Anda di halaman 1dari 17

Tugas

DAMPAK DAN BAHAYA DARI PEMBUANGAN LIMBAH


TAMBAK UDANG KE LAUT DI PANTAI LOMBANG SUMENEP

Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Kelautan Dengan Dosen Pembimbing
Sri Sumarni S.Kep. Ns., M.Kes

Nama Kelompok :

Nurul Qomariya 717620869

Moh. Junaidi 717620875

Moh. Lukman Firmansyah 717620891

Nurus Sovia 717620898

Yuni Shandra Megawati 717620900

Imroatul Rada’ah 719621328

PROGRAM STUDI KEPEREWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WIRARAJA
2020

i
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah swt. yang dengan rakhmat dan hidayah-nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Dampak dan Bahaya dari
pembuangan Limbah tambak Udang” , adapun tujuan penyusunan makalah ini sebagai syarat
untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan kelautan.

Kami yakin makalah ini masih banyak kekurangannya, Oleh karena itu kami
mengharapkan kepada semua para pembaca untuk memberikan saran dan kritikan dalam
rangkah penyempurnaan makalah ini, dan untuk itu kami menyampaikan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memenuhi harapan dan memberikan kemanfaatan
yang besar bagi siapa saja yang membacanya, AMIN.

Semoga makalah ini tidak hanya dibaca namun juga dipahami.

Sumenep 10- November-2020

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................ii
1.1. Latar Belakang..................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................4
1.3. Tujuan Penelitian..............................................................................................4
1.4. Manfaat Penelitian............................................................................................4
1.5. Manfaat Teoritis...............................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................5


2.1. Limbah Tambak Udang....................................................................................5
2.2. Pencemaran Laut........................................................................................................6
2.3. Makrozoobenthos.......................................................................................................9
2.4. Kerangka konseptual..................................................................................................13

BAB III PENUTUP.............................................................................................................14


3.1. Kesimpulan ......................................................................................................14
3.2. Saran.................................................................................................................14

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keberadaan areal tambak yang berada di dekat perairan diperkirakan memiliki
beberapa dampak negative, salah satu dampak negative yang diakibatkan adalah
adanya limbah tambak dari hasil budidaya udang di kawasan tersebut. Meningkatnya
limbah tambak hasil budidaya udang mengakibatkan suatu permasalahan bagi
lingkungan. Salah satu contoh daerah Jawa Timur yang menjadi kawasan tambak
adalah kabupaten Trenggalek tepatnya di kecamatan Panggul. Budidaya tambak yang
ada di kecamatan Panggul adalah budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei).
Limbah hasil budidaya tambak udang tidak diolah secara intensif, sehingga hal tersebut
diperkirakan dapat membuat limbah tidak sesuai dengan baku mutu air atau standar air
yang berada di sungai atau lingkungan dan mengakibatkan pencemaran sungai sehingga
akan berdampak pada kehidupan biota-biota di sungai tersebut.

Limbah yang dihasilkan dari budidaya udang adalah berasal dari sisa pakan dan
kotoran-kotoran udang. Jenis limbah budidaya menurut Suwoyo, Undu, & Makmur,
(2014) adalah limbah metabolit sisa kotoran udang berupa feses dan urine yang berasal
dari dekomposisi bahan organik. Sisa pakan udang yang tidak termakan dan plankton
yang mati mengandung unsur hara tinggi berupa senyawa nitrogen (protein, asam
amino, urea), karbohidrat, vitamin dan hasil metabolisme udang. Menurut Banun,
Arthana, & Suarna (2007) komposisi pakan udang berasal dari kandungan protein yang
tinggi yaitu (36 – 40%), karbohidrat (max 25%), lemak (max 8%), vitamin dan mineral
(1-2%) yang komponen tersebut merupakan penyumbang utama limbah tambak karena
lebih dari 65% protein dalam pakan akan hilang dalam lingkungan air tambak. Dalam
penelitian Romadhona, Yulianto, & Sudarno (2016) juga menyebutkan bahwa
kandungan protein yang tinggi akan terjadi proses pembusukan (perombakan) pellet
+
yang akan menghasilkan senyawa nitrogen anorganik berupa NH3-N dan NH yang
merupakan salah satu senyawa toksik bagi udang. Limbah hasil budidaya udang akan
terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan udang ,maka jumlah pemberian pakan
semakin bertambah dan sisa pakan juga akan meningkat. Meningkatnya jumlah limbah
akan mengakibatkan bertambahnya limbah yang diolah tidak maksimal di buang ke
sungai atau perairan.

