Anda di halaman 1dari 196

TESIS

EFEK KOMBINASI EKSTRAK DAUN KELOR (Moringa


oleifera L.) DENGAN DOKSORUBISIN TERHADAP
PENEKANAN EKSPRESI SIKLIN D1 DAN Bcl-2
PADA SEL KANKER PAYUDARA

OLEH:
SHERLY H. HUTAGAOL
NIM. 167014003

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
EFEK KOMBINASI EKSTRAK DAUN KELOR (Moringa
oleifera L.) DENGAN DOKSORUBISIN TERHADAP
PENEKANAN EKSPRESI SIKLIN D1 DAN Bcl-2
PADA SEL KANKER PAYUDARA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara

OLEH:
SHERLY H. HUTAGAOL
NIM. 167014003

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Nama Mahasiswa : Sherly H. Hutagaol

Nomor Induk Mahasiswa : 167014003

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Efek Kombinasi Ekstrak Daun Kelor (Moringa


oleifera L.) Dengan Doksorubisin Terhadap
Penekanan Ekspresi Siklin D1 dan Bcl-2 Pada
Sel Kanker Payudara

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Komisi Penguji Tesis pada

hari kamis tanggal dua puluh tiga bulan Agustus tahun dua ribu delapan belas.

Mengesahkan:

Komisi Penguji Tesis

Ketua Komisi Penguji : Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

Sekretaris Komisi Penguji : Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt.

Anggota Komisi Penguji : Dr. Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, S.Si., Apt.

Yuandani, M.Si., Ph.D., Apt

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama Mahasiswa : Sherly H. Hutagaol

Nomor Induk Mahasiswa : 167014003

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Efek Kombinasi Ekstrak Daun Kelor (Moringa


oleifera L.) Dengan Doksorubisin Terhadap
Penekanan Ekspresi Siklin D1 dan Bcl-2 Pada
Sel Kanker Payudara

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya saya

sendiri, bukan plagiat dan apabila dikemudian hari diketahui tesis saya tersebut

plagiat karena kesalahan saya sendiri maka saya bersedia diberi sanksi apapun

oleh Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi USU. Saya tidak akan

menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam

keadaan sehat.

Medan, September 2018


Yang membuat pernyataan,

Sherly H. Hutagaol
NIM 167014003

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya yang tak

terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis

dengan judul “Efek Kombinasi Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera L.) Dengan

Doksorubisin Terhadap Penekanan Ekspresi Siklin D1 Dan Bcl-2 Pada Sel

Kanker Payudara”, sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister

Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Selama

menyelesaikan penelitian dan tesis ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan

dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil, untuk itu penulis

ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang tiada terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara yang sekaligus sebagai pembimbing yang telah menyediakan

fasilitas dan kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Studi

Magister Farmasi Fakultas Farmasi serta yang membimbing, mengarahkan,

memberikan dorongan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku Ketua Program Studi Magister

Farmasi Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera.

4. Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., selaku Pembimbing yang selalu

membimbing, mengarahkan, memberikan dorongan dan semangat sehingga

penulis terpacu untuk menyelesaikan penelitian dan tesis ini.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
5. Ibu Dr. Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, S.Si., M.Si., Apt., dan Ibu Yuandani,

M.Si., Ph.D., Apt., sebagai penguji yang telah banyak memberikan saran dan

masukan bagi penulis dalam penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Dr. Panal Sitorus, M.Si., Apt., sebagai Kepala Laboratorium

Farmakognosi beserta staf.

7. Bapak Prof. Dr. Supargiyono, DTM&H., SU, Ph.D., Sp. Park., Kepala

Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

beserta staf.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada

hentinya kepada keluarga tercinta Marnaek D.V. Pangaribuan, Cahaya dan Lukas,

yang tiada hentinya berkorban dengan tulus ikhlas bagi kesuksesan penulis. Serta

buat Bapak Denny Satria dan rekan Grace, Trinova, Cut Riska dan semua pihak

yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak membantu

dalam penelitian tesis ini. Kiranya Tuhan memberikan balasan yang berlipat

ganda atas kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan,

sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir

kata semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu

pengetahuan khususnya bidang farmasi.

Medan, September 2018


Penulis,

Sherly H. Hutagaol
NIM 167014003

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
EFEK KOMBINASI EKSTRAK DAUN KELOR (Moringa
oleifera L.) DENGAN DOKSORUBISIN TERHADAP
PENEKANAN EKSPRESI SIKLIN D1 DAN Bcl-2
PADA SEL KANKER PAYUDARA
ABSTRAK

Penggunaan kombinasi kemoterapi, yaitu senyawa kemoprevensi


dikombinasi dengan agen kemoterapi diketahui mampu meningkatkan sensitivitas
sel kanker serta efikasi kemoterapi dan penurunan toksisitasnya terhadap jaringan
normal. Daun Moringa oleifera L. berpotensi sebagai antikanker, pada penelitian
sebelumnya ekstrak etanolnya memberi efek sinergis meningkatkan sitotoksik
doksorubisin pada sel kanker hela namun untuk kanker payudara belum
dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik dari EEADK,
indeks selektivitas (IS), efek kombinasi dengan doksorubisin, mekanisme
penghambatan siklus sel, mekanisme apoptosis serta penekanan ekspresi siklin
D1 dan Bcl-2 pada sel kanker payudara.
Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi bertingkat
menggunakan pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya, n-heksana, etil asetat dan
etanol serta dilakukan skrining fitokimia dan karakterisasi terhadap simplisia dan
ekstrak. Ekstrak diuji sitotoksiknya terhadap sel MCF-7 dan T47D dengan
menggunakan metode kolorimetri MTT (Microculture Tetrazolium Tehnique),
mekanisme penghambatan siklus sel dan apoptosis dengan metode flowsitometri
serta penekanan ekspresi siklin D1 dan Bcl-2 dengan metode imunositokimia.
Hasil skrining fitokimia ENDK mengandung senyawa alkaloid, steroid;
EEADK mengandung flavonoid, glikosida, saponin, tanin, steroid dan EEDK
mengandung flavonoid, glikosida, tanin. Hasil uji sitotoksik EEADK pada sel
kanker payudara MCF-7 dan sel T47D memberikan nilai IC50 sebesar 149,29 ±
24,41 µg/mL dan 186,56 ± 33,09 µg/mL. Pengujian sitotoksik terhadap sel normal
(sel Vero) menunjukkan EEADK selektif terhadap sel MCF-7 dan T47D (IS > 3).
Selanjutnya kombinasi EEADK dengan doksorubisin pada sel MCF-7
memberikan efek sinergis sangat kuat dengan konsentrasi optimal EEADK-
doksorubisin yaitu 18,66 µg/mL – 1,45 µg/mL, terhadap sel T47D memberikan
efek sinergis dengan konsentrasi optimal EEADK-doksorubisin 23,32 µg/mL –
0,35 µg/mL. EEADK dan kombinasinya dengan doksorubisin dilakukan uji
penghambatan siklus sel terhadap sel MCF-7, memberikan hasil penghambatan
siklus sel pada fase G0-G1 dengan persentase berturut-turut 69,89% dan 54,48%,
sedangkan terhadap sel T47D diperoleh hasil menghambat siklus sel pada fase
G0-G1 dengan persentase 55,04% dan 54,49%, serta dapat memacu apoptosis
awal terhadap sel MCF-7 dengan persentase 20,59% dan 41,47%, terhadap sel
T47D dengan persentase 17,76% dan 7,66% dan dapat menekan ekspresi siklin
D1 dan Bcl-2.
Berdasarkan hasil tersebut maka EEADK dapat dikombinasikan dengan
doksorubisin sebagai antikanker payudara karena adanya efek sinergis dan
terjadinya penghambatan siklus sel serta pemacuan apoptosis.

Kata kunci: Daun kelor, doksorubisin, T47D, MCF-7, sitotoksik, indeks


kombinasi, indeks selektivitas, imunositokimia.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
COMBINATION EFFECT OF EXTRACT KELOR LEAVES
Moringa oleifera L.) WITH DOXORUBICIN ON DECREASE
EXPRESSION OF CYCLIN D1 AND Bcl-2 AGAINST
BREAST CANCER CELL LINES

ABSTRACT

The application of a combination chemotherapy which chemoprevention


compounds combined with chemotherapeutic agents is known to increase the
sensitivity of cancer cells and the efficacy of chemotherapy and decreased toxicity
to normal tissue. Moringa oleifera L. leaf potentially as anticancer, in previous
studies of ethanol extract gave synergistic effect of cytotoxic with doxorubicin in
hela cancer cells but for breast cancer not yet done.This study aims to determine
the cytotoxic effects of EEADK, selectivity index (SI), the effect of combination
with doxorubicin, the mechanism of cell cycle inhibition, the mechanism of
apoptosis, suppression of the expression of cyclin D1 and Bcl-2 in breast cancer
cells.
Preparation of extracts was done by graded with solvents on the level of
polarity. The solvents were n-hexane, ethyl acetate and ethanol as well as
performed phytochemical screening and characterization of simplicia and extracts.
The extract tested its cytotoxicity against MCF-7 and T47D cells using the
method of colorimetric MTT (Microculture Tetrazolium Tehnique), effects
inhibition of cell cycle and apoptosis with flowcytometry method and suppression
of cyclin D1 and Bcl-2 expression with immunocytochemistry method.
Screening phytochemical results showed NEKL contain alkaloids, steroids;
EAEKL contains flavonoids, glycosides, saponins, tannins, steroids and EEKL
containing flavonoids, glycosides, tannins. The test results of EAEKL cytotoxic
against breast cancer cells MCF-7 and T47D cells giving IC50 value of 149.29 ±
24.41 g/mL and 186.56 ± 33.09 g/mL. Tests cytotoxic against normal (Vero)
cells showed selective EAEKL against MCF-7 and T47D (SI > 3). Furthermore,
the combination of EAEKL with doxorubicin in MCF-7 cells gave a very strong
synergistic effect with an optimal concentration of EAEKL -doxorubicin at 18.66
μg/mL-1.45 μg/mL, to T47D cells gave a synergistic effect with optimum
concentrations of EAEKL -doxorubicin 23.32 μg/mL - 0.35 μg/mL. EAEKL and
its combination with doxorubicin carried out cell cycle inhibitory test against
MCF-7 cells, giving results inhibitory the cell cycle at G0-G1 phase with a
percentage of 69.89% and 54.48% respectively, whereas against T47D cells
obtained results inhibiting the cell cycle in the phase G0-G1 with the percentage of
55.04% and 54.49%, and can stimulate early apoptosis by percentage 20.59%;
41.47% on MCF-7 cells and 17.76% ; 7.66% on T47D cells and can suppress the
expression of cyclin D1 and Bcl-2.
Based on these results, EAEKL can be combined with doxorubicin as a
breast anticancer because of the synergistic effect and the occurrence of cell cycle
inhibition and apoptotic stimulation.

Keywords: Kelor leaves, doxorubicin, T47D, MCF-7, cytotoxic, combination


index, selectivity index, immunocytochemistry.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ....................................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS ........................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN TESIS ............................................................ iv

SURAT PERNYATAAN ........................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................ vi

ABSTRAK ................................................................................................. vii

ABSTRACT ............................................................................................... ix

DAFTAR ISI .............................................................................................. x

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xvii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xix

DAFTAR SINGKATAN ................................................................ ............ xxi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ..................................................... 7

1.3 Perumusan Masalah .............................................................. 8

1.4 Hipotesis ............................................................................... 8

1.5 Tujuan Penelitian .................................................................. 9

1.6 Manfaat Penelitian ................................................................ 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 11

2.1 Siklus Sel .............................................................................. 11

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
2.1.1 Rb Pathway ................................................................. 12

2.1.2 Checkpoint pada Siklus Sel .......................................... 15

2.1.3 P-53 Pathway .............................................................. 15

2.1.4 Nuclear Factor kappa B (NF-kB) Pathway ................ 17

2.1.5 Keseimbangan Apoptosis dan Proliferasi .................... 18

2.2 Kanker ................................................................................... 23

2.2.1 Karsinogenesis ............................................................. 27

2.2.2 Kanker Payudara .......................................................... 29

2.2.2.1 Sel T47D .......................................................... 31

2.2.2.2 Sel MCF-7 ....................................................... 32

2.2.3 Sel Vero ....................................................................... 33

2.2.4 P-glycoprotein .............................................................. 33

2.3 Penanganan Kanker .............................................................. 35

2.3.1 Terapi Kanker Payudara .............................................. 36

2.3.1.1 Doksorubisin ................................................... 39

2.3.1.2 Terapi Kombinasi ............................................ 41

2.4 Kelor ..................................................................................... 41

2.4.1 Uraian Umum .............................................................. 41

2.4.2 Sistematika Tumbuhan ................................................ 43

2.4.3 Daun Kelor ................................................................... 43

2.4.4 Kandungan Bahan Aktif dalam Daun Kelor ................ 45

2.4.5 Manfaat dan Efek Farmakologi Daun Kelor ................ 46

2.4.6 Penelitian terhadap Daun Kelor ................................... 47

2.5 Target Molekular Terapi Herbal untuk Prevensi dan


Terapi Kanker ...................................................................... 48

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
2.6 Metode Pengujian Aktivitas Antikanker dari Berbagai
Tanaman Obat ...................................................................... 49

2.6.1 Uji Sitotoksik ................................................................ 50

2.6.1.1 Uji Sitotoksik Menggunakan Metode MTT .... 51

2.6.2 Indeks Selektivitas ....................................................... 51

2.6.3 Indeks Terapi Kombinasi ............................................. 52

2.6.4 Flowcytometry ............................................................. 53

2.6.5 Imunositokimia ............................................................ 55

2.7 Metode Ekstraksi ................................................................. 56

2.8 Kerangka Teori Penelitian .................................................... 59

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 60

3.1 Alat dan Bahan ...................................................................... 60

3.1.1 Alat-alat ...................................................................... 60

3.1.2 Bahan-bahan ............................................................... 61

3.2 Penyiapan Bahan Tumbuhan ................................................ 61

3.2.1 Pengumpulan Bahan .................................................... 61

3.2.2 Identifikasi Tumbuhan ................................................ 62

3.2.3 Pembuatan Simplisia Daun Kelor ............................... 62

3.3 Pembuatan Pereaksi .............................................................. 62

3.3.1 Besi (III) klorida 1% b/v ............................................. 62

3.3.2 Larutan asam klorida 2 N ........................................... 62

3.3.3 Timbal (II) asetat 0,4 M .............................................. 62

3.3.4 Pereaksi Mayer ............................................................ 63

3.3.5 Pereaksi Dragendorff ................................................... 63

3.3.6 Larutan kloralhidrat ..................................................... 63

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
3.3.7 Larutan asam sulfat 2 N ............................................... 63

3.3.8 Pereaksi Bouchardat .................................................... 63

3.3.10 Pereaksi Lieberman-Burchard ................................... 63

3.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia . .................................. 64

3.4.1 Pemeriksaan Makroskopik dan Mikroskopik .............. 64

3.4.2 Penetapan kadar air ..................................................... 64

3.4.3 Penetapan kadar sari larut dalam air ............................ 65

3.4.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol ............. 65

3.4.5 Penetapan kadar abu total ............................................ 66

3.4.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam ............... 66

3.5 Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia ..................................... 67

3.5.1 Pemeriksaan Alkaloid .................................................. 67

3.5.2 Pemeriksaan Flavonoid ................................................ 67

3.5.3 Pemeriksaan Glikosida ................................................ 68

3.5.4 Pemeriksaan Saponin ................................................... 68

3.5.5 Pemeriksaan Tanin ....................................................... 69

3.5.6 Pemeriksaan Steroid/triterpenoid ................................. 69

3.5.7 Pemeriksaan Antrakuinon ............................................ 69

3.6 Pembuatan Ekstrak Daun Kelor ............................................. 69

3.7 Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Kelor ............................... 70

3.8 Sterilisasi Alat dan Bahan ..................................................... 70

3.9 Pembuatan Media ................................................................. 70

3.9.1 Pembuatan media RPMI .............................................. 70

3.9.2 Pembuatan media komplit RPMI (MK RPMI) ........... 71

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
3.9.3 Pembuatan media DMEM ........................................... 71

