Anda di halaman 1dari 57

PENGARUH PEMBERIAN INFRARED, ULTRASOUND,

MANUAL TERAPI DAN TERAPI LATIHAN TERHADAP NYERI


PADA KASUS FROZEN SHOULDER SINISTRA

Diajukan Oleh:

Deana Monica P27226020348

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI

JURUSAN FISIOTERAPI

POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA

2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Frozen shoulder dikenal juga dengan istilah capsulitis adhesiva dimana
kondisi bahu menjadi sakit dan kaku. Biasaya keluhan ini disebabkan karena
cedera yang relatif kecil pada bahu tetapi penyebab yang sering berkembang
belum jelas. Frozen shoulder juga sering dikaitkan dengan masalah kesehatan
lainnya seperti diabetes millitus.
Sendi bahu atau sendi glenohumeral adalah sendi ball and socket dengan
tiga derajat kebebasan gerak dan merupakan salah satu range of movement yang
paling besar pada semua persendian. Range of movement pada sendi bahu yaitu
gerak abduksi, adduksi, anteversi, retroversi, rotasi eksternal dan rotasi internal
(Paulsen dan Waschke, 2012). Luasnya gerak pada sendi bahu serta struktur dari
sudut bulatan caput humeri yang 180° dan sudut cekungan fossa glenoidalis
scapulae hanya 120° menyebabkan 1/3 permukaan caput humeri tidak dilingkupi
oleh fossa glenoidalis scapulae, sehingga sendi bahu menjadi tidak stabil. Karena
ketidakstabilan tersebut menyebabkan sendi bahu rentan cedera, terjadi
peradangan, serta robekan otot dan ligamen (Hamilton, Weimar dan Luttgens,
2008). Peradangan pada sendi bahu meliputi frozen shoulder, periarthritis
scapulohumeral, tendonitis pada rotator cuff dan bursitis subacromial
(Sukadarwanto, Widiarti dan Haryatno, 2012).
Secara epidemiologi onset frozen shoulder terjadi sekitar usia 40-65 tahun.
Dari 2-5% populasi sekitar 60% dari kasus frozen shoulder lebih banyak
mengenai perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan penelitian di
Amerika Serikat bahwa prevalensi rata-rata Frozen shoulder paling sering terjadi
pada usia 40 sampai 60 tahun dan lebih sering terjadi pada wanita (58,4%) dari
pada lakilaki (41,6%) (Kingston dkk., 2018). Frozen shoulder juga terjadi pada
10-20% dari penderita diabetus millitus yang merupakan salah satu faktor resiko
frozen shoulder Frozen shoulder terdiri dari beberapa diagnosa banding antara
lain: (1) tendinitis supraspinatus, (2) tendinitis bisipitalis, (3) bursitis
subakromialis, dan (4) ruptur rotator cuff (Kuntono, 2004).
Diagnosis frozen shoulder yaitu adanya gejala nyeri yang progresif yang
dapat menggangu tidur pada malam hari, keterbatasan luas gerak sendi atau range
of motion aktif dan pasif pada gerakan elevasi dan rotasi setidaknya selama 1
bulan, dan gangguan aktivitas 2 fungsional seperti gerakan fleksi, ekstensi dan
abduksi menjadi semakin terganggu karena rasa sakit atau kaku. Penurunan
kemampuan fungsional dapat menyebabkan kualitas hidup seseorang terganggu
terutama pada kemampuan aktivitas fisik. Aktivitas fisik fungsional pada sendi
bahu adalah aktivitas gerak sendi bahu dengan tujuan untuk melakukan gerakan
fungsional seseorang dalam kehidupan sehari-hari seperti keramas, menggosok
punggung saat mandi, memakai dan melepaskan kaos dalam (t-shirt), memakai
kemeja berkancing, memakai celana, mengambil benda di atas, mengangkan
beban berat, mengambil benda di saku belakang celana (Kelley dkk., 2013).
Berkaitan dengan prevalensi angka kejadian yang banyak, perlu dilakukan
stadi kasus yang lebih lanjut lagi karena kebanyakan masyarakat belum
mengetahui tentang frozen shoulder dan penanganannya. Oleh karena itu perlu
adanya sosialisasi mengenai hal tersebut dan peranan fisioterapi pada kasus frozen
shoulder. Sehingga pada saat pasien mengeluh sakit pada bagian bahu dapat
dicegah dan ditangani sedini mungkin.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah bagaimana
penatalaksaan fisioterapi pada gangguan fungsional shoulder joint akibat frozen
shoulder?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mengetahui apakah terdapat pengaruh ir, us, manual terapi dan terapi
latihan terhadap penurunan nyei pada penderita frozen shoulder
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui apakah terdapat pengaruh infrared dan ultrasound terhadap
penurunan nyeri pada kasus frozen shoulder
b. Mengetahui apakah terdapat pengaruh manual terapi dan terapi latihan
terhadap penurunan nyeri pada kasus frozen shoulder
D. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian diharapkan memberi manfaat :
1. Bagi Rumah Sakit
Makalah ini diharapkan bisa menjadi literatur terhadap rumah sakit
mengenai penatalaksanaan fisioterapi terhadap kasus frozen shoulder
2. Bagi Masyarakat
Hasil makalah ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai penatalaksanaan fisioterapi terhadap kasus frozen
shoulder
3. Bagi Peneliti
Untuk mengetahui dan menganalisis pemberiaan terapi yang baik bagi pasin
yang mempunyai diagnosis frozen shoulder.
BAB II

KAJIAN TEORI

1. Definisi Frozen Shoulder

Penyakit frozen shoulder adalah penyakit kronis dengan gejala khas berupa

nyeri bahu dan keterbatasan lingkup gerak sendi bahu yang dapat mengakibatkan

gangguan aktivitas kerja sehari-hari. Penyebabnya idiopatik yang sering dialami

oleh orang berusia 40-60 tahun dan memiliki riwayat trauma sering kali ringan.

Diagnosis frozen shoulder yaitu adanya gejala nyeri yang progresif yang
dapat menggangu tidur pada malam hari, keterbatasan luas gerak sendi atau range
of motion aktif dan pasif pada gerakan elevasi dan rotasi setidaknya selama 1
bulan, dan gangguan aktivitas fungsional seperti gerakan fleksi, ekstensi dan
abduksi menjadi semakin terganggu karena rasa sakit atau kaku (Kelley dkk.,
2013).
Pada frozen shoulder terdapat perubahan patologi pada kapsul artikularis
glenohumeral yaitu perubahan pada kapsul sendi bagian anterior superior
mengalami synovitis, kontraktur ligamen coracohumeral, dan penebalan pada
ligamen superior glenohumeral, pada kapsul sendi bagian anterior inferior
mengalami penebalan pada ligamen inferior glenohumeral dan perlengketan pada
ressesus axilaris, sedangkan pada kapsul sendi bagian posterior terjadi kontraktur,
sehingga khas pada kasus ini rotasi internal paling bebas, abduksi terbatas dan
rotasi eksternal paling terbatas atau biasa disebut pola kapsuler. (Lubis 2003).
Histologis frozen shoulder yang terjadi pada sendi glenohumeral seperti
telah dijelaskan di atas adalah kehilangan ekstensibilitas dan termasuk abnormal
cross-bridging diantara serabut collagen yang baru disintesa dengan serabut
collagen yang telah ada dan menurunkan jarak antar serabut yang akhirnya
mengakibatkan penurunan kandungan air dan asam hyaluronik secara nyata. Pada
pasca immobilisasi perlekatan jaringan fibrous menyebabkan perlekatan atau
adhesi intra artikular dalam sendi sinovial dan mengakibatkan nyeri serta
penurunan mobilitas. (Wibowo 2003) (Susanto 2007).
Reserve scapulohumeral rhytm yang terjadi pada penderita frozen shoulder
menyebabkan kompensasi skapulothorakal, kompensasi tersebut menyebabkan
overstretch karena penurunan lingkup gerak sendi skapulothoracik, hal tersebut
juga membuat sendi acromioclavicular menjadi hipermobile. Keterbatasan gerak
yang ditimbulkan oleh frozen shoulder dapat mengakibatkan hipomobile pada
facet sendi intervertebral lower cervical dan upper thoracal. (Garisson, 1995).
Pada tahap kronis frozen shoulder dapat menyebabkan antero position
head posture karena hipomobile dari struktur cervico thoracal. Hipomobile facet
lower cervical dan upper thoracal juga dapat menyebabkan kontraktur pada
ligamen supraspinosus, ligamentum nuchae dan spasme pada otot–otot
cervicothoracal, spasme tersebut bila berkelanjutan dapat menyebabkan nyeri
pada otot–otot cervicothoracal. (Lubis 2003) (Garisson 1995). Nyeri yang
ditimbulkan oleh frozen shoulder dan spasme cervico thoracal akibat frozen
shoulder dapat menyebabkan terbentuknya “vicious circle of reflexes” yang
mengakibatkan medulla spinalis membangkitkan aktifitas efferent sistem simpatis
sehingga dapat menyebabkan spasme pada pembuluh darah kapiler akan
kekurangan cairan sehingga jaringan otot dan kulit menjadi kurang nutrisi.
Pengaruh refleks sistem simpatik pada otot pada tahap awal menunjukkan adanya
peningkatan suhu, aliran darah, gangguan metabolisme energi phospat tinggi dan
pengurangan konsumsi oksigen pada tahap akhir penyakit nonspesifik dan
abnormalitas dapat terjadi. (Garisson, 1995).
Frozen shoulder memiliki tiga fase klinis yaitu painful stage, frozen stage,
thawing stage yang berkembang secara progresif, ketiga fase ini berkembang
sekitar enam bulan sampai dua tahun (Morgan dan Potthoff, 2012). Frozen
shoulder menyebabkan kapsul pada sendi bahu mengalami kontraktur dan
membentuk jaringan parut. Keluhan yang sering terjadi pada gerak dan fungsi
pada sendi bahu pada dasarnya adalah nyeri dan kekakuan yang mengakibatkan
keterbatasan luas gerak pada sendi bahu (Morgan dan Potthoff, 2012).
Pada penelitian Fernandes (2015) menyebutkan bahwa semakin menurunnya
kemampuan fungsional berupa aktivitas fisik, psikologi, sosial dan lingkungan
sangat menentukan kualitas hidup pada penderita frozen shoulder. Hal tersebut
juga didukung oleh Suprawesta dkk. (2017) mengatakan bahwa keterbatasan luas
gerak sendi dapat mengakibatkan penurunan aktivitas fungsional. Penurunan
kemampuan fungsional dapat menyebabkan kualitas hidup seseorang terganggu
terutama pada kemampuan aktivitas fisik. Aktivitas fisik fungsional pada sendi
bahu adalah aktivitas gerak sendi bahu dengan tujuan untuk melakukan gerakan
fungsional seseorang dalam kehidupan sehari-hari seperti keramas, menggosok
punggung saat mandi, memakai dan melepaskan kaos dalam (t-shirt), memakai
kemeja berkancing, memakai celana, mengambil benda di atas, mengangkan
beban berat, mengambil benda di saku belakang celana.
2. Struktur Anatomi Dan Biomekanik Sendi Bahu
a. Struktur anatomi
Shoulder joint dibentuk oleh sendi synovial, bentuk sendi bahu atau sendi
glenohumeral adalah menyerupai ball and socked, sendi ini terbentuk karena
hubungan antara caput humeri dengan cavitas glenoidalis. Sendi bahu diperkuat
oleh kartilago, kapsul sendi, ligament, tendon, otot, dan bursa (Kisner, 2017).
Ligamen berfungi sebagai stabilitasi sendi dan menjaga agar tidak terjadinya
perubahan lokasi sendi ketika bergerak. Ligamen-ligamen yang memperkuat sendi
glenohumeral antara lain : (1) Ligamen coracohumerale, (2) Ligamen
coracoacromiale, (3) Ligamen glenohumerale (superior, medial, dan inferior)
(Kisner, 2017).
Kapsul sendi pada glenohumeral joint terdiri dari dua lapis yaitu : (1) kapsul
sinovial dengan karakteristik mempunyai jaringan fibrokolagen agak lunak dan
tidak memiliki saraf reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya menghasilkan
cairan sinovial sendi dan sebagai transformator makanan ke tulang rawan sendi.
Bila ada gangguan pada sendi yang ringan saja, maka yang pertama kali
mengalami gangguan fungsi adalah kapsul sinovial, (2) kapsul fibrosa
karakteristiknya berupa jaringan fibrous keras dan memiliki saraf reseptor dan
pembuluh darah. Fungsinya memelihara posisi dan stabilitas sendi, memelihara
regenerasi kapsul sendi (Rockwood et al, 2009).

