Anda di halaman 1dari 35

1

“PENGELOLAAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GAGAL NAPAS DI INSTALASI GAWAT DARURAT


(IGD)”

Untuk memenuhi salah satu syarat Analisis Keperawatan Kritis Komprehensif


Program Studi Magister Keperawatan
Konsentrasi Keperawatan Kritis

Nama Mahasiswa NPM

Abdul Aziz 220120190014


Anton Priambodo 220120190019
Fidy Randy Sada 220120190037

Dosen Pembimbing:
Yanny Trisyani, SKp., MN., PhD

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2021
2

KATE PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT. Atas pertolongan dan
ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengelolaan
Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gagal Napas di Instalasi Gawat
Darurat ”. Shalawat serta salam, penulis limpahkan kepada Rasulullah SAW,
keluarganya, sahabatnya, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah analisis
keperawatan kritis komprehensif di Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari segi
isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif
untuk perbaikan selanjutnya sangat penulis harapkan.
Penulis juga berharap atas ridha Allah terhadap apa yang sudah disusun
dalam makalah ini, hingga menjadi nilai amal ibadah di hadapan-Nya. Aamiin.

Bandung, Juni 2021

Tim Penyusun
3

DAFTAR ISI

KATE PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................4
1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................................................................4
1.3 Manfaat Penulisan.....................................................................................................................4
1.4 Metode Penulisan.......................................................................................................................4
BAB II KONSEP DAN PEMBAHASAN.................................................................................................5
BAB III ANALISIS KASUS.....................................................................................................................6
BAB IV PENUTUP....................................................................................................................................7
4.1 Kesimpulan................................................................................................................................7
4.2 Saran...........................................................................................................................................7
4

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal nafas merupakan kondisi ketidakmampuan system pernafasan untuk
memasukkan oksigen yang cukup dan membuang karbondioksida, yang
disebabkan oleh kelainan system pernafasan dan system lainnya, termasuk
gangguan system saraf. Secara numerik didefinisikan sebagai kegagalan
pernapasan bila tekanan parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50 sampai
60 mmHg atau kurang tanpa atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri
(PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian
permukaan laut saat menghirup udara ruangan (Irwin dan Wilson, 2006). Petty
dalam Wiroatmojo (2000) juga mengkriteriakan gagal nafas dengan PaO2 < 50,
tanpa atau disertai kenaikan PaCO2, dan Acute Ventilatory Failure: PaCO2 > 50
mmHg. Sedangkan Shapiro dengan Rule of Fifty mengkriteriakan gagal nafas
bila Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan Tekanan parsial CO2
arteri (PaCO2) > 50 mmHg.
Sistem pernafasan melakukan fungsi penting dalam pertukaran gas. Oksigen
(O2) diangkut melalui jalan nafas atas ke alveoli yang kemudian akan berdifusi
melalui membrane alveolo-kapiler dan memasuki pembuluh darah kapiler. Di
dalam darah, O2 akan berikatan dengan haemoglobin dan kemudian diangkut
oleh peredaran darah arterial ke jaringan. Di dalam jaringan O2 digunakan untuk
membentuk ATP (Adenine Triphospate) yang sangat penting untuk semua proses
metabolik. Produk utama metabolism seluler yaitu CO2, akan berdifusi dari
jaringan ke darah kapiler, dimana sebagian besar akan dirubah menjadi asam
karbonat dan akan diangkut ke paru melalui darah vena. Di paru, CO2 berdifusi
dari pembuluh darah paru ke alveoli dan akan dibuang ke atmosfer (ekspirasi).
Pertukaran gas yang menyesuaikan dengan kebutuhan metabolik ini sangat
penting untuk mempertahankan homeostasis (milieu interna) (Kreit dan Rogers,
1995)
Proses respirasi dilakukan dan diatur oleh struktur yang rumit. Struktur
tersebut adalah: (1) Paru yang menyediakan permukaan pertukaran gas, (2) Jalan
nafas sebagai penghantar udara keluar masuk paru, (3) Dinding dada yang
5

bertindak sebagai bellow, mendukung dan melindungi paru, (4) Otot-otot


pernafasan yang menghasilkan energi yang penting untuk pergerakan udara
keluar masuk paru, dan (5) pusat pernafasan dengan reseptor yang sensitif
beserta saraf penghubungnya, yang bertugas mengontrol dan mengatur ventilasi
(Papadakos, 2002).
Menurut Kreit dan Rogers (1995) berbagai proses patologis dapat mengenai
setiap komponen fungsional tersebut. Interaksi sistem kardiopulmoner, saraf dan
muskuloskeletal dapat terganggu oleh berbagai penyakit, pembedahan atau obat
anestesi. Gagal nafas dapat didefinisikan sebagai kegagalan kapasitas pertukaran
gas yang signifikan pada sistem pernafasan. Biasanya gagal nafas merupakan
diagnosa klinis, namun dengan adanya analisa gas darah (AGD), gagal nafas
dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran gas yang nyata dalam
bentuk kegagalan oksigenasi (hipoksemia) atau kegagalan dalam pengeluaran
CO2 (hiperkapnea, kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan kedua fungsi
tersebut. Fungsi paru yang lainnya yang bukan merupakan fungsi pernafasan
yaitu fungsi metabolik, sekresi dan imunologis

1.2 Tujuan Penulisan


Secara umum, penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman mengenai pengelolaan kasus pada pasien dengan gagal napas di
setting instalasi gawat darurat. Adapun tujuan khusus dari peulisan makalah ini
yaitu :
a. Menjelaskan konsep teoritis gagal napas atau acute respiratory failure
b. Menjelaskan pengelolaan kasus pada pasien dengan gagal napas di tatanan
Instalasi Gawat Darurat (IGD)
c. Menjelaskan analisis kasus pada pasien dengan gagal napas di tatanan
Instalasi Gawat Darurat (IGD)

1.3 Manfaat Penulisan


Melalui penulisan makalah ini, diharapkan mahasiswa program magister
keperawatan dapat meningkatkan kemampuan dalam merancang pengelolaan
kasus pada pasien gagal napas di instalasi gawat darurat (IGD)
6

1.4 Metode Penulisan


Penulisan makalah dilakukan berdasarkan hasil telaah terhadap referensi yang
diambil dari sumber elektronik maupun textbook berbahasa inggris dan bahasa
indonesia. Penelusuran artikel-artikel penelitian dilakukan melalui database :
Proquest, Ebsco-host, dan Google scholar dengan menggunakan kata kunci
“gagal napas”, “management”, dan “keperawatan”. Selanjutnya, referensi yang
telah didapat dilakukan proses telaah, analisis, dan parafrase untuk dituliskan
pada makalah.
7

