar lagi sampai 10 tahun kedepan.

Ada beberapa konsep penting disini. Yang


pertama ialah total utility, yang berarti tingkat
kepuasan total anda pada waktu atau konsumsi
barang tertentu. Konsep kedua ialah marginal
utility, yaitu penambahan utility untuk setiap
penambahan barang yang dikonsumsi. Contoh
penambahan utility (baik meningkat maupun
menurun) akibat anda menambah konsumsi roti
bakar terus menerus ialah contoh konsep
marginal utility, dimana setiap tambahan roti
bakar yang anda makan akan memberikan
tambahan utility. Konsep lainnya ialah
diminishing marginal utility, dimana setiap
tambahan konsumsi sebuah barang akan
berakibat peningkatan utility yang semakin
menurun. Contoh penambahan utility yang
semakin menurun karena anda menambah konsumsi roti bakar terus menerus ialah contoh dari konsep
diminishing marginal utility. Gambar 1.1 menunjukkan ketiga konsep ini. Marginal ialah konsep yang
sangat penting. Sebagai contoh, walaupun total utility anda masih positif, bisa saja marginal utility
anda sudah menurun (negatif), dan mengenali pentingnya konsep ini akan membantu anda untuk tidak
mengkonsumsi barang secara berlebihan karena setelah tahap tertentu penambahan konsumsi tidak

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 9

akan memberikan tambahan utility yang positif. Menurut saya, konsep ini dapat membantu anda untuk
mengetahui kapan harus berhenti menambah konsumsi dan menahan diri.

Konsep memaksimumkan utility tidak akan cukup dibahas pada 1 bab ini. Jika anda membaca buku –
buku referensi yang saya usulkan, anda akan melihat konsep utility, marginal utility, diminishing
marginal utility, dan utility maximization memakan satu atau bahkan beberapa bab sendiri. Pada saat
anda mendalami, anda akan menemukan konsep indefference curve dan budget line dan bagaimana
dari kedua konsep ini anda dapat membuat sebuah kurva demand, dan masih banyak lagi. Sedikit
catatan penting, indifference curve (IC) ialah sebuah kurva yang menggambarkan berbagai kombinasi
konsumsi dua barang yang menghasilkan tingkat utility yang sama. Kurva ini menggambarkan diri
anda ketika mengatur berbagai kombinasi konsumsi dua buah barang (kita asumsikan entah kenapa
anda hanya mengkonsumsi dua buah barang dalam hidup anda). Yang akan membuat anda berpikir
keras dalam memikirkan kombinasi tersebut ialah isi dari dompet anda yang dalam hal ini disebut
budget line (BL). BL ialah kombinasi barang yang bisa anda beli dengan memanfaatkan semua
pendapatan yang anda miliki. Perhatikan gambar 1.2. Dalam menentukan kombinasi konsumsi roti
bakar dan nasi padang, tentu BL akan berperan penting (disamping luas lambung anda). Titik A ialah
titik apabila anda sepenuhnya mengalokasikan isi dompet anda untuk mengkonsumi roti bakar, dan
titik B ialah sebaliknya. Titik C ialah titik optimal dimana slope kurva IC = BL, dan pada titik ini
jumlah kombinasi roti bakar dan nasi padang yang anda konsumsi ialah berada pada titik paling
optimal dengan BL yang ada. Hal yang perlu anda pahami ialah kurva IC tidak hanya satu. Ada
banyak sekali jumlah kurva IC, dan akan ada banyak kurva IC yang juga secara optimal
bersinggungan dengan kurva BL, tetapi kesemua ini kembali ke preferensi daripada individu. Kurva
IC pada gambar 1.2 hanyalah satu dari sekian banyak, dan dalam hal ini kurva IC pada gambar 1.2
kita asumsikan sesuai dengan preferensi anda.

Hal lain yang perlu anda pahami apabila kurva IC berada di dalam daerah AOB, maka kurva IC
tersebut belumlah secara optimal mempergunakan BL anda. Dan sebaliknya, apabila kurva IC berada
diluar daerah AOB, maka artinya kurva IC tersebut hanyalah sebatas angan-angan karena isi dompet
anda tidak cukup untuk membeli sekian banyak roti bakar dan nasi Padang. Bisakah angan-angan
tersebut dicapai? Tentu saja bisa apabila BL anda bertambah atau harga roti bakar atau/dan nasi
Padang turun. Penurunan harga juga dapat mengakibatkan kombinasi roti bakar dan nasi Padang anda
berubah. Bayangkan apabila harga nasi
Padang turun, apa yang terjadi pada gambar
1.2? Kemudian apa yang terjadi jika harga
nasi Padang turun lagi untuk kedua, ketiga,
dan keempat kali? Silahkan anda temukan
jawabannya. Jawaban anda ini ialah awal dari
pembentukan kurva demand.

Perlu diingat bahwa walaupun pada buku-


buku teks utility digambarkan memiliki nilai
angka (misalnya utility memakan 1 porsi roti
bakar ialah 50), angka tersebut bersifat sangat
relatif dan hanya ditujukan untuk pemahaman
konsep saja. Pada kenyataannya angka 50
Gambar 1.2. Indefference curve dan budget line
tersebut tidak berarti apa-apa karena bukan

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018

Gambar 1.2. Indefference curve dan budget line


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 10

merupakan sebuah ukuran pasti. Tentu tingkat utility 50 anda dan saya akan sangat berbeda dan bukan
merupakan suatu ukuran yang bisa digunakan sebagai perbandingan. Saya sangat menganjurkan anda
untuk membaca lebih jauh lagi tentang konsep utility dan memahami lebih dalam konsep-konsep yang
saya sebutkan pada bab ini karena masih sangat banyak detil-detil yang tidak bisa saya sampaikan
pada bab ini. Berikutnya kita akan melihat bagaimana konsep dasar yang mirip dapat diterapkan pada
perusahaan.

B.4. Bagaimana menghitung profit (keuntungan) sebuah perusahaan?


Sebagian dari anda mungkin menunggu-nunggu datangnya sub-bab ini dan berharap ada rumus
rahasia untuk memaksimumkan profit dalam waktu singkat. Sayang sekali sub-bab ini bukan berisi
tentang kiat-kiat untuk berbisnis dan mendapat profit sebesar-besarnya, melainkan untuk
memperkenalkan anda dengan komponen-komponen dari pada penghitungan profit. Sebelum anda
kecewa dan melewatkan sub-bab ini, memahami komponen profit dan sifat dari komponen tersebut
sangatlah penting, sehingga sama dengan halnya utility, anda harus tahu kapan anda harus membatasi
produksi barang anda untuk memperoleh profit maksimum. Lebih jauh lagi, anda juga dapat
mengetahui bahwa tidak selamanya disaat usaha anda merugi maka anda harus langsung menutup
usaha anda. Sub-bab ini akan memberikan gambaran akan hal-hal tersebut sebagai dasar pemahaman
topik yang sangat penting ini. Mohon diingat perusahaan tidak semerta-merta memaksimumkan profit
mereka hanya karena menginginkan jumlah uang yang besar, tetapi karena dengan memaksimumkan
profit maka diasumsikan mereka secara tidak langsung dapat memaksimumkan utility, dimana
“mereka” disini ialah pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan tersebut.

Anda bisa menebak perhitungan dasar untuk profit? Ya betul sekali: penerimaan (revenue) dikurangi
pengeluaran (cost). Dari perhitungan sederhana ini kita dapat menemukan banyak sekali konsep-
konsep penting. Saya akan memecah pembahasannya menjadi revenue, production, cost, dan profit,
dan menerapkan pada perusahaan roti bakar anda. Mohon diingat konteks pembahasan ditempatkan
dalam jangka pendek (short run).

B.4.1. Revenue
Menghitung revenue sangatlah mudah. Total kuantitas produk yang anda jual (Q) dikalikan dengan
harga jual produk anda (P), dan anda akan mendapatkan total revenue (TR). Saat ini anda tentu sudah
bisa menebak istilah yang digunakan untuk menamakan penambahan revenue akibat penambahan
penjualan satu buah produk. Betul sekali, marginal revenue (MR). Satu lagi istilah yang perlu
diketahui ialah average revenue (AR), yakni TR dibagi dengan total Q penjualan. Kembali ke contoh
roti bakar, apabila harga jual roti bakar ialah Rp 1.000,- dan anda menjual dua porsi, maka TR ialah
Rp 2.000,-. MR ialah Rp 1.000,- yang merupakan tambahan pendapatan yang anda dapatkan dari
menjual satu porsi tambahan roti bakar. Terakhir, AR ialah TR dibagi dengan total Q penjualan, yaitu
Rp 1.000,-. Anda bisa melihat MR dan AR jumlahnya sama, ini ialah ciri khas dari perfect
competition market (pasar persaingan sempurna), salah satu jenis model pasar yang ada. Artinya,
berapapun banyaknya barang yang anda jual, harga yang anda tetapkan sebagai sebuah perusahaan
tidak akan berubah. Secara sederhana, pada jenis perfect competition market maka anda sebagai
pengusaha atau perusahaan sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga yang
berlaku di pasar, dan hanya bisa mengikuti harga yang telah ditetapkan pasar. Hal ini disebabkan
karena pada jenis pasar ini terdapat banyak sekali pembeli dan penjual yang menjual jenis produk
yang sama. Anda bisa bayangkan jika anda menjual roti bakar seharga Rp 20.000,- per porsi,
sementara semua pesaing anda menjual dengan harga Rp 1.000,- dengan kelezatan dan kualitas roti

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 11

bakar yang sama di lokasi yang sama, maka saya ucapkan selamat atas kenekatan anda dan selamat
gulung tikar dalam waktu dekat. Pembahasan revenue, production, cost, dan profit dalam sub-bab ini
didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan anda beroperasi pada perfect competition market.
Walaupun saya tidak akan membahas lebih jauh lagi mengenai mengapa sifat AR = MR untuk perfect
competition market berbeda dengan jenis pasar lainnya, saya akan sekilas memberikan penjelasan
akan jenis – jenis pasar di sub bab berikutnya.

B.4.2. Production
Hal yang cukup penting dari revenue ialah
Production
pemahaman dibalik Q (kuantitas produk yang
dijual), yang akan mempertemukan anda dengan “The process by which inputs are combined,
production. Dalam buku teks pengantar ilmu transformed, and turned into outputs.” (Case,
ekonomi mikro, biasanya diasumsikan ada dua Fair, and Oster 2012)
faktor produksi atau input yaitu pekerja (labor/L)
dan barang kapital (capital/K). Tentu dalam keadaan sebenarnya anda akan mempergunakan banyak
faktor produksi, tetapi untuk penyederhanaan mari kita ikuti asumsi ini. Diluar L dan K ada faktor
teknologi yang akan mempengaruhi proses produksi secara keseluruhan, tetapi diasumikan given atau
demikian adanya dan kita tidak dapat mempengaruhi perkembangan teknologi tersebut.

Istilah-istilah yang mirip dengan revenue dapat diterapkan juga disini. Total produksi barang dengan
mempergunakan input ialah total production (TP). Istilah untuk tambahan barang yang diproduksi
dari setiap tambahan barang input bisa dibagi dua, yakni tambahan produksi dari setiap tambahan 1
orang L disebut sebagai marginal productivity of labor (MPL) dan tambahan produksi dari setiap
tambahan 1 barang K disebut sebagai marginal productivity of capital (MPK). Demikian halnya
dengan jumlah produksi rata-rata dimana TP dibagi oleh jumlah L dinamakan average product of
labor (APL) dan TP dibagi oleh jumlah K dinamakan average product of kapital (APK).

Kembali ke contoh roti bakar, diasumsikan untuk proses produksi 4 roti bakar anda memerlukan 1 L
dan 1 K, sehingga untuk kondisi ini TP ialah 4 porsi. Apabila anda menambah 1 L dan produksi roti
bakar bertambah menjadi 5 porsi, maka MPL ialah 1 porsi. Apabila anda menambah 1 K dan produksi
roti bakar bertambah menjadi 6 porsi dari 4 porsi, maka MPK ialah 2 porsi. Terakhir, apabila kita
asumsikan untuk proses produksi 10 roti bakar diperlukan 4 L dan 2 K, maka AP L ialah 2,5 porsi dan
APK ialah 5 porsi.

Pada konsep produksi, pemilihan kombinasi L


dan K yang optimal (dalam hal ini dengan biaya
yang terendah) mirip dengan konsep IC dan BL
yang telah kita pelajari pada sub bab sebelumnya
mengenai maksimisasi utility. Dalam lingkup
perusahaan IC ialah isoquant, sedangkan BL
ialah isocost. Isoquant menggambarkan berbagai
kombinasi dua buah input yang menghasilkan
output yang sama. Kurva isocost
menggambarkan kombinasi dua buah input yang
mempunyai total biaya yang sama. Perhatikan
gambar 1.3. Titik A ialah apabila perusahaan
Gambar 1.3. Indefference curve dan budget line
The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018
Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 12

hanya mempergunakan input K, sedangkan titik B ialah apabila perusahaan hanya mempergunakan
input L. Sedikit berbeda dengan konsep utility maximization, titik C disini ialah kombinasi K dan L
yang mempunyai biaya terendah (cost minimization). Apabila kurva isoquant berada didalam daerah
AOB, maka jumlah K dan L yang digunakan perusahaan belum maksimal, dimana perusahaan masih
memilik sumberdaya yang lebih untuk menggunakan lebih banyak lagi K dan L untuk berproduksi.
Sebaliknya apabila kurva isoquant berada diluar daerah AOB, maka perusahaan tidak memiliki
sumberdaya untuk menggunakan kombinasi K dan L pada kurva isoquant tersebut. Apabila
perusahaan berkembang dan memiliki lebih banyak sumber daya, maka kurva isoquant yang berada
diluar daerah AOB tersebut bisa terjangkau dan perusahaan dapat menggunakan lebih banyak K dan L
untuk memproduksi lebih banyak lagi output. Pada keadaan ini akan ada titik C yang baru. Apabila
perusahaan terus berkembang, maka aka nada lebih banyak lagi titik C. Apabila semua titik C ini
dihubungkan, maka kita bisa melihat expansion path sebuah perusahaan dengan biaya minimum
untuk memproduksi berbagai tignkat output yang berbeda.

B.4.3. Cost
Pemahaman terkait Q dan produksi tidak akan lepas dari cost of production atau biaya produksi yang
dalam bab ini akan saya sebut saja dengan cost. Hal yang menarik dari konsep cost ini ialah dia
merupakan cermin daripada konsep production. Hal ini akan saya perlihatkan secara sederhana pada
bagian berikutnya dari sub-bab ini. Konsep-konsep yang sering digunakan terkait perhitungan dasar
cost sangatlah mirip dengan konsep-konsep yang telah kita bahas sebelumnya.

Total cost (TC) ialah istilah yang digunakan untuk biaya total yang digunakan untuk memproduksi
sejumlah barang. Istilah untuk biaya yang timbul untuk setiap tambahan satu buah produksi barang
dikenal dengan marginal cost (MC). Dengan demikian average cost (AC) ialah biaya rata-rata untuk
satu buah barang. Mari kita kembali kaitkan dengan contoh produksi roti bakar. Apabila biaya untuk
memproduksi empat porsi roti bakar ialah Rp 3,200,- , maka jumlah ini ialah TC, dan dengan
demikian AC ialah Rp 800,- . Apabila biaya untuk menambah produksi roti bakar dari dua ke tiga
porsi ialah Rp 700,-, maka jumlah ini ialah MC. Perhatikan saya tidak mencantumkan biaya Rp 800,-
untuk MC dalam penambahan produksi roti bakar dari dua ke tiga porsi. Saya akan memberikan
penjelasan sederhana mengenai hal ini di bagian berikut sebelum kita masuk ke pembahasan profit.
Memahami konsep MC dan AC sangatlah penting karena akan menentukan tingkat profit maksimum
yang bisa anda dapatkan.

Hal lain yang perlu diingat juga ialah adanya istilah fixed cost dan variable cost. Fixed cost ialah
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh usaha anda dalam proses produksi, tetapi tidak dipengaruhi oleh
besarnya jumlah barang yang diproduksi (contoh: sewa tahunan mobil operasional). Variable cost
ialah biaya yang besarannya mengikuti banyaknya barang yang anda produksi (contoh: biaya
pembelian mentega). Satu lagi tipe biaya ialah sunk cost, yaitu biaya yang sudah keluar dan tidak akan
kembali lagi terlepas dari berjalan atau tidaknya usaha anda. Contoh dari jenis biaya ini ialah apabila
anda membeli mobil operasional dan tidak menyewanya. Apapun yang terjadi dengan usaha anda,
biaya untuk membeli mobil operasional tersebut sudah anda keluarkan dan tidak akan kembali.
Beberapa orang ada yang mengkategorikan sunk cost sebagai bagian dari fixed cost. Rata-rata fixed
cost per barang yang diproduksi ialah AFC, sedangkan rata-rata variable cost per barang yang
diproduksi ialah AVC.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 13

B.4.4. Production dan Cost


Kedua konsep ini mempunyai sifat bagaikan cermin yang diperlihatkan pada gambar 1.4. Saya akan
mulai dulu pembahasan dari production. Seperti anda lihat, kurva MP akan meningkat dan menurun
seiring dengan bertambahnya barang yang anda produksi. Penjelasan untuk hal ini sangatlah
sederhana. Apabila anda bayangkan ketika anda memulai usaha roti bakar anda dan anda
memperkerjakan satu orang pekerja, maka produktivitas pekerja ini akan dimulai dari tahap yang
rendah karena dia mulai belajar hingga sangat tinggi karena dia mampu memproduksi satu porsi roti
bakar sendiri (dari nol porsi menjadi satu porsi). Seiring berjalannya waktu cara bekerja pekerja ini
akan semakin efisien dan akan dia menjadi lebih produktif. Mungkin saja dia mampu memproduksi
hingga sepuluh porsi sendiri dalam satu waktu tertentu. Apabila anda tidak menambah peralatan (K)
anda (mis. kompor), maka apabila anda menambah seorang L lagi (sekarang pekerja anda ada dua),
tentu anda bisa membayangkan kalau produktivitas L kedua ini tidaklah setinggi L pertama yang
dapat disebabkan oleh peralatan yang terbatas. Kemungkinan besar L kedua ini hanya akan
mengganggu L pertama dalam melakukan aktivitasnya dan akhirnya terjadilah perebutan kekuasaan
atas kompor sehingga MPL kedua tidak akan sebanyak MPL pertama (mungkin L kedua hanya akan
menghasilkan tambahan satu atau dua porsi roti bakar). Anda bisa melihat hal yang sama juga terjadi
dengan kurva AP dan secara khusus kurva MP akan memotong kurva AP di titik maksimumnya. Saya
akan serahkan kepada anda untuk memahami alasan dibalik hal ini (hint: konsep rata-rata vs. konsep
marjinal).

Bagian lain daripada gambar 1.4 ialah cerminan daripada production, yaitu cost. Dengan pemahaman
yang sama, anda bisa membayangkan disaat kinerja L pertama yang semakin produktif maka biaya
produksi barang juga akan semakin meningkat. Untuk contoh produksi roti bakar kita, maka biaya
gaji untuk memproduksi 10 porsi roti bakar ialah senilai dengan gaji untuk satu orang L saja. Dengan
demikian karena L kedua hanya dapat menambah produksi roti bakar sebanyak dua porsi, maka biaya
gaji untuk memproduksi sebanyak 12 porsi roti bakar ialah gaji untuk dua L yang akan meningkatkan
cost (belum lagi apabila terjadi kebakaran akibat perebutan kekuasaan atas kompor). Mirip halnya
dengan konsep produksi, tetapi dengan arah berlawanan, kurva MC akan memotong kurva AC di titik
minimumnya. Saya juga akan menyerahkan pemahaman akan hal ini kepada anda dengan petunjuk
yang sama seperti sebelumnya.

Kurva biaya Kurva produksi

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 14

B.4.5. Profit
Sebelum kita membahas profit lebih jauh ada beberapa istilah yang perlu kita pahami terlebih dahulu,
yaitu accounting profit dan economic profit. Accounting profit ialah TR – TC dimana TC ialah biaya-
biaya yang mempunyai nilai yang eksplisit. TC pada economic profit ialah biaya eksplisit dan implisit,
dimana implisit berarti biaya yang tidak mempunyai harga secara eksplisit (biaya lingkungan yang
tercemar akibat didirikannya sebuah pabrik). Pada bab ini kita memakai konsep economic profit.

Seperti telah saya sebutkan sebelumnya, menghitung profit cukup dengan menggunakan persamaan
berikut, yakni TR – TC. Walaupun penghitungan profit pada dasarnya sangat sederhana, proses untuk
memaksimumkan profit tersebutlah yang perlu dipahami. Kapan anda perlu membatasi tingkat
produksi anda? Hal ini dapat terlihat dengan jelas di gambar 1.5. Seperti telah anda ketahui,
memproduksi terlalu banyak roti bakar dalam jangka pendek akan mengakibatkan peningkatan biaya
produksi dan penurunan jumlah produksi. Dalam hal ini konsep yang akan berperan sangat penting
ialah MR dan MC. Dengan kata lain, setiap
tambahan pendapatan dari setiap tambahan
produksi harus dibandingkan dengan
peningkatan biayanya. Apabila MR > MC
(titik A), maka anda masih mempunyai
ruang untuk menambah produksi. Apabila
MR = MC (titik B), maka ini ialah titik
dimana anda harus membatasi jumlah
produksi anda. Untuk keadaan MR < MC
(titik C), artinya setiap tambahan produksi
yang anda lakukan akan menciptakan
kerugian. Dengan pemahaman ini anda bisa
sekali lagi melihat pentingnya memahami
konsep marjinal. Dalam hal perusahaan,
konsep marjinal dapat mengajarkan
seseorang untuk mengetahui kapan harus
berhenti menambah produksi.

Berdasarkan aturan MR = MC untuk


mencapai maximum profit, hal ini dapat
juga dituangkan kedalam gambar.
Perhatikan gambar 1.6. Anda tentu masih
ingat bahwa TR = P x Q. Dari gambar 1.6
anda bisa melihat dengan jelas bahwa
daerah profit ialah kotak ABFE. Untuk
mengetahui daerah TC, anda perlu
menerapkan konsep-konsep average dan
marginal cost, serta marginal revenue.
Pertama-tama, perhatikan titk temu antara
kurva MR dan MC. Anda tentu sudah
memahami bahwa pertemuan MR = MC
akan menentukan tingkat maximum profit
dan tingkat produksi. Dengan demikian

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 15

anda bisa mengikuti garis lurus dari perpotongan kedua kurva marjinal tersebut hingga ke garis
horizontal yang akan menunjukkan tingkat Q untuk maximum profit. Anda bisa melihat bahwa garis
tersebut juga memotong kurva AC, dan ingat AC = TC/Q. Dengan mudah anda dapat merubah
formula tersebut menjadi TC = AC x Q. Besaran AC dan Q untuk maximum profit dapat dengan jelas
terlihat pada gambar, sehingga dengan mudah anda dapat menemukan bahwa daerah TC ialah DCFE.
Karena perhitungan profit ialah TR – TC, maka anda tinggal mengurangi daerah TR dengan daerah
TC, yakni daerah ABCD. Dalam gambar 1.6 selisih daerah tersebut menunjukkan profit, tetapi anda
juga dapat memahami bahwa selisih TR dan TC dapat menunjukkan profit maupun loss (kerugian),
bergantung dari pada harga yang berlaku di pasar untuk konteks perfect competition market.

Saya sempat mengatakan bahwa ada kalanya disaat usaha anda merugi, anda tidak perlu serta merta
mentutup usaha anda. Perhatikan gambar 1.7. Katakanlah perusahaan anda merugi karena harga pasar
berada dibawah biaya rata-rata untuk produksi per barang. Akan tetapi apabila harga ini masih berada
diatas AVC maka anda dianjurkan berproduksi karena anda masih mampu membayar VC per barang
yang diproduksi, dan selebihnya dapat anda pergunakan untuk membayar sebagian dari fixed cost. Hal
ini akan mengurangi kerugian anda dibandingkan apabila anda berhenti berproduksi dimana anda
akan harus membayar fixed cost secara penuh. Skenario lain ialah apabila harga jatuh dibawah AVC,
maka anda sebaiknya menutup usaha anda karena anda tidak mampu membayar VC yang ada seiring
dengan berjalannya produksi (misal anda tidak
mampu membayar pekerja anda). Anda berarti
telah melewati/mencapai titik shutdown point.
Dengan menutup usaha anda, maka anda
menghindari kerugian yang dikarenakan
ketidakmampuan dalam membayar VC, dan anda
hanya harus membayar FC secara penuh. Hal ini
sedikit banyak bisa menjelaskan mengapa ada
rumah makan yang tetap buka walaupun sepi
pelanggan, dimana rumah makan itu masih belum
mencapai shutdown point, atau masih menyimpan
secercah harapan bahkan disaat harga sudah
berada dibawah AVC (dalam hal ini pemilik
rumah makan itu tidak rasional).

Sub-bab ini telah memberikan pengertian mendasar mengenai revenue, production, cost, dan profit,
dan saya harap anda bisa lebih memahami bagaimana keempat konsep ini berkaitan dan pentingnya
konsep marjinal. Ingat bahwa masih banyak konsep dasar yang terkait yang tidak saya paparkan disini,
termasuk pemahaman cost pada jangka panjang. Untuk itu saya sangat menganjurkan anda paling
tidak memilih salah satu buku yang saya sarankan untuk dibaca pada akhir bab ini, dan meluangkan
waktu untuk membacanya, sehingga anda bisa mendapatkan cerita lengkap dari sub bab ini.
Sebagaimana telah saya sampaikan sebelumnya, keempat konsep yang saya paparkan pada sub-bab
ini berlaku untuk perfect competition market. Anda mungkin bertanya-tanya apakah ada bentuk pasar
lainnya? Jawabannya tentu saja ada.

B. 5. Apakah tipe pasar itu ada banyak?


Anda mungkin membayangkan kata pasar identik dengan tempat yang hiruk-pikuk, kotor, ramai, dan
becek. Bayangan itu tidak salah juga karena kata pasar di Indonesia cenderung dikaitkan dengan pasar

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 16

tradisional, sedangkan pasar-pasar modern dinamakan supermarket, minimarket, dan seterusnya.


Padahal saya yakin anda sudah tahu market hanyalah bahasa Inggris dari pasar. Jadi pertanyaannya,
apa itu market? Penjelasan singkatnya ialah tempat bertemunya pembeli dan penjual dalam
melakukan transaksi. Apakah pasar yang hiruk-pikuk tadi ialah market? Tentu saja. Tapi begitu juga
dengan pasar online dimana pasar berada di dunia maya. Saya yakin ketika pertama kali kata market
ditemukan, tidak terbayang sama sekali bentuknya akan berubah menjadi sedemikian luas dan datang
dalam bentuk dunia maya. Tetapi sifat dasar dari market tetaplah sama, tempat bertemunya penjual
dan pembeli untuk melakukan transaksi. Yang menjadikan satu pasar dan lainnya berbeda ialah
karakter dari pasar itu sendiri. Misalnya, dalam perfect competition market terdapat banyak sekali
pembeli dan penjual, ukuran perusahaan penjual relatif kecil, dan produk yang dijual pada pasar
tersebut ialah homogen, sehingga mustahil bagi sebuah perusahaan untuk punya kendali atas harga
yang berlaku di pasar tersebut. Belum lagi pada pasar ini diasumsikan pembeli dan penjual
mempunyai tingkat informasi yang sama, sehingga pembeli mengetahui dengan pasti harga yang
berlaku pada pasar tersebut. Terakhir perusahaan bebas untuk keluar masuk pasar, dengan kata lain
tidak ada halangan (barriers to entry) bagi sebuah perusahaan untuk terjun berkompetisi kedalam tipe
pasar ini. Perfect competition market ialah bentuk pasar yang teoritis, nyaris tidak ada pasar di dunia
nyata yang bentuknya sama persis dengan pasar tersebut. Dalam hal ini, petani kemungkinan
merupakan salah satu contoh terdekat dengan keberadaan pasar tersebut. Katakanlah masing-masing
petani memproduksi beras. Karena barang yang diproduksi ialah sama oleh seluruh petani, maka
hampir tidak mungkin salah seorang petani menaikkan harganya diatas petani-petani lain karena akan
menyebabkan dirinya kehilangan pembeli. Bentuk pasar lain dikenal dengan imperfect competition
market, dan terdiri dari beberapa tipe yakni monopolistik, oligopoli, dan monopoli.

Bentuk monopolistik mirip dengan perfect competition market, tetapi barang yang dijual
terdeferensiasi (tidak homogen). Perusahan yang satu bisa menjual barang yang sedikit berbeda
dengan perusahaan lainnya. Misalnya anda menjual roti bakar, pesaing anda menjual roti bakar
dengan tambahan saus karamel. Barrier to entry ke pasar ini juga relatif rendah. Karena banyak
penjual dan pembeli, maka perusahaan hampir tidak bisa mengendalikan harga pasar. Bagaimana jika
dalam sebuah pasar terdapat 2.000 perusahaan, tetapi hanya dua yang sangat besar dan mengendalikan
harga pasar tersebut? Maka tipe ini disebut sebagai oligopoli dimana beberapa perusahaan bergabung
untuk mengendalikan atau mendominasi kekuatan pasar. Dengan demikian bentuk oligopoli bisa juga
berupa kondisi dimana hanya ada beberapa perusahaan yang berproduksi di dalam pasar dan mereka
bergabung untuk mengendalikan pasar tersebut. Dengan bergabungnya beberapa perusahaan ini akan
menyebabkan harga dapat dikendalikan oleh beberapa perusahaan, dan tentunya tercipta barrier to
entry bagi perusahaan pendatang.

Bentuk lain dari pasar yang pasti sering anda dengar ialah monopoli. Pada tipe pasar ini hanya
terdapat satu penjual dan banyak pembeli. Anda bisa bayangkan dalam kondisi ini penjual
mempunyai kekuatan penuh untuk mengendalikan harga (tentu dengan asumsi barang yang dijualnya
dibutuhkan oleh masyarakat). Anda juga bisa memahami jika anda ingin masuk ke pasar ini dan ingin
bersaing dengan perusahaan yang saat itu melakukan monopoli, maka anda membutuhkan sumber
daya yang sangat besar untuk bisa memproduksi barang yang sama dengan perusahaan tersebut yang
menunjukkan adanya kondisi barrier to entry. Keberadaan bisa menyebabkan ketidakefisienan dalam
perekonomian. Keadaan ini dapat berbalik dimana pada suatu pasar hanya terdapat satu pembeli dan
banyak penjual. Pasar ini disebut sebagai monopsoni. Anda bisa membayangkan pembeli pada pasar
ini mempunyai kekuatan penuh untuk mengendalikan harga. Untuk kasus monopoli, tidak selamanya

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 17

perusahaan yang melakukan monopoli akan berdampak ketidakefisienan bagi perekonomian. Ada
kondisi dimana produksi suatu barang hanya bisa dilakukan oleh sebuah perusahaan karena, misalnya,
keunggulan teknik produksi yang dimiliki. Dengan demikian keberadaan perusahaan monopoli justru
memberikan dampak baik karena pada akhirnya barang tersebut dapat diproduksi dan dinikmati
konsumen. Kondisi ini dinamakan natural monopoly.

Saya tidak akan membahas pasar lebih jauh lagi pada sub-bab ini. Apabila anda tertarik untuk
mempelajari struktur pasar lebih jauh lagi maka anda dapat membaca referensi-referensi buku yang
saya tampilkan di akhir sub-bab ini. Anda nanti akan dikenalkan kepada konsep deadweight loss,
ketidakefisienan sosial yang disebabkan karena keberadaan imperfect competition market.
Perhitungan revenue untuk jenis pasar ini juga tidak sesederhana perhitungan pada perfect
competition market, dan anda bisa memahami sendiri bagaimana deadweight loss tersebut terbentuk.

Bagian berikut akan membahas beberapa konsep sederhana yang dapat anda pergunakan untuk
menganalisis perekonomian, termasuk dalam bidang kesehatan. Saya yakin anda sudah sering
mendengar beberapa dari konsep tersebut, tetapi beberapa mungkin akan terdengan baru.

B.6. Bagaimana cara menganalisis permasalahan ekonomi?


Ada banyak cara untuk melakukan analisis pemasalahan ekonomi, tetapi pada sub-bab ini saya hanya
akan memperkenalkan beberapa konsep saja. Mungkin pada saat ini anda sudah memahami bahwa
walaupun konsep dasar ekonomi sangatlah sederhana, tetapi analisis permasalahan ekonomi dapat
menjadi sangat kompleks karena banyaknya variabel yang berperan. Dalam menganalisis
permasalahan ekonomi para ekonom menggunakan pemodelan ekonomi, yang bisa juga diartikan
sebagai penyederhanaan hidup. Mirip halnya dengan peta, pemodelan ekonomi berfokus pada
variabel-variabel utama berdasarkan teori yang ada atau keperluan penelitian dan menganggap
variabel lainnya konstan (ceteris paribus). Dalam analisisnya anda juga bisa fokus pada satu variabel
utama dan menganggap variabel utama lainnya konstan. Jika anda melihat peta, anda tidak akan
melihat ada gambar batu kerikil atau sapi sedang melintasi jalan disana karena tidak relevan dengan
tujuan dibuatnya peta, yang dimana peta ialah model penyederhanaan realita. Apakah mungkin pada
saat anda melewati jalan yang tertera di peta tersebut akan melintas seekor sapi? Mungkin saja. Tetapi
kemungkinan tersebut sangatlah kecil, dan apabila semua kemungkinan-kemungkinan tersebut akan
anda gambarkan di dalam sebuah peta maka kemungkinan besar anda akan berakhir di rumah sakit
jiwa.

Sebagai contoh, disaat anda bermaksud memilih antara roti bakar atau nasi Padang, akan ada banyak
variabel yang bermain sekaligus dalam penentuan pilihan tersebut, misalkan, isi dompet anda,
preference anda, jam berapa anda akan membeli makanan, apakah anda menentukan sendiri atau
bersama teman anda, apakah anda baru melihat iklan nasi Padang, apakah anda baru mencium bau roti
yang dipanggang, dan seterusnya. Begitu banyak variabel yang bisa mempengaruhi, dan kalau kita
berencana melakukan identifikasi terhadap semua variabel tersebut maka akan banyak variabel yang
sifatnya sangat random. Sebelum anda menjadi selangkah lebih dekat ke rumah sakit jiwa, segera
gunakan senjata pamungkas yaitu ceteris paribus. Jika kita hanya ingin melihat apakah isi dompet
atau preference anda mempengaruhi pemilihan anda akan roti bakar atau nasi padang, maka kita dapat
asumsikan variabel lainnya konstan (apabila anda berminat mempelajari ekonometrik hal ini akan
dibahas lebih jauh lagi).

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 18

Salah satu pemodelan ekonomi yang paling sering anda dengar ialah kurva permintaan dan penawaran
(demand dan supply). Kurva demand bisa dilihat sebagai perilaku individu, dan kurva supply sebagai
perilaku perusahaan. Dengan memahami kurva demand, kita bisa melihat bahwa disaat harga
menurun, maka individu akan membeli lebih banyak barang (ceteris paribus). Perhatikan disana saya
menggunakan asumsi andalan kita karena bukannya tidak mungkin ketika harga turun ternyata
permintaan akan barang tersebut juga menurun. Mungkin saja disaat harga menjadi murah dan banyak
orang yang mempunyainya, maka seseorang malah jadi tidak menginginkan barang tersebut. Apabila
anda mempelajari ilmu mikroekonomi lebih jauh, anda akan mempelajari hal-hal ini lebih dalam.
Tetapi pada dasarnya, saya rasa akan banyak orang yang berperilaku seperti yang tergambar pada
kurva demand tersebut. Saya yakin ketika ada diskon pada harga suatu barang yang anda inginkan,
ada kemungkinan anda akan membeli barang tersebut lebih banyak (ceteris paribus). Kurva supply
menggambarkan perilaku perusahaan, dimana harga yang semakin tinggi akan memberikan insentif
bagi perusahaan untuk memproduksi barang lebih banyak karena berpotensi mendapatkan keuntungan
yang lebih banyak. Kurva supply dan demand akan bertemu di pasar dan menciptakan titik
equilibrium, sebuah titik dimana pembeli dan penjual mencapai kesepakatan akan harga dan kuantitas
barang yang dijual dan dibeli. Masing-masing kurva supply dan demand mempunyai karakter dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakannya dan hal ini akan memerlukan satu bab tersendiri.
Jika anda benar-benar ingin mengetahui secara menyeluruh kedua konsep ini, maka saya sarankan
anda membaca buku ilmu ekonomi.

Sebelum saya akhiri bagian ini, saya akan perkenalkan anda pada sebuah konsep yang sangat penting
yaitu elastisitas. Konsep elastisitas ialah konsep umum yang menggambarkan berapa perubahan akan
variabel A akibat perubahan pada variabel B. Dengan demikian hal ini dapat menunjukkan sensitifitas
dari hubungan antar dua variabel. Semakin dekat angka absolut elastisitas dengan satu, maka hal
tersebut disebut sebagai inelastis. Apabila angka elastisitas sama dengan satu, maka hal tersebut
disebut sebagai unitary elastic, dan apabila angka elastisitas jumlahnya lebih dari satu maka disebut
sebagai elastis. Detil daripada konsep elastisitas tentu ada pada buku-buku ilmu ekonomi apabila anda
ingin mengetahui penjelasan lebih lengkap, tetapi yang saya ingin samapikan ialah salah satu aplikasi
konsep ini bisa menggambarkan seberapa sensitif perilaku individu terhadap penyebaran penyakit.
Folland, Goodman, and Stano (2014) menyebut tipe elastisitas ini sebagai prevalence elasticity of
demand for prevention yang menggambarkan seberapa sensitif permintaan masyarakat akan tindakan
pencegahan terhadap peningkatan prevalensi suatu penyakit. Semakin mendekat angka 1, maka
masyarakat menjadi tidak peduli terhadap penyebaran penyakit. Lebih besar dari satu menunjukkan
masyarakat sangat responsif akan penyebaran penyakit dan akan bersiap dengan tindakan pencegahan.
Mengenali perilaku ini pada masyarakat dapat membantu seorang pembuat kebijakan dalam
mendesain program atau intervensi yang tepat.

Dalam sub-bab ini saya tentu tidak bisa menyampaikan seluruh model ekonomi yang sering
dipergunakan, dan saya juga tidak bisa menyampaikan metode-metode ilmu ekonomi analisis secara
lengkap. Akan tetapi saya harap dari paparan beberapa konsep atau model ekonomi yang telah saya
sampaikan dapat memberikan gambaran bagi anda mengenai apa yang bisa anda analisis dengan
menggunakan ilmu ekonomi, dan saya berharap anda bisa melihat betapa dekatnya model-model dan
konsep ekonomi ini dengan kehidupan anda. Pada sub-bab berikutnya saya akan sedikit mengulas
tentang ilmu ekonomi kesehatan, khususnya bagaimana konsep-konsep ilmu ekonomi yang sudah
saya jelaskan sebelumnya dipergunakan dalam cabang ilmu ekonomi ini. Tetapi saya tidak

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 19

menjelaskan sejarah perkembangan ilmu ekonomi kesehatan itu sendiri karena akan membutuhkan
sebuah buku khusus ekonomi kesehatan untuk itu.

B.7. Bagaimana menerapkan ilmu ekonomi pada bidang kesehatan? Apa itu ekonomi
kesehatan?
Yang jelas jawabannya bukanlah kesehatan ekonomi karena hal itu mempunyai makna yang sama
sekali berbeda. Pada dasarnya ilmu ekonomi kesehatan sama dengan cabang ilmu ekonomi lain,
misalnya ilmu ekonomi lingkungan. Pada cabang keilmuan ini dibahas berbagai masalah terkait
lingkungan dengan menggunakan kaca mata ilmu ekonomi. Demikian halnya dengan ekonomi
kesehatan dimana berbagai masalah kesehatan dibahas dengan menggunakan sudut pandang ilmu
ekonomi. Yang menjadikan berbagai cabang ilmu ekonomi ini unik ialah bidang dimana ilmu
ekonomi tersebut diterapkan. Dalam hal ini, apabila seseorang mempunyai latar belakang ilmu
ekonomi maka para ahli ekonomi kesehatan diharuskan juga memahami karakteristik dan dasar-dasar
dunia kesehatan yang relevan dengan isu yang dibahasnya. Sebaliknya apabila seseorang memiliki
latar belakang ilmu kesehatan, maka ahli ilmu kesehatan tersebut diharuskan memahami ilmu
ekonomi dan bagimana ilmu ekonomi tersebut diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah di
dunia kesehatan. Karena bab ini membahas mengenai dasar-dasar ilmu ekonomi mikro, maka saya
akan membahas ilmu ekonomi kesehatan ini dari sudut pandang seorang ekonom.