Keterangan gambar :
1. Clavicula
2. Coracoclavikcular ligament
3. Acromioclavicular joint
4. Acromion
5. Coracoacromial ligament
6. Rotator cuff
7. Coracoid process
8. Humerus
9. Subscapularis muscle
10. Scapula

Keterangan gambar :
1. Rotator cuff
2. Acromion
3. Clavicula
4. Spina scapula
5. M. Supraspinatus
6. M. Infraspinatus
7. Scapula
8. M.Teres minor
9. Humerus
b. Biomekanik sendi bahu
Adapun gerakan biomekanik yang terjadi pada sendi glenohumerale antara
lain:
1. Gerak fleksi bahu
Otot-otot penggeraknya yaitu otot deltoid anterior, pectoralis mayor, biceps,
dan coracobrachialis (Rockwood et al, 2009). Sesuai dengan standar International
Standard Orthopaedic Measurement (ISOM) sendi bahu pada orang normal dapat
digerakkan fleksi hingga 180º (Russe, 1975).
2. Gerak ekstensi bahu
Otot-otot penggeraknya yaitu otot latisimus dorsi, pectoralis mayor, teres
mayor, dan deltoid posterior (Rockwood et al, 2009). Sesuai dengan standar
ISOM sendi bahu pada orang normal dapat digerakkan ekstensi hingga 45º
(Russe, 1975).
3. Gerak adduksi
Otot-otot penggeraknya yaitu m. pectoralis mayor, m. subscapularis,
coracobracialis, triceps caput longum, latisimus dorsi, teres mayor, dan deltoid
anterior (Rockwood et al, 2009). Sesuai dengan standar ISOM sendi bahu pada
orang normal dapat digerakkan adduksi hingga 45º (Russe, 1975).
4. Gerak abduksi
Otot-otot penggeraknya yaitu m. deltoid lateral dan m. supraspinatus
(Rockwood et al, 2009). Sesuai dengan ISOM sendi bahu pada orang normal
dapat digerakkan abduksi hingga 180º (Russe, 1975).
5. Gerak internal rotasi
Otot-otot penggeraknya yaitu otot latisimus dorsi, teres mayor, subscapularis,
dan deltoid anterior (Rockwood et al, 2009). Sesuai dengan standar ISOM sendi
bahu pada orang normal dapat digerakkan endorotasi 90° pada posisi lengan
disamping tubuh dan 90° pada posisi lengan abduksi 90° (Russe, 1975).
6. Gerak eksternal rotasi
Otot-otot penggeraknya yaitu otot teres mayor dan deltoid posterior
(Rockwood et al, 2009). Sesuai dengan standar ISOM sendi bahu pada orang
normal dapat digerakkan eksorotasi 60° pada posisi lengan disamping tubuh dan
90° pada posisi lengan abduksi 90° (Russe, 1975).
Gerakan arthrokinematika terjadi pada permukaan sendi meliputi rolling dan
glidding. Arah rolling searah dengan gerakan fisiologis tulang. Sedangkan arah
gliding dipengaruhi oleh bentuk permukaan sendi. Caput humeri sendi
glenohumeral permukaannya cembung sedang cavitas glenoidalis memiliki
permukaan cekung sehigga arah glidding akan berlawanan dengan arah gerakan
tulang. Gerakan rolling dan gliding pada sendi bahu meliputi : (1) Gerakan
endorotasi caput humeri rolling ke anterior sedikit medial dan gliding ke
posterior sedikit lateral, (2) Gerakan abduksi caput humeri rolling ke caudal dan
gliding ke caudal, (3) Gerakan eksorotasi caput humeri rolling ke posterior
sedikit lateral dan gliding ke anterior sedikit medial (Syatibi, 2002).
3. Etiologi
Penyebab dari frozen shoulder belum diketahui pasti. Adapun faktor
predisposisi yaitu immobilisasi yang lama, akibat trauma, over use, cidera atau
operasi pada sendi. Walaupun banyak peneliti sependapat bahwa immobilisasi
merupakan faktor penting dari penyebab frozen shoulder sendi glenohumeraL.
Faktor predisposisi frozen shoulder anatara lain :
a. Usia dan jenis kelamin
Kebanyakan kasus terjadi pada pasien dengan usia 40-60 tahun dan biasanya
wanita lebih banyak dari pada pria.
b. DM ( Diabetes Melitus )
Pasien dengan riwayat diabtes melitus memiliki risiko lebih besar mengalami
keterbatasan dalam sendi, tidak hanya dibahu namun pada sendi lainnya.
Penggunaan insulin juga memperbesar resiko kekakuan sendi.
c. Trauma
Sendi bahu Pasien yang mengalami cidera atau menjalani operasi pada bahu
dan disertai immobilisasi sendi bahu dalam waktu lama akan beresiko tinggi
mengalami frozen shoulder.
d. Aktivitas

Beberapa kegiatan umum termasuk latihan beban, olahraga aerobic, menari,


golf, renang, pemain raket ( badminton, tenis ) dll. Semua kegiatan ini dapat
menuntun kerja yang luar biasa pada otot dan jaringan ikat pada sendi bahu
4. Patofisiologi
Perubahan patologi yang merupakan respon terhadap rusaknya jaringan lokal
berupa inflamasi pada membrane sinovial, penyebabkan perlengketan pada kapsul
sendi dan terjadi peningkatan vicositas cairan sinovial sendi glenohumeral dan
selanjutnya kapsul sendi glenohumeral menyempit. Frozen shoulder atau sering
juga disebut Capsulitis adhesive umumnya akan melewati proses yang terdiri dari
beberapa fase yaitu:
Tahapan klinis frozen shoulder dikelompokkan menjadi 4 tahapan sebagai
berikut :
a. Fase nyeri atau painful

Berlangsung antara 0-3 bulan. Pasien mengalami nyeri spontan yang


seringkali parah dan mengganggu tidur. Pasien takut menggerakkan bahunya
sehingga menambah kekakuan. Pada akhir fase ini, volume kapsul glenohumeral
secara signifikan berkurang (Kisner, 2017).

b. Fase kaku atau freezing


Berlangsung antara 4-12 bulan. Fase ini ditandai dengan hyperplasia sinovial
disertai proliferasi fibroblastik pada kapsul sendi glenohumeralis. Rasa sakit
seringkali diikuti dengan fase kaku (Kisner, 2017).

c. Fase beku atau frozen

Berlangsung antara 9-15 bulan. Di fase ini patofisiologi sinovial mulai


mereda/membaik tetapi adesi terjadi dalam kapsul diikuti penurunan volume intra-
articular dan kapsul sendi. Pasien mengalami keterbatasan lingkup gerak sendi
dalam pola kapsuler yaitu rotasi eksternal paling terbatas, diikuti dengan abduksi
dan rotasi internal (Kisner, 2017).

d. Fase mencair atau thawing

Fase ini berlangsung antara 15-24 bulan. Fase akhir ini digambarkan sebagai
mencair ditandai dengan kembalinya ROM secara berangsur-angsur

Patofisiologi frozen shoulder masih belum jelas, tetapi beberapa penulis


menyatakan bahwa dasar terjadinya kelainan adalah imobilisasi yang lama. Setiap
nyeri yang timbul pada bahu dapat merupakan awal kekakuan sendi bahu.
Penemuan makroskopik dari patofisiologi dari frozen shoulder adalah fibrosis
yang padat dari ligament dan kapsul glenohumeral. Secara histologik ditemukan
prolifrasi aktif fibroblast dan fibroblas tersebut berubah menjadi miofibroblas
sehingga menyebabkan matriks yang padat dari kolagen yang berantakan yang
menyebabkan kontraktur kapsular. Berkurangnya cairan synovial pada sendi bahu
juga berkontribusi terhadap terjadinya frozen shoulder. Pendapat lain mengatakan
inflamasi pada sendi menyebabkan thrombine dan fibrinogen membentuk protein
yang disebut fibrin. Protein tersebut menyebabkan penjedalan dalam darah dan
membentuk suatu substansi yang melekat pada sendi. Perlekatan pada sekitar
sendi inilah yang menyebabkan perlekatan satu sama lain sehingga menghambat
full ROM. Kapsulitis adhesiva pada bahu inilah yang disebut frozen shoulder.
5. Problem Fisioterapi
A. Impairment
Permasalahan yang terjadi pada kasus frozen shoulder sinistra yaitu: (1)
adanya nyeri tekan dan nyeri gerak pada bahu sebelah kiri diukur menggunakan
VAS, (2) adanya spasme pada otot uper trapezius, pectoralis mayor, deltoid
anterior, (3) adanya keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS) bahu sebelah kiri
eksorotasi > endorotasi > abduksi bahu diukur menggunakan goneometer, (4)
penurunan kekuatan otot alat ukur meggunakan MMT.
B. Functional Limitation
Gangguan aktivitas fungsional yang dialami seperti, mengambil benda di atas,
kesulitan menggosok punggung, kesulitan memakai dan melepas bra dan
pekerjaan rumah tangga lainnya, alat ukur menggunakan SPADI.
C. Disability
Kesulitan untuk ikut kegiatan-kegiatan masyarakat seperti pkk, posyandu dll.