3.9.4 Pembuatan media komplit DMEM (MK DMEM) ...... 72

3.9.5 Pembuatan media M199 .............................................. 72

3.9.6 Pembuatan media komplit M199 (MK M199) ............ 73

3.10 Penumbuhan Sel .................................................................... 73

3.10.1 Penumbuhan Sel T47D .............................................. 73

3.10.2 Subkultur Sel T47D ................................................... 74

3.10.3 Panen Sel T47D ......................................................... 74

3.10.4 Penumbuhan Sel MCF-7 ............................................ 74

3.10.5 Penumbuhan Sel Vero ............................................... 75

3.10.6 Subkultur Sel Vero ..................................................... 75

3.10.7 Panen Sel Vero ........................................................... 75

3.10.8 Penghitungan Sel T47D, Sel MCF-7 dan Sel Vero ... 76

3.10.9 Pembuatan Larutan Uji .............................................. 77

3.11 Pengujian Sitotoksik ........................................................... 77

3.11.1 Pengujian Sitotoksik terhadap Sel Vero ................... 77

3.11.2 Pengujian Sitotoksik terhadap Sel T47D .................. 78

3.11.3 Pengujian Sitotoksik terhadap Sel MCF-7 ................ 78

3.12 Analisis Hasil ....................................................................... 78

3.13 Indeks Selektivitas ............................................................... 79

3.14 Uji Kombinasi Ekstrak Etilasetat Daun Kelor dengan


Doksorubin terhadap Sel T47D dan Sel MCF-7 .................. 80

3.15 Pengujian Kombinasi Ekstrak Etilasetat Daun Kelor


dengan Doksorubin terhadap Apoptosis dan Siklus
Sel dari Sel T47D dan Sel MCF-7 ....................................... 82

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
3.16 Pengujian Kombinasi Ekstrak Etilasetat Daun Kelor
dengan Doksorubin dalam Penekanan Ekspresi Siklin
D1 dan Bcl-2 terhadap Sel T47D dan Sel MCF-7 ................ 83

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 84

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ................................................. 84

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia ................................................ 84

4.3 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak ................... 87

4.4 Ekstraksi ................................................................................ 89

4.5 Uji Sitotoksik Ekstrak ........................................................... 90

4.6 Indeks Selektivitas ................................................................ 94

4.7 Uji Kombinasi EEADK - Doksorubisin terhadap


Sel MCF-7 ............................................................................. 95

4.8 Uji Kombinasi EEADK - Doksorubisin terhadap


Sel T47D ............................................................................... 97

4.9 Uji Penghambatan Siklus Sel terhadap Sel MCF-7 ............... 99

4.10 Uji Penghambatan Siklus Sel terhadap Sel T47D................. 104

4.11 Uji Apoptosis pada Sel MCF-7 ............................................ 109

4.12 Uji Apoptosis pada Sel T47D .............................................. 113

4.13 Pengamatan Ekspresi Protein Siklin D1 dan Bcl-2 .............. 116

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 124

5.1 Kesimpulan ............................................................................ 124

5.2 Saran ..................................................................................... 125

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 126

LAMPIRAN …………............................................................................... . 138

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Daftar Penelitian dari Daun Kelor .............................................. 47

2.2 Interpretasi nilai CI (Combination Index) ................................... 53

4.1 Hasil karakteristik simplisia daun kelor (SDK) .......................... 85

4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia daun kelor (SDK) ................. 87

4.3 Hasil skrining fitokimia ekstrak daun kelor ................................. 87

4.4 Hasil IC50 ekstrak daun kelor terhadap sel T47D, MCF-7
dan sel Vero ................................................................................. 90

4.5 Nilai indeks selektivitas (IS) ekstrak daun kelor pada


sel MCF-7 dan sel T47D .............................................................. 93

4.6 Nilai indeks kombinasi (CI) EEADK-doksorubisin terhadap


sel MCF-7 .................................................................................... 96

4.7 Nilai indeks kombinasi (CI) EEADK-doksorubisin terhadap


sel T47D ....................................................................................... 97

4.8 Distribusi sel MCF-7 setelah perlakuan dengan berbagai


Konsentrasi EEADK, doksorubisin dan kombinasi keduanya .... 100

4.9 Distribusi sel T47D setelah perlakuan dengan berbagai


Konsentrasi EEADK, doksorubisin dan kombinasi keduanya .... 104

4.10 Hasil pengujian apoptosis EEADK pada sel MCF-7 .................. 110

4.11 Hasil pengujian apoptosis EEADK pada sel T47D ..................... 113

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Diagram kerangka pikir penelitian ............................................... 7

2.1 Ilustrasi umum siklus sel ............................................................. 14

2.2 Aktivasi NF-kB terhadap sel kanker ............................................ 18

2.3 Jalur ekstrinsik dan intrinsik apoptosis ........................................ 22

2.4 Struktur kompleks doksorubisin-DNA ........................................ 39

2.5 Pohon kelor .................................................................................. 42

2.6 Daun Kelor ................................................................................... 44

2.7 Struktur kimia kandungan aktif daun kelor ................................. 46

2.8 Skema alat Flowcytometer ........................................................... 54

2.9 Kerangka teori penelitian ............................................................. 59

3.1 Hemositometer ............................................................................. 76

4.1 Hasil viabilitas sel MCF-7 ........................................................... 91

4.2 Hasil viabilitas sel T47D .............................................................. 91

4.3 Hasil viabilitas sel Vero ............................................................... 91

4.4 Hasil uji sitotoksik doksorubisin ................................................... 92

4.5 Gambaran siklus sel MCF-7 kontrol ............................................ 100

4.6 Gambaran siklus sel MCF-7 yang diberi ½ IC50 EEADK ........... 100

4.7 Gambaran siklus sel MCF-7 yang diberi 1/10 IC50 EEADK ......... 101

4.8 Gambaran siklus sel MCF-7 yang diberi 1/8 IC50 EEADK dan
¼ IC50 doksorubisin ..................................................................... 101

4.9 Gambaran siklus sel MCF-7 yang diberi ½ IC50 doksorubisin ... 101

4.10 Gambaran siklus sel T47D kontrol .............................................. 105

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
4.11 Gambaran siklus sel T47D yang diberi ½ IC50 EEADK ............ 105

4.12 Gambaran siklus sel T47D yang diberi 1/10 IC50 EEADK ............. 105

4.13 Gambaran siklus sel T47D yang diberi 1/8 IC50 EEADK dan
1
/4 IC50 doksorubisin ..................................................................... 106

4.14 Gambaran siklus sel T47D yang diberi ½ IC50 doksorubisin ...... 106

4.15 Gambaran persentase kondisi sel MCF-7 kontrol ........................ 110

4.16 Gambaran persentase kondisi sel MCF-7 yang diberi ½ IC50


EEADK ........................................................................................ 110

4.17 Gambaran persentase kondisi sel MCF-7 yang diberi 1/10 IC50
EEADK ........................................................................................ 110

4.18 Gambaran persentase kondisi sel MCF-7 yang diberi 1/8 IC50
EEADK dan 1/4 IC50 doksorubisin ................................................ 111

4.19 Gambaran persentase kondisi sel MCF-7 yang diberi ½ IC50


doksorubisin ................................................................................. 111

4.20 Gambaran persentase kondisi sel T47D kontrol .......................... 114

4.21 Gambaran persentase kondisi sel T47D yang diberi ½ IC50


EEADK ........................................................................................ 114

4.22 Gambaran persentase kondisi sel T47D yang diberi 1/10 IC50
EEADK ........................................................................................ 114

4.23 Gambaran persentase kondisi sel T47D yang diberi 1/8 IC50
EEADK dan 1/4 IC50 doksorubisin ................................................ 114

4.24 Gambaran persentase kondisi sel T47D yang diberi ½ IC50


doksorubisin ................................................................................. 115

4.25 Ekspresi Siklin D1 yang diberi berbagai perlakuan pada sel


T47D ............................................................................................ 118

4.26 Ekspresi Siklin D1 yang diberi berbagai perlakuan pada sel


MCF-7 .......................................................................................... 118

4.27 Ekspresi Bcl-2 yang diberi berbagai perlakuan pada sel T47D ... 121

4.28 Ekspresi Bcl-2 yang diberi berbagai perlakuan pada sel MCF-7 . 122

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi daun kelor (Moringa oleifera L.) ..................... 138

2 Gambar daun kelor (Moringa oleifera L.) .................................. 139

3 Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk SDK .............................. 140

4 Bagan ekstraksi serbuk simplisia secara maserasi bertingkat ...... 141

5 Perhitungan kadar air SDK .......................................................... 142

6 Perhitungan kadar sari larut air SDK ........................................... 143

7 Perhitungan kadar sari larut etanol SDK ..................................... 144

8 Perhitungan kadar abu total SDK ................................................ 145

9 Perhitungan kadar abu tidak larut asam SDK .............................. 146

10 Perhitungan persen sel hidup sel MCF-7 ..................................... 147

11 Perhitungan persen sel hidup sel T47D ....................................... 148

12 Perhitungan persen sel hidup sel Vero ......................................... 149

13 Bagan pembuatan media RPMI ................................................... 150

14 Bagan pembuatan media komplit (MK) RPMI ............................ 151

15 Bagan penumbuhan sel ................................................................ 152

16 Bagan panen sel ........................................................................... 153

17 Bagan penghitungan sel ............................................................... 154

18 Bagan pembuatan larutan uji ....................................................... 155

19 Bagan pengujian sitotoksik .......................................................... 156

20 Bagan pengujian flowsitometri .................................................... 157

21 Bagan pengujian imunositokimia ................................................ 158

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
22 Sel MCF-7, T47D dan sel Vero di bawah mikroskop ................. 159

23 Microplate-96 sumuran ................................................................ 160

24 Hasil IC50 EEADK pada sel MCF-7 dengan analisis probit


SPSS 24......................................................................................... 161

25 Hasil IC50 Doksorubisin pada sel MCF-7 dengan analisis


probit SPSS 24 .............................................................................. 162

26 Hasil IC50 EEADK pada sel T47D dengan analisis probit


SPSS 24......................................................................................... 163

27 Hasil IC50 Doksorubisin pada sel T47D dengan analisis


probit SPSS 24 .............................................................................. 164

28 Hasil IC50 EEADK pada sel Vero dengan analisis probit


SPSS 24......................................................................................... 165

29 Nilai persen hidup sel MCF-7 dengan pemberian kombinasi


EEADK-Doksorubisin .................................................................. 166

30 Nilai persen hidup sel T47D dengan pemberian kombinasi


EEADK-Doksorubisin .................................................................. 167

31 Indeks kombinasi (IK) EEADK-Doksorubisin pada sel


MCF-7 dengan Compusyn software versi 1 .................................. 168

32 Indeks kombinasi (IK) EEADK-Doksorubisin pada sel


T47D dengan Compusyn software versi 1 .................................... 170

33 LAF (Laminar Air Flow), mikroskop inverted dan


inkubator CO2 .............................................................................. 172

34 Microplate reader dan Flowsitometer ......................................... 173

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
DAFTAR SINGKATAN

ABCB1 ATP Binding Cassette Famili B 1


AIF Apoptosis Including Factor
Apaf-1 Apoptosis activating factor-1
ATP Adenosine-Tri Phosphat
Bcl-2 B cell Limphoma-2
Bcl-XL B cell Limphoma- Extra Large
BCRP Breast Cancer Resistance Protein
CAK CDK Activating Kinase
CDK Cyclin Dependent Kinase
CDKI Cyclin Dependent Kinase Inhibitor
Cdc25c Cell division cycle 25 homolog C
CI Combination Index
Cyc Cyclin
DR Death Reseptor
DMEM Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium
DMSO Dimethyl Sulfoxide
DNA Deoxiribo Nukleid Acid
Dox Doxorubicin
EAEKL Ethyl acetate Extract of Kelor Leaves
ENDK Ekstrak n-heksana daun kelor
EEADK Ekstrak etil asetat daun kelor
EEDK Ekstrak etanol daun kelor
EEKL Ethanol Extract of Kelor Leaves
ER Estrogen Reseptor
FACS Fluorescence Activated Cell Sorting
FADD Fas-Asociated Death Domain
FBS Fetal Bovine Serum
HER-2 Human Epidermal growth factor Receptor 2
HIV Human Immunodeficiency Virus
IAP Inhibitory Apoptosis

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
IK Indeks Kombinasi
IS Indeks Selektivitas
MAPK Mitogen Activated Protein Kinase
MCF-7 Michigan Cancer Foundation-7
MDR Multi Drug Resistance
MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]
NEKL N-hexana Extract of Kelor Leaves
NF-ĸB Nuclear Factor kappa B
p21 Protein 21
p53 Protein 53
Pgp P-glikoprotein
PI Propidium Iodida
PKC Protein Kinase C
pRB Protein Retinoblastoma
PS Phosphatidylserine
RNA Ribo Nucleid Acid
ROS Reactive Oxygen Species
RPMI Roswell Park Memorial Institute
SDK Simplisia Daun Kelor
SDS Sodium Dodesil Sulfat
SI Selectivity Index
TNF Tumor Necrosis Factor
TNFR Tumor Necrosis Factor Receptor
T47D Tumor 47 Ductal

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal (yaitu

tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol) yang dapat menyerang ke jaringan tubuh

normal dan menekan jaringan tubuh normal sehingga mempengaruhi fungsi

tubuh. Kanker merupakan suatu penyakit yang kompleks yang diakibatkan oleh

banyak faktor. Secara fisiologis, sistem pertumbuhan sel dalam individu diatur

oleh suatu sistem keseimbangan, yaitu apoptosis dan proliferasi. Apabila pada

individu terjadi apoptosis yang berlebih, maka individu tersebut akan mengalami

kemunduran fungsi dari suatu sistem organ yang dapat menimbulkan suatu

penyakit. Demikian juga halnya bila terjadi proliferasi sel secara berlebihan, maka

akan membentuk suatu massa tumor (malignancy) yang akan mengarah pada

kanker (Sudiana, 2011).

Kanker termasuk penyakit mematikan baik pada pria maupun wanita.

Menurut data WHO tahun 2013, kanker menjadi penyebab kematian nomor dua di

dunia sebesar 13 persen setelah penyakit kardiovaskuler. Diperkirakan pada tahun

2030 insiden kanker dapat mencapai 26 juta orang dari 17 juta diantaranya

meninggal akibat kanker terlebih untuk negara miskin dan berkembang

kejadiannya akan lebih cepat. Insiden kanker meningkat dari 12,7 juta kasus tahun

2008 menjadi 14,1 juta kasus tahun 2012. Sedangkan jumlah kematian meningkat

dari 7,6 juta orang pada tahun 2008 menjadi 8,2 juta orang pada tahun 2012

(Kemenkes, 2015).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Prevalensi penyakit kanker di Indonesia cukup tinggi, berdasarkan data

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi tumor/kanker di

Indonesia adalah 1,4 per 1000 penduduk, atau sekitar 330.000 orang. Kanker

merupakan penyebab kematian ketujuh di Indonesia. Penderita kanker tertinggi di

Indonesia adalah kanker payudara dan kanker rahim. Berdasarkan Sistem

Informasi Rumah Sakit (SIRS) 2013 jumlah pasien rawat jalan maupun rawat inap

pada kanker payudara terbanyak yaitu 12.014 orang (28,7%), kanker serviks 5.349

orang (12,8%), leukemia sebanyak 4.342 orang (10,4%), lymphoma 3.486 orang

(8,3 %) dan kanker paru 3.244 orang (7,8 %) (Kemenkes, 2015).

Kemoterapi merupakan salah satu terapi kanker yang digunakan saat ini

selain dengan pembedahan, radioterapi, dan pengobatan dengan hormon.

Pengobatan dengan pembedahan dan radioterapi dapat dilakukan pada kanker

stadium awal. Akan tetapi pengobatan tersebut gagal digunakan pada kanker yang

telah berkembang pada stadium lanjut dan mengalami metastasis.

Kemoterapi merupakan pengobatan kanker yang menggunakan senyawa

kimia untuk menekan atau menghentikan proliferasi sel, atau menghancurkan sel

kanker (sitotoksik). Doksorubisin merupakan antibiotik antrasiklin yang dianggap

efektif sebagai salah satu agen kemoterapi antikanker dan banyak digunakan

(Frias, et al., 2009). Senyawa ini diisolasi dari Streptomyces peucetius var caesius

pada tahun 1960-an dan digunakan secara luas (Childs, et al., 2002).

Penggunaan doksorubisin sebagai agen kemoterapi dapat digunakan baik

sebagai agen tunggal maupun kombinasi. Penggunaan doksorubisin sebagai agen

kemoterapi tersebut dianggap efektif (Frias, et al., 2009). Namun, penggunaan

doksorubisin pada terapi kanker ternyata memberikan beberapa efek samping

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
antara lain mempengaruhi sistem imun, rambut rontok, radang tenggorokan,

hepatotoksik, dan kardiotoksik (Frias, et al., 2009; Fogli, et al., 2004; Ekowati, et

al., 2013) yang bersifat irreversibel. Penelitian terhadap 399 pasien menunjukkan

bahwa insidensi gagal jantung pada pasien yang menerima doksorubisin dalam

dosis besar adalah lebih dari 18% (Singal, et al., 2000). Doksorubisin dapat

menginduksi akumulasi inflammatory cells yang terkait dengan peningkatan

amino transferase seperti alanine transaminase (ALT) dan Aspartate

transaminase (AST) dalam serum (Ekowati, et al., 2013). Beberapa peneliti juga

melaporkan terjadi induksi NOS (Nitric oxide synthase) yang melepaskan NO dan

menghasilkan ROS (Reactive oxygen species) pada cardiac akibat toksisitas

doxorubicin (Fogli, et al., 2004). Oleh karena itu, diperlukan inovasi untuk

menurunkan efek kardio-hepatotoksik tersebut.

Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan resistensi karena

ekspresi berlebih dari P-glikoprotein (Pgp), yakni protein yang berperan pada

pengeluaran obat dari sel, sehingga potensi sitotoksik pada sel kanker akan

berkurang (Imai, et al., 2005; Wong, et al., 2006). Timbulnya resistensi ini

menjadi kendala utama dalam kemoterapi karena dapat menurunkan sensitivitas

sel kanker terhadap agen kemoterapi.

Oleh karena itu, perlu dilakukan terapi kombinasi dengan menggunakan

agen kemopreventif untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker payudara terhadap

agen kemoterapi dan meminimalkan efek samping , kombinasi ini disebut

kokemoterapi. Kokemoterapi merupakan strategi terapi kanker dengan

mengkombinasikan suatu senyawa dengan agen kemoterapi. Senyawa atau obat

ini dapat meningkatkan efikasi terapi sekaligus menurunkan toksisitas agen

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
kemoterapi pasangannya terhadap jaringan normal (Sharma, et al., 2004).

Pemilihan agen kokemoterapi dari alam merupakan sebuah peluang yang

prospektif dalam pengembangan obat. Akan tetapi masih langkanya pembuktian

penggunaan bahan alam secara ilmiah menimbulkan kekwatiran apakah alternatif

pengobatan tersebut mempunyai dampak positif atau justru berdampak negatif.

Bahan alami yang ideal digunakan sebagai kokemoterapi adalah bahan alami yang

berefek sinergis dengan agen kemoterapi sehingga dosis agen kemoterapi yang

dipakai dapat diturunkan sebagai upaya untuk menghindari efek samping serta

membantu percepatan penyembuhan kanker (Meiyanto, et al., 2008).

Salah satu tanaman yang diketahui berpotensi antikanker dengan

meningkatkan apoptosis dan menghambat proliferasi adalah kelor (Moringa

oleifera L). Daun kelor memiliki kandungan kimia yang unik yaitu isotiosianat,

glukosinolat, karbamat, tiokarbamat, fenolik, niazimicin, flavonoid (kaempferol,

quersetin), vitamin C dan vitamin E yang pada penelitian sebelumnya

menunjukkan aktivitas biologis sebagai antiinflamasi, antioksidan dan antitumor

(Sreelatha, et al., 2011; Karim, et al., 2016). Isotiosianat dan glukosinolat pada

daun kelor secara khusus merupakan zat yang berguna sebagai kemoprevensi

pada sel kanker yaitu benzil isotiosianat (BITC) dan Fenetil isotiosianat (PEITC),

dimana BITC secara in vitro mampu menginduksi apoptosis terhadap sel kanker

ovarium (Bose, et al., 2007) dan sel kanker pankreas BxPC-3 secara signifikan

dengan IC50 8 M serta menginhibisi pertumbuhan sel kanker pankreas BxPC-3

(Srivasta, et al., 2004). PEITC mampu menginhibisi pertumbuhan sel kanker

paru-paru dan menginduksi apoptosis selnya (Sticha, et al., 2002).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Beberapa publikasi penelitian membuktikan potensi daun kelor sebagai

antikanker yaitu pada penelitian Sreelatha et al, (2011) dimana ekstrak etanolnya

mampu menginduksi apoptosis dan menghambat radikal bebas pada human tumor

cell line (Sreelatha, et al., 2011), pada leukemia dan hepatocarcinoma cell line

(Khalafalla, et al., 2010). Sebagai sitotoksik dan antikanker pada cell line hela dan

lymphocyte (Nair, et al., 2011); antikanker pada sel HepG2 (Hepatoceluler),

Caco-2 (kanker kolon) dan MCF-7 (Charoensin, et al., 2014).

Ekstrak daun kelor mempunyai aktivitas antikanker pada sel kanker

payudara ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hossain et al,

(2015) dimana ekstrak etanol daun kelor menghambat pertumbuhan sel MCF-7

sebesar 88,13% dan pada sel normal sebesar 12,89%. Penelitian lainnya dilakukan

oleh Yurina et al, (2014) dimana ekstrak etanol daun kelor mampu meningkatkan

ekspresi caspase-9, menurunkan ekspresi p27 dan meningkatkan apoptosis pada

sel MCF-7.

Penelitian pengaruh ekstrak etanol daun kelor memberi efek sinergis

positif meningkatkan sitotoksisitas doksorubisin pada sel kanker servik (Hela)

telah dilakukan oleh Hermawan et al, (2012), dimana ekstrak etanol M. Oleifera

meningkatkan induksi apoptosis dibandingkan dengan doksorubisin saja,

sedangkan untuk sel kanker payudara belum pernah dilakukan.

Selain sebagai antikanker ekstrak daun kelor juga memiliki efek

kardioprotektif dimana ekstrak etanol daun kelor mampu memperbaiki

histopatologi cardiac tikus yang diinduksi oleh doksorubisin (Fikriansyah, et al.,

2015). Ekstrak metanol daun kelor juga memiliki efek hepatoprotektif dimana

ekstraknya dapat meningkatkan GSH, GSH-R dan CAT, Kadar RBCs dan

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
menurunkan peroksidasi lipid pada liver (Kumar et al., 2011). Selain itu ekstrak

etanol daun kelor memiliki aktivitas sebagai imunostimulator terhadap CD3+ dan

CD8+ pada tikus betina yang diinduksi oleh doksorubisin (Sari, et al., 2015).

Penelitian uji toksisitas akut ekstrak daun kelor telah dilakukan terhadap

tikus albino dan kelinci dimana ekstrak daun kelor memiliki efek toksisitas yang

rendah dengan LD50 pada tikus 6616,67 mg/kg BB dan pada kelinci sebesar

26043,67 mg/kg BB (Osman, et al., 2015), untuk uji toksisitas sub kroniknya

terhadap mencit diperoleh LD50 sebesar 1585 mg/kg BB (Awodele, et al., 2012).

Sel kanker payudara memiliki beberapa jenis untuk diteliti. Diantara jenis

sel kanker tersebut sel kanker payudara yang sering digunakan dalam penelitian

adalah sel T47D (human ductal breast epithelial tumor cell line) dan sel MCF7.

Sel T47D sering digunakan dalam penelitian kanker secara in vitro karena

penanganannya mudah, memiliki kemampuan replikasi yang tidak terbatas atau

cepat pertumbuhannya, memiliki homogenitas yang tinggi dan mudah diganti sel

baru yang telah dibekukan jika terjadi kontaminasi (Abcam, 2007). Sel MCF-7

memiliki karakteristik antara lain resisten agen kemoterapi (Mechetner, et al.,

1998), mengekspresikan reseptor estrogen (ER +), overekspresi Bcl-2 (Butt, et al.,

2000; Amundson, et al., 2000) dan tidak mengekspresikan caspase-3 (Onuki, et

al., 2004).

Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti efek

kombinasi dari ekstrak daun kelor yang dikombinasi dengan doksorubisin

terhadap ekspresi Siklin D1 dan Bcl-2 pada sel kanker payudara T47D dan MCF-

7 melalui uji sitotoksik, indeks selektivitas, indeks kombinasi dengan , apoptosis,

siklus sel, dan pengujian ekspresi proteinnya.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas penelitian ini menguji efek

kombinasi ekstrak daun kelor dengan doksorubisin terhadap sel kanker payudara

yaitu sel MCF7 dan T47D, secara diagramatis kerangka pikir penelitian ini dapat

dilihat pada Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel terikat Parameter


1.Makroskopik 6. Kadar sari larut
Simplisia Karakteristik 2.Mikroskopik dalam air
3.Kadar air 7. Kadar sari larut
daun kelor simplisia 4.Kadar abu total dalam etanol
5. Kadar abu tidak
larut asam

ENDK, 1. Alkaloid 5. Triterpenoid/steroid


Skrining 2. Flavonoid 6. Glikosida
EEADK 3. Tannin 7. Glikosida /antrakinon
Fitokimia
dan EEDK 4. Saponin

Sel T47D
Aktivitas Persentase Indeks
Sel MCF7 Sitotoksik Sel Hidup Selektivitas
Ekstrak (IC50) (IS)
Sel Vero

Indeks
Efek kombinasi Kombinasi (IK)
EEADK
Penghambatan Persentase
Sel T47D Hambatan siklus
siklus sel
sel

Sel
Sel MCF-7 Induksi Persentase
Doksorubisin MCF7 Apoptosis Apoptosis

Penekanan
Ekspresi protein
ekspresi protein
Siklin D1 dan
Siklin D1 dan
Bcl-2
Bcl-2

Gambar 1.1 Diagram kerangka pikir penelitian

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini

adalah:

a. Apakah ekstrak n-heksan, ekstrak etilasetat, ekstrak etanol daun kelor

memiliki aktivitas antikanker pada sel kanker payudara?

b. Apakah kombinasi ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin

memiliki efek sinergis sebagai antikanker terhadap sel kanker payudara?

c. Apakah kombinasi ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin

mampu menghambat siklus sel kanker payudara?

d. Apakah kombinasi ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin

mampu menginduksi apoptosis sel kanker payudara?

e. Apakah kombinasi ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin

mampu menekan ekspresi protein siklin D1?

f. Apakah kombinasi ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin

mampu menekan ekspresi protein Bcl-2?

1.4 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka hipotesis penelitian

ini adalah:

a. Ekstrak n-heksan, ekstrak etilasetat, ekstrak etanol daun kelor memiliki

aktivitas antikanker pada sel kanker payudara.

b. Kombinasi ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin memiliki

efek sinergis sebagai antikanker terhadap sel kanker payudara.

c. Kombinasi ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin mampu

menghambat siklus sel kanker payudara.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
d. Kombinasi ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin mampu

menginduksi apoptosis sel kanker payudara.

e. Kombinasi ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin mampu

menekan ekspresi protein siklin D1.

f. Kombinasi ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin mampu

menekan ekspresi protein Bcl-2.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui apakah ekstrak n-heksan, ekstrak etilasetat, ekstrak etanol

daun kelor memiliki aktivitas antikanker pada sel kanker payudara.

b. Mengetahui apakah ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin

memiliki efek sinergis sebagai antikanker terhadap sel kanker payudara.

c. Mengetahui apakah ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin

mampu menghambat siklus sel kanker payudara.

d. Mengetahui apakah ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin

mampu menginduksi apoptosis sel kanker payudara.

e. Mengetahui apakah ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin

mampu menekan ekspresi protein siklin D1.

f. Mengetahui apakah ekstrak yang paling potensial dengan doksorubisin

mampu menekan ekspresi protein Bcl-2.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai pengembangan daun kelor menjadi

sediaan obat tradisional yang selektif sebagai kokemoterapi antikanker dan

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
menambah data informasi dalam pemanfaatan daun kelor sebagai tanaman obat

yang berkhasiat sebagai kokemoterapi antikanker.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Siklus Sel

Siklus sel merupakan proses perkembangbiakan sel yang memperantarai

pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Sel mampu melakukan

pembelahan sel yang merupakan mekanisme proliferasi sel. Siklus sel

berlangsung dengan mekanisme yang sangat kompleks, mekanisme pembentukan

protein, mekanisme aktivasi, mekanisme penghentian, mekanisme perbaikan

protein atau gen yang rusak, mekanisme istirahat dan mekanisme lain. Berbagai

mekanisme dan aktivitas sel pada siklus sel berlangsung dalam keadaan yang

seimbang dan gangguan salah satu aktivitas akan menyebabkan gangguan fungsi

dan siklus suatu sel (Aziz dkk., 2010).

Siklus sel merupakan proses vital dalam kehidupan setiap organisme.

Secara normal, siklus sel menghasilkan pembelahan sel. Pembelahan sel terdiri

dari 2 proses utama, yaitu replikasi DNA dan pembelahan kromosom yang telah

digandakan ke 2 sel anak. Secara umum, pembelahan sel terbagi menjadi 2 tahap,

yaitu mitosis (M) (pembelahan 1 sel menjadi 2 sel) dan interfase (proses di antara

2 mitosis). Interfase terdiri dari fase gap 1 (G1), sintesis DNA (S), gap 2 (G2).

Setiap tahap dalam siklus sel dikontrol secara ketat oleh regulator siklus sel, yaitu:

a. Cyclin, jenis cyclin utama dalam siklus sel adalah cyclin D, E, A, dan B.

Cyclin diekspresikan secara periodik sehingga konsentrasi cyclin berubah-

ubah pada setiap fase siklus sel. Berbeda dengan cyclin yang lain, cyclin D

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
tidak diekspresikan secara periodik akan tetapi selalu disintesis selama ada

stimulasi growth factor.

b. Cyclin-dependent kinases (Cdk). Cdk utama dalam siklus sel adalah Cdk

4, 6, 2, dan 1. Cdks merupakan treonin atau serin protein kinase yang

harus berikatan dengan cyclin untuk aktivasinya. Konsentrasi Cdks relatif

konstan selama siklus sel berlangsung. Cdks dalam keadaan bebas (tak

berikatan) adalah inaktif karena catalytic site, tempat ATP dan substrat

berikatan diblok oleh ujung C-terminal dari CKIs. Cyclin akan

menghilangkan pengeblokan tersebut, ketika diaktifkan, Cdk akan

memacu proses downstream dengan cara memfosforilasi protein spesifik.

c. Cyclin–dependent kinase inhibitor (CKI), merupakan protein yang dapat

menghambat aktivitas Cdk dengan cara mengikat Cdk atau kompleks

cyclin- Cdk. Cyclin–dependent kinase inhibitor terdiri dari dua kelompok

protein yaitu INK4 (p15, p16, p18, dan p19) dan CIP/KIP (p21, p27, p57).

Keluarga INK4 membentuk kompleks yang stabil dengan Cdk sehingga

mencegah Cdk mengikat cyclin D. INK4 bertugas mencegah progresi fase

G1. Keluarga CIP/KIP meregulasi fase G1 dan S dengan menghambat

kompleks G1 cyclin- Cdk dan cyclin B-Cdk1. Protein p21 juga

menghambat sintesis DNA dengan menonaktifkan proliferating cell

nuclear antigen (PCNA). Ekspresi p21 diregulasi oleh p53 karena p53

merupakan faktor transkripsi untuk ekspresi p21 (Vermeulen, et al., 2003).

2.1.1 Rb Pathway

Siklus sel dimulai dari masuknya sel dari fase G0 (quiescent) ke fase G1

karena adanya stimulus oleh growth factor (Gambar 2.1). Pada awal fase G1, Cdk

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
4 dan atau 6 diaktifkan oleh cyclin D (cycD). Kompleks Cdk 4/6 dengan cycD

akan menginisiasi fosforilasi dari keluarga protein retinoblastoma (pRb) selama

awal G1. Efek dari fosforilasi ini, fungsi histon deasetilasi (HDAC) yang

seharusnya menjaga kekompakan struktur kromatin menjadi terganggu. Akibatnya

struktur DNA menjadi longgar dan faktor transkripsi yang semula diikat pRb

menjadi lepas dan transkripsi dari E2F responsive genes yang dibutuhkan dalam

progresi siklus sel ke fase S menjadi aktif. Gen tersebut antara lain cycE, cycA,

Cdc25, DNA polimerase, timidilat kinase, timidilat sintetase, DHFR, dll

(Satyanarayana and Kaldis, 2009; Vermeulen, et al., 2003).

Pada transisi fase G1 ke fase S, Cdk2 aktif dengan mengikat cycE.

Kompleks tersebut melanjutkan proses fosforilasi pRb (status hiperfosforilasi)

supaya proses transkripsi yang dipacu E2F tetap aktif dan Restriction point (R)

yang ada di batas fase G1/S dapat terlampaui. Pada saat inilah cycA ditranskripsi

(Satyanarayana and Kaldis, 2009). Selama G1/S, kompleks Cdk2-cycE juga

memfosforilasi inhibitor p27 sehingga p27 terdegradasi (Vermeulen, et al., 2003),

ketika siklus sel akan memasuki fase S, cycE akan didegradasi dan Cdk2 yang

dibebaskan akan mengikat cycA (Cooper and Hausman, 2009).

Kompleks Cdk2-cycA dibutuhkan sel untuk mereplikasi DNA selama fase

S. Kompleks Cdk2-cycA akan memfosforilasi protein yang dibutuhkan dalam

replikasi DNA supaya aktif, contohnya adalah protein CDC6 (Cell Division Cycle

6). Kompleks tersebut juga menjaga supaya tidak terjadi multiplicity replikasi

DNA. Pada akhir fase S, cycA akan melepas Cdk2 dan mengikat Cdk1 (Cdc2)

yang meregulasi transisi sel dari S ke G2 (Dhulipala, et al., 2006). Kompleks

cycA-Cdk1 akan memfasilitasi kondensasi kromatin yang dibutuhkan untuk

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
penggandaan sel (Lapenna and Giordano, 2009). Pada fase G2, sel juga memiliki

kesempatan melakukan mekanisme repair apabila terjadi kesalahan sintesis DNA

(Baumforth and Crocker, 2003).