Konsep pertama yang anda harus pahami ialah kesehatan bagi para ekonomi ialah bentuk barang
kapital. Anda masih ingat pembahasan terkait K pada sub bab sebelumnya? Kesehatan ialah bentuk
lain daripada barang capital tersebut karena mempunyai karakteristik yang sama, yakni investasi atau
pengorbanan saat ini untuk mendapatkan hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Apabila kita
asumsikan kesehatan anda berada dalam keadaan normal, maka biaya hidup sehat sangatlah murah.
Tetapi opportunity cost dalam menjalani hidup sehat bisa saja besar. Misalkan apabila anda senang
sekali berburu kuliner, maka gaya hidup sehat akan menjadi sangat mahal bagi anda. Saya tidak
berbicara mengenai biaya mengkonsumsi sayur dan buah-buahan, tetapi opportunity cost dari
mengorbankan kenikmatan mengkonsumsi makanan-makanan enak untuk menjaga kesehatan. Tetapi
anda percaya bahwa dengan mengorbankan atau membatasi konsumsi makanan-makanan enak
tersebut (ini ialah opportunity cost anda) dan hidup sehat maka anda akan mendapat keuntungan yang
lebih besar di masa depan dibandingkan opportunity cost ditambah biaya mengkonsumsi makanan
sehat. Konsep ini menunjukkan bahwa untuk tujuan hidup sehat maka anda perlu melakukan sebuah
bentuk investasi. Yang kadang menjadi permasalahan ialah bentuk nyata dari keuntungan hidup sehat
belum tentu akan datang dalam satu dua hari kedepan. Jangka waktu ini bisa saja mencapai 10-20
tahun kedepan (atau bahkan lebih). Hal lainnya ialah bentuk dari pada kesehatan itu sendiri. Jika kita
berinvestasi pada, misal, deposito, maka kita bisa mengetahui jumlah penambahan modal yang akan
kita dapatkan dalam setahun. Tetapi tidak demikian halnya dengan kesehatan. Menurut Santerre and
Neun (2004) “health defies precise measurement”, sehingga akan sulit bagi kita untuk mengetahui
secara persis manfaat dari investasi kesehatan kita tersebut selain dari memperkirakannya melalui
hasil penelitian atau informasi dari para ahli di dunia kesehatan. Kedua hal ini menyebabkan
berinvestasi untuk kesehatan, khususnya untul tindakan pencegahan (preventif), menjadi relatif sulit.
Berinvestasi untuk hal yang bersifat kuratif bisa menjadi lebih mudah karena keuntungannya bisa
dirasakan dalam kurun waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan pencegahan. Tetapi sebagaiman kita
ketahui “mencegah lebih baik dari mengobati”. Berinvestasi pada intervensi preventif dapat
memberikan dampak yang lebih bersifat jangka panjang dan berdampak lebih luas dibandingkan

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 20

dengan berinvestasi pada intervensi kuratif, sehingga “return” dari investasi intervensi preventif bisa
mempunyai nilai yang lebih besar.

Konsep kedua yang tidak kalah penting (atau bisa lebih penting) ialah utility. Seperti yang telah saya
kemukakan sebelumnya, utility ialah jantung dari ilmu ekonomi. Demikian juga halnya dengan
ekonomi kesehatan, pilihan-pilihan yang dilakukan tidak hanya berakhir pada hidup sehat, tetapi dari
utility yang didapatkan dari hidup sehat. Apabila dengan hidup sehat anda akan menangis setiap hari
dan menyesali kehidupan anda yang sehat jasmani dan rohani, maka investasi untuk hidup sehat
menjadi hal yang dipertanyakan. Tetapi saya yakin pada umumnya manusia yang mempunyai
kesehatan yang baik akan mempunyai tingkat utility yang baik juga, ceteris paribus (walaupun kalau
hubungan tersebut dibalik belum tentu mempunyai arah hubungan yang sama, tetapi ini ialah untuk
pembahasan dilain waktu). Utility yang tinggi didapatkan dari dampak hidup sehat tersebut. Misalnya,
pada umumnya orang yang hidup sehat dapat menikmati kehidupan dengan lebih puas dibandingkan
dengan orang yang sakit. Orang yang lebih sehat juga dapat lebih produktif, yang kemudian dapat
berkaitan dengan pendapatan yang lebih baik sehingga berpotensi meningkatkan utility. Kemudian
orang yang leih sehat juga berpotensi untuk mempunyai umur lebih panjang sehingga dapat
menikmati hidup lebih lama. Demikian juga apabila pemerintah berusaha membuat rakyatnya menjadi
lebih sehat, tentunya akan berakhir pada kesejahteraan dan tingkat utility masyarakat yang lebih baik.
Tetapi jangan lupa diminishing marginal law juga berlaku untuk kesehatan. Misalnya, apabila
seseorang sakit maka konsumsi obat akan meningkatkan utility orang tersebut. Akan tetapi ketika
keadaan seseorang sudah menjadi semakin sehat, maka konsumsi obat malah akan menurunkan utility
orang tersebut. Sekali lagi pendekatan marjinal membantu kita untuk mengetahui kapan harus
berhenti. Contoh lain penerapan konsep marjinal ialah pada pemberian vaksin. Apabila sumber daya
terbatas, maka sebaiknya pemberian vaksin dimaksimalkan hingga MC = MSB, dimana MSB ialah
marginal social benefit. Marginal benefit sama saja dengan marginal revenue, tetapi apabila
ditambahkan kata social maka marginal benefit mempunyai arti tambahan yang sangat penting yaitu
dampak sosial. MSB ialah keuntungan dari suatu hal dengan memperhitungkan juga keuntungan
sosialnya. Contoh mudah ialah untuk vaksin difteri, dimana semakin banyak orang yang divaksin
maka keuntungan atau benefit yang dirasa tidak hanya untuk orang tersebut, tetapi juga untuk
masyarakat sekitarnya.

Konsep sosial ini bisa juga diterapkan pada cost, misalnya menjadi total social cost (TSC) atau
marginal social cost (MSC). Sebagai contoh, MSC konsumsi rokok tidak hanya pada tambahan biaya
pembeliannya saja tetapi juga pada tambahan biaya dampak kesehatan dan polusi yang ditimbulkan
asap rokok akibat setiap tambahan pembelian (dan/atau konsumsi) rokok. Kembali ke contoh vaksin,
secara teori MC = MSB ialah titik optimal untuk penggunaan vaksin. Artinya jumlah optimal orang
yang divaksin ialah jumlah ketika MC pemberian vaksin sama dengan MSB. Salah satu alasan untuk
hal ini ialah karena apabila semakin banyak orang yang divaksin, maka akan lebih sulit dan mahal
untuk menemukan orang berikutnya untuk divaksin (untuk menemukan orang ke 100 di sebuah desa
terpencil yang berpenduduk 100 orang tentu akan melelahkan). Disaat yang bersamaan MSB dari
pemberian vaksin pada orang terakhir tersebut tentu akan sangat kecil karena semua anggota
masyarakat lainnya sudah diberi vaksin. Akan tetapi apabila sumber daya kita benar-benar berlebih
dan semua kebutuhan sudah dapat tercukupi, maka bisa jadi vaksin akan diberikan kepada semua
orang terlepas dari titik MC = MSB tersebut karena sumber daya bukan masalah. Sebagai tambahan,
efek samping positif dari vaksin disebut sebagai eksternalitas positif. Sebaliknya, efek samping
negatif dari rokok disebut sebagai eksternalitas negatif. Eksternalitas ialah salah satu bentuk

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 21

kegagalan pasar dikarenakan pasar gagal dalam memberikan nilai bagi eksternalitas tersebut. Dalam
ilmu ekonomi, eksternalitas ialah sebuah konsep penting yang harus diperhitungkan karena akan
memberikan tambahan nilai (negatif ataupun positif) dari diterapkannya sebuah kegiatan atau
intervensi.

Konsep supply dan demand juga dapat diterapkan pada ekonomi kesehatan bersama dengan konsep
elastisitas. Dalam hal ini demand ialah bentuk perilaku daripada konsumen produk kesehatan
(misalnya pasien), sedangkan supply ialah perilaku penyedia layanan. Akan tetapi karena pasar atau
industri kesehatan kemungkinan besar akan menyangkut keberlangsungan hidup seseorang, maka
pada penerapannya diperlukan etika yang kuat. Pada pasar barang dan jasa kesehatan, hampir pasti
informasi yang sempurna tidak akan dipunyai konsumen. Apakah anda berani memperdebatkan hasil
diagnosa seorang dokter berdasarkan bacaan yang anda dapat dari internet? Saya rasa hal tersebut
tidaklah cerdas karena dokter menjalani pendidikan bertahun-tahun lamanya, sedangkan anda hanya
meluangkan waktu beberapa jam untuk mencari informasi di internet yang belum tentu semuanya
benar. Kemungkinan besar anda akan meminta second opinion yang datangnya dari seorang dokter
juga. Berbeda halnya ketika anda membeli smartphone, saya yakin dengan bacaan yang cukup anda
dapat mendebat penjual smartphone, bahkan anda bisa mempunyai informasi yang lebih lengkap
daripada si penjual. Dan jangan lupa salah membeli smartphone kemungkinan besar tidak akan
berujung pada kematian (saya menggunakan kata “kemungkinan besar” karena, who knows?), berbeda
dengan layanan kesehatan. Dengan demikian, apabila anda bukan bagian dari dunia kesehatan,
kemungkinan besar informasi yang sempurna tidak akan anda miliki dalam melakukan transaksi di
industri kesehatan. Hal ini menunjukkan pasar barang dan jasa kesehatan bukanlah perfect
competition market. Anda akan bergantung hampir sepenuhnya pada keputusan para ahli di bidang
kesehatan dalam membeli barang dan jasa di industri ini, dan hal tersebut bisa berakibat fatal apabila
para pekerja di bidang kesehatan tidak memiliki etika dalam berperilaku.

Kita ambil contoh demand untuk operasi jantung. Pada tahap ini semestinya anda sudah bisa
memahami kalau demand akan operasi jantung bersifat inelastis, karena berapapun harga yang
ditetapkan kemungkinan besar pasien akan tetap mengonsumsinya (sama halnya dengan sembako).
Bayangkan apabila ada oknum di dunia kesehatan yang menerapkan harga tinggi di atas pasar untuk
operasi ini. Karena operasi ini kemungkinan besar akan menyelamatkan nyawa seseorang dan bersifat
darurat, maka pasien akan membeli jasa operasi ini berapapun harganya. Dengan demikian oknum
tersebut akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Tetapi pertanyaannya, apakah hal tersebut
etis? Tentu tidak, dan hal seperti ini harus disadari oleh semua pihak dan sebaiknya pemerintah ikut
andil dalam pengaturannya. Akan tetapi perlu juga dipahami bahwa tidak semua barang dan jasa
kesehatan tidak mempunyai harga tinggi. Misalnya, harga yang tinggi boleh ditetapkan pada ruang
VIP, karena penggunaannya ialah bersifat pilihan dan saya kira tidak akan ada pasien yang meninggal
apabila dia tidak dirawat di VIP (kecuali semua ruang lainnya terisi).

Terakhir, konsep scarcity juga terjadi pada dunia kesehatan. Indonesia mempunyai banyak
permasalahan kesehatan yang membutuhkan biaya dalam penyelesaiannya (TB, HIV/AIDS, diabetes,
jantung, malaria, demam berdarah, dan seterusnya), tetapi Indonesia tidak mempunyai sumber daya
yang tidak terbatas untuk menyelesaikan kesemua masalah tersebut. Dengan demikian pilihan harus
dibuat, dimana pilihan ini akan bermuara pada utility. Misal, dengan dana yang terbatas, intervensi
apa terkait pencegahan penyakit HIV/AIDS yang dapat paling banyak menyelamatkan hidup orang
atau menghindari infeksi? Dalam hal ini yang mahal bisa menjadi murah, dan sebaliknya yang murah

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 22

bisa menjadi mahal. Apabila intervensi yang murah hanya bisa menghindari sedikit infeksi sedangkan
intervensi yang lebih mahal bisa menghindari lebih banyak infeksi, maka biaya per infeksi
terhindarkan bisa jadi lebih rendah untuk intervensi yang lebih mahal. Hal-hal seperti ini menjadi
salah satu topik bahasan di dunia ilmu ekonomi kesehatan, dan dalam penerapannya konteks menjadi
sangat penting. Agar sebuah intervensi bisa menjadi sangat efektif, kita perlu memahami konteks
dimana intervensi tersebut diterapkan. Intervensi pencegahan HIV/AIDS yang sukses diterapkan di
kota Bandung belum tentu bisa diterapkan dengan metode yang sama di kota Jakarta Selatan.
Walaupun nama intervensi di kedua kota tersebut bisa saja sama, tetapi pada pelaksanaannya
kemungkinan akan ada modifikasi yang disesuaikan dengan keadaan, sebagai contoh, budaya atau
politik setempat.

Metode untuk menilai sebuah intervensi itu efektif atau tidak dinamakan economic evaluation, sebuah
keluarga besar metode yang terdiri dari cost analysis, cost benefit analysis, cost effectiveness analysis,
dan cost utility analysis. Saya hanya ingin menekankan bahwa dikala sebuah intevensi dinilai tidak
cost effective, maka perlu dicermati alasan yang
mendasari didapatkannya hasil tersebut. Apakah
Health economics
karena efek intervensi yang memang kecil atau ada
penolakan dari masyarakat setempat? Dengan “Studies the supply and demand of health care
demikian anda bisa melihat bahwa dalam resources and the impact of health care
melakukan pilihan-pilihan kita perlu sedikit demi resources on a population.” (The Mosby
sedikit melepaskan asumsi ceteris paribus dan Medical Encyclopedia as cited in Santerre and
Neun 2004)
mendekatkan analisis kita kepada keadaan
sebenarnya, walaupun tidak akan pernah sempurna.
Disinilah ekonomi kesehatan dari sisi ekonomi mikro mempunyai karakter yang berbeda dikarenakan
keberhasilan dari pilihan yang dibuat juga akan sangat bergantung pada konteks pilihan tersebut
diterapkan. Dalam hal ini behavior juga mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan
berhasil tidaknya sebuah intervensi. Anda bisa melihat pada akhirnya para ahli ekonomi kesehatan
tidak akan bisa bergantung pada keilmuannya sendiri, tetapi akan bekerja sama dengan berbagai
bidang ilmu lainnya untuk menilai apakah sebuah intevensi itu efektif atau tidak, dan memahami
alasan dibelakangnya.

C. RANGKUMAN
Sekali lagi saya tekankan bab ini tidak akan membuat anda seorang ekonom yang ahli, tetapi bab ini
hanya bermaksud memaparkan beberapa konsep dasar pada ilmu ekonomi, khususnya ekonomi mikro,
dan masih banyak lagi konsep-konsep dasar lainnya yang belum tersampaikan. Sebagai perbandingan,
seorang sarjana ilmu ekonomi akan mempelajari pengantar ilmu ekonomi dan dilanjutkan dengan
mikroekonomi 1 dan 2 yang kesemuanya mencapai tiga semester (1,5 tahun). Ekonomi makro akan
memakan tiga semester juga, jadi jelas dua bab pertama buku ini (atau bahkan kesemua isi buku ini)
tidak akan bisa menyamai isi dari keseluruhan ilmu ekonomi.

Akan tetapi yang ingin saya sampaikan kepada anda ialah esensi dari ilmu ekonomi itu sendiri, paling
tidak menurut pemahaman saya. Saya harap anda sudah bisa memahami kalau uang bukanlah tujuan
akhir dalam melakukan berbagai pilihan menurut ilmu ekonomi, melainkan utility, dan kesehatan
ialah salah satu jalan menuju peningkatan utility. Dengan memahami hal ini, saya juga berharap anda
bisa memahami kalau ilmu ekonomi ialah ilmu sosial dimana subjek pembahasan utama kita ialah
manusia. Dengan demikian ketika anda menggunakan ilmu ekonomi untuk mendesain sebuah

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 23

kebijakan, ingatlah bahwa titik akhir dari kebijakan anda itu ialah utility dan hidup dari banyak orang
sehingga diperlukan kebijaksanaan dalam mengaplikasikan ilmu yang sangat powerful ini.

D. LATIHAN/TUGAS
Terakhir, saya akan meninggalkan anda dengan memperlihatkan diagram circular flow yang
merupakan rumah dari kesemua konsep yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Mohon anda cermati
dan pahami dimana letak konsep-konsep yang sudah saya jelaskan pada diagram ini. Apabila anda
sudah bisa memahami, maka dengan mudah anda juga bisa memahami aplikasi dari konteks dunia
kesehatan pada diagram circular flow tersebut. Selamat mencoba!

(Terima kasih kepada Donny Hardiawan yang telah mempersiapkan gambar-gambar kurva yang ada pada bab ini. Gambar-
gambar yang ada pada bab ini diambil atau diadaptasi dari berbagai buku teks yang saya tampilkan pada bagian referensi)

E. RUJUKAN DAN BACAAN YANG DIANJURKAN


1. Case, Karl E., Ray C. Fair, and Sharon M. Oster. 2012. Principles of Economics. 10th ed. Boston:
Prentice Hall.
2. Folland, Sherman, Allen C Goodman, and Miron Stano. 2014. The Economics of Health and
Health Care. 7th ed. Essex: Pearson Education Limited.
3. Mankiw, N. Gregory. 2007. Principles of Economics. 4th ed. Mason: Thomson South-Western.
4. Nicholson, Walter, and Christopher Synder. 2008. Microeconomic Theory: Basic Principles and
Extensions. 10th Ed. Mason: Thomson South-Western.
5. Samuelson, Paul A., and William D. Nordhaus. 2010. Economics. 19th ed. Singapore: McGraw-
Hill.
6. Santerre, Rexford E, and Stephen P Neun. 2004. Health Economics: Theories, Insights, and
Industry Studies. 3rd ed. Mason: Thomson South Western.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 24

BAB 2. DEFINISI DAN RUANG LINGKUP EKONOMI MAKRO


Dr. Abdillah Ahsan, SE, MSE
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

A. PENDAHULUAN
Bagian ini membahas dasar-dasar teori ekonomi makro yang perlu dipahami oleh para mahasiswa
untuk mata kuliah ekonomi kesehatan. Pemahaman akan ekonomi makro akan memperkuat
kemampuan mahasiswa dalam menganalisis isu-isu pembangunan kesehatan dihubungkan dengan
kondisi ekonomi makro. Penyajian dalam bagian ini akan dibagi menjadi 8 (delapan) topik bahasan,
yaitu:
1. Topik pertama menjelaskan tentang definisi dan ruang lingkup ekonomi makro beserta dengan
jenis-jenis indikator ekonomi makro yang lazim digunakan secara global.
2. Topik kedua menjelaskan tentang circular flow dalam perekonomian serta hubungan diantara para
aktor ekonomi, yaitu rumah tangga, perusahaan, pemerintah, lembaga keuangan, dan pihak
internasional.
3. Topik ketiga akan membahas tentang konsep Gross Domestik Product (GDP) yang
memperlihatkan nilai barang dan jasa di suatu negara di tahun tertentu beserta dengan pendekatan
dan cara penghitungannya.
4. Topik keempat menjelaskan tentang konsep employment (ketenagakerjaan) beserta jenis-jenisnya
yang terkait dengan kondisi ekonomi.
5. Topik kelima membahas mengenai konsep inflasi dan interest rate (suku bunga), bagaimana
pengaruh keduanya terhadap kinerja ekonomi.
6. Topik keenam menjelaskan tentang kebijakan ekonomi makro, yaitu kebijakan fiskal yang terkait
dengan peran anggaran negara dalam mempengaruhi perekonomian, serta kebijakan moneter yang
terkait dengan peran bank sentral dalam mempengaruhi perekonomian melalui pengendalian
jumlah uang beredar.
7. Topik ketujuh mengupas mengenai teori dasar pertumbuhan ekonomi terutama tentang human
capital development.
8. Topik kedelapan membahas isu-isu atau studi empiris berkenaan dengan kontribusi masyarakat
yang sehat pada pertuumbuhan ekonomi dan sebaliknya.

B. PENYAJIAN MATERI
B.1. Definisi Ekonomi Makro dan Indikatornya
Makro ekonomi berkaitan dengan analisis perekonomian secara keseluruhan. Makro ekonomi
berfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nasional, berkaitan dengan analisis
agregat, misalnya konsumsi agregat dan investasi agregat, dan melihat dengan rinci pada pergerakan
harga seluruh barang dan jasa dalam perekonomian bukan pergerakan harga barang tertentu.

Analisis agregat adalah analisis terhadap perilaku rumah tangga dan perusahaan secara bersamaan.
Terdapat 3 (tiga) perhatian utama ekonomi makro, yaitu:
1. Pertumbuhan output Pertumbuhan output yang diproduksi perekonomian sangatlah penting untuk
mengimbangi peningkatan kebutuhan masyarakat akibat bertambahnya jumlah penduduk.
2. Penggangguran Kondisi pengangguran akan mempengaruhi pendapatan masyarakat. Penurunan
tingkat pengangguran akan memastikan bahwa semakin banyak masyarakat yang memiliki
pendapatan sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 25

3. Inflasi dan deflasi Inflasi adalah kondisi kenaikan harga secara keseluruhan. Inflasi yang tinggi
akan berimplikasi pada penurunan daya beli masyarakat (pendapatan tetap, tetapi harga naik,
sehinga daya beli menurun). Namun inflasi juga menandakan adanya aktivitas ekonomi yang
bertumbuh. Sebaliknya deflasi, penurunan tingkat harga secara keseluruhan, menunjukkan
kelesuan perekonomian. Beberapa indikator dan istilah kunci yang dibahas dalam ekonomi makro
misalnya: (1) national income; (2) aggregate output; (3) gross domestic product (GDP); (4) gross
national product (GNP); (5) intermediate good; (6) final good; (7) value added; (8) nominal
GDP; (9) real GDP; (10) real GDP per capita; (11) GDP growth; (12) expansions; (13)
recessions; (14) employment; (15) unemployment; (16) labor force; (17) unemployment rate; (18)
not in the labor force; (19) discouraged workers; (20) participation rate; (21) inflation; (22) price
level; (23) deflation; (24) consumer price index (CPI); (25) short run; (26) medium run; (27) long
run; (28) base year.

B.2. Circular Flow dan Aktor-aktor dalam Perekonomian


Analisis aktor dalam ekonomi makro biasanya dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu ekonomi tertutup dan
ekonomi terbuka. Pada analisis ekonomi tertutup, aktor perekonomian hanya terdiri dari 3 (tiga) aktor,
yaitu perusahaan (produsen), rumah tangga (konsumen), dan pemerintah. Sementara di ekonomi
terbuka, dimana perekonomian mengadakan perdagangan internasional dengan pihak luar negeri, satu
aktor lainnya adalah rest of the world (negara lain) yang terkait perdagangan internasional (kegiatan
ekspor dan impor). Aktor berikutnya yang mempengaruhi perekonomian adalah lembaga keuangan
(baik bank maupun non bank) yang menjadi intermediary actor melalui aktivitas simpan pinjamnya.

Hubungan antar aktor dapat dijelaskan, sebagai berikut:


1. Rumah tangga membeli barang dan jasa yang dihasilkan p.erusahaan.
2. Perusahaan membayar upah, bunga, dividen, keuntungan, dan sewa ke rumah tangga.
3. Perusahaan membayar pajak ke pemerintah.
4. Pemerintah membeli barang dan jasa ke perusahaan.
5. Rumah tangga membayar pajak ke pemerintah.
6. Pemerintah membayar upah, bunga dan pembayaran transfer (subsidi) ke rumah tangga.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 26

7. Rumah tangga melakukan pembelian barang dan jasa dari luar negeri (impor).
8. Perusahaan menjual barang dan jasa ke luar negeri (ekspor).
Kinerja dan interaksi para aktor-aktor ekonomi akan mempengaruhi kondisi perekonomian yang akan
dijelaskan pada sub-topik berikutnya.

B.3. Konsep Gross Domestic Product


Gross Domestic Product (GDP) atau produk domestik bruto (PDB) merupakan total nilai barang dan
jasa yang diproduksi di negara tertentu dan pada waktu tertentu. GDP merupakan nilai pasar dari
output yang dihasilkan oleh suatu negara dengan menggunakan faktor produksi yang berada di dalam
negara tersebut. Sedangkan gross national product (GNP) atau produk nasional bruto (PNB) adalah
total nilai barang dan jasa yang diproduksi pada waktu tertentu dengan menggunakan faktor produksi
yang dimiliki oleh warga negara setempat, baik yang berlokasi di dalam negeri maupun di luar negeri.

GDP merupakan indikator perekonomian utama yang melihat pertumbuhan produksi barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pertumbuhan produksi output akan berhubungan positif
dengan pertumbuhan pendapatan bagi faktor produksi yang terlibat di dalamnya, baik pekerja maupun
pemilik modal.

Dalam menghitung GDP, terdapat 3 (tiga) pendekatan, yaitu pendekatan nilai tambah (value added),
pendekatan pendapatan (income), dan pendekatan pengeluaran (expenditure).
1. Pendekatan nilai tambah, menjumlahkan semua nilai tambah pada setiap tahapan produksi atau
nilai penjualan pada produk terakhir (value of final sales). Perlu digarisbawahi bahwa yang
dihitung adalah nilai tambah dari setiap tahapan produksi yang nilainya sama dengan penjualan
akhir. Sehingga GDP bukanlah penjumlahan nilai penjualan semua barang yang diproduksi dalam
perekonomian. GDP hanya berfokus pada produksi barang dan jasa akhir yang baru atau terkini.
Produksi barang akhir yang lama telah masuk perhitungan pada saat dia diproduksi. Tabel di
bawah ini memperlihatkan contoh penghitungan nilai tambah pada produk bahan bakar minyak
(BBM).

2. Pendekatan pengeluaran, yaitu metode penghitungan GDP dengan menjumlahkan seluruh


pengeluaran aktor-aktor ekonomi untuk membeli barang dan jasa pada periode tertentu. Terdapat
empat kategori utama pengeluaran:
a. Pengeluaran konsusmi individu (C) adalah pengeluaran rumah tangga untuk membeli barang
dan jasa.
b. Gross private domestic investment (I) adalah pengeluaran perusahaan dan rumah tangga untuk
berinvestasi membeli barang modal baru, misalnya pabrik, peralatan, persediaan, dan
perumahan.
c. Government consumption and gross investment (G) adalah belanja dan investasi pemerintah
yang terkait dengan pelaksanaan tugas sehari-hari.
The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018
Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 27

d. Net exports (EX – IM) adalah pengeluaran bersih terkait dengan perdagangan internasional
(ekspor dikurangi dengan impor).

GDP = C + I + G + (EX - IM)

3. Pendekatan pendapatan adalah metode penghitungan GDP yang menjumlahkan semua pendapatan
faktor produksi dalam memproduksi barang dan jasa berupa gaji, sewa, bunga, dan keuntungan.
Terdapat dua jenis penghitungan GDP dilihat dari tahun dasar yang digunakan, yaitu nominal
GDP dan real GDP.

Nominal GDP merupakan nilai barang dan jasa dengan menggunakan harga pada tahun berlaku.
Misalnya nominal GDP untuk tahun 2018, menggunakan tingkat harga pada tahun 2018. Nominal
GDP ini akan meningkat setiap tahun karena dua kemungkinan, yaitu meningkatnya jumlah produksi
barang dan jasa, dan meningkatnya tingkat harga. Sehingga perubahan nilai nominal GDP tidak serta
merta mencerminkan perubahan jumlah barang dan jasa yang diproduksi. Real GDP merupakan nilai
barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga konstan pada tahun dasar tertentu.
Misalnya penghitungan real GDP tahun 2018 dengan menggunakan tingkat harga tahun dasar 2010.
Perubahan Real GDP akan menunjukkan perubahan jumlah barang dan jasa yang diproduksi oleh
perekonomian.

B.4. Konsep Employment dan Jenis-jenisnya


Selain fokus pada peningkatan GDP, teori ekonomi makro juga berfokus pada masalah
ketenagakerjaan. Hal ini karena pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah yang mampu
menurunkan jumlah pengangguran. Tingginya angka pengangguran berimplikasi pada turunnya
pendapatan rumah tangga yang mengurangi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari.

Para ekonom memberikan perhatian pada permasalahan pengangguran karena dua hal. Pertama, hal
ini berdampak langsung pada menurunnya kesejahteraan masyarakat. Kedua, hal ini merupakan sinyal
bagi kondisi perekonomian, misalnya peningkatan jumlah penganggruan yang drastis diluar tingkat
normalnya mengindikasikan terjadinya resesi ekonomi.

Penduduk dengan status bekerja adalah mereka yang sedang memiliki pekerjaan. Sedangkan
penduduk dengan status menganggur adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan sedang
mencari pekerjaan. Secara sederhana penduduk menurut status ketenagakerjaan dijelaskan sebagai
berikut:
Penduduk = Usia Produktif (15-65) + Usia Tidak Produktif
Penduduk Usia Produktif = Angkatan Kerja + Bukan Angkatan Kerja
Bukan Angkatan Kerja = Penduduk usia produktif tetapi tidak ingin bekerja
Angkatan Kerja = Penduduk usia produktif yang mencari pekerjaan
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) = AK : Penduduk Usia Produktif
Angkatan Kerja = Bekerja + Pengangguran
Tingkat Pengangguran = Penduduk yang Menganggur/Angkatan Kerja

Jenis-jenis pengangguran dikaitkan dengan kondisir ekonomi ada 3 (tiga), yaitu pengangguran
friksional, pengangguran struktural, dan pengangguran siklus.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 28

1. Pengangguran friksional merupakan pengangguran yang terjadi karena perputaran tenaga kerja
yang alamiah (normal turnover of labor), seperti fresh graduate yang mencari pekerjaan, orang
yang sedang menunggu pekerjaan, dan memasuki usia pensiun. Jenis pengangguran ini tidak
berhubungan dengan kondisi ekonomi, baik resesi maupun ekspansi.
2. Pengangguran struktural adalah pengangguran yang terjadi karena ketidakcocokan antara
karakteristik penawaran tenaga kerja dengan permintaan tenaga kerja. Hal ini terjadi misalnya
akibat perubahan struktur ekonomi, dari pertanian ke industri. Pengangguran jenis ini juga tidak
tergantung dengan kondisi ekonomi, baik pada saat resesi maupun saat ekspansi.
3. Pengangguran siklus adalah pengangguran yang terjadi pada saat terjadi resesi ekonomi dimana
output perekonomian berada di bawah output potensialnya. Apabila output perekonomian lebih
tinggi dari output potensial maka pengangguran siklus akan menurun, dan demikian sebalikya.

B.5. Konsep Inflation dan Interest Rate


Inflasi adalah situasi dimana harga secara umum mengalami peningkatan yang terus menerus. Tingkat
inflasi sama dengan tingkat peningkatan harga. Sementara itu, deflasi adalah situasi pada saat tingkat
harga mengalami penurunan. Deflasi adalah tingkat inflasi yang negatif. Inflasi sangat penting dalam
menentukan kesejahteraan masyarakat. Dengan pendapatan yang tetap dan inflasi yang meningkat
maka masyarakat akan menurun daya belinya, atau penghasilan masyarakat dicuri oleh tingkat inflasi.

Indeks Harga Konsumen (IHK) mengukur tingkat harga rata-rata yang dibayar oleh konsumen (cost of
living). IHK menunjukkan biaya untuk memperoleh barang dan jasa tertentu dari waktu ke waktu
yang mewakili consumption basket dari konsumen di kota-kota tertentu. Jenis-jenis barang dan jasa
yang diproduksi dalam sebuah perekonomian tidak sama dengan jenis-jenis barang dan jasa yang
dikonsumsi oleh masyarakat. Oleh karena pertama, beberapa barang dan jasa dijual kepada
perusahaan, pemerintah, dan pihak luar negeri. Kedua, beberapa barang dan jasa tidak diproduksi di
dalam negeri namun di impor dari negara lain. Ekonom peduli terhadap tingkat inflasi karena dua
alasan yaitu pertama, selama periode inflasi, kenaikan harga dan upah tidak naik secara proporsional
yang akan berdampak pada ketimpangan distribusi pendapatan. Kedua, inflasi akan mendorong
distorsi ekonomi seperti menurunnya permintaan sehingga output perekonomian juga menurun.

Pembahasan lainnya adalah mengenai tingkat suku bunga merupakan sejumlah uang yang harus
dibayarkan ketika meminjam uang dalam satu periode. Semakin tinggi tingkat suku bunga maka
semakin rendah permintaan akan pinjaman dan akhirnya berdampak negatif pada tingkat investasi.
Ada dua jenis suku bunga, yaitu nominal interest rate, jumlah uang yang harus dibayarkan oleh
peminjam, dan real interest rate, return on a loan dalam hal ini suku bunga nominal dikurangi dengan
tingkat inflasi.

B.6. Jenis-jenis Kebijakan Ekonomi Makro


Peran pemerintah dalam perekonomian adalah menarik pajak dan melakukan belanja dan tranfer.
Pemerintah menarik pajak dari perusahaan, baik yang langsung terkait dengan aktivitas bisnis, seperti
pajak keuntungan dan pajak pertambahan nilai, maupun pajak penghasilan para pekerja di perusahaan
tersebut. Dari pendapatan pajak yang diterima ini, pemerintah melakukan belanja terkait dengan
fungsinya sebagai penyedia barang publik dan hal-hal lain yang terkait. Belanja pemerintah ini akan
menggerakkan perekonomian yang ditentukan oleh faktor pengganda (multiplier).

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 29

Kebijakan pemerintah terkait dengan pajak (pendapatan) dan belanja disebut dengan kebijakan fiskal.
Pemerintah menetapkan tarif pajak dan mengalokasikan belanja sedemikian rupa sehingga
mempengaruhi kondisi perekonomian dengan lebih baik. Ada 2 (dua) sifat dari kebijakan fiskal, yaitu
ekspansi dan kontraksi. Kebijakan fiskal ekspansi terjadi pada saat perekonomian melambat sehingga
pemerintah ingin menggerakkan perekonomian dengan menurunkan tingkat pajak atau mengendurkan
kenaikannya, dan meningkatkan jumlah belanja pemerintah. Kebijakan fiskal kontraksi terjadi pada
saat perekonomian membara sehingga lajunya perlu diperlambat. Hal ini dilakukan dengan
meningkatkan tarif pajak dan mengurangi belanja pemerintah.

Kebijakan berikutnya adalah kebijakan moneter. Kebijakan moneter berfokus pada fungsi bank sentral
mengendalikan jumlah uang beredar. Semakin banyak jumlah uang beredar maka semakin rendah
tingkat suku bunga dan akan meningkatkan investasi. Sebaliknya semakin sedikit jumlah uang beredar
maka semakin tinggi tingkat suku bunga dan akan menurunkan investasi. Kebijakan moneter juga
memiliki 2 (dua) sifat, yaitu kebijakan moneter ekspansi dan kebijakan moneter kontraksi. Kebijakan
moneter ekspansi terjadi pada saat perekonomian melambat. Untuk meningkatkan perekonomian
melalui peningkatan investasi maka bank sentral menambah jumlah uang beredar agar tingkat suku
bunga turun. Sebaliknya, kebijakan moneter kontraksi terjadi pada saat perekonomian membara dan
perlu didinginkan. Hal ini dilakukan dengan mengurangi jumlah uang beredar sehingga tingkat suku
bunga meningkat yang akan menurunkan investasi. Bank sentral menaikkan dan menurunkan tingkat
suku bunga dengan menambah jumlah uang yang beredar melalui beberapa instrumen giro wajib
minimum perbankan, operasi pasar uang, seleksi pengendalian kredit, dan suku bunga SBI.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 30

B.7. Teori Pertumbuhan Ekonomi


Teori dasar pertumbuhan ekonomi ada 2 (dua), yaitu Harrod Domar Model dan Lewis Model.

Gambar 2.4. Harrod Domar Model

Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh ratio keinginan menabung (marginal
propensity to save) dan keinginan berinvestasi masyarakat (marginal propensity to invest). Untuk
menggerakkan perekonomian maka tingkat tabungan haruslah lebih besar dari kebutuhan investasi.
Semakin tinggi tingkat tabungan maka semakin tinggi pula pertumbuhan ekonominya.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 31

Gambar 2.5. Lewis Model of Modern Sector Growth

Dalam teori ini, perekonomian dibagi menjadi 2 (dua), yaitu sektor tradisional (pertanian) dan sektor
modern (industri). Di dalam sektor pertanian dengan teknologi yang sederhana memberikan upah
yang lebih rendah sehingga terjadi surplus penawaran tenaga kerja. Surplus tersebut akan berpindah
ke sektor industri yang memiliki produktivitas dan upah yang lebih tinggi. Perekonomian akan
semakin maju apabila terjadi perubahan struktural dari sektor pertanian ke sektor industri.

C. LATIHAN/TUGAS
Isu-isu Hubungan antara Kesehatan Masyarakat dan Pertumbuhan Ekonomi (Diskusi Kelompok)

Peserta mendiskusikan paper “WORKING PAPER NO. 24 Population Health and Economic Growth
David E. Bloom and David Canning dan Sloan and Hsieh, (2012), Health Economics, MIT Press:
Cambridge, Chapter 16”

Topik-topik diskusi adalah:


1. Hubungan antara kualitas kesehatan dan pertumbuhan ekonomi.
2. Dampak pendanaan pelayanan kesehatan terhadap perekonomian nasional dan tingkat kesehatan
masyarakat.
3. Kontribusi perbaikan kualitas kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi.
4. Hubungan antara tingkat pengangguran dengan tingkat kematian.

D. RUJUKAN DAN BACAAN YANG DIANJURKAN


1. Blanchard, Olivier (2006). Macroeconomics, 4th Ed. New Jersey: Prentice Hall.
2. Mankiw, N.G. (2003), Macroeconomics 5th Ed. New York: Worth Publisher.
3. Todaro, Economic Development.
4. WORKING PAPER NO. 24 Population Health and Economic Growth David E. Bloom and David
Canning.
5. Sloan and Hsieh, (2012), Health Economics, MIT Press: Cambridge, Chapter 16.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 32

BAB 3. PENGANTAR EKONOMI KESEHATAN


Dr. dra. Chriswardani Suryawati, MKes
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro

A. PENDAHULUAN
Bab yang berjudul Pengantar Ekonomi Kesehatan ini mempunyai Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
sebagai berikut:
1. Peserta mampu menjelaskan tentang arti penting mempelajari Ekonomi Kesehatan.
2. Peserta mampu menjelaskan selintas jejak pengembangan Ekonomi Kesehatan di Indonesia.
3. Peserta mampu menjelaskan dan menyimpulkan pengertian Ekonomi Kesehatan.
4. Peserta mampu menjelaskan bidang kajian Ekonomi Kesehatan.
5. Peserta mampu menjelaskan berbagai faktor yang berpengaruh pada penerapan Ekonomi
Kesehatan.
6. Peserta mampu menyimpulkan prospek dan tantangan Ekonomi Kesehatan di Indonesia.

Sebelum mempelajari bidang kajian Ekonomi Kesehatan maka terlebih dahulu harus dipahami arti
penting mempelajari Ekonomi Kesehatan, kilasan pengembangan Ekonomi Kesehatan di Indonesia,
pengertian Ekonomi Kesehatan, nilai-nilai filosofisnya, bidang kajian Ekonomi Kesehatan dan
prospek, serta tantangan Ekonomi Kesehatan di Indonesia.

B. PENYAJIAN MATERI
B.1. Arti Penting Mempelajari Ekonomi Kesehatan
Hampir setiap manusia di dunia sebenarnya mempunyai alasan untuk “terkait” dengan Ekonomi
Kesehatan. Bila diajukan pertanyaan berikut ini, apakah jawaban kita “ya” atau “tidak”?. (1) apakah
kita mempunyai sumber daya yang terbatas bila kita sakit? (2) apakah kita tidak mempunyai
kemampuan untuk memprediksi masa depan termasuk kondisi kesehatan kita dengan baik? (3) apakah
kita berada di dalam negara dengan pajak yang dibebankan pada masyarakatnya? Bila jawaban kita
“ya” maka Ekonomi Kesehatan adalah penting untuk kita dan sesungguhnya Ekonomi Kesehatan
dapat membuat kita menjadi lebih sehat.

Kesehatan tidak sekedar terkait dengan bahasan tentang angka-angka biaya kesehatan, economic lost
karena suatu penyakit, Quality Adjusted Life Years (QALY), asuransi kesehatan atau kemampuan
membayar pelayanan kesehatan, tetapi lebih dari itu, Ekonomi Kesehatan berkaitan dengan berbagai
upaya untuk mewujudkan kesejahteraan manusia karena derajat kesehatan yang optimal. Ekonomi
Kesehatan tidak sekedar membantu pengambilan keputusan untuk mewujudkan kesehatan diri dan
masyarakat yang lebih baik tetapi juga berkaitan dengan berbagai aspek dalam kehidupan manusia
yang terkait dengan kesehatan yang cukup kompleks dan seringkali saling berlawanan.