6. Pelaksanaan Fisiotrapi
Adapun teknologi fisioterapi pada kasus ini yaitu: (1) ultra sound, (2) terapi
manipulasi, (3) terapi latihan berupa latihan free active dan ressisted active.
a. Ultrasound
Pelaksanaannya posisi pasien supine lying, posisi terapis disamping pasien.
Sebelum terapi terapis memberikan penjelasan kepada pasien bahwa efek dari
modalisas ultra sound ini adalah hangat bukan panas. Sebelum terapi terlebih
dahulu berikan gel pada area yang akan diterapi atur waktu, dan intensitas. Waktu
terapi 3 menit, dan intensitas 1.1 MHz. Tranduser harus kontak langsung dengan
kulit kemudian klik star dan tranduser digerakkan sirkuler atau memutar sesuai
dengan jarum jam. Apabila pasien merasakan terlalu panas intensitas dapat
diturunkan. Dan setelah terapi alat dimatikan, dirapikan, dan dikembalikan ke
tempat semula.
b. TENS
Pelaksanaannya posisi pasien supine lying, terapis disamping pasien.
Sebelum terapis memberikan penjelasan kenapa pasien bahwa efek dari modalitas
ini untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pad diletakkan paada
anterior dan p posterior glenohumeral joint bahu kiri pasien, nyalakan alat dengan
mengatur waktu 10 menit dan intensitas sesuai toleransi pasien, setelah selesai
matikan alat rapikan kembali
c. Terapi manipulasi
1) Mobilisasi scapula
2) Glide ke arah posterolateral
Pelaksanaannya posisi pasien berbaring dengan posisi lengan di tepi bed,
terapis disamping pasien, sendi glenohumeral dalam posisi rileks. Tangan terapis
berada di ujung lateral clavicula kemudian terapis melakukan gliding ke arah
posterolateral. Dipertahankan selama 6 detik dan diulangi 3 kali. Ini bertujuan
untuk menambah gerakan endorotasi bahu untuk ligament anterior
3) Glide ke arah anteromedial
Pelaksanaan posisi pasien tidur tengkurap dengan posisi lengan di tepi
bed, terapis disamping pasien, sendi glenohumeral dalam keadaan rileks. Tangan
terapis berada di ujung lateral clavicula kemudian terapis melakukan gliding ke
arah anteromedial. Dipertahankan selama 6 detik dan diulangi 3 kali. Ini bertujuan
untuk menambah gerakkan eksorotasi bahu untuk ligament posterior.
4) Gliding kea rah caudal
Pelaksanaan posisi pasien tidur tengkurap dengan posisi lengan di tepi
bed, terapis disamping pasien, sendi glenohumeral dalam keadaan rileks.
Pegangan terapis pada bahu proximal humerus kemudian terapis memberi
dorongan kearah caudal dan diulangi 3 kali. Ini bertujuan untuk menambah
gerakkan abduksi bahu untuk ligament inferior
d. Terapi latihan
1) aktif exercise
Pelaksanaannya posisi pasien berdiri atau duduk, terapis disamping pasien,
terapis meminta pasien untuk menggerakkan lengan secara aktif ke arah fleksi,
ekstensi, abduksi, adduksi, eksorotasi dan endorotasi semampu pasien.
Pengulangan 5 kali.
2) Force Pasif exercise
Pelaksanaannya posisi pasien berdiri atau duduk, terapis disamping pasien,
terapis meminta pasien untuk menggerakkan lengan secara pasif oleh terapis dan
diberi sedikit dorongan ke arah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, eksorotasi dan
endorotasi. Pengulangan 5 kali.
3) Pendulum exercise
Penderita agak membungkuk lengan yang sehat memegang tepi tempat
tidur dan lengan yang sakit bergantung, lalu badan digerakkan berputaa lambat
dan tambah kecepatan gerakan secara perlahan.
BAB III
LAPORAN STATUS KLINIS
I. Identitas Pasien
Nama : Ibu Jarima
Umur : 66 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : islam
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Alamat : Simpang Rumbio, Kota Solok
II. Segi Fisioterapi
1. Deskripsi pasien dan keluhan utama
Sejak satu tahun yang lalu pasien merasa nyeri pada bahu kirinya dan
sejak 2 bulan terakhir pasien datang berobat ke RS M. Natsir Kota Solok. Pasien
kesulitan untuk menggerakkan lengan kirinya karena merasa nyeri pada bahu
kirinya. Nyeri dirasakan pertama kali ketika pasien melakukan pekerjaan dapur,
mengambil barang dilemari gantung dan ketika mandi pasien kesulitan untuk
mengangkat gayung yang berisi air dengan lengan kirinya selain itu nyeri juga
bertambah saat pasien melakukan kegiatan seperti menyisir rambut, memakai bra
dan membawa barang ataupun tas dengan tangan krirnya.
III. Pemeriksaan fisioterapi
1. Pemeriksaan tanda vital (umum)
- Tekanan darah : 130/90 mmHg
- Denyut nadi : 90 kali/menit
- Pernapasan : 25 kali/menit
- Kesadaran : composmentis
2. Inspeksi atau observasi
Inspeksi statis : bahu kanan dan kiri tampak asimetris dengan bahu kiri tampak
lebih rendah, tidak tampak oedema pada kiri, tampak atrofi pada otot deltoideus
kiri
Inspeksi dinamis : pasien tampak kesulitaan dan kesakitan ketika diminta untuk
membuka baju dan jilbabnya sebelum diterapi, ketika berjalan lengan kiri pasien
tidak begitu bergerak, dan ketika memakai jilbab daan baju nya pasien juga
tampak kesulitan.
3. Palpasi
- Suhu bahu kanan dan kiri sama
- Spasme otot upper trapezius dan rhomboid kiri
- Nyeri tekan pada caput glenohumeral kiri
4. Joint test
Gerak aktif kanan: pasien mampu menggerakan fleksi shoulder, abduksi shoulder,
eksorotasi dan endorotasi shoulder tidak terdapat nyeri dan full ROM.
Gerak aktif kiri: pasien mampu menggerakan fleksi shoulder, abduksi shoulde,
eksorotasi dan endorotasi shoulder tetapi terdapat nyeri dan keterbatasan
Gerak pasif kanan : terapis menggerakkan fleksi shoulder, abduksi shoulde,
eksorotasi dan endorotasi shoulder tidak terdapat nyeri, full ROM dan elastic end
feel.
Gerak pasif kiri : terapis menggerakkan fleksi shoulder, abduksi shoulde,
eksorotasi dan endorotasi shoulder tetapi terdapat nyeri, keterbatasan gerak dan
firm end feel.
Isometric fisiologis kanan: pasien mampu melakukan isometrik bduksi shoulder,
eksorotasi dan endorotasi shoukder tidak terdapat nyeri dan tahanan maksimal.
Isometric fisiologis kiri: pasien mampu melakukan isometrik bduksi shoulder,
eksorotasi dan endorotasi shoukder tapi terdapat nyeri dan tahanan minimal.
5. Muscle test dan antropometri
- Muscle test
Gerakkan Kanan Kiri
Fleksor shoulder 4 3
Ekstensor shoulder 4 4
Abductor shoulder 4 3
Adductor shoulder 4 3
Internal rotasi 5 3
Eksternal rotasi 5 3
6. Kemampuan fungsional
- skala nyeri : 0 tidak nyeri 10 sangat nyeri atau nyeri tak tertahankan
1. Saat kondisi paling buruk (paling nyeri)? 6
2. Saat kondisi berbaring pada sisi lesi? 6
3. Saat meraih sesuata pada tempat yang tinggi? 8
4. Saat menyentuh bagian belakang leher? 7
5. Saat mendorong dengan lengan sisi nyeri? 8
Skor nyeri 35
Jumah skor nyeri: 35/50 X 100 = 70 %
- Skala disabilitas: 0 tidak ada kesulitan 10 sangat sulit harus dibantu orang
lain
6. Saat mencuci rambut (keramas)? 7
7. Saat mandi membersihkan punggung ? 7
8. Saat memakai kaos dalam atau melepas sweater? 7
9. Saat memakai baju dengan kancing di depan? 0
10. Saat memakai celana? 3
11. Saat menaruh benda ditempat yang tinggi? 8
12. Saat membawa benda dengan berat 5 kg atau 4
lebih?
13. Saat mengambil sesuatu disaku belakang? 7
Skor 43
Jumlah skor disabilitas: 43/80X100 = 53,75%
IV. Algoritma