Limbah organik dari tambak udang ini akan terakumulasi dalam bentuk sedimen
yang tertahan dan mengendap di dasar tambak. Sedimen ini biasanya kaya akan nutrient
(nitrogen dan fosfor) yang pada akhirnya akan dialirkan ke aliran sungai menuju

1
perairan pantai. Nitrogen dan fosfor menjadi pemicu utama adanya pertumbuhan
ganggang di dalam air. Pertumbuhan ganggang yang pesat akan membutuhkan oksigen
yang lebih banyak, sehingga keperluan oksigen untuk biota di perairan menjadi
berkurang. Ganggang yang telah mati akan mengakibatkan penurunan kualitas air
(Libriyanto, 2008). Hal ini juga dikemukakan dalam penelitian Romadhona et al (2016)
bahwa dampak dari limbah buangan (effluent) tambak udang adalah jika terus menerus
limbah tambak dikeluarkan tanpa perlakuan, dimana limbah tersebut mengandung
konsentrasi nitrogen tinggi maka akan berakibat menurunkan kualitas air laut atau
saluran yang dilaluinya.. Konsekuensi ke lingkungan antara lain adalah defisit oksigen
karena dekomposisi bahan organik dan eutrofikasi karena akumulasi dari nitrogen dan
fosfor.
Siregar & Hasanah (2005) menemukan bahwa hanya 25% dari total pakan yang
diberikan akan menghasilkan biomassa (daging) udang yang dipanen dan diperkirakan
sebanyak 77% nitrogen dan 85% fosfor dalam pakan udang terbuang. Limbah organik
yang terbuang ini dapat menyebakan ledakan plankton dan masalah kekurangan
oksigen pada perairan. Peristiwa ini dikenal sebagai pembusukan di perairan.

Sungai menurut Suwondo, Febrita, Dessy, & Alpusari (2004) adalah suatu bentuk
ekosistem yang tersusun dari komponen biotik dan abiotik dimana membentuk suatu
sungai jalinan fungsional yang saling mempengaruhi sehingga membentuk aliran energi
yang dapat mendukung stabilitas dari komponen penyusun ekosistem tersebut.
Komponen biotik adalah semua jenis makhluk hidup yang berada pada sungai berupa
flora dan fauna, contoh fauna adalah makrozoobenthos. Komponen abiotik sungai
merupakan habitat makhluk hidup dengan karakter fisika kimia di dalamnya. Faktor-
faktor fisis khemis dapat mempengaruhi kemelimpahan dan keanekaragaman
makrozoobenthos di dalamnya.

Penurunan kualitas air akan berpengaruh terhadap tingkat keanekaragaman hayati


makhluk hidup di perairan. Penurunan keanekaragaman hayati suatu jenis makhluk
hidup tersebut akan berdampak terhadap sumber daya alam. Kondisi perairan yang
tidak sesuai dengan batas normal akan berdampak pada tingkat keanekaragaman
berbagai makhluk hidup yang ada di suatu perairan. Biota yang hidup di perairan salah
satunya adalah makrozoobenthos. Makrozoobenthos merupakan biota yang peka
terhadap perubahan kualitas air sehingga akan memberi pengaruh terhadap komposisi
jenis dan kemelimpahannya (Mushthofa, Muskananfola, & Rudiyanti, 2014).

Makrozoobenthos merupakan organisme akuatik yang hidup di dasar perairan


dengan pergerakannya yang lambat dan memiliki daur hidup yang cukup lama sehingga
organisme ini mampu merespon kondisi perairan secara terus menerus (Zulkifi &

2
Setiawan, 2011). Makrozoobenthos dalam ekosistem sungai berperan dalam proses
dekomposisi dan mineralisasi material organik perairan, serta menduduki beberapa
tingkatan tropik dalam rantai makanan. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya
makrozoobenthos dalam stabilitas ekosistem sungai (Odum, 1993).