BAB II KONSEP DAN PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Medis Acute Respiratory Failure (ARF) atau Gagal Napas
1. Definisi
Gagal napas/Acute Respiratory Failure (ARF) adalah perubahan
pertukaran gas pernafasan (CO2 dan O2) sedemikian rupa sehingga fungsi
sel normal terancam (Burns, 2014). ARF didefinisikan sebagai PaO2 kurang
dari 60 mm Hg dan PaCO2 lebih besar dari 50 mm Hg dengan pH kurang
dari atau sama dengan 7,30. Nilai aktual PaO2 dan PaCO2 yang
menentukan ARF bervariasi, bergantung pada berbagai faktor yang
memengaruhi nilai gas darah arteri normal (atau dasar) pasien. Faktor-faktor
seperti usia, penyakit kardiopulmoner kronis, atau gangguan metabolik
dapat mengubah nilai gas darah "normal" untuk seorang individu,
memerlukan penyesuaian dengan definisi klasik ARF; misalnya, jika kadar
PaCO2 pada pria 75 tahun dengan PPOK biasanya 56 mm Hg, ARF tidak
akan terdiagnosis sampai pH kurang dari atau sama dengan 7,30 (Burns,
2014). Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi di mana sistem
pernapasan tidak dapat mempertahankan pertukaran gas yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan metabolik (yaitu oksigenasi dengan atau tanpa
eliminasi karbon dioksida yang memadai) (Slattery, Vasques, Srivastava, &
Camporota, 2020). Selain itu, Acute Respiratory Failure (ARF) dapat
didefinsikan sebagai sindrom yang ditandai dengan ketidakmampuan sistem
pernapasan untuk mempertahankan kadar O2 dan CO2 arteri yang memadai
sesuai dengan kebutuhan metabolisme sel. ARF bisa disebabkan oleh
kegagalan alat penukar, paru-paru, organ atau pompa, atau kegagalan otot
pernafasan. ARF dapat diklasifikasikan berdasarkan elemen disfungsional
atau waktu evolusi ketika kondisi tersebut terjadi (Castillo, 2015; Romero-
Dapueto et al., 2015).

2. Anatomi Fisiologi Pernapasan


a. Anatomi
8

Secara umum anatomi saluran pernafasan terbagi menjadi dua bagian


yaitu saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian
bawah (Muttaqin, 2012).
1) Saluran Pernapasan Atas
a) Hidung
Hidung (nasal) merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai
alat pernafasan (respirasi) dan indra penciuman (pembau).
Dinding organ hidung dilapisi oleh mukosa yang berfungsi
untuk menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara
yang masuk melalui hidung.
b) Faring
Faring (tekak) adalah saluran otot selaput dengan kedudukan
yang tegak lurus antara basis krani dan vertebrae servikalis VI.
Faring merupakan saluran yang sama-sama dilalui oleh udara
dan makanan. Faring terbagi menjadi nasofaring dan orofaring.
c) Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan jalinan tulang
rawan yang dilengkapi dengan otot, membrane, jaringan ikat,
dan ligamentum. Laring sangat penting untuk mempertahankan
kepatenan jalan nafas bawah dari makanan dan minuman yang
ditelan.
2) Saluran Pernapasan Bawah
a) Trakea
Trakea atau batang tenggorokan adalah tabung berbentuk pipa
seperti huruf C yang dibentuk oleh tulang-tulang rawan yang
disempurnakan oleh selaput, terletak diantara vertebrae
servikalis VI sampai ke tepi bawah kartilago krikoidea vertebra
V. Diameter di dalam sekitar 21-27 mm, panjang 10-16 c, ada
sekitar 15-20 cincin tulang rawan berbentuk C tidak Lengkap,
yang melindung trakea dan menjaga jalan nafas.
b) Bronkus dan Bronkiolus
9

Trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri.


Bronkus kanan lebih pendek, lebar, dan lebih vertical daripada
kiri. Selanjutnya, bronkiolus membentuk percabangan
bronkiolus terminalis yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan
silia. Bronkiolus terminalis ini kemudian menjadi bronkiolus
respiratori yang di anggap menjadi saluran tradisional antara
jalan udara transisional antara jalan udara konduksi dan jalan
udara pertukaran gas.
c) Pulmo
Pulmo (paru) adalah organ utama dalam system pernafasan,
merupakan salah satu organ sistem pernafasan yang berada di
dalam kantong yang dibentuk oleh pleura parietalis dan pleura
viseralis. Kedua paru sangat lunak, elastis dan berada dalam
rongga torak. Sifatnya ringan dan terapung di dalam air.
b. Fisiologi
Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen ke dalam tubuh(inspirasi) serta mengeluarkan
udara dari dalam tubuh (ekspirasi). Proses oksigenasi tersebut terdiri
atas tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi gas, dan transportasi gas
(Muttaqin, 2012). Oksigen masuk ke saluran pernapasan melalui hidung
dan mulut, selanjutnya diedarkan melalui saluran pernapasan (faring,
trakea, dan bronkus) ke alveolus, yang merupakan pundi-pundi udara
yang dikelilingi pembuluh darah kapiler. Pembuluh darah kapiler
merupakan pembuluh darah kecil dengan dinding halus yang
mempermudah pertukaran gas. Pergantian gas dimulai ketika oksigen
yang dihrup masuk ke dinding kapiler yang dikelilingi alveolus dan
dibawa oleh sel-sel darah melalui aorta. Aorta bercabang menjadi arteri-
arteri kecil dan bahkan arterioles yang lebih kecil, pada akhinya
menjadi pembuluh darah kapiler. Dinding kapiler yang paling tipis
membiarkan terjadinya difusi oksigen ke dalam sel-sel dalam berbagai
jaringan tubuh (Vaughans, 2013).
10

Transport CO2 ke alveolus berhubungan langsung dengan


kecepatan aliran masuk udara (ventilasi) dan komposisi gas yang
dihirup (tekanan parsial O2 pada udara inspirasi;FIO2). Pada umumnya,
tekanan O2 alveolar (PAO2) meningkat dengan peningkatan tekanan
O2 inspirasi dan peningkatan ventilasi. Ekstraksi O2 dari alveolus
ditentukan oleh saturasi, kualitas dan kuantitas haemoglobin darah yang
memperfusi alveoli. Saturasi O2 pada haemoglobin dalam pembuluh
darah kapiler paru dipengaruhi oleh pasokan O2 ke jaringan ( Cardiac
output) dan ekstraksi O2 oleh jaringan (metabolism) (Muttaqin, 2012).
Sirkulasi paru dimulai dari pembuluh trunkus pulmonalis yang
menerima darah vena dari ventrikuler kanan, kemudian bercabang
secara dikotom sesuai dengan cabang-cabang saluran nafas sampai
bronkiolus terminalis dan mulai bercabang banyak seperti jaringan
meliputi dinding alveolus dengan susunan yang sangat tepat untuk
pertukaran gas (Muttaqin, 2012). Darah yang sudah teroksigenasi
disalurkan oleh vena pulmonalis yang berjalan diantara lobulus-lobulus
dan bergabung menjadi vena pulmonalis ke atrium kiri jantung. Secara
absolut jumlah darah yang beredar di dalam paru pada orang dewasa
sebanyak lebih kurang 900ml. aliran darah nutrisi untuk jaringan paru
berasal dari arteria bronkialis, kemudian darah vena kembali ke jantung
melalui dua lintasan yaitu mengikuti aliran darah pulmonalis ke jantung
kiri dan aliran vena azygos ke vena kava inferior selanjutnya ke jantung
kanan (Muttaqin, 2012).