V. Kode dan keterangan ICF


1. Body functions
- B260 propioceptive function
- B7350 tone of isolated muscle and mucle
- B7401 endurance of uscle group
- B760 control of voluntary movement function
2. Activities and participation
- D5400 putting on clothes
- D5401 taking off clothes
- D510 washing oneself
- D6409 doing housework, unspecified
3. Environmental factors
- E570 personal care providers and personal assistance
- E575 general social support services, systems and policies
4. Body structure
- S7200 bones of shoulder egion
- S7201 joints of shoulder region
- S7202 muscle of shoulder region
VI. Diagnosa Fisioterapi
1. Impairment
- Adanya nyeri tekan dan gerak pada bahu kiri
- Adnya spasme otot deltoideus dan rhomboid
- Adanya atrofi otot deltoid
- Adanya penurunan kekuatan otot
- Asimetris bahu kanan dan kiri
- Adanya penurunan lingkup gerak sendi bahu kiri
2. Functional limitation
- Kesulitan mengambil benda-benda yang diletakkan ditempat yang tinggi
- Kesulitan untuk keramas, membersihkan punggung dan membewa benda
dengan tangan kiri
- Kesulitan melakukan pekerjaan rumah
3. Disability
Semenjak bahu kiri pasien sakit, pasien sudah tidak pernah ikut kegiatan-kegiatan
disekitar tempat tinggalnya lagi.
VII. Progam fisioterapi
1. Tujuan jangka panjang
Memelihara kapasitas fisik agar dapat kembali bekerja dan meningkatkan
kemampuan fungsional lainnya semaksimal mungkin.
2. Tujuan jangka pendek
- Mengurangi nyeri gerak dan tekan pada bahu kiri
- Meningkatkan lingkup gerak sendi bahu kiri
- Meningkatkan kekuatan otot bahu kiri
- Memberikan edukasi mengenai aktivitas sehari-hari yang baik dan bena
3. Teknologi intervensi fisioterapi
- Ultrasound
- TENS
- Terapi manipulasi
- Terapi latihan
4. Rencana evaluasi
- Nyeri dengan VAS
- LGS dengan goniometer
- Kekuatan otot dengan MMT
- Kemampuan fungsional dengan spadi
VIII. Prognosis
Setelah periode gejala membaik, bahu akan mulai membaik meskipun pemulihan
penuh bisa memakan waktu sampai dengan 3 tahun. Terapi fisik dengan focus
pada fleksibilitas bahu adalah rekomendasi perawatan utama untuk kasus frozen
shoulder.
IX. Pelaksanaan terapi
Adapun teknologi fisioterapi pada kasus ini yaitu: (1) ultra sound, (2) terapi
manipulasi, (3) terapi latihan berupa latihan free active dan ressisted active.
a. Ultrasound
Pelaksanaannya posisi pasien supine lying, posisi terapis disamping pasien.
Sebelum terapi terapis memberikan penjelasan kepada pasien bahwa efek dari
modalisas ultra sound ini adalah hangat bukan panas. Sebelum terapi terlebih
dahulu berikan gel pada area yang akan diterapi atur waktu, dan intensitas. Waktu
terapi 3 menit, dan intensitas 1.1 MHz. Tranduser harus kontak langsung dengan
kulit kemudian klik star dan tranduser digerakkan sirkuler atau memutar sesuai
dengan jarum jam. Apabila pasien merasakan terlalu panas intensitas dapat
diturunkan. Dan setelah terapi alat dimatikan, dirapikan, dan dikembalikan ke
tempat semula.
b. TENS
Pelaksanaannya posisi pasien supine lying, terapis disamping pasien.
Sebelum terapis memberikan penjelasan kenapa pasien bahwa efek dari modalitas
ini untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pad diletakkan paada
anterior dan p posterior glenohumeral joint bahu kiri pasien, nyalakan alat dengan
mengatur waktu 10 menit dan intensitas sesuai toleransi pasien, setelah selesai
matikan alat rapikan kembali
c. Terapi manipulasi
1) Mobilisasi scapula
2) Glide ke arah posterolateral
Pelaksanaannya posisi pasien berbaring dengan posisi lengan di tepi bed,
terapis disamping pasien, sendi glenohumeral dalam posisi rileks. Tangan terapis
berada di ujung lateral clavicula kemudian terapis melakukan gliding ke arah
posterolateral. Dipertahankan selama 6 detik dan diulangi 3 kali. Ini bertujuan
untuk menambah gerakan endorotasi bahu untuk ligament anterior
3) Glide ke arah anteromedial
Pelaksanaan posisi pasien tidur tengkurap dengan posisi lengan di tepi
bed, terapis disamping pasien, sendi glenohumeral dalam keadaan rileks. Tangan
terapis berada di ujung lateral clavicula kemudian terapis melakukan gliding ke
arah anteromedial. Dipertahankan selama 6 detik dan diulangi 3 kali. Ini bertujuan
untuk menambah gerakkan eksorotasi bahu untuk ligament posterior.
4) Gliding kea rah caudal
Pelaksanaan posisi pasien tidur tengkurap dengan posisi lengan di tepi
bed, terapis disamping pasien, sendi glenohumeral dalam keadaan rileks.
Pegangan terapis pada bahu proximal humerus kemudian terapis memberi
dorongan kearah caudal dan diulangi 3 kali. Ini bertujuan untuk menambah
gerakkan abduksi bahu untuk ligament inferior
d. Terapi latihan
1) aktif exercise
Pelaksanaannya posisi pasien berdiri atau duduk, terapis disamping pasien,
terapis meminta pasien untuk menggerakkan lengan secara aktif ke arah fleksi,
ekstensi, abduksi, adduksi, eksorotasi dan endorotasi semampu pasien.
Pengulangan 5 kali.
2) Force Pasif exercise
Pelaksanaannya posisi pasien berdiri atau duduk, terapis disamping pasien,
terapis meminta pasien untuk menggerakkan lengan secara pasif oleh terapis dan
diberi sedikit dorongan ke arah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, eksorotasi dan
endorotasi. Pengulangan 5 kali.
3) Pendulum exercise
Penderita agak membungkuk lengan yang sehat memegang tepi tempat
tidur dan lengan yang sakit bergantung, lalu badan digerakkan berputaa lambat
dan tambah kecepatan gerakan secara perlahan.
X. Evaluasi dan tindak lanjut
1. Nyeri tekan : T1 (5,3) T2 (3,8) T3 (2,3)
2. Nyeri gerak : T1 (6,7) T2 (5,8) T3 (4,1)
3. Kekuatan otot sinistra
Otot T1 T2 T3
Fleksor 3 3 3
Ekstensor 4 4 5
Adductor 4 4 4
Abductor 4 4 4
Internal rotasi 3 3 3
Eksternal rotasi 3 3 3

4. Lingkup gerak sendi shouldr sinistra


Gerakkan T1 T2 T3
Fleksi 80˚ 82˚ 88˚

Ekstensi 20˚ 20˚ 20˚

Adduksi 70 ˚ 74 ˚ 74 ˚

Abduksi 30 ˚ 30 ˚ 36 ˚

Endorotsi 30 ˚ 30 ˚ 32 ˚

Eksorotasi 30 ˚ 30 ˚ 30 ˚

5. Kemampuan fungsional
- skala nyeri : 0 tidak nyeri 10 sangat nyeri atau nyeri tak tertahankan
T1 T2 T3
Saat kondisi paling buruk (paling nyeri)? 6 6 4
Saat kondisi berbaring pada sisi lesi? 6 5 3
Saat meraih sesuata pada tempat yang tinggi? 8 8 6
Saat menyentuh bagian belakang leher? 7 6 6
Saat mendorong dengan lengan sisi nyeri? 8 8 8
Skor nyeri 35 33 27
Jumah skor nyeri:
T1 35/50 X 100 = 70 %
T2 33/50X100 = 66%
T3 27/50X100 = 54
- Skala disabilitas: 0 tidak ada kesulitan 10 sangat sulit harus dibantu orang
lain
T1 T2 T3
Saat mencuci rambut (keramas)? 7 7 5
Saat mandi membersihkan punggung ? 7 7 7
Saat memakai kaos dalam atau melepas sweater? 7 5 3
Saat memakai baju dengan kancing di depan? 0 0 0
Saat memakai celana? 3 2 0
Saat menaruh benda ditempat yang tinggi? 8 7 5
Saat membawa benda dengan berat 5 kg atau 4 4 4
lebih?
Saat mengambil sesuatu disaku belakang? 7 5 3
Skor 43 37 27

Jumah skor nyeri:


T1 35/80 X 100 = 43,75 %
T2 37/80X100 = 46,25%
T3 27/80X100 = 33,75%
6. Hasil terapi akhir
Seorang pasien bernama NY. Jarima umur 66 tahun dengan keondisi frozen
shoulder sinistra mendapat penanganan fisioterapi sebanyak 3 kali dengan
pemberian modalitas fisioterapi yaitu ultrasound, TENS, terapi manual dan terapi
latihan belum terdapat peningkatan pada kekuatan otot dan LGS tetapi terdapat
peningkatan kemampuan fungsional dan penurunan nyeri tekan dan gerak pada
bahu kiri pasien.
PENGARUH PEMBERIAN INFRARED, ULTRASOUND DAN TERAPI
LATIHAN TERHADAPPENURUNAN NYERI DAN PENINGKATAN
LINGKUP GERAK SENDI (LGS) PADA FRAKTUR FEMUR 1/3 MEDIAL
SINISTRA

Diajukan Oleh:

Deana Monica P27226020348

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI

JURUSAN FISIOTERAPI

POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA

2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia angka kejadian fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas meningkat, kecelakaan lalu-lintas dengan kecepatan
tinggi sering menyebabkan trauma. Pada umumnya dampak yang ditimbulkan
pada penyakit fraktur adalah terjadinya kerusakan neuromuskuler akibat
kerusakan jaringan atau terputusnya tulang, adanya perubahan tandatanda vital
dan gangguan pergerakan lainnya, tindakan darurat secara cepat dan tepat pada
fraktur adalah melakukan imobilisasi di daerah yang fraktur. (Komunikasi, Dan,
Kerja, & Bott, 2014).
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan yang pontensial di
Indonesia seiring makin giatnya pembangunan akhir-akhir ini. Menurut Badan
Kesehatan Dunia (WHO) dalam dua tahun terakhir ini, kecelakaan lalu lintas di
Indonesia dinilai menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung
koroner dan tuberculosis/TBC. Global Status Report on Road Safety 2013
menempatkan Indonesia sebagai negara urutan kelima tertinggi angka kecelakaan
lalu lintas di dunia. (Kaur et al. 2015).
Hasil survey tim Depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur mengalami
kematian, 45% mengalami cacat fisik, 15% mengalami stress psikologis karena
cemas bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik
(Komunikasi, Dan, Kerja, & Bott, 2014). Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah (46,2%)
(Depkes RI, 2009). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Eldawati (2011) di RSUP Fatmawati Jakarta yang menyatakan bahwa jenis fraktur
yang banyak terjadi yaitu fraktur ekstremitas bawah, seperti fraktur femur, fraktur
tibia, dan fraktur fibula. (Winda et al. 2014).
Peran fisioterapi memberikan layanan kepada individu atau kelompok
individu untuk memperbaiki, mengembangkan, dan memelihara gerak dan
kemampuan fungsi yang maksimal selama perjalanan kehidupan individu atau
kelompok tersebut. Layanan fisioterapi diberikan dimana individu atau kelompok
individu mengalami gangguan gerak dan fungsi pada proses pertambahan usia dan
atau mengalami gangguan akibat dari trauma atau sakit. Gerak dan fungsi yang
sehat dan maksimal adalah inti dari hidup sehat. (Nasir 2009).
Peran fisioterapi dalam kasus fracture femur dengan pemasangan plate and
screw sangat penting. Setelah dilakukan operasi biasanya permasalahan fisioterapi
akan muncul. Permasalahan pada pasca operasi antara lain adalah oedema atau
bengkak, nyeri, penurunan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot serta
penurunan aktivitas fungsional, khususnya berjalan. Dari permasalahan tersebut,
peran fisioterapi sangat diperlukan. Apabila fisioterapi dapat menangani
permasalahan tersebut dengan cepat dan tepat, maka dapat menurunkan derajat
permasalahan yang ada, bahkan fisioterapi dapat menyembuhkannya sehingga
pasien dapat melakukan aktivitas seperti semula. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, modalitas yang digunakan oleh fisioterapi dalam upaya pemulihan dan
pengembalian kemampuan fungsional pada pasien fraktur adalah terapi latihan.
Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi
yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan gerak aktif maupun pasif.
Modalitas terapi latihan yang diberikan berupa static contraction yang dapat
membantu mengurangi oedema, sehingga nyeri akan berkurang. Active movement
dan pasive movement diharapkan dapat membantu meningkatkan nilai kekuatan
otot dan meningkatkan lingkup gerak sendi. Selain itu, fisioterapi juga harus
memberikan latihan transfer ambulasi untuk mengembalikan aktivitas fungsional
jalan. (Dean Anggraini 2009).
Salah satu intervensi fisioterapi dalam mengatasi permasalahan post operasi
fraktur yaitu pemberian terapi latihan. Salah satu intervensi nya adalah hold relax
dan contrac relax. Menurut penelitian Yulianto Wahyono 2005, bahwa latihan
hold relax maupun latihan penguluran pasif otot kuadrisep berpengaruh terhadap
penurunan nyeri dan peningkatan LGS fleksi lutut, latihan hold relax berpengaruh
lebih baik daripada latihan penguluran pasif otot kuadrisep terhadap penurunan
nyeri dan peningkatan LGS fleksi lutut.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah bagaimana pengaruh
infrared, ultrasound, passive force dan hold relax terhadap peningkatan lingkup
gerak sendi pada kasus fraktur 1/3 medial femur
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum

Mengetahui apakah terdapat pengaruh ir, us, dan terapi latihan terhadap
penurunan nyeri dan peningkatan LGS pada kasus post fraktur 1/3 medial femur.
2. Tujuan khusus
c. Mengetahui apakah terdapat pengaruh infrared dan ultrasound terhadap
penurunan nyeri dan peningkata LGS pada kasus post fraktur 1/3
medial femur.
d. Mengetahui apakah terdapat terapi latihan terhadap penurunan nyeri
dan peningkatan LGS pada kasus post fraktur 1/3 medial femur.
D. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian diharapkan memberi manfaat :
1. Bagi Rumah Sakit
Makalah ini diharapkan bisa menjadi literatur terhadap rumah sakit
mengenai penatalaksanaan fisioterapi terhadap kasus post fraktur 1/3
medial femur.
2. Bagi Masyarakat
Hasil makalah ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai penatalaksanaan fisioterapi terhadap kasus post
fraktur 1/3 medial femur.
3. Bagi Fisioterapi
Untuk mengetahui dan menganalisis pemberiaan terapi yang baik bagi
pasien post fraktur 1/3 medial femur.

BAB II
KAJIAN TEORI
1. Definisi Fraktur
Fraktur merupakan keadaan dimana terjadi perpatahan sebagian atau
keseluruhan pada struktur tulang yang disebabkan oleh trauma, tekanan yang
berulang pada tulang, atau kelemahan dari tulang sendiri. Jika kulit di atasnya
masih utuh dan tidak mengalami perobekan disebut fraktur tertutup (sederhana)
sedangkan apabila kulit sudah robek atau tertembus patahan dari tulang dan
cenderung resiko tinggi untuk mengalami kontaminasi dan infeksi disebut fraktur
terbuka (compound). (Kurniasari, 2010).
Menurut (Asrizal, 2014), jenis fraktur berdasarkan bentuk atau pola
patahannya, diantaranya;
a. fraktur transversal
Fraktur transversal adalah jenis patah tulang yang tergolong dalam fraktur
total atau lengkap. Tipe fraktur ini terjadi ketika patahan tulang berbentuk
melintang atau garis horizontal. Kondisi ini umumnya disebabkan oleh tekanan
atau benturan yang kuat dan langsung tegak lurus ke arah tulang.
b. fraktur oblik
Oblique fracture atau fraktur oblik adalah jenis patah tulang yang memiliki
pola patahan miring atau diagonal. Kondisi ini biasanya terjadi karena ada tekanan
atau pukulan dari sudut tertentu, yaitu atas atau bawah.
c. fraktur spiral
Fraktur spiral juga merupakan bagian dari jenis patah tulang lengkap atau
total. Tipe fraktur ini terjadi ketika tulang yang patah telah terpelintir atau
berputar dari titiknya.
d. fraktur kominutif
Jenis fraktur kominutif juga merupakan bagian dari patah tulang lengkap atau
total. Pada fraktur kominutif, tulang pecah menjadi tiga bagian atau lebih dan
tidak lagi sejajar. Umumnya, fraktur ini terjadi di area tulang kecil yang rentan
patah, seperti di tangan atau kaki, akibat kecelakaan mobil atau kejadian serius
lainnya.
e. fraktur linear atau longitudinal
Bentuk fraktur ini sejajar dengan panjang tulang, baik di sepanjang atau
hampir sepanjang tulang tersebut. Tipe ini juga merupakan macam patah tulang
total atau lengkap.
f. fraktur greenstick
Fraktur greenstick tergolong ke dalam tipe patah tulang parsial atau tidak
lengkap. Kondisi ini terjadi ketika tulang yang patah atau retak hanya di satu sisi,
sedangkan sisi lainnya tidak sehingga tulang dapat menekuk atau bengkok. jenis
fraktur greenstick paling sering terjadi pada anak-anak karena tulangnya belum
berkembang dengan sempurna.
g. fraktur torus atau buckle
Fraktur bruckle atau torus juga tergolong ke dalam jenis patah tulang tidak
lengkap atau parsial dan umumnya terjadi pada anak-anak karena terjatuh.
Kondisi ini terjadi ketika tulang yang patah hanya terjadi di satu sisi, tetapi
patahan tersebut tidak sampai terlepas. Ujung-ujung patahan tersebut saling
mendorong atau menekan satu sama lain sehingga retakan atau patahan tulang
tampak menonjol.
h. fraktur stress atau hairline fracture
Fraktur stres atau disebut juga dengan hairline (garis rambut) umumnya
dialami oleh atlet atau seseorang yang melakukan gerakan berulang sehingga terus
menerus menekan tulang. Biasanya, jenis patah tulang ini terjadi di kaki atau
tungkai kaki. Sesuai namanya, tipe fraktur stres berbentuk seperti garis rambut
atau hanya terdapat retakan kecil di tulang.
i. fraktur kompresi
Fraktur kompresi adalah salah satu macam-macam patah tulang yang sering
terjadi di tulang belakang dan umumnya terjadi pada lansia dengan penyakit
osteoporosis. Jenis fraktur kompresi terjadi ketika tulang menjadi hancur atau
remuk akibat tekanan, tetapi masih tampak rata.

j. fraktur segmental

Fraktur segmental terjadi ketika tulang yang sama mengalami patah di dua
tempat. Kondisi ini menyebabkan ada bagian tulang yang tampak mengambang.
k. Fraktur avulsi
Jenis fraktur avulsi terjadi ketika fragmen tulang, yaitu tendon atau ligamen,
terlepas dari tulang. Fragmen tulang yang terlepas itu biasanya menarik atau
mengambil bagian dari tulang. Fraktur avulsi ini umumnya disebabkan oleh
adanya gaya tarikan yang kuat pada tulang dan biasanya terjadi pada sendi lutut
dan bahu.
l. fraktur patologis
Berbeda dengan jenis-jenis patah tulang di atas, fraktur patologis umumnya
terjadi karena kondisi medis atau penyakit tertentu yang melemahkan tulang,
seperti osteoporosis. Seseorang dengan osteoporosis memiliki tulang yang rapuh
dan lemah, sehingga lebih mudah patah daripada tulang yang sehat.
Femur atau tulang paha adalah tulang terberat, terpanjang, dan terkuat yang
terdapat di tubuh kita. Femur di tutupi oleh lapisan otot-otot yang tebal oleh
karena itu butuh kekuatan tekanan yang besar pada femur untuk menyebabkan
fraktur. Fraktur femur dapat dibagi menjadi 3 menurut letak fraktur, yaitu: fraktur
femur 1/3 proksimal, fraktur femur 1/3 Medial dan fraktur femur 1/3 distal.
(Kandou et al., 2016). Pada beberapa kasus sering sekali terjadi fraktur pada
tulang femur. Meskipun tertutup oleh serabut otot yang tebal, tulang femur cukup
rawan mengalami patah tulang. Hal ini didukung dari banyaknya angka kejadian
dan bentuk dari tulang femur yang panjang sehingga resiko terjadinya patah
tulang cukup tinggi.
2. Open Reduction Internal Fixation (ORIF)
Penanganan medis yang diberikan untuk menangani fraktur femur ini dapat
dilakukan metode konservatif atau non operatif dan metode operatif. Metode
konservatif atau non operatif adalah penanganan fraktur berupa reduksi atau
reposisi tertutup. Sedangkan metode operatif adalah penanganan fraktur dengan
reduksi terbuka yaitu membuka daerah yang mengalami fraktur dan memasangkan
fiksasi internal maupun eksternal. Pada kasus ini dilakukan penanganan secara
operatif yaitu dengan pemasangan Open Reduction and Internal Fixation (ORIF)
berupa plate and screw. ORIF adalah intervensi bedah dengan cara terbuka atau
mungkin tertutup dengan memberikan stabilisasi internal untuk fiksasi di dalam
tulang Internal fiksasi yang digunakan mengacu pada fiksasi plate and screw
untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Brunner, 2003).
Beberapa tipe fiksasi dan pendekatan bedah yang paling umum digunakan
berdasarkan jenis fraktur, yaitu:
- In situ fiksasi atau pemasangan pin pada area fraktur. Dapat dilakukan
apabila usia pasien dibawah 65 tahun.
- Fiksasi extramedullary dengan sliding (kompresi) hip screw dan lateral
side plate untuk stabilisasi fraktur intertrochanter
- Pemasangan static interlocking intramedullary nail atau pemasangan
sliding hip screw dengan kombinasi intramedullary nail untuk fraktur
subtrochanter.