Memahami Ekonomi Kesehatan adalah penting. Alasannya yaitu adanya kebutuhan dan keharusan
yang terus meningkat untuk menggunakan teori dan metode Ilmu Ekonomi di bidang kesehatan. Pada
pelayanan kesehatan maka ekonomi layanan kesehatan menjadi massive dan mahal yang
perkembangannya yang disebabkan oleh ketidakpastian berbagai faktor terkait kesehatan dan terutama
terkait kesakitan. Karena terkait dengan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat maka
pemerintah negara-negara di seluruh dunia secara mendalam melibatkan diri dalam urusan kesehatan
warganya dan berperan penting dalam sistem kesehatan negaranya.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 33

Ekonomi Kesehatan juga perlu dipelajari karena terdapat hubungan antara kesehatan dan ekonomi.
Kesehatan mempengaruhi kondisi ekonomi, dan sebaliknya ekonomi mempengaruhi kesehatan.
Sebagai contoh: (1) kesehatan yang buruk seorang menyebabkan biaya bagi orang tersebut karena
menurunnya kemampuan untuk menikmati hidup, memperoleh penghasilan, atau bekerja dengan
efektif. Kesehatan yang lebih baik memungkinkan seorang untuk memenuhi hidup yang lebih
produktif; (2) kesehatan yang buruk individu dapat memberikan dampak dan ancaman bagi orang
lain; (3) seorang yang terinfeksi penyakit infeksi dapat menular ke orang lain misalnya, AIDS; (4)
kepala rumah tangga pencari nafkah yang tidak sehat atau sakit akan menyebabkan penurunan
pendapatan keluarga, makanan, dan perumahan yang buruk bagi keluarga; (5) Anggota keluarga yang
harus membantu merawat anggota keluarga yang sakit akan kehilangan waktu untuk mendapatkan
penghasilan dari pekerjaan; (6) pekerja yang memiliki kesehatan buruk akan mengalami penurunan
produktivitas. Jadi pelayanan kesehatan yang lebih baik akan memberikan manfaat bagi individu dan
masyarakat keseluruhan jika membawa kesehatan yang lebih baik. Status kesehatan penduduk yang
baik meningkatkan produktivitas, meningkatkan pendapatan per kapita, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi negara.

Pada dasarnya ilmu Ekonomi Kesehatan sama dengan cabang-cabang ilmu Ekonomi lain, misalnya
ilmu Ekonomi Lingkungan, ilmu Ekonomi Pertanian, ilmu Ekonomi Industri, dan lain-lain. Pada ilmu
Ekonomi Lingkungan misalnya, akan dibahas berbagai masalah terkait lingkungan dengan
menggunakan kaca mata ilmu Ekonomi. Demikian halnya dengan ilmu Ekonomi Kesehatan dimana
berbagai masalah kesehatan dibahas dengan menggunakan sudut pandang ilmu Ekonomi.

Yang menjadikan berbagai cabang ilmu Ekonomi ini unik ialah bidang dimana Ilmu Ekonomi tersebut
diterapkan. Apabila seseorang mempunyai latar belakang ilmu Ekonomi maka para ahli Ekonomi
Kesehatan diharuskan juga memahami karakteristik dan seluk beluk dunia kesehatan yang relevan
dengan isu yang dibahasnya. Sebaliknya apabila seseorang memiliki latar belakang Ilmu Kesehatan,
maka ahli ilmu Kesehatan tersebut diharuskan memahami ilmu Ekonomi dan bagaimana ilmu
Ekonomi tersebut diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah di dunia kesehatan. Mengawinkan
dua ilmu, yaitu ilmu Ekonomi dan ilmu Kesehatan berarti juga harus memahami bahwa tidak semua
aspek dari kedua ilmu tersebut dapat dikawinkan dan tidak semua teori/konsep/metode ilmu Ekonomi
dapat diterapkan di bidang kesehatan. Berbagai teori/dalil dan metode ilmu Ekonomi yang terangkum
di dalam Ekonomi Mikro dan Ekonomi Makro haruslah dipilih yang relevan dengan karakteristik
kesehatan (pelayanan kesehatan).

Kesehatan sebagai sebuah komoditi barang/jasa berbeda dengan barang/jasa lain pada umumnya
dimana ilmu Ekonomi dengan mudah diaplikasikan. Industri pelayanan kesehatan mempunyai
karakteristik yang berbeda, antara lain asimetri posisi antara produsen dengan konsumen dan adanya
ketidakpastian (uncertainty), pasar pelayanan kesehatan berlangsung di dalam sistem yang tidak
efisien dan dihantui kegagalan pasar karena itu pemerintah harus campur tangan.

Ekonomi Kesehatan sebagai cabang ilmu Ekonomi termasuk di dalam Ekonomi Positif, Ekonomi
Normatif, serta Welfare Economics tetapi berbagai nilai (values) filosofi yang melekat pada Ekonomi
Kesehatan menjadikan Ekonomi Normatif dan Welfare Economics lebih berperan dibandingkan
Ekonomi Positif. Ilmu Ekonomi berperan dalam berbagai bidang karena fokus pembahasannya pada
aspek alokasi, mobilisasi, efisiensi, efektivitas, dan equity dari pilihan-pilihan terkait konsumsi,
produksi dan distribusi sumber daya untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 34

Perilaku konsumen di dalam teori demand (pembelian/permintaan barang/jasa) dan perilaku produsen
di dalam teori supply (penjualan/penawaran barang/jasa), serta interaksi mereka di dalam pasar
pelayanan kesehatan merupakan sebagian teori Ekonomi Mikro yang relevan untuk kesehatan. Dari
Ekonomi Makro beberapa teori yang relevan untuk bidang kesehatan, yaitu konsumsi, investasi,
tabungan, sistem ekonomi, indikator ekonomi dan sosial, serta pembangunan ekonomi dan keterkaitan
ekonomi dan kesehatan.

Pembahasan terbanyak pada Ekonomi adalah topik pembiayaan. Ekonomi Kesehatan mengadopsi
teori dan metode pembiayaan (financing), costing untuk menghitung unit cost dan beberapa tujuan
lainnya, serta pricing (penentuan tarif pelayanan kesehatan). Pembahasan lain yaitu metode
accounting (akuntansi), baik publik mapun private (swasta), baik mikro (terkait suatu organisasi
kesehatan/pelayanan kesehatan) maupun makro (negara) yang telah dikembangkan belasan tahun
terakhir di dalam National Health Account.

Sebagai cabang ilmu Ekonomi yang relatif baru perkembangannya di Indonesia, meningkatnya
kebutuhan akan kajian Ekonomi Kesehatan di bidang kesehatan, kedokteran, farmasi dan cabang ilmu
kesehatan lainnya harus diantisipasi. Pemilihan teori/dalil/metode ilmu Ekonomi harus disesuaikan
dengan karakteristik kesehatan/pelayanan kesehatan. Diperlukan upaya penyamaan pemahaman
Ekonomi Kesehatan untuk pengajaran Ekonomi Kesehatan.

B.2. Selintas Jejak Pengembangan Ekonomi Kesehatan di Indonesia


Dibanding cabang-cabang ilmu Ekonomi lainnya, perkembangan Ekonomi Kesehatan termasuk
paling akhir. Di negara-negara maju masalah alokasi, distribusi/mobilisasi, efisiensi, efektivitas, dan
equity (keadilan) dari sumber daya (sumber daya manusia, dana/anggaran, sarana/peralatan,
teknologi) di bidang kesehatan (program/proyek/investasi dan pelayanan kesehatan) menjadi hal
penting yang harus dikaji aspek ekonominya. Hal tersebut berakibat Ekonomi Kesehatan berkembang
cukup pesat, bahkan ilmu Ekonomi telah lama memasuki dunia kedokteran (medical economics),
farmasi (pharmaco economics) dan cabang ilmu kesehatan lainnya.

WHO (World Health Organization) sebagai organisasi dunia yang mengurusi kesehatan di dunia dan
Bank Dunia (World Bank) juga ikut andil dalam penyebaran Ekonomi Kesehatan di negara sedang
berkembang termasuk Indonesia. Berbagai kajian pakarnya mempergunakan metode-metode ilmu
Ekonomi yang relevan dengan bidang kesehatan. Kedua lembaga tersebut juga aktif mengkaji eratnya
keterkaitan antara ekonomi dan kesehatan di dalam pembangunan suatu negara. Laporan World Bank
dalam World Development Report tahun 1993 yang berjudul “Investing in Health” mengupas lebih
dalam berbagai hasil riset dan fakta dari kebijakan kesehatan di berbagai negara di dunia, serta
keberhasilannya dalam mengurangi biaya dan meningkatkan kesehatan kelompok masyarakat miskin.
Laporan ini juga menjelaskan indikator kesehatan dan indikator ekonomi yang komprehensif dan up
to date dari 185 negara yang sangat dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi
dan sosial (kesehatan) di suatu negara dan dunia.

Sejak tahun delapan puluhan cukup banyak kajian terkait ekonomi dan kesehatan yang menjadi
pembicaraan dunia dan sedikit banyak berpengaruh pada cara pandang para pengambil kebijakan dua
bidang tersebut. Beberapa pemenang Nobel ilmu Ekonomi seperti Amartya Sen dan Garry J. Becker
dalam berbagai kajian ekonominya dengan detail telah memasukkan variabel kesehatan, kemiskinan,

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 35

demokrasi, dan variabel sosial lainnya. Jeffrey D. Sachs dan tim menuliskan lebih dalam tentang
kesehatan sebagai investasi pembangunan ekonomi dan aplikasi Ekonomi Makro dalam kesehatan di
dalam bukunya “Macro Economics and Health: Investing in Health for Economic Development” pada
tahun 2001.

Sejak kapan ilmu Ekonomi Kesehatan dirumuskan di Indonesia? Bila dikaitkan dengan nama pakar
yang merupakan penggerak awal keilmuan Ekonomi Kesehatan tidak banyak nama bisa disebut. Bila
kriteria pakar tersebut adalah telah mendapatkan pendidikan Ekonomi Kesehatan (biasanya dari luar
negeri) kemudian juga menjadi peminat, pengajar, peneliti, dan pengembang Ekonomi Kesehatan,
maka pada awal tahun 1980an telah ada beberapa pakar yang bergelar doktor (PhD) di bidang
Ekonomi Kesehatan, antara lain: Prof. drs. Prijono Tjiptoherijanto, MSc. PhD; Prof. dr. Ascobat Gani,
MPH, DrPH, dan Prof. drs. Aris Ananta, MSc, PhD.

Sementara itu perumusan Ekonomi Kesehatan dan aplikasi (implementasinya) di bidang kesehatan
setahu penulis baru dilakukan pada tahun 1989 melalui dua lokakarya, yaitu: (1) international
Workshop on Using Economics Concepts for Health Service Development di Yogyakarta tanggal 6 –
12 Pebruari 1989; dan (2) Lokakarya Ekonomi Kesehatan: Perumusan dan Aplikasi Ilmu Ekonomi
Kesehatan di Indonesia di Cimacan tanggal 9 -11 Oktober 1989. Kedua lokakarya tersebut difasilitasi
oleh Biro Perencanaan Departemen Kesehatan bekerjasama dengan PPEKI (Perhimpunan Peminat
Ekonomi Kesehatan Indonesia).

PPEKI yang berdiri sekitar tahun 1988 diketuai oleh Prof. dr. Ascobat Gani, MPH, DrPH. Keberadaan
organisasi ini tidak lepas dari peran beberapa dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (khususnya Lembaga Demografi Fakultas
Ekonomi), serta beberapa pejabat di Departemen Kesehatan (khususnya Biro Perencanaan). PPEKI
yang berkantor di Gedung Mochtar di Jl. Pegangsaan Timur, Jakarta cukup aktif dengan berbagai
kajian, penelitian, serta pengajaran Ekonomi Kesehatan. Pada akhir tahun delapan puluhan juga
berdiri Unit AKEK (Analisis Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan) di bawah Biro Perencanaan
Departemen Kesehatan. Di dalam unit AKEK inilah Ekonomi Kesehatan dalam menjawab
permasalahan kesehatan secara nasional mulai menampakkan peran dan hasilnya.

Sekitar sepuluh tahun PPEKI aktif berkegiatan kemudian meredup dan tidak banyak kegiatan bahkan
bisa dikatakan mati suri. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh personil (pakar) penggerak organisasi
yang sangat sibuk dengan tugas-tugas utamanya dan masih sangat sedikitnya peminat, pengembang
atau pakar Ekonomi Kesehatan di Indonesia.

Setelah cukup lama “mati suri” maka tumbuh keinginan dari beberapa pakar yang merintis PPEKI
bersama dengan beberapa pakar Ekonomi Kesehatan pada generasi berikutnya untuk kembali
mengaktikan organisasi keilmuan Ekonomi Kesehatan. Diskusi-diskusi untuk kembali mengupayakan
pengembangan, penyebaran, dan aplikasi Ekonomi Kesehatan agar makin “mengindonesia” muncul
sejak pertengahan tahun duaribuan. Sejak tahun 2010 muncul gagasan untuk membuat organisasi baru
sebagai wadah para pakar, pengembang dan peminat Ekonomi Kesehatan dan secara tidak formal
terbentuklah InaHEA (Indonesia Health Economic Association).

Pada bulan Januari 2014 saat kongres pertama InaHEA di Bandung disahkan berdirinya InaHEA
lengkap dengan pembahasan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan disahkan di kantor

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 36

notaris. Terpilih sebagai ketua adalah Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH dan dilengkapi
dengan susunan pengurus lainnya, sebagian besar pengurus dan anggota berasal dari kalangan
akademisi dari berbagai perguruan tinggi, serta praktisi dari Kementerian Kesehatan dan swasta.
InaHEA kemudian juga terdaftar sebagai organisasi dibawah IHEA (International Health Economic
Association). InaHEA cukup aktif berkegiatan dan berkiprah walaupun anggotanya masih sedikit.
Selama empat tahun berurutan, yaitu tahun 2014, 2015, 2016, dan 2017, InaHEA menyelenggarakan
Annual Scientific Meeting (ASM) sebagai sarana InaHEA untuk berkomunikasi dengan berbagai
pihak yang berkepentingan dengan perkembangan dan implementasi Ekonomi Kesehatan. ASM
pertama dilakukan di Bandung tahun 2014, kedua di Jakarta tahun 2015, ketiga di Yogyakarta tahun
2016, dan yang keempat di Surabaya tahun 2017.

Selama kurun waktu hampir empat dekade perkembangan Ekonomi Kesehatan di Indonesia tidak
lepas dari tantangan yang harus dihadapi oleh Ekonomi Kesehatan. Sejak awal 1990an, pemerintah
telah dimunculkan konsep rumah sakit swadana dan berkembang terus hingga menjadi rumah sakit
BLU/D (Badan Layanan Umum/Daerah) pada sekitar tahun 2005. Selain itu sejak pertengahan
1980an Departemen Kesehatan memperkenalkan konsep DUKM (Dana Upaya Kesehatan
Masyarakat) dan kebijakan/programnya, yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
JPKM tersebut sempat berkembang di beberapa daerah sebelum akhirnya mati suri pada awal tahun
duaribuan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997/1998 memunculkan kebijakan JPS
(Jaring Perlindungan Sosial) bidang Kesehatan khususnya untuk masyarakat miskin dari tahun 1998
sampai 2001. JPSBK dilanjutkan dengan berbagai program sejenis yaitu PKPS BBM dari tahun 2001
sampai 2004. Model jaminan pembiayaan kesehatan untuk masyarakat miskin diterapkan pada
kebijakan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) yang berlangsung dari tahun 2005
sampai 2007. Kebijakan sejenis, yaitu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat)
diimplementasikan sejak tahun 2008 sampai 2013. Sistem jaminan Sosial Nasional (SJSN) lahir pada
tahun 2004. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan operasionalisasi BPJS Kesehatan
diberlakukan mulai 1 Januari 2014.

Sejak pertengahan tahun 2000an perkembangan rumah sakit swasta mengalami pertumbuhan yang
cukup pesat apalagi sejak JKN diberlakukan. Persaingan bisnis rumah sakit menghendaki pengelolaan
sumberdayanya secara efektif dan efisien dengan tetap mengedepankan mutu layanan. Sementara itu,
rumah sakit milik pemerintah (pusat dan daerah) yang telah berevolusi menjadi rumah sakit BLU/D.
Rumah sakit BLU/D merupakan “unit sosio-ekonomi” yang diberi kewenangan lebih banyak untuk
mengelola keuangan dan kegiatan-kegiatannya. Untuk itu manajernya harus mampu mengelola rumah
sakit berdasarkan kaidah ekonomi yang relevan tetapi tetap mengedepankan aspek sosial. Di bidang
farmasi sejak sepuluh tahun terakhir telah bermunculan kajian dan diskusi tentang Farmakoekonomi.
Sementara itu evolusi sistem asuransi/jaminan kesehatan di indonesia ke arah JKN mendorong
perkembangan Asuransi Kesehatan (Jaminan Kesehatan) sebagai ilmu tersendiri yang juga
berkembang keilmuan dan implementasinya.

Sejak awal tahun sembilanpuluhan, pengajaran ilmu Ekonomi Kesehatan menjadi mata kuliah yang
harus diajarkan di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) di tingkat S1 (Sarjana) dan S2 (master)
pada 5 (lima) FKM pertama di Indonesia, yaitu FKM Universitas Indonesia, disusul FKM
Universitas Hasanudin, FKM Universitas Airlangga, FKM Universitas Diponegoro, dan FKM
Universitas Sumatera Utara. Kelima FKM tersebut tergabung dalam Proyek Pengembangan FKM di
Indonesia yang dimulai tahun 1983/1984 kerjasama Dirjen Dikti Kemendikbud dan USAID.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 37

Selanjutnya pada akhir dekade 1990an bermunculan FKM dan STIKES negeri dan swasta lainnya di
Indonesia.

Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 190 FKM/STIKES bernaung dibawah AIPTKMI (Asosiasi
Institusi Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia), dimana lima FKM pertama menjadi
pembina bagi FKM/STIKES lainnya. Sebagai pembina maka kelima FKM pertama berperan penting
dalam penyusunan kurikulum pendidikan S1 dan S2 Kesehatan Masyarakat. Menyusul FKM
Universitas Indonesia yang telah lebih dahulu mendirikan program pendidikan S3 (Doktor) Kesehatan
Masyarakat maka beberapa tahun terakhir ini keempat FKM tersebut juga telah mendirikan program
sejenis.

Dalam situasi seperti itulah maka Ekonomi Kesehatan harus berkembang. Ekonomi Kesehatan
menjadi salah satu mata kuliah yang diajarkan di bagian/departemen Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan (AKK). Ekonomi Kesehatan juga menjadi mata kuliah yang tidak bisa diabaikan di dalam
pendidikan S1, S2, dan S3 Kesehatan Masyarakat di Indonesia. Sebagian besar pengajar Ekonomi
Kesehatan di banyak FKM/STIKES di Indonesia memperoleh ilmunya ketiga belajar S1, S2, dan/ S3
pada lima FKM pertama tersebut atau saat menempuh pendidikan S2 dan S3 di beberapa Fakultas
Kedokteran, yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Airlangga. Sebagian
lagi pengajar Ekonomi Kesehatan memperoleh pendidikannya dari berbagai perguruan tinggi di luar
negeri, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, dan sebagainya.

Pengajaran Ekonomi Kesehatan pada Fakultas Ekonomi di Indonesia sepertinya tidak berkembang
bila dibandingkan yang dilakukan oleh FKM/STIKES. Pada sebagian besar Fakultas Ekonomi mata
kuliah tersebut tidak diajarkan. Di Fakultas Ekonomi, mata kuliah Ekonomi Kesehatan diajarkan pada
jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan tetapi seringkali hanya merupakan mata kuliah pilhan
peminatan. Berbeda dengan di berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Eropa, Ekonomi
Kesehatan berkembang pada Fakultas Ekonomi selain di Fakultas Kesehatan.

Ekonomi Kesehatan dapat diajarkan, dikaji, dan dikembangkan oleh mereka yang berlatar belakang
keilmuan dari klaster kesehatan dan kedokteran, yaitu kesehatan masyarakat (dengan berbagai
cabangnya), kedokteran, farmasi, gizi, keperawatan, kebidanan, dan sebagainya. Dengan disiplin ilmu
tersebut mereka harus mempelajari ilmu Ekonomi secara lebih mendalam. Bila peminat atau
pengembang berasal dari latar belakang ilmu Ekonomi (dari tiga jurusan yang ada, yaitu ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan, Manajemen, dan Akuntansi) maka mereka diharuskan mempelajari
ranah penerapan (aplikasi) ilmu Ekonomi tersebut, yaitu kesehatan masyarakat, kedokteran, farmasi,
dan lain-lain. Adanya keunggulan dan keterbatasan asal keilmuan dua pihak tersebut maka yang
terbaik dalam pengembangan dan implementasi Ekonomi Kesehatan adalah kerjasama dan sinergi
dari dua latar belakang keilmuan tersebut.

B.3. Pengertian Ekonomi Kesehatan


Kenneth J. Arrow menjelaskan bahwa ekonomi kesehatan merupakan ranah analisis dan pengambilan
keputusan untuk pengalokasian sumber daya yang terbatas (dana, perangkat, waktu, tenaga kerja)
untuk memberikan layanan kesehatan masyarakat yang optimal menurut prioritas dan kebutuhan.

Ekonomi kesehatan adalah ilmu yang mempelajari supply and demand sumber daya pelayanan
kesehatan dan dampak sumber daya pelayanan kesehatan terhadap populasi. Ekonomi kesehatan perlu

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 38

dipelajari, karena terdapat hubungan antara kesehatan dan ekonomi. Kesehatan mempengaruhi kondisi
ekonomi, dan sebaliknya ekonomi mempengaruhi kesehatan. Dalam pemikiran rasional, semua orang
ingin menjadi sehat. Kesehatan merupakan modal untuk bekerja dan hidup untuk mengembangkan
keturunan, sehingga timbul keinginan yang bersumber dari kebutuhan hidup manusia. Tentunya
demand untuk menjadi sehat tidaklah sama antar manusia. Seseorang yang kebutuhan hidupnya
sangat tergantung pada kesehatannya tentu akan mempunyai demand yang lebih tinggi akan status
kesehatannya.

Definisi yang lain mengatakan bahwa Ekonomi Kesehatan adalah cabang ilmu Ekonomi yang secara
khusus memberikan fokus pada terapan ilmu Ekonomi di bidang kesehatan, baik kesehatan individu
maupun kesehatan masyarakat.

Lokakarya Ekonomi Kesehatan: Perumusan dan Aplikasi Ilmu Ekonomi Kesehatan di Indonesia oleh
PPEKI (1989) mendefinisikan Ekonomi Kesehatan sebagai penerapan Ilmu Ekonomi dalam upaya
kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal. Aplikasi ilmu Ekonomi tersebut untuk menentukan pilihan-pilihan dari
berbagai upaya kesehatan. Pilihan tersebut dapat berupa bagaimana seharusnya sumber daya
dimobilisasi, misalkan pilihan antara peran pemerintah dan swasta, antara sistem asuransi atau
pembayaran langsung (out of pocket), pilihan tentang alokasi anggaran untuk program imunisasi atau
program pemberantasan penyakit menular, pilihan tentang jenis dan jumlah upaya kesehatan, dan
lain-lainnya. Berdasarkan definisi lokakarya oleh PPEKI tersebut maka terdapat tiga kata kunci: (1)
ilmu Ekonomi; (2) upaya kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan (3) derajat
kesehatan yang optimal.

Ilmu Ekonomi menurut Samuelson didefiniskian sebagai suatu studi mengenai individu-individu dan
masyarakat dalam membuat pilihan dengan atau tanpa penggunaan uang dengan menggunakan
sumber-sumber daya yang terbatas tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan
berbagai barang dan jasa dan mendistribusikannya untuk kebutuhan konsumsi sekarang dan di masa
mendatang kepada individu dan golongan masyarakat.

Di dalam ilmu Ekonomi ada dua bidang telaah yang menyumbang Ekonomi Kesehatan, yaitu
Ekonomi Positif yang mengupas teori dan dalilnya antara lain alokasi sumber daya apa adanya tanpa
melihat efisiensi alokatif tersebut diinginkan masyarakat atau tidak (values free). Sementara itu,
Ekonomi Normatif memasukkan nilai (values) pada kajiannya, yaitu bagaimana sebaiknya atau
bagaimana yang terbaik dan pilihan terbaik masih akan dikaji dengan nilai filosofis seperti keadilan.
Ekonomi Kesejahteraan (welfare economics) juga merupakan cabang ilmu Ekonomi yang dibutuhkan
Ekonomi Kesehatan. Welfare economics sintesa positive economics dan ilmu politik dimana esensi
Ekonomi Positif dihubungkan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat serta sistem sosial politik
yang dianut suatu negara.

Di dalam welfare economics terkandung topik externality, public goods, dan consumer’s ignorance.
Externality adalah akibat yang muncul pada konsumsi atau produksi oleh seseorang/perusahaan
tertentu yang disebabkan oleh perbuatan orang/perusahaan lain melalui price mechanism dan efek
tersebut bisa bersifat positif (menguntungkan) dan negatif (merugikan). Public goods merupakan
barang/jasa yang dapat dipakai/dikonsumsi oleh sejumlah orang yang walaupun jumlahnya meningkat
tidak mengurangi kesempatan orang lain untuk memakai/mengonsumsi, serta tersedia bebas tanpa

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 39

melalui pengorbanan dan dapat diperoleh tanpa pembayaran (gratis). Consumer’s ignorance, yaitu
suatu kondisi dimana ketika terjadi interaksi mekanisme pasar, konsumen tidak mempunyai informasi
yang cukup mengenai barang yang sedang diperjualbelikan itu, baik ketidaktahuan tentang manfaat
maupun akibat buruknya.

Upaya kesehatan terkait dengan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya kesehatan
preventif adalah segala upaya yang dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
sebelum adanya ancaman (risiko) gangguan kesehatan (penyakit). Contoh upaya promotif antara lain,
penyehatan lingkungan, program gizi masyarakat, dan olah raga. Upaya preventif, yaitu segala upaya
kesehatan yang diperlukan untuk mencegah seseorang/masyarakat dari menderita penyakit dan dalam
hal ini upaya tersebut dilakukan setelah ada risiko atau bahaya yang mengancam. Contoh upaya
preventif, yaitu imunisaasi, antara lain imunisasi BCG untuk anak karena menghadapi risiko penyakit
TB paru karena mreka hidup di dalam lingkungan yang memungkinkan tertular penyakit TB paru.
Upaya kuratif, yaitu upaya yang dilakukan untuk menyembuhkan seseorang dari penyakit yang
dideritanya. Dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia upaya kuratif dapat berupa pelayanan
kesehatan primer dan rujukan. Upaya rehabilitatif, yaitu segala upaya untuk mengembalikan
seseorang yang telah sembuh dari penyakit akan tetapi mengalami cacat fisik atau faal tubuhnya agar
dapat memanfaatkan potensinya yang masih ada dalam menjalankan fungsi kehidupannya sehari-hari.
Contoh upaya rehabilitatif adalah rehabilitasi medik bagi penderita stroke atau kecelakaan lalu lintas.

Di dalam Sistem kesehatan Nasional upaya kesehatan bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal bagi seluruh masyarakat. Batasan derajat kesehatan yang optimal menurut WHO, yaitu
keadaan sehat jasmani, rohani, dan sosial sehingga seseorang dapat menikmati hidupnya secara
produktif. Sehat jasmani berarti seseorang tersebut tidak menderita suatu penyakit dan semua faal
tubuhnya berfungsi secara normal. Sehat secara rohani berarti seseorang tersbut tidak menderita
gangguan kejiwaan seperti neurosis dan psikosis. Sehat sosial diartikan bahwa seseorang tersebut
dapat menjalankan perannya sebagai anggota masyarakat sesuai dengan kapasitasnya dan sesuai
dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan konsep HL Blum, derajat kesehatan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan (fisik, biologi, sosial, budaya, ideologi, dan politik), perilaku,
pelayanan kesehatan, dan genetika.

Di dalam Ekonomi Kesehatan, Ekonomi Normatif dan welfare economics lebih dominan daripada
Ekonomi Positif. Hal tersebut disebabkan oleh karena kesehatan sebagai obyek terapan (telaahan)
ilmu Ekonomi tidaklah bebas nilai, didalamnya terkandung beberapa filosofi atau nilai pokok yang
seharusnya diusahakan implementasinya. Nilai filosofi Ekonomi Kesehatan, yaitu:
1. Sehat adalah hak asasi setiap manusia: bahwa sehat sebagai hak asasi manusia adalah sudah
menjadi kesepakatan global, seperti dinyatakan dalam konsep Health for All yang dinyatakan oleh
negara-negara anggota WHO di Geneva tahun 1977. Dengan demikian “sehat bagi semua”
merupakan tujuan normatif yang menjadi tujuan upaya kesehatan.
2. Sehat adalah konsumsi sekaligus investasi sumber daya manusia. Michael Grossman membuat
sebuah model produksi kesehatan pada tahun 1972. Pada model ini, Grossman menyebutkan
bahwa setiap orang adalah produsen dan konsumen kesehatan, dan kesehatan dianggap sebagai
sebuah “saham investasi” yang dapat naik-turun. Investasi pada kesehatan tergolong mahal karena
tidak hanya membutuhkan dana tetapi juga waktu dan tenaga, misalnya untuk berolahraga. Dari
sumber daya terbatas tersebut (dana dan waktu), setiap orang akan memutuskan kesehatan optimal
yang dapat diraih oleh dirinya masing-masing. Pengertian lain dapat dijelaskan misalkan anggaran

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 40

pemerintah dialokasikan untuk program imunisasi, gizi, pemberantasan penyakit menular, serta
pendidikan kesehatan untuk masyarakat selintas sepertinya pemerintah akan merugi karena dana
yang telah dialokasikan tersebut tidak diperoleh kembali (tidak profit) tetapi dalam jangka
menengah dan jangka panjang investasi anggaran kesehatan tersebut akan menjadikan masyarakat
lebih sehat karena makan makanan bergizi dan tercegah dari penyakit menular yang dapat dicegah
dengan imunisasi, lebih pintar, dan produktif. Disinilah pengertian konsumsi sekaligus investasi
kesehatan sumber daya manusia.
3. Pemerataan yang berkeadilan (equity) adalah tujuan operasional upaya kesehatan: sebagai
konsekuensi dari filosofi di atas maka upaya kesehatan dilakukan dengan mengusahakan adanya
equity, yaitu pemertaan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan individu/masyarakat. Hal
ini berarti kriteria efisiensi dan efektivitas yang merupakan parameter penting dalam ekonomi
senantiasa diwarnai oleh pertimbangan equity. Untuk mewujudkan filosofi pertama dan kedua
maka diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan pembangunan kesehatan dan mewujudkan
pemerataan berkeadilan kesehatan dan pelayanan kesehatan kepada seluruh lapisan masyarakat.
Dalam hal ini peran pemerintah sangat penting untuk menjaga dan mengawal terwujudnya filosofi
pertama, kedua, dan ketiga lewat berbagai regulasi (peraturan) sesuai kewenangan dan
tanggungjawabnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
4. Motivasi non profit (nirlaba): di dalam upaya kesehatan memang boleh terjadi pengumpulan
profit (keuntungan) akan tetapi keuntungan tersebut bukanlah tujuan utama dan keuntungan
tersebut seharusnya dimanfaatkan kembali untuk mengembangkan upaya kesehatan. Di dalam
perkembangannya nilai motivasi non profit ini seringkali menghadapi banyak kendala.
Mungkinkah mengelola pelayanan kesehatan yang sebenarnya bernuansa sosial tanpa
mengharapkan keuntungan (profit) ditengah perkembangan jaman yang serba “berharap
keuntungan” dan uang menjadi ukuran kemakmuran dan kesejahteraan yang paling penting. Tentu
saja dapat dibedakan antara profit (laba/keuntungan) menjadi tujuan akhir dibandingkan dengan
profit sebagai tujuan antara. Profit seharusnya diposisikan sebagai tujuan antara menuju tujuan
akhir, yaitu pelayanan kesehatan yang berkualitas dan mudah diakses. Disini keuntungan (profit)
dimanfaatkan kembali untuk mengembangkan upaya kesehatan.

B.4. Bidang Kajian Ekonomi Kesehatan


Bila akan mempelajari Ekonomi Kesehatan maka diperlukan pemahaman akan body of knowledge
Ekonomi Kesehatan khususunya welfare economics.

Gambar 3.1. Body of Knowledge Ekonomi Kesehatan

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 41

Beberapa topik yang perlu dipelajari untuk memperdalam pemahaman tentang Ekonomi Kesehatan,
yaitu dasar-dasar ilmu Ekonomi yang relevan dan dapat diterapkan di bidang kesehatan, dasar
Ekonomi Kesehatan, sistem kesehatan, values (norms) ekonomi kesehatan, karakteristik industri
kesehatan, hubungan timbal balik dan keterkaitan antara ekonomi dan kesehatan, supply (perilaku)
produsen/provider dan demand (perilaku konsumen), pembiayaan kesehatan, baik bersifat makro
mapun mikro (individu atau suatu organisasi kesehatan), serta evaluasi ekonomi untuk kesehatan
(program/proyek/investasi/pelayanan). Cukup besar porsi kajian Ekonomi Kesehatan pada aspek
pembiayaan kesehatan, baik terkait costing, financing, dan accounting, baik makro maupun makro. Di
dalam aspek pembiayaan kesehatan kemudian juga berkembang kajian tentang Asuransi kesehatan,
baik asuransi kesehatan sosial maupun komersial. Asuransi kesehatan tersebut berkembang menjadi
cabang ilmu tersendiri yang berkembang cukup pesat. Dalam aspek pembiayaan juga dikaji aplikasi
metode ekonomi untuk program/proyek/investasi/pelayanan kesehatan. Aplikasi metode ekonomi ini
terdiri dari dua hal, yaitu: (1) teknis analisis ekonomi (costing, accounting, econometrics), dan (2)
teknik evaluasi ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan pemerataan berkeadilan (equity), fairness,
efisiensi, dan efektifitas. Sedangkan metode yang dipergunakan, antara lain Cost Benefit Analysis,
Cost Effectiveness Analysis, dan Health Technology Assessment (HTA).

Rentang studi ekonomi kesehatan dirangkum oleh Alan Williams menjadi delapan topik: (1) apa saja
yang mempengaruhi kesehatan; (2) definisi “sehat” dan pentingnya tetap sehat; (3)k ebutuhan akan
layanan kesehatan; (4) ketersediaan layanan kesehatan; (5) evaluasi ekonomi mikro pada tingkat
pelayanan kesehatan; (6) keseimbangan pasar (market equilibrium), (7) evaluasi sistem layanan
kesehatan secara menyeluruh, dan (8) perencanaan, pendanaan, dan pengawasan mekanisme.

PPEKI dalam Lokakarya Ekonomi Kesehatan (1989) merumuskan ruang lingkup sasaran Ekonomi
Kesehatan, yaitu: (1) konsumen; (2) produsen/provider; (3) pemerintah; (4) demand (terkait
utilization dan impact kesehatan); (5) dampak kesehatan terhadap pembangunan; dan (6) dampak
pembangunan terhadap kesehatan.

PPEKI dalam Lokakarya Ekonomi Kesehatan (1989) juga menggarisbawahi aplikasi/penerapan


Ekonomi Kesehatan, yaitu:
1. Mobilisasi sumber daya (SDM, pembiayaan, sarana/peralatan, teknologi/metode), misalkan
alternatif mana yang dipilih sumber daya pemerintah, swasta, pinjaman luar negeri. Mobilisasi
dana dari potensi masyarakat dan swasta untuk membiayai kesehatan apakah model fee for
services atau pra upaya dalam model asuransi kesehatan, mobilisasi pajak untuk mendanai
anggaran kesehatan pemerintah, dan sebagainya.
2. Alokasi sumber daya terkait dengan bagaimana alokasi optimal antar sektor/bidang yang dapat
memberikan manfaat (benefit) yang optimal. Alokasi disini berkaitan dengan pertanyaan berapa
banyak dan metode/caranya. Misalkan terkait kebijakan pemerintah apakah sumber daya yang ada
akan dipergunakan untuk upaya kesehatan yang sifatnya promotif/preventif atau upaya kesehatan
lebih menonjolkan kuratif/rehabilitatif atau keseimbangan alokasi antar mata anggaran, yaitu:
investasi, operasional, dan pemeliharaan. Analisis Cost Benefit dan Analisis Cost Effectiveness
dapat menuntun pemilihan alokasi sumber daya kesehatan yang lebih baik.
3. Analisis biaya program kesehatan atau pelayanan kesehatan yang lebih kompleks, seperti rumah
sakit dan Analisis Cost Effectiveness dalam program kesehatan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kemungkinan intervensi yang menghemat penggunaan sumber daya. Analisis
biaya pelayanan kesehatan menjadi penting seiring meningkatnya tuntutan akan manajemen

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 42

pelayanan kesehatan yang “sadar biaya”, efektif, dan efisien dengan tetap mengutamakan mutu
layanan kesehatan, ditengah laju inflasi kesehatan yang cukup tinggi dan pengaruh faktor
ekonomi, sosial, dan politik.
4. Analisis demand dan supply bidang kesehatan: membahas perilaku konsumen pelayanan
kesehatan dengan harapan pihak produsen (provider) pelayanan kesehatan dapat menyediakan
produk jasa pelayanan sesuai kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Membahas demand
berarti juga memikirkan bagaimana mereka dapat akses kepada pelayanan kesehatan ditengah
hambatan akses yang cukup besar di sebagian wilayah Indonesia dan sebagian masyarakat
khususnya yang miskin. Membahas supply berarti membahas perilaku provider pelayanan
kesehatan: bagaimana mereka mengelola pelayanan kesehatannya, memadukan fungsi sosial, dan
ekonomi dalam mengelola fasilitas kesehatan dan mencari kombinasi sumber daya yang dapat
mengahasilkan pelayanan yang berkualitas.
5. Dampak kesehatan terhadap pembangunan ekonomi dan sebaliknya. Keterkaitan ekonomi dan
kesehatan sangatlah erat. Keberhasilan pembangunan ekonomi akan memberikan sumber daya
dan pilihan yang lebih banyak untuk membiayai pembangunan kesehatan. Keberhasilan
pembangunan kesehatan akan menyediakan sumber daya manusia yang sehat dan produktif yang
merupakan sumber daya untuk menggerakkan perekonomian suatu bangsa.

PPEKI (1989) juga merumuskan ruang lingkup penerapan Ekonomi Kesehatan, yaitu aspek mobilisasi,
alokasi optimum, efisiensi (daya guna), efektivitas (hasil guna), serta equity (pemerataan berkeadilan).
Pada hakikatnya Ilmu Ekonomi dibutuhkan berbagai bidang kehidupan manusia karena perannya
dalam menjawab permasalahan pilihan (choices) terkait kelima aspek tersebut untuk mewujudkan
kesejahteraan (kemakmuran) individu, masyarakat, dan negara.

Ekonomi Kesehatan juga terkait dengan public private mix di dalam upaya kesehatan. Peran
pemerintah di dalam kesehatan terangkum dalam kewenangan, tugas, dan kewajibannya untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Di dalam menjalankan perannya pemerintah akan
mengalami kesulitan bila tidak melibatkan sasaran dan obyek kebijakannya, yaitu masyarakat dan
organisasi swasta. Peran masyarakat dan swasta berwujud penyediaan pelayanan kesehatan, baik
tingkat primer (klinik, praktek perorangan) maupun rujukan (rawat jalan rujukan dan rumah sakit),
pembayaran biaya kesehatan, penyediaan sumber daya kesehatan (SDM, dana, sarana), serta
monitoring dan evaluasi kebijakan kesehatan, dan hal tersebut menjadikan peran masyarakat dan
swasta ini harus dimasukkan dalam berbagai kajian Ekonomi Kesehatan.

B.5. Faktor yang Berpengaruh pada Penerapan Ekonomi Kesehatan


Ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan ilmu Ekonomi Kesehatan. Sebagai cabang
ilmu Ekonomi dan masuk di dalam ranah Ekonomi Normatif dan welfare economics maka penerapan
ilmu Ekonomi Kesehatan seharusnya memperhatikan beberapa nilai filosofi yang sudah disebutkan
sebelumnya. Nilai filosofi tersebut seharusnya menjadi semangat dan mengilhami penerapan Ekonomi
Kesehatan pada kebijakan dan manajemen kesehatan (pelayanan kesehatan).

Sebagai kebijakan kesehatan yang dijalankan oleh pemerintah maka penerapan Ekonomi Kesehatan
secara makro akan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: (1) kepentingan dan interest
pemerintah; (2) sistem politik dan strategi yang dijalankan dan untuk mempertahankan kekuasaan; (3)
pemahaman pemerintah terhadap kesehatan dan peran kesehatan terhadap pembangunan nasional
(daerah); (4) kemampuan pemerintah terkait sumber daya yang dimiliki; (5) kondisi sosial ekonomi,

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 43

sosial budaya, serta geografis masyarakat; dan (6) pengaruh dunia internasional (global) terhadap
kebijakan yang diambil beberapa tahun terakhir globalisasi melanda Indonesia tidak hanya di sektor
tetapi juga kesehatan.

Sebagai kebijakan yang harus dijalankan untuk mengelola organisasi kesehatan (pelayanan
kesehatan) maka penerapan Ekonomi Kesehatan secara mikro akan dipengaruhi, antara lain oleh: (1)
visi dan misi organisasi; (2) tipe dan gaya kepemimpinan dalam organisasi; (3) metode/model
manajemen yang dilakukan untuk mengelola organisasi; (4) kemampuan manajer untuk menerapkan
kaidah manajemen, teori, dan metode Ekonomi Kesehatan; (5) ketersediaan sumber daya di dalam
organisasi; serta (6) hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholders) kesehatan, yaitu
masyarakat (konsumen), pemasok, dan pesaing, serta pemerintah (bila organisasi swasta).