Gambar 2.1 Ilustrasi umum siklus sel (Lapenna and Giordano, 2009)

Memasuki fase mitosis, cycA akan didegradasi dan terjadi peningkatan

ekspresi cycB yang akan mengikat Cdk1. Kompleks Cdk1-cycB secara aktif

memacu mitosis. Kompleks cycB-Cdk1 berperan penting dalam control

rearrangement mikrotubul selama mitosis (Dhulipala et al., 2006; Lapenna and

Giordano, 2009).

Cdk1 dapat dinonaktifkan oleh Wee1 dan Myt1 dengan cara Wee1 dan

Myt1 akan memfosforilasi Cdk1 pada tirosin-15 dan atau threonin-14.

Defosforilasi pada situs tersebut dapat dilakukan oleh Cdc25 sehingga Cdk 1

menjadi aktif kembali dan siklus sel tetap berlangsung (Vermeulen et al., 2003).

Pada akhir fase mitosis, cycB akan didegradasi oleh anaphase promoting complex

(APC) melalui proses proteolitik. APC juga berfungsi untuk memacu kromatid

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
untuk berpisah bergerak ke masing-masing kutub untuk menyelesaikan mitosis

(anafase) (Lapenna and Giordano, 2009).

2.1.2 Checkpoint pada siklus sel

Mekanisme checkpoint dilakukan pada siklus sel untuk menjamin bahwa

DNA berduplikasi dengan akurat dan separasi dari kromosom terjadi dengan

benar. Checkpoint bertugas mendeteksi kerusakan DNA. Apabila terdapat

kerusakan DNA, checkpoint akan memacu cell cycle arrest sementara untuk

perbaikan DNA atau cell cycle arrest permanen sehingga sel memasuki fase

senescent. Bila mekanisme cell cycle arrest tidak cukup menjamin DNA yang

rusak diduplikasi, maka sel akan dieliminasi dengan cara apoptosis (Siu, et al.,

1999).

Faktor checkpoint pertama pada sel mamalia dikenal dengan restriction

point (R) dan muncul menjelang akhir G1. Pada checkpoint ini, DNA sel induk

diperiksa apakah terdapat kerusakan atau tidak. Bila terdapat DNA yang rusak,

siklus sel dihentikan hingga mekanisme repair DNA rusak telah selesai. Setelah

melampaui R, sel menjadi commited (komitment) untuk menyelesaikan

keseluruhan satu siklus (no return point) dan selanjutnya sel harus mampu

melakukan replikasi DNA. Bila tidak melampaui R, sel dapat kembali ke fase G0.

Hilangnya kontrol dari R akan menghasilkan survival DNA yang rusak (Cooper

and Hausman, 2004).

2.1.3 P-53 Pathway

Pada checkpoint G1/S, kerusakan DNA dapat memacu cell cycle arrest

dan proses ini adalah p53-dependent. Secara umum, level p53 sel rendah karena

diregulasi negatif oleh mdm2 yang mentarget degradasi p53, namun kerusakan

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
DNA dapat menginduksi aktivitas p53 dengan cepat. p53 dikontrol oleh mdm2

dan p19ARF. Level protein p53 secara normal adalah pada konsentrasi rendah di

dalam sel. Namun, sekali distimulasi, level protein secara cepat akan meningkat

sepanjang waktu paruhnya, sedangkan level mRNA relatif tidak berubah. Regulasi

p53 terjadi pada level protein (bukan DNA atau RNA) adalah hal yang sangat

kritikal pada aktivasinya. Regulator negatif p53 yaitu mdm2 yang merupakan

suatu p53-responsive gene (gen yang terekspresi melalui faktor transkripsi p53).

Sel dapat menghambat mdm2 tergantung pada rangsangan misal adalah agen

perusak DNA (radiasi, UV, obat kemoterapi). DNA damage agent akan

menginduksi aktivasi kinase (seperti ATM dan DNA-PK) yang dapat

memfosforilasi critical residu serin dalam domain Mdm2-binding domain dari

p53. Fosforilasi p53 pada serin-15 dan serin-37 oleh ATM atau protein kinase lain

setelah terjadi kerusakan DNA dapat mencegah ikatan MDM2 dengan p53. Jadi,

ketika p53 terfosforilasi maka tidak akan bisa lagi mengikat mdm2, hal ini mampu

menghilangkan penghambatan p53 dimediasi mdm2. p53 mengenali ketika sel

telah mengalami kerusakan DNA dan menghentikan siklus sel (cell cycle arrest)

sehingga sel dapat memperbaiki kerusakan (repair), atau dalam banyak kasus,

hanya memberitahu sel untuk bunuh diri (apoptosis), yaitu dengan cara

menstimulasi transkripsi gen seperti p21 dan Bax sehingga siklus sel berhenti atau

terjadi apoptosis (Siu, et al., 1999).

Checkpoint selanjutnya terdapat pada fase S yang berfungsi mendeteksi

kerusakan DNA yang direplikasi. Checkpoint pada G2 mencegah inisiasi mitosis

sebelum replikasi DNA selesai. Checkpoint utama pada fase S/G2/M adalah

Chk1. Ketika terdapat kerusakan DNA, protein kinase ATR akan memfosforilasi

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Chk1, kemudian Chk1 memfosforilasi Cdc25C pada serin-216. Fosforilasi

tersebut menyebabkan kompleks cycB-Cdk1 yang bertanggung jawab pada

progresi fase G/M tidak aktif. Selain itu, Chk1 juga memfosforilasi Cdc25A yang

bertugas mengaktifkan kompleks cycE-Cdk2 dan cycA-Cdk2 yang berperan pada

progresi fase S. Dengan difosforilasinya Cdc25A oleh Chk1, kompleks cyc-Cdk

menjadi tidak aktif dan terjadi S arrest (Xiao, et al., 2003).

Checkpoint yang terakhir, disebut spindle checkpoint, bertugas menjaga

integritas genom menjelang akhir mitosis. Jika terjadi kegagalan pada penempatan

pasangan kromosom pada spindle, akan terjadi mitosis arrest. Pada sel kanker,

checkpoint tidak berfungsi dengan baik dan siklus sel berlangsung tanpa kendali

(Cooper and Hausman, 2004).

2.1.4 Nuclear Factor kappa B (NF-kB) Pathway

NF-kB merupakan famili faktor transkripsi dengan spektrum kerja yang

luas, antara lain menginduksi pertahanan sel, proliferasi serta berperan dalam

regulasi sistem imun dan respons inflamasi. Aktivasi NF-kB pada sel normal akan

mengaktifkan beberapa gen yang terlibat dalam supresi kematian sel melalui jalur

mitokondria maupun reseptor kematian. NF-kB menginduksi ekspresi inhibitors

of apoptosis (IAPs) dan beberapa anggota famili anti-apoptosis Bcl- 2. NF-kB

juga dapat melakukan interferensi terhadap aktivitas transkripsional p53 melalui

peningkatan gen antiapoptosis dan penekanan p53 sehingga menghambat proses

apoptosis yang diinduksi oleh p53. Selain itu, NF-kB mempromosikan progresi

siklus sel melalui pengaturan gen yang terlibat dalam siklus sel seperti cyclin D1,

D2, D3 dan cyclin E, c-myc dan c-mycb. NF-kB diduga berhubungan pula dengan

aktivitas pRb melalui cyclin D1. Mekanisme anti-apoptosis NF-kB menimbulkan

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
konsep umum bahwa aktivasi NF-kB berperan terhadap resistensi apoptosis (Park

and Hong, 2016).

Aktivasi NF-kB mempengaruhi terjadinya kanker dan penyakit radang

melalui transkripsi gen yang terlibat dalam proliferasi sel, kelangsungan hidup,

angiogenesis, peradangan dan promosi tumor dan metastasis seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Aktivasi NF-kB terhadap sel kanker (Nilius, et al., 2013)

Beberapa penelitian menunjukkan inhibisi NF-kB meningkatkan

sensitivitas sel kanker terhadap reaksi apoptosis pada kemoterapi dan radioterapi,

namun hasil penelitian tersebut masih bervariasi. Ratnasari et al, (2016)

melaporkan aktivasi NF-kB berhubungan erat dengan progresi tumor, perilaku

agresif sel kanker dan prognosis buruk kanker serviks (Ratnasari, et al., 2016).

2.1.5 Keseimbangan Apoptosis dan Proliferasi

Sistem pertumbuhan sel dalam individu secara fisiologis diatur oleh suatu

sistem keseimbangan, yaitu apoptosis dan proliferasi. Apabila terjadi apoptosis

berlebihan, maka suatu sistem organ akan mengalami kemunduran fungsi yang

dapat menimbulkan penyakit. Sebaliknya, apabila terjadi proliferasi berlebihan,

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
maka akan membentuk suatu massa tumor yang akan mengarah pada kanker

(Sudiana, 2011).

Jumlah sel pada suatu jaringan merupakan fungsi kumulatif, antara

masuknya sel baru dan keluarnya sel yang ada pada populasi. Masuknya sel baru

ke dalam populasi jaringan ditentukan oleh kecepatan proliferasinya. Sel dapat

meninggalkan populasinya karena kematian sel (apoptosis) ataupun karena

berdiferensiasi menjadi jenis sel lain. Peningkatan jumlah sel dalam populasi

tertentu dapat terjadi karena peningkatan proliferasi, penurunan apoptosis atau

diferensiasi sel (Hartono, 2009).

Apoptosis adalah proses fisiologis untuk menjaga keseimbangan populasi

sel atau homeostasis. Differensiasi sel pada fase G0 (resting/ istirahat)

memungkinkan berproliferasi bila diperlukan, bila terjadi stimulasi akan terjadi

proliferasi dengan memasuki siklus G1 (Hartono, 2009).

Proliferasi sel distimulasi oleh faktor pertumbuhan intrinsik, jejas,

kematian dan kerusakan sel, mediator biokimiawi dari lingkungan. Kelebihan

stimulus atau kekurangan inhibitor akan menyebabkan pertumbuhan sel yang tak

terkontrol atau terjadinya kanker. Penginduksian pertumbuhan sel dihubungkan

dengan pemendekan siklus sel pada fase G0 sampai sel memasuki siklus sel. Pada

fase G0 sampai memasuki siklus sel terdapat penghambatan fisiologis untuk

terjadinya proliferasi sel. Pertumbuhan sel dapat dicapai dengan memperpendek

atau memperpanjang siklus sel (Hartono, 2009).

Apoptosis adalah proses regulasi kematian sel untuk menggontrol jumlah

sel dan menghilangkan sel yang rusak. Jalur apoptosis diinduksi oleh regulasi

program intraselular, dimana sel mati akan mengaktivasi enzim untuk

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
mendegradasi DNA pada nukleus dan protein sitoplasma pada sel itu sendiri.

Membran plasma masih utuh, tetapi terjadi perubahan struktur menjadi sel

apoptosis yang akan menjadi target phagositosis oleh makrofag. Sel yang mati

segera dibersihkan sebelum terjadi kebocoran sel yang akan menyebabkan reaksi

inflamasi. Kematian sel dengan jalur apoptosis berbeda dengan nekrosis, pada

apoptosis tidak terjadi reaksi inflamasi. Apoptosis penting untuk mengatur

kematian sel untuk mengkontrol jumlah sel dan membersihkan sel yang rusak

yang mempunyai peran penting untuk supresi tumor. Akhir-akhir ini, apoptosis

digunakan untuk target terapi kanker. Sel yang apoptosis akan menunjukkan sel

melisut (cell shrinkage), pemadatan kromatin (chromatin condensation) kemudian

menjadi sel apoptosis atau badan apoptosis yang akan memudahkan untuk

difagositosis oleh makrofag. Mekanisme utama dalam apoptosis diperankan oleh

kinase di growth factor signaling pathways dan particular proteases yang disebut

caspase.

Proses apoptosis dibagi menjadi initiation phase selama caspase menjadi

aktif mengkatalisis dan excution phase yaitu selama enzim bereaksi menjadikan

sel apoptosis. Mekanisme apoptosis dibagi menjadi dua yaitu mekanisme

ekstrinsik (death receptor – initiated pathways) dan mekanisme intrinsik

(mitochondrial pathways).

Mekanisme ekstrinsik diawali oleh sel surface death receptor dari

berbagai macam sel. Death receptor adalah anggota dari tumor necrosis factor

receptor family (TNF) mempunyai cytoplasmic domain yang berisi protein

interaksi disebut death domain, penting untuk mengirim apoptotic signals.

Beberapa TNF receptor family tidak mempunyai cytoplasmic death domain,

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
mekanisme apoptosisnya sedikit diketahui. Death receptor antara lain adalah

Type I TNF receptor (TNFR I) dan protein yang berhubungan disebut Fas

(CD95). Mekanisme apoptosis diinduksi oleh death receptor diilustrasikan

dengan baik oleh Fas (King, 2000).

Diawali Fas ligand (FasL) melepaskan Fas dari ligandnya. Molekul Fas

menuju ke sitoplasma yang terdapat death domain, tempat untuk berikatan dengan

adapter protein yang juga mempunyai death domain dan disebut FADD (fas-

associated death domain). FADD yang dilekatkan pada death receptors kembali

berikatan dengan inaktif dari caspase-8 (di manusia, caspase 10) melalui death

domain. Multiple pro caspase-8 molekul kemudian dibawa ke dekatnya dan

mereka saling berikatan untuk mengaktifkan caspase-8, yang kemudian enzim

tersebut akan mengaktifkan cascade-caspase dengan mengikat dan meng-aktifkan

pro-caspase yang lain serta mengaktifkan enzim yang melaksanakan execution

phase dari apoptosis. Mekanisme apoptosis dapat dihambat oleh protein yang

disebut FLIP, yang berikatan dengan procaspase-8 tetapi tidak dapat berikatan

dan mengaktifkan enzim karena kurang mempunyai aktifitas enzym. Beberapa

virus dan sel normal memproduksi FLIP dan digunakan untuk menghambat dan

memproteksi infeksi dan memproteksi sel normal dari Fas mediated apoptosis

(King, 2000).

Mekanisme intrinsik diawali dari mitokondria yang disebabkan stimulus

internal seperti kerusakan DNA dan stress oksidatif. Jalur intrinsik disebabkan

oleh peningkatan permiabilitas mitokondria dan pelepasan molekul pro apoptotic

ke sitoplasma. Growth factor dan survival signal menstimulasi produksi anti-

apoptotic members dari Bcl-2 family. Bcl-2 family mempunyai lebih dari 20

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
macam protein, yang semuanya berfungsi regulasi apoptosis. Dua protein yang

berfungsi anti apoptosis adalah Bcl-2 dan Bcl-X. Protein anti-apoptosis dalam

keadaan normal berada disekitar membran mitokondria dan sitoplasma. Ketika sel

kehilangan kemampuan mempertahankan diri atau mengalami stress, Bcl-2

dan/atau Bcl-x akan menghilang dari membran mitokondria dan digantikan

kelompok protein pro-apoptosis seperti Bax, Bak dan Bim. Ketika Bcl-2/Bcl-x

menurun, terjadi peningkatan permiabilitas membran mitokondria menyebabkan

keluarnya beberapa protein yang akan mengaktifkan caspase cascade. Salah satu

dari protein tersebut adalah cytochrome c, di dalam cytosol cytochrome c

berikatan dengan Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan mengaktifkan

caspase-9. ( Bcl-2 dan Bcl-x secara langsung menghambat aktivasi Apaf-1 dan

kemudian menghilang dari sel yang menyebabkan dapat terjadi aktivasi Apaf-1).

Protein mitokondria yang lain seperti apoptosis initiating factor (AIF) memasuki

sitoplasma yang akan berikatan untuk menetralkan berbagai macam inhibitor

apoptosis. Hal tersebut akan mengaktifkan caspase cascade (King, 2000).

Gambar 2.3 Jalur ekstrinsik dan intrinsik apoptosis (Marzban, et al., 2015)

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
2.2 Kanker

Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel tidak

terkendali dan kemampuan sel menyerang jaringan biologis lainnya, baik

pertumbuhan langsung di jaringan tetangganya (invasif) maupun migrasi sel ke

tempat yang lebih jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut

disebabkan kerusakan DNA yang menyebabkan mutasi di gen vital yang

mengontrol pembelahan sel. Sel kanker kehilangan fungsi kontrolnya terhadap

regulasi daur sel maupun fungsi homeostasis sel pada organisme multiseluler

sehingga sel tidak dapat berproliferasi secara normal. Akibatnya, sel akan

berproliferasi terus-menerus sehingga menimbulkan pertumbuhan jaringan yang

abnormal (Diananda, 2009).

Sel kanker timbul dari sel normal tubuh yang mengalami transformasi atau

perubahan menjadi ganas oleh karsinogen atau karena mutasi spontan.