Gambar 2.1 pasca fraktur intertrochanter


Sumber: therapeutic exercise 5th edition

Gambar 2.2 Reduksi dan Fiksasi Internal Fraktur Komplit dari Neck Femoral
Sumber: Therapeutic Exercise 5th Edition
3. Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri
akan muncul ketika terjadi proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa
pemeriksaan diagnostik, pembedahan dan pengobatan. Mekanisme terjadi nyeri
disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik
nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui spinalis, batang otak,
talamus, dan korteks cerebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka
sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi
yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah
satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan
meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau noksious ringan yang mengenai
bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu akan
mencegah adanya kontak atau gerakan pada bagian yang cidera tersebut sampai
perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi kerusakan jaringan lebih
lanjut. (Rsup, Kandou, & Rottie, 2013)
Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu
manajemen farmakologi dan manajemen nonfarmakologi. Manajemen
farmakologi merupakan kolaborasi antara dokter dengan perawat dengan
pemberian obat yang mampu menghilangkan sensasi nyeri, sedangkan manajemen
nonfarmakologi merupakan manajemen untuk menghilangkan nyeri dengan
menggunakan teknik manajemen nyeri meliputi, stimulus dan massage kutaneus,
terapi es dan panas (pemberian kompres dingin atau panas) serta stimulus saraf
elektrikal. (Mediarti & Seprianti, 2015)
4. Lingkup Gerak Sendi (LGS)
Lingkup gerak sendi adalah kemampuan gerak persendian tubuh untuk
dapat melakukan kegiatan sehari-hari. Gerak sendi merupakan suatu mekanisme
hubungan tulang yang digerakkan oleh otot ataupun gaya eksternal lain dalam
lingkup geraknya. Ketika sendi bergerak dalam lingkup tertentu maka semua
struktur yang berada di sekitar persendian akan ikut bergerak diantaranya otot,
permukaan sendi, kapsul sendi, ligamen, fascia, pembuluh darah dan saraf.
Lingkup gerak sendi (LGS) merupakan dasar untuk mengidentifikasi fisiologis
dari suatu hubungan tulang yang dapat bergerak dan hasilnya dapat digunakan
sebagai dasar indikatif pemberian intervensi terapeutik tertentu. Untuk
mempertahankan kemampuan LGS, setiap sendi harus memiliki lingkup gerak.
(Trisnowiyanto, 2016)
5. Anatomi Fisiologi Tulang Femur
a. Femur
Terdapat tulang femur pada kedua tungkai. Komponen pada tulang femur
diawali dari bagian proximal adalah caput femur, pada bagian lateral terdapat
trochanter major dan minor, kemudian di sepanjang tulang femur terdapat linea
aspera, dan pada bagian distal terdiri dari epicondylus lateral, epicondylus medial
serta fossa patella (tempat melekeat tulang patella). Pada beberapa kasus sering
sekali terjadi fraktur pada tulang femur. Hal ini disebabkan karena bentuk dari
tulang femur yang panjang sehingga resiko terjadinya patah tulang cukup tinggi.

Gambar 2.4 tulang femur


Keterangan :
1. Fovea capitis femoris
2.Trochanter major
3. Caput femoris
4. Collum femoris
5. Linea intertrochanterica
6. Trochanter minor
7. Epicondylus lateralis
8. Condylus lateralis
9. Facies patellaris
10. Condylus medialis
11. Epicondylus medialis
12. Crista intertrochanterica
13. Linea pectinea
14. Tuberositas glutea
15. Linea aspera (labium med & lat)
16. Facies medialis
17. Facies poplitea
18. Tuberculum adductorium
19. Linea intercondylaris
20. Fossa intercondylaris

b. Otot-otot ekstremitas bawah


Gambar 2.4 anatomi tungkai atas (sisi anterior)
Sumber atlas berwarna tiga bahasa anatomi manusia

Gambar 2.5 anatomi tungkao atas (sisi posterior)


Sumber atlas berwarna tiga bahasa anatomi manusia
Gambar 2.5 anatomi tungkao atas (sisi lateral)
Sumber atlas berwarna tiga bahasa anatomi manusia

1. Gerakan fleksi hip , otot penggerak


- M. iliacus
Origo : Superior 2/3 dari fossa iliaca crest, anterior crest, anterior
sacroiliaca, dan iliolumbal ligament, ala of sacrum.
Insetio : tendon dari psoas major, dan body of femur
- M. Psoas mayor
Origo : sides of vertebral bodies dan conesponding intervertebralis disc of
T12-L5 dan procesus transversus dari L1-L5.
Insertio : trochanter minor femoris.
- Sartoris
Origo :spina iliaca superior (SIAS)
Insertio : facis medialis tibiae
2. Ekstensi hip, otot penggerak:
- Gluteus maksimus
Origo : sides of vertebral bodies dan conesponding intervertebralis disc of
T12-L5 dan procesus transversus dari L1-L5.
Insertio : iliotibial tract, gluteal tuberositas femur
- M. semitendinous
Origo : ishial tuberositas
Insersio : Proksimal aspect of medial surface tibia
- M. semimembranosus
Origo : ischial tuberositas
Insersio : Medial condilus tibia
- M. bicep femoris
Origo : Ischial tuberositas, lateral tip of linea aspec femur dan lateral
intermuscular septum
Insersio : Lateral aspect of head fibula
3. Abduksi hip, otot penggerak:
- M. Gluteus medius
Origo : outer surfae ilium antara dan posterior dan anterior gluteal lines
Insersio : Greater trohanter femur
- M. gluteus minimus
Origo : outer surface ilium antara anterior dan posterior gluteal lines
Insersio : greater trohanter femur
- M. tensor facia latae
Origo : anterior superior iliac spine, anterior aspect of auterlip ofiliac crest
Insertio: illiotibial tractus aproximately 1/3 dwon the tight
4. Adduksi hip, otot penggerak:
- M. adductor magnus
Origo : inferior rami of pubis dan ischium ischial tuerosity
Insertio:a line fro great trochanter to linea aspera femur,linea aspera
adductor tubercole ,medil supra condilare line of femur
- M. Adductor longus
Origo : Anterior aspec of pubis
Insersio : Linea aspera along middle 1/3 femur
- M. gracialis
Origo : Body and ramus of pubis
Insersio : proksimal aspecct of medial surface tibia
5. Eksorotasi hip, otot penggerak:
- M. piriformis
Origo : anterior suface sacrum, sacrotuberous ligament
Insersio : Freater trohanter femur
- M. Quadrratus femoris
Origo : ischial tubrosity
Insersio : quadrate tuberosity femur
- M. Obturator internus :
Origo : Obturatory membran dan forament, inner surface of pelvis, inferior
rami of pubis dan ischium
Insersio : greater trohanter femur
- M. Obturator Eksternus :
Origo : rami of pubis dan ischium, outer surface of obturatory membran
Insersio : Greater trohanter femur
6. Endorotasi, otot penggeraknya:
- M. Tensor facia latae
Origo : anterior superior iliac spine, anterior aspect of auterlip ofiliac crest
Insertio: illiotibial tractus aproximately 1/3 dwon the tight
- M. Gluteaus minimus
Origo : outer surface ilium antara anterior dan posterior gluteal lines
Insersio : greater trohanter femur
- M. Gluteus medius
Origo : posterior os ilium
Insertio: tuberositas glutealis femoris
6. Proses Penyembuhan Tulang
1. Fase hematoma
Pembuluh darah di sekitar fraktur akan mengalami kerobekan sehingga dapat
terbentuk hematoma (kumpulan darah). Hematoma banyak mengandung
fibroblast yang membentuk serat kolagen, kemudian sel-sel endotel akan
membentuk kapiler darah. Pada daerah fraktur yang tidak mendapat suplai darah
akan mati sepanjang satu sampai dua milimeter. Fase ini dapat berlangsung
selama 1-3 hari.
2. Fase proliferasi seluler
Fase dimana jaringan seluler yang berisi cartilago keluar dari ujung-ujung
fragmen, terjadi pembentukan granulasi yang banyak mengandung pembuluh
darah. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan yang akan menghubungkan antar
fragmen fraktur. Hematoma akan membeku dan diabsorbsi secara perlahan,
kapiler juga akan berkembang pada daerah fraktur. Fase ini terjadi antara 3 hari
sampai 2 minggu.
3. Fase klasifikasi
Fase kalsifikasi terjadi setelah jaringan granulasi matang. Sel yang
berkembang berpotensi menjadi chondrogenic dan osteogenic, kemudian sel itu
akan membentuk tulang, cartilago dan osteoclast. Masa tulang menjadi lebih tebal
dengan adanya tulang cartilago dan osteoclast yang disebut dengan callus yang
terbentuk di permukaan periosteum dan endosteum. Tulang yang dirangkai
(woven bone) muncul pada callus. Pembentukan callus biasanya terjadi dalam
waktu 2-6 minggu.
4. Fase konsolidasi
Callus yang belum masak akan membentuk callus utama yang secara bertahap
akan berubah dengan adanya aktifitas osteoblast yang menjadi tulang yang lebih
kuat dan masa strukturalnya berlapis (lamellar bone). Fase ini terjadi selama 3
minggu sampai 6 bulan.
5. Fase remodeling
Pada fase ini tulang yang patah telah dihubungkan kembali dengan tulang
yang padat yang akan direabsorbsi, lamela yang semakin tebal, dinding-dinding
yang tidak dikehendaki akan dibuang, dibentuk rongga sumsum, sehingga
memperoleh bentuk tulang seperti normal.
7. Biomekanik Ekstremitas Bawah
a. Hip Joint
Pada sendi Hip, terdapat 3 pasang gerakan yang terjadi. Gerakan tersebut
adalah fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi, dan eksternal rotasi-internal rotasi. Pada
bidang sagital, gerakan fleksi terjadi hingga 120˚ dan gerakan ekstensi terbatas
sekitar 15˚ . Pada bidang frontal, terjadi gerakan abduksi sekitar 45˚ dan gerakan
adduksi biasanya dianggap kembali pada posisi anatomi dengan tambahan luas
gerak hingga 25˚ . Pada bidang transversal, terjadi gerakan internal dan eksternal
rotasi dengan luas gerak hingga 45˚ dari posisi anatomi.