Dari uraian tersebut dapat dijelaskan kembali bahwa efektivitas penerapan Ekonomi Kesehatan secara
makro (negara) dan mikro (organisasi kesehatan/pelayanan kesehatan) seharusnya memperhatikan
berbagai unsur tersebut. Sebagai contoh hasil kajian Cost Benefit atau Cost Effectiveness Analysis
apabila akan dilaksanakan masih harus mempertimbangkan berbagai faktor yang diperkirakan dapat
mendukung atau menghambat keberhasilannya. Contoh lain setelah dilakukan analisis biaya rumah
sakit kemudian akan dilakukan penetapan tarif maka beberapa hal yang harus dipertimbangkan tidak
hanya berapa unit cost-nya, tetapi juga visi dan misi organisasi, demand terhadap pelayanan tersebut,
kemampuan dan kemauan membayar konsumennya (ability dan willingess to pay), tarif pesaing, serta
kebijakan pemerintah terhadap tarif pelayanan kesehatan.

B.6. Prospek dan Tantangan Ekonomi Kesehatan di Indonesia


Transisi epidemiologi berimplikasi pada meningkatnya biaya kesehatan. Transisi epidemiologi
ditandai dengan masih tingginya angka kesakitan karena penyakit infeksi menular, khususnya pada
kelompok masyarakat miskin disertai meningkatnya penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus,
ginjal, jantung, hipertensi, stroke, serta kanker yang berbiaya mahal (catastrophic diseases). Disisi
lain munculnya penyakit baru yang dulu tidak dikenal seperti AIDS, avian flu, atau penyakit lama
yang muncul dengan kumam penyakit yang mengalami mutasi genetik dan resisten pada pengobatan
lama, misalkan TB Paru, semua itu menambah beban masalah kesehatan dan tentu saja beban biaya
kesehatan.

Program kesehatan pemerintah, seperti imunisasi, kesehatan ibu dan anak, pemberantasan penyakit
menular, promosi kesehatan, kesehatan lingkungan memerlukan anggaran yang besar seiring dengan
pertambahan penduduk yang cukup tinggi. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi akibat
kebijakan kependudukan (yaitu Keluarga Berencana) yang selama dua dekade berjalan di tempat
menyebabkan naiknya demand akan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang terfragmentasi
disertai pelayanan medis yang berteknologi tinggi meningkatkan biaya kesehatan khususnya kuratif.
Naiknya biaya kesehatan akibat inflasi biaya kesehatan yang rata-rata lebih tinggi daripada inflasi
biaya umum juga andil dalam meningkatnya biaya kesehatan.

Memasuki tahun 2014 Jaminan Kesehatan Nasional diterapkan di Indonesia telah membuat perubahan
yang nyata dalam sistem pembiayaan dan sistem pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan menjadi
lebih terstruktur dari layanan primer menuju rujukan tingkat lanjut dan hal ini menyebabkan efisiensi
sumber daya. Model pembayaran kepada penyedia pelayanan kesehatan primer dengan kapitasi dan
InaCBG. Rumah sakit sebagai pihak yang menuai banyak permasalahan JKN. Rumah sakit harus

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 44

melakukan efisiensi biaya yang dikhawatirkan dapat menurunkan mutu layanan kepada pasien.
Rumah sakit kembali tertantang mengelola layanan secara efisien dan efektif dengan inovasi-inovasi
agar tetap survive.

Ketika JKN dengan badan penyelenggara BPJS Kesehatan telah diimplementasi dan mengurusi
pembiayaan yang terfokus pada upaya preventif dan rehabilitatif maka tantangan terarah kepada
Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan harus meningkatkan pengelolaan sumber daya
khususnya dana anggaran dengan penguatan layanan primer seperti Puskesmas. Puskesmas adalah
ujung tombak pelayanan promotif dan preventif. Makin banyaknya Puskesmas yang diubah statusnya
menjadi BLUD menjadikan puskesmas juga harus mampu mengelola sumberdayanya secara efektif
dan efisien.

Meningkatnya jumlah layanan primer (klinik, praktek swasta) serta rumah sakit swasta juga
merupakan pesaingan layanan sejenis. Rumah sakit akan berebut SDM yang langka, yaitu dokter
spesialis yang memang terbatas produksinya. Untuk stay in bussiness rumah sakit seringkali harus
menerapkan manajemen stratejik yang sadar biaya serta mengembangkan inovasi, antara lain dengan
menyediakan layanan unggulan.

Dunia kesehatan juga ditandai dengan makin terbukanya informasi seakan dunia tanpa sekat,
kebutuhan layanan yang serba cepat dan tanggap dalam era digital yang cenderung paperless. Makin
berkembangnya transaksi non tunai ditengah persaingan bebas akibat globalisasi dan perdagangan
bebas, semua itu akan berpengaruh pada pola pelayanan kesehatan.

Apa yang diuraikan dalam paragraf sebelumnya merupakan permasalahan kesehatan dan ekonomi
yang terjadi saat ini yang memerlukan sumbangan Ekonomi Kesehatan untuk memberikan solusinya.
Permasalahan tersebut merupakan tantangan sekaligus prospek mempelajari Ekonomi Kesehatan
dimasa kini dan mendatang. Dalam memperlajari dan menerapkan Ekonomi Kesehatan dibutuhkan
sinergi dengan keahlian lain, misalnya sarjana Kesehatan Masyarakat dengan sarjana Ekonomi atau
melibatkan dokter bila membahas permasalahan medis dan melibatkan sarjana Farmasi bila
membahas pharmacoeconomics.

C. RANGKUMAN
Sebagai ilmu yang menerapkan ilmu Ekonomi di bidang kesehatan, Ekonomi Kesehatan adalah ilmu
Ekonomi Positif, Normatif, welfare economics, dan mempunyai beberapa nilai filosofis. Selintas jejak
perkembangan dan terapan Ekonomi Kesehatan di Indonesia menunjukkan bahwa ilmu ini relatif baru
dan masih akan membentuk diri terkait dengan tantangan dan prosepek pengembangannya. Lahan
terapan Ekonomi Kesehatan mencakup aspek alokasi, mobiliisasi, efisiensi, efektivitas, dan equity
sumber daya untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dalam penerapannya banyak faktor
yang harus diperhatikan, baik mikro, makro internal, atau eksternal organisasi kesehatan/pelayanan
kesehatan. Berbagai situasi dan kondisi saat ini dan yang akan datang menjadikan Ekonomi
Kesehatan menghadapi tantangan, tetapi juga sekaligus peluang pengembangannya. Diperlukan upaya
untuk terus menerus memperkenalkan Ekonomi Kesehatan, membangun jejaring para peminat,
pengembang dan para pakarnya dalam berbagai kegiatan ilmiah, serta menyebarluaskan pengajaran
Ekonomi Kesehatan di Indonesia.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 45

D. LATIHAN/TUGAS
Silakan menjawab beberapa pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan pengertian Ekonomi Kesehatan?
2. Mengapa Ekonomi Kesehatan juga disebut welfare economics?
3. Jelaskan nilai-nilai fisosofis Ekonomi Kesehatan?
4. Jelaskan lahan penerapan Ekonomi Kesehatan?
5. Secara mikro faktor apa sajakah yang harus diperhatikan dalam penerapan Ekonomi Kesehatan?
6. Secara makro faktor apa sajakah yang harus diperhatikan dalam penerapan Ekonomi Kesehatan?
7. Jelaskan apa saja tantangan penerapan Ekonomi Kesehatan di Indonesia?
8. Jelaskan prospek pengembangan Ekonomi Kesehatan?

E. RUJUKAN DAN BACAAN YANG DIANJURKAN


1. Bhattacharyam J, Hyde T dan Tu P, Health Economics, Palgrave Macmillan, 2014.
2. Grossman, Michael (1972-03-01). “On the Concept of Health Capital and the Demand for Health”.
Journal of Political Economy 80 (2): 223–255. ISSN 00223808. doi:10.1086/259880.
3. Folland S, Goodman AC, Stano M. The economics of Health and Health Care, Prentice Hall
Upper Sadle River, New Jersey, 1997.
4. Perhimpunan Peminat Ekonomi Kesehatan Indonesia (PPEKI), Proceedings Lokakarya Ekonomi
Kesehatan: Perumusan dan Aplikasi Ilmu Ekonomi Kesehatan di Indonesia, Cimacan, 9-11
Oktober 1989.
5. Perhimpunan Peminat Ekonomi Kesehatan Indonesia (PPEKI), Proceeding International
Workshop on Using Economics Concepts for Health Service Development, Yogyakarta, 6-12
Pebruari 1989.
6. Sach, J, Macro Economics and Health: Investing in Health for Economic Development, 2001.
7. Tjiptoherijanto P dan Soesetyo B. Ekonomi Kesehatan, Cetakan kedua, Rineka Cipta, Jakarta.
2008.
8. Witter S, Ensor T, Jowett M, Thompson R, Health Economics for Developing Countries, a
Practical Guide, BUPA The University of York, 2000.
9. World Bank, “World Development Report 1993: Investing in Health”, 1993.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 46

BAB 4. DEMAND DAN SUPPLY PELAYANAN KESEHATAN


Dr. Pujiyanto, SKM, MKes
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

A. PENDAHULUAN
Kebutuhan akan pelayanan kesehatan bersifat unik dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang
lain seperti sandang, pangan, dan papan. Pada konsumsi barang kebutuhan yang lain, konsumen
memang ingin mengonsumsi barang itu untuk memuaskan kebutuhannya. Misalnya, orang yang lapar
akan mengonsumsi makanan untuk menghilangkan rasa laparnya. Jadi dengan mengonsumsi makanan
rasa laparnya dapat dihilangkan dan memuaskan keinginannya.

Sedangkan pada pelayanan kesehatan, sesungguhnya orang tidak ingin dan tidak mau mengonsumsi
pelayanan kesehatan karena, berbeda dengan konsumsi makanan diatas yang langsung menimbulkan
kepuasan, konsumsi pelayanan kesehatan justeru menimbulkan ketidaknyamanan seperti mual, rasa
sakit, dan efek samping pengobatan yang lain seperti kulit menghitam, rambut rontok, dan lain-lain.

Namun, faktanya orang tetap menggunakan pelayanan kesehatan yang tersedia. Mengapa orang
mengonsumsi pelayanan kesehatan yang tidak diinginkannya? Jawabannya adalah orang
mengonsumsi pelayanan kesehatan karena, dibalikketidaknyamanan yang ditimbulkan, mereka ingin
mendapatkan manfaat dari penggunaan pelayanan kesehatan itu berupa kesembuhan dari penyakit
yang diderita. Jadi sesungguhnya yang diinginkan orang adalah kesehatan (the true demand). Namun
di pasar tidak ada yang menjual kesehatan, sehingga demand terhadap kesehatan tidak dapat diukur
secara langsung. Demand terhadap kesehatan hanya dapat didekati dengan mengukur demand
terhadap pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa demand terhadap pelayanan
kesehatan merupakan derived demand dari demand terhadap kesehatan.

B. PENYAJIAN MATERI
B.1. Demand Terhadap Pelayanan Kesehatan
Demand adalah jumlah barang/jasa yang dibeli oleh konsumen pada tingkat harga dan satuan waktu
tertentu. Hukum demand menyatakan bahwa pada harga yang tinggi (H2) demand-nya sedikit (J2),
dan sebaliknya pada harga yang rendah (H1) demand-nya banyak (J1). Jadi dengan asumsi cateris
paribus tingkat demand barang/jasa akan bergerak sepanjang kurva demand yaitu pada harga mahal
demand-nya turun dan pada harga murah demand-nya naik.

Gambar 4.1. Kurva Demand

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 47

Namun, pada tingkat harga yang sama tingkat demand bisa berubah jadi lebih banyak atau lebih
sedikit (pergeseran kurva demand kekanan atau kekiri). Misalnya, jika rerata penghasilan naik maka
pada tingkat harga yang sama jumlah demand akan bertambah lebih banyak (kurva demand bergeser
ke kanan) dan sebaliknya jika rerata penghasilan turun maka jumlah demand akan berkurang lebih
sedikit (kurva demand bergeser ke kiri).

Gambar 4.2 Pergeseran Kurva Demand

Berbeda dengan perilaku demand terhadap kebutuhan barang/jasa umum yang diuraikan di atas,
perilaku demand terhadap pelayanan kesehatan tidak selalu konsisten seperti itu. Hal itu terkait
dengan karakteristik kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang beragam. Secara garis besar
kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan dapat diklasifikasi menjadi pelayanan preventif dan
kuratif/rehabilitatif. Contoh pelayanan preventif adalah vaksinasi, minum tablet Fe bagi ibu hamil,
dan lain-lain. Sedangkan pelayanan kuratif dan rehabilitatif mulai dari kebutuhan pengobatan luka
kecil atau gejala sakit kepala ringan hingga pelayanan gawat darurat, operasi tulang belakang, dan
perawatan penyakit berat yang komplek dan mengancam jiwa pasien. Pada kasus penyakit ringan
orang bisa menunda pengobatan dan menurunkan demand jika tarif layanannya mahal dan
meningkatkan demand jika tarip layanannya murah atau gratis (misalnya pada aksi sosial pengobatan
massal). Namun sebaliknya, pada kasus gawat darurat yang mengancam jiwa berapapun mahalnya
tarif layanan akan tetap dibeli (termasuk dengan berhutang untuk membiayai pengobatan). Disini
tidak berlaku hukum demand yang menyatakan pada harga tinggi demand akan turun. Disini demand
juga tidak ditentukan oleh Ability to Pay (ATP) melainkan yang terjadi adalah pasien terpaksa
membayar atau forced to pay.

Demand terhadap pelayanan kesehatan diukur dengan jumlah pelayanan yang dibeli oleh konsumen.
Agar terjadi pembelian pelayanan kesehatan maka konsumen harus mempunyai kebutuhan terhadap
pelayanan kesehatan (health needs) disertai keinginan membayar (willingness to pay – WTP: harga
tertinggi yang mau dibayar) dan kemampuan membayar (ability to-pay – ATP: mempunyai uang
untuk membayar harga). Informasi mengenai WTP dan ATP dapat dimanfaatkan oleh fasilitas
kesehatan untuk menetapkan harga atau tarip pelayanan guna memaksimalkan laba. Namun oleh
karena pelayanan kesehatan menyangkut kebutuhan dasar dan hak asasi manusia (HAM) maka
seringkali pemerintah membuat regulasi tentang tarif pelayanan kesehatan di sektor hilir maupun
mewajibkan seluruh penduduk masuk kedalam sistem jaminan kesehatan sosial di sektor hulu untuk
menjamin setiap orang bisa terpenuhi kebutuhan pelayanan kesehatannya atau melalui penyediaan
pelayanan kesehatan langsung oleh negara pada skema National Health Service (NHS).

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 48

Demand terhadap pelayanan kesehatan juga sangat berbeda dengan demand terhadap kebutuhan
umum lainnya dalam hal jumlah jenis barangnya. Pada demand terhadap kebutuhan umum biasanya
jumlah demand terbatas pada satu jenis barang/jasa (misalnya demand terhadap makanan, minuman,
sepatu, sepeda, dan lain-lain) sedangkan demand terhadap pelayanan kesehatan sangat jarang berupa
demand terhadap satu jenis pelayanan saja melainkan selalu melibatkan sekumpulan pelayanan
(misalnya jasa konsultasi dokter, laboratorium, rontgent, obat, dan lain-lain). Lebih dari itu, tidak
seperti demand terhadap barang kebutuhan lain jenis dan jumlahnya ditentukan sendiri oleh konsumen,
pada demand terhadap pelayanan kesehatan yang menentukan jumlah dan jenis pelayanannya
bukanlah pasien sendiri melainkan diserahkan pada profesi kesehatan (dokter dan dokter gigi) yang
lebih mengetahui kebutuhan pasien (informasi asimetris). Pada situasi informasi asimetris, demand
terhadap pelayanan kesehatan bahkan bisa diinduksi oleh pemberi pelayanan (dokter) meskipun
manfaat marginalnya lebih kecil daripada biaya marginalnya, termasuk yang terindikasi fraud dengan
motif mendapatkan uang lebih banyak.

B.2. Faktor Penentu Demand Terhadap Pelayanan Kesehatan


Seperti demand terhadap barang/jasa umum lainnya, demand terhadap pelayanan kesehatan tidak
hanya dipengaruhi oleh harga pelayanan kesehatan itu sendiri. Berikut akan dibahas beberapa faktor
yang mempengaruhi demand terhadap pelayanan kesehatan.
1. Kebutuhan pelayanan kesehatan (yang dipersepsi oleh pasien)
Setiap orang mempunyai kebutuhan pelayanan kesehatan yang berbeda. Berdasarkan umur kelompok
usia dini yaitu bayi, balita, dan anak-anak masih rentan sakit sehingga memiliki kebutuhan pelayanan
kesehatan yang tinggi. Kelompok usia remaja dan dewasa memiliki daya tahan tubuh dan kekebalan
yang tinggi sehingga jarang sakit dan akibatnya kebutuhan pelayanan kesehatnnya rendah.
Selanjutnya pada kelompok lansia kekebalan tubuhnya mulai menurun sehingga jadi sering sakit, akut
maupun kronis, akibatnya memiliki kebutuhan pelayanan kesehatan yang tinggi atau sangat tinggi.

Berdasarkan penjelasan diatas maka negara dengan jumlah penduduk yang besar akan memiliki
demand terhadap pelayanan kesehatan yang tinggi pula. Negara dengan angka kelahiran yang tinggi
sehingga proporsi penduduk usia dininya signifikan akan memiliki demand yang signifikan terhadap
pelayanan antenatal care (ANC), persalinan, layanan nifas, neonatus, perinatal, bayi, dan balita.
Negara dengan jumlah lansia yang besar juga akan memiliki demand terhadap pelayanan geriatri yang
tinggi.

Persepsi sakit pada diri pasien merupakan pemicu (trigger) terjadinya pencarian pengobatan. Makin
tinggi insiden sakit makin tinggi demand terhadap pelayanan kesehatan. Sebaliknya, upaya
pencegahan penyakit akan menurunkan insiden sakit di kemudian hari. Oleh karena itu, jika
masyarakat berhasil melakukan upaya pencegahan penyakit dengan baik maka demand terhadap
pelayanan kesehatan dengan sendirinya akan menurun.

2. Preferensi pasien
Pilihan pasien untuk menggunakan pelayanan kesehatan dipegaruhi oleh preferensinya. Preferensi
adalah sikap dan selera individu pada suatu produk (misalnya, jenis pelayanan kesehatan tertentu).
Preferensi dibentuk berdasarkan pengalaman, faktor genetik, informasi iklan, kepercayaan/agama, dan
faktor sosial-budaya lainnya. Misalnya: angka persalinan di fasilitas kesehatan di Jawa Barat rendah
disebabkan preferensi (keluarga) ibu hamil untuk melahirkan di dukun beranak atau paraji; budaya
larangan ibu bersalin keluar rumah sebelum 40 hari pasca persalinan menjadi tantangan dalam

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 49

pelayanan nifas, neonatus, dan perinatal; budaya tidak pergi berobat sampai tidak bisa beranjak dari
tempat tidur, menolak imunisasi bayi berdasarkan keyakinan agama, memberi hadiah operasi plastik
wajah kepada anak perempuan yang lulus sekolah menengah atas, dan lain-lain.

Uraian di atas dapat menjelaskan mengapa demand terhadap pelayanan kesehatan tertentu akan tinggi
jika sesuai dengan preferensi pasien dan sebaliknya akan rendah jika tidak sesuai dengan preferensi
pasien.

3. Penghasilan
Makin tinggi penghasilan masyarakat makin tinggi demand terhadap pelayanan kesehatan disebabkan
tersedianya disposable income untuk membeli pelayanan kesehatan. Pada kondisi penghasilan rendah
maka (hampir) seluruh penghasilan dihabiskan untuk belanja barang kebutuhan pokok, seperti
makanan dan transportasi, sehingga tidak lagi tersisa disposable income untuk belanja pelayanan
kesehatan. Jadi makin kaya suatu negeri (penghasilan penduduknya tinggi) maka makin besar demand
terhadap pelayanan kesehatan, dan sebaliknya.

4. Harga pelayanan
Secara umum makin tinggi harga pelayanan kesehatan makin rendah demand terhadap pelayanan
tersebut, baik pelayanan esensial maupun non esensial. Namun untuk pelayanan kesehatan yang
bersifat sangat esensial dan menyangkut life saving, faktor harga relatif tidak berpengaruh sehingga
demand menjadi inelastis.

5. Biaya perjalanan dan waktu tunggu


Biaya pelayanan kesehatan bukan hanya biaya yang dibayarkan kepada fasilitas kesehatan (health
provider) melainkan juga mencakup biaya perjalanan ke dan dari lokasi fasilitas kesehatan dan biaya
atas waktu tunggu yang diperlukan di fasilitas kesehatan (opportunity cost). Makin tinggi biaya
perjalanan dan waktu tunggu berarti makin tinggi juga total biaya pelayanan kesehatan sehingga
makin turun demand terhadap pelayanan kesehatan, dan sebaliknya.

6. Mutu layanan kesehatan (yang dipersepsi oleh pasien)


Secara umum makin baik mutu pelayanan kesehatan makin tinggi demand terhadap pelayanan
tersebut, dan sebaliknya. Hal itu terkait dengan upaya maksimasi kepuasan konsumen untuk setiap
unit uang yang dibelanjakan. Makin tinggi mutu pelayanan yang diterima pasien berarti makin kecil
atau makin murah biaya yang dikeluarkan oleh pasien per unit kepuasan sehingga dari perspektif
pasien harga pelayanan kesehatan yang bermutu adalah lebih murah dibandingkan dengan pelayanan
kesehatan yang tidak bermutu. Akibatnya, demand terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu lebih
tinggi daripada demand terhadap pelayanan kesehatan yang tidak bermutu.

B.3. Elastisitas Demand Terhadap Pelayanan Kesehatan dan Faktor Penentunya


Demand terhadap suatu barang/jasa tidak konstan sepanjang waktu disebabkan adanya berbagai faktor
yang mempengaruhi demand. Faktor penentu utama terjadinya perubahan demand adalah harga
barang/jasa itu sendiri. Perubahan demand akibat berubahnya harga dinamakan elastisitas demand
dari harga (disingkat elastisitas demand). Per definisi elastisitas demand adalah respon relatif pada
jumlah demand dari suatu barang/jasa terhadap perubahan harga barang/jasa itu. Secara matematis
elastisitas demand diekspresikan dengan persentase perubahan jumlah demand dibagi dengan
persentase perubahan harga. Nilai elastisitas demand (Ed) adalah antara nol sampai tak terhingga. Ed

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 50

= 0 disebut inelastis sempurna, Ed < 1 disebut inelastis, Ed = 1 disebut unitary elastic, Ed > 1 disebut
elastis, dan Ed = tak terhingga disebut elastis sempurna.

Pada umumnya demand terhadap pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif adalah inelastis terutama
pada kelompok pelayanan life saving sedangkan demand terhadap pelayanan preventif cenderung
elastis. Artinya, terjadinya perubahan harga tidak direspon secara proporsional dalam perubahan
demand. Ketika harga/tarif pelayanan kesehatan kuratif naik tinggi hanya menurunkan sedikit demand
terhadap pelayanan tersebut, dan sebaliknya. Sedangkan pada pelayanan kesehatan preventif,
harga/tarif pelayanan yang naik sedikit menyebabkan penurunan yang signifikan pada demand
terhadap pelayanan tersebut, dan sebaliknya. Bahkan pada pelayanan kosmetik, perubahan sedikit
dalam harga akan menyebaban perubahan sangat besar dalam demand, baik pada waktu harga naik
maupun turun. Disini demand terhadap pelayanan kosmetik bersifat sangat elastis. Nilai elastisitas
demand dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:

1. Ketersediaan subsitusi
Demand terhadap pelayanan kesehatan yang memiliki substitusi cenderung bersifat elastis dan
sebaliknya pelayanan kesehatan yang memiliki sedikit atau tidak ada substitusinya cenderung bersifat
inelastis. Misalnya, demand terhadap pelayanan IGD dan bedah jantung bersifat inelastis karena tidak
ada pelayanan penggantinya. Sedangkan demand terhadap pelayanan sirkumsisi modern bersifat
elastis karena bisa diganti dengan sirkumsisi tradisional.

2. Proporsi penghasilan yang dibelanjakan untuk barang/jasa itu


Makin besar proporsi penghasilan yang dibelanjakan untuk suatu barang/jasa maka makin elastis
demand terhadap barang/jasa itu. Suatu tingkat kenaikan harga barang/jasa yang sama akan
menghasilkan harga akhir yang berbeda jika harga awalnya berbeda jauh. Misalnya, harga obat
suplemen 100 ribu rupiah dan harga operasi patah tulang 10 juta rupiah. Kenaikan harga masing-
masing sebesar 50 persen akan membuat harga obat suplemen menjadi 150 ribu rupiah dan harga
operasi patah tulang menjadi 15 juta rupiah. Rumah tangga dengan penghasilan 20 juta rupiah akan
cenderung meneruskan membeli obat suplemen karena proporsi belanja obat suplemen hanya naik
sedikit dari 0,5% menjadi 0,75% dan sebaliknya akan cenderung membatalkan operasi patah tulang
(dan mencari pengobatan alternatif) karena biayanya memakan 75% dari penghasilannya.

3. Jeda waktu dengan perubahan harga


Makin jauh dari saat terjadinya perubahan harga barang/jasa, sifat demand terhadap barang/jasa itu
akan makin elastis. Pada waktu harga barang/jasa naik, untuk sementara, konsumen akan tetap
meneruskan pembelian barang/jasa itu dalam jumlah yang sama sampai menemukan barang/jasa
pengganti yang harganya lebih murah. Setelah itu secara gradual jumlah pembelian barang/jasa itu
akan dikurangi sehingga demand-nya makin elastis.

B.4. Supply Pelayanan Kesehatan


Dengan asumsi variabel lain tidak berubah atau ceteris paribus, hubungan antara harga dan kemauan
produsen memasok barang/jasa digambarkan dalam bentuk kurva supply. Secara grafis, jika sumbu X
adalah harga dan sumbu Y adalah jumlah barang/jasa maka kurva supply adalah garis miring dari sisi
kiri bawah ke kanan atas. Makin tinggi harga barang/jasa (H2) makin banyak jumlah barang/jasa yang
dipasok (J2), dan sebaliknya makin rendah harga barang/jasa (H1) makin sedikit jumlah barang/jasa
yang dipasok (J1).

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 51

Gambar 4.3. Kurva Supply

Dengan motif memaksimalkan laba, makin tinggi harga makin besar margin laba yang diperoleh
produsen dan membuatnya makin bersemangat menambah pasokan. Sebaliknya makin rendah harga
makin kecil margin laba yang diperoleh produsen sehingga produsen enggan menambah pasokan dan
bahkan malah mengurangi pasokan. Apalagi jika harga yang terbentuk di pasar lebih rendah dari
biaya produksi maka produsenpun akan menarik diri dari pasar alias menyetop pasokan untuk
menghindari atau menekan kerugian sehingga pasokan hilang dari pasar.

Pelayanan kesehatan melibatkan beragam input sumberdaya seperti SDM (dokter, dokter gigi,
perawat, apoteker, manajemen umum, dan lain-lain), alat/teknologi kesehatan, obat dan perbekalan
kesehatan, maupun upaya pelayanan kesehatan (perorangan) yang diselenggarakan oleh fasilitas
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, apotek, laboratorium, dan lain-lain. Berbeda dengan
supply barang/jasa umum, supply input sumberdaya dan upaya pelayanan kesehatan cenderung diatur
lebih ketat (highly regulated) karena adanya ciri unik dari pelayanan kesehatan terutama informasi
asimetris. Ada mekanisme izin pendirian dan operasioanal lembaga pendidikan tinggi tenaga
kesehatan seperti fakultas kedokteran, kedokteran gigi, farmasi dan lain-lain, maupun fasilitas
pelayanan kesehatan seperti klinik, rumah sakit, laboratorium, apotek, dan lain-lain. Oleh karena itu,
bisa dibuat banyak kurva supply pelayanan kesehatan mulai dari kurva supply dokter, dokter gigi,
apoteker, perawat, obat, alat kesehatan, rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, laboratorium, apotek,
dan lain-lain.

B.5. Faktor Penentu Supply Pelayanan Kesehatan


Secara teoritis ada dua faktor penentu jumlah supply pelayanan kesehatan yaitu (i) harga faktor
produksi dan (ii) harga pelayanan substitusi. Pertama; jika harga faktor produksi berubah (naik atau
turun) makakurva supply akan bergeser. Jika harga faktor produksi naik maka kurva supply akan
bergeser ke kiri, artinya jumlah pasokan pada setiap tingkat harga akan berkurang. Sebaliknya, jika
harga faktor produksi turun maka kurva supply akan bergeser ke kanan, artinya jumlah pasokan pada
setiap tingkat harga akan bertambah.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 52

Gambar 4.4. Pergeseran Kurva Supply

Kedua; pada demand terhadap barang umum yang ada substitusinya, jika harga barang substitusinya
naik jumlah pasokan akan bertambah, dan sebaiknya jika harga barang substitusinya turun maka
pasokan akan berkurang. Namun, dibidang kesehatan tidak ditemukan adanya pelayanan substitusi
dari pelayanan kesehatan, yang ada hanyalah pelayanan komplementer maupun pelayanan alternatif
yang belum terbukti manfaatnya. Biasanya pelayanan kesehatan komplementer dan alternatif
berkembang untuk kasus-kasus yang harga pelayanannya mahal dan tidak terjangkau atau pada kasus-
kasus yang keberhasilan pengobatannya sangat rendah seperti kanker.

B.6. Elastisitas Supply Pelayanan Kesehatan dan Faktor Penentunya


Supply terhadap suatu barang/jasa tidak konstan sepanjang waktu disebabkan adanya berbagai faktor
yang mempengaruhi supply. Faktor penentu utama terjadinya perubahan supply adalah harga
barang/jasa itu sendiri. Perubahan supply akibat berubahnya harga dinamakan elastisitas supply dari
harga (disingkat elastisitas supply). Per definisi elastisitas supply adalah respon relatif pada jumlah
supply dari suatu barang/jasa terhadap perubahan harga barang/jasa itu. Secara matematis elastisitas
supply diekspresikan dengan persentase perubahan jumlah supply dibagi dengan persentase perubahan
harga. Nilai elastisitas harga (Es) adalah antara nol sampai tak terhingga. Es= 0 disebut inelastis
sempurna, Es< 1 disebut inelastis, Es= 1 disebut unitary elastic, Es> 1 disebut elastis, dan Es= tak
terhingga disebut elastis sempurna.

Nilai elastisitas supply dipengaruhi oleh dua faktor yaitu (i) sifat dari perubahan harga faktor produksi
dan (ii) jangka waktu analisis dilakukan. Pertama; jika kenaikan pasokan hanya dapat dilakukan
dengan tambahan biaya yang sangat tinggi maka elastisitas supply akan bersifat inelastis, dan
sebaliknya jika tambahan pasokan dapat dilakukan hanya dengan menambah sedikit biaya maka
elastisitas supply akan bersifat elastis. Jika kapasitas produksi sudah digunakan optimal, misalnya jika
seluruh tempat tidur dan kapasitas kerja dokter dan perawat rumah sakit sudah digunakan secara
optimal, maka penambahan jumlah pasokan layanan rumah sakit membutuhkan investasi gedung dan
perekrutan tenaga dokter dan perawat baru sehingga membutuhkan biaya yang sangat mahal dan
akibatnya supply jadi bersifat inelastis. Supply juga akan bersifat inelastis jika sangat sukar
mendapatkan faktor produksi baru yang diperlukan misalnya dalam situasi keterbatasan jumlah
lulusan dokter spesialis di Indonesia saat ini.

Kedua; dalam jangka pendek supply biasanya bersifat inelastis sedangkan dalam jangka panjang
supply bersifat elastis. Dalam jangka pendek perusahaan tidak bisa menambah faktor produksi yang

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 53

diperlukan untuk menambah pasokan tetapi masih bisa mengoptimalkan pemakaian faktor produksi
yang sudah ada dengan menambah jam kerja (lembur) maupun efisiensi produksi sehingga hanya bisa
menambah pasokan dalam jumlah sedikit dan supply jadi inelastis. Sebaliknya, dalam jangka panjang
perusahaan bisa menambah jumlah faktor produksi dengan membangun pabrik dan merekrut
karyawan baru sehingga jumlah pasokan bisa ditambah dalam jumlah banyak sehingga supply
menjadi elastis.

B.7. Keseimbangan Pasar Pelayanan Kesehatan


Pasar adalah bertemunya konsumen (demand) dan produsen (supply) dalam memenuhi kebutuhan
untuk meningkatkan kepuasan masing-masing. Konsumen ingin memuaskan kebutuhan dengan
membeli barang/jasa yang dipasok produsen. Sedangkan produsen memasok barang/jasa untuk
memuaskan kebutuhannya mendapat laba maksimum.

Dalam memuaskan kebutuhannya tersebut, interest konsumen berbeda dengan interest produsen.
Konsumen ingin mendapatkan barang/jasa dengan harga murah sedangkan produsen ingin
mendapatkan margin laba yang besar dari setiap unit barang/jasa yang dijual. Secara teoritis akan
terjadi dua situasi dibawah ini:
1. Konsumen mau membeli banyak (J1) barang/jasa jika harganya murah (H1) sedangkan pada
harga murah (H1) produsen hanya mau memasok barang/ jasa dalam jumlah yang sedikit (J1’).
Akibatnya terjadi kelangkaan barang/jasa di pasar karena terjadinya excess demand. Oleh karena
barang/jasa yang dibutuhkan langka di pasaran maka konsumen bersedia untuk menaikkan harga
pembelian barang/jasa itu. Pada tingkat harga yang lebih tinggi, produsen mau menambah
pasokan. Proses interaksi kosumen-produsen seperti itu terus berlangsung sampai tidak terjadi lagi
kelangkaan barang/jasa yang dibutuhkan konsumen di pasaran.
2. Konsumen hanya mau membeli sedikit (J2) barang/jasa jika harganya mahal (H2) sedangkan pada
harga mahal (H2) produsen mau memasok barang/jasa dalam jumlah yang banyak (J2’).
Akibatnya terjadi kelebihan barang/jasa di pasar (excess supply). Oleh karena barang/jasa yang
dipasok tidak laku di pasaran maka produsen bersedia untuk menurunkan harga barang/jasa itu
(terutama untuk barang yang mudah rusak). Pada tingkat harga yang lebih rendah, kosumen mau
menambah jumlah pembelian. Proses interaksi produsen-konsumen seperti itu terus berlangsung
sampai tidak terjadi lagi kelebihan barang/jasa yang dipasok produsen di pasaran.

Dari kedua proses interaktif perilaku pembelian konsumen dan perilaku penjualan produsen diatas
akhirnya ditemukan suatu titik keseimbangan pasar yang terjadi manakala jumlah barang/jasa yang
dibeli oleh konsumen sama dengan jumlah barang/jasa yang dipasok oleh produsen. Titik
keseimbangan pasar itu menunjukkan tidak ada waste dalam produksi dan konsumsi barang/jasa,
artinya semua barang yang dipasok oleh produsen habis dibeli oleh konsumen. Disini mekanisme
pasar telah menunjukkan peran optimal dalam pengalokasian sumberdaya secara efisien. Mekanisme
pasar seperti itulah yang disebut dengan invisible hand. Namun keadaan ideal itu hanya cocok untuk
barang kebutuhan umum dimana terdapat informasi simetris antara produsen dan konsumen.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 54

Gambar 4.5 Kurva Keseimbangan Pasar

Pada titik keseimbangan pasar ada kelompok masyarakat yang memiliki daya beli (ATP) dibawah
harga pasar sehingga tidak bisa membeli barang/jasa yang dibutuhkan pada harga pasar (terlempar
dari pasar). Jika hal itu terjadi pada barang/jasa sekunder konsumen bisa menunda atau bahkan
membatalkan rencana pembelian dan tidak mengancam jiwa. Berbeda halnya dengan pelayanan
kesehatan kuratif atau pelayanan gawat darurat yang tidak bisa ditunda karena bisa mengancam jiwa.

C. RUJUJAN DAN BACAAN YANG DIANJURKAN


1. David Wonderling, Reinhold Gruen, dan Nick Black, Introduction to Health Economics, Open
University Press, England, 2005.
2. Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi Edisi Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta
1994.
3. Robert S. Pindyck, Daniel L. Rubinfeld, Microeconomics 5th Edition, alih bahasa: Aldi Jenie dan
Tanti Tarigan, PT. Indeks, Jakarta 2003.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 55

BAB 5. STRUKTUR DAN KEGAGALAN PASAR: MONOPOLI, OLIGOPOLI DAN


EKTERNALITAS, BARANG PUBLIK DAN ASIMETRIK INFORMASI
Dr.sc.hum. Budi Aji, SKM, M.Sc.
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman

A. PENDAHULUAN
Tujuan instruksional khusus pada bab ini adalah:
1. Mahasiswa mampu memahami karakteristik khusus pasar dalam pelayanan kesehatan.
2. Mahasiswa mampu memahami struktur pasar dalam pelayanan kesehatan.
3. Mahasiswa mampu memahami kegagalan pasar pelayanan kesehatan.
4. Mahasiswa mampu memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan pasar pelayanan
kesehatan.
5. Mahasiswa mampu memahami intervensi dalam mengatasi kegagalan pasar dalam pelayanan
kesehatan.

Kemampuan dasar yang dibutuhkan dalam mempelajari bab ini adalah mahasiswa sudah memahami
konsep supply, demand, dan elastisitas dalam pelayanan kesehatan. Materi pada bab ini berkaitan erat
dengan pemahaman akan pasar pelayanan kesehatan yang nantinya akan digunakan sebagai dasar
dalam mempelajari ciri khusus industri pelayanan kesehatan dan bentuk intervensi pemerintah yang
perlu dilakukan untuk mengatasi kegagalan pasar pelayanan kesehatan kaitannya dengan isu akses ke
pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan. Untuk mempelajari bab ini perlu terlebih dahulu
perlu membaca beberapa buku yang dianjurkan agar mampu memperoleh pemahaman yang lebih detil
dan semakin luas akan materi pada bab ini.

B. PENYAJIAN MATERI
B.1. Pasar dan Pasar Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu sektor ekonomi yang berperan penting memenuhi hajat
hidup khususnya berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehat. Dalam pelayanan
kesehatan terjadi proses interaksi antara penyedia pelayanan kesehatan yaitu dokter, perawat, dan
tenaga kesehatan maupun non kesehatan lainnya dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan
kesehatan tersebut. Secara ekonomi, sebenarnya terjadi proses tukar menukar barang ataupun jasa
antara penyedia pelayanan kesehatan dengan masyarakat ataupun pasien. Konsep tersebut secara
analitik oleh para ekonom yang disebut sebagai pasar. Pasar yang dimaksud disini adalah pasar
pelayanan kesehatan yang merupakan suatu interaksi penjual yaitu bisa rumah sakit dengan pembeli
seperti pasien dimana terjadi jual beli suatu barang atau jasa kesehatan. Sebagai contoh rumah sakit
menjual pelayanan unit gawat darurat maka pasien yang mengalami kegawatdaruratan (emergency)
akan membeli pelayanan kesehatan tersebut. Rumah sakit bertindak sebagai penjual untuk berbagai
pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan laboratorium, perawatan rumah sakit, obat baik yang
bersifat teknologi sederhana sampai dengan teknologi yang canggih berbiaya mahal. Rumah sakit
menjual barang-barang seperti kertas tissue sampai dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Sifat transaksi antara penjual dan pembeli dalam pasar pelayanan kesehatan tersebut dapat terjadi
disepanjang rantai produksi. Pasar dapat berupa penjualan barang atau jasa kepada konsumen akhir
(final goods transactions) seperti penyediaan pemeriksaan darah rutin oleh laboratoriun rumah sakit
kepada pasien. Namun pasar pelayanan kesehatan juga dapat terjadi antara pedagang besar farmasi
yang menjual obatnya kepada rumah sakit yang nantinya rumah sakit akan dijual kembali kepada
The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018
Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 56

pasiennya, atau disebut transaksi komoditas intermediate (intermediate goods transactions). Proses
transaksi dalam pasar pelayanan kesehatan tersebut tidak hanya terjadi pada institusi rumah sakit yang
bersifat kuratif-rehabilitatif namun juga pada sarana pelayanan kesehatan lainnya seperti puskesmas,
dinas kesehatan yang menyediakan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif-preventif.

Suatu pasar tidak tergantung pada batasan wilayah atau lokasi geografis spesifik namun yang
terpenting adalah pengertian akan dimensi pasar itu sendiri. Pasar pelayanan kesehatan terletak pada
proses interaksi antara penjual dan pembeli dimana secara letak geografis dapat bersifat lokal maupun
skala wilayah yang lebih luas lagi baik bersifat regional, nasional, maupun internasional. Pasar
pelayanan kesehatan di rumah sakit dimana terjadi interaksi antara dokter dengan pasien maka pasar
pelayanan kesehatan ini bersifat lokal, namun interaksi antara perusahaan farmasi asing bersifat lebih
luas atau internasional karena proses interaksi atau jual belinya membutuhkan pemasaran dan
pendistribusian lintas negara.