Makrozoobenthos adalah hewan yang hidupnya di dasar perairan yang


mempunyai habitat relative tetap, sehingga dengan adanya perubahan lingkungan yang
membuat kehidupannya di terganggu maka keanekaragaman jenis organismenya akan
menurun. Kehidupan makrozoobenthos yaitu penyebaran jenis dan populasi komunitas
makrozoobenbentos ditentukan oleh sifat fisis dan khemis dalam suatu perairan. Sifat
fisis perairan meliputi warna, pasang surut, kecepatan arus, kedalaman, kekeruhan atau
kecerahan dan suhu air. Sifat khemis perairan meliputi bahan organik, pH, kandungan
gas terlarut, kandungan hara selain itu faktor biologi seperti produsen dan predator
dapat mempengaruhi kemelimpahan makrozoobenthos (Darojah, 2005).

Fisesa, Setyobudiandi, & Krisanti (2014) menemukan masukan limbah ke


dalam perairan dapat mempengaruhi komposisi dan kelimpahan spesies
makrozobentos. Hal inilah yang menyebabkan makrozoobentos sering dijadikan
sebagai bioindikator kualitas perairan. Sifat makrozoobenthos cenderung menetap di
dasar perairan dan memiliki mobilitas rendah, sehingga jika terdapat perubahan kualitas
air akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan makrozoobenthos.

Dengan pertimbangan bahwa sungai Kali Jeruk dibuangi limbah tambak udang,
maka dapat ditemukan suatu gejala permasalahan lingkungan yang dapat dijadikan
objek belajar biologi yang didalamnya ditemukan permasalahan biologi dan diangkat
potensinya sebagai sumber belajar. Sumber belajar menurut Musfiqon (2012) adalah
kebutuhan penting sebagai sumber informasi yang diperlukan dalam suatu
pembelajaran. Perlunya sumber belajar konstektual yang bersumber dari lingkungan
sekitar akan menambah wawasan lebih luas bagi peserta didik. Pengembangan sumber
belajar yang konstektual perlu diberikan pada siswa Mahasiswa Kesehatan pada mata
pelajaran biologi dengan materi Berbagai Tingkat Keanekaragaman Hayati Indonesia
pada KD. 3.2 menganalisis data hasil observasi tentang berbagai tingkat
keanekaragaman hayati (gen, jenis dan ekosistem) di Indonesia.

Sejauh ini belum pernah dilakukan kajian mengenai keanekaragaman


makrozoobentos di Pantai Lombang. Oleh karena itu melalui latar belakang diatas
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman makrozoobentos di
sungai Kali Jeruk Kabupaten Trenggalek dan pemanfaatan hasil penelitian sebagai
sumber belajar biologi. Untuk itu penulis mengangkat judul “Dampak Dan Bahaya Dari

3
Pembuangan Limbah Tambak Udang Ke Laut Di Pantai Lombang Sumenep”
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana dampak limbah tambak udang pada lauts vannamei) terhadap tingkat
keanenekaragaman makrozoobenthos di pantai Lombang?
2. Bagaimana Kandungan Limbah Tambak Udang di pantai Lombang?

3. Bagaimana makrozoobenthos

4. Bagaimana parameter air serta kandungannya

5. Bagaimana konseptual dari pencemaran limbah tambak udang

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan dampak limbah tambak udang vaname (Litopenaeus


vannamei) terhadap tingkat keanenekaragaman makrozoobenthos di pantai Lombang
Kabupaten Sumenep

2. Untuk mendeskripsikan kandungan limbah tambak udang di pantai Lombang


Kabupaten Sumenep

3. Untuk mendeskripsikan apa itu makrozoobenthos di pantai Lombang Kabupaten

4. Untuk mendeskripsikan parameter dari air serta kandungannya

5. Mendeskripsikan konseptual dari pencemaran limbah tambak udang di pantai


Lombang Kabupaten Sumenep

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan


ilmu pengetahuan, yaitu mengenai dampak pembuangan limbah tambak udang
vaname (Litopenaeus vannamei) tanpa pengolahan intensif yang akan
menganggu kelangsungan makhluk hidup di sekitarnya..

2. Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi untuk penelitian
selanjutnya atau dimanfaatkan sebagai dasar pijakan bagi penelitian yang lebih
mendalam terkait dengan makrozoobenthos di sungai Kali Jeruk kabupaten
Trenggalek.

4
1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Tambak Udang


2.1.1 Pengertian Limbah Tambak Udang
Limbah merupakan hasil akvitas manusia yang berupa sampah cair dari suatu
lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan, dengan
kurang lebih 0,1% daripadanya berupa benda padat yang terdiri dari zat organik dan
anorganik (Soemarwoto, 1992). Menurut peraturan pemerintah republik indonesia
nomor 82 tahun 2001, air limbah adalah sisa dari suatu usaha kegiatan yang berwujud
cair. Air limbah dapat berasal dari rumah tangga (domestik) maupun industri yang
mengandung zat-zat berbahaya yang dapat menganggu kesehatan manusia dan
lingkungan hidup.
Air limbah yang merupakan hasil sisa dari berbagai aktivias, oleh karena itu air
limbah merupakan benda yang sudah tidak dimanfaatkan lagi. Air limbah yang tidak
termanfaatkan masih memerlukan pengolahan. Limbah yang pengolahan kurang baik
akan menyebabkan permasalahan lingkungan dan kehidupan makhluk hidup sekitar.
Air limbah yang tanpa pengolahan dengan baik saat bahaya terhadap kesehatan
manusia, hal ini dikarenakan banyak dampak kesehatan yang ditimbulkan akibat
adanya limbah (Agustira, Lubis, & Jamilah, 2013).
Tambak merupakan kolam yang digunakan untuk memelihara ikan, udang atau
hewan air lainnya yang dapat hidup di air payau. Limbah tambak udang merupakan
cairan buangan yang berasal dari kolam yang dibangun untuk budidaya udang
(Sudarmo & Ranoemihardjo, 1992).
2.1.2 Kandungan Limbah Tambak Udang
Limbah budidaya udang dihasilkan dari pakan udang yang tidak termanfaatkan.
Limbah tersebut berupa limbah organik dalam bentuk hasil metabolisme dan sisa
pakan udang. Limbah hasil budidaya udang merupakan limbah organik terutama dari
pakan, feses dan bahan terlarut yang jika dibuang ke perairan akan menganggu
ekosistem di perairan tersebut. Pakan udang menyediakan nitrogen 92%,, fosfor 51%
dan bahan organik lainnya 40% (Dimas Wahyu Meidi Vanto, 2016).
Pertumbuhan udang yang semakin meningkat akan semakin meningkat pula
pakan yang diberikan. Meningkatnya jumlah pakan maka limbah yang dihasilkan
akan meningkat pula. Limbah hasil budidaya udang menghasilkan kira-kira 35%
5
limbah organik, sisa pakan 15% dan sisa metabolisme udang 20%. Limbah yang
semakin meningkat akan mengalami proses dekomposisi (penguraian) yang akan
menghasilkan nitrit dan ammonia, karena tidak semua pakan dikonsumsi udang
(Wulandari, Widyorini, & Wahyu, 2015).
2.1.3 Karakteristik Limbah Tambak Udang
a. Karakter fisika
Karakter fisika yang penting dalam limbah tambak adalah total padatan (total
solid), suhu, warna dan bau. Total padatan meliputi padatan terlarut, terendam,
terapung, tersuspensi dan koloid. Suhu tambak berkisar 40-46 0C. Limbah cair
tambak udang berwarna kuning keruh dan berbau busuk (Dimas Wahyu Meidi Vanto,
2016)
b. Karakteristik kimia
Limbah tambak udang mengandung bahan organik yang terdiri dari protein,
karbohidrat dan bahan anorganik lain seperti nitrogen, fosfor dan ammonia. Protein
berasal dari sisa pakan udang. Dimas Wahyu Meidi Vanto (2016) menyatakan bahwa
limbah tambak udang bersifat basa dengan kisaran pH 7-9.
2.2 Pencemaran Laut
Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat energi
dan atau komponen lain ke dalam badan air oleh manusia, sehingga kualitas air turun
sampai pada tingkat tertentu dan menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai
diperuntukannya (PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran air).
Pencemaran di laut disebabkan oleh adanya pencemar organik dan pencemar
anorganik. Pencemar organik dapat meningkatkan BOD dalam sungai yang
mengindikasi penurunan kualitas air. Sumber pencemar berasal dari pencemaran
secara alamiah (dari alam) dan pencemaran antropogenik (kegiatan manusia).
Terjadinya peningkatan buangan air limbah serta sampah yang tidak terkendali akan
menyebabkan bertambahnya beban pencemar yang masuk ke sungai, yang pada
gilirannya akan mengakibatkan penurunan kualitas air sungai (Rahman, Alim, &
Utami, 2011).