3. Klasifikasi
Kegagalan pernafasan secara tradisional diklasifikasikan menjadi tipe I
dan tipe II. Kegagalan napas tipe I yakni kegagalan oksigenasi, secara klasik
menyebabkan hipoksemia dengan normokapnia, sedangkan kegagalan napas
tipe II yakni hipoksemia dengan kegagalan ventilasi, ditandai dengan
hipoventilasi alveolar dan hiperkapnia predominan berikutnya. Kedua tipe
tersebut bisa akut atau kronis (Slattery et al., 2020).
a. Gagal pernapasan hipoksemia (tipe I)
11

Kegagalan napas ini berasal dari efek satu atau lebih dari lima
mekanisme patofisiologis. Gagal nafas tipe I merupakan kegagalan
oksigenasi atau hypoxaemia arteri ditandai dengan tekanan parsial O 2
arteri yang rendah. Pasien dengan gagal napas tipe I biasanya
mengalami gangguan pertukaran gas dengan PaO2 rendah, kapasitas
residu fungsional rendah, dan penurunan komplians paru. Ventilasi
menit meningkat sebagai respons terhadap stimulasi reseptor paru,
asidosis metabolik, dan hipoksemia berat, yang menurunkan PaCO2.
b. Gagal Pernapasan hiperkapnia (gagal napas tipe II)
Kegagalan ventilasi atau hypercapnia ditandai dengan peningkatan
tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan
diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh karena
itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah. Tipe II dapat
didiagnosis bila kadar PCO2 dalam gas darah arteri meningkat; namun,
penting untuk disadari bahwa kedua jenis dapat hidup berdampingan
(Singh Lamba et al., 2016). Dalam kondisi normal PaCO2
dipertahankan dalam batas (4,8-5,9 kPa) karena ventilasi alveolar (Va)
tetap proporsional dengan produksi karbon dioksida (VCO2) meskipun
ventilasi menit sangat bervariasi. Jika kapasitas ventilasi terganggu,
peningkatan produksi karbon dioksida menyebabkan peningkatan
PaCO2 melalui pengurangan pembersihan, dan menyebabkan
kegagalan pernapasan. Mekanisme di balik ini diringkas di bawah ini.
4. Etiologi
Terlepas dari penyebab spesifik yang mendasari gagal napas,
patofisiologi gagal nafas dapat dibagi menjadi empat komponen utama:
gangguan ventilasi, gangguan pertukaran gas, obstruksi jalan napas, dan
kelainan ventilasi-perfusi.
a. Etiologi gangguan ventilasi: Cedera sumsum tulang belakang (C4 atau
lebih tinggi), Kerusakan saraf frenikus, Blokade neuromuskuler,
Sindrom Guillain-Barré, Depresi SSP, Overdosis obat (narkotika,
sedatif, obat-obatan terlarang), Peningkatan tekanan intracranial, Agen
anestesi, dan Kelelahan otot pernapasan.
12

b. Etiologi pertukaran gas terganggu: Edema paru, ARDS, dan Pneumonia


aspirasi
c. Etiologi obstruksi jalan nafas: Aspirasi benda asing, Tumor toraks,
Asma, Bronkitis, dan Radang paru-paru.
d. Etiologi kelainan ventilasi-perfusi: Emboli paru dan Emfisema

5. Patofisiologi
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa patofisiologi gagal napas dibagi
menjadi empat, antara lain sebagai berikut (Burns, 2014).
a. Gangguan Ventilasi
Kondisi yang mengganggu otot pernapasan atau kontrol neurologisnya
dapat mengganggu ventilasi dan menyebabkan terjadinya gagal nafas.
Gerakan otot pernafasan yang menurun atau tidak ada mungkin karena
kelelahan akibat penggunaan yang berlebihan, atrofi karena tidak
digunakan, radang saraf, kerusakan saraf (misalnya, kerusakan bedah
pada saraf vagus selama operasi jantung), depresi neurologis, keadaan
penyakit progresif seperti Guillian-Barré atau amyotrophic lateral
sclerosis (ALS), atau setelah pemberian agen penghambat
neuromuskuler. Gerakan otot pernafasan yang terganggu menurunkan
pergerakan gas ke paru-paru, mengakibatkan hipoventilasi alveolar.
Ventilasi alveolar yang tidak memadai menyebabkan retensi CO2 dan
hipoksemia
b. Pertukaran Gas yang Terganggu
Kondisi yang merusak membran alveolar-kapiler mengganggu
pertukaran gas. Kerusakan langsung pada sel-sel yang melapisi alveoli
dapat disebabkan oleh penghirupan zat beracun (gas atau isi lambung),
pneumonia, dan / atau kondisi paru lainnya yang menyebabkan dua
perubahan alveolar yang merugikan. Yang pertama adalah peningkatan
permeabilitas alveolar, meningkatkan potensi kebocoran cairan
interstitial ke dalam alveoli dan menyebabkan edema paru nonkardiak.
Perubahan alveolar kedua adalah penurunan produksi surfaktan oleh sel
13

alveolar tipe II, yang meningkatkan tegangan permukaan alveolar, yang


menyebabkan kolapsnya alveolar.
c. Obstruksi Jalan Napas
Kondisi yang menghalangi saluran udara meningkatkan resistensi aliran
udara ke paru-paru, menyebabkan hipoventilasi alveolar dan penurunan
pertukaran gas. Obstruksi jalan nafas dapat disebabkan oleh kondisi
yang: (1) menghalangi lumen jalan nafas bagian dalam (misal, sekresi
atau cairan yang berlebihan di jalan nafas, benda asing yang terhirup),
(2) meningkatkan ketebalan dinding jalan nafas (misal, edema atau
fibrosis) atau penurunan lingkar jalan napas (mis., bronkokonstriksi)
seperti yang terjadi pada asma, atau (3) peningkatan kompresi
peribronkial jalan napas (mis., pembesaran kelenjar getah bening,
edema interstisial, tumor).
d. Kelainan Ventilasi-Perfusi
Kondisi yang mengganggu ventilasi alveolar atau perfusi kapiler
menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Ini menurunkan
efisiensi proses pertukaran gas pernapasan. Dalam upaya untuk
menjaga rasio ventilasi dan perfusi seimbang, dua perubahan
kompensasi terjadi: (1) untuk menghindari ventilasi alveolar yang
terbuang ketika perfusi kapiler menurun (misalnya, dengan emboli paru
[PE]), kolaps alveolar terjadi untuk membatasi ventilasi ke alveoli
dengan perfusi kapiler yang buruk atau tidak ada; (2) untuk
menghindari perfusi kapiler alveoli yang tidak berventilasi memadai
(mis., dengan atelektasis), penyempitan arteriol (yaitu vasokonstriksi
hipoksia) terjadi dan mengalirkan darah dari alveoli yang
terhipoventilasi ke alveoli berventilasi normal. Ketika jumlah unit
alveolar-kapiler yang dipengaruhi oleh perubahan kompensasi ini
meningkat, pertukaran gas akhirnya terpengaruh secara negatif.

6. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari gagal nafas adalah sebagai berikut (Burns,
2014).
14

- Hipoksemia (Pao2 <60 mm Hg)


- Kegelisahan
- Takipnea
- Dispnea
- Takikardia
- Kebingungan
- Diaforesis
- Kecemasan
- Hypercarbia (Paco2> 50 mm Hg)
- Hipertensi
- Iritabilitas
- Somnolence (terlambat)
- Sianosis (terlambat)
- Kehilangan kesadaran (terlambat)
- Kulit pucat atau sianosis
- Penggunaan otot aksesori pernapasan
- Suara napas tidak normal (berderak, mengi)

7. Tes Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Analisis Gas Darah. Analisis gas darah arteri sangat penting dalam
diagnosis karena memastikan tingkat PaCO2, PaO2, dan pH darah.
Umumnya gagal napas akut diterima sebagai ada ketika. Pada
pasien dengan Kadar PaCO2 yang meningkat secara kronis, kriteria
ini harus diperluas untuk mencakup pH kurang dari 7,35. Modalitas
diagnostik lain dapat digunakan sesuai dengan kondisi yang
mendasari pasien, termasuk bronkoskopi untuk pengawasan jalan
napas atau pengambilan spesimen, radiografi dada, ultrasonografi
toraks, dan tomografi terkomputasi toraks (Singh Lamba et al.,
2016).
2) Pulse Oximetry. Alat ini mengukur perubahan cahaya yang
ditransmisikan melalui aliran darah arteri yang berdenyut.
3) Capnography. Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa
konsentrasi kadar karbondioksida darah secara kontinu.
Penggunaannya antara lain untuk konfirmasi intubasi trakeal,
mendeteksi malfungsi aparatus serta gangguan fungsi paru.
15

4) Pemeriksaan apus darah untuk mendeteksi anemia yang


menunjukkan terjadinya hipoksia jaringan. Adanya polisitemia
menunjukkan gagal napas kronik.
5) Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena
hasil pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-
sebab terjadinya gagal napas. Abnormalitas elektrolit seperti
kalium, magnesium dan fosfat dapat memperberat gejala gagal
napas.
6) Pemeriksaan kadar kreatinin serum daan troponin I dapat
membedakan infark miokard dengan gagal napas. Kadar kreatinin
serum yang meningkat dengan kadar troponin I yang normal
menunjukkan terjadinya miositis yang dapat menyebabkan gagal
napas.
7) Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH
serum perlu diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang
dapat menyebabkan gagal napas reversibel.
8) Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah
pengukuran kadar albumin serum, prealbumin, transferin, total
iron-binding protein, keseimbangan nitrogen, indeks kreatinin dan
jumlah limfosit total.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Radiografi Dada
Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal napas
tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoiner
kardiogenik dan nonkardiogenik
2) Ekokardiografi
Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya
dilakukan pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena
penyakit jantung. Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding
dada yang abnormal atau regurgitasi mitral berat menunjukkan
edema pulmoner kardiogenik. Ukuran jantung yang normal, fungsi
sistolik dan diastolic yang normal pada pasien dengan edema
16

pulmoner menunjukkan sindrom distress pernapasan akut.


Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri
pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan gagal napas hiperkapni
kronik.
3) Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas
kronik.
- Nilai forced expiratory volume in one second (FEV 1) dan forced
vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan
di pusat kontrol napas.
- Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan
napas, penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang
tetap menunjukkan penyakit paru restriktif.
- Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi jika nilai
FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena penyakit paru
restriktif tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L (Burns, 2014).

8. Penatalaksanaan Pasien dengan Gagal Napas


Penatalaksanaan pasien gagal nafas berkisar pada empat bidang utama:
meningkatkan oksigenasi dan ventilasi, mengobati keadaan penyakit yang
mendasari, mengurangi kecemasan, dan mencegah serta menangani
komplikasi (Burns, 2014).
a. Meningkatkan Oksigenasi dan Ventilasi
Sebagian besar penyebab gagal nafas dapat diobati, dengan kembalinya
fungsi pernapasan normal setelah kondisi patofisiologis membaik.
Dukungan fungsi pernafasan yang agresif diperlukan, sampai kondisi
yang mendasarinya membaik.
1) Berikan O2 tambahan untuk mempertahankan Pao2 lebih besar dari
60 mm Hg. Penggunaan metode non-invasif untuk pemberian O2
(nasal kanul atau face mask) lebih disukai jika kadar Pao2 yang
dapat diterima dapat dicapai.
2) Tingkatkan ventilasi dengan pemberian bronkodilator dan
modalitas manajemen jalan napas lainnya (penyedotan, pemosisian,
17

mobilisasi) sesuai indikasi. Penggunaan fisioterapi dada secara


rutin belum terbukti didukung oleh literatur dan tidak
direkomendasikan.
3) Intubasi dan mulai ventilasi mekanis jika metode non-invasif gagal
memperbaiki hipoksemia dan hiperkarbia atau jika terjadi
ketidakstabilan kardiovaskular. Modus ventilasi mekanis,
kecepatan, dan volume tidal bervariasi, bergantung pada yang
mendasarinya penyebab gagal napas dan berbagai faktor klinis.
Mode ventilasi yang menurunkan kerja pernapasan (control,
assist/control, synchronized intermittent mandatory ventilation
[SIMV] dengan minute ventilation [MV] tinggi, and pressure
support [PS]) biasanya digunakan untuk 24 jam pertama karena
otot pernapasan kelelahan biasa terjadi. Level Positive end-
expiratory pressure (PEEP) lebih dari 5 cm H2O mungkin
diperlukan jika kadar Fio2 di atas 0,5 diperlukan untuk
menghilangkan hipoksemia. Pantau dengan cermat status
kardiovaskular selama peningkatan PEEP, yang dapat menurunkan
aliran balik vena dan curah jantung. Lakukan analgesia dan sedasi
untuk kenyamanan pasien. Blokade neuromuskuler mungkin
diperlukan pada awalnya untuk mencegah disinkroni ventilator dan
untuk memaksimalkan pertukaran gas.
4) Selama suction, amati dengan cermat tanda dan gejala komplikasi:
oksigenasi (Spo2, Svo2), aritmia jantung, gangguan pernapasan
(bronkospasme, peningkatan laju pernapasan), peningkatan tekanan
darah atau tekanan intrakranial, kecemasan, nyeri, atau perubahan
status mental. Hiperoksigenasi dengan oksigen 100%
menggunakan manual resuscitation bag (MRB) yang
menghasilkan 100% O2 sebaik katup PEEP ketika tingkat
ventilator PEEP lebih dari 5 cm H2O dan / atau gunakan tombol
manual 100% Fio2 pada ventilasi. Suction hanya boleh dilakukan
jika ada indikasi klinis, dan tidak pernah dalam jadwal rutin.
Penggunaan kateter hisap in-line dianjurkan karena kateter tidak
18

mempengaruhi oksigenasi secara dramatis seperti pemutusan


sambungan lengkap dan mengurangi potensi kontaminasi dari
klinisi yang melakukan suction.
5) Sebelum pemindahan ke dalam rumah sakit, pastikan kecukupan
peralatan pendukung ventilasi untuk menjaga stabilitas
kardiopulmoner. Verifikasi bahwa PEEP pada peralatan
transportasi dipertahankan. Beberapa ventilator yang digunakan
untuk transportasi tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan
mode ventilasi yang lebih canggih (misalnya, PS, rasio I: E
terbalik, pelepasan tekanan, kontrol volume yang diatur tekanan).
Oleh karena itu, ketika beralih dari mode lanjutan ke mode yang
lebih tradisional sebelum pengangkutan, berikan waktu "stabilisasi"
singkat sebelum meninggalkan unit perawatan kritis.
b. Mengobati Keadaan Penyakit yang Mendasari
Lakukan koreksi penyebab gagal nafas secepat mungkin.
c. Mengurangi Kecemasan
Pertahankan lingkungan yang tenang dan mendukung untuk
menghindari eskalasi kecemasan yang tidak perlu. Berikan penjelasan
singkat tentang kegiatan dan pendekatan yang dilakukan untuk
meredakan gagal nafas. Kewaspadaan dan kehadiran penyedia layanan
kesehatan selama periode cemas sangat penting untuk menghindari
kepanikan pasien dan anggota keluarga yang berkunjung. Ajarkan
pernapasan diafragma untuk memperlambat laju dan meningkatkan
kedalaman pernapasan. Letakkan satu tangan di perut pasien. Anjurkan
pasien untuk menarik napas dalam-dalam, menyebabkan tangan di perut
terangkat. Selama pernafasan, minta pasien untuk merasakan tangan di
perut turun ke arah tulang belakang. Jelaskan bahwa dada harus
bergerak sedikit. Setelah satu atau dua menit, minta pasien untuk
meletakkan tangannya di perut untuk melanjutkan latihan. Jika perlu,
berikan dosis anxiolytics ringan (yaitu, lorazepam atau diazepam) yang
tidak menekan pernapasan.
d. Mencegah dan Mengelola Komplikasi
19