Pasar pelayanan kesehatan memiliki karakteristik khusus yang berbeda dibandingkan pasar barang-
barang konsumsi lainnya. Isu pasar kompetitif yang terjadi pada barang-barang konsumsi pada
umumnya tidak terjadi pada pasar pelayanan kesehatan. Pasar kompetitif (competitive market) dapat
didefiniskan sebagai keadaan dimana terdapat banyak penjual dan pembeli yang memiliki informasi
yang jelas (well-informed). Hal ini tidak terjadi dalam pasar pelayanan kesehatan, sehingga pasar
pelayanan kesehatan memerlukan perhatian khusus kaitannya dengan upaya memberikan kesempatan
yang sama bagi seluruh masyarakat dalam memperoleh atau mengakses pelayanan kesehatan. Isu
keadilan/pemerataan (equity/equality) menjadi isu penting dalam pasar pelayanan kesehatan
disamping isu efisiensi (efficiency) menjadikan hal yang tidak terelakan dalam pengelolaan industri
pelayanan kesehatan. Trade-off antara isu keadilan dan efisiensi menjadi perdebatan yang menarik
kaitannya dengan menata sistem pelayanan kesehatan di suatu negara yang berkaitan dengan
bagaimana peran atau intervensi pemerintah dalam pasar pelayanan kesehatan.

B.2. Keseimbangan Pasar (Market Equilibrium)


Keseimbangan pasar adalah interaksi antara supply dan demand untuk menentukan harga yang
disepakati pasar. Pada pasar yang sempurna (perfect market) terjadi pasar yang kompetitif sehingga
terjadi efisiensi dimana harga dititik perpotongan antara kurva supply dan demand merupakan titik
keseimbangan. Pada situsi ini jumlah yang ingin dibeli oleh konsumen sama dengan jumlah yang
dijual oleh produsen. Perubahan pada kesimbangan pasar menunjukkan perubahan pada kondisi
ekonomi yang mendasarinya. Situasi ini yang menyebabkan terjadinya pergesaran pada kurva supply
dan demand. Akan tetapi dalam pasar yang sempurna keseimbangan harga akan tercapai kembali pada
titik yang paling efisien atau disebut dengan fenomena invisible hand.

Sebagai perumpamaan dalam situasi keseimbangan pasar pada pasar yang sempurna di pasar
pelayanan osteopati. Pada Gambar 5.1 terjadi simulasi perubahan demand yang disebakan oleh
perubahan pendapatan masyarakat. Pada awalnya keseimbangan pasar terdapat pada harga P dan
kuantitas Q. Seandainya terjadi peningkatan pendapatan masyarakat maka kurva demand akan
bergeser keluar karena orang-orang akan lebih banyak yang mampu membeli pelayanan osteopati
pada harga yang sama. Pergeseran demand tersebut menyebabkan keseimbangan pasar terganggu.
Masyarakat jadinya ingin membeli pelayanan di pada harga akan tetapi ahli osteopati hanya
menyediakan untuk dijual kepada masyarakat. Hal ini mengakibatkan kelebihan demand dan tidak
memuaskan penyedia layanan (keuntungan tidak maksimal) sebagai reaksi kenaikan harga tersebut.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 57

Selanjutnya kenaikan harga akan diiringi oleh penurunan demand dan peningkatan supply sampai
pasar mencapai keseimbangan kembali pada harga dan kuantitas yang baru. Kenaikan pendapatan
masyarakat akan membawa keseimbangan pada harga yang lebih tinggi di dan jumlah yang lebih
banyak dibanding sebelumnya. Pergeseran demand dan supply tersebut akan terus terjadi yang dapat
menyebabkan kondisi baik kelebihan demand maupun supply. Akan tetapi harga akan menyesuaikan
untuk mencapai keseimbangan kembali.

Gambar 5.1. Kurva Kesimbangan Pasar

B.3. Efisiensi dan Pemerataan (Equity)


Keterbatasan sumber daya dalam pelayanan kesehatan membawa konsekuensi terhadap alokasi atau
keputusan pada seberapa banyak sumber daya kesehatan yang akan disediakan. Ada tiga
kemungkinan kaitannya dengan alokasi sumberdaya tersebut: mekanisme pasar (free market), sistem
komando, atau sistem campuran. Pengalokasian dengan pendekatan tersebut akan membawa isu yang
berbeda khususnya kaitan dengan isu efisiensi dan ekuitas (equity). Free market lebih menggunakan
pendekatan perilaku membeli konsumen dalam sistem pengalokasian sumber daya kesehatannya,
sistem komando menggunakan pendekatan perencanaan alokasi sumber daya dengan menggunakan
kriteria yang telah ditentukan yaitu kebutuhan (need), sedangkan untuk sistem campuran akan
berusaha mengkombinasikan sistem free market dengan elemen-elemen sistem komando. Akan tetapi
isu trade-off antara efisiensi dan equity menjadikan dasar untuk menilai kinerja dari pendekatan
terhdap pengalokasian sumber daya kesehatan tersebut.

Efisiensi adalah upaya memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk dapat menghasilkan
keuntungan (output) yang maksimal. Dengan menggunakan teori efisiensi Pareto, efisiensi berarti
upaya mengalokasikan sumber daya kesehatan yang tersedia sehingga dapat memenuhi kebutuhan
masyakat akan pelayanan kesehatan tersebut (allocative efficiency) dan juga mampu memproduksi
pelayanan kesehatan dengan biaya seminimal mungkin (productive efficiency atau technical
efficiency). Sedangkan equity, lebih menekankan pada pengalokasian sumber daya yang memenuhi
permintaan masyarakat akan rasa keadilan. Isu equity lebih kearah isu yang bersifat normatif, atau apa
yang seharusnya dilakukan atau didapatkan bagi masyarakat dan ini tergantung dari nilai-nilai
(moralitas) yang ada pada masyarakat itu sendiri (value judgment). Meskipun sulit untuk dianalisis
namun equity dapat dibedakan menjadi dua yaitu horizontal equity dan vertical equity. Horizontal
equity menekankan pada kesamaan (equal) pelayanan bagi orang yang memiliki kebutuhan pelayanan
kesehatan yang sama (status kesehatan yang sama), sehingga orang-orang yang memiliki kebutuhan

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 58

medis yang sama harus diberi perawatan yang sama tanpa memandang perbedaan status sosial
ekonomi. Sedangkan vertical equity lebih menekankan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan
yang berbeda harus dibedakan dalam perlakuannya. Sebagai contoh, orang yang memiliki tingkat
pendapat yang lebih tinggi harus berkontribusi lebih banyak dalam pembiayaan kesehatannya, atau
dalam sistem asuransi kesehatan maka orang yang lebih kaya akan diminta untuk berkontribusi premi
lebih tinggi.

B.4. Kegagalan Pasar (Market Failure)


Pasar yang sempurna (perfect market) pada pasar komoditas barang atau jasa lainnya apabila dilepas
pada mekanisme pasar akan berbeda dengan komoditas pelayanan kesehatan. Kegagalan pasar
(market failure) menjadi isu krusial ketika pelayanan kesehatan tidak dilakukan intervensi apapun
sehingga efisiensi tidak tercapai. Pada gambar berikut terlihat bahwa apabila pelayanan kesehatan
berada pada mekanisme pasar maka efisiensi yang diharapkan dari keseimbangan pasar mengalami
kegagalan, yaitu adanya kelompok masyarakat yang memiliki kemapuan daya beli dibawah titik
keseimbangan harga antara demand dan supply, yang menyebabkan kelompok masyarakat tersebut
tersingkir dari pasar (the lemon principle).

Gambar 5.2. Kegagalan Pasar

Situasi ini menyebabkan kelompok mayarakat tersebut gagal dalam mengakses pelayanan kesehatan
dan terjadi fenomena yang disebut welfare loss. Perlu adanya intervensi untuk dapat mengatasi
kegagalan pasar tersebut. Intervensi yang dapat dilakukan baik intervensi dari sisi supply maupun dari
sisi demand. Intervensi dari sisi supply seperti penyediaan fasilitas, sumberdaya manusia, obat yang
dilakukan oleh pemerintah sehingga mampu menurunkan harga pelayanan kesehatan. Sedangkan
intervensi dari sisi demand dapat dilakukan seperti pelaksanaan program asusransi sosial oleh
pemerintah sehingga mampu memberikan subsidi bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu atau
kemampuan daya beli (ability to pay) rendah.

Pasar pelayanan kesehatan memiliki karakteristik khusus dimana terjadi kegagalan dalam mencapai
efisiensi. Ada beberapa situasi yang menyebabkan pasar pelayanan kesehatan mengalami kegagalan
pasar:
1. Kekuatan pasar (monopoli pasar)
Kekuatan dari sisi penjual dan pembeli dapat mempengaruhi harga dalam pasar pelayanan kesehatan
sehingga menyebabkan inefisiensi. Kekuatan pasar disini adalah keadaan dimana satu atau sejumlah

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 59

kecil partisipan yang bergabung bersama yang dapat mempengaruhi harga atau disebut sebagai
monopoli pasar. Monopoli pasar dapat terjadi dari sisi penjual apabila hanya ada satu penjual
(monopoli murni) yang mengendalikan harga penjualan komoditas. Kekuatan monopoli murni ini
akan menyebabkan harga dikendalikan oleh satu penjual. Penjual dapat melakukan pembatasan supply
komoditas dan menaikkan harga untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Hal ini berbeda jika
pasar tidak dilakukan monopoli dimana keseimbangan monopoli akan dapat lebih rendah dengan
ouput yang lebih besar. Konsekuensi dari keimbangan monopoli adalah inefisiensi harga dikarenakan
beban kenaikan harga komoditas yang dibebankan kepada pembeli akan lebih besar dibanding biaya
produksi. Sebagai contoh, apabila di suatu wilayah hanya terdapat satu dokter spesialis, dengan
mekanisme pasar yang diberlakukan tanpa intervensi dari pemerintah, maka penyedia layanan
kesehatan tersebut memiliki kekuatan penuh dalam mementukan harga dikarenakan tidak adanya
kompetisi dari penyedia layanan lain, dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan
tersebut hanya dapat memperoleh komoditas pelayanan kesehatan tersebut dari satu dokter spesialis
yang ada.

Disamping itu, kekuatan pasar juga terjadi dari sisi pembeli. Pengendali harga dalam pasar pelayanan
kesehatan ini ada pada sisi pembeli. Hal ini terjadi karena satu atau beberapa pembeli bergabung agar
dapat melakukan pengendalian harga. Pengendalian harga oleh kelompok pembeli ini memberikan
dapak terhadap penurunan harga dibawah harga pasar kompetitif. Sebagai contoh untuk pasar obat-
obatan dimana pemerintah sebagai pembeli akan melakukan upaya-upaya untuk mengendalikan harga
dengan buat kebijakan/peraturan. Upaya ini menyebabkan harga obat-obatan mengalami inefisiensi
jika dibandingkan dengan pasar yang tanpa monopoli. Saat ini dengan dikembangkannya program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai bentuk asuransi kesehatan sosial menyebabkan badan
penyelenggara JKN mampu melakukan monopoli dari sisi pembeli sehingga mampu memberikan
pengaruh terhadap harga jual pasar obat-obatan maupun peralatan kesehatan di Indonesia.

2. Eksternalitas
Pelayanan kesehatan adalah komoditas ekonomi yang memiliki pengaruh atau efek samping
(eksternalitas) baik dari sisi konsumsi maupun produksi. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi spill-over
manfaat atau dampak baik yang bersifat positif maupun negatif dari komoditas pelayanan kesehatan
tersebut. Dengan menggunakan kurva penawaran (supply) dan permintaan (demand), akan terlihat
bentuk ekternalitas dalam pelayanan kesehatan. Eksternalitas produksi dan konsumsi dapat terjadi
pada komoditas pelayananan kesehatan.

Contoh eksternalitas produksi pada pelayanan kesehatan adalah terjadi pada komoditas pelayanan
kesehatan yang bersifat preventif yaitu kaitannya dengan kejadian pencemaran lingkungan. Pada
perusahaan-perusahaan yang melakukan produksi barang, akan terjadi kegiatan yang dapat
memberikan sumbangan terhadap pencemaran lingkungan. Hal ini terjadi dikarenakan proses
produksi akan mengeluarkan limbah, baik yang bersifat padat, cair maupun gas. Namun perusahaan
yang tidak memikirkan dampak pencemaran lingkungan tersebut, akan tidak memasukkan komponen
biaya pencemaran lingkungan dalam biaya barang yang dihasilkan dengan pertimbangan misalnya
harga yang lebih murah dan kompetitif. Harga yang ditetapkan oleh produsen tidak menghitung
dampak lingkungan yang terjadi ketika proses produksi. Private cost yang harus dikeluarkan lebih
kecil dibandingkan social cost yang sebenarnya, yaitu opportunity cost dari semua sumber daya.
Inefisiensi terjadi dalam ekternalitas produksi tersebut.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 60

Gambar 5.3. Eksternalitas dari Sisi Produksi

Pada Gambar 5.3. menunjukkan bahwa pada kurva supply terjadi selisih antara social cost dengan
private cost dikarenakan produsen tidak memasukkan komponen pencemaran lingkungan dalam harga
barang yang dihasilkan. Pada kurva supply tersebut terdapat label private cost untuk menekankan
bahwa produsen hanya menghitung biaya yang harus mereka tanggung ketika proses produksi.
Sedangkan social cost adalah private cost yang ditambah dengan external cost, yaitu yang ditanggung
oleh pihak lain.

Ekternalitas konsumsi terjadi pada komoditas pelayanan kesehatan vaksinasi untuk penyakit menular.
Terjadi spill-over manfaat dari vaksinasi yang berarti bahwa kegiatan vaksinasi tidak hanya
memberikan perlindungan/kekebalan bagi seseorang yang divaksin namun hal ini juga berdampak
bagi perlindungan/kekebalan bagi orang lain atau masyarakat disekitarnya, sehingga akan dapat
membentuk kekebalan yang bersifat komunal (herd immunity). Jika dilihat dengan menggunakan
kurva supply dan demand, maka akan terlihat bahwa social benefit akan melebihi dari private benefit
dari komoditas vaksinasi tersebut.

Pada Gambar 5.4. terlihat kurva demand diberi judul private benefit untuk menekankan bahwa para
pembeli (demanders) membuat keputusan berdasarkan keuntungan yang akan mereka terima dari
vaksinasi. Kurva social benefit adalah private benefit ditambah dengan external benefit. Pada situasi
ini pasar memproduksi terlalu sedikit dikarenakan external benefit atau dapat dikatakan terlalu sedikit
vaksinasi.

Gambar 5.4. Eksternalitas dari Sisi Konsumsi

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 61

Dari kedua bentuk ekternalitas tersebut maka perlu adanya suatu intervensi oleh pemerintah agar
pasar pelayanan kesehatan dapat mencapai efisiensi. Beberapa bentuk intervensi yang dapat dilakukan
berupa kebijakan insentif ekonomi untuk perusahaan agar menerapkan pengelolaan limbah seperti
halnya penerapan biaya effluent atau pajak pada pencemaran yang dikeluarkan, melalui regulasi
langsung seperti peraturan penerapan teknologi pengendalian pencemaran, selain itu pemerintah
membiayai program vaksinasi atau menyediakan vaksin gratis.

3. Pelayanan Kesehatan sebagai Public Goods


Konsep ini menekankan pada prinsip bahwa pelayanan kesehatan adalah suatu komoditas dimana
pihak swasta terbatas untuk terlibat dalam menyediakannya. Mekanisme pasar tidak dapat berlaku
dengan baik atau pasar tidak menyediakan komoditas tersebut. Hal ini dikarenakan penjualan
komoditas ini penjualannya tidak dengan cara biasa. Komoditas ini memiliki ciri sebagai public goods
dengan dua alasan. Yang pertama, pengonsumsian komoditas ini tidak dapat dihindarkan, dalam
artian sesorang yang menolak membayar untuk suatu komoditas yang tidak dapat dicegah dari
mengonsumsi atau mendapatkan benefit dari komoditas ini. Kedua, setiap orang harus mengonsumsi
dalam jumlah yang sama. Sebagai contoh komoditas ini adalah program kesehatan yang bersifat
preventif yaitu pengendalian nyamuk. Setiap orang dalam daerah tersebut memperoleh keuntungan.
Biaya atas jasa tersebut harus ditanggung oleh pemerintah melalui pajak. Pihak swasta tidak dapat
dengan mudah menawarkannya pada individu dalam pasar dengan mengecualikan orang-orang yang
menolak membayar.

4. Informasi yang Tidak Sempurna (Asymmetry of Information)


Pelayanan kesehatan memiliki merupakan komoditas yang memiliki karakteristik yang berbeda
dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Ada ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh
pembeli terhadap komoditas yang akan dikonsumsi, atau disebut asymmetry of information. Hal ini
berbeda dengan barang atau jasa lainnya dimana pembeli dapat memperoleh informasi yang utuh
terhadap barang atau jasa tersebut. Pada pasar pelayanan kesehatan, pembeli dianggap bodoh
(ignorance) dikarenakan kemampuan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki akan komoditas
tersebut. Penjual, disini adalah penyedia pelayanan kesehatan (dokter, apoteker dan sebagainya),
dianggap lebih tahu akan kebutuhan (bentuk, volume, frekuensi) dari komoditas yang akan
dikonsumsi oleh pembeli (misal, pasien). Sehingga bahaya moral (moral hazard) menjadi isu krusial
dalam pasar komoditas pelayanan kesehatan. Kondisi ini yang meyebabkan pasar pelayanan kesehatan
dapat mengalami kondisi inefisiensi. Sebagai contoh adalah fenomena supplier induced demand yaitu
situasi dimana penyedia pelayanan kesehatan dapat mendorong penggunaan pelayanan kesehatan
yang berlebih dikarenakan alasan insentif ekonomi yang diperoleh bagi penyedia pelayanan kesehatan.
Perlu adanya intervensi dari pemerintah agar situasi ini dapat teratasi yaitu seperti pengendalian tarif
dan kuantitas pelayanan kesehatan melalui penerapan asuransi kesehatan sosial oleh pemerintah
(visiblehand intervention).

C. RANGKUMAN
Pasar pelayanan kesehatan memiliki karakteristik tertentu yang menjadikan berbeda dengan
komoditas barang atau jasa lainnya. Fenomena kegagalan pasar yang terjadi pada pelayanan kesehatan
membutuhkan intervensi yang sesuai sehingga mampu mencapai efisiensi sumberdaya yang
diharapkan dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan. Perlu upaya-upaya yang bisa
dilakukan dalam mengidentifikasi karakteristik khusus pelayanan kesehatan tersebut.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 62

D. LATIHAN/TUGAS
Jawablah soal-soal dibawah ini:
1. Mengapa tidak pernah terjadi perfect market pada industri pelayanan kesehatan jika menggunakan
pendekatan pasar sehingga yang terjadi adalah ”kegagalan pasar” atau market failure?
2. Bagaimana intervensi yang perlu dilakukan untuk mengatasi market failure tersebut?
3. Mengapa terjadi eksternalitas produksi dalam pencemaran lingkungan dan bagaiamana intervensi
yang pelu dilakukan untuk mengatasi eksternalitas produksi tersebut?

E. RUJUKAN DAN BACAAN YANG DIANJURKAN


1. Donaldson C., Gerard K., 1993. Economics of health care financing: The visible hand. St.
Martin’s Press, New York.
2. PS KARS UI. 1998. Ekonomi Layanan Kesehatan. Jakarta.
3. Sorkin A.L., 1984. Health Economics: An Introduction. Lexington Books.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 63

BAB 6. KARAKTERIKSTIK UNIK INDUSTRI PELAYANAN KESEHATAN


Dr. Atik Nurwahyuni, SKM, MKes
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

A. PENDAHULUAN
Sehat dan pelayanan kesehatan sebagai hak. Dalam Universal Declaration of Human Right (UNO-
1948) dengan tegas menyatakan:
“Everyone has the right to a standard of living adequate for health and well-being of himself and his
family, including food, clothing, and housing and medical care and necessary social services, and the
right to security in the even of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack
of livelihood in circumstances beyond his control.”

Makan, pakaian, tempat tinggal dan hidup sehat adalah elemen kebutuhan dasar manusia yang harus
senantiasa diusahakan untuk dipenuhi, terlepas dari kemampuan seseorang untuk membayarnya. Hal
ini menyebabkan upaya distribusi pelayanan kesehatan dilakukan atas dasar kebutuhan (need) dan
bukan atas dasar kemampuan membayar (demand). Pelayanan kesehatan dalam hal ini bukan saja
kuratif, melainkan juga promotif, preventif dan rehabilitatif. Pemerintah memiliki kewajiban untuk
memastikan hal ini terjadi.

Berbagai macam upaya dilakukan oleh pemerintah salah satunya dengan memberikan subsidi baik
melalui sisi supply yaitu fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) maupun dari sisi demand
dengan memberikannya kepada masyarakat. Salah satu tujuan subsidi diberikan ke fasilitas kesehatan
agar layanan kesehatan hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan tarif yang ditetapkan relatif
rendah sehingga masyarakat mampu untuk membayarnya. Sedangkan contoh subsidi dari sisi demand
adalah dibayarkannya iuran Jaminan Kesehatan Nasional masyarakat miskin dan kurang mampu oleh
pemerintah yang dikenal dengan Penerima bantuan Iuran (PBI). Dengan terdaftar di JKN maka
diharapkan mereka dapat mengakses layanan kesehatan saat dibutuhkan. Memang hal ini bukan
sebuah panachea, oleh sebab itu masih banyak lagi upaya yang lainnya. Berikut ini akan dijelaskan
mengenai karakteristik unik industri pelayanan kesehatan.

B. PENYAJIAN MATERI
B.1. Uncertainty
Orang tidak pernah tahu kapan ia akan sakit dan membutuhkan pelayanan kesehatan di masa yang
akan datang, oleh karenanya ia pun tidak tahu jenis layanan kesehatan apa yang ia butuhkan. Hal ini
yang menyebabkan orang tidak dapat menyimpan layanan kesehatan layaknya barang ataupun produk
lain. Adanya ketidakpastian ini menyebabkan orang memiliki resiko akan sakit dan oleh karenanya
juga resiko untuk mengeluarkan biaya pengobatan. Ciri uncertainty inilah yang mendasari munculnya
asuransi kesehatan.

Uncertainty juga terjadi pada sisi supply yaitu terkait ketersediaan pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan pasien. Selain itu, konsumen seringkali tidak mengetahui outcome yang diharapkan
(expected outcome) dari berbagai treatment yang diberikan tanpa informasi detil dari dokter, bahkan
dokter pun terkadang tidak dapat memprediksi outcome secara pasti. Dalam hal ini, pemberi layanan
kesehatan tidak dapat memberikan jaminan kepastian efektifitas suatu pelayanan kesehatan.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 64

B. 2. Asymmetric Information dan Consumer Ignorance


Asimetri informasi didefinisikan sebagai situasi dalam sebuah transaksi dimana salah satu pihak
memiliki pengetahuan akan barang atau jasa yang diperdagangkan, sedangkan pihak lainnya tidak (5)
(6).

Konsep Asymetric Information pertama kali diperkenalkan oleh George A. Akerlof tahun 1970
melalui “lemons problem”. Ia menyatakan bahwa pembeli Automobile cenderung memiliki informasi
yang lebih sedikit daripada penjual. Asymmetric information ini cenderung mendorong penjual untuk
menjual mobil dengan kualitas yang lebih rendah daripada rata-rata atau disebut “lemons”. Pembeli
tidak menyadarinya hingga mobil tersebut akhirnya dibeli dan digunakan (7) (8). Dengan demikian
asimetri informasi akan memberikan keuntungan bagi pihak yang memiliki informasi lebih dibanding
yang lain atau memungkinkan adanya potensi eksploitasi terhadap pihak yang memiliki lebih sedikit
informasi sehingga menyebabkan moral hazard (10).

Teori "lemon" Akerlof berlaku di semua pasar di mana pertukaran informasi asimetris ada antara
pembeli dan penjual. Pada pelayanan kesehatan, umumnya klinisi (Dokter sebagai agen) memiliki
informasi mengenai penyakit/diagnosis pasien serta bagaimana pengobatannya (pelayanan/ tindakan
yang menyembuhkan penyakit terkait) sedangkan pasien itu sendiri tidak memilikinya. Hal tersebut
kemudian menjadi kekuatan pasar bagi para klinisi (6) (9). Beberapa dampak asimetri informasi
adalah:
1. dokter membanjiri pasien dengan informasi dan memberikan perawatan yang seringkali tidak
diperlukan;
2. dokter seringkali tidak melibatkan pasien dengan cukup saat memberikan perawatan yang
diperlukan. Konsumen sangat tergantung dengan penyedia layanan kesehatan karena umumnya
konsumen tidak tahu banyak tentang jenis pemeriksaan dan pengobatan yang dibutuhkannya.
Providerlah yang menentukan jenis dan volume pelayanan yang perlu dikonsumsi oleh konsumen.
Hal ini disebut dengan consumer ignorance. Sebagai contoh dokter meresepkan obat bermerek
yang sangat mahal harganya padahal tersedia obat generik. Pasien tidak pernah ditanya, apakah
memilih obat bermerek atau obat generik. Dengan kondisi seperti ini maka pasien harus
membayar lebih mahal.

Namun disisi lain, pasien lebih mengetahui kondisi kesehatannya dibandingkan dengan klinisi yang
mendiagnosisnya. Hal ini dapat menjadi keuntungan bagi calon peserta asuransi kesehatan untuk
menyembunyikan informasi kesehatan yang tidak menguntungkan baginya saat membeli asuransi
kesehatan. Guna menghindari premi yang tinggi calon peserta mengubah informasi terkait status
kesehatannya pada saat mengisi form underwriting. Dengan demikian hanya orang-orang yang
memiliki resiko tinggi yang akhirnya membeli asuransi kesehatan. Fenomena ini disebut dengan
Adverse Selection.

B.3. Supplier Induced Demand (SID) dan Unnecessary Procedure


Supply induced demand adalah fenomena dimana permintaan terjadi terutama oleh dorongan
penawaran ketimbang dorongan kebutuhan (34). Disebutkan dalam Mc.Guire, 2001 in Dewar 2010
(2) bahwa supply induced demand adalah “Purports that doctors engage in some persuasive activity
to shift the patients’ demand curve in or out depending on the physicians’ self- interest”.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 65

Fenomena supply induce demand terjadi karena adanya dua fungsi yang dimiliki oleh tenaga medis
yaitu sebagai penasehat (adviser) dan juga penjual (seller). Dalam pelayanan kesehatan SID mudah
sekali terjadi karena adanya asimetri informasi dan consumer ignorance. Bentuk umumnya adalah
tindakan pemeriksaan dan pengobatan yang tidak perlu atau disebut unnecessary procedure.

Contoh yang paling sering ditemui adalah layanan pemeriksaan kehamilan/ANC di rumah sakit. Teori
menyebutkan bahwa pemeriksaan ANC cukup dilakukan selama 4 kali selama masa kehamilan
namun yang terjadi pemeriksaan kehamilan biasanya dilakukan selama 13 kali. Umumnya dokter
akan menganjurkan pemeriksaan dilakukan 1 kali per bulan pada periode kehamilan 1-7 bulan, 2 kali
per bulan (2 minggu sekali) pada usia kehamilan 8 dan sekali seminggu pada usia kehamilan 9 bulan
sehingga total menjadi 13 kali. Setiap kali ANC selalu dilakukan pemeriksaan USG dan pemberian
vitamin.

Fenomena SID akan berkembang dengan baik bila didukung oleh faktor lingkungan misal pasien
bebas memilih dokter; tidak terdapat kontrak yang membatasi pemberian layanan oleh dokter; dan
sistem pembayaran menggunakan fee for service. Dengan kombinasi itu semua maka dapat dipastikan
biaya kesehatan akan terus meningkat dari waktu ke waktu, oleh karenanya perlu dilakukan intervensi
pada sistem pembayaran untuk mengatasi hal ini misal dengan menggunakan kapitasi atau DRG.
Intervensi ini tidak akan bisa dilakukan tanpa keterlibatan pihak ketiga untuk mewakili pasien yaitu
asuransi kesehatan.
Dilain pihak, perilaku dokter dalam memberikan pelayanan yang berlebihan (misal pemeriksaan
penunjang, obat, follow up visit, rujukan ke RS yang lain) seringkali dilakukan atas dasar upaya untuk
menyehatkan pasien atau kehati-hatian saat menegakkan diagnosis. Hal ini dilakukan untuk
menghindarkan tenaga medik dari potensi penuntutan secara hukum oleh pasien. Fenomena ini sering
disebut sebagai Defensive Medicine.

B.4. Tangibility vs. Intangibility


Banyak referensi menyatakan bahwa layanan kesehatan bersifat intangibility karena tidak dapat
dirasakan oleh 5 indera, tidak seperti layanan atau produk pada umumnya misal makanan atau
kendaraan (35). Namun dilain pihak, ada pula pendapat bahwa tidak semua layanan kesehatan bersifat
intangibility. Beberapa layanan kesehatan bersifat tangibility misal pemberian obat.

Karena adanya sifat uncertainty maka layanan kesehatan tidak dapat disimpan atau ditumpuk dikala
harganya murah untuk kelak dipergunakan kalau diperlukan, sebagaimana orang bisa menumpuk
beras dikala harga beras tersebut murah (34). Apakah semua layanan kesehatan bersifat demikian?

Ada beberapa penyakit yang sering terjadi misal demam bagi anak, flu, kecelakaan kecil di rumah
terkadang rumah tangga menyimpan obat-obatan yang diperlukan. Begitu pula dengan penawaran
persalinan SC ataupun persalinan normal. Ada beberapa RS yang memberikan diskon pada layanan
persalinan bila ibu hamil membuka tabungan bersalin di RS tersebut pada usia kandungan 6 bulan.

B.5. Konsumsi vs. Investasi


Dalam jangka pendek upaya kesehatan terlihat sebagai sektor yang sangat konsumtif dan tidak
memberikan return on investment secara jelas, misal minum obat disaat sakit kepala untuk
menghilangkan rasa sakit tersebut. Padahal setelah mengkonsumsi obat sakit kepala, orang tersebut
mampu bekerja kembali dan produktif. Seringkali sektor kesehatan ada pada urutan bawah dalam

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 66

skala prioritas pembangunan, terutama kalau titik berat adalah pembangunan ekonomi, dikarenakan
persepsi tersebut. Namun bila dilihat lebih dalam, kesehatan memiliki peran yang sangat signifikan
untuk membangun sumber daya manusia yang produktif yang pada akhirnya akan memberikan besar
dalam pembangunan ekonomi.

Kesehatan merupakan satu dari Human Capital yang juga merupakan input dalam menghasilkan
human capital selanjutnya. Menjadi individu yang tidak sehat menekan kemampuan dalam belajar
dan bekerja secara produktif. Singkatnya, Kesehatan yang buruk mengakibatkan pedapatan yang
rendah. (32)

Sebagai contoh, Remaja putri yang sehat memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk memiliki alat
reproduksi yang sehat. Saat ia hamil, kondisi kesehatan diri dan janinnya juga akan baik sehingga
proses persalinan berjalan lancar, sehat selamat Ibu dan Bayinya. Bayi yang dikandung oleh Ibu yang
sehat akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Pertumbuhan otak juga akan maksimal sehingga
ke depannya memiliki IQ dan EQ yang baik sehingga mampu menempuh pendidikan secara optimal.
Di masa yang akan datang ia akan menjadi sumber daya manusia handal dan produktif yang akan
memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan ekonomi, begitu pula sebaliknya. Hal ini seperti
dijelaskan pada gambar berikut. (Gani, 2000)

Gambar 6.1. Kemiskinan, Gangguan Kesehatan, dan Gizi (Gani, 2010)

Kemiskinan (gangguan kesehatan dan gizi )

Ibu

Hamil Rendah IQ dan EQ


Bayi

Gangguan Pertumbuhan &

Perkembangan Fisik &


Balita
Otak

Pendidikan Mutu Tenaga

Kerja rendah
Kesejahteraan

Sosial Ekonomi

(rendah)
B.6. Terfragmentasi
Fragmentasi pemberian layanan kesehatan didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
1. Pada tingkat sistem kesehatan suatu negara. Health system fragmentation happens when there
are many different health “subsystems” that coexist, providing care for different parts of a

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 67

country’s population. Each of these subsystems has their own way of financing and delivering
healthcare, and each provides healthcare to different types of people. (36)
2. “The excessive specialization of health-care providers and the narrow focus of many disease
control programmes discourage a holistic approach to the individuals and the families they deal
with and do not appreciate the need for continuity in care”. (37)
3. Pada level pelayanan kesehatan, fragmentasi pelayanan berarti ketidak sinambungan tujuan,
atau rendahnya kordinasi yang mengakibatkan inefisiensi alokasi sumberdaya dan dapat bisa
membahayakan pasien. (38)

Seringkali seseorang yang sakit dan mencari pelayanan kesehatan tidak berhadapan dengan suatu
produk yang utuh. Bila seseorang sakit, ia akan mengunjungi praktek dokter umum yang kemudian
akan memberikan resep. Selanjutnya orang tersebut akan pergi mencari apotek untuk membeli
obatnya. Tidak jarang jaraknya beberapa KM dari tempat dokter tersebut praktek. Terkadang, pasien
harus ke laboratorium terlebih dahulu dan besoknya atau beberapa hari kemudian kembali kepada
dokter lalu setelahnya dokter akan memberikan resep dan pasien akan mencari apotek untuk menebus
obatnya, atau mungkin dokter akan merujuknya ke dokter spesialis atau bahkan langsung ke RS
karena membutuhkan rawat inap seperti dijelaskan pada gambar berikut. Pada intinya, pasien tidak
mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya secara utuh saat pertama kali mengunjungi fasilitas
kesehatan.

Gambar 6.2. Terfragmentasi

Apotek

Dokter Umum

Layanan
Penunjang

Dokter
Spesialis

Rumah Sakit

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 68

Contoh lain fragmentasi adalah pada kasus Dottie Philipskasus pelayanan kesehatan terfragmentasi
(39). Dottie Phillips seorang perempuan berusia 85 tahun dengan kondisi tubuh yang bugar
mengalami patah siku, spesialis orthopedic melakukan reposisi bedah dengan baik. Namun amat
disayangkan Dottie tertular infeksi nosocomial pneumonia selama perawatan, sehinggga ia
membutuhkan antibiotik keras untuk penyembuhan. Hal tersebut memicu infeksi Jamur Clostridium
difficile (C.Diff.) menyebabkan diare yang melemahkan Dottie. Akibat lama hari rawat yang terlalu
panjang, Dottie meminta pengobatan serta tim perawatan baru. Satu bulan kemudia ia kembali ke
rumah dan perawatannya dilakukan oleh dokter umum yang memiliki sedikit informasi dan kontak
dengan rumah sakit ataupun fasilitas rehabilitasi.

Pihak yang benar-benar mengetahui secara keseluruhan kondisi Dottie adalah keluarganya yang
tinggal diluar kota. Anak laki-laki Dottie yang berhak atas Dottie (wali pasien) harus terbang ke
tempat Dottie dirawat setiap kali ada tindakan katastropik.

Dottie yang menggunakan kursi roda dengan lengannya yang belum pulih, tanpa diduga jatuh dan
akhirnya harus menggunakan kompresi pada tulang belakangnya. Pada saat Dottie kembali untuk
kontrol, dokter mendengar Dottie terbatuk-batuk, maka dilakukan foto rontgen dada, melihatnya
masih dengan pneumonia, dokter memberikan antibiotik. Kejadian infeksi C.diff terulang kembali.
Dottie kembali ke rumah sakit dengan nyeri punggung hebat dan diare. Ia meninggal dalam kurun
waktu singkat.

Dari penjelasan contoh-contoh di atas, jelas disimpulkan bahwa dampak fragmentasi diantaranya
adalah inefiesiensi, inefektif, over utilisasi, dan memunculkan potensi medical error.

B.7. Non Medical Component Consumption


Pasien datang ke fasilitas kesehatan untuk mencari kesembuhan. Dengan merujuk pada hipotesis di
atas sewajarnya bila pasien membayar pelayanan kesehatan yang behubungan langsung dengan
layanan mediknya misal obat, penunjang medik, jasa medik dokter dan sebagainya. Namun tidak
jarang pasien secara sadar atau mungkin tidak sadar telah membayar lebih besar untuk komponen non
medical seperti akomodasi karena menginginkan dirawat di kamar kelas VIP atau VVIP.

Contoh riil diambil dari studi Nurwahyuni (2004) yang menunjukkan bahwa proporsi terbesar tagihan
pasien tifoid tanpa penyakit penyerta dan penyulit di kelas kamar VVIP sebesar 44,43% digunakan
untuk membayar akomodasi. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan proporsi untuk
membayar obat yaitu 24,21%. Berbeda dengan proporsi tagihan obat pada pasien yang dirawat di
kelas 3 yang mencapai 42,5% dari total tagihan.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 69

Tabel 1. Persentase Tagihan Pasien Tifoid tanpa penyakit penyulit dan penyerta

B.8. Non Competitive Market (Restriction on Competition)


Pada pasar persaingan sempurna, penjual dapat keluar masuk pasar dengan sangat mudah. Hal ini
tidak terjadi di industri layanan kesehatan. Untuk menjaga mutu layanan kesehatan, umumnya
pemerintah menetapkan regulasi yang sangat ketat untuk mendirikan sebuah fasilitas kesehatan.
Modal yang cukup besar, persyaratan yang sangat banyak, pengaturan yang sangat ketat dan
pengadaan sumber daya manusia di bidang kesehatan yang masih langka menjadi penghalang bagi
seseorang untuk masuk ke dalam pasar layanan kesehatan atau barrier to entry the market. Dengan
adanya pengahalang ini maka industri layanan kesehatan cenderung sedikit pemainnya sehingga tidak
kompetitif.

Dalam mekanisme pasar, wujud kompetisi adalah kegiatan pemasaran (promosi, iklan, dll) sedangkan
dalam sektor kesehatan tidak pernah terdengar adanya promosi dalam pelayanan kesehatan.

Apakah fenomena ini masih terjadi hingga saat ini?

Di kota besar, sudah mulai terlihat kompetisi yang cukup ketat antar fasilitas kesehatan karena
banyaknya RS yang berdiri. Sudah sering ditemui iklan-iklan layanan kesehatan diberbagai media.
Pemerintah mengatur sangat detail ketentuan iklan layanan kesehatan ini.

B.9. Non Profit Motive


Secara ideal memperoleh keuntungan maksimum bukanlah tujuan utama pelayanan kesehatan.
Pendapat yang dianut adalah “orang tidak layak mengambil keuntungan dari penyakit orang lain” (34).
Ada fungsi sosial yang melekat begitu erat pada fasilitas kesehatan sehingga ia menikmati beberapa
keistimewaan. Pada awalnya fasilitas kesehatan disediakan oleh pemerintah sehingga wajar tidak
memiliki tujuan untuk mencari keuntungan. Selain pemerintah, yayasan keagamaan juga banyak
berperan dalam menyedian fasilitas kesehatan, dan juga tidak memiliki tujuan utama untuk mencari
keuntungan.

Apakah hal ini masih dipegang erat hingga saat ini?

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 70

Rumah sakit swasta di Indonesia berbentuk PT sehingga sangat wajar jika ingin mendapatkan profit.
Harus ada uang muka bila ingin dirawat di rumah sakit swasta. Dilain pihak, yang justru ironis,
banyak RSUD yang saat ini dituntut untuk menjadi sumber PAD bagi Pemerintah Daerah.

B.10. Mix Input, Jint Product, Mix Output


Gambar berikut memberikan informasi yang sangat bagus sekali tentang bagaimana pemberian
pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Pasien datang dengan berbagai macam keluhan, kondisi, dan penyakit. Alur pertama adalah pasien
akan mendaftar terlebih dahulu. Selanjutnya pasien akan mengkonsumsi paket layanan kesehatan
yang dibutuhkannya mulai dari konsultasi ke dokter, pemeriksaan penunjang guna penegakan
diagnosis, pemberian terapi obat dan operasi bila dibutuhkan, dan perawatan oleh tenaga medik dan
para medik. Paket layanan tersebut bervariasi antar individu dan sangat tergantung pada jenis
penyakitnya. Hasil dari serangkaian layanan tersebut pasien akan keluar rumah sakit dalam kondisi
yang berbeda-beda, bisa sembuh, meninggal, dirujuk, atau pulang paksa atas permintaan sendiri.

Dari penjelasan tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada:


Mix input
- Pasien dengan berbagai kondisi.
- Sumber daya manusia (dokter, dokter spesialis, perawat, apoteker, asisten apoteker, administrator,
laboran, radiografer, ahli gizi, dan lain-lain).
- Fasilitas kesehatan yang juga bermacam-macam.
- Alat medik.
- Dan lain-lain.

Joint Product
- Konsultasi ke dokter.
- Pemeriksaan penunjang guna penegakan diagnosis.
- Pemberian terapi obat.
- Operasi bila dibutuhkan.
- Perawatan.
- Dan lain-lain.