Transformasi sejumlah gen yang menyebabkan gen tersebut termutasi disebut

neoplasma atau tumor. Neoplasma merupakan jaringan abnormal yang terbentuk

akibat aktivitas proliferasi yang tidak terkontrol (neoplasia). Pada tahap awal,

neoplasma berkembang menjadi karsinoma in situ di mana sel pada jaringan

tersebut masih terlokalisasi dan mungkin memiliki kesamaaan fungsional dengan

sel normal (King, 2000). Sel neoplasma mengalami perubahan morfologi, fungsi,

dan siklus pertumbuhan yang akhirnya menimbulkan disintegrasi dan hilangnya

komunikasi antarsel. Tumor diklasifikasikan sebagai benigna, yaitu kejadian

neoplasma yang bersifat jinak dan tidak menyebar ke jaringan di sekitarnya.

Sebaliknya, maligna disinonimkan sebagai tumor yang melakukan metastasis,

yaitu menyebar dan menyerang jaringan lain sehingga maligna sering disebut

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
sebagai kanker. Kanker sering dikenal sebagai tumor, tetapi tidak semua tumor

disebut kanker (Diananda, 2009).

Sel kanker memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan sel normal.

Beberapa sifat-sifat umum sel kanker adalah:

a. Sel kanker menunjukkan Instabilitas genetik, sifat ini memudahkan

terjadinya mutasi gen-gen yang lain dan terjadinya akumulasi kelainan

genetik. Sumber utama instabilitas genetik adalah kehilangan “telomeric

DNA” berakibat instabilitas kariotip dan amplifikasi maupun delesi

segmen-segmen kromosom.

b. Sel kanker seringkali ditemukan dalam lingkungan mikro inflamatorik,

paradigma baru menyatakan bahwa lingkungan mikro mempunyai

pengaruh yang besar terhadap perkembangan kanker, khususnya

lingkungan mikro inflamatorik. Saat ini hampir semua lesi neoplastik

mengandung sel-sel imun dengan densitas bervariasi yang sebenarnya

dimaksudkan untuk mengeradikasi tumor. Inflamasi berkontribusi pada

pertumbuhan sel ganas dengan mensuplai molekul-molekul bioaktif,

termasuk diantaranya faktor pertumbuhan yang memberi sinyal

pertumbuhan, faktor survival yang membatasi apoptosis, faktor

proangiogenik, dan juga dapat melepaskan bahan kimia seperti ROS yang

bersifat mutagenik.

c. Sel kanker dapat tumbuh tanpa memerlukan rangsangan pertumbuhan

eksogen (sustained growth signaling). Ketidakbergantungan pertumbuhan

sel kanker ini dapat disebabkan 3 hal, yaitu perubahan sinyal pertumbuhan

ekstrasel sendiri, perubahan transduser trans-seluler sinyal-sinyal itu, atau

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
perubahan dalam sirkuit intraseluler yang menerjemahkan sinyal menjadi

action. Perubahan yang paling kompleks terjadi pada komponen sirkuit

downstream dalam sitoplasma diantaranya yang memegang peran penting

adalah kaskade SOS-Ras-Raf-MAKP. Mutasi pada gen-gen ini

mengakibatkan berlangsungnya stimulasi pertumbuhan tanpa adanya

rangsangan melalui upstream. Selain itu sel kanker dapat memproduksi

ligan faktor pertumbuhan sendiri.

d. Sel kanker tidak sensitif terhadap sinyal anti-pertumbuhan (negative

feedback loop) atau mampu menghindar dari supresor pertumbuhan.

e. Kemampuan apoptosis sel kanker menurun, mesin apoptosis dapat dibagi

dalam 2 komponen yaitu sensor dan efektor. Sensor bertanggung jawab

atas pemantauan lingkungan ekstrasel maupun intrasel yang normal atau

abnormal, yang mempengaruhi apakah sel akan hidup atau mati. Efektor

yang paling penting dari apoptosis adalah berbagai jenis protein caspase

yang sering disebut eksekutor apoptosis. Gangguan proses apoptosis dapat

disebabkan oleh ekspresi berlebihan onkogen dan mutasi p53.

f. Kemampuan proliferasi tidak terbatas (Immortal), salah satu diantara

faktor yang berperan adalah pemeliharaan telomere, telomere akan

memendek setiap kali sel membelah, disisi lain pada sel kanker, enzim

telomerase akan mencegah pemendekan telomere dan panjang telomere

dipertahankan di atas ambang batas kritis, dan hal inilah yang

menyebabkan sel dapat membelah atau berproliferasi tanpa batas.

g. Mesin metabolisme sel kanker tidak berfungsi baik, proliferasi sel secara

terus menerus dan tidak terkendali bukan saja berakibat pertumbuhan tidak

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
terkontrol tetapi juga menyebabkan kebutuhan metabolisme energi

bertambah untuk menunjang pertumbuhan dan pembelahan sel.

h. Sel kanker memiliki kemampuan menghindar dari sistem imun, berbagai

cara oleh sel kanker agar dapat mengelak dari sistem imun sehingga selnya

tidak dikenal oleh sel-sel imun, dan berinteraksi dengan sel-sel imun

dalam lingkungan mikro tumor yang berakibat progresi yang

meningkatkan perkembangan tumor.

i. Kemampuan angiogenesis yang terus menerus, untuk menjamin suplai

oksigen dan makanan, sel ganas meningkatkan kemampuan untuk

angiogenesis dengan berbagai strategi diantaranya dengan meningkatkan

ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) dan acidic/basic

fibroblast growth factor (FGF1/2).

j. Kemampuan invasi dan metastasis, berbagai protein yang terlibat dalam

menahan sel agar tidak terlepas ke sekitarnya pada sel kanker mengalami

gangguan, salah satu di antaranya adalah cell-cell adhesion molecule

(CAM) dan integrin yang menghubungkan sel dengan matriks

ekstraseluler serta E-cadherin. Gangguan atau inaktivasi ini berakibat sel

tidak lagi melekat satu sama lain dan memudahkan sel terlepas dari

kelompoknya. Selain itu ekspresi berbagai protease juga meningkat

sehingga sel mudah menginvasi jaringan sekitarnya.

Kesepuluh kemampuan sel kanker di atas diperolah sel kanker baik

langsung maupun tidak langsung selama perkembangan kanker melalui perubahan

pada berbagai gen (Kresno, 2014)

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
2.2.1 Karsinogenesis

Kanker bukan termasuk penyakit yang datang begitu saja, melainkan

akibat akumulasi atau penumpukan kerusakan-kerusakan tertentu di dalam tubuh.

Serangkaian proses berkembangnya kanker disebut karsinogenesis.

Karsinogenesis adalah suatu proses terjadinya kanker melalui mekanisme multi

tahap yang menunjukkan perubahan genetik dan menyebabkan transformasi

progresif sel normal menjadi sel malignan (ganas). Perubahan ini diawali dari

mutasi somatik satu sel tunggal yang mengakibatkan perubahan dari normal

menjadi hiperplastik, displastik, dan pada akhirnya menjadi suatu keganasan atau

malignansi (memiliki kemampuan metastasis atau menginvasi jaringan di

sekitarnya). Perubahan genetik ini termasuk perubahan seluler mendasar pada sel

kanker yang dipengaruhi oleh beberapa gen seperti tumor suppresor genes (pRb,

p53, PTEN, E-cadherin) dan proto-oncogenes (ras, c-myc, Bcl-2). Karsinogenesis

dapat dibagi menjadi empat tahap utama, yaitu tahap inisiasi, promosi, progresi,

dan metastasis (Tsao, et al., 2004).

Tahap inisiasi adalah tahap pertama pada karsinogenesis dan merupakan

hasil perubahan genetik yang menuntun pada proliferasi tidak terkontrol

(abnormal) sebuah sel. Tahap inisiasi dapat terjadi melalui jalur germinal dan

somatik. Namun pada kebanyakan kasus diperoleh secara somatik akibat

terjadinya kesalahan acak saat pembelahan sel atau karena paparan dari

karsinogen spesifik seperti tobako dan radiasi. Pada tahap ini, senyawa yang

berpotensi sebagai senyawa karsinogen diaktivasi terlebih dahulu di dalam tubuh

terutama di hepar menjadi senyawa metabolitnya. Senyawa metabolit ini ada yang

bersifat reaktif, mutagenik, dan mampu berikatan dengan makromolekul di dalam

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
tubuh seperti DNA dengan ikatan irreversible. Sel yang mengalami inisiasi atau

prakanker dapat kembali ke tingkat normal secara spontan, tetapi pada tingkat

lebih lanjut dapat menjadi ganas (malignan) (King, 2000).

Selanjutnya tahap promosi yang merupakan tingkat lanjutan dari tahap

inisiasi. Pada tahap ini, sel mulai mengalami hiperplastik pada inti sel. Berbeda

dengan tahap inisiasi yang dapat melewati jalur germinal dan somatik, tahap

promosi hanya diketahui terjadi melalui jalur somatik. Pada tahap promosi, sel

akan memperoleh beberapa keuntungan selektif untuk tumbuh sehingga

pertumbuhannya menjadi cepat dan berubah menjadi tumor jinak. Tahap promosi

tidak melibatkan perubahan struktural dari genom secara langsung, tetapi biasanya

terjadi perubahan ekspresi gen yang terinisiasi (Tsao, et al., 2004; King, 2000).

Pada tahap progresi, kemampuan pembelahan yang tinggi menuntun

terbentuknya koloni sel yang lebih besar melalui perubahan genetik lebih lanjut

dan munculnya keistimewaan lain seperti peningkatan mobilitas dan angiogenesis.

Pada tahap ini, sel tumor dikatakan sebagai sel malignan. Pada fase ini juga akan

terjadi karsinoma dan metastasis melalui aktivasi onkogen dan malfungsi dari

enzim topoisomerase (King, 2000).

Tahap metastasis merupakan tahap akhir dalam karsinogenesis. Pada tahap

ini, sel kanker melakukan invasi ke jaringan lain di dalam tubuh melalui

pembuluh darah, pembuluh limpa, atau rongga tubuh. Sel malignan yang

bermetastasis ini masuk melalui basement membran menuju saluran limpoid. Sel

tersebut akan berinteraksi dengan sel limpoid yang digunakan sebagai inangnya.

Selanjutnya, sel kanker akan masuk ke jaringan lainnya membentuk tumor

sekunder dengan didukung kemampuan neoangiogenesis yang dimilikinya. Tahap

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
metastasis dapat berlangsung karena melemahnya ikatan antarsel yang disebabkan

oleh terdegradasinya CAMs (Cell-cell Adhesion Molecules) dan E-cadherin

sebagai molekul yang menjaga pertautan antarsel. Molekul tersebut diketahui

sudah sangat sedikit bahkan tidak ditemukan lagi pada sel kanker, sehingga proses

metastasis dapat terus terjadi (King, 2000).

2.2.2 Kanker Payudara

Kanker payudara merupakan kanker yang menyerang jaringan epithelial

payudara, yaitu membran mukosa dan kelenjar sehingga kanker payudara

tergolong pada karsinoma. Kanker payudara merupakan kanker yang paling

umum diderita oleh wanita selain kanker serviks. Penyebab kanker payudara

sangat beragam, antara lain kerusakan pada DNA yang menyebabkan mutasi

genetik. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh radiasi yang berlebihan. Selanjutnya

karena kegagalan immune surveillance dalam pencegahan proses malignan pada

fase awal, faktor pertumbuhan yang abnormal, dan malfungsi DNA repairs seperti

BRCA1, BRCA2, dan p53 (Torosian, 2002).

Kanker payudara terjadi ketika sel pada payudara tumbuh tidak terkendali

dan dapat menginvasi jaringan tubuh yang lain baik yang dekat dengan organ

tersebut maupun bermetastasis ke jaringan tubuh yang letaknya berjauhan. Semua

tipe jaringan pada payudara dapat berkembang menjadi kanker, namun pada

umumnya kanker muncul baik dari saluran (ducts) maupun kelenjar (glands).

Perkembangannya memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai

tumor tersebut cukup besar untuk dirasakan pada payudara. Deteksi dapat

dilakukan dengan mammogram yang kadang-kadang dapat mendeteksi tumor

sejak dini (Elwood, et al., 1993).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Peningkatan insidensi kanker payudara disebabkan oleh kegagalan terapi

terhadap kanker itu sendiri. Kegagalan ini diakibatkan oleh adanya multidrug

resistance (MDR) dan terjadi hingga 71% dibandingkan dengan faktor penyebab

lainnya (Mechetner, et al., 1998). Multidrug resistance atau resistensi obat ini

diakibatkan oleh adanya breast cancer resistance protein (BCRP) yang salah

satunya adalah P-glycoprotein (Pgp) (Imai, et al., 2005). Aktivasi Pgp dan

peningkatan ekspresinya dapat menurunkan efikasi dari beberapa agen

kemoterapi, seperti Taxol dan Doksorubisin (Mechetner, et al., 1998). Penekanan

aktivitas Pgp dan ekspresinya mampu meningkatkan efektivitas agen kemoterapi

(Zhou, et al., 2006).

Selain itu, paparan estrogen endogen yang berlebihan juga dapat

berkontribusi sebagai penyebab kanker payudara. Sekitar 50% kasus kanker

payudara merupakan kanker yang bergantung pada estrogen dan sekitar 30%

kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan. Kedua

protein tersebut selain berperan dalam metastasis, juga berperan dalam

perkembangan kanker payudara (early cancer development) (Gibbs, 2000).

Proses metastasis kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi/ekspresi

berlebih beberapa protein, seperti Estrogen Reseptor (ER) dan c-erbB-2 (HER- 2)

yang merupakan protein predisposisi kanker payudara. Aktivasi reseptor estrogen

melalui ikatan kompleks dengan estrogen akan memacu transkripsi gen yang

mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu ekspresi protein yang berperan

dalam siklus sel seperti cyclin D1, CDK4, cyclin E, dan CDK2. Selain itu, aktivasi

reseptor estrogen mampu mengaktivasi beberapa onkoprotein yang berperan

dalam sinyal pertumbuhan, misalnya Ras, Myc, dan cycD1 (King, 2000). Aktivasi

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan yang berlebihan melalui aktivasi

onkoprotein yang lain seperti P13K, AKT, Raf, ERK, dan MAP kinase (Hahn, et

al., 2002). Di lain pihak, kompleks estrogen dengan reseptornya juga akan

memacu transkripsi beberapa gen tumor suppressor, seperti BRCA1, BRCA2, dan

p53. Namun, pada penderita kanker payudara (yang umumnya telah lewat masa

menopause), gen tersebut telah mengalami perubahan (transformed) akibat dari

hiperproliferasi sel payudara selama perkembangannya sehingga tidak berperan

sebagaimana mestinya (Clarke, 2001; Ingvarsson, et al., 2002).

Beberapa jenis sel kanker payudara yang dapat dikultur adalah MCF-7, Ia-

270, BT-20, BT-474, BT-549, Colo-824, HBL-100, MA-CLS-2, MDA-MB-231,

MDA-MB-435S, MDA-MB-436, MB-MDA-468, MX-1, SK-BR-3, ZR-75-1, dan

T47D (Pao, et al., 1985; Anonim, 2014).

Banyaknya jenis sel kanker payudara ini akan memberikan hasil yang

berbeda pada setiap selnya. Perbedaan hasil ini akan memberikan peluang baru

untuk menyelidiki perkembangan yang terjadi pada resistensi obat pada pasien

dengan tumor payudara yang memiliki p53 termutasi (Schafer, et al., 2000).

2.2.2.1 Sel T47D

Sel T47D merupakan sel kanker yang mengekspresikan reseptor estrogen

atau yang biasa disebut ER positif serta mengekspresikan p53 yang telah termutasi

sehingga resisten terhadap mekanisme apoptosis (Ruddon, 2007; Junedi, et al.,

2010). Pada sel ini, p53 mengalami missense mutation pada residu 194 (dalam

zincbinding domain L2) sehingga p53 kehilangan fungsinya. Jika p53 tidak dapat

mengikat response element pada DNA, maka akan mengurangi atau

menghilangkan kemampuannya dalam meregulasi siklus sel dan memacu

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
apoptosis. Sel ini dapat kehilangan estrogen reseptor (ER) apabila kekurangan

estrogen pada jangka waktu lama selama percobaan in vitro. Oleh karena itu, sel

ini digunakan pada model untuk penelitian resistensi obat pada pasien dengan

tumor payudara yang memiliki p53 termutasi (Abcam, 2007).

Sel T47D sering digunakan dalam penelitian kanker secara in vitro karena

mudah penanganannya, memiliki kemampuan replikasi yang tidak terbatas atau

cepat pertumbuhannya, memiliki homogenitas yang tinggi dan mudah diganti sel

baru yang telah dibekukan jika terjadi kontaminasi (Abcam, 2007). Sel T47D

memiliki mekanisme antiapoptosis dan karsinogenesis lebih kuat daripada sel

MCF-7. Beberapa protein yang terlibat dalam stimulasi pertumbuhan sel ini

termasuk caspase-3 subunit p12, protein nuklir Hcc-1, G1/S-specific cyclin-D3,

cathepsin B, protein CDV3 homolog, N (G), N(G)-dimethylarginine

dimethylaminohydrolase 2, dan prohibitin (Aka, et al., 2012).