1) Aspirasi paru: Pastikan tabung manset endotrakeal mengembang


dengan benar setiap saat. Lihat strategi pencegahan tambahan
untuk pneumonia terkait ventilator (VAP).
2) Perdarahan gastrointestinal (GI): Lindungi mukosa lambung pada
pasien ventilator dengan menggunakan profilaksis penyakit ulkus
peptikum dan / atau pemberian selang.
3) Barotrauma: Hindari peningkatan tekanan jalan napas yang tidak
perlu (misalnya, pasien / ventilator tidak sinkron, batuk berlebihan)
dan kaji tanda dan gejala pneumotoraks, pneumomediastinum, dan
komplikasi barotrauma lainnya.
4) Volutrauma: Mencegah kerusakan alveolar akibat volume tidal
yang berlebihan.

Manajemen gagal nafas pada Covid-19


Queensland Emergency Department Strategic Advisory Panel
(QEDSAP) Statewide Intensive Care Clinical Network (SICCN) dan
Statewide Anesthesia and Perioperative Care Clinical Network
(SWAPNET) mengesahkan pedoman Australian and New Zealand Intensive
Care Society (ANZICS) tentang pengelolaan terkait COVID-19 kegagalan
pernafasan. Pengenalan dini dan rujukan pasien dengan fungsi pernapasan
yang memburuk saat menjalani terapi oksigen konvensional seperti masker
wajah sederhana atau masker dengan kantong reservoir penting untuk
memastikan peningkatan dukungan pernapasan yang tepat waktu dan aman.
Pengoptimalan awal perawatan dan keterlibatan Intensive Care Unit (ICU)
direkomendasikan. Terapi berikut dapat dipertimbangkan dalam merawat
pasien COVID-19 (Marini & Gattinoni, 2020; Small, 2020; Vashisht &
Duggal, 2020).
a. Terapi oksigen hidung aliran tinggi (HFNO) (di ICU): HFNO adalah
terapi yang direkomendasikan untuk hipoksia terkait penyakit COVID-
19, selama staf memakai APD yang ditularkan melalui udara secara
optimal. Risiko penularan melalui udara ke staf rendah dengan sistem
HFNO baru yang dipasang dengan baik saat APD yang optimal dan
tindakan pencegahan pengendalian infeksi lainnya sedang digunakan.
Ruang tekanan negatif lebih disukai untuk pasien yang menerima terapi
HFNO. Pasien dengan hiperkapnia yang memburuk, asidemia,
20

kelelahan pernafasan, ketidakstabilan hemodinamik atau mereka


dengan status mental yang berubah harus dipertimbangkan untuk
ventilasi mekanis invasif dini jika sesuai.
b. Ventilasi non-invasif: Penggunaan ventilasi non-invasif (NIV) rutin
tidak disarankan. Pengalaman saat ini menunjukkan bahwa NIV untuk
COVID-19 gagal napas hipoksia dikaitkan dengan tingkat kegagalan
yang tinggi, intubasi tertunda, dan kemungkinan peningkatan risiko
aerosolisasi dengan pemasangan masker yang buruk. Pasien yang
memburuk harus dipertimbangkan untuk intubasi endotrakeal dini dan
ventilasi mekanis invasif. Jika NIV sesuai untuk presentasi klinis
alternatif COVID-19 (misalnya COPD bersamaan, APO), ini harus
diberikan dengan menggunakan tindakan pencegahan yang sama seperti
untuk HFNO. Kamar single bertekanan negatif lebih disukai untuk
pasien yang menerima NIV. Untuk semua pasien yang menerima NIV,
tentukan rencana yang jelas untuk kegagalan pengobatan.
c. Ventilasi mekanis: Ventilasi mekanis pelindung paru-paru (MV)
direkomendasikan untuk pengelolaan gagal napas akut. Ventilasi
mekanis harus digunakan dengan menggunakan strategi volume tidal
rendah (perkiraan 4-8ml / kg berat badan) dan membatasi tekanan
plateu hingga kurang dari 30 cmH2O. Hiperkapnia permisif biasanya
dapat ditoleransi dengan baik dan dapat mengurangi volutrauma.
Tingkat PEEP yang lebih tinggi (lebih dari 15 cmH2O)
direkomendasikan. Mode ventilasi alternatif seperti APRV dapat
dipertimbangkan berdasarkan preferensi dokter dan pengalaman lokal.
Filter virus (bukan HME) harus digunakan, dan sirkuit harus
dipertahankan selama diizinkan (bukan perubahan rutin).
d. Blokade neuromuskuler (NMB): NMB dapat dipertimbangkan dalam
keadaan hipoksia atau hiperkapnia yang memburuk dan dalam situasi di
mana dorongan pernapasan pasien tidak dapat dikelola dengan sedasi
saja yang mengakibatkan disinkronisasi ventilator dan dekruitment
paru.
21

e. Posisi prone: Laporan saat ini menunjukkan ventilasi rawan efektif


dalam meningkatkan hipoksia yang terkait dengan COVID-19). Ini
harus dilakukan dalam konteks pedoman rumah sakit yang mencakup
APD yang sesuai untuk staf, dan yang meminimalkan risiko kejadian
buruk, misalnya ekstubasi tidak disengaja.
f. Manajemen cairan: Sebuah strategi manajemen cairan restriktif
direkomendasikan. Tujuannya adalah untuk mengurangi air paru
ekstravaskular. Jika memungkinkan hindari cairan intravena
'pemeliharaan', nutrisi enteral volume tinggi, dan bolus cairan untuk
hipotensi.
g. Pembebasan dari ventilasi mekanis: Protokol penyapihan standar harus
diikuti. HFNO dan / atau NIV (masker wajah yang dipasang dengan
baik dengan anggota badan inspirasi dan ekspirasi terpisah) dapat
dianggap sebagai terapi penghubung pasca ekstubasi tetapi harus
dilengkapi dengan APD udara yang ketat.
h. Trakeostomi: Ini merupakan prosedur aerosolisasi dan harus
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan klinis. APD yang
optimal harus digunakan setiap saat.
i. Pengisapan: Disarankan kateter pengisap inline tertutup. Setiap
pemutusan pasien dari ventilator harus dihindari untuk mencegah
kerusakan paru dan aerosolisasi. Jika perlu, tabung endotrakeal harus
dijepit dan ventilator dinonaktifkan (untuk mencegah aerosolisasi).
j. Nebulisasi: Penggunaan nebuliser tidak dianjurkan dan penggunaan
inhaler dosis terukur lebih disukai jika memungkinkan.
k. Bronkoskopi: Bronkoskopi diagnostik tidak dianjurkan. Hal ini tidak
diperlukan untuk mendiagnosis pneumonia virus dan harus dihindari
untuk meminimalkan risiko aerosolisasi. Sampel aspirasi trakea untuk
diagnosis COVD-19 sudah cukup dan BAL biasanya tidak diperlukan.
l. Antibiotik: Meskipun pasien diduga menderita COVID-19, antibiotik
empiris yang sesuai tetap harus diberikan dalam waktu satu jam setelah
identifikasi sepsis atau syok septik. Beberapa pasien dengan infeksi
22