Mix Output
- Sembuh.
- Meninggal.
- Rujuk.
- Pulang paksa atas permintaan sendiri.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 71

Gambar 6.3. Mix Input, Jint Product, Mix Output

B.11. Labor Intensive


Industri layanan kesehatan cenderung padat karya. Hal ini ditunjukkan dari besarnya proporsi biaya
pegawai yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Tabel berikut menjelaskan Laporan Laba Rugi RS X di
tahun 2016. Dari tabel tersebut diketahui bahwa 60% biaya rumah sakit digunakan untuk membiayai
pegawai (gaji/upah, tunjangan pegawai, dan tunjangan profesi).

Tabel 2. Labor Intensive

Selain itu kecenderungan spesialisasi dan super spesialisasi menyebabkan komponen tenaga
pelayanan kesehatan semakin besar. Peningkatan teknologi kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatkan layanan kesehatan juga mendorong bertambahnya kebutuhan SDM untuk
mengoperasikannya.
The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018
Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 72

Pada RS Swasta, labor intensive ini dapat memicu tingginya biaya produksi bila pegawai menuntut
kenaikan gaji/upah. Tingginya biaya produksi ini akan menyebabkan kenaikan harga yang ditetapkan
oleh RS, seperti yang dijelaskan dalam wage push theory.

B.12. Eksternalitas
Beberapa ahli mendefinisikan eksternalitas sebagai berikut:
1. Bagaimana Pelayanan kesehatan memiliki manfaat yang luas diluar dirinya dan keluarganya. (6)
2. Eksternalitas muncul ketika aktivitas konsumsi oleh seorang individu berdampak pada fungsi
utilitas individu yang lain. (12)
3. Konsumsi pelayanan kesehatan oleh seseorang dapat memberikan dampak bagi yang lainnya.
Terutama ketika penyakit menular menjadi perhatian besar. (13)

Terdapat efek eksternal dalam penggunaan pelayanan kesehatan. Efek eksternal adalah dampak (baik
positif maupun negatif) yang dialami orang lain sebagai akibat perbuatan seseorang. Contoh klasik
adalah imunisasi untuk mencegah seseorang dari penyakit menular, juga memberikan manfaat kepada
masyarakat banyak. Dikatakan bahwa social marginal benefit dari imunisasi jauh lebih besar dari
private marginal benefit bagi individu tersebut. Karena itu pemerintah perlu menjamin agar program
seperti imunsisasi betul-betul terlaksana. Pelayanan yang tergolong pencegahan umumnya
mempunyai eksternalitas besar sehingga digolongkan sebagai komoditi masyarakat atau public good
dan untuk itu seyogyanya mendapat subsidi atau bahkan disediakan secara gratis oleh pemerintah.
Sedangkan pelayanan kuratif ekternalitasnya umumnya kecil dan sering disebut sebagai private goods
dan hendaknya dibayar atau dibiayai sendiri oleh penggunanya atau pihak swasta.

C. RUJUKAN DAN BACAAN YANG DIANJURKAN


1. Bickerdyke, Ian, et al. Supplier-INduced Demand for Medical Services. [Online] November 2002.
[Cited: Februari 22, 2018.] http://www.pc.gov.au/research/supporting/supplier-induced-medical-
demand/sidms.pdf.
2. Dewar, Diane M. Essentials of Health Economics. [ed.] Chapman Tracey. New York : Jones and
Bartlett Publishers, 2010. p. 26. Vol. 1. ISBN-13: 978-0-7637-3797-9.
3. Views of Health System Experts on Macro Factors of Induced Demand. Khosarani, Elahe, et al.
10, s.l. : Ebscohost, Oktober 2014, International Journal of Preventive Medicine, Vol. 5, pp. 1286-
1298. 2008-7802.
4. EM, Johson. Physician-Induced Demand. [Online] 2014. [Cited: Februari 22, 2018.] Published in
Elsevier. http://www.mit.edu/~erinmj/files/PID.pdf.
5. World Bank. Asymmetric Information. [Online] 2000. [Cited: Februari 23, 2018.]
https://siteresources.worldbank.org/DEC/Resources/84797-
1114437274304/Asymmetric_Info_Sep2003.pdf.
6. Sloan, Frank A and Hsieh, Chee-Ruey. Introduction and Overview. [book auth.] Frank A Sloan
and Chee-Ruey Hsieh. Health Economics. Massachusetts : MIT Press, 2012, pp. 1-35.
7. Auronen, Lauri. Asymmetric Information: Theory and Concept . [Online] Helsinki University of
Technology, Mei 21, 2003. [Cited: Februari 2018, 2018.]
https://pdfs.semanticscholar.org/cdc1/10d48cfa54659f3a09620d51240f09cf1acc.pdf.
8. Asymmetric Information and Adverse Selection in Insurance Markets: The Problem of Moral
Hazard. Tumay, Meltem. 1, Manísa : Celal Bayar üniversiti, 2009, Yötenim Ve Ekonomi, Vol. 16,
pp. 107-114.
9. Office of Health Economics. The Economics of Health care. [Online] The Economics of Health
care, 2000. [Cited: Februari 23, 2018.]
https://www.ohe.org/sites/default/files/TheEconomicsofHeathCare2007.pdf.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 73

10. Analysis of Adverse Selection and Moral Hazard in the Health Insurance Market of Iran. Haddad,
GholamReza Keshavars and Anbaji, Mahdieh Zomorrodi. Iran : Springer, 2010, The Geneva
Papers, Vol. 35, pp. 581-599. International Association for the Study of Insurance Economics.
11. Culyer, Anthony J. and Newhouse, Joseph P. Handbook of Health Economics. Amsterdam :
Elsevier Science, 2000. Vol. 1. ISBN: 0-444-50470-2.
12. Economica Rationales for the Design of Care Financing Schemes. Paolucci, F. Heidelberg :
Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2011, Developments in Health Economics and Public Policy.
DOI 10.1007/978-3-642-10794-8_2,.
13. Gubb, James and Herbert, Oliver Meller. Markets in Health Care The Theory Behind the Policy.
[Online] Institute for the Study of Civil Society, December 2009. [Cited: February 25, 2018.]
http://www.civitas.org.uk/content/files/Civitas_Markets_in_healthcare_Dec09.pdf.
14. KBBI. Arti Kata Padat Karya. [Online] KBBI Online, 2008. [Cited: Februari 26, 2018.]
http://www.kamuskbbi.id/kbbi/artikata.php?mod=view&Padat%20Karya&id=44920-kamus-
inggris-indonesia.html.
15. Rethinking Health Care Labor. Kocher, Robert and Sahni, Nikhil R. 15, s.l. : Massachusetts
Medical Society, Oktober 13, 2011, The New England Journal of Medicine, Vol. 365, pp. 370-
372.
16. Treggena, Fiona. Sectoral Labor Intensity in South Africa. [Online] National Economic
Development and Labour Council, 2010. [Cited: Februari 26, 2018.] http://new.nedlac.org.za/wp-
content/uploads/2014/10/labour_intensity_report_2010.pdf.
17. Knowledge about the Workplace : A Helpful Factor in Analysis of Health Facility Labor-
MAnagement Problems. RIchards, Thomas B. s.l. : Ebscohost, Januari 1978, Labor Law Journal,
pp. 40-48.
18. WHO. Why Do Health Labour Market Forces Matter? Bulletin of World Health organization.
[Online] WHO, Juni 13, 2013. [Cited: Februari 2018, 2018.]
http://www.who.int/bulletin/volumes/91/11/13-118794/en/. 841-846.
19. McNuity, Paul J. Economic Theory and the Meaning of Competition. [Online] Oxford University
Press, November 1968. [Cited: FEbruari 26, 2018.] The Quarterly Journal of Economics.
https://www.jstor.org/stable/1879604?seq=1#page_scan_tab_contents.
20. Folland, Sherman, Goodman, Allen C. and Stano, Miron. The Economics of Health and Health
Care. [ed.] James Boyd, et al. s.l. : Prentice-Hall, Inc, 1997. p. 17. Vol. 2. ISBN 0-13-565987-6.
21. OECD. Policy Roundtables: Competition in Hospital Services. Organization for Economic Co-
operation and Development. s.l. : OECD, 2012.
22. Harvard Business Review. Redefining Competition in Health Care. [Online] Harvard Business
Review, Juni 2004. [Cited: Februari 26, 2018.] https://hbr.org/2004/06/redefining-competition-in-
health-care.
23. Tollen, Laura A. and Enthoven, Alain C. Competition In Health Care: It Takes Systems To
Pursue Quality And Efficiency. Health Affairs at the Intersection of Health, Health Care and
Policy. September 7, 2005, pp. 421-433.
24. Health care competition, strategic mission, and patient satisfaction: research model and
propositions. Rivers, Patrick A. and Glover, Saundra H. 6, s.l. : Emerald Group Publishing
Limited, 2008, NIH Public Access, Vol. 22, pp. 627-641.
25. Jennings, Bruce and Hanson, Mark J. Commodity of Public Work? Two Perspectives on Health
Care. s.l. : Practical Bioetics Organization, 1995.
26. Commodities Demystified. Fundamentals of Commodities. Commodities Demystified A Guide to
Trading and the Global Survey. [Online] 2018. [Cited: Februari 26, 2018.]
https://www.commoditiesdemystified.info/pdf/CommoditiesDemystified-section-a-en.pdf.Culyer,
A.J. Commodities, Characteristics of Commodities, Characteristics of People, Utilities, and The
Quality of Life. York : University of York, 2012. ISBN 9780952560159.
27. Commodification of Healthcare and Its Consequences. Christiansen, Isaac. 1, s.l. : Proquest, 2017,
World Review of Political Economy, Vol. 8, pp. 82-103.
28. Health-Care Ethics and the Free Market Value System. Reddy, M.S and Mythri, Starlin Vijay. 5,
s.l. : US National Library of Medicine National Institute of Health, 2016, Indian Journal of
The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018
Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 74

Psychological Medicine, Vol. 38, pp. 371-375.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5052947/.
29. Basov, Suren. Heterogenous Human Capital: Life Cycle Investment in Health and Education.
[Online] University of Melbourne, Februari 22, 2002. [Cited: Maret 1, 2018.]
http://fbe.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0005/805865/838.pdf.
30. Gardner, Harold H. and Gardner, B. Delworth. Health as Human capital : Theory and Implications
(A New Management Paradigm). [Online] 2000. [Cited: Maret 1, 2018.]
https://pdfs.semanticscholar.org/8e4e/c328bfe9260c5db7097281e16a0b6d651b91.pdf.
31. Bleakley, Hoyt. Health, Human Capital, and Development. [Online] September 2010. [Cited:
Maret 1, 2018.] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3800109/pdf/nihms514075.pdf.
32. World Bank. Why Invest in Nutrition? Repositioning Nutrition. [Online] World Bank, 2006.
[Cited: Maret 1, 2018.] http://siteresources.worldbank.org/NUTRITION/Resources/281846-
1131636806329/NutritionStrategyCh1.pdf.
33. UNICEF. Syria’s Children: A lost generation? Crisis report March 2011-March 2013. UNICEF.
s.l. : UNICEF, 2012. Two years report.
34. Health Poverty Action Organization. The Cycle of Poverty and Poor Health. [Online] Health
Poverty Action Organization, 2017. [Cited: Maret 1, 2018.]
https://www.healthpovertyaction.org/info-and-resources/the-cycle-of-poverty-and-poor-health/.
35. Gani, Ascobat and Rivanny,1998, Ekonomi Layanan Kesehatan, Seri bahan Pendidikan PS KARS,
Universitas Indonesia
36. Santerre, Rexford and Neun Stephen, Health Economics Theory, Insights, and Industry Studies.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 75

BAB 7. PENDANAAN KESEHATAN (SUATU PENGANTAR)


Dr. dr. Henni Djuhaeni, MARS
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

A. PENDAHULUAN
Tujuan instruksional khusus:
Setelah mempelajari sesi ini mahasiswa akan mengetahui dan memahami definisi pendanaan
kesehatan, definisi sistem kesehatan, tujuan mendasar sistem kesehatan dan proses pendanaan.

Kata-kata kunci: Pendanaan Sistem Kesehatan, Accessibility, Quality, Equity, Risk pooling,
Allocative Efficiency, Health Care triangle, Revenue collection, Fund pooling, Purchasing, Personal
Health Services (Private goods), Non Personal Health Services (Public goods), Pajak, Asuransi
Kesehatan, Medical Saving Account, Pinjaman, Hibah, donasi, Out of pocket payment.

Berbicara tentang pendanaan kesehatan tidak terlepas dari system pelayanan kesehatan termasuk
sarana prasarana serta mutu pelayanan kesehatan, alokasi anggaran kesehatan serta kebijakan yang
berlaku di suatu Negara. Pendanaan kesehatan penting untuk dipelajari karena keberlangsungan
sistem pelayanan kesehatan sangat tergantung dari pendanaan yang tersedia serta proses
pelaksanaannya.

B. PENYAJIAN MATERI
B.1. Definisi Pendanaan Kesehatan
Mengapa pendanaan? Bukan pembiayaan?
Pendanaan kesehatan mempunyai arti yang lebih luas yaitu suatu cara dimana uang dikumpulkan
untuk mendanai pelayanan kesehatan atau bagaimana sejumlah uang dipergunakan untuk membeli
bermacam-macam jasa pelayanan kesehatan dan produk kesehatan1.

Mengapa perlu dana? Karena bila kita ingin menjalankan sistem kesehatan yang berkesinambungan
dan kontinu dengan baik, kita memerlukan dana (sustainable health system). Dana digunakan untuk
investasi, pembayaran gaji tenaga-tenaga yang bergerak di bidang kesehatan, obat dan alat kesehatan,
pelaksanaan dan pengembangan program kesehatan, dll. Tujuan lain adalah memelihara atau
meningkatkan derajat kesehatan.

Setiap Negara berkewajiban untuk mencari atau menghasilkan sejumlah dana untuk kelangsungan
kehidupan Negara tersebut termasuk untuk mendanai sistem kesehatannya. Terdapat 4 langkah yang
harus ditempuh, yaitu 1: negara, dalam hal ini pemerintahannya, harus mempunyai pandangan bahwa
sistem kesehatan merupakan sistem yang tidak ada akhirnya selama Negara tersebut berdiri. Dana
yang dibutuhkan untuk kelangsungan sistem kesehatan digunakan dalam pelaksanaan dan
pengembangan program bagi kebutuhan masyarakatnya. Dasar pandangan ini merupakan langkah
pertama dalam strategi pendanaan kesehatan yaitu menentukan tujuan apa yang ingin dicapai dalam
sistem kesehatannya.

Setiap Negara mempunyai kebutuhan berbeda dalam pelayanan kesehatan dan juga kapasitas atau
kemampuan dalam pengumpulan atau pencarian dana. Oleh sebab itu langkah ke dua adalah
menganalisis keadaan dan potensi Negara tersebut untuk mendesain strategi pendanaan kesehatannya.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 76

Langkah selanjutnya adalah menganalisis kekuatan dan kelemahan (Strength dan Weakness) dari 5
metode pendanaan kesehatan yang ada yaitu pajak, asuransi sosial, asuransi komersial, pendanaan
bersumber daya masyarakat dan out of pocket payments.

Langkah terakhir (ke-empat) adalah memikirkan kombinasi alternatif pendanaan kesehatan yang
mungkin dilaksanakan dengan cara memilah-milah penduduk berdasarkan besarnya penghasilan dan
apakah masyarakat tersebut bekerja atau tidak. Perlunya kegiatan memilah-milah ini adalah untuk
merencanakan kemungkinan-kemungkinan pendanaan kesehatan untuk setiap grup di masyarakat,
sehingga kemungkinan adanya subsidi silang antar grup.

B.2. Sistem Kesehatan


Sistem Kesehatan adalah seluruh aktifitas yang mempunyai tujuan utama yaitu meningkatkan,
memperbaiki dan mempertahankan kesehatan2. Di Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional
didefinisikan sebagai tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia secara terpadu dan
saling mendukung, guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan
kesejahteraan umum3. Secara umum sistem kesehatan mempunyai 3 tujuan akhir mendasar yaitu:
1. Meningkatkan kesehatan bagi seluruh masyarakat.
2. Bertanggungjawab dan merespons akan ekspektasi masyarakatnya.
3. Memberikan proteksi secara finansial akibat biaya yang disebabkan oleh adanya kesakitan-
kesehatan.

Untuk mencapai 3 tujuan akhir mendasar, maka tentu saja dibutuhkan sejumlah dana. Pendanaan
kesehatan meliputi beberapa hal yaitu metode pendanaan, pengumpulan dana dan penggunaan dana1.

Gambar 7.1. Hubungan antara Pendanaan Kesehatan dengan Tujuan Sistem Kesehatan

diadaptasi dari: WHO, The Report of Working Group3 of the Commission on


Macroeconomics and Health,2002

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 77

Dari Gambar 7.1. tersebut terlihat bahwa dana diperlukan untuk membiayai sistem kesehatan. Proses
pendanaan tersebut dimulai dari penyusunan metoda yang akan digunakan, bagaimana
mengalokasikannya dan kebijakan-kebijakan yang perlu disusun. Setelah tahapan-tahapan tersebut
dilakukan, maka dana yang telah dikumpulkan, digunakan untuk ”membeli” produk pelayanan
kesehatan bagi masyarakat dan atau individu. Tujuannya adalah:
1. Accessibility: artinya setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dan dapat akses terhadap sarana pelayanan kesehatan. Accessibility ini adalah akses
secara geografi, finansial, budaya dan fungsi4.
2. Quality: artinya produk pelayanan kesehatan yang ”dibeli” harus memenuhi standar pelayanan
kesehatan dan memuaskan pelanggannya.
3. Equity in Financing: artinya keadilan dalam pendanaan.
4. Risk pooling: artinya khusus untuk pendanaan dengan metode asuransi, dengan membeli premi
asuransi, risiko terjadinya sakit dipindahkan dari risiko individu ke risiko kelompok (anggota
asuransi).
5. Allocative Efficiency: artinya dalam “membeli” atau mengalokasikan produk pelayanan kesehatan
bagi masyarakat haruslah dapat terjangkau secara finansial (input lebih kecil dibandingkan output),
sehingga dibutuhkan upaya analisis-analisis biaya yang digunakan untuk memilih produk
pelayanan kesehatan mana yang efisien dan efektif.

Ke semua tujuan antara ini tidak berdiri-sendiri, tetapi saling berkaitan dan mendukung dalam
mencapai 3 tujuan utama mendasar.

Dalam pengadaan pelayanan kesehatan, setiap Negara mempunyai metodenya masing-masing. Secara
umum dikenal dengan nama The health care triangle5 (Gambar 7.2.).

Gambar 7.2. The Health Care Triangle, Mossialos etal, Funding health care:
Options for Europe, 2002

Pengadaan dan pendanaan pelayanan kesehatan secara sederhana merupakan pertukaran atau transfer
dari sumber daya5. Pemberi pelayanan kesehatan (provider) memindahkan sumber daya seperti ilmu,
alat kesehatan, bahan habis pakai dll, kepada pasien atau klien. Selanjutnya pasien atau klien tersebut
membayar sejumlah uang kepada provider tersebut, apakah langsung atau melalui pihak ke-tiga
misalnya melalui badan asuransi.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 78

Pada beberapa Negara di dunia, pertukaran sumber daya tersebut dapat berlangsung hanya oleh 2
pihak yaitu klien/pasien dengan provider atau 3 pihak yaitu provider memberi pelayanan kesehatan
kepada klien/pasien, Pasien/klien membayar sejumlah uang kepada pihak ke-tiga, dan selanjutnya
pihak ke-tiga membayar kepada provider.

B.3. Proses Pendanaan Kesehatan


Proses pendanaan kesehatan dibagi atas 4 fungsi yaitu pengambilan dana (revenue collection),
pengumpulan dana (fund pooling) , pembelian pelayanan kesehatan (purchasing) dan pemberian
pelayanan kesehatan (provision of health care) seperti yang terlihat dalam gambar 7.3. di bawah ini5.

Gambar 7.3. Proses pendanaan kesehatan, Mossialos etal, Funding health care:
Options for Europe,2002

Fungsi pengambilan dana (revenue collection), pengumpulan dana (fund pooling), dan pembelian
pelayanan kesehatan (purchasing) dapat diintegrasikan atau dipisahkan sesuai dengan sistem
kesehatan yang berlaku di suatu Negara.5

Fokus pengambilan dana (revenue collection) dan pengumpulan dana (fund pooling) adalah siapa
yang membayar, jenis pembayaran dan siapa yang mengumpulkannya. Pada gambar 7.4. di bawah ini
terlihat bermacam-macam sumber dana, mekanisme dan badan-badan pengumpul dana serta
bagaimana hubungan satu dengan lainnya.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 79

Gambar 7.4. Sumber, mekanisme dan Badan pengumpul dana kesehatan, Mossialos etal, Funding
health care: Options for Europe, 2002

Sumber dana kesehatan dapat berasal dari:


1. Perusahaan swasta, pemerintah, perhimpunan perusahaan (corporate entities), pemilik perusahan.
2. Pribadi, Rumah tangga dan pekerja.
3. Lembaga Swadaya Masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri.
4. Pemerintah luar negeri dan perusahaan luar negeri.

Dana-dana tersebut dikumpulkan melalui 5 mekanisme yaitu pajak, asuransi, medical savings
accounts, out of pocket payments, serta hibah, pinjaman dan donasi.

B.3.1. Pajak 5
Bentuk-bentuk pajak sangat heterogen, sumbernya juga bermacam-macam, ada yang langsung dan
yang tidak langsung. Pajak diambil dari masyarakat juga dalam tingkatan yang bermacam-macam,
ada yang di tingkat Pusat, Provinsi, atau Kabupaten/Kota. Sebagai contoh: Inggris mendanai hampir
seluruh pelayanan kesehatannya berasal dari pajak.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 80

Terdapat 2 jenis pajak yaitu:


1. Pajak langsung, misalnya pajak pendapatan (personal income tax, corporate profit taxes) dan
pajak properti. Besarnya Personal income tax biasanya berdasarkan persentase dari penghasilan.
Namun demikian terdapat besaran penghasilan yang bebas dari pajak seperti yang berlaku di
Indonesia.
2. Pajak tak langsung, pajak dikenakan bila ada transaksi atau atas komoditi, misalnya pajak
penjualan barang, pajak import, pajak export, pajak pertambahan nilai (value added tax) , bea
cukai (excise tax).

Beberapa contoh Negara yang menggunakan mekanisme pajak sebagai dana untuk kesehatan antara
lain (Gambar 7.5.):
1. Belgia dan Inggris, menggunakan sebagian pajak dari penjualan rokok.
2. Bulgaria, Denmark, Finland, Norway, menggunakan pajak lokal atau regional.
3. Yunani, Polandia, Portugal, Spanyol dan Inggris menggunakan pajak yang bersifat nasional.

Gambar 7.5. Mekanisme Pengumpulan Dana diberbagai Negara Eropa

Setiap tahun pemerintah Indonesia menargetkan pendapatannya dari pajak, namun demikian ada
banyak masalah yang dihadapi. Pemerintah mengakui bahwa penerimaan negara secara keseluruhan
hingga akhir tahun 2006 akan lebih rendah dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan (APBNP) 2006 yang sebesar Rp 659.115,3 triliun atau 21,1 persen dari Produk Domestik
Bruto (PDB) 6 . Salah satu strategi pemerintah dalam peningkatan penerimaan pajak adalah dengan
meningkatkan pembayaran pajak dari Wajib Pajak (WP). Untuk itu diperlukan ekstensifikasi dan
intensifikasi perpajakan semaksimal mungkin melalui kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) bagi masyarakat yang memiliki pendapatan melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP).7

Saat ini sudah terjadi peningkatan jumlah sasaran wajib pajak dengan diberlakukannya berbagai
upaya program tersebut, namun belum sesuai dengan target yang ditetapkan. Jumlah penerimaan
pajak ini berdampak juga bagi pendanaan kesehatan, alokasi dana kesehatan pemerintah yang kecil

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 81

jauh dibawah dana pendidikan menyebabkan pendanaan kesehatan diserahkan kepada masyarakat dan
swasta. Sayangnya mekanisme yang dipilih lebih kearah out of pocket.

Dari pembahasan diatas, tampak bahwa untuk keberhasilan dan kesinambungan Sistem Kesehatan
termasuk di Indonesia, upaya yang dilakukan tidak hanya tergantung dari upaya pemerintah saja,
tetapi masyarakat dan swasta juga berperan cukup besar.

B.3.2. Asuransi kesehatan


Asuransi adalah sebuah paket manajemen risiko yang dengan harga tertentu menawarkan pemegang
asuransi kesempatan untuk membagi biaya dari kemungkinan kerugian ekonomis melalui sebuah
badan yang disebut perusahaan asuransi. 6 Salah satu bentuk asuransi tersebut adalah asuransi
kesehatan. Menurut Jacob P (1997), asuransi kesehatan adalah suatu pembayaran untuk biaya yang
diharapkan dikeluarkan oleh suatu kelompok karena penggunaan pelayanan medik yang didasarkan
pada bencana yang mungkin terjadi.7

Dari pengertian di atas ada tiga kata kunci yaitu: pertama ada pembayaran, yang dalam istilah
ekonomi ada suatu transaksi dengan pengeluaran sejumlah uang yang disebut premi. Kedua ada biaya
yang harus dikeluarkan karena penggunaan pelayanan medik dan ketiga pelayanan medik tersebut
didasarkan pada bencana yang mungkin terjadi yaitu sakit 8. Beberapa prinsip dasar asuransi
kesehatan antara lain:
1. Perangkuman risiko
Perangkuman risiko merupakan inti dari asuransi dan terjadi ketika sejumlah individu yang berisiko
sepakat menghimpun risiko untuk mengurangi beban yang harus ditanggung masing-masing
individu.6,7,9
2. Hukum jumlah besar
Asuransi membutuhkan peserta dalam jumlah besar agar risiko dapat didistribusikan secara merata
dan luas. Serta dikurangi secara efektif, makin besar jumlah peserta makin besar risiko kerugian yang
dapat direduksi. Prinsip ini dikenal dengan Hukum Jumlah Besar (Law of the Large Numbers). 9
3. Adanya ketidakpastian akan terjadinya kerugian, namun harus dapat diukur ataupun diperkirakan
dengan tepat.6
4. Peristiwa independen
Peristiwa-peristiwa perangkuman risiko diasumsikan bersifat independen. Pada keadaan peristiwa
dependen hukum penggandaan probabilitas tidak berlaku karena probabilitas orang-orang akan sakit
pada waktu yang bersamaan pada peristiwa dependen lebih besar daripada peristiwa independen.9
5. Perilaku penghindar risiko
Orang-orang berperilaku penghindar risiko, sangat diperlukan dalam keberhasilan transaksi asuransi,
termasuk asuransi kesehatan. Hal ini terjadi karena dengan membeli asuransi, seorang penghindar
risiko tidak hanya memperoleh kepastian berkenaan dengan sakit, tetapi juga memperoleh kepuasan
yang relatif lebih tinggi karena merasa terlindungi.9

Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut maka kepesertaan menjadi sangat penting dalam menentukan
keberhasilan pembiayaan kesehatan melalui asuransi. Secara umum terdapat 2 jenis asuransi
kesehatan yaitu asuransi kesehatan sosial dan asuransi kesehatan privat/swasta.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 82

Asuransi kesehatan sosial biasanya bersifat wajib dan premi yang dibayarkan tidak berdasarkan risiko,
tetapi berdasarkan persentase dari pendapatan serta badan pengumpulnya adalah pemerintah. Bisa
juga premi yang dibayarkan berasal dari pajak.5

Keberhasilan asuransi sangat tergantung dari kepesertaan, dalam hal kepesertaan inilah peran
masyarakat dan swasta sangat dibutuhkan khususnya dalam kepesertaan mandiri. Peran Pemerintah
sebagai regulator dalam mewajibkan masyarakat dan swasta ikut sebagai peserta akan meningkatkan
kepesertaan asuransi dan selanjutnya akan meningkatkan pendanaan kesehatan termasuk pendanaan
kesehatan swasta.

Asuransi kesehatan privat (Private Health Insurance) merupakan salah satu mekanisme pendanaan
kesehatan swasta biasanya bersifat tidak wajib (voluntary), substitusi, suplemen atau komplemen.
Perhitungan besaran premi berdasarkan risiko, grup, keuntungan dan status badan asuransinya apakah
for profit atau not for profit. Pada beberapa Negara di Eropa telah ditentukan apakah masyarakat
dengan pendapatan tertentu termasuk dalam sasaran asuransi kesehatan sosial atau privat. Bila
pendapatanya tinggi, maka mereka tidak boleh ikut asuransi kesehatan sosial, tetapi asuransi
kesehatan privat. Ini dinamakan substitusi. Bersifat suplemen bila peserta asuransi sosial
menambahkan besaran preminya untuk mendapatkan fasilitas yang lebih baik. Bersifat komplemen
bila peserta menambahkan jenis pelayanan kesehatan yang ingin didapat, karena dalam asuransi
kesehatan sosialnya, jenis pelayanan kesehatan tersebut tidak ada. 5

B.3.3. Tabungan kesehatan bersumberdaya masyarakat (Medical saving accounts)


Salah satu mekanisme untuk pengumpulan dana adalah tabungan kesehatan (medical saving accounts).
Salah satu Negara yang mempergunakan mekanisme ini untuk pendanaan kesehatannya adalah
Singapura. Pada mekanisme ini individu atau anggota masyarakat menyisihkan sebagian
penghasilannya untuk ditabung. Uang ini hanya digunakan untuk kebutuhan kesehatan. Biasanya
mekanisme ini dikombinasikan dengan mekanisme lain seperti asuransi.5

Secara umum, mekanisme ini tetap individual, artinya sangat tergantung dari keadaan kesehatan dan
kebutuhan individu yang bersangkutan, tidak ada proteksi risiko, karena tidak ada pengumpulan risiko
antarindividu. Agar mekanisme ini berhasil, maka dibutuhkan kesadaran dan budaya menabung yang
sangat tinggi.

B.3.4 Out of pocket payments


Mekanisme ini merupakan suatu mekanisme yang mana klien/pasien membayar seluruh atau sebagian
biaya kesehatannya langsung kepada pemberi pelayanan kesehatan. Bentuk-bentuk out of pocket
payments adalah pembayaran langsung, cost sharing dan pembayaran informal.5 Walaupun sejak
2014 di Indonesia telah diberlakukan pendanaan kesehatan melalui Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai wujud Jaminan Kesehatan Nasional, namun mekanisme out of
pocket payments masih merupakan mekanisme terbesar, khususnya dipelayanan kesehatan milik
swasta.

Pembayaran langsung dilakukan oleh klien/pasien kepada pemberi pelayanan kesehatan dengan biaya
keseluruhan tanpa dukungan asuransi kesehatan. Pembayaran ini biasa dilakukan untuk pembelian
obat-obatan, berobat kepada pemberi pelayanan kesehatan swasta/privat, pemeriksaan laboratorium
dll. Kelemahan dari mekanisme ini adalah klien/pasien harus selalu mempunyai dana tunai apabila

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 83

membutuhkan pelayanan kesehatan. Dampaknya apabila tidak mempunyai dana tunai, klien tersebut
tidak dapat akses terhadap pelayanan kesehatan, sehingga angka kesakitan maupun angka kematian
meningkat.

Cost-sharing adalah salah satu contoh Out of pocket payments yang mana pada mekanisme ini
klien/pasien hanya membayar sebagian biaya kesehatannya, karena biaya yang lainnya telah
dibayarkan melalui asuransi kesehatan.

B.3.5. Pinjaman, Hibah, dan Donasi


Donasi dan hibah biasanya berasal dari lembaga swadaya masyarakat yang bersumber dari donator
atau bank-bank internasional. Dana-dana ini ditujukan kepada Negara-negara dengan berkembang dan
miskin5. Pendanaan kesehatan di Afrika hampir 20% berasal dari dana donasi dan hibah.

Pinjaman juga biasanya berasal dari pemerintah luar negeri untuk negara-negara berkembang dan
miskin. Pinjaman ini berbunga rendah dan dana harus dikembalikan kepada negara peminjam beserta
bunganya. Pada umumnya dana pinjaman ini mempunyai bunga pinjaman rendah dan jangka waktu
pengembalian dana tersebut lama , misalnya lebih dari 10 tahun.

Apapun mekanisme pendanaan yang dipilih oleh Pemerintah, sangat tergantung dari kondisi lokal
suatu Negara.

Setelah mengetahui mekanisme pendanaan kesehatan swasta, maka yang menjadi fokus utama adalah
siapa yang mengumpulkan dana-dana tersebut. Pada Gambar 3 terlihat bahwa pengumpul dana (fund
collector) untuk masyarakat dan swasta dapat berupa 5:

Badan Penyelenggara Publik independen atau Badan Penyelenggara jaminan sosial (Social Security
Agency) untuk mekanisme asuransi kesehatan sosial dan asuransi kesehatan privat (voluntary
insurance premiums)

Badan Asuransi Privat baik yang profit maupun yang not for profit untuk mekanisme asuransi
kesehatan sosial, asuransi kesehatan privat (voluntary insurance premiums) serta medical savings
accounts.

Pemberi pelayanan kesehatan langsung untuk mekanisme out of pockets. Setelah dana kesehatan
dikumpulkan, maka dana tersebut “dibelikan” produk pelayanan kesehatan khususnya pelayanan
kesehatan individu (Personal health services) private goods.

Berbeda dengan Public goods yang pemakaian jasanya kepada seseorang tidak mengurangi jatah bagi
orang lain yang ingin menggunakannya (Non-rivalry), Private goods mempunyai sifat sebaliknya
yaitu pemakaian pelayanan kesehatan akan mengurangi jatah orang lain. Selain itu pada Public Goods
tidak mungkin seseorang menolak untuk menggunakannya, walaupun orang tersebut menolak
membayar jasa pelayanannya (Non-excludable), pada Private goods sifatnya excludable. Selanjutnya
externalitas positif, yaitu pelayanan yang diberikan akan menimbulkan pengaruh kepada orang lain
walaupun orang lain tersebut tidak menggunakannya, sedangkan pada private goods mempunyai efek
externalitas positif yang minimal. Namun demikian pemisahan ini tidaklah semata-mata dalam garis
tegas, tetapi melalui suatu gradasi. Sering diistilahkan menjadi merits goods.10

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 84

Pemahaman istilah-istilah ini sangat penting dalam menentukan sumber pendanaan kesehatan.
Biasanya pelayanan kesehatan yang bersifat public goods didanai oleh Pemerintah, sedangkan yang
bersifat private goods didanai oleh masyarakat dan swasta.

C. RANGKUMAN
Untuk menjaga kelangsungan sistem kesehatannya, setiap negara membutuhkan sejumlah dana.
Pendanaan kesehatan adalah suatu cara dimana uang dikumpulkan untuk mendanai pelayanan
kesehatan atau bagaimana sejumlah uang dipergunakan untuk membeli bermacam-macam jasa
pelayanan kesehatan dan produk kesehatan. Proses pendanaan kesehatan dibagi atas 4 fungsi yaitu
pengambilan dana (revenue collection), pengumpulan dana (fund pooling), pembelian pelayanan
kesehatan (purchasing) dan pemberian pelayanan kesehatan (provision of health care). Dana-dana
tersebut dikumpulkan melalui beberapa mekanisme , pemerintah mengumpulkan antara lain melalui
pajak, sedangkan swasta dapat melalui asuransi, medical savings accounts, out of pocket payments
dan donasi. Setiap negara berhak menentukan proses dan mekanisme pendanaan bagi pembangunan
kesehatannya sendiri dengan mempertimbangkan kebutuhan akan public goods dan private goods.

D. LATIHAN/TUGAS
1. Apa yang dimaksud dengan pendanaan kesehatan?
2. Apakah hubungan antara sistem kesehatan dengan pendanaan kesehatan?
3. Sebutkan dan jelaskan proses pendanaan kesehatan swasta?
4. Sebutkan contoh dan jelaskan apa yang dimaksud dengan private goods dan apa perbedaannya
dengan public goods?

E. RUJUKAN DAN BACAAN YANG DIANJURKAN


1. World Health Organization, The report of working group 3 of the commission on
macroeconomics and health: mobilization of domestic resources for health, 2002 hal 7 – 13.
2. World Health Organization. World Health Report: Health Systems: Improving Performance, 2000.
3. Departemen Kesehatan RI, Sistem Kesehatan Nasional, 2004.
4. World Health Organization. Primary Health Care, Alma-Ata 1978.
5. Mossialos E, Dixon A., and Fiqueras J., Kutzin J. (eds.): Funding health care: options for Europe,
WHO, 2002: 1-30.
6. Harian Ekonomi Neraca, 14 Desember 2006.
7. Henni Djuhaeni, Sharon Gondodiputro. Ekonomi Kesehatan suatu Pengantar (Edisi Terbatas).
2016.
8. HIAA Health Insurance Association of America, Part A. Fundamental of Health Insurance,
Washington: The association, 1997.
9. Jacobs P. The Economics of Health and Medical Care, Fourth Edition. Marryland: an Aspen
Publication, 1997.
10. Henni Djuhaeni. Model Permintaan Pepesertaan Asuransi Kesehatan, berdasarkan Keadaan
Ekonomi, Sikap terhadap Asuransi Kesehatan, dan Kepuasan atas Mutu Layanan. Disertasi,
Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005.
11. Murti Bhisma. Dasar-dasar Asuransi Kesehatan. Kanisius, Jakarta, 2000.
12. Trisnantoro, Laksono, Memahami penggunaan Ilmu Ekonomi dalam manajemen Rumah Sakit,
Yogyakarta, Gajah Mada Press, 2004.

F. UCAPAN TERIMAKASIH
Teriring terimakasih dan penghargaan kepada dr Sharon Gondodiputro, MARS, MH atas kerja sama serta dukungannya
dalam memajukan Ilmu Ekonomi Kesehatan khususnya di UNPAD

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 85

BAB 8. SISTEM PEMBAYARAN PROVIDER


Dr. drg. Yulita Hendrartini, MKes
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

A. PENDAHULUAN
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Memahami bermacam-macam cara atau mekanisme pembayaran pelayanan kesehatan kepada
dokter atau provider.
2. Memahami dampak dari macam-macam cara pembayaran terhadap perilaku dokter dan mutu
pelayanan kesehatan.
3. Mampu menganalisis dan menilai keuntungan dan kerugian berbagai pilihan cara pembayaran
baik sistem pembayaran retrospektif maupun sistem pembayaran prospektif.

Mekanisme pembayaran merupakan suatu cara untuk menetapkan insentif perilaku bagi pelaku
pelayanan yang kompleks, yang mempengaruhi hubungan antara pelaku dan pembayar, baik pasien
atau partai ketiga. Pihak pembayar seringkali mempunyai kesulitan menilai kualitas pelayanan yang
diberikan. Keadaan ini memungkinkan kebebasan tertentu bagi pelaku pelayanan untuk bereaksi
terhadap insentif yang diterimanya, yang lebih meningkatkan kesejahteraan pelaku daripada
kesejahteraan pasien.

Apabila pelaku pelayanan dihargai dengan mekanisme pembayaran menurut indikator pekerjaan yang
dilakukan, maka terdapat insentif bagi pelaku yang hanya memperhatikan indikator tersebut. Sebagai
contoh, apabila dokter dibayar dengan dasar gaji, maka mereka akan bekerja sesuai lama kerja yang
disebutkan pada kontrak, tanpa berusaha menggunakannya secara produktif. Sebaliknya apabila
dokter dibayar berdasarkan pelayanan yang diberikan (fee for service), maka kemungkinan mereka
cenderung memberikan pelayanan melebihi batas tertentu, di mana manfaat tambahan melebihi biaya
tambahan. Apabila harga tetap, secara langsung insentif pelaku mempengaruhi jumlah pelayanan serta
struktur barang dan pelayanan yang diberikan. Pada gilirannya keadaan ini mempengaruhi
pembelanjaan keseluruhan pembayar pihak ketiga atau pasien, sehingga secara langsung
mempengaruhi pendapatan pelaku atau dokter.

Selama beberapa dekade, telah terjadi perubahan yang besar dalam derajat penggunaan berbagai
mekanisme. Anggaran global dan mekanisme pembayaran yang lebih menyeluruh lainnya telah
dipergunakan secara luas. Penganggaran global terutama populer untuk mekanisme pembayaran
rumah sakit. Kanada memperkenalkan sistem penganggaran global setelah melakukan desentralisasi
sistem pembiayaannya. Saat ini rumah sakit diberikan kebebasan yang lebih besar untuk mengalihkan
sumber-sumber daya di setiap pos anggaran, sementara biaya keseluruhannya tetap konstan. Di
Perancis dan Jerman, negosiasi anggaran rumah sakit global telah dimulai untuk menggantikan sistem
pembayaran per diem “open-ended” sebelumnya. Di Belgia, saat ini sebagian dari pembelanjaan total
rumah sakit telah dianggarkan.