2.2.1 Parameter Air


Parameter yang digunakan untuk penentuan kualitas air yaitu :
a. Parameter fisika
1. Suhu
Suhu pada suatu badan air di pengaruhi musim, waktu dalam hari,
sirkulasi udara serta kedalaman badan air. Perubahan suhu suatu badan air
akan berpengaruh terhadap proses fisis, khemis dan biologi badan air.
6
Peningkatan suhu akan menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi
ikan akan meningkat sehiingga meningkatnya pula konsumsi oksigen, oleh
karena itu oksigen terlarut dalam air akan menurun. Kisaran suhu
optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan berkisar 200C -300C
(Effendi, 2003).
2. Total padatan
Total padatan akan meningkatkan kekeruhan pada air. Total padatan ini
tidak dapat larut dalam air dan tidak dapat mengendap secara langsung
serta ada yang dapat larut dalam air. Kandungan total padatan dalam air
dapat mengurangi penetrasi cahaya masuk ke dalam air sehingga
mempengaruhi regenerasi oksigen dalam proses fotosintesis (Fardiaz,
1995).
3. Warna
Warna ditimbulkan akibat adanya bahan organik dan bahan anorganik
yang masuk ke perairan, misalnya adanya plankton, humus dan ion-ion
logam. Bahan organik yang berasal dari dekomposisi tumbuhan yang telah
mati menimbulkan warna kecoklatan. Warna dapat diamati secara visual
(langsung) dengan cara membandingkan dengan warna standar. Warna
perairan biasanya disebabkan peledakan (blooming) fitoplankton (Effendi,
2003).
4. Kecerahan
Kecerahan pada peraiaran merupakan suatu keadaan yang menunjukan
kemampuan cahaya menempus kedalaman perairan. Kecerahan sangat
penting karena berkaitan dengan fotosistesis. Kecerahan air tergantung
pada warna dan kekeruhan pada perairan. Kekeruhan merupakan ukuran
transparansi pada suatu perairan (Effendi, 2003). Tingkat kecerahan
perairan menunjukan sejauh mana penetrasi cahaya matahari menembus
kolom perairan. Tingkat kecerahan sangat dipengaruhi oleh kekeruhan,
maka semakin tinggi kekeruhan perairan maka semakin rendah tingkat
kecerahan air, sehingga penetrasi cahaya juga rendah (Nuriya, Hidayah, &
Syah, 2010).
b. Parameter Kimia
1. pH
Air limbah yang dibuang ke suatu badan air akan menganggu kehidupan
hewan akuatik yang peka terhadap perubahan pH. Untuk memenuhi syarat
suatu kehidupan, air harus mempunyai kisaran pH 6,5-7,5. Asam basanya
suatu perairan ditentukan oleh nilai pH (Agustiningsih, 2012).
7
2. Salinitas
Salinitas merupakan konsentrasi ion total yang terdapat di suatu perairan.
Nilai salinitas air tawar biasanya kurang dari 0,5%, perairan payau antara
0,5%-30% dan perairan laut 30%-40%. Pada perairan pesisir, nilai
salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi,
2003).
3. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar tanaman dan hewan akuatik.
Oksigen terlarut berasal dari hasil fotosintesis tanaman air dan udara yang
masuk ke dalam air. Oksigen terlarut di butuhkan semua jasad makhluk
hidup untuk proses metabolisme untuk pertumbuhan (Salmin, 2005).
Fardiaz (1995) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut berbanding
terbalik dengan suhu. Semakin tinggi suhu air semakin rendah konsentrasi
oksigen. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut akan menganggu
kehidupan hewan-hewan perairan.
4. Kebutuhan oksigen kimia (Biochemiycal Oxygen Demand).
BOD merupakan jumlah oksigen yang digunakan mikroorganisme untuk
mendegradasi bahan organik dalam air. BOD dinyatakan dalam mg/l atau
ppm. Sumber BOD alami dalam air berasal dari pembusukan tanaman dan
kotoran hewan, sedangkan sumber BOD dari kegiatan manusia berasal
dari feses, urine, detergent, minyak dan lemak. Semakin besar kadar BOD
dalam suatu perairan merupakann indikasi bahwa perairan tersebut
tercemar. Kadar maksimun BOD yang diperkenankan untuk air minum
dan kehidupan organisme akuatik berkisar 2-12 mg/l (PP 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air).
5. Kebutuhan oksigen kimiawi (Chemiycal Oxygen Demand, COD)
COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan agar bahan buangan
yang ada dalam air dapat teroksidasi secara kimiawi. Secara umum kadar
COD yang tinggi akan mencerminkan konsentrasi bahan organik yang
tinggi sehingga diperlukan oksigen yang tinggi dan menyebabkan terjadi
penurunan kadar oksigen dalam perairan. Semakin tinggi kadar COD
maka tingkat populasi perairan akan semakin rendah (Pribadi, 2005).
6. Nitrogen
Nitrogen dalam perairan berupa nitrogen organik dan anorganik. Nitrogen
organik terdiri dari ammonia (NH3), ammonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat
(NO3) dan molekul nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Nitrogen organik
berupa protein, asam amino dan urea. Ammonia (NH 3) dan garamnya
8
mudah larut dalam air. Kadar ammonia bebas tidak boleh melebihi 0,5
mg/l sementara bagi ikan kandungan ammonia bebas adalah kurang dari
0,02 mg/l (PP 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air). Kadar ammonia yang tinggi
mengindikasikan bahawa perairan tersebut tercemar bahan organik yang
berasal dari limbah domestik, industri ataupun pupuk pertanian (Effendi,
2003).