COVID-19 akan datang dengan infeksi saluran pernapasan bawah


akibat bakteri sekunder.
m. Terapi Penyelamatan: Nitrit oksida dan prostasiklin yang dihirup: Tidak
ada bukti untuk penggunaan rutin oksida nitrat inhalasi, prostasiklin
atau vasodilator paru selektif lainnya pada gagal napas akut. Namun,
selama wabah penyakit menular yang muncul ketika sumber daya habis,
oksida nitrat dan prostasiklin yang dihirup dapat dianggap sebagai
ukuran temporising ketika pasien mengalami hipoksemia refrakter
meskipun rawan ventilasi, atau dengan adanya kontraindikasi terhadap
ventilasi rawan atau ECMO.
n. Manuver rekrutmen: Meskipun bukti saat ini tidak mendukung
penggunaan rutin manuver rekrutmen pada ARDS non-COVID-19, hal
itu dapat dipertimbangkan pada pasien COVID-19 berdasarkan kasus
per kasus. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa pasien
COVID-19 dapat merespons intervensi ini dengan baik dan
penerapannya mungkin sesuai jika pasien belum merespons intervensi
lain. Mereka hanya boleh disediakan oleh dokter yang berpengalaman
dalam melakukan manuver ini, menangani potensi komplikasi dan
menggunakan sistem tertutup.
o. Dukungan kehidupan ekstrakorporeal (ECLS): VV-ECMO dini tidak
disarankan. Laporan saat ini menunjukkan bahwa pasien COVID-19
merespons dengan baik strategi ventilator yang tercantum di atas.
Kriteria pemilihan pasien yang ditetapkan untuk penggunaan VV-
ECMO pada gagal napas berat harus diterapkan, dengan pemberian
ECLS di pusat ahli dengan keahlian dan pengalaman yang memadai.
Diskusikan dengan spesialis ECMO lebih awal.

9. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada kegagalan napas adalah cedera paru
akibat ventilator (VILI). Ventilasi mekanis adalah perawatan yang
menyelamatkan jiwa. Namun, seperti kebanyakan intervensi medis, ventilasi
mekanis dikaitkan dengan potensi komplikasi. Di antaranya, cedera paru
akibat ventilator (VILI) adalah 'istilah umum' yang mengidentifikasi
23

kerusakan paru fungsional dan anatomis yang dapat berkembang dengan


ventilasi mekanis. Ini berkisar dari perubahan matriks paru mikroskopis atau
derajat variabel edema paru, hingga barotrauma atruptur berat (yaitu
pneumotoraks). VILI berasal dari interaksi antara pasien dan ventilator.

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
Airway: Peningkatan sekresi pernapasan; bunyi nafas terdengar bunyi
crackles, ronkhi dan wheezing
Breathing: Distress pernapasan yakni pernapasan cuping hidung,
takipneu/bradipneu, adanya retraksi; menggunakan otot bantu
pernapasan; kesulitan bernafas: diaforesis dan sianosis
Circulation: Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia; sakit
kepala; gangguan tingkat kesadaran: ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk; papil edema; penurunan haluaran urine
Disability: Perhatikan bagaimana tingkat kesadaran klien, dengan penilain
GCS, dengan memperhatikan refleks pupil, diameter pupil.
Eksposure: Penampilan umum klien seperti apa, apakah adanya udem, pucat,
tampak lemah, adanya perlukaan atau adanya kelainan yang didapat secara
objektif.
b. Pengkajian Sekunder
1) Sistem kardiovaskuler. Tanda : Takikardia, irama ireguler, terdapat
bunyi jantung S3,S4/ Irama gallop dan murmur, Hamman’s sign
(bunyi udara beriringan dengan denyut jantung menandakan udara
di mediastinum), hipertensi atau hipotensi
2) Sistem pernafasan. Gejala: riwayat trauma dada, penyakit paru
kronis, inflamasi paru , keganasan, batuk. Tanda: takipnea,
peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot asesori, penurunan
bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi : hiperesonan di
atas area berisi udara (pneumotorak), dullnes di area berisi cairan
(hemotorak); perkusi : pergerakan dada tidak seimbang, reduksi
ekskursi thorak.
3) Sistem integumen. Sianosis, pucat, krepitasi sub kutan, gangguan
mental, cemas, gelisah, bingung, stupor.
24

4) Sistem musculoskeletal. Edema pada ektremitas atas dan bawah,


kekuatan otot dari 2- 4.
5) Sistem endokrin. Terdapat pembesaran kelenjar tiroid
6) Sistem gastrointestinal. Adanya mual atau muntah, kadang disertai
konstipasi.
7) Sistem neurologi. Sakit kepala
8) Sistem urologi. Penurunan haluaran urine
9) Sistem reproduksi. Tidak ada masalah pada reproduksi. Tidak ada
gangguan pada rahim/serviks.
10) Sistem indera. Penglihatan: penglihatan buram, diplopia, dengan
atau tanpa kebutaan tiba-tiba; Pendengaran: telinga berdengung;
Penciuman: tidak ada masalah dalam penciuman; Pengecap: tidak
ada masalah dalam pengecap; Peraba: tidak ada masalah dalam
peraba, sensasi terhadap panas/dingin tajam/tumpul baik.
11) Sistem abdomen. Biasanya kondisi disertai atau tanpa demam.
12) Nyeri/Kenyamanan. Gejala: nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat
napas dalam, dapat menjalar ke leher, bahu dan abdomen, serangan
tiba-tiba saat batuk. Tanda: Melindungi bagian nyeri, perilaku
distraksi, ekspresi meringis
13) Keamanan. Gejala: riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat
radiasi/kemoterapi
14) Penyuluhan/pembelajaran. Gejala: riwayat factor resiko keluarga
dengan tuberculosis

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hilangnya
fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi
jalan nafas.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan volume
penurunan ekspansi paru.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-
perfusi sekunder terhadap hipoventilasi.
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan
kemungkinan thrombus atau emboli.
e. Risiko infeksi saluran pernafasan atas b.d pemasangan selang ETT
f. Resiko cedera b.d penggunaan ventilasi mekanik, selang ETT, ansietas
stress.
25

3. Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hilangnya
fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi
jalan nafas.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Airway suction


keperawatan diharapkan jalan nafas 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal
efektif. suctioning
Kriteria Hasil 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan
1. Mendemonstrasikan batuk efektif sesudah suctioning.
dan suara nafas yang bersih 3. Informasikan pada klien dan keluarga
2. Tidak ada sianosis dan dyspnea tentang suctioning
3. Mampu mengeluarkan sputum 4. Minta klien nafas dalam sebelum
4. Mampu bernafas dengan mudah, suction dilakukan.
Menunjukkan jalan nafas yang paten 5. Berikan O2 dengan menggunakan
5. Irama nafas regular nasal untuk memfasilitasi suksion
6. Frekuensi pernafasan 16-20x/menit, nasotrakeal
SPO2 > 98% 6. Gunakan alat yang steril sitiap
7. Tidak ada suara nafas abnormal) melakukan tindakan
8. Mampu mengidentifikasikan dan 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan
mencegah factor yang dapat napas dalam setelah kateter
menghambat jalan nafas dikeluarkan dari nasotrakeal
8. Monitor status oksigen pasien
9. Ajarkan keluarga bagaimana cara
melakukan suksion
10. Hentikan suksion dan berikan
oksigen apabila pasien menunjukkan
bradikardi, peningkatan saturasi O2,
dll.
Airway Management
1. Buka jalan nafas, guanakan teknik
chin lift atau jaw thrust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya
suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara Kassa basah
NaCl Lembab
11. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2
26

2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan volume


penurunan ekspansi paru.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Airway Management


keperawatan diharapkan pola nafas 1. Buka jalan nafas, guanakan
efektif teknik chin lift atau jaw thrust bila
perlu
Kriteria Hasil : 2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
1. Mendemonstrasikan batuk efektif 3. Identifikasi pasien perlunya
dan suara nafas yang bersih pemasangan alat jalan nafas buatan
2. Tidak ada sianosis dan dyspnea 4. Pasang mayo bila perlu
3. Mampu bernafas dengan mudah 5. Lakukan fisioterapi dada jika
4. Menunjukkan jalan nafas yang paten perlu
(klien tidak merasa tercekik, irama 6. Keluarkan sekret dengan batuk
nafas, frekuensi pernafasan dalam atau suction
rentang normal, tidak ada suara nafas 7. Auskultasi suara nafas, catat
abnormal) adanya suara tambahan
5. Tanda Tanda vital dalam rentang 8. Lakukan suction pada mayo
normal (tekanan darah, nadi, 9. Berikan bronkodilator bila perlu
pernafasan) 10. Berikan pelembab udara Kassa
6. mudah basah NaCl Lembab
7. Tidak ada retraksi dada, pernafasan 11. Atur intake untuk cairan
cuping hidung dan pursed lips mengoptimalkan keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2

Oxygen therapy

1. Bersihkan mulut,
hidung dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas
yang paten
3. Atur peralatan
oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi
pasien
6. Onservasi adanya tanda
tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya
kecemasan pasien terhadap
oksigenasi

Vital sign Monitoring


1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
27

7. Monitor frekuensi dan irama


pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari perubahan
vital sign

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-


perfusi sekunder terhadap hipoventilasi.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan : Gangguan pertukaran gas efektif Airway Management


1. Buka jalan nafas, guanakan teknik
Kriteria Hasil : chin lift atau jaw thrust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk
1. Menunjukkan peningkatan ventilasi memaksimalkan ventilasi
dan oksigenasi yang adekuat 3. Identifikasi pasien perlunya
2. Memelihara kebersihan paru paru pemasangan alat jalan nafas buatan
dan bebas dari tanda tanda distress 4. Pasang mayo bila perlu
pernafasan 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
3. Mendemonstrasikan batuk efektif 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
4. Suara nafas yang bersih suction
5. Tidak ada sianosis 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya
6. Mampu bernafas dengan mudah suara tambahan
7. Tidak ada retraksi dada, pernafasan 8. Lakukan suction pada mayo
cuping hidung dan pursed lips 9. Berika bronkodilator bial perlu
8. Hasil pemeriksaan BGA 10. Barikan pelembab udara
menunjukkan nilai normal 11. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2

Respiratory Monitoring
1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama
dan usaha respirasi
2. Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
3. Monitor suara nafas, seperti dengkur
4. Monitor pola nafas : bradipena,
takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot diagfragma
( gerakan paradoksis )
7. Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya ventilasi
dan suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan suction dengan
28

mengauskultasi crakles dan ronkhi


pada jalan napas utama
9. Uskultasi suara paru setelah tindakan
untuk mengetahui hasilnya

Acid Base Managemen (1910)


1. Monitro IV line
2. Pertahankanjalan nafas paten
3. Monitor AGD, tingkat elektrolit
4. Monitor status hemodinamik(CVP,
MAP, PAP)
5. Monitor adanya tanda tanda gagal
nafas
6. Monitor pola respirasi
7. Lakukan terapi oksigen
8. Monitor status neurologi
9. Tingkatkan oral hygiene

4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan


menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan
kemungkinan thrombus atau emboli.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan : Gangguan perfusi jaringan Peripheral Sensation Management


berkurang atau tidak meluas selama (Manajemen sensasi perifer)
dilakukan tindakan perawatan. 1. Monitor adanya daerah tertentu yang
hanya peka terhadap
Kriteria Hasil : panas/dingin/tajam/tumpul
2. Monitor adanya paretese
1. Tekanan systole dan diastole dalam 3. Instruksikan keluarga untuk
rentang yang diharapkan mengobservasi kulit jika ada lsi atau
2. Akral hangat laserasi
3. RR 16-20x/menit 4. Gunakan sarun tangan untuk proteksi
4. SpO2 > 98% 5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan
5. Tidak ada sianosis perifer punggung
6. Monitor kemampuan BAB
7. Kolaborasi pemberian analgetik
8. Monitor adanya tromboplebitis
9. Diskusikan menganai penyebab
perubahan kondisi

5. Risiko infeksi saluran pernafasan atas b.d pemasangan selang ETT


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Infection Control (Kontrol infeksi)


keperawatan tidak terjadi infeksi. 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai
pasien lain
Kriteria hasil : 2. Pertahankan teknik isolasi
3. Batasi pengunjung bila perlu
29

1. Klien bebas dari tanda dan gejala 4. Instruksikan pada pengunjung untuk
infeksi mencuci tangan saat berkunjung dan
2. Menunjukkan kemampuan untuk setelah berkunjung meninggalkan pasien
mencegah timbulnya infeksi 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci
3. Jumlah leukosit dalam batas tangan
normal 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
4. Menunjukkan perilaku hidup tindakan kperawtan
sehat 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung
8. Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer dan line central dan
dressing sesuai dengan petunjuk umum
10. Gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung kencing
11. Tingkatkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik bila perlu

Infection Protection (proteksi terhadap


infeksi)
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan lokal
2. Monitor hitung granulosit, WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit
menular
6. Partahankan teknik aspesis pada pasien
yang beresiko
7. Pertahankan teknik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kuliat pada area
epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
10. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat
14. Instruksikan pasien untuk minum
antibiotik sesuai resep
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi
16. Ajarkan cara menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi
18. Laporkan kultur positif

6. Resiko cedera b.d penggunaan ventilasi mekanik, selang ETT, ansietas


stress.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Environment Management (Manajemen


keperawatan cidera tidak terjadi pada
30

klien. lingkungan)