Di Indonesia metode pembayaran tradisional dan yang paling sering digunakan adalah sistem gaji di
sektor pemerintah dan pembayaran berdasar pelayanan sektor swasta. Keadaan ini tampaknya mulai
mengalami perubahan. Saat ini mekanisme pembayaran adalah dengan pembayaran gaji kepada para
ahli dengan komponen tambahan pembayaran berdasar pelayanan. Pusat kesehatan masyarakat dan
rumah sakit semakin diperbolehkan menyimpan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh
The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018
Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 86

dari pembayaran pengguna secara langsung. Pendapatan tambahan ini selanjutnya digunakan untuk
investasi peralatan dan sebagian untuk menyediakan insentif pembayaran berdasar pelayanan kepada
staf.

Mekanisme pembayaran ini menentukan jumlah dan aliran uang dari pembayar pihak ketiga atau
pasien, atau keduanya, ke pelaku pelayanan dalam pemberian pelayanan. Mekanisme pembayaran
menetapkan baik unit atau kombinasi pelayanan yang merupakan dasar pembayaran pelaku maupun
tarif yang harus dibayarkan untuk pemberian pelayanan.

B. PENYAJIAN MATERI
B.1. Jenis Pembayaran PPK
Menurut WHO (1993) terdapat 7 metode pembayaran utama, sebagai berikut:
1. Pembayaran berdasar pelayanan (fee for service). Pembayaran per item pelayanan, yaitu tindakan
diagnosis, terapi, pelayanan pengobatan dan tindakan diidentifikasi satu per satu, kemudian
dijumlahkan dan ditagih rekeningnya.
2. Pembayaran berdasar kasus (case payment). Pembayaran bagi paket pelayanan atau episod
pelayanan. Pembayaran tidak didasarkan oleh item, kemudian dijumlahkan seperti pada nomor 1.
Daftar pembayaran mungkin tidak berkaitan dengan biaya pelayanan sesungguhnya yang
diberikan kepada pasien tertentu di suatu rumah sakit, seperti yang terjadi pada pembayaran
berdasarkan “diagnosis-related groups” (DRG) (lihat bagian 3.2 dan boks 6).
3. Pembayaran berdasar hari (daily charge). Pembayaran langsung dengan jumlah tetap per hari bagi
pelayanan atau hospitalisasi.
4. Pembayaran bonus atau flat rate (bonus payment). Pembayaran langsung sejumlah yang
disepakati (biasanya global) bagi tipe pelayanan yang diberikan.
5. Kapitasi. Pembayaran dengan jumlah yang ditetapkan berdasarkan jumlah orang yang menjadi
tanggung jawab dokter (biasanya setiap tahun). Pasien dengan kategori yang berbeda, misalnya
berumur lebih dari 75 tahun, mungkin dikenai angka kapitasi yang berbeda pula.
6. Gaji (salary). Pendapatan per tahun yang tidak berdasarkan beban kerja atau biaya pelayanan yang
diberikan.
7. Anggran global. Seluruh anggaran pelaksanaan ditetapkan di muka yang dirancang untuk
menyediakan pengeluaran tertinggi, tetapi memungkinkan pemanfaatan dana secara fleksibel
dalam batas tertentu.

Unit atau kombinasi pelayanan yang biasanya merupakan dasar pembayaran dapat sangat bervariasi
dari seluruh pelayanan yang diberikan oleh pelaku pelayanan dalam periode tertentu (misalnya per
bulan pada ahli pada mekanisme pembayaran gaji) ke setiap jenis tindakan yang dilakukan oleh ahli
(misalnya suntikan pada mekanisme pembayaran per pelayanan). Harga dapat dinegosiasi secara
eksplisit atau implisit antara pihak pihak pembayar dan pelaku, atau dapat ditetapkan oleh
administrator. Harga dapat dikaitkan dengan pendapatan yang diharapkan oleh pelaku pelayanan.
Pada kasus yang berbeda, harga dapat mencerminkan tujuan kebijakan, misalnya bertujuan untuk
menghalangi rakyat menggunakan pelayanan tertentu atau mendorong rakyat memanfaatkannya.

Berbagai bentuk pembayaran pada pemberi pelayanan kesehatan (health providers), dewasa ini telah
banyak diperkenalkan. Semua bentuk pembayaran itu dimaksudkan untuk dapat mengendalikan biaya
pelayanan kesehatan, yang terus meningkat. Secara garis besar mekanisme pembayaran kepada
provider/dokter dibagi menjadi dua : Retrospective Payment System (RPS), yaitu pembayaran yang

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 87

dilakukan setelah pelayanan kesehatan diberikan dan Prospective Payment System (PPS), yaitu
pembayaran yang dilakukan sebelum pelayanan kesehatan dilakukan.

Kedua cara pembayaran diatas mempengaruhi konsekuensi pembiayaannya. Sebagai contoh,


perbedaan antara pembayaran restrospektif dan prospektif sangat penting. Pada skema pembayaran
propekstif, terdapat insentif untuk meminimalkan biaya meskipun dengan sedikit menurunkan kualitas
pelayanan, sedangkan pada sistem pembayaran retrospektif, pelaku memperoleh insentif untuk
memaksimalkan jumlah pengeluaran yang dibayar kembali. Memaksimalkan pembayaran retrospektif,
kemungkinan berarti memaksimalkan beberapa indikator pelayanan seperti lama perawatan di rumah
sakit atau jumlah pelayanan yang diberikan.

Tidak ada satupun sistem pembayaran provider yang sempurna, setiap sistem pembiayaan memiliki
kelebihan dan kekurangan. Berikut tabel perbandingan kelebihan sistem pembayaran prospektif dan
retrospektif.

B.2. Retrospective Payment System


Bentuk pembayaran retrospektif yang selama ini dikenal, yaitu “fee for service reimbursement
system”, yang diberikan setelah pelayanan diberikan. Dalam sistem pembayaran yang diberikan
setelah pelayanan berlangsung itu, ternyata tidak ada insentif bagi para pemberi pelayanan kesehatan
untuk melaksanakan efisiensi. Dan apabila pelayanan kesehatan itu ditanggung oleh pihak ketiga,
terjadinya “moral hazard” akan lebih terbuka lebar, sehingga memberi dampak kenaikan biaya
pelayanan kesehatan drastis.

Fee for Service


Sistem pembayaran fee for service (FFS) ini dinilai oleh para dokter sebagai mekanisme pembayaran
yang paling “adil”. Karena dalam sistem ini, insentif terkait erat dengan kinerja para dokter. Semakin
banyak pasien yang ditangani oleh seorang dokter, maka insentif yang akna diterima akan semakin
banyak pula.

Sistem FFS memberi imbalan jasa/pembayaran pada PPK berdasar jumlah kunjungan/
pemeriksaan/tindakan, obat dan pelayanan medik lainnya yang diberikan oleh PPK. (fee for services
concept/system). Dengan pelaksanaan sistem “Fee for services”, pembiayaan kesehatan ternyata
cenderung meningkat dengan tajam dan menyulitkan aspek perencanaan, oleh karena biaya kesehatan

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 88

sulit diperkirakan dengan tepat. Didalam sistem fee for service orientasi pelayanan juga kearah
pelayanan kesehatan (yang sebanyak-banyaknya) PPK memperoleh insentif finansial yang semakin
besar. Dampaknya terjadi “over utilization” atau bahkan “unnecessary-utilization” dari pelayanan
kesehatan. Mutu pelayanan ternyata justru semakin menjadi menurun, meskipun biaya yang
dikeluarkan membesar. Selain dari itu, karena insentif finansial hanya diperoleh dari jumlah
pelayanan medik yang diberikan dokter-dokter semakin terikat dengan tugas-tugasnya melayani
pasien sehingga kesempatan untuk istirahat, cuti, mengembangkan ilmu-pengetahuan menjadi terbatas.
Secara garis besar, keuntungan dan kerugian dari sistem FFS ini adalah sebagai berikut:

Keuntungan:
1. Merupakan mekanisme yang baik untuk memberikan imbalan yang sesuai dengan tingkat
kesulitan keadaan pasien.
2. Pendapatan dokter dapat dihubungkan dengan beban pekerjaannya.
3. Dokter tergerak untuk membuat catatan prakteknya secara lebih baik.
4. Pasien mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi dokter agar memberikan pelayanan terbaik
untuk dirinya.

Kerugian:
1. Merangsang dokter untuk memberikan pelayanan berlebihan dengan dasar motivasi ekonomi
(menaikkan pendapatan).
2. Dokter cenderung memberikan pelayanan medik ke kasus-kasus yang memberikan keuntungan
paling besar.
3. Mempunyai tendensi meningkatkan inflasi pelayanan kesehatan.
4. Sulit untuk menyusun anggaran sebelumnya.

B.3. Prospective Payment System


Prospective Payment System (PPS), adalah suatu system pembayaran pada pemberi pelayanan
kesehatan, baik RS maupun dokter, dalam jumlah yang ditetapkan sebelum suatu pelayanan medik
dilaksanakan, tanpa memperhatikan tindakan medik atau lamanya perawatan di RS.

Pengertian pembayaran ditetapkan dimuka adalah bahwa Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) akan
menerima sejumlah imbalan yang besarnya sesuai dengan diagnosa penyakit, apapun yang dilakukan
terhadap pasien yang bersangkutan, termasuk lamanya perawatan RS. Dengan pendekatan seperti ini,
akan mendorong adanya insentif finansial pada pemberi pelayanan kesehatan, untuk hanya melakukan
hal-hal yang secara medik memang diperlukan dan menurunkan LOS. Dengan demikian adanya
kemungkinan penggunaan sarana kesehatan yang berlebihan (obver utilization) dapat dicegah.
Dengan pengertian seperti itu, Prospective Payment system, sesungguhnya tidak hanya DRG’s
(Diagnostic Related Groups), tapi juga bentuk-bentuk lain dimana besarnya biaya pelayanan
kesehatan itu telah ditetapkan dimuka, misalnya “perdiem package tariff” (tarif paket harian RS),
Budget tarif RS, dan bahkan capitation system.

Apa implikasinya berbagai system pembayaran itu didalam penyelenggaraan jaminan pemeliharaan
kesehatan?

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 89

B.3.1. DRG (Diagnostic Related Group)


Diagnosis Related Group adalah suatu sistem pemberian imbalan jasa pelayanan pada PPK yang
ditetapkan berdasar pengelompokan diagnosa, tanpa memperhatikan jumlah tindakan/pelayanan yang
diberikan. Konsep ini dikembangkan di AS pada peserta program Medicare dan Medicaid, melalui
suatu studi yang diselenggarakan oleh “Yale university” (1984). Tujuan penerapan DRG’s adalah
untuk upaya pengendalian biaya dan menjaga mutu pelayanan. Meskipun demikian, pelaksanaan
konsep DRG’s ini tidak mudah, sehingga di lingkungan Askes hanya dilaksanakan untuk beberapa
diagnosa yang sangat terbatas, misalnya gagal ginjal, beberapa operasi jantung terbuka serta
transplantasi ginjal.

Generasi kedua DRG’s berkembang sejak tahun 1981, sehubungan denganb terbitnya ICD-9-CM
(International Classification of Disease, Ninth version, Clinical Modification). Konsep ini
berkembang dari 400.000 sampel di selutuh Amerika, berdasar catatan medik pasien yang keluar RS
pada semester pertama 1979, yang berasal dari 332 RS. Sebuah panel para ahli, membagi ICD-9-CM
menjadi 23 diagnose besar (Major diagnosa) berdasar organ tubuh. Diagnosa besar itu kemudian
diklasifikasikan kembali sesuai dengan tindakan operasi yang dilakukan, komplikasi yang dialami,
umur pasien, kelamin dan status pasien pada saat keluar RS. Hasilnya 467 DRG’s

Hasil evaluasi terhadap pelaksanaan sistem pembayaran DRG’s menunjukkan beberapa


penyimpangan-penyimpangan yang berdampak pada mutu pelayanan antara lain: (WHO, 1993)
1. Rumah sakit mengalihkan pengobatan dari rawat inap`menjadi rawat jalan, oleh karena DRG’s
tidak diterapkan pada pelayanan rawat jalan.
2. Rumah sakit menurunkan rata-rata lama perawatan
3. Terdapat kecenderungan untuk mengklasifikasikan kembali pasien ke diagnosis yang lebih mahal,
yang disebut : “DRG creep” (penjilat DRG)

Adapun manfaat DRG’s, menurut Secretary of Health Human Resources (USA) di waktu itu adalah:
1. DRG’s ternyata dapat diberlakukan dengan cepat.
2. Bagi pemerintah federal dan RS, DRG’s dapat memberikan kepastian perkiraan biaya RS yang
berasal dari program Medicare.
3. Mengurangi beban adminstrasi bagi RS dan mendorong upaya efisiensi. Berdasar survey yang
dilakukan oleh the President’s Private Sector Survey on Cost Control, DRG’s di projeksikan
berhasil menghemat anggaran pemerintah federal sebesar 13 milyard dolar AS antara tahun 1984
– 1986.
4. DRG’s dapat meningkatkan mutu pelayanan RS.
5. Menguntungkan peserta Medicare program, dimana perkiraan iuran biaya (cost-sharing) akan
menurun.

Meskipun demikian, pelaksanaan DRG’s (ternyata) tidak semudah yang dibayangkan. Faktor regional,
praktek kedokteran di sebuah RS, perbedaan tingkat sosial, etnis serta usia serta kelamin, membuat
penetapan DRG’s di suatu negara bagian tidak mudah.

Selain itu DRG’s juga memerlukan “Management Information System” yang detail, teliti dan canggih,
untuk membuktikan bahwa suatu diagnosa (dan yang terkait) sesuai dengan standar prosedur
pelayanan yang ditetapkan, sehingga berhak untuk dibayar. Kenyataan seperti itu, merupakan potensi
konflik antara RS dan pembayar/pihak ketiga yang harus membayar pelayanan kesehatan.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 90

Dalam sistem JKN system pembayaran ke RS menggunakan system DRG yang di kenal dengan INA
CBG’s (Indonesian Case Base Grups). Keuntungan yang diperoleh adalah penyederhanaan
adminsitrasi serta efisiensi dana pelayanan kesehatan. Sistem casemix pertama kali dikembangkan di
Indonesia pada Tahun 2006 dengan nama INA-DRG (Indonesia- Diagnosis Related Group).
Implementasi pembayaran dengan INA-DRG dimulai pada 1 September 2008 di 15 rumah sakit milik
Kementerian Kesehatan RI, dan pada 1 Januari 2009 diperluas untuk seluruh rumah sakit yang bekerja
sama menjadi penyedia pelayanan kesehatan dalam program Jamkesmas. Pada tanggal 31 September
2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari INA- DRG (Indonesia Diagnosis Related Group)
menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Group) seiring dengan perubahan grouper dari 3M
Grouper ke UNU (United Nation University) Grouper. Kemudian, dengan implementasi Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang dimulai 1 Januari 2014, sistem INA-CBG kembali digunakan sebagai
metode pembayaran pelayanan baik rawat jalan maupun rawat inap kepada Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).

B.3.2. Per diem/Budget Tarif


Tarif paket RS ataupun tarif budget bulanan/tahunan RS, juga merupakan suatu bentuk prospective
payment. Di dalam paket harian RS, RS dibayar sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan, yang
meliputi biaya mondok serta sejumlah kelompok tindakan medik. Semakin besar pengelompokkan
tindakan medik, sudah tentu akan semakin tumbuh dorongan efisiensi dan keuntungan dari aspek
penyederhanaan adminsitrasi bagi RS. Meskipun demikian, didalam pelaksanaan tarif paket,
sesungguhnya masih ada elemen “reimbursment / fee for service system”, sehingga dorongan ke arah
efisiensi masih terbatas.

Tarif budget RS, diberikan pada suatu RS, dengan jumlah yang tetap, tanpa memperdulikan jenis
tindakan, LOS (length of stay) serta jenis teknologi atas sejumlah penduduk/peserta asuransi yang
ditentukan. Semakin luas jenis pelayanan yang tercakup dalam tarif budget, sudah tentu akan semakin
mendorong efisiensi dan penyederhanaan administrasi.

Baik tarif paket harian RS maupun tarif budget RS, ternyata memang menunjukkan tanda-tanda
efisiensi, apabila dilihat dari jumlah pasien/hari rawat, serta biaya yang dikeluarkan, sebagaimana
dapat dilihat dalam tabel-tabel dalam naskah ini. Penyederhanaan adminstrasi juga dapat dilihat, baik
dari aspek percepatan pembayaran maupun perlengkapan adminstrasi yang mendukung program
tersebut. Baik beban adminstrasi maupun lamanya proses verikasi klaim, dapat diturunkan dengan
sangat bermakna, dibanding pada system “fee for services” (Sulastomo, 1997).

B.3.3. Budget System


Pembayaran berdasar sistem budget adalah suatu pemberian imbalan jasa pada PPK berdasar
anggaran/jumlah biaya yang tetap yang telah disepakati bersama. Dasar perhitungan biaya dapat
melalui mekanisme penyusunan anggaran biaya secara riil diperlukan atau berdasar jumlah peserta
(kapitasi).

Askes telah menetapkan sistem ini di Medan, pada dua buah RS swasta. Ternyata dorongan kearah
efisiensi juga cukup besar, disamping penyederhanaan penyelenggaraan adminstrasi (Sulastomo,
1997).

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 91

B.3.4. Konsep “Cost Sharing” (iur-biaya)


Konsep iur biaya adalah suatu konsep pemeberian imbalan jasa pada PPK, dimana sebagian biaya
pelayanan kesehatan dibayar oleh pengguna jasa pelayanan kesehatan (user’s fee).

Konsep iur biaya dapat berbentuk “deductible”, yaitu apabila pasien diwajibkan membayar jasa
pelayanan kesehatan sampai jumlah tertentu atau “co-payment”, apabila pasien membayar sebagian
pada setiap jasa pelayana kesehatan yang diberikan kepadanya. Besar/kecilnya biaya yang dibebankan
pada pengguna jasa pelayanan kesehatan ditetapkan berdasar berbagai pertimbangan, baik jenis
pelayanan, aspek sosial serta (bahkan) politis.

B.3.5. Kapitasi
Konsep kapitasi (capitation concept system) adalah sebuah konsep atau system pembayaran yang
memberi imbalan jasa pada “Health providers” (pemberi Pelayanan Kesehatan / PPK) berdasar jumlah
orang (capita) yang menjadi tugas/kewajiban PPK yang bersangkutan untuk melayaninya, yang
diterima leh PPK yang bersangkutan dimuka (prepaid) dalam jumlah yang tetap, tanpa
memperhatikan jumlah kunjungan, pemeriksaan, tindakan, obat dan pelayanan medik lainnya yang
diberikan oleh PPK tersebut.

Konsep kapitasi, yang dibayarkan didepan sebelum pelayanan diberikan (prepaid/prospective


payment) pada suatu kelompok/group dokter, baik dokter umum maupun spesialis, ternyata banyak
memberikan dampak yang positif. Pertama, karena dibayarkan didepan, PPK dapat memperoleh
kesempatan untuk merencanakan program pelayanan kesehatan dengan lebih baik, dengan dukungan
dana yang telah tersedia didepan. Kedua, mendorong untuk berkembangnya standar-standar prosedur
atau profesi, tidak saja untuk efisiensi dana yang tersedia, tetapi juga meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan yang diberikan, yang dalam hal ini terkait dengan kepentingan untuk mempertahankan citra
sebagai kelompok/group dokter, yang juga harus bersaing dengan kelompok/group lain. Ketiga
berkembangnya orientasi pelayanan kearah upaya-upaya pencegahan (preventive) atau promosi
(promotive) karena upaya itu akan memberikan peluang kearah efisiensi dan Keempat, kesempatan
untuk cuti serta mengembangkan ilmu pengetahuan menghadiri seminar-seminar ilmiah tidak
terhambat oleh karena sebagai anggota kelompok/group dokter, peranannya didalam pelayanan
kesehatan dapat digantikan oleh anggota kelompok yang lain, tanpa kehilangan insentif yang
bermakna.

Sistem kapitasi adalah suatu sistem pembayaran pada pemberian pelayanan kesehatan (PPK) yang
diberikan dalam jumlah yang tetap, sesuai dengan jumlah penduduk/peserta program
MCO/HMO/Asuransi kesehatan yang menjadi kewajiban PPK ybs untuk memberi pelayanan, baik
sakit maupun tidak sakit. Didalam system kapitasi, akan lebih memberi manfaat yang besar, apabila
pembayaran tersebut diberikan didepan (prepaid). Dengan prepaid (pradana/praupaya), PPK dapat
merencanakan efisiensi program dengan lebih baik, tanpa kendala tersedianya dana, mengingat dana
telah disediakan terlebih dahulu, sebelum pelayanan diberikan.

Sesungguhnya, konsep kapitasi inilah yang paling banyak memperoleh publikasi, oleh karena
memang memberi harapan yang sangat bermakna, baik dari aspek penyederhanaan adminstrasi,
efisiensi serta mutu pelayanan. Didalam konsep kapitasi (misalnya) dorongan adanya upaya-upaya
pencegahan dan promotif sangat besar, sehingga konsep kapitasi secata intrinsik memang akan

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 92

merubah orientasi pelayanan, dari kuratif ke preventif, dengan sangat mempertimbangkan dampak
ekonomi dari upaya preventif tersebut.

Kapitasi, sebagaimana tarif paket/budget, akan memberi manfaat yang semakin besar, apabila
cakupan pelayanan juga semakin luas. Dari pengalaman PT Askes, baik pemanfaatan pelayanan/
biaya menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna dengan introduksi kapitasi total, dimana seluruh
jenis pelayanan kesehatan tercakup, sehingga memberi peluang pengendalian dimasa-depan,
sebagaimana dapat dilihat dalam tabel-tabel dalam naskah ini.

Meskipun demikian, pelaksanaan konsep kapitasi juga harus selalu memperhatikan keadaan setempat.
Untuk dapat mencapai bentuk yang ideal, diperlukan sistem informasi yang baik, agar data yang
mendukung konsep kapitasi benarbenar dapat memberi peluang ke arah efisiensi.

Beberapa Masalah dalam Pembayaran Kapitasi


Pembayaran sistem kapitasi merupakan suatu cara penekanan biaya dengan menempatkan PPK pada
posisi menanggung resiko, seluruhnya atau sebagian, degan cara menerima pembayaran atas dasar
jumlah jiwa yang ditanggung. Mekanisme ini merupakan cara meningkatkan efisiensi dengan
memanfaatkan mekanisme pasar pada sistem pembayar pihak ketiga, baik itu asuransi, JPK, maupun
pemerintah. Pada situasi pasar kompetitif, PPK akan memasang tarif sama dengan average market
cost tetapi pada pasar monopoli atau oligopoli PPK dapat menetapkan harga di atas average cost. Jika
pembayar membayar dengan kapitasi, PPK akan menekan biaya operasional hingga paling tidak biaya
per unit pelayanan yang diberikan sama atau lebih kecil dari average cost. Dengan demikian PPK
akan menekan jumlah kunjungan sehingga revenue akan sama dengan atau lebih besar dari revenue
jika ia harus melayani pasien FFS . Untuk mencapai hal tersebut, PPK yang bersifat memaksimalkan
laba dapat melakukan (Thabarany,1998)

Yang positif:
1. Memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan diagnostik yang tepat dan
memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat. Dengan pelayanan yang baik ini, pasien akan
cepat sembuh dan tidak kembali ke PPK untuk konsultasi atau tindakan lebih lanjut yang
merupakan biaya tambahan.
2. Memberikan pelayanan promotif dan preventif untuk mencegah insidents kesakitan. Apabila
angka kesakitan menurun, maka peserta tentu tidak perlu lagi berkunjung ke PPK yang akan
berakibat utilisasi menjadi lebih rendah dan biaya pelayanan menjadi lebih kecil.
3. Memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak kurang, untuk mempertahankan efisiensi
operasi dan tetap memegang jumlah pasien JPK sebagai income security. Hal ini akan berfungsi
baik jika situasi pasar sangat kompetitif, dimana untuk mencari pasien baru relatif sulit.

Yang negatif:
1. Jika kapitasi yang diberikan terpisah-pisah antara pelayanan rawat jalan tingkat pertama dan
rujukan dan tanpa diimbangi dengan insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan, PPK akan
dengan mudah merujuk pasiennya ke spesialis. Dengan merujuk, waktunya untuk memeriksa
menjadi lebih cepat.
2. Mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih banyak untuk melayani pasien non
JPK yang “dinilai” membayar lebih banyak. Artinya mutu pelayanan dapat dikurangi, karena
waktu pelayanan yang singkat. Jika ini terjadi, pada kapitasi parsial pihak JPK pada akhirnya

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 93

dapat memikul biaya lebih besar karena efek akumulatif penyakit. Pasien yang tidak mendapatkan
pelayanan rawat jalan yang memadai akan menderita penyakit yang lebih berat, akibatnya biaya
pengobatan sekunder dan tersier menjadi lebih mahal.
3. Tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien kapitasi tidak cukup banyak.
Untuk jangka pendek strategi ini mungkin berhasil tetapi untuk jangka panjang hak ini akan
merugikan PPK sendiri.

Implementasi Pembayaran Kapitasi Dalam JKN


Dalam program JKN sistem pembayaran kapitasi diterapkan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP). Tarif kapitasi yang dibayarkan ke FKTP yaitu:
1. administrasi pelayanan
2. promotif dan preventif;
3. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
4. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif;
5. obat dan bahan medis habis pakai; dan
6. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama.

Berdasarkan permenkes 52 tahun 2016, besaran kapitasi yang diterapkan untuk FKTP adalah sebagai
berikut:
1. puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah) sampai
dengan Rp6.000,00 (enam ribu rupiah) per peserta per bulan
2. rumah sakit Kelas D Pratama, klinik pratama, praktik dokter, atau fasilitas kesehatan yang setara
sebesar Rp8.000,00 (delapan ribu rupiah) sampai dengan Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per
peserta per bulan; dan
3. praktik perorangan dokter gigi sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah) per peserta per bulan.

Besaran tarif kapitasi yang diterima oleh FKTP ditentukan melalui proses seleksi dan kredensial yang
dilakukan oleh BPJS Kesehatan melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Asosiasi
Fasilitas Kesehatan dengan mempertimbangkan sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan
prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan.

Penggunaan kriteria dalam pertimbangan penetapan besaran Tarif Kapitasi berdasarkan seleksi dan
kredensial sebagaimana dimaksud diatas dilakukan secara bertahap, dengan menggunakan
pertimbangan kriteria sumber daya manusia. Kriteria sumber daya manusia yang digunakan dalam
penetapan besaran kapitasi meliputi ketersediaan dokter dan ketersediaan dokter gigi.

Ketentuan mengenai pertimbangan penilaian pemenuhan kriteria sumber daya manusia yang
digunakan untuk menetapkan besaran kapitasi yaitu:
Bagi puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara:
1. kapitasi sebesar Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah) per peserta per bulan apabila tidak memiliki dokter
dan tidak memiliki dokter gigi;
2. kapitasi sebesar Rp3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan apabila memiliki
dokter gigi dan tidak memiliki dokter;
3. kapitasi sebesar Rp4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan apabila memiliki
1 (satu) orang dokter, tetapi tidak memiliki dokter gigi;

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 94

4. kapitasi sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) per peserta per bulan apabila memiliki 1 (satu)
orang dokter dan memiliki dokter gigi;
5. kapitasi sebesar Rp5.500,00 (lima ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan apabila memiliki
paling sedikit 2 (dua) orang dokter, tetapi tidak memiliki dokter gigi; dan
6. kapitasi sebesar Rp6.000,00 (enam ribu rupiah) per peserta per bulan apabila memiliki paling
sedikit 2 (dua) orang dokter, dan memiliki dokter gigi.

Bagi FKTP selain Puskesmas:


1. Dokter praktik mandiri memperoleh kapitasi sebesar Rp8.000,00 (delapan ribu rupiah) per peserta
per bulan, apabila memiliki 1 (satu) orang dokter
2. Klinik Pratama atau fasilitas kesehatan yang setara, akan memperoleh: (a) kapitasi sebesar
Rp9.000,00 (sembilan ribu rupiah) per peserta per bulan apabila fasilitas kesehatan tersebut
memiliki minimal 2 (dua) orang dokter dan tidak memiliki dokter gigi; atau (b) kapitasi sebesar
Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per peserta per bulan apabila memiliki minimal 2 (dua) orang
dokter dan memiliki dokter gigi.
3. Rumah sakit kelas D Pratama memperoleh kapitasi sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per
peserta per bulan apabila memiliki minimal 2 (dua) orang dokter dan memiliki dokter gigi.
Untuk daerah terpencil dan kepulauan yang diberikan oleh FKTP ditetapkan berdasarkan Tarif
Kapitasi khusus. Tarif Kapitasi khusus bagi yang memiliki dokter ditetapkan sebesar Rp10.000,00
(sepuluh ribu rupiah) per peserta per bulan. Sementara Tarif Kapitasi khusus bagi FKTP yang hanya
memiliki bidan/perawat ditetapkan sebesar Rp8.000,00 (delapan ribu rupiah) per peserta per bulan.
Dalam hal jumlah peserta pada FKTP kurang dari 1000 (seribu) peserta, tarif kapitasi khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan minimal sejumlah kapitasi untuk 1000 (seribu)
peserta.

Selain tarif kapitasi, pembayaran di FKTP juga mengenal tariff non kapitasi. Tarif non kapitasi
diterapkan untuk pembayaran sebagai berikut:
1. pelayanan ambulans
2. pelayanan obat program rujuk balik;
3. pemeriksaan penunjang pelayanan rujuk balik;
4. pelayanan penapisan (screening) kesehatan tertentu termasuk pelayanan terapi krio untuk kanker
leher rahim;
5. rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi medis;
6. jasa pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh bidan atau dokter, sesuai kompetensi
dan kewenangannya; dan
7. pelayanan Keluarga Berencana di FKTP.

B.3.6. Gaji Bulanan


Sistem ini merupakan sistem yang tidak di dasarkan kinerja dokter yang bersangkutan, melainkan
berdasarkan aturan penggajian yang berlaku. Sistem ini masih tetap dipertahankan baik di negara
maju maupun di negara berkembang. Namun biasanya sistem ini tidak berdiri sendiri, namun
merupakan gabungan dari 2 macam mekanisme pembayaran, misalnya : per bulan dengan mekanisme
pembayaran gaji dan dikombinasi dengan insentif lain yang terkait dengan tindakan yang dilakukan.
Sistem gaji ini mempunyai beberapa kelemahan dan kekuatan adalah sebagai berikut:

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 95

Kekuatan:
1. Secara administratif mudah.
2. Penanganan medis tidak dipengaruhi oleh keuntungan ekonomi dan sistem ini mendukung
kerjasama antar dokter dalam menangani kasus sulit.
3. Memudahkan penyusunan anggaran belanja untuk pelayanan kesehatan.

Kelemahan:
1. Pasien tidak mempunyai banyak pengaruh untuk mengarahkan dokter agar memberikan
pelayanan yang optimal.
2. Dokter mungkin menjadi kurang berminat untuk menangani pasien.
3. Catatan mengenai praktek masyarakat sering menjadi tidak baik.

C. RANGKUMAN
Mekanisme pembayaran pelaku pelayanan merupakan komponen peraturan dan pengendalian yang
sangat penting dalam keterkaitan antara pasien, pembayar pihak ketiga, dan pelaku pelayanan.
Mekanisme pembayaran adalah suatu cara alokasi sumber daya pada berbagai kategori pelaku
pelayanan dan bagi unit pelaku individual dalam setiap kategorinya. Mekanisme pembayaran
mempengaruhi pembelanjaan total suatu sistem dan kelangsungan finansial pembiayaan pelayanan
kesehatan. Di samping itu, mekanisme pembayaran juga mempengaruhi perilaku pelaku pelayanan,
sehingga juga mempengaruhi efisiensi alokatif dan teknis serta kualitas pelayanan.

D. RUJUKAN DAN BACAAN YANG DIANJURKAN


1. Cromwell, J., Pope, G.C., Burge, R.T., Hendricks, A.M., 1997, Hospital and Phycisian Rate
Setting Systems, The Healthcare Financial Management Series, , Irwin Proffesional Publishing,
Chicago.
2. De Muro,P.R., 1995, The Financial Manager’s Guide to Managed Care and Integrated Delivery
Systems, Irwin Proffesional Publishing, Chicago.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 96

3. James, G., 1997, Making Managed Care Work : Strategies for Local Market Dominance, Irwin
Proffesional Publishing, Chicago.
4. Permenkes no 52 tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan
Program Jaminan Kesehatan.
5. Permenkes no 76 tahun 2016 tentang Pedoman Indonesian Case Base Groups dalam Pelaksanaan
Jaminan Kesehatan Nasional.
6. Nash, D.B., 1994, The Physician’s Guide to Managed Care, An Aspen Publication, Maryland.
7. Simon, C.J., Born, P.H., 1996, Physian Earning In A Changing Managed Care Environment, J.
Health Affairs, 15 (3) : 124 – 133.
8. Sulastomo, 1997, Asuransi Kesehatan dan Managed Care, PT Asuransi Kesehatan Indonesia,
Jakarta.
9. Thabarany, H., dan Hidayat, B., 1998, Pembayaran Kapitasi, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia, Jakarta.
10. WHO, 1993, Evaluasi Perubahan-Perubahan Mutakhir Dalam Pembiayaan Kesehatan
(terjemahan), Magister Manajemen Rumah Sakit, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 97

BAB 9. BEHAVIORAL ECONOMICS AND MEDICAL DOCTOR


Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

A. PENDAHULUAN
Di dalam teori ekonomi masyarakat memilih keputusan berdasarkan prinsip yang rasional. Ada
konsep yang disebut sebagai Rational Choice. Akan tetapi juga ada yang tidak memilih secara
rasional. Dalam sektor kesehatan, perilaku masyarakat juga ada yang rasional, namun juga ada yang
tidak rasional. Sebagai gambaran masyarakat sering terlihat merokok, sebuah perilaku yang
sebenarnya tidak rasional. Juga ada kemungkinan masyarakat tidak mau membayar premi asuransi
walaupun sebenarnya mampu. Sesi ini berusaha untuk membahas perilaku ekonomi masyarakat dalam
pelayanan kesehatan. Disamping perilaku masyarakat, juga ada pembahasan mengenai perilaku dokter
terkait dengan pendapatan dan mekanisme mendapatkan pendapatan dari profesi sebagai dokter.

B. PENYAJIAN MATERI
1. Memahami Rational Choice dan yang tidak Rational dalam perilaku masyarakat.
2. Memahami perilaku masyarakat dalam kesehatan.
3. Memahami perilaku dokter dalam hubungannya dengan pembayaran.

C. RUJUKAN DAN BACAAN YANG DIANJURKAN


1. Cho I, Bates DW. Behavioral Economics Interventions in Clinical Decision Support
Systems. :114–21. 2018; 114-21.
2. Matjasko JL, Cawley JH, Baker-goering MM, Yokum D V. Applying Behavioral Economics to
Public Health Policy. Am J Prev Med [Internet]. Elsevier; 2016;50(5):S13–S19. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.amepre.2016.02.007
3. Nea AM, Studies E, The I, Organization WH, Organization WH. Public Health and Behavioral
Economics . “ Nudging ” Behaviors through Wearable Technology by. 2010;2015:518–27.
4. Patel MS, Volpp KG. Leveraging Insights from Behavioral Economics to Increase the Value of
Health-Care Service Provision. :1544–8.
5. Shuval K, Leonard T, Drope J, Katz DL, Patel A V. Physical Activity Counseling in Primary
Care : Insights From Public Health and Behavioral Economics. 2017;(June):233–44.
6. Wolever RQ, Caldwell KL, Mckernan LC, Hillinger MG. I n t e g r a t i v e Me d i c i n e
Strategies for Changing Health Behaviors Support for Primary Care. 2017;44:229–45.
7. Folland S, Goodman AC, Stano M. The Economics of Health and Health Care. 7th ed. Upper
Saddle River, N.J.: Pearson; 2013.
8. Shumaker SA, Ockene JK, Riekert KA. The handbook of health behavior change. 3rd ed. New
York: Springer Pub. Co; 2009.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 98

BAB 10. EVALUASI EKONOMI DI BIDANG KESEHATAN


Dr. drg. Mardiati Nadjib, MS
Sepatiara Putri, SKM, MPH
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

A. PENDAHULUAN
Evaluasi ekonomi merupakan bagian dari topik ekonomi kesehatan yang berfokus pada konsep
efisiensi terhadap suatu intervensi kesehatan. Evaluasi ekonomi menghasilkan informasi berbasis
bukti yang bertujuan untuk membantu dan meningkatkan proses pengambilan keputusan terutama
dalam hal alokasi sumberdaya.

Evaluasi ekonomi dimanfaatkan untuk membantu pengambilan keputusan di tengah keterbatasan


sumber daya. Penerapannya antara lain di bidang farmasi/farmakologi, disebut sebagai
farmakoekonomi (evaluasi ekonomi untuk obat, alat kesehatan, prosedur penegakan diagnostik, dan
sebagainya), di bidang kesehatan masyarakat (misalnya vaksin, program pencegahan penyakit
menular, dan sebagainya), di bidang lingkungan hidup (ekonomi lingkungan yang seringkali terkait
kesehatan, misalnya valuasi kerugian ekonomi akibat deforestasi mencakup kesehatan dan ekosistem)
dan lain-lain.

Bab ini ditujukan untuk program sarjana kesehatan masyarakat sebagai pengantar dalam memahami
konsep dasar evaluasi ekonomi. Secara umum, bagian ini meliputi pemahaman prinsip evaluasi
ekonomi, perbedaan beberapa metode evaluasi ekonomi, serta contoh aplikasi evaluasi ekonomi pada
bidang kesehatan. Metode pembelajaran pada Bab dasar evaluasi ekonomi kesehatan adalah dengan
ceramah kelas dengan pemaparan kepada mahasiswa untuk konsep dasar dan perbedaan jenis-jenis
evaluasi ekonomi. Diharapkan mahasiswa membaca artikel-artikel evaluasi ekonomi kesehatan
melalui penugasan atau daftar bacaan ilmiah sehingga mendapatkan pemahaman lebih dalam terkait
metode dan aplikasinya.

Capaian pembelajaran pada Bab dasar evaluasi ekonomi untuk bidang kesehatan adalah agar
mahasiswa mampu:
1. Memahami prinsip dasar, pentingnya serta manfaat melakukan evaluasi ekonomi kesehatan
2. Mengenal dan memaparkan jenis-jenis evalusi ekonomi kesehatan
3. Memahami aplikasi evaluasi ekonomi di bidang kesehatan dan memberikan contoh melalui
penelusuran hasil studi maupun jurnal yang relevan.

B. PENYAJIAN MATERI
B.1. Pengertian
Perhatian terhadap pelayanan kesehatan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya beban dari
beberapa penyakit baik penyakit menular maupun tidak menular, penambahan jumlah populasi tua
(ageing population), serta pengembangan inovasi pada teknologi kesehatan yang bermanfaat tetapi
sebagian besar mahal. Hal-hal tersebut mendasari upaya dan intervensi kesehatan untuk bukan hanya
memperhatikan aspek-aspek seperti kualitas/mutu, keamanan dan efektivitas, tetapi juga aspek biaya
dan efisiensi pada pasien/populasi serta pelayanan kesehatan dalam kondisi sumberdaya yang terbatas.
Dalam membangun strategi upaya kesehatan, praktisi dan pembuat kebijakan memerlukan informasi
berbasis bukti sehingga strategi dipilih memiliki nilai yang sepadan dengan pengorbanan sumberdaya
yang dikeluarkan.
The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018
Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 99

Untuk menjawab terkait intervensi kesehatan dan terbatasnya sumberdaya, maka dibutuhkan evaluasi
ekonomi kesehatan. Evaluasi ekonomi seringkali juga disebut sebagai evaluasi efisiensi ekonomi.
Efisiensi dalam area kesehatan fokus pada dua pertanyaan dasar (Elliot and Payne, 2005):
1. Apakah pemanfaatan sumberdaya yang ada sekarang dapat membantu pencapaian target
kesehatan?
2. Bagaimana penggunaan terbaik untuk kesehatan dari tambahan sumberdaya jika sumberdaya
tersebut tersedia?

Evaluasi ekonomi memberikan rangkaian analisis dan teknik yang dapat bermanfaat untuk menjawab
pertanyaan diatas, dengan melakukan secara sistematis analisis perbandingan dari strategi intervensi
kesehatan. Secara umum, evaluasi ekonomi didefinisikan sebagai ”analisis perbandingan antara
intervensi/alternatif kesehatan yang satu dengan yang lainnya dengan cara mengidentifikasi,
mengukur, menilai, membandingkan, menganalisis biaya dan konsekuensi dari setiap
intervensi“ (Morris et al., 2007; Drummond, et al. 2015) Selanjutnya dapat disimpulkan apakah
intervensi, teknologi kesehatan, program kesehatan yang dianalisis melalui evaluasi ekonomi
memiliki nilai lebih (worth doing) dibandingkan alternatif lainnya dalam kondisi sumberdaya yang
terbatas. Tujuan utama dari evaluasi ekonomi sebenarnya adalah meningkatkan efisiensi: bagaimana
input (sumberdaya) dapat di konversi menjadi output (sebagai contoh: tahun hidup, peningkatan
kualitas hidup pasien) dan memberikan manfaat yang maksimal (Miller., 2009)

Sebagai ilustrasi, pemerintah memiliki anggaran 4 triliun rupiah untuk mendanai pembangunan.
Karena sumberdaya terbatas, pemerintah harus memilih bagaimana memanfaatkannya, misalnya
terdapat tiga pertimbangan: membangun transportasi publik karena sehari-hari Jakarta sangat macet,
membangun program untuk pencegahan penyakit malaria, atau membangun sekolah untuk anak
berkebutuhan khusus di tempat terpencil? Ketika ketiganya berkompetisi untuk memperoleh alokasi
sumber daya, padahal sumber daya yang dimiliki Pemerintah terbatas, maka harus diambil keputusan
manakah yang didanai? Investasi Pemerintah dinilai efisien atau memiliki nilai ekonomi bila investasi
memberikan keberhasilan yang tinggi dibandingkan pengorbanan sumber dayanya. Contoh lainnya:
intervensi kesehatan apakah yang dipilih untuk tobacco cessation program, apakah promosi kesehatan
atau dengan pendekatan intervensi farmasi/obat di klinik—seperti Nicotine Replacement Therapy
(NRT)?