b. Knee Joint
Sendi lutut merupakan sendi terbesar dalam tubuh dan diklasifikasikan
sebagai synovial hinge joint. Gerakan yang terjadi pada knee joint hanya pada
bidang sagital yaitu fleksi-ekstensi. Luas gerak pada fleksi knee sekitar 120˚ -135˚
dan pada gerakan ekstensi tidak terjadi gerakan. Terbatas pada posisi anatomi atau
0˚ .

8. Etiologi
a. Fraktur akibat trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan,
yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh
dengan posisi miring, pemuntiran atau penarikan. Bila terkena secara langsung,
tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga akan rusak.
Pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit. Penghancuran kemungkinan menyebabkan fraktur
komunitif yang disertai kerusakan jaringan lunak yang meluas. Bila terkena secara
tidak langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat
yang terkena kekuatan tersebut dan kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur
mugkin tidak ada. Kekuatan dapat berupa:
- Pemuntiran (rotasi) : menyebabkan fraktur spiral
- Penekukan (trauma angulasi atau langsung ) : menyebabkan fraktur
melintang
- Penekukan dan penekanan : menyebabkan fraktur sebagian melintang
tetapi disertai fragmen kupu-kupu yang berbentuk segitiga yang terpisah
- Kombinasi dari pemutiran, penekukan dan penekanan : menyebabkan
fraktur obliq pendek
- Penarikan : dimana tendon atau ligament benar-benar menarik tulang
sampai terpisah
b. Fraktur patologis
Fraktur patologis disebabkan oleh proses penyakit seprti osteoporosis,
osteosarkoma, osteomielitis sehingga struktur tulang menjadi keropos, lemah, dan
mudah patah. (Kumboro, 2014).
9. Patofisiologi
Fraktur pada tulang biasanya disebabkan oleh adanya gaya dalam tubuh,
yaitu stress, gangguan fisik, ganguan metabolik maupun patologis. Kebanyakan
fracture femur terjadi pada seseorang yang jatuh dari ketinggian atau pengendara
bermotor yang mengalami kecelakaan. (Noor, 2012)
Pada fraktur, kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan,
maka volume darah menurun. COP menurun menyebabkan terjadinya perubahan
perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi
edem lokal maka terjadi penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau
tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan ganggguan rasa
nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler yang
menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Fraktur terbuka
dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi yang
terkontaminasi udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan
kerusakan integritas kulit. Pada umumnya pasien dengan fraktur terbuka maupun
tertutup akan dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan
fragmen yang telah dihubungkan pada tempatnya sampai sembuh. (Sylvia, 2006).
10. Problem Fisioterapi
a. Impairment
Permasalahan yang terjadi pada kasus fraktur 1/3 medial femur yaitu: (1)
adanya nyeri tekan pada area sekitar incisi dan nyeri gerak pada tungkai kiri.
Nyeri diukur menggunakan VAS, (2) adanya spasme pada grup otot quadricep
hamstring serta kaku pada lutut, (3) adanya keterbatasan lingkup gerak sendi
(LGS) pada tungkai kiri. LGS diukur menggunakan goneometer, (4) penurunan
kekuatan otot alat ukur meggunakan MMT.
b. Fungsional limatasi
Gangguan aktivitas fungsional yang dialami seperti, gangguan berjalan,
toileting dan dressing, alat ukur menggunakan index barthel.
c. Disability
Kesulitan untuk ikut kegiatan-kegiatan masyarakat seperti ronda, gotong
royong dll.
11. Penatalaksanaan Fisioterapi
Adapun teknologi fisioterapi pada kasus ini yaitu: (1) ir (2) us, (3) force
passive, (4) hold relax
1. Ultrasound
Pelaksanaannya posisi pasien supine lying, posisi terapis disamping
pasien. Sebelum terapi terapis memberikan penjelasan kepada pasien bahwa efek
dari modalisas ultra sound ini adalah hangat bukan panas. Sebelum terapi terlebih
dahulu berikan gel pada area yang akan diterapi atur waktu, dan intensitas. Waktu
terapi 3 menit, dan intensitas 1.1 MHz. Tranduser harus kontak langsung dengan
kulit kemudian klik star dan tranduser digerakkan sirkuler atau memutar sesuai
dengan jarum jam. Apabila pasien merasakan terlalu panas intensitas dapat
diturunkan. Dan setelah terapi alat dimatikan, dirapikan, dan dikembalikan ke
tempat semula.
2. Static contraction
Pasien dalam posisi tidur terlentang terapis disamping pasien. Lalu terapis
memberikan penjelasan mengenai efek dari latihan yang diberikan kepada pasien
yaitu untuk melancarkan aliran darah pada area tungkai kiri serta dapat
mengurangi oedema. Terapis melatakan gulungan selimut dibagian belakang lutu
lalu minta pasien untuk menekan gulungan selimut tersebut tahan selama 5 deting
lalu ulangi sebanyak 5 kali.
3. Force passive
Pasien dalam posisi tidur terlentang terapis disamping pasien. Terapis
menjelaskan efek dari latihan yang digunakan untuk menambah lingkup gerak
sendi tungkai kiri. Terapis menggerakan tungkai kiri pasien lalu beri sedikit
dorongan sebatas nyeri pasien. Dilakukan sebanyak 5 kali
4. Hold relax
adalah suatu tehnik yang menggunakan kontraksi isometris yang optimal
dari kelompok otot antagonis yang memendek, dilanjutkan dengan rileksasi otot
tersebut (prinsip reciproke inhibition). Tujuan dari terapi ini adalah perbaikan
rileksasi pola antagonis, perbaikan mobilisasi, penurunan nyeri dan peningkatan
LGS. Terapis memberi dorongan kea rah fleksi knee lalu minta pasien menahan
dorongan tersebut. Ulangi sebanyak 5 kali.

BAB III
STATUS KLINIS
XI. Identitas Pasien
Nama : Tn. Yohmadinata
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : islam
Pekerjaan : pedagang
Alamat : Simpang Rumbio, Kota Solok
XII. Segi Fisioterapi
2. Deskripsi pasien dan keluhan utama
Nyeri pada kaki kiri dan keterbatasan gerak menekuk lutut kiri.
Pada tahun 2019 lalu pasien terjatuh didepan rumahnya ketika membersihkan
halaman rumahnya. Lalu pasien berobat ke sangkal putung dan dipijat disana,
setelah beberapa hari kaki kiri pasien semakin membengkak dan nyeri. Pasien
berobat ke rumah sakit dan disarankan untuk langsung operasi tapi setelah
melakukan pemeriksaan secara keseluruhan ditemukan kadar hormone tyroid
pasien yang melebihi batas normal. Pasien diminta untuk minum obat tyroid
terlebih dahulu sampai tyroid pasien kembali normal. Setelah satu tahun menjalani
pegobatan tyriod akhirnya pada bulan September 2020 pasien malukan operasi
dengan pemasangan plate and screw pada femur kiri.
3. Data medis pasien
Rontoge, pemeriksaan lab tyroid
XIII. Pemeriksaan fisioterapi
7. Pemeriksaan tanda vital (umum)
- Tekanan darah : 120/85 mmHg
- Denyut nadi : 80 kali/menit
- Pernapasan : 20 kali/menit
- Kesadaran : composmentis
8. Inspeksi atau observasi
Inspeksi statis : tampak oedema pada tungkai kiri, tampak bekas incise pada
tungkai atas kiri,
Inspeksi dinamis : berjalan menggunakan alat bantu berupa kruk, kesulitan saat
berdiri ke duduk, kesulitan dan nyeri saat berbarik ke duduk, kesulitan saat duduk
ke jalan, masih belum bisa menumpu dengan kaki kiri.
9. Palpasi
- Suhu anggotagerak bawah kanandan kiri sama
- Spasme grup otot hamstring dan gastrok kiri
- Nyeri tekan area incisi
10. Joint test
- Gerak aktif dekstra : semua gerakan dapat dilakukan dengan full ROM
tanpa adanya nyeri dan koordinasi baik
- Gerak aktif sinistra pasien mampu menggerakan fleksi hip, fleksi knee,
abduksi hip tetapi terdapat nyeri dan keterbatasan
- Gerak pasif dekstra : semua gerakan dapat dilakukan dengan full ROM
tanpa adanya nyeri
- Gerak pasif sinistra terapis menggerakkan fleksi hip, fleksi knee, abduksi
hip tetapi terdapat nyeri, keterbatasan gerak dan end feel firm
- Isometric fisiologis dekstra pasien mampu melakukan isometrik fleksi
knee dan abduksi hip tidak terdapat nyeri dan tahanan maksimal.
- Isometric fisiologis sinistra pasien mampu melakukan isometrik fleksi
knee dan abduksi hip tapi terdapat nyeri dan tahanan minimal.
11. Muscle test dan antropometri
- Muscle test
Gerakkan Kanan Kiri
Fleksor knee 5 3-
Ekstensor knee - -
Fleksor hip 4 3
Ekstensor hip - -
Abductor hip 4 3
Adductor hip 4 3