Kriteria hasil : 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk


pasien
1. Klien terbebas dari cedera 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
2. Klien mampu menjelaskan cara sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi
untuk mencegah cedera kognitif pasien dan riwayat penyakit
3. Klien mampu menjelaskan factor terdahulu pasien
resiko dari lingkungan/perilaku 3. Menghindarkan lingkungan yang
personal berbahaya (misalnya memindahkan
4. Mampu memodifikasi gaya perabotan)
hidup untukmencegah injury 4. Memasang side rail tempat tidur
5. Menggunakan fasilitas kesehatan 5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman
yang ada dan bersih
6. Mampu mengenali perubahan 6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang
status kesehatan mudah dijangkau pasien.
7. Membatasi pengunjung
8. Memberikan penerangan yang cukup
9. Menganjurkan keluarga untuk menemani
pasien.
10. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
11. Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
12. Berikan penjelasan pada pasien dan
keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab
penyakit.
31

BAB III ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki, Tn. K berusia 35 tahun, pekerjaan sebagai pegawai swasta, suku Jawa,
beragama Islam, berdomisili di Karawang Timur, dirujuk ke IGD RSUD Karawang dengan
diagnosis near drowning dan mengeluh sesak napas. Sesak napas dirasa sejak 3 jam SMRS.
Sesak napas setelah pasien tenggelam di Irigasi . Pasien tenggelam kira-kira 25 menit. Ketika
dikeluarkan dari irigasi pasien batuk disertai sedikit darah dan lumpur. Pasien pingsan dan
kebiruan. Pasien segera dibawa ke puskesmas terdekat , setelah diberi oksigen pasien sempat
sadar.

Saat di lakukan pemeriksaan Primery Survei

Airway : tidak ada sumbatan jalan nafas

Breathing : frekuensi nafas 44×/menit, , inspeksi pergerakan dada simetris. Pada palpasi
didapatkan fremitus raba menurun pada kedua lapang paru. Perkusi didapatkan keredupan pada
kedua lapang paru. Auskultasi didapatkan suara bronkovesikuler pada kedua lapang paru.
Didapatkan ronki basah halus pada kedua lapang paru,

Circulation : tekanan darah 100/60 mmHg, , nadi 130×/menit, Pada pemeriksaan jantung, suara
jantung S1 dan S2 tunggal, tidak didapatkan bising jantung maupun irama galop.

Disability : Tingkat kesadaran penurunan kesadaran

Eksposure : tidak terjadap jejas-

Pemeriksaan Head to toe

Pada pemeriksaan abdomen, hepar dan lien tidak teraba, tidak didapatkan massa intra abdomen
dan nyeri tekan, serta bising usus dalam batas normal. Pemeriksaan anggota gerak tidak
didapatkan edema, tidak didapatkan jari tabuh, serta tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah
bening di ketiak maupun lipatan paha.
32

Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium darah didapatkan : Hb 16,6 g/dL, SGOT 38/μL,


Leukosit 3.300/ μL, SGPT 15/μL, PLT 409.000/μL, Albumin 3,73 g/dL. Granulosit 76,6%, BUN
7,3 mg/dL, Hct 48,1%, SK 0,86%, PTT 12,3 detik, Natrium 133 mmol/L, APTT 27,9 detik,
Kalium 3,3 mmol/L, GDA 286 mg/dL, Klorida 98 mmol/L. Pemeriksaan Analisa gas darah
(Oksigen Jackson Rees 10 lpm): pH 7,17, pCO2: 51 mmHg, pO2 80 mmHg, HCO3 16,6
mmol/L, BE - 9,9 dan SO2 92,2%.

Berdasarkan pemeriksaan foto toraks didapatkan perselubungan pada kedua lapang paru, dan
berkonsultasi pada SMF Ilmu Penyakit Jantung, didapatkan edema paru non cardiogenic yang
bisa disebabkan penyakit dasarnya (drowning), Pasien didiagnosis sementara Sesak napas.
33

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

B, R., D, G., & DX, W. (2019). High flow nasal cannula compared with conventional oxygen therapy for
acute hypoxemic respiratory failure: a systematic review and meta-analysis. Intensive Care
Med(45), 563-572.
Bakerly, N. (2019). Non-invasive ventilation in acute respiratory failure the use of. NHS, 3(6).
34

Bigatello, L. M., & Allain, R. M. (2016). Acute Respiratory Failure. 319-334. doi:10.1007/978-3-319-
19668-8_24
Burns, S. (2014). AACN: essentials of critical care nursing (Vol. 1). Virginia: MC graw hill medical.
Castillo, R. L. (2015). Acute Respiratory Failure: Pathophysiological Basis From A Multidisciplinary
Clinical Approach. The Open Respiratory Medicine Journal, 9(2), 81-82.
Davidson, C., Banham, S., Elliott, M., Kennedy, D., Gelder, C., Glossop, A., . . . Thomas, L. (2016).
British Thoracic Society/Intensive Care Society Guideline for the ventilatory management of
acute hypercapnic respiratory failure in adults. BMJ Open Respir Res, 3(1), e000133.
doi:10.1136/bmjresp-2016-000133
Frat J, Joly F, & A, T. (2019). Noninvasive ventilation versus oxygen therapy in patients with acute
respiratory failure. Curr Opin Anesthesiol, 32, 150-155.
Marini, J. J., & Gattinoni, L. (2020). Management of COVID-19 Respiratory Distress. JAMA.
doi:10.1001/jama.2020.6825
Papazian, L., Aubron, C., Brochard, L., Chiche, J. D., Combes, A., Dreyfuss, D., . . . Faure, H. (2019).
Formal guidelines: management of acute respiratory distress syndrome. Ann Intensive Care, 9(1),
69. doi:10.1186/s13613-019-0540-9
Romero-Dapueto, C., Budini, H., Cerpa, F., Caceres, D., Hidalgo, V., Gutiérrez, T., . . . Giugliano-
Jaramillo, C. (2015). Pathophysiological Basis of Acute Respiratory Failure on Non-Invasive
Mechanical Ventilation. The Open Respiratory Medicine Journal, 9(2), 97-103.
Scala, R., & Heunks, L. (2018). Highlights in acute respiratory failure. Eur Respir Rev, 27(147).
doi:10.1183/16000617.0008-2018
Scala, R., & Pisani, L. (2018). Noninvasive ventilation in acute respiratory failure: which recipe for
success? Eur Respir Rev, 27(149). doi:10.1183/16000617.0029-2018
Singh Lamba, T., Sharara, R. S., Leap, J., & Singh, A. C. (2016). Management of Respiratory Failure.
Crit Care Nurs Q, 39(2), 94-109. doi:10.1097/CNQ.0000000000000103
Slattery, M., Vasques, F., Srivastava, S., & Camporota, L. (2020). Management of acute respiratory
failure. Medicine, 48(6), 397-403. doi:10.1016/j.mpmed.2020.03.010
Small, N. (2020). Management of Respiratory Failure in the response to COVID-19. The Queensland
Emergency Department Strategic Advisory Panel (QEDSAP) Statewide Intensive Care

Clinical Network (SICCN) and Statewide Anaesthesia and Perioperative Care Clinical Network
(SWAPNET), 1(1).
Vashisht, R., & Duggal, A. (2020). Respiratory failure in patients infected with SARS-CoV-2. Cleve Clin
J Med. doi:10.3949/ccjm.87a.ccc025
35

Anda mungkin juga menyukai