2.2.2.2 Sel MCF-7

Sel MCF-7 adalah salah satu model sel kanker payudara yang banyak

digunakan dalam penelitian. Sel tersebut diambil dari jaringan payudara seorang

wanita Kaukasian berumur 69 tahun golongan darah O, dengan Rh positif, berupa

sel adherent (melekat) yang dapat ditumbuhkan dalam media penumbuh DMEM

atau RPMI yang mengandung foetal bovine serum (FBS) 10% dan antibiotik

Penicilin-Streptomycin 1% (Anonim, 2007). Sel MCF-7 memiliki karakteristik

antara lain resisten agen kemoterapi (Mechetner, et al., 1998), mengekspresikan

reseptor estrogen (ER +), overekspresi Bcl-2 (Butt, et al., 2000; Amundson, et al.,

2000) dan tidak mengekspresikan caspase-3 (Onuki, et al., 2003). Sel MCF-7

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
tergolong cell line adherent (ATCC, 2008) yang mengekspresikan reseptor

estrogen alfa (ER-α), resisten terhadap doksorubisin (Zampieri, et al., 2002).

2.2.3 Sel Vero

Sel Vero ATCC CCL-81 merupakan sel epitel non kanker (sel normal).

Sel ini berasal dari organ ginjal monyet hijau asal Afrika. Sel Vero merupakan sel

monolayer berbentuk poligonal dan pipih, immortal, non tumorigenic fibroblastic

cell. Sel ini melekat erat pada substrat yang berbahan polistirena dengan

membentuk ikatan kovalen. Pengujian sel Vero dilakukan untuk mempelajari

pertumbuhan sel, diferensiasi sel, sitotoksisitas, dan transformasi sel yang

diinduksi oleh berbagai senyawa kimia (Goncalves, et al., 2006).

2.2.4 P-glycoprotein

P-glycoprotein (Pgp) merupakan protein ABC-transporter pada manusia

yang termasuk dalam subfamili MDR/TAP (Allen, et al., 2002). Pgp dikenal

dalam beberapa sebutan, yaitu ABCD1, ATP-binding cassette sub-family B

member 1, MDR1, dan PGY1 (Choi, 2005). ABCD1 atau Pgp termasuk dalam

ATP dependent efflux pump yang memiliki substrat spesifik, antara lain: obat

(colchicines dan tacrolimus), agen kemoterapi (etoposide, adriamycin, dan

vinblastine), lipid, steroid, xenobiotik, peptide, bilirubin, cardiac glycoside

(digoxin), glucocorticoids (dexamethasone), dan agen terapi HIV tipe 1 (inhibitor

protease dan nonnucleoside reverse transcriptase) (Kitagawa, 2006). Di dalam

tubuh, Pgp dapat ditemukan pada sel usus, hati, tubula ginjal dan capillary

endothelial (Deng, et al., 2001).

P-glycoprotein adalah sebuah glikoprotein transmembran yang memiliki

10 - 15 kDa N-terminal glycosylation dengan bobot 170-kDa dikode oleh gen

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
MDR1 (Kitagawa, 2006). Gen ini dicirikan dengan pompa efflux obat dan anggota

dari keluarga ATP-binding transport (Choi., 2005). Dalam sistem organ, Pgp

berpengaruh terhadap absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat. Kemampuan Pgp

sebagai efflux pump berguna dalam detoksifikasi senyawa-senyawa yang masuk

ke dalam sel. Senyawa yang termasuk substrat dari Pgp akan diikat dan

dikeluarkan dari dalam sel. Aktivitas Pgp sangat bergantung pada aktivasi Pgp

oleh ATP melalui pembentukkan kompleks Pgp-ATP (Conseil, et al., 1998).

Hidrolisis ATP oleh ATPase memberikan energi aktivasi pada Pgp (Choi, 2005).

Aktivasi Pgp akan menurunkan intake agen kemoterapi sehingga menurunkan

efikasi agen tersebut terhadap sel kanker. Pada kondisi ekspresi berlebihan, Pgp

dapat menyebabkan resistensi obat terutama agen kemoterapi pada jenis kanker

payudara seperti doksorubisin (Mechetner, et al., 1998). Pgp akan mengikat

doksorubisin sebagai salah satu substratnya untuk dikeluarkan dari dalam sel

(Wong, et al., 2006). Pgp atau ABCD1 pertama kali diujikan sebagai multidrug

resistance dan terbukti sebagai penyebab resistensi obat kemoterapi (Juliano, et

al., 1976).

Penghambatan aktivasi dan ekspresi Pgp memegang peranan penting

dalam keberhasilan terapi kanker (Zhou, et al., 2006). Penghambatan aktivitas Pgp

dapat melalui beberapa mekanisme, antara lain penghambatan substrat Pgp secara

langsung dengan berikatan pada Pgp-binding domain dan penghambatan

hidrolisis ATP oleh ATPase melalui ikatan substrat dengan ATP. Penghambatan

ini dapat dilakukan menggunakan senyawa flavonoid dan polifenol melalui dua

sisi ikatan pada ATP binding sites dan steroid interacting region dimana ATPase

berikatan dengan Pgp cytosolic domain (Kitagawa, 2006).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Deng, et al., (2001) melaporkan bahwa aktivasi NF-κB sebagai akibat

adanya stimulus dari lingkungan berupa stress, paparan agen sitotoksik, heat

shock, iradiasi, stress genotoksik, inflamasi, paparan sitokin, dan faktor

pertumbuhan dapat meningkatkan ekspresi Pgp. NF-κB yang aktif mampu

berikatan dengan promoter gen MDR1 sehingga proses ekspresi Pgp dapat

berjalan. Inaktivasi NF-κB mampu menghambat ekspresi Pgp.

2.3 Penanganan Kanker

Penanganan kanker ada dua macam, yaitu pencegahan dan penghambatan

kanker. Upaya pencegahan kanker disebut kemopreventif. Senyawa

kemopreventif dibagi menjadi dua kategori, yaitu blocking agent dan suppressing

agent. Blocking agent mencegah karsinogen mencapai target aksinya, baik melalui

penghambatan aktivasi metabolisme maupun menghambat interaksi dengan target

makromolekul seperti DNA, RNA, atau protein. Sedangkan suppressing agent

menghambat pembentukan malignan dari sel yang telah terinisiasi pada tahap

promosi atau progresi (Surh, 1999).

Kemopreventif dibagi menjadi tiga golongan, yaitu primer, sekunder, dan

tersier. Kemopreventif primer adalah mencegah terjadinya sel kanker sejak tahap

premalignan. Usaha pencegahan saat karsinogenesis pada tahap awal malignan

adalah kemopreventif sekunder. Sedangkan kemopreventif tersier adalah usaha

untuk meminimalkan resiko yang mungkin terjadi setelah terapi untuk malignan

primer. Upaya penyembuhan (kuratif) kanker, antara lain kemoterapi

menggunakan obat-obatan, seperti golongan siklofosfamid, methotreksat, dan 5-

flurourasil. Pada dasarnya kinerja obat-obatan tersebut sama, yaitu menghambat

proliferasi sel sehingga sel tidak jadi memperbanyak diri. Kemoterapi bisa

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
diberikan secara tunggal ataupun kombinasi dengan harapan bahwa sel-sel yang

resisten terhadap obat tertentu juga bisa merespon obat yang lain sehingga bisa

diperoleh hasil yang lebih baik. Dampaknya pada pasien biasanya rambut rontok,

selera makan menurun, serta rasa lemah dan letih (Sharma, 2000).

Terapi hormon digunakan untuk jenis kanker yang berkaitan dengan

hormon, misalnya kanker payudara (berkaitan dengan hormon estrogen) pada

wanita dan kanker prostat (berkaitan dengan hormon androgen) pada pria. Terapi

hormon pada dasarnya berusaha menghambat sintesis steroid sehingga sel tidak

dapat membelah. Terapi ini membawa dampak negatif bila diaplikasikan pada

wanita yang masih dalam usia subur karena dapat menghambat siklus menstruasi.

Radioterapi menggunakan sinar-X dengan dosis tertentu dapat merusak DNA dan

memaksa sel untuk berapoptosis. Efek negatif yang ditimbulkan hampir sama

dengan kemoterapi (Sharma, 2000; Wargasetia, 2005).

2.3.1 Terapi Kanker Payudara

Upaya penyembuhan kanker payudara dapat digolongkan secara

pembedahan, kemoterapi, terapi hormon, radioterapi, dan terapi gen (Sharma,

2000; Wargasetia, 2005).

Pada pertengahan abad-20 para klinisi menyadari bahwa tidak semua

kanker payudara memiliki prognosis dan membutuhkan tindakan pengobatan yang

sama. Penentuan stadium kanker payudara sangat penting sebagai panduan

pengobatan dan menentukan prognosisnya. Ada hubungan antara stadium kanker

dengan angka 10-year relative survival pada pasien kanker payudara. Terdapat

perbedaan yang signifikan diantara stadium kanker payudara. Sebanyak 5-12%

dari pasien stadium I/II meninggal dalam 10 tahun pertama setelah diagnosis

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
ditegakkan, dibandingkan pada pasien stadium III yang lebih dari 60%, dan lebih

dari 90% pada pasien stadium IV. Sistem staging kanker payudara juga

memberikan informasi tentang pilihan terapi yang sesuai berdasarkan stadiumnya.

(Rasjidi, 2010).

Klasifikasi tahapan kanker payudara pertama kali dikembangkan oleh

Pierre Denoix pada tahun 1942 dengan sistem Tumor-Nodus-Metastasis (TNM).

Pembagiannya berdasarkan morfologi tumor yang akan menentukan

prognosisnya; ukuran dari tumor (T), ada atau tidaknya keterlibatan kelenjar limfe

(N), dan adanya metastasis (M) (Rasjidi, 2010).

The international Union Against Cancer (UICC) mengeluarkan klasifikasi

tahapan kanker payudara yang baru berdasarkan pada sistem TNM pada tahun

1958 yaitu:

a. Stage 0 sel kanker payudara tetap didalam kelenjar payudara, tanpa invasi

ke dalam jaringan payudara yang berdekatan.

b. Stage I terdapat tumor dengan ukuran 2 cm atau kurang dan batas yang

jelas (kelenjar getah bening normal).

c. Stage IIA tumor tidak ditemukan pada payudara tapi sel-sel kanker

ditemukan di kelenjar getah bening ketiak, atau tumor dengan ukuran 2 cm

atau kurang dan telah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak/ aksiller,

atau tumor yang lebih besar dari 2 cm, tapi tidak lebih besar dari 5cm dan

belum menyebar ke kelenjar getah bening ketiak.

d. Stage IIB tumor dengan ukuran 2-5 cm dan telah menyebar ke kelenjar

getah bening yang berhubungan dengan ketiak, atau tumor yang lebih

besar dari 5 cm tapi belum menyebar ke kelenjar getah bening ketiak.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
e. Stage IIIA tidak ditemukan tumor di payudara, kanker ditemukan di

kelenjar getah bening ketiak yang melekat bersama atau dengan struktur

lainnya, atau kanker ditemukan di kelenjar getah bening di dekat tulang

dada, atau tumor dengan ukuran berapapun yang telah menyebar ke

kelenjar getah bening ketiak, terjadi pelekatan dengan struktur lainnya,

atau kanker ditemukan di kelenjar getah bening di dekat tulang dada.

f. Stage IIIB tumor dengan ukuran tertentu dan telah menyebar ke dinding

dada dan/atau kulit payudara dan mungkin telah menyebar ke kelenjar

getah bening ketiak yang terjadi perlengketan dengan struktur lainnya,

atau kanker mungkin telah menyebar ke kelenjar getah bening di dekat

tulang dada.

g. Stage IIIC ada atau tidak tanda kanker di payudara atau mungkin telah

menyebar ke dinding dada dan/ atau kulit payudara dan kanker telah

menyebar ke kelenjar getah bening baik di atas atau di bawah tulang

belakang dan kanker mungkin telah menyebar ke kelenjar getah bening

ketiak atau ke kelenjar getah bening di dekat tulang dada.

h. Stage IV kanker telah menyebar atau metastasis ke bagian lain dari tubuh

(Rasjidi, 2010).

Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan yang bertujuan mematikan

ataupun memperlambat pertumbuhan sel kanker. Jenis agen kemoterapi yang

sering digunakan pada kanker payudara antara lain kemoterapi neoajuvan, ajuvan,

dan paliatif (Yudissanta and Ratna, 2012). Obat kemoterapi yang biasanya

diberikan dalam upaya penyembuhan kanker payudara ada dalam bentuk tunggal

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
dan kombinasi. Beberapa bentuk tunggal yang biasanya diberikan antara lain

docetaxel, taxol, dan doksorubisin (Mechetner, et al., 1998).

2.3.1.1 Doksorubisin

Doksorubisin merupakan golongan antibiotik antrasiklin sitotoksik yang

diisolasi dari Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin telah digunakan

secara luas untuk mengobati kanker payudara. Senyawa ini menunjukkan

kemampuan yang kuat dalam melawan kanker dan telah digunakan sebagai obat

kemoterapi kanker sejak akhir tahun 1960-an (Singal, et al., 1998).

Doksorubisin memiliki aktivitas antineoplastik dan spesifik untuk fase S

dalam siklus sel. Mekanisme aktivitas antineoplastiknya belum diketahui dengan

pasti. Mekanisme aksi doksorubisin kemungkinan melibatkan ikatan dengan DNA

melalui interkalasi di antara pasangan basa serta menghambat sintesis DNA dan

RNA. Kemungkinan mekanisme yang lain adalah melibatkan ikatan dengan lipid

membran sel yang akan mengubah berbagai fungsi selular dan berinteraksi dengan

topoisomerase II membentuk kompleks pemotong DNA (Yang, et al., 2014).

Gambar struktur kompleks doksorubisin-DNA dapat dilihat Gambar 2.4.

Keterangan: a. Ikatan kovalen doksorubisin dengan guanine pada satu untai DNA (warna
merah) dan ikatan hydrogen dengan guanine pada untaian yang berlawanan.; b.Struktur
interkalasi doksorubisin pada DNA

Gambar 2.4 Struktur kompleks doksorubisin-DNA (Yang, et al., 2014)

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Doksorubisin telah digunakan pada beberapa pengobatan jenis tumor

seperti kanker payudara, esophagus, osteosarkoma, Kaposi’s sarkoma, sarkoma

jaringan lunak, limfoma Hodgkin, dan non-Hodgkin baik dalam aplikasi tunggal

maupun kombinasi dengan beberapa agen antitumor lainnya (Tyagi, et al., 2004).

Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin

adalah mual, imunosupresi, dan aritmia yang sifatnya revesibel serta dapat

dikontrol dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius dalam jangka

waktu yang lama adalah hepatotoksik (Ekowati, et al., 2013) dan cardiomyopathy

yang diikuti dengan gagal jantung (Tyagi, et al., 2004). Berdasarkan hasil

penelitian restrospektif, diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian

doksorubisin merupakan efek samping yang bergantung pada dosis. Mekanisme

yang memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh

terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan

pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan luka jaringan kardiak (Fogli, et

al., 2004; Wattanapitayakul, et al., 2005). Permasalahan yang sering timbul pada

penggunaan doksorubisin dalam terapi kanker terutama kanker payudara adalah

resistensi obat yang menjadi penyebab kegagalan terapi. Pengeluaran obat yang

disebabkan oleh adanya pompa efflux Pgp menjadi salah satu penyebab utama

resistensi obat ini (Mechetner, et al., 1998).

Doksorubisin termasuk obat golongan antrasiklin yang merupakan substrat

Pgp. Doksorubisin akan dikenali oleh Pgp dan selanjutnya segera dikeluarkan dari

dalam sel sehingga menurunkan konsentrasi efektif doksorubisin dalam sel

kanker. Mekanisme pemompaan oleh Pgp sangat bergantung pada aktivasi protein

tersebut dan penekanan ekspresi Pgp. Oleh karena itu, inaktivasi Pgp dan

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
penekanan ekspresinya mampu mengatasi permasalahan resistensi sel kanker

terhadap doksorubisin (Mechetner, et al., 1998; Zhou, et al., 2006; Wong, et al.,

2006).

2.3.1.2 Terapi Kombinasi

Terapi pengobatan kanker payudara pada umumnya menggunakan terapi

kombinasi (ko-kemoterapi) dengan obat/senyawa yang memiliki efek sinergis

terhadap sel kanker, bersifat spesifik, dan memiliki efek toksik seminimal

mungkin. Terapi kombinasi hingga saat ini dikembangkan secara empiris. Namun

sampai saat ini belum ada terapi pengobatan untuk kanker payudara yang telah

metastasis. Hal tersebut menuntut pengembangan cara pengobatan baru bagi

kanker payudara. Pemanfaatan senyawa alam yang non-toksik dengan efektivitas

tinggi melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi

dengan agen kemoterapi (Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai metode

dapat dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang

tepat.