- Antropometri
5 cm diatas 10 cm diatas 15 cm diatas
tuberositas tibia tuberositas tibia tuberositas tibia
Kiri 44 cm 49 cm 53
Kanan 40 cm 44 cm 49 cm

12. Kemampuan fungsional


Aktivitas Indicator skor Skor
Makan 0: tidak dapat melakukan sendiri 10
5: memerlukan bantuan
10: dapat melakukan sendiri
Mandi 0: tdk dapat melakukan sendiri 0
5: dapat melakukan sendiri
Kebersihan diri 0: memerlukan bantuan 5
5: dapat melakukan sendiri(mencukur,
sikat gigi dll
Berpakaian 0: tdk dapat melakukan sendiri 5
5 memerlukan bantuan minimal
10: dapat melakukan sendiri
Defekasi 0: inkontinensia 10
5: kadang terjadi inkontinnsia
10: todak terjadi inkontinensia
Miksi 0: inkontinensia dan pakai kateter 10
5: kadang terjadi inkontinensia
10: tdk terjadi inkontinensia
Toileting 0: tidak dapat melakukan sendiri 5
5: memerlukan bantuan
10: mandiri
Transfer Dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya 10
0: tidak dapat melakukan
5: perlu bantuan beberapa orang
10: perlu bantuan minimal
15: dapat melakukan sendiri
Mobilitas 0: immobilitas 10
5: memerlukan kursi roda
10: berjalan dg kruk
15: mandiri
Naik tangga 0: tidak dapat melakukan 5
5: perlu bantuan
10: mandiri
Total skor 0-100 70

XIV. Algoritma

Papasien jatuh Trauma langsung


terpeleset

PHa : fraktur femur 1/3


medial sinistra

1. 1. jalan dengan alat bantu kruk

Inspeksi 2. 2. Oedema tungkai kiri Cedera soft tissue


3. 3. Kesulitan untuk berdiri ke
duduk dan begitu sebaliknya
4. 1. Nyeri gerak dan nyeri tekan
dengan VAS
5. 2. Lingkup gerak sendi tungkai kiri
Test spesifik dengan goneo
6. 3. Kemampuan fungsional dengan
indeks barthel
7. 4. Kekuatan otot dengan MMT

X-Ray

Pemasangan plate and


screw

13. Impairment 10. Keterbatasan fungsional 8. Disability


14. 1. Nyeri tekan pada area incise 11. 1. Kesulitan untuk jalan 9. Pasien masih belum bisa
15. 2. Nyeri gerak tungkai kiri mandiri atau mobilisasi ikut kegiatan – kegiatan
16. 3. Oedema tungkai kiri mandiri disekitar rumah nya
17. 4. Keterbatasan LGS tungkai kiri 12. 2. Kesulitan toileting dan
18. 5. Penurunan kekuatan otot tungkai dressing
kiri
19. 6. Penurunan LGS tungkai kiri
20. 7. Penurunan kemampuan fungsional
21. Intervensi fisioterapi
22. 1. Infrared
23. 2. Ultrasound
24. 3. Terapi latihan

XV. Kode dan keterangan ICF


5. Body functions
- B7350 tone of isolated muscle and mucle
- B7401 endurance of muscle group
6. Activities and participation
- D5400 putting on clothes
- D5401 taking off clothes
- D6409 doing housework, unspecified
7. Environmental factors
- E570 personal care providers and personal assistance
- E575 general social support services, systems and policies
8. Body structure
- S75000 bones of thigh
- S7510 bones of lower leg
- S75002 muscle of thigh
XVI. Diagnosa Fisioterapi
4. Impairment
- Nyeri tekan area incisi
- Nyeri gerak pada tungkai kiri
- Spasme otot hamstring dan gastrok
- Oedema paha kiri
- Penurunan LGS tungkai kiri
- Penurunan kekuatan otot
- Penurunan kemampuan fungsional
5. Functional limitation
- Kesulitan untuk jalan mandiri atau mobilisasi mandiri
- Kesulitan toileting dan dressing
6. Disability
Masih belum bisa ikut kegiatan-kegiatan disekitar rumah nya.
XVII. Progam fisioterapi
5. Tujuan jangka panjang
Menjaga kemampuan fungsional agar tetap optimal
6. Tujuan jangka pendek
- Mengurangi nyeri gerak dan tekan
- Meningkatkan ROM
- Meningkatkan kekuatan otot
- Meningkatkan kemampuan fungsional
7. Teknologi intervensi fisioterapi
- Infrared
- Ultrasound
- Static kontaksi
- Force pasief
- Hold relax
8. Rencana evaluasi
- Nyeri dengan VAS
- LGS dengan goniometer
- Kekuatan otot dengan MMT
- Antropometri dengan meteran
- Kemampuan fungsional dengan index barthel
XVIII. Prognosis
Menurut Laer tahun 2000 menyatakan bahwa dalam kasus fraktur terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi prognosa pertumbuhan tulang antara lain
yaitu usia pasien, tempat fraktur.. Prognosa pada pasien post operasi fracture
femur dengan pemasangan fiksasi internal dapat dikatakan baik apabila pasien
secepatnya dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan tindakan medis setelah
terjadinya trauma. Serta usia pasien juga sangat mempengaruhi dalam prognosa
pasien. Pada penderita fracture shaft femur setelah pemasangan internal fiksasi
plate and screw tanpa komplikasi apabila cepat mendapat tindakan fisioterapi
dengan tepat maka kapasitas fisik dan kemampuan fungsional pasien akan
kembali normal.
XIX. Pelaksanaan fisioterapi
1. Ultrasound
Pelaksanaannya posisi pasien supine lying, posisi terapis disamping
pasien. Sebelum terapi terapis memberikan penjelasan kepada pasien bahwa efek
dari modalisas ultra sound ini adalah hangat bukan panas. Sebelum terapi terlebih
dahulu berikan gel pada area yang akan diterapi atur waktu, dan intensitas. Waktu
terapi 3 menit, dan intensitas 1.1 MHz. Tranduser harus kontak langsung dengan
kulit kemudian klik star dan tranduser digerakkan sirkuler atau memutar sesuai
dengan jarum jam. Apabila pasien merasakan terlalu panas intensitas dapat
diturunkan. Dan setelah terapi alat dimatikan, dirapikan, dan dikembalikan ke
tempat semula.

2. Infrared
Pelaksanaannya posisi pasien supine lying, posisi terapis disamping
pasien. Sebelum terapi terapis memberikan penjelasan kepada pasien bahwa efek
dari modalisas ini adalah hangat bukan panas. Sebelum terapi bebas kan area yang
akan diterapi dari pakaian. Diatur waktu terapi 10 menit. IR tegak lurus dengan
area yang akan di terapi. Apabila pasien merasakan terlalu panas jauhkan ir dari
pasien. Dan setelah terapi alat dimatikan, dirapikan, dan dikembalikan ke tempat
semula.
3. Static contraction
Pasien dalam posisi tidur terlentang terapis disamping pasien. Lalu terapis
memberikan penjelasan mengenai efek dari latihan yang diberikan kepada pasien
yaitu untuk melancarkan aliran darah pada area tungkai kiri. Terapis melatakan
gulungan selimut dibagian belakang lutu lalu minta pasien untuk menekan
gulungan selimut tersebut tahan selama 5 deting lalu ulangi sebanyak 5 kali.
4. Force passive
Pasien dalam posisi tidur telungkup terapis disamping pasien. Terapis
menjelaskan efek dari latihan yang digunakan untuk menambah lingkup gerak
sendi tungkai kiri dan mengurangi nyeri pada tungkai kiri. Terapis menggerakan
tungkai kiri pasien lalu beri sedikit dorongan sebatas nyeri pasien.
5. Hold relax
Pasien dalam posisi tidur terlentang terapis disamping pasien. Terapis
menjelaskan efek dari latihan yang digunakan untuk menambah lingkup gerak
sendi tungkai kiri dan mengurangi nyeri pada tungkai kiri. Kontraksi isometrik
dengan tahanan, yang mana memfasilitasi dengan menyamakan kekuatan, diikuti
dengan relaksasi dan gerakan berikutnya ke LGS peningkatan yang baru.
XX. Evaluasi dan tindak lanjut
7. Nyeri tekan : T1 (3,9) T2 (3,3) T3 (3,5) T4 (3,1)
8. Nyeri gerak : T1 (4,8) T2 (4,6) T3 (4,1) T4 (3,8)
9. LGS Sinistra
Gerakkan T1 T2 T3 T4
Fleksi knee 35 38 38 46
Ekstensi knee 4 4 2 0
Fleksi hip Tidak Tidak 38 38
dilakukan dilakukan
Abduksi hip Tdk Tidak 10 10
dilakukan dilakukan
Adduksi hip Tidak Tidak Tidak Tidak
dilakukan dilakukan dilakukan dilakukan

10. Kekuatan otot sinistra


Gerakkan T1 T2 T3 T4
Fleksor knee 3 3 3 4
Fleksor hip 3 3 3 3
Abductor hip 3 3 3 3
Adductor hip 3 3 3 3

11. Antropometri
T1 T2 T3 T4
5 cm diatas tuberositas tibia 44 45 40 41
10 cm diatas tuberositas tibia 49 46 44 44
15 cm diatas tuberositas tibia 53 50 49 49

12. Kemampuan fungsional


Aktivitas T1 T2 T3 T4
Makan 10 10 10 10
Mandi 0 0 5 5
Berpakaian 5 5 5 5
Defekasi 10 10 10 10
Miksi 10 10 10 10
Toileting 5 5 5 5
Transfer 10 10 10 10
Mobilitas 10 10 10 10
Naik turun tangga 5 5 5 5
Total skor 70 70 75 75

13. Hasil terapi


Pasien atas nama tn yohmadinata usia 52 tahun dengan kondisi post fraktur
1/3 medial femur sinistra mendapat intervensi ir, us, brething exc, static kontaksi,
force pasif dan hold relax selama 4 kali terapi dan sudah terdapat penurunan
nyeri, bengkak dan peningkatan LGS.

Anda mungkin juga menyukai