Ekonomi erat berkaitan dengan soal pilihan. Pilihan terhadap suatu keputusan intervensi akan
mengorbankan pilihan lainnya. Dalam hal ini, konsep biaya oportunitas (opportunity cost) merupakan
bagian yang fundamental dalam evaluasi ekonomi. Di saat kita memilih suatu intervensi/alternatif
dengan mengharapkan iuaran (manfaat) kesehatan yang “maksimum” (efektif), tetapi tetap ada
manfaat dari alternatif lain untuk menggunakan sumber daya tersebut (yang tidak kita pilih) yang
terkorbankan. Sebagai contoh: apakah Tes Cepat Molekuler (TCM) dipilih menjadi prioritas
intervensi (dengan pertimbangan benefit terbaik) dibandingkan intervensi konvensional yang tersedia
sehingga diharapkan dapat meningkatkan temuan kasus TBC di masyarakat dan kasus yang diobati
juga akan meningkat, pada gilirannya akan menurunkan angka kasus TBC di Indonesia.
Implementasi TCM akan membutuhkan biaya mahal, maka biaya oportunitas harus menjadi
pertimbangan karena opsi lain menggunakan dana tersebut bisa digunakan untuk menangani masalah
kesehatan lainnya. Demikian juga untuk pilihan mendanai berbagai paket manfaat dalam JKN. Ketika
dana BPJS yang terbatas dihadapkan pada kenyataan harus membayar berbagai paket manfaat yang

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 100

mahal maka pertanyaan yang sering diajukan adalah: apakah mendanai intervensi pengobatan kasus
penyakit dengan biaya mahal cost-effective?

Evaluasi ekonomi sudah diaplikasikan di berbagai negara, terutama negara dengan sistem single payer
seperti Australia, Kanada, negara-negara Skandinavia dan Inggris atau United Kingdom (UK), dimana
sistem di negara-negara tersebut sangat terkait dengan reimbursment, serta konsiderasi jumlah
populasi yang dijamin. Setiap intervensi yang akan dijamin harus dikaji dengan sistematis dan
berdasarkan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh UK, melalui NICE (National
Institute odf Care and Excellence) mengkaji efektivitas klinis serta efektivitas biaya dari setiap
teknologi kesehatan dan juga intervensi kesehatan masyarakat dalam National Health Service (NHS).
Prosedur seperti ini dikaitkan dengan penilaian teknologi kesehatan atau health technology assessment
(HTA). Di Indonesia evaluasi ekonomi mulai diaplikasikan dalam strategi paket manfaat khususnya
obat-obat yang tersedia atau akan tersedia di dalam skema JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
Kementerian Kesehatan telah membangun prosedur sistematis untuk menilai efektivitas dan biaya
yang mendukung pengambilan keputusan paket manfaat.

B.2. Pentingnya Evaluasi Ekonomi


Ada beberapa alasan mengapa evaluasi ekonomi penting dilakukan: (Drummond et al., 2015)
1. Tanpa analisis yang sistematis, akan sangat sulit untuk mengidentifikasi secara jelas alternatif
yang relevan.
2. Asumsi sudut pandang di dalam analisis itu penting. Bisa jadi sudut pandang suatu sektor/intitusi
terhadap program/intervensi kesehatan akan secara signifikan membantu jika perspektif lain juga
dipertimbangkan.
3. Tanpa kuantifikasi, penilaian yang sifatnya informal dapat salah arah atau misleading.
4. Pendekatan yang sistematis meningkatkan kejelasan dan akuntibiltas dalam proses kebijakan
kesehatan.

Berdasarkan penjelasan diatas, ada beberapa situasi di mana evaluasi ekonomi dapat memberikan
informasi yang bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan:
1. Keputusan dalam layanan, program atau teknologi kesehatan yang akan tersedia di masyarakat.
Dapat juga termasuk perbaruan strategi intervensi dan pedoman klinis. Dalam bidang kesehatan
masyarakat misalnya strategi DOTS dinilai cost-effective untuk program pengobatan TBC.
2. Penentuan paket manfaat dalam skema jaminan kesehatan. Apakah suatu obat masuk dalam daftar
formularium nasional?
3. Keputusan pricing dari pemerintah dan manufaktur terkait teknologi kesehatan.
4. Post-marketing surveillance dan kajian informasi ekonomi dalam penggunaan teknologi
kesehatan (yang selanjutnya dapat menyediakan informasi dalam konsiderasi pemanfaatan dan
kebijakan teknologi kesehatan lainnya).

B.3. Jenis Evaluasi Ekonomi


Terdapat dua ciri penting dalam evaluasi ekonomi (Drummond et al., 2015), yaitu:
1. Terkait dengan masukan dan luaran, biasanya didefinisikan sebagai biaya dan
konsekuensi/benefit/efektivitas.
2. Terkait dengan pilihan. Karena dihadapkan pada keterbatasan sumber daya kita harus membuat
pilihan, dengan demikian tidak semua program kesehatan bisa dilaksanakan di dalam sistem
pelayanan kesehatan. Adanya pilihan di antara berbagai pilihan intervensi dengan tingkat

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 101

efektivitas yang tinggi, membuat para pengambil keputusan mencari cara yang tepat dalam
menilai dan menetapkan mana yang harus didanai guna mengatasi persoalan kesehatan
masyarakat.

Dengan demikian, evaluasi ekonomi selalu mengkaji sebuah intervensi dibandingkan dengan
komparator atau pembandingnya. Bagaimana biaya dan manfaatnya antara intervensi X dibanding
intervensi Y? Kadang kala dalam evaluasi ekonomi kesehatan komparator berupa “tidak ada
intervensi” atau disebut “do-nothing“. Misalnya, membandingkan program vaksinasi Hepatitis B bagi
bayi baru lahir dibandingkan dengan tidak memberikan vaksinasi pada (yang akan mengakibatkan
kerugian lebih besar dengan meningkatnya kasus di masa yang akan datang).

Terdapat beberapa jenis evaluasi ekonomi dalam bidang kesehatan, baik yang sifatnya parsial maupun
penuh. Karakteristik tersebut didasarkan pada aspek-aspek yang akan dianalisis: apakah hanya biaya
saja?; apakah memperhitungkan luaran?; apakah memiliki pembanding?. Tipe evaluasi ekonomi dapat
dikelompokkan sebagai berikut.

Tabel 1. Perbedaan karakteristik dari evaluasi di bidang kesehatan


TIDAK YA
Hanya menilai 2 Evaluasi Parsial
TIDAK Hanya menilai biaya
konsekuensi Berupa deskripsi biaya-
Evaluasi Parsial luaran (cost-outcome
1A Deskripsi luaran 1B Deskripsi biaya description)
YA Evaluasi Parsial 4 Evaluasi Ekonomi Penuh
(Full economic evaluation)
Cost-minimization analysis
(CMA)
3A Evaluasi terhadap
3B Analisis biaya Cost-effectiveness analysis
efikasi atau efektifitas
(CEA)
Cost-utility analysis (CUA)
Cost-benefit analysis (CBA)
Sumber: Drummond et al., (2015)

Evaluasi ekonomi yang bersifat parsial seperti tampak pada poin 1, 2, dan 3 di atas memberikan
informasi berapa besar biaya intervensi, bagaimana luaran atau efektifitas atau outcomenya atau ada
informasi biaya dan outcome tetapi tidak memberikan kesimpulan cost-effective /memiliki value for
money atau tidak.

Contoh evaluasi ekonomi parsial:


1. Analisis biaya akibat jatuh sakit (cost of illness) maupun analisis ekonomi beban penyakit.
Sebagai contoh, Murray et al., 2011 mempublikasikan studi mengenai gambaran biaya yang
terkait dengan operasi fiksasi pasien yang mengalami fraktur pergelangan kaki. Studi ini
menghitung biaya langsung pada saat pasien mengalami hospitalisasi, data biaya diambil dari
rumah sakit, secara retrospektif.
2. Analisis biaya intervensi operasi jantung pada populasi diatas 80 tahun. Lalu dilakukan analisis
luaran seperti re-intubasi atau atrial fibrilasi. (Avery et al., 2001)

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 102

3. Analisis biaya pada strategi minimal invasif untuk kanker prostat. Studi ini melakukan analisis
biaya medis terkait berbagai intervensi: robotic-assisted laparoscopic radical prostatectomy
(RALP), laparoscopic radical prostatectomy (LRP) dan retropublic radical prostatectomy (RRP)
dengan total 643 pasien. Kesimpulan dari studi ini adalah intervensi RALP terkait dengan biaya
yang tinggi, ini dikarenakan meningkatnya penyediaan biaya operasi. (Bolenz et al.,2010)

Meskipun sifatnya parsial, bukan berarti studi-studi tersebut tidak penting. Jika memang analisis biaya
cukup menjawab tujuan penilaian, maka hasil analisis biaya akan tetap bermanfaat untuk proses
pengambilan keputusan atau pemangku kepentingan. Analisis kerugian ekonomi akibat intervensi
program kesehatan yang terabaikan jelas merupakan informasi penting yang mendukung advokasi.
Selain itu juga menjadi dasar untuk analisis lanjutan bila dibandingkan dengan besarnya dana yang
dibutuhkan dan permohonan dukungan dana untuk suatu intervensi program mencegah kerugian
tersebut.

Evaluasi ekonomi penuh yang terdapat pada sel 4 memperhitungkan baik biaya dan luaran, serta
menilai komponen ini pada pembandingnya. Kajian evaluasi ekonomi tersebut dapat menjawab fokus
tujuan terkait dengan konsep efisiensi ekonomi. Prinsip pengorbanan sumberdaya harus sepadan
dengan luaran yang diperoleh menjadi dasar pengamatan di mana intervensi yang mahal tetapi dapat
menghasilkan luaran yang tinggi perlu dikaji nilai ekonominya, apakah cost-effective dan kita mampu
mendanainya? Atau sebaliknya, mungkin kita dapat mengeluarkan biaya yang sedikit untuk mencapai
luaran yang relatif sama. Keempat jenis evaluasi ekonomi tersebut memiliki ciri sebagai berikut.

Tabel. 2. Perbedaan berbagai evaluasi ekonomi


Nominator Denominator
Cost minimization analysis
Rupiah -
(CMA)
Proses atau luaran kesehatan dalam bentuk
Cost effectiveness analysis
Rupiah natural unit. Contoh: mmHg, life year gained
(CEA)
(LYG)
Luaran dalam bentuk unit Quality Adjusted Life
Cost utility analysis (CUA) Rupiah
Year (QALY)
Cost benefit analysis (CBA) Rupiah Rupiah

B.3.1. Cost-minimization analysis (CMA)


Cost Minimization Analysis (CMA) atau Analisis Minimisasi Biaya merupakan metode evaluasi
ekonomi penuh yang paling sederhana. CMA dilakukan jika luaran dari sebuah intervensi atau
teknologi kesehatan menghasilkan hasil yang sama (identical). (Drummond et al.,2015; Newby and
Hill, 2003) Dikarenakan luaran dianggap sama, yang dipertimbangkan selanjutnya hanya biaya saja.
Sehingga, hanya memilih teknologi kesehatan (biasanya obat) mana yang paling biayanya lebih
rendah. Informasi mengenai luaran dapat direpresentasikan berdasarkan data yang tersedia ada atau
hasil dari meta-analysis.

Sebagai contoh studi dari Farmer et al., (1996), terdapat dua obat terapi untuk pasien rawat jalan dan
rawat inap, yaitu Prostaglandin E2 terapi. Justifikasi melakukan analisis ini adalah karena tidak ada
perbedaan kegagalan induksi dan cesarean sections. Selain itu tidak ada efek terhadap maternal dan
neonatal di kedua layanan, rawat inap dan rawat jalan. Selanjutnya, hanya biaya yang dianalisis dan
The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018
Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 103

menghasilkan kesimpulan bahwa di layanan rawat jalan obat ini lebih cost saving dibandingkan rawat
inap.

B.3.2. Cost-effectiveness analysis (CEA)


Pada umumnya kita akan lebih mudah memutuskan jika menemukan intervensi yang efektif tetapi
juga dengan biaya yang terjangkau, dan ini sudah jelas bahwa intervensi dengan kriteria seperti ini
akan dipilih. Tetapi kenyatannya, sebagian besar intervensi yang memiliki efektivitas tinggi juga
memiliki biaya yang tinggi, sehingga harus dilakukan analisis lebih lanjut dengan mempertimbangkan
dan mengukur kedua elemen penting ini.

Cost Effectiveness Analysis (CEA) atau Analisis Efektivitas Biaya yaitu membandingkan intervensi
kesehatan (dapat dua atau lebih) dengan mengukur biayanya dan efek/benefitnya. Tidak sama dengan
CMA, CEA memiliki benefit yang berbeda antara intervensi. Contoh luaran dapat berupa: level
mmHg, infeksi yang dapat dicegah, life years saved, perubahan pada pain score dan lain-lain).

Dalam studi CEA luaran klinis terkadang diukur dalam skala intermediate (luaran antara) atau sering
disebut surrogate outcome, misalnya untuk kasus Diabetes Mellitus digunakan ukuran HBA1C, atau
kasus hipertensi dengan ukuran tekanan darah terkendali (mmHg), dan lain-lain. Para ahli berpendapat
bahwa ukuran luaran intermediate semacam ini akan menghasilkan informasi “persen sukses” yang
bukan merupakan luaran akhir (final outcome) sehingga disarankan menghindari perbandingan
dengan threshold karena ukuran intervensi berbeda-beda. Final outcome yang dipakai dalam CEA
adalah Life Year Saved atau Life Year Gained.

Berbagai buku teks menjelaskan terdapat dua bentuk hasil akhir CEA, yaitu ACER (Average cost-
effectiveness ratio) dan ICER (Incremental cost-effectiveness ratio). ACER membandingkan secara
langsung rasio biaya dan efektivitas kedua intervensi yang dibandingkan, sedangkan ICER
menghitung rasio antara “selisih biaya“ dan “selisih luaran“ kedua intervensi yang dibandingkan.
ICER dihitung dengan formula dibawah ini:

𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑏𝑎𝑟𝑢 − 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑚𝑎/𝑘𝑜𝑚𝑝𝑎𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 ∆𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎


𝐼𝐶𝐸𝑅 = =
𝐿𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑏𝑎𝑟𝑢 − 𝐿𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑚𝑎/𝑘𝑜𝑚𝑝𝑎𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 ∆𝐿𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛

Kesimpulan bahwa intervensi yang dikaji potensial cost-effective diperoleh dari analisis ICER yang
dibandingkan dengan threshold (ambang batas atau batas maksimum pada nilai ICER untuk
menentukan nilai apakah sebuah intervensi dapat dikatakan cost-effective). Kesimpulan menunjukkan
bahwa sebuah intervensi memiliki “value for money” di mana nilai ICER di bawah threshold.

Sebagai contoh CEA, sebuah studi tentang dua thrombolytic agents (TA), misal TA1 dibandingkan
TA2 untuk infark jantung yang akut. Luaran atau outcome primernya adalah mortalitas dalam 30 hari.
CEA membantu menjawab dengan menghasilkan ICER, yaitu biaya inkremental per kematian yang
dapat dicegah dalam 30 hari atau life year saved (Goodacre and McCabe, 2002. Hasil CEA
bermanfaat untuk membandingkan dua intervensi yang memiliki tujuan sama (jenis luaran yang sama)
dengan tingkat keberhasilan yang berbeda. Analisis akan menghasilkan satu opsi intervensi terpilih,
apakah intervensi baru yang diusulkan terbukti cost-effective (dominan terhadap komparator) atau
justru tidak (didominasi oleh komparator/ intervensi yang saat ini ada).

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 104

Berikut ilustrasi Cost Effectiveness Plane:

Gambar 10.1. Cost Effectiveness Plane

Nilai
Intervensi ICER
A lebih mahal maksimum
tetapi lebih efektif
Perbedaan pada biaya (Rupiah)

Intervensi A
lebih mahal tetapi kurang
efektif

Intervensi A Intervensi A lebih


lebih murah tapi
kurang efektif murah dan lebih efektif
Perbedaan pada manfaat/efektifitas. (Contoh: Life years gained, QALY)

B.3.3. Cost utility analysis (CUA)


Cost utility analysis (CUA) atau Analisis Utilitas Biaya merupakan jenis evaluasi ekonomi yang
merupakan subset dari CEA. Faktor yang membedakan dua analisis ini adalah CUA menganut
pengukuran luaran yang dinyatakan dengan tahun hidup berkualitas (quality adjusted life year atau
QALY) dari intervensi kesehatan (Gray et al.,2011; Rascati, 2013) sedangkan CEA dalam bentuk Life
Year Saved atau Life Year Gained.

QALY mengkombinasikan nilai kualitas dan kuantitas hidup. Ukuran kualitas hidup dikembangkan dari
konsep utilitas (utility), atau tingkat kepuasan (nilai guna) yang diperoleh pasien setelah menerima
suatu layanan/intervensi kesehatan, misalnya setelah mendapatkan pengobatan kanker atau penyakit
jantung. Beberapa studi (biasanya terkait vaksin) juga menggunakan luaran yang disebut Disability
Adjusted Life Years (DALY).

QALY merupakan pengukuran keluaran kesehatan yang dihasilkan dari kualtas hidup dan lama hidup.
Nilainya memiliki skala 0 sampai 1, 0 mengindikasikan “meninggal” sedangkan 1 mengindikasikan
“kesehatan penuh” (Vergel and Sculpher, 2008).

Sama dengan CEA, hasil akhir CUA adalah nilai ICER atau incremental cost effectiveness ratio,
dengan nominator adalah selisih nilai biaya intervensi (obat) baru dengan intervensi lama dan
denominator selisih nilai efektivitas/luaran) intervensi (baru dan intervensi lama, dalam bentuk
kualitas hidup).

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 105

𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑏𝑎𝑟𝑢 − 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑚𝑎/𝑘𝑜𝑚𝑝𝑎𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 ∆𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎


𝐼𝐶𝐸𝑅 = =
𝑄𝐴𝐿𝑌𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑏𝑎𝑟𝑢 − 𝑄𝐴𝐿𝑌𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑚𝑎/𝑘𝑜𝑚𝑝𝑎𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 ∆𝑄𝐴𝐿𝑌

Hasil ICER adalah cost/QALY gained (biaya untuk memperoleh tambahan satu tahun hidup
berkualitas) yang kemudian dibandingkan dengan threshold untuk memutuskan apakah memiliki
“value for money“ (dalam hal ini diestimasi apakah cost-effective, nilai berada di bawah nilai ambang
yang ditetapkan negara atau threshold). Negara yang belum memiliki angka threshold ini
menggunakan angka GDP perkapita sebagai batas.

Ada dua macam pendekatan CEA, yaitu: (1) CEA alongside clinical trial di mana data biaya
dikumpulkan dan dianalisis bersamaan dengan fase RCT/ trial; dan (2) melalui pemodelan atau
decision analytic modeling. Pemodelan membantu analisis di tengah kerumitan fenomena dunia nyata
seperti perlunya analisis survival dan pengukuran untuk periode panjang karena intervensi
memberikan manfaat untuk jangka panjang bahkan seumur hidup. Pemodelan bisa berupa model
decision tree, Markov atau bahkan dynamic model. Suatu evaluasi ekonomi penuh yang menjelaskan
berapa biaya untuk tambahan satu hidup sehat memerlukan bantuan pemodelan. Ini dijelaskan pada
tingkatan lanjutan (advanced) untuk evaluasi ekonomi kesehatan.

B.3.4. Cost-benefit analysis (CBA)


Cost Benefit Analysis (CBA) adalah evaluasi ekonomi yang luarannya diukur dan dikonversi dalam
nilai moneter. (Rudmik and Drummond, 2013, Drummond 2015) Karena biaya dan benefit diukur
dalam unit yang sama (dalam nilai moneter) maka dapat dibandingkan secara langsung antar berbagai
intervensi, bahkan antar sektor yang tujuannya berbeda. Metode ini termasuk yang paling bermanfaat
dalam membantu proses keputusan terkait alokasi, serta mengukur investasi program kesehatan
dibandingkan dengan sektor lainnya, misal: pendidikan. Misalnya Pemerintah ingin mengalokasikan
dana antar sektor pembangunan maka tiap sektor akan diminta menganalisis nilai biaya dan manfaat
dari usulan program intervensinya. Meskipun bersifat komprehensif, secara teknis metode luaran
moneter cukup sulit (Goodacre and McCabe, 2002). Valuasi moneter dapat menggunakan berbagai
pendekatan, seperti Willingness to Pay (WTP) atau Discrete Choice Experiment (DCE).

Pada dasarnya konsep CBA adalah surplus manfaat (net benefit), yaitu manfaat yang diperoleh
dikurangi dengan surplus biaya dengan penyesuaian nilai sesuai periode investasi. Selisih tersebut
disebut Net Present Value (NPV). Dapat juga rasio benefit dibandingkan biaya (B/C Rasio). Bila
nilainya positif, maka intervensi tersebut memiliki nilai manfaat yang lebih tinggi daripada biaya atau
sumber daya yang dikorbankan. Makin tinggi nilainya, makin memiliki nilai tambah yang
mengarahkan kepada keputusan diterimanya usulan intervensi tersebut (worth spent).

Berikut formula perhitungan menggunakan Net Social Benefit.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 106

NSBi = net social benefit projek I (discounted)


Bi(t) = benefit (Rp) pada tahun t
Ci(t) = costs (Rp) pada tahun t
1/ (1+r) = discount factor pada annual interest rate r
n = lifetime proyek

Misalnya, analisis biaya dibanding manfaat suatu program intervensi kesehatan adalah 7:1, sementara
untuk program pembangunan fisik 5:1. Secara umum informasi tersebut memberikan gambaran
bahwa intervensi kesehatan memberikan nilai manfaat dibanding biaya yang lebih besar, sehingga
pemerintah memberikan perhatian lebih dengan mengalokasikan dana yang adekuat. Bentuk lain guna
memberikan interpretasi yang strategis dalam advokasi bagi para penentu kebijakan adalah dalam
bentuk ”investment case analysis”, misalnya (contoh hipotetik) 1 USD yang diinvestasikan
pemerintah untuk program imunisasi X akan menghasilkan return USD 10 USD.

Contoh studi tentang program vaksinasi influenza tahunan pada populasi dewasa di tempat kerja.
Biaya langsung dan biaya tidak langsung dianalisis dalam CBA, menghasilkan kesimpulan bahwa jika
divaksinasi maka dapat menghemat biaya rata-rata $13.66 per individu, dikarenakan tingkat
produktivitas yang bisa dijaga, absensi yang dapat dicegah karena sakit influenza beserta gaji yang
tidak hilang karena melakukan vaksinasi. (Nichol, 2001)

B.4. Konsep Dasar Biaya dan Luaran


Pada dasarnya evaluasi ekonomi menganalisis biaya dan luaran. Biaya yang diukur berupa biaya
langsung dan biaya tidak langsung. Luaran dapat berupa luaran ekonomi (economic outcome) dan
luaran kesehatan (health outcome, baik sifatnya klinis maupun non klinis).

B.4.1. Biaya dan Jenis Biaya


Biaya didefinisikan sebagai pengorbanan sumber daya dalam nilai moneter untuk mencapai tujuan
tertentu. Dalam evaluasi ekonomi kesehatan, biaya diukur dan dikalkulasi (cost determination), atau
melakukan analisis biaya (cost analysis) dan riset biaya dapat membantu analis untuk mengestimasi
total biaya dari pelayanan atau teknologi kesehatan. Perhitungan biaya dapat dilihat dari perspektif
yang berbeda, yaitu perspektif pemerintah (program), perspektif pembayar (BPJS), perspektif
masyarakat (societal) yang mencakup pasien dan pemerintah bahkan swasta/ pembayar.

Secara umum, terdapat tiga jenis biaya, yaitu biaya langsung, biaya tidak langsung dan biaya
intangible. Klasifikasi biaya dapat diilustrasikan dengan diagram berikut:

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 107

Gambar 10.2. Jenis Jenis Biaya

Biaya langsung
Dari perspektif provider seperti rumah sakit, biaya langsung adalah biaya yang digunakan untuk
menghasilkan produksi layanan kesehatan (biaya di unit produksi). Terdapat dua jenis biaya langsung,
yaitu: biaya langsung medis dan biaya langsung non-medis. Sebagai contoh biaya langsung medis
yaitu: biaya di unit rawat inap, unit rawat jalan, unit laboratorium, unit bedah (kamar operasi) dll,
yang masing-masing terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. (Pedoman PTK Indonesia, 2017)

Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi jumlah volume luaran sedangkan biaya varibel
adalah biaya yang dipengaruhi oleh volume luaran. Biaya tetap contohnya adalah biaya gedung klinik
rawat jalan atau rawat inap, sedangkan contoh biaya variabel adalah biaya obat, reagen.

Dalam sudut pandang pasien maka biaya langsung adalah terkait layanan medis yang diterima pasien,
sedangkan langsung non medis contohnya adalah biaya transportasi pasien menuju RS.

Biaya tidak langsung


Dalam perspektif perhitungan biaya di RS, biaya tidak langsung adalah biaya di unit penunjang di
rumah sakit yang harus dibebankan ke unit produksi ketika menghitung biaya RS, misalnya biaya di
unit instalasi pemeliharaan rumah sakit, biaya dapur, biaya laundry dll. Tiap unit produksi di RS
memperoleh alokasi pembebanan biaya tidak langsung ini. Sebagai contoh, biaya di unit rawat jalan
poli penyakit dalam juga memperoleh beban biaya tidak langsung. Diperlukan proses analisis biaya
yang sistematis agar dapat diperoleh besaran biaya di rumah sakit secara rinci.

Pada perspektif pasien biaya tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan sebagai akibat pasien sakit.
Misal: kehilangan produktifitas. Pasien yang di hospitalisasi atau tidak bekerja dikarenakan penyakit
tertentu berpotensi kehilangan pendapatan, hal ini akan menjadi beban biaya bagi pasien.

B.4.2. Luaran
B.4.2.1. Luaran klinis
Luaran klinis merupakan suatu kondisi yang dihasilkan dari intervensi dan manajemen klinis. Ada
beberapa luaran yang secara langsung dapat diukur, seperti terkendalinya tekanan darah, kematian.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 108

Terdapat juga luaran yang tergantung dengan pengetahuan akan sejarah penyakit nya seperti diabetic
retinopathy. Atau akibat dari suatu intervensi seperti adverse reactions. (Silva et al., 2016)

Informasi luaran klinis dapat diperoleh melalui studi uji klinis langsung (primer), systematic-review
atau meta-analysis. Luaran klinis dapat diukur melalui instrumen-instrumen khusus untuk
mewakilkan efikasi dari suatu intervensi kesehatan.

B.4.2.2. Luaran dalam non-klinis (utility-preference based)


Luaran non-klinis atau dalam bentuk utilitas yaitu mengukur kualitas hidup dari pasien dikarenakan
pengaruh dari intervensi kesehatan. Dalam evaluasi ekonomi kesehatan, utilitas disebut juga penilaian
preferensi. Pengukuran utilitas terdiri dari dua komponen utama (Tolley, 2009):
1. Definisi dan deskripsi dari kondisi kesehatan (health states).
2. Valuasi dari health states tersebut (yaitu pengukuran dari kekuatan preferensi pada kondisi
kesehatan tertentu).

Utilitas menerapakan konsep pasien preference. Utilitas merupakan ekspresi kuantitatif dari preferensi
pasien atau individu untuk mencapai suatu kondisi kesehatan (particular health state). Secara
konvensional valuasi terdiri dari angka 0-1, yang merepresentasikan kematian dan kesehatan
sempurna. Hasil dari pengukuran utilitas dapat di agregasi menjadi nilai tahun hidup sehat atau QALY.
(Torrance et al., 2002)

Beberapa metodologi tersedia untuk menghitung utilitas seperti standard gamble atau time trade off
(TTO) atau Visual Analog Scale (VAS). Instrumen yang paling umum dipakai yaitu EQ-5D, SF 36
dan Helath Utility Index, dengan dimensi pertanyaan yang spesifik dari masing-masing instrumen
(Gray et al., 2011) Terdapat dua luaran non-klinis yang paling sering digunakan yaitu: QALY (quality
adjusted life year) dan DALY (disability adjusted life year).

Quality Adjusted Life Year (QALY)


Luaran akhir pada hasil analisis evaluasi ekonomi (CUA) adalah QALY yang dihasilkan dari kualitas
hidup dan lama hidup. Asumsi dalam perhitungan ini adalah gabungan fungsi kualitas hidup (utilitas)
dikalikan lama tahun hidup yang menghasilkan jumlah tahun hidup sehat (Vergel and Sculpher, 2008).

Sebagai contoh, 1 tahun hidup dengan nilai utilitas 0.5 maka nilai QALY adalah 0.5, sehingga
disimpulkan bahwa kualitas hidup berkualitas adalah 0.5 tahun.

Disability Adjusted Life Year (DALY)


DALY merupakan perhitungan tahun hilang dari hidup sehat. Biasanya perhitungan DALY digunakan
dalam studi beban penyakit, dalam studi ekonomi menghasilkan nilai cost/ DALY averted (atau
avoided) artinya biaya untuk mencegah hilangnya tahun hidup sehat. (Murray 1994; WHO). Adapun
rumus mendapatkan nilai DALY adalah:

DALY = YLL + YLD

YLL = Years of life lost (N x L)


N = number of death
L = standard life expectancy at age of death in years

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 109

YLD = Years live with disability (I x DW x L)


I = number of incident cases
DW = disability weight
L = average duration of the case until remission or death (years)

Years of life lost pada dasarnya adalah fungsi dari perkalian jumlah kematian dikali standar harapan
hidup pada umur ketika kematian terjadi. Sedangkan untuk mengestimasi YLD terdiri dari faktor
insiden, bobot disabilitas dan prevalensi. Data yang emndukung untuk DALY biasanya tersedia dari
studi Global Burden of Disease.

Konsep DALY menjelaskan tahun hidup sehat yang hilang yang bisa diselamatkan karena suatu
intrevensi (averted) sedangkan tujuan mengukur QALY yang menjelaskan tahun hidup sehat yang
bisa diperoleh (gained).

B.4.2.3. Luaran Moneter


Luaran moneter merupakan karakteristik dari CBA. Valuasi ini memiliki tantangan terutama dalam
dunia kesehatan dan kedokteran. Jika terdapat konsekuensi klinis pada analisis maka dibutuhkan
keseimbangan antara nilai preferensi dan nilai sosial. Pendekatan yang paling sering digunakan yaitu
Willingness to Pay (WTP) dan human capital (Olsen et al, 1999; Ryan et al., 2003; Silva et al., 2016).
Pendekatan WTP yaitu berapa banyak individu memutuskan untuk mengeluarkan biaya dalam rangka
mengurangi probabilitas untuk mendapatkan luaran kesehatan yang buruk. Intangibles analisis disini
biasanya dihitung dengan desain skenario-skenario hipotetikal. Sedangkan pendekatan human capital
yaitu dengan menilai benefit dalam bentuk kesehatan yang distandarkan dengan profit yang dicapai
individu karena dalam kondisi yang disebabkan oleh intervensi kesehatan, misal: kenaikan gaji,
karena kondisi yang produktif.

C. RANGKUMAN
Evaluasi ekonomi merupakan bagian penting dalam lingkup ekonomi kesehatan. Konsep dan
metodologi dalam evaluasi ekonomi dapat membantu memberikan informasi dalam proses
pengambilan keputusan pada intervensi kesehatan, pada sumber daya yang selalu terbatas. Intervensi
yang memiliki nilai efektivitas biaya menjadi pilihan (cost-effective), baik untuk analisis paket
manfaat program JKN maupun untuk program yang didanai pemerintah seperti imunisasi, TB, malaria
dan HIVAIDS. Hasilnya juga dapat digunakan sebagai bahan advokasi seperti berapa nilai yang
diperoleh (return) pemerintah bila menginvestasikan 1 USD untuk suatu intervensi kesehatan.

Aplikasi pendekatan evaluasi ekonomi berbeda-beda sesuai dengan tujuan dari penelitian atau
pertanyaan kebijakan terkait intervensi, teknologi dan program kesehatan. Evaluasi ekonomi dapat
bersifat parsial maupun penuh (utuh), yang pada prinsipnya mencakup analisis mengenai biaya dan
luaran (outcome). Evaluasi ekonomi dapat berupa studi mengenai kerugian ekonomi (Economic Loss)
atau biaya jatuh sakit (Cost Of Illness), sampai dengan analisis efektivtas biaya (obat atau teknologi
kesehatan lain seperti alat medis, prosedur diagnostik atau intervensi program kesehatan), atau cost-
benefit analysis dari suatu intervensi kesehatan.

Bagian dalam buku ini memaparkan konsep paling dasar dari evaluasi ekonomi, terdapat metode,
referensi dan analisis lebih lanjut dari pendekatan yang dipaparkan. Bagi mereka yang tertarik untuk

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 110

mempelajari lebih lanjut dapat membaca buku rujukan dan makalah publikasi atau hasil penelitian di
bidang evaluasi ekonomi.

D. LATIHAN/TUGAS
Soal:
1. Apa yang dimaksud dengan evaluasi ekonomi di bidang kesehatan? Apa beda evaluasi ekonomi
yang bersifat parsial dan utuh?
2. Apakah manfaat melakukan analisis ekonomi?
3. Berikan contoh studi analisis biaya dengan menggunakan perspektif program, perspektif
pembayar (BPJS), perspektif pasien dan perspektif provider (rumah sakit dan puskesmas) dalam
evaluasi ekonomi parsial?
4. Apakah perbedaan antara cost-effectiveness analysis dan cost utility analysis?
5. Apa yang dimaksud dengan Quality Adjusted Life Years? Apa beda cara ukur efektivitas biaya
menggunakan QALY dibandingkan menggunakan DALY?
6. Berikan contoh dari studi bagaimana memanfaatkan nilai threshold pada studi CEA di suatu
negara!
7. Berikan contoh sederhana pemanfaatan hasil studi evaluasi ekonomi untuk paket manfaat JKN
dan evaluasi ekonomi sebagai bahan advokasi di bidang kesehatan masyarakat?
8. Apakah perbedaan biaya dari perspektif pasien dan perspektif provider? Berikan ilustrasi untuk
biaya produktivitas yang hilang dalam suatu CEA?
9. Suatu studi mengenai estimasi beban ekonomi akibat kasus TBC di Indonesia pada tahun 2016
menghasilkan kisaran 8 triliun rupiah.
a. Apa interpretasi anda mengenai informasi ini?
b. Komponen apa saja yang dihitung?
c. Bagaimana memanfaatkan informasi tersebut untuk advokasi?
10. Pemerintah ingin mengevaluasi apakah program DOTS memiliki “value for money”. Studi
apakah yang sesuai untuk menjawab pertanyaan kebijakan tersebut? Jelaskan alasannya.

E. RUJUKAN DAN BACAAN YANG DIANJURKAN


1. Avery II, G.J., Ley, S.J., Hill, J.D., Hershon, J.J. and Dick, S.E., 2001. Cardiac surgery in the
octogenarian: evaluation of risk, cost, and outcome. The Annals of thoracic surgery, 71(2),
pp.591-596.
2. Bolenz, C., Gupta, A., Hotze, T., Ho, R., Cadeddu, J.A., Roehrborn, C.G. and Lotan, Y., 2010.
Cost comparison of robotic, laparoscopic, and open radical prostatectomy for prostate
cancer. European urology, 57(3), pp.453-458.
3. Briggs, A.H. and O'Brien, B.J., 2001. The death of cost‐minimization analysis?. Health
economics, 10(2), pp.179-184.
4. Drummond, M.F., Sculpher, M.J., Claxton, K., Stoddart, G.L. and Torrance, G.W.,
2015. Methods for the economic evaluation of health care programmes. Oxford university press.
5. Elliott, R. and Payne, K., 2005. Essentials of economic evaluation in healthcare. Pharmaceutical
Press.
6. Farmer, K.C., Schwartz III, W.J., Rayburn, W.F. and Turnbull, G., 1996. A cost-minimization
analysis of intracervical prostaglandin E2 for cervical ripening in an outpatient versus inpatient
setting. Clinical therapeutics, 18(4), pp.747-756.
7. Goodacre, S. and McCabe, C., 2002. An introduction to economic evaluation. Emergency
Medicine Journal, 19(3), pp.198-201.
8. Gray, A.M., Clarke, P.M., Wolstenholme, J.L. and Wordsworth, S., 2011. Applied methods of
cost-effectiveness analysis in healthcare (Vol. 3). Oxford University Press.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


Buku Pegangan Mata Kuliah Ekonomi Kesehatan Program Ilmu Kesehatan 111

9. Kementerian Kesehatan RI. 2017.Buku Panduan Penilaian Teknologi Kesehatan. Jakarta,


Indonesia.
10. Miller P. An Introduction to Health Economic Evaluation. The NIHR RDS for the East
Midlands/Yorkshire & the Humber, 2009.
11. Morris, S., Devlin, N. and Parkin, D., 2007. Economic analysis in health care. John Wiley & Sons.
12. Murray, C.J., 1994. Quantifying the burden of disease: the technical basis for disability-adjusted
life years. Bulletin of the World health Organization, 72(3), p.429.
13. Murray, A.M., McDonald, S.E., Archbold, P. and Crealey, G.E., 2011. Cost description of
inpatient treatment for ankle fracture. Injury, 42(11), pp.1226-1229.
14. Nichol, K.L., 2001. Cost-benefit analysis of a strategy to vaccinate healthy working adults against
influenza. Archives of Internal Medicine, 161(5), pp.749-759.
15. Olsen, J.A., Smith, R.D. and Harris, A., 1999. Economic theory and the monetary valuation of
health care. Centre for Health Program Evaluation.
16. Palmer, S. and Raftery, J., 1999. Economics notes: Opportunity cost. BMJ: British Medical
Journal, 318(7197), p.1551.
17. Rascati, K., 2013. Essentials of pharmacoeconomics. Lippincott Williams & Wilkins.
18. Rudmik, L. and Drummond, M., 2013. Health economic evaluation: important principles and
methodology. The Laryngoscope, 123(6), pp.1341-1347.
19. Ryan, M., Watson, V. and Amaya-Amaya, M., 2003. Methodological issues in the monetary
valuation of benefits in healthcare. Expert review of pharmacoeconomics & outcomes
research, 3(6), pp.717-727.
20. Silva, M.T., Silva, E.N.D. and Pereira, M.G., 2016. Outcomes in health economic evaluation
studies. Epidemiologia e Serviços de Saúde, 25(3), pp.663-666.
21. Torrance, G.W., Furlong, W. and Feeny, D., 2002. Health utility estimation. Expert Review of
Pharmacoeconomics & Outcomes Research, 2(2), pp.99-108.
22. Vergel, Y.B. and Sculpher, M., 2008. Quality-adjusted life years. Practical neurology, 8(3),
pp.175-182.
23. World Health Organization. DALY.
http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/metrics_daly/en/ Diakses pada 10 Agustus
2018.
24. Tolley Keith 2009. What are health utilities
http://www.bandolier.org.uk/painres/download/What%20is%202009/What_are_health_util.pdf
Diakses pada 10 Agustus 2018.
25. Gray, A.M., Clarke, P.M., Wolstenholme, J.L. and Wordsworth, S., 2011. Applied methods of
cost-effectiveness analysis in healthcare (Vol. 3). Oxford University Press.
26. Drummond, M.F., Sculpher, M.J., Claxton, K., Stoddart, G.L. and Torrance, G.W.,
2015. Methods for the economic evaluation of health care programmes. Oxford university press.
27. Frew, E., 2010. Applied methods of cost-benefit analysis in health care (Vol. 4). Oxford
University Press.
28. Neumann, P.J., Sanders, G.D., Russell, L.B., Siegel, J.E. and Ganiats, T.G. eds., 2016. Cost-
effectiveness in health and medicine. Oxford University Press.

The Indonesian Health Economic Association (InaHEA) 2018


CENTER FOR HEALTH ECONOMICS AND POLICY STUDIES (CHEPS)
FACULTY OF PUBLIC HEALTH UNIVERSITAS INDONESIA

Secretariat office:
Faculty of Public Health Universitas Indonesia
G Building, 3rd Floor, Room 311
Depok 16424
Phone/Fax: +62 21 787 5576 | Email: info@cheps.or.id
Website: www.cheps.or.id

Anda mungkin juga menyukai