2.4 Kelor

2.4.1 Uraian Umum

Kelor (Moringa oleifera L.) tumbuh dalam bentuk pohon, berumur

panjang (perenial) dengan tinggi 7 - 12 m. Batang berkayu (lignosus), tegak,

berwarna putih kotor, kulit tipis, permukaan kasar. Percabangan simpodial, arah

cabang tegak atau miring, cenderung tumbuh lurus dan memanjang. Perbanyakan

bisa secara generatif (biji) maupun vegetatif (stek batang). Tumbuh di dataran

rendah maupun dataran tinggi sampai di ketinggian ± 1000 m dpl, banyak ditanam

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
sebagai pagar di halaman rumah atau ladang (Krisnadi, 2015). Gambar pohon

kelor dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Pohon kelor

Kelor dikenal di seluruh dunia sebagai tanaman bergizi dan WHO telah

memperkenalkan kelor sebagai salah satu pangan alternatif untuk mengatasi

masalah gizi (malnutrisi). Di Afrika dan Asia daun kelor direkomendasikan

sebagai suplemen yang kaya zat gizi untuk ibu menyusui dan anak pada masa

pertumbuhan. Semua bagian dari tanaman kelor memiliki nilai gizi, berkhasiat

untuk kesehatan dan manfaat dibidang industri (Broin, 2010).

Tanaman kelor tidak hanya dapat tumbuh dan berkembang di India dan

Indonesia saja, tetapi juga di kawasan tropis lainnya di dunia. Kondisi lahan dan

pemeliharaan akan mempengaruhi kandungan unsur hara. Kandungan unsur hara

dalam tanaman berbeda-beda, tergantung pada jenis hara, jenis tanaman,

kesuburan tanah atau jenis tanah, dan pengelolaan tanaman (Kurniasih, 2013).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Kandungan nilai gizi yang tinggi, khasiat dan manfaatnya menyebabkan

kelor mendapat julukan sebagai Mother’s Best friendly and miracle tree. Namun

di Indonesia sendiri pemanfaatan kelor masih belum banyak diketahui, umumnya

hanya dikenal sebagai salah satu menu sayuran. Selain dikonsumsi langsung

dalam bentuk segar, kelor juga dapat diolah menjadi bentuk tepung atau powder

yang dapat digunakan sebagai bahan fortikan untuk mencukupi nutrisi pada

berbagai produk pangan (Krisnadi, 2015).

Ada beberapa sebutan nama untuk tumbuhan kelor di beberapa daerah di

Indonesia yaitu bahasa Sunda dan melayu kelor; di Sulawesi kelo, wori atau

keloro; di Madura maronggih; di Aceh murong; di Sumbawa kawona dan di

Minang disebut munggai (Krisnadi, 2015).

2.4.2 Sistematika Tumbuhan

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneaea

Ordo : Brassicales

Famili : Moringaceae

Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera Lamk. (Krisnadi, 2015)

2.4.3 Daun Kelor

Daun majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling (alternate),

beranak daun gasal (imparipinnatus), helai daun saat muda berwarna hijau muda

setelah dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat telur, panjang 1 - 2 cm, lebar 1-2

cm, tipis lemas, ujung dan pangkal tumpul (obtusus), tepi rata, susunan

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
pertulangan menyirip (pinnate), permukaan atas dan bawah halus. Merupakan

jenis daun bertangkai karena hanya terdiri atas tangkai dan helaian saja. Tangkai

daun berbentuk silinder dengan sisi atas agak pipih, menebal pada pangkalnya dan

permukaannya halus. Bangun daunnya berbentuk bulat atau bundar (orbicularis),

pangkal daunnya tidak bertoreh dan termasuk ke dalam bentuk bangun bulat telur.

Ujung dan pangkal daunnya membulat (rotundatus) dimana ujungnya tumpul dan

tidak membentuk sudut sama sekali, hingga ujung daun merupakan semacam

suatu busur (Krisnadi, 2015).

Susunan tulang daunnya menyirip (penninervis), dimana daun Kelor

mempunyai satu ibu tulang yang berjalan dari pangkal ke ujung, dan merupakan

terusan tangkai daun. Selain itu, dari ibu tulang itu ke arah samping keluar tulang-

tulang cabang, sehingga susunannya seperti sirip–sirip pada ikan. Kelor

mempunyai tepi daun yang rata (integer) dan helaian daunnya tipis dan lunak.

Berwarna hijau tua atau hijau kecoklatan, permukaannya licin (laevis) dan

berselaput lilin (pruinosus). Merupakan daun majemuk menyirip gasal rangkap

tiga tidak sempurna (Krisnadi, 2015). Gambar daun kelor dapat dilihat pada

Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Daun kelor

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
2.4.4 Kandungan Bahan Aktif dalam Daun Kelor

Moringaceae kaya kandungan gula sederhana, rhamnose, dan senyawa

unik yaitu glukosinolat dan isotiotianat (Bennet et al., 2003). Beberapa kandungan

bahan aktif daun kelor adalah vitamin, carotenoid, polifenol, phenolic acid,

flavonoid, alkaloid, glukosinolat, isotiosianat, tannin, saponin, oksalat dan

phytates (Gambar 2.7).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Gambar 2.7 Struktur kimia kandungan aktif daun kelor (Leone, et al., 2015)

2.4.5 Manfaat dan Efek Farmakologi Daun Kelor

Kelor diakui sebagai tanaman bergizi yang bisa dikonsumsi untuk

mengatasi kelaparan karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Telah

dilaporkan bahwa dalam 100 gram daun kelor mengandung 12 kali vitamin C

dibanding jeruk, Vitamin A 10 kali dibanding wortel, protein 9 kali dibanding

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
yogurt, kalium 15 kali dari pada pisang, kalsium 17 kali daripada susu dan besi 25

kali daripada bayam (Karim, et al., 2016). Kandungan gizi ini sangat penting

peranannya dalam proses biokimia manusia dan hewan.

Ekstrak kelor telah digunakan sebagai bahan obat tradisional, tanaman ini

memiliki efek menguntungkan sebagai antiinflamasi, antifibrotik, antimikroba,

antioksidan, antihiperglikemia, antitumor dan antikanker (Abdull, et al., 2014).

Ekstrak kelor dapat digunakan untuk pengobatan demensia sebagai promoter

memori spasial dimana ekstrak daun dapat menurunkan aktivitas

asetilkolinesterase sehingga meningkatkan fungsi kolinergik dan memori

(Sutalangka, et al., 2013). Ekstrak kelor juga digunakan sebagai antidiabetes

(Divi,et al., 2012). Tanaman ini juga kaya akan fitosterol seperti stigmasterol,

sitosterol dan kampesterol yang merupakan prekusor hormon (Mutiara, et al.,

2013).

2.4.6 Penelitian terhadap Daun Kelor

Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap daun kelor dapat dilihat

pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Daftar penelitian dari daun kelor


No Efek Ekstrak Cell line Mekanisme Referensi
Induksi apoptosis
Sreelatha et
1 Kemoprevensi Etanol Human Tumor dan menghambat
al., 2011
radikal bebas
Leukemia dan Menghambat Khalafalla et
2 Antitumor Etanol
hepatocarcinoma radikal bebas al., 2010
Induksi
Sitotoksik dan Hela dan Nair et al.,
3 Aqua fragmentasi dan
antikanker Lymphocyte 2011
apoptosis
Sitotoksik dan Hidroalkohol Hela, HepG2, Antiproliferasi sel Ghassami et
4
antikanker metanol Caco-2, MCF 7 kanker al., 2012
Penghambatan
mikronukleus
Sitotoksik dan eritrosit dan Rao et al.,
5 Metanol Tikus albino
antikanker aberasi pada 2001
metaphase
kromosom

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Menghambat Luqman et
6 Antioksidatif Etanol Tikus albino
radikal bebas al., 2012
Kanker pancreas Menghambat NF-
Berkovich et
7 Antiproliferasi Aqua (Panc-1), Colo KB Signaling
al., 2013
357 pathway
MDA MB 231, Antiproliferasi sel Ghosh et al.,
8 Antikanker Metanol
MCF 7 kanker 2013
Antioksidan dan HepG2, Caco-2, Antiproliferasi sel Charoensin
9 Diklorometan
antikanker MCF 7 kanker et al., 2014
Meningkatkan
GSH, CAT,
Kadar RBCs dan Kumar et al.,
10 Hepatoprotektif Metanol Tikus
menurunkan 2011
peroksidasi lipid
liver
Menghambat
radiasi yang
menginduksi lipid Sinha et al.,
11 Radioprotektif Etanol Tikus albino
peroksidasi dan 2011
meningkatkan
GSH
Penghambatan
translokasi NF-
KB dan Sinha et al.,
12 Radioprotektif Hidroalkohol Tikus albino
peroksidasi lipid, 2012
meningkatkan
SOD, CAT, GSH
Menurunkan
Fikriansyah
13 Kardioprotektif Etanol Tikus aktivitas peroksid
et al., 2015
radikal (ROS)

2.5 Target Molekular Terapi Herbal untuk Prevensi dan Terapi Kanker

Target dan mekanisme molekular herbal untuk prevensi dan terapi kanker

sedikit diketahui. Tumorigenesis adalah berbagai tingkatan yang mengaktifkan

karsinogen lingkungan, faktor inflamasi dan tumor promotor. Karsinogen akan

memodulasi faktor transkripsi (NF-κB, AP-1, STAT3), protein anti apoptosis

(Akt, Bcl-2, Bcl-XL), pro-apoptotis protein (caspase, PARP), protein kinase

(IKK, EFGR, HER2, JNK, MAPK), protein siklus sel (cyclin, cyclin dependent

kinase), cell adhesion molecules, COX-2 and Growth factor signaling pathways.

Nuclear factor-kappa B (NF-κB) adalah berhubungan dengan protein

dimmers yang berikatan dengan DNA disebut κB site. NF-κB berhubungan

dengan kanker, diaktivasi oleh radikal bebas, stimulus inflamasi, cytokines,

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
karsinogen, tumor promotor, endotoksin, radiasi, ultraviolet dan X-rays. Bila

terjadi aktivasi maka akan terjadi translokasi di nukleus, yang akan menginduksi

ekspresi lebih dari 20 gen yang akan menekan apoptosis dan menginduksi

transformasi sel, proliferasi, inflamasi, metastasis, kemoresisten, rasio resisten dan

inflamasi. Dimana gen tersebut akan menunjukkan terjadinya kanker termasuk

ekspresi cyclin D1, menekan apoptosis dengan meningkatkan protein Bcl-2 dan

Bcl XL serta menyebabkan terjadi angiogenesis dan metastasis (Park and Hong,

2016).

Siklus sel, diatur oleh cyclin dan cyclin dependent kinase, cyclin D1, Cdk-

4 dan Cdk-6. Gangguan dari pengaturan waktu, check point, dan over ekspresi

dari growth promoting cell cycle factor seperti cyclin D1 dan CDK akan

menyebabkan tumorigenesis. Beberapa phytochemicals menunjukkan

menghambat gangguan pada pengaturan siklus sel pada kanker (Hartono, 2009).

Apoptosis, menunjukkan menjadi keseimbangan secara alami antara sel

mati dan sel matur dengan menghancurkan sel yang rusak dan abnormal. Ekspresi

NF-κB, Bcl-2, Bcl-XL, cIAP, survivin, TRAF1 dan TRAF2 menyebabkan

menghambat jalur apoptosis. Beberapa phytochemical menunjukkan menghambat

aktivasi NF-κB atau AP-1 yang akan menekan proliferasi dan menginduksi

apoptosis (Hartono, 2009).

2.6 Metode Pengujian Aktivitas Antikanker dari Berbagai Tanaman obat

Pemanfaatan senyawa alam yang non-toksik dengan efektivitas tinggi

melawan kanker dapat menjadi pilihan pengembangan terapi kombinasi dengan

agen kemoterapi (Tyagi, et al., 2004). Oleh karena itu, berbagai metode dapat

dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi kombinasi terapi yang tepat.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Uji efek kombinasi dengan kedua metode tersebut biasanya dilakukan secara in

vitro. Metode uji in vitro dapat digunakan sebagai uji praklinik awal untuk

menggambarkan interaksi kombinasi, sehingga ketika dilakukan uji in vitro

hasilnya akan lebih efisien.

Pengujian aktivitas antikanker dapat dilakukan dari beberapa parameter,

antara lain uji sitotoksik, indeks selektivitas, analisis isobologram, combination

index (CI), pemacuan apoptosis dan siklus sel dengan metode flowcytometry, dan

pengujian ekspresi protein dengan metode imunositokimia (Kupscik, et al., 2011).

2.6.1 Uji Sitotoksik

Uji sitotoksisitas adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur

sel yang digunakan dalam evaluasi keamanan obat, kosmetik, zat tambahan

makanan, pestisida dan digunakan juga untuk mendeteksi adanya aktivitas

antineoplastik dari suatu senyawa. Senyawa sitotoksik adalah senyawa yang

bersifat toksik pada sel tumor secara in vitro dan jika toksisitas ini ditransfer

menembus sel tumor in vivo senyawa tersebut mempunyai aktivitas antitumor

(Freshney, 2000).

Metode in vitro memberikan berbagai keuntungan dapat digunakan pada

langkah awal pengembangan obat, hanya membutuhkan sejumlah kecil bahan

yang digunakan untuk kultur sel primer manusia serta dapat memberikan

informasi secara langsung efek potensial pada sel target manusia serta uji yang

digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat langsung.

Akhir dari uji sitotoksisitas pada organ target memberikan informasi tentang

perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik (Doyle, et al., 2000).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
2.6.1.1 Uji Sitotoksik Menggunakan Metode MTT

Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]

adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan

pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme

suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna. Pada uji ini digunakan

garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja enzim dehidrogenase. MTT akan

direduksi menjadi formazan oleh sistem reduktase suksinat tetrazolium, yang

termasuk dalam mitokondria dari sel hidup (Kupcsik, 2011).

Formazan merupakan zat berwarna ungu yang tidak larut dalam air

sehingga dilarutkan menggunakan HCl 0,04 N dalam isopropanol atau 10% SDS

dalam HCl 0,01 N. Intensitas warna ungu terbentuk dapat ditetapkan dengan

spektrofotometri dan berkorelasi langsung dengan jumlah sel yang aktif

melakukan metabolisme, sehingga berkorelasi dengan viabilitas sel. Persentase

viabilitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Absorbansi sampel
% Viabilitas = x 100%
Absorbansi kontrol

2.6.2 Indeks Selektivitas

Nilai indeks selektivitas diperoleh dengan menggunakan sel yang berasal

dari ginjal monyet hijau afrika (sel Vero) menggunakan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-

yl)-2,5- diphenyltetrazolium bromide (MTT). Indeks selektivitas diperoleh dari

rasio IC50 sel Vero sel dibandingkan dengan sel kanker yang diuji. Nilai lebih

tinggi dari 3 menunjukkan bahwa obat atau ekstrak memiliki selektivitas yang

tinggi (Weerapreeyakul, et al., 2012).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
2.6.3 Indeks Terapi Kombinasi

Isobologram dan indeks kombinasi (IK) merupakan metode yang umum

digunakan untuk mengevaluasi kombinasi obat. Metode ini dikemukakan pertama

kali oleh Chou dan Talalay pada tahun 1984 (Zhao, et al., 2004).

Analisis isobologram mengevaluasi interaksi dua obat dengan jalan

menentukan terlebih dahulu konsentrasi efektif (IC50) dari masing-masing obat

ketika diaplikasikan sebagai agen tunggal kemudian diplotkan pada sumbu X dan

Y. Garis yang menghubungkan kedua titik disebut dengan garis aditif.

Selanjutnya, konsentrasi kombinasi kedua obat untuk menghasilkan efek yang

sama digambarkan pada plot yang sama. Efek sinergis, aditif atau antagonis

diindikasikan oleh letak titik plot tersebut, yaitu apakah (secara berurutan) di

bawah, pada atau di atas garis aditif (Zhao, et al., 2004).

Penentuan Combination index (CI) dapat dianalisis dengan menggunakan

Compusyn system version 1, metode ini adalah metode yang menggunakan

software untuk menentukan efek kombinasi 2 obat atau lebih apakah memberi

efek sinergis, aditif atau antagonis (Chou and Martin, 2004; Zhang, et al., 2016).

Interaksi antara dua obat dapat dianalisis dengan Combination Index (CI).

Analisis kombinasi menggambarkan efikasi dari kombinasi dengan

menggunakan persamaan sebagai berikut.

CI= (D)1/(Dx)1 + (D)2/(Dx)2

CI adalah indeks kombinasi, Dx adalah konsentrasi dari satu senyawa

tunggal yang dibutuhkan untuk memberikan efek, dalam hal ini adalah IC50

terhadap pertumbuhan sel kanker payudara. (D)1 dan (D)2 adalah besarnya

konsentrasi kedua senyawa untuk memberikan efek yang sama. Nilai IK kurang,

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
sama atau lebih dari 1 mengindikasikan efek (secara berurutan) sinergis, aditif

atau antagonis. Combination Index (CI) yang diperoleh diinterpretasikan seperti

pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Interpretasi nilai CI (Combination Index)

CI Interpretasi CI Interpretasi

<0,1 sinergis sangat kuat 0,9-1,1 mendekati additif


0,1-0,3 sinergis kuat 1,1-1,45 antagonis ringan-sedang
0,3-0,7 sinergis 1,45-3,3 antagonis
0,7-0,9 sinergis ringan-sedang >3,3 antagonis kuat-sangat kuat

Sumber: Reynolds, et al., (2005)

2.6.4 Flowcytometry

Pengujian siklus sel dan apoptosis menggunakan metode flowcytometry.