2.3 Makrozoobenthos
2.3.1 Pengertian Makrozoobenthos
Makrozoobenthos merupakan organisme akuatik yang hidup di dasar perairan
dan tinggal dalam suatu sedimen di perairan. Nybbakken (1992) dalam Simamora
(2009) mengatakan habitat makrozoobenthos dikelompokan menjadi infauna dan
epifauna. Infauna merupakan makrozoobenthos yang hidup terpendam dalam substrat
perairan dengan cara menggali lubang. Kelompok infauna mendominasi komunitas
substrat yang lunak, sedangkan epifauna merupakan makrozoobenthos yang hidup di
permukaan dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat dan menempel pada
substrat yang keras.
Makrozoobenthos menurut Odum (1994) dapat dimasukan ke dalam jenis
hewan makroinvertebrata. Taksa utama kelompok ini umumnya adalah insekta,
moluska, chaetopoda, crustaceae dan nematoda. Makrozoobenthos yang sering
ditemukan pada perairan adalah kelompok crustaceae, moluska dan insecta.
2.3.2 Pengelompokan Benthos
Berdasarkan ukurannya, Laili & Parson (1993) dalam Simamora (2009)
mengklasifikasikan zoobenthos menjadi dua kelompok besar yaitu mikrozoobenthos
dan makrozoobenthos. Berdasarkan kategori tersebut benthos dapat dibagi atas :

1. Mikrofauna adalah hewan yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm dan
digolongkan ke dalam protozoa atau bakteri.

2. Mesofauna adalah hewan yang berukuran 0,1 - 1,0 mm dan digolongkan ke


dalam beberapa kelas yaitu protozoa berukuran besar, crustacea yang sangat
kecil, cacing dan larva invertebrata.
3. Makrofauna adalah hewan berukuran lebih besar dari 1,0 mm dan
digolongkan ke dalam hewan moluska, echinodermata, crustasea serta
beberapa filum annelida.

Berdasarkan tempat hidupnya, zoobenthos dibagi atas dua kelompok, yaitu :

1. Epifauna merupakan hewan bentik yang hidup dan berasosiasi di permukaan

9
substrat.
2. Infauna merupakan hewan bentik yang hidup di dalam sedimen (substrat)
berupa lumpur atau pasir dengan cara menggali lubang (Simamora, 2009).

2.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Makrozoobenthos


(Simamora, 2009) menyatakan bahwa sifat fisis dan khemis pada suatu perairan
sangat penting dalam suatu ekologi. Faktor biotik seperti makrozoobenthos dan faktor
abiotik seperti fisika kimia di perairan saling berinteraksi. Faktor abiotik (fisika-
kimia) perairan yang mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos adalah :

a. Suhu
Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola kehidupan
organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan mortalitas.
Peningkatan suhu air dapat mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan
respirasi organisme air, sehingga mengakibatkan konsumsi oksigen juga meningkat.
Peningkatan suhu sebesar 100C dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen
oleh organisme air 2-3 kali lipat (Effendi, 2003).
Dwi Novita Retnowati (2003) menyatakan organisme akuatik memiliki kisaran
suhu tertentu yang sesuai untuk pertumbuhannya. Semakin tinggi suhu, maka
semakin sedikit jumlah oksigen yang ada dalam perairan. Suhu yang dianggap
berbahaya bagi kehidupan makrozoobenthos adalah lebih dari 350C. Suhu diatas 300C
dapat menekan pertumbuhan makrozoobenthos.

b. pH (derajat keasaman)
pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan.
Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan
hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1994).
Kehidupan organisme akuatik dipengaruhi oleh perubahan pH. Hewan akuatik
akan lebih toleran pada pH netral. pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik
pada umumnya adalah 7 - 8,5. Kondisi pH yang terlalu asam ataupun terlalu basa
dapat menganggu kelangsungan hidup organisme karena berpengaruh dalam proses
metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003).

Tabel 1.1Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan


Nilai pH Pengaruh Umum
6,0-6,5 1. Keanekaragaman planton dan benthos sedikit menurun

2. Kemelimpahan total, biomassa dan produktivitas tidak


10
mengalami perubahan
1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan benthos
semakin tampak
2. Kemelimpahan total, biomassa dan produktivitas masih belum
mengalami perubahan yang berarti
3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral
5,0-5,5 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton,
perifiton dan benthos semakin besar
2. Terjadi penurunan kemelimpahan total biomassa zoo-plankton
dan benthos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
4. Proses nitrifikasi terhambat
4,5-5,0 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton,
perifiton dan benthos semakin besar
2. Penurunan kemelimpahan total biomassa zoo-plankton dan
benthos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
4. Proses nitrifikasi terhambat
(Sumber : Effendi, 2003)

c. Salinitas
Perubahan salinitas akan memengaruhi keseimbangan di dalam tubuh
organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis. Semakin
tinggi salinitas, semakin besar pula tekanan osmosisnya sehingga organisme harus
memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas tertentu
melalui mekanisme osmoregulasi. Osmoregulasi yaitu kemampuan mengatur
konsentrasi garam atau air di cairan internal. Kisaran salinitas yang dianggap layak
bagi kehidupan makrozoobentos berkisar 15-45 %, karena pada perairan yang
bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos seperti siput,
cacing (Annelida) dan kerang-kerangan (Marpaung, 2013).
d. DO (Oksigen terlarut)
Disolved Oxygen atau DO adalah oksigen terlarut yang ada dalam perairan. DO
dibutuhkan oleh organisme perairan terutama untuk proses respirasi. Oksigen terlarut
dalam air dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu maka semakin rendah
konsentrasi oksigen terlarut sedangkan semakin rendah suhu akan semakin tinggi
konsentrasi oksigen terlarut (Simamora, 2009).
Air pada perairan tercemar, memiliki oksigennya sangat rendah. Dekomposisi
dan oksidasi bahan organik dapat memicu pengurangan kadar oksigen terlarut hingga

11
mencapai nol (anaerob). Peningkatan suhu 10C dapat meningkatkan konsumsi O2
sekitar 10% (Effendi, 2003).

Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu 0 0C yaitu sebesar
14,16 mg/l. Kehidupan dalam suatu perairan dapat bertahan jika oksigen terlarut
minimum 5 mg/l selebihnya bergantung pada ketahanan organisme, kehadiran
pencemaran, derajat keaktifan, dan suhu (Simamora, 2009).
Keberadaan oksigen terlarut dalam substrat dapat berkurang disebabkan karena
banyaknya plankton dalam perairan tersebut. Tingginya jumlah bahan organik dan
populasi bakteri pada sedimen dapat menyebabkan besarnya kebutuhan oksigen
terlarut. Kadar oksigen terlarut pada perairan alami kurang dari 10 mg/l (Effendi,
2003).
e. Jenis substrat
Jenis substrat berkaitan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan nutrien
dalam sedimen di suatu perairan. Substrat yang berupa pasir memiliki kandungan
oksigen yang lebih besar daripada dengan substrat yang halus, hal ini dikarenakan
substrat berpasir memiliki pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran
yang lebih intensif dengan air di atasnya akan tetapi untuk substrat pasir memiliki
kandungan nutrien yang lebih rendah dari pada substrat halus.

Substrat yang halus memiliki oksigen yang tidak begitu banyak akan tetapi nutrien
yang terkandung dalamnya memiliki jumlah yang cukup besar . Substrat lumpur
maupun berpasir merupakan habitat yang disukai untuk kehidupan makrozoobenthos.
Benthos tidak menyukai dasar perairan yang berupa batuan, tetapi jika dasar perairan
tersebut kaya akan bahan organik , maka habitat tersebut akan kaya makrozoobenthos
(Marpaung, 2013).

12
2.4 Kerangka konseptual

Limbah tambak udang


(protein, karbohidrat)

Tidak diolah secara intensif/ tidak IPAL

Limbah di buang ke sungai Kali Jeruk

Mempengaruhi lingkungan
perairan

Faktor fisis (warna, suhu, Faktor khemis (DO, salinitas,


kecerahan, total solid) ammonia, pH)

Mempengaruhi
keanekaragaman
makrozoobenthos

Keanekaragaman Keseragaman Dominansi

Komunitas Sumber belajar


makrozoobenthos berupa poster

13
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Limbah merupakan hasil akvitas manusia yang berupa sampah cair dari suatu
lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan, dengan
kurang lebih 0,1% daripadanya berupa benda padat yang terdiri dari zat organik dan
anorganik (Soemarwoto, 1992). Menurut peraturan pemerintah republik indonesia nomor
82 tahun 2001, air limbah adalah sisa dari suatu usaha kegiatan yang berwujud cair. Air
limbah dapat berasal dari rumah tangga (domestik) maupun industri yang mengandung
zat-zat berbahaya yang dapat menganggu kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
Air limbah yang merupakan hasil sisa dari berbagai aktivias, oleh karena itu air
limbah merupakan benda yang sudah tidak dimanfaatkan lagi. Air limbah yang tidak
termanfaatkan masih memerlukan pengolahan. Limbah yang pengolahan kurang baik
akan menyebabkan permasalahan lingkungan dan kehidupan makhluk hidup sekitar. Air
limbah yang tanpa pengolahan dengan baik saat bahaya terhadap kesehatan manusia, hal
ini dikarenakan banyak dampak kesehatan yang ditimbulkan akibat adanya limbah
(Agustira, Lubis, & Jamilah, 2013).
3.2 SARAN
3.2.1 Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat mengetahui damapak dari limbah tambak udang
dari mebaca isi makalah ini serta menanggulangi pencemaran dari limbah
tambak udang .
3.2.2 Bagi institusi pendidikan
Diharapkan institusipendidikan dapat mengetahui damapak dari limbah tambak
udang dari mebaca isi makalah ini serta menanggulangi pencemaran dari
limbah tambak udang .dan juga sebagai refrensi pengetahuan dan bahan ajar.
3.2.3 Bagi tenaga kesehatan
Diharapkan institusipendidikan dapat mengetahui damapak dari limbah tambak
udang dari mebaca isi makalah ini serta menanggulangi pencemaran dari
limbah tambak udang .dan juga sebagai refrensi pengetahuan dan bahan ajar.

14

Anda mungkin juga menyukai