Flowcytometry adalah teknik yang digunakan untuk menghitung dan menganalisis

partikel mikroskopis yang tersuspensi dalam aliran fluida (Sayed, et al., 2009).

Prinsip dasar dari metode ini adalah berdasarkan fluoresensi. Suspensi sel atau

partikel yang hendak dianalisa disedot atau dialirkan. Aliran dikelilingi oleh fluida

yang sempit, sel akan melewati satu demi satu melalui sinar laser terfokus. Sinar

laser akan menyerang sel tersebut. Sel yang sesuai dengan cahaya laser dan

panjang gelombang yang tepat dapat dipancarkan kembali sebagai fluoresensi jika

sel mengandung zat alami fluorescent satu atau lebih fluorochrome-label

antibody melekat pada permukaan atau struktur internal sel. Penyerapan cahaya

tergantung pada struktur internal sel dan ukuran dan bentuknya. Cahaya

fluoresensi terdeteksi oleh serangkaian dioda. Filter optik berfungsi untuk

memblokir cahaya yang tidak diinginkan. Hasil data disimpan melalui komputer

(Givan, 2001). Flowcytometry dapat digunakan untuk menganalisa DNA content

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
sel melalui pewarnaan sel dengan pewarna propidium iodide (PI) atau 4’,6’-

diamino-2-phenylindole (DAPI). Dengan adanya fluorochrome yang memiliki

kemampuan berinterkalasi dengan basa untai DNA seperti propidium iodide,

maka tiap sel yang memiliki jumlah set kromosom yang berbeda akan

memberikan intensitas fluoresensi yang berbeda. Semakin banyak set kromosom

maka intensitas fluoresensi akan semakin besar. Untuk pengujian apoptosis,

ditambahkan antibodi Annexin V dan propidium iodida, sedangkan pengujian

siklus sel ditambahkan antibodi propidium iodida. Lalu diukur dengan alat

flowcytometer (Hostanska, et al., 2004). Flowcytometer atau FACS (Fluorescence

Activated Cell Sorting) digunakan untuk membaca intensitas fluoresensi tiap sel

(Givan, 2001). Skema alat flowcytometer ditunjukkan oleh Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Skema alat flowcytometer

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
2.6.5 Imunositokimia

Imunositokimia merupakan suatu metode yang digunakan untuk

mendeteksi adanya ekspresi suatu protein spesifik atau antigen dalam sel dengan

menggunakan antibodi spesifik yang akan berikatan dengan protein atau antigen.

Ada dua jenis metode imunositokimia, yaitu metode langsung dan metode

tidak langsung. Pada metode langsung, antibodi yang mengikat fluoresen atau zat

warna langsung berikatan dengan antigen pada sel. Sedangkan pada metode tidak

langsung, antigen diikatkan pada antibodi primer secara langsung, kemudian

ditambahkan antibodi sekunder yang mengikat enzim seperti peroksidase, alkali

fosfatase, atau glukosa oksidase. Antibodi sekunder akan berikatan dengan

antibodi primer. Selanjutnya ditambahkan substrat kromogen yang akan diubah

oleh enzim sehingga terjadi pembentukan warna (pigmen) yang akan mewarnai

sel (CCRC, 2009).

Untuk menjamin antibodi agar dapat mengikat antigen, sel harus difiksasi

dengan ditempelkan pada bahan pendukung padat sehingga antigen akan

immobile. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan sel pada slide

mikroskop, coverslip, atau bahan pendukung plastik yang sesuai. Ada dua macam

metode fiksasi, yaitu pelarut organik dan reagen cross-linking. Pelarut organik

seperti alkohol dan aseton akan memindahkan lipid, mendehidrasi sel, dan

mengendapkan protein. Reagen cross-linking seperti paraformaldehid

membentuk jembatan intermolekuler melalui gugus amino bebas (CCRC, 2009)

Imunositokimia melibatkan inkubasi sel dengan antibodi. Antibodi akan

berikatan dengan antigen atau protein spesifik di dalam sel. Antibodi yang tidak

berikatan dipisahkan dengan pencucian, sedangkan antibodi yang berikatan

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
dideteksi secara langsung dengan antibodi primer berlabel, maupun secara tidak

langsung dengan antibodi sekunder berlabel enzim atau fluoresen (CCRC, 2009).

Keuntungan metode imunositokimia ini adalah hasil pemeriksaan cepat didapat

(24 jam), mudah, relatif murah, dan dapat digunakan untuk pemeriksaan sampel

dalam jumlah banyak (Abbas, et al., 2003).

2.7 Metode Ekstraksi

Ekstraksi atau penyarian merupakan proses pemisahan senyawa dari

matriks atau simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi

yang digunakan tergantung pada jenis, sifat fisik, dan sifat kimia kandungan

senyawa yang akan diekstraksi. Pelarut yang digunakan tergantung pada polaritas

senyawa yang akan disari, mulai dari pelarut yang bersifat non polar hingga polar

yang disebut dengan ekstraksi bertingkat (Hanani, 2017).

Tujuan ekstraksi adalah menarik atau memisahkan senyawa dari

campurannya atau simplisia. Ada berbagai cara ekstraksi yang telah diketahui.

Masing-masing cara tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya. Pemilihan

metode dilakukan dengan memperhatikan sifat senyawa, pelarut yang digunakan,

dan alat yang tersedia. Struktur untuk setiap senyawa, suhu, tekanan merupakan

faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan ekstraksi. Alkohol merupakan

salah satu pelarut yang paling banyak digunakan untuk menyari secara total.

Beberapa metode ekstraksi yang umum digunakan adalah sebagai berikut:

a. Maserasi

Maserasi adalah cara ekstraksi simplisia dengan merendam dalam pelarut

pada suhu kamar sehingga kerusakan atau degradasi metabolit dapat

diminimalisasi. Pada maserasi, terjadi proses keseimbangan konsentrasi

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
antara larutan di luar dan di dalam sel sehingga diperlukan penggantian

pelarut secara berulang. Maserasi kinetik adalah cara ekstraksi yang

dilakukan dengan pengadukan, sedangkan digesti adalah cara maserasi yang

dilakukan pada suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar, yaitu 40-60°C.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah cara ekstraksi simplisia menggunakan pelarut yang selalu

baru, dengan mengalirkan pelarut melalui simplisia hingga senyawa tersari

sempurna. Cara ini memerlukan waktu lebih lama dan pelarut yang lebih

banyak dan untuk menyakinkan perkolasi sempurna perkolat dapat diuji

adanya metabolit dengan pereaksi yang spesifik.

c. Refluks

Refluks adalah cara ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didihnya selama

waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik. Agar hasil penyarian lebih baik atau sempurna, refluks

umumnya dilakukan berulang-ulang (3-6 kali) terhadap residu pertama.

d. Sokletasi

Sokletasi adalah cara ekstraksi menggunakan pelarut organik pada suhu didih

dengan alat soklet. Pada metode ini simplisia dan ekstrak berada pada labu

berbeda. Pemanasan mengakibatkan pelarut menguap, dan uap masuk dalam

labu pendingin. Hasil kondensasi jatuh pada bagian simplisia sehingga

ekstraksi berlangsung terus-menerus dengan jumlah pelarut relatif konstan.

e. Infusa

Infusa adalah cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut air, pada suhu 96-

98°C selama 15-20 menit (dihitung setelah suhu 96°C tercapai). Bejana

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
infusa tercelup dalam tangas air. Cara ini sesuai untuk simplisia yang bersifat

lunak, seperti bunga dan daun.

f. Dekok

Dekok adalah cara ekstraksi yang mirip infusa, hanya saja waktu ekstraksinya

lebih lama yaitu 30 menit dan suhunya mencapai titik didih air.

g. Destilasi (penyulingan)

Destilasi adalah cara ekstraksi untuk menarik atau menyari senyawa yang ikut

menguap dengan air sebagai pelarut. Pada proses pendinginan, senyawa dan

uap air akan terkondensasi dan terpisah menjadi destilat air dan senyawa yang

diekstraksi. Cara ini umum digunakan untuk menyari minyak atsiri dari

tumbuhan (Hanani, 2017)

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
2.8 Kerangka Teori Penelitian

Kultur Sel Kanker Doksorubisin


T47D/MCF7

Kultur Sel Kanker


NF-kB
T47D/MCF7

Bcl-2 Cyclin D1 Interkalasi Doxo-DNA

Bax Topoisomerase
Ekstrak II terhambat
etil
asetat Citochrom C Kompleks
Keluar dari Cyclin Sintesis
daun
sitoplasma D1-CDK 4/6 DNA/RNA
kelor

Kompleks
cytochrom
C-Apaf 1 Siklus sel Siklus sel
terhenti terhenti pada
pada fase fase S
Caspase 9 G1/S

Caspase 3 Proliferasi Proliferasi


sel sel
Apoptosis
bodies

Fagosit
Makrofag

Sel kanker
mati
Keterangan: menghambat
meningkatkan

Gambar 2.9 Kerangka teori penelitian

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental untuk mengetahui apakah

ekstrak n-heksan daun kelor (ENDK), ekstrak etil asetat daun kelor (EEADK),

ekstrak etanol daun kelor (EEDK) dan doksorubisin memiliki efek kombinasi

terhadap sel kanker payudara MCF-7 dan T47D. Tahap penelitian meliputi

identifikasi sampel atau bahan tumbuhan, pengumpulan dan pembuatan simplisia,

pembuatan pereaksi, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia simplisia dan

ekstrak, pembuatan ekstrak n-heksana (ENDK), etil asetat (EEADK) dan etanol

(EEDK) yang dilakukan di laboratorium Farmakognosi, Fakultas Farmasi,

Universitas Sumatera Utara, Medan. Pengujian efek sitotoksik ENDK, EEADK,

EEDK dan doksorubisin, pengujian indeks kombinasi ENDK, EEADK, EEDK

dengan doksorubisin, pengujian selektivitas terhadap sel Vero, pengujian

penghambatan siklus sel, pengujian apoptosis dengan metode flowsitometri dan

penekanan ekspresi protein Bcl-2 dan siklin D1 dilakukan di Laboratorium

Parasitologi, dan Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran, Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas

laboratorium, autoclave, blender, conical tube, eksikator, Microplate reader, flow

cytometer, inverted microscope, laminar air flow, mikropipet, flask (wadah

kultur), hemositometer, alat penghitung, neraca kasar, neraca listrik, oven,

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
penangas air, rotary evaporator, sentrifugator, seperangkat alat penetapan kadar

air, cawan porselen, desikator, tanur, vortex.

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun kelor. Bahan kimia

yang digunakan kecuali dinyatakan lain adalah berkualitas pro analisis, yaitu α-

naftol, amonium hidroksida, asam asetat anhidrida, asam asetat pekat, asam

klorida pekat, asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, benzen, besi (III) klorida,

kloralhidrat, bismut (III) nitrat, etanol, eter, etil asetat, n-heksana, iodium,

isopropanol, kalium iodida, kloroform, metanol, natrium hidroksida, natrium

sulfat anhidrat, petroleum eter, raksa (II) klorida, serbuk magnesium, serbuk

zinkum, sodium hidrogen sulfat, timbal (II) asetat, toluena, air suling, dimethyl

sulfoxide (DMSO). Sel MCF-7, sel T47D dan sel Vero, doksorubisin, media

penumbuh Roswell Park Memorial Institute (RPMI), media penumbuh

Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium (DMEM), media M199-serum, Fetal

Bovine Serum (FBS) 10% (v/v), penisillin-streptomisin 2% (v/v) dan Fungizone

(Amphoterisin B) 0,5%. Selain bahan-bahan di atas juga digunakan 0,25%

Tripsin-EDTA, Phospate Buffer Saline (PBS), MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-

2,5difeniltetrazolium bromida] dengan konsentrasi 5 mg/mL, sodium deodesil

sulfat (SDS) dalam HCl 0,1 N, Annexin V, propidium iodida, antibodi Bcl-2 dan

siklin D1.

3.2 Penyiapan Bahan Tumbuhan

3.2.1 Pengumpulan Bahan

Pengumpulan daun kelor dilakukan secara purposive, yaitu tanpa

membandingkan dengan daerah lain. Daun yang diambil sebagai sampel adalah

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
keseluruhan dari helaian daun tumbuhan pada urutan kelima dari pucuk daun yang

masih dalam keadaan baik, bersumber dari Kelurahan Bukit Batrem, Kecamatan

Dumai Timur, Provinsi Riau.

3.2.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense (MEDA)

Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2.3 Pembuatan Simplisia Daun Kelor

Bahan yang digunakan adalah daun kelor yang masih segar. Daun

dipisahkan dari tangkainya lalu dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan dan

ditimbang. Selanjutnya daun dikeringkan dalam lemari pengering dengan

temperature ± 40°C sampai kering. Simplisia yang telah kering diblender menjadi

serbuk lalu dimasukkan ke dalam wadah plastik bertutup dan disimpan pada suhu

kamar.

3.3 Pembuatan Pereaksi

3.3.1 Besi (III) klorida 1% b/v

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling sampai 100 mL

(Depkes, 1995).

3.3.2 Larutan asam klorida 2 N

Sebanyak 17 mL asam klorida pekat diencerkan dengan air suling sampai

100 mL (Depkes, 1979).

3.3.3 Timbal (II) asetat 0,4 M

Timbal (II) asetat sebanyak 15,17 g dilarutkan dalam air suling bebas CO2

hingga 100 mL (Depkes, 1995).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
3.3.4 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,36 g raksa (II) klorida, kemudian dilarutkan dalam air suling

hingga 60 mL. Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu

dilarutkan dalam 20 mL air suling. Kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan

air suling hingga diperoleh larutan 100 mL (Depkes, 1995).

3.3.5 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 0,8 g bismut (III) nitrat dilarutkan dalam asam nitrat pekat 20

mL kemudian dicampurkan dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam

50 mL air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih

diambil dan diencerkan dengan air suling secukupnya hingga 100 mL (Depkes,

1995).

3.3.6 Larutan kloralhidrat

Sebanyak 50 g kristal kloralhidrat ditimbang lalu dilarutkan dalam 20 mL

air suling (Depkes, 1979).

3.3.7 Larutan asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,5 mL asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling hingga

diperoleh 100 mL (Depkes, 1995).

3.3.8 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam air suling secukupnya

kemudian ditambahkan 2 g iodida sedikit demi sedikit, cukupkan dengan air

suling sampai 100 mL (Depkes, 1995).

3.3.9 Pereaksi Liebermann-Burchard

Campur secara perlahan 5 mL asam asetat anhidrida dengan 5 mL asam

sulfat pekat (Depkes, 1995).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
3.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik,

mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut dalam air,

penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan

penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam (Depkes, 1986; WHO, 1998).

3.4.1 Pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan memperhatikan morfologi

luar, rasa, dan tekstur dari daun kelor. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan

terhadap serbuk simplisia daun kelor (Moringa oleifera L.). Serbuk simplisia

ditaburkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan

ditutup dengan deck glass kemudian diamati di bawah mikroskop.

3.4.2 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).

Alat terdiri dari alas bulat 500 mL, alat penampung, pendingin, tabung

penyambung dan tabung penerima 10 mL.

a. Penjenuhan toluen

Sebanyak 200 mL toluena dan 2 mL air suling dimasukkan ke dalam labu

alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian di destilasi selama

2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian

volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 mL.

b. Penetapan kadar air simplisia

Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 gram serbuk simplisia

yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah

toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap

detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan

toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan

mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume

air dibaca dengan ketelitian 0,05 mL. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai

dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air

dihitung dalam persen (WHO, 1998).

volume air (ml)


% Kadar air Simplisia = x 100%
Berat sampel (g)

3.4.3 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi

selama 24 jam dalam 100 mL air-kloroform (2,5 mL kloroform dalam air suling

sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam

pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 mL filtrat

pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang

telah dipanaskan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap.

Kadar sari yang larut dalam air dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah

dikeringkan dengan rumus sebagai berikut: (Depkes, 1995).

Berat sari (g) 100


% Kadar sari larut dalam air = x x 100%
Berat sampel (g) 20

3.4.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL

etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama,

kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
penguapan etanol. Sejumlah 20 mL filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan

penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan

pada suhu 105° C sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung

dalam persen terhadap bahan yang dikeringkan di udara dengan rumus sebagai

berikut: (Depkes, 1995)

Berat sari (g) 100


% Kadar sari larut dalam etanol = x x 100%
Berat sampel (g) 20

3.4.5 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan

dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar

perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600°C selama 3

jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar

abu dihitung dalam persen terhadap bahan yang dikeringkan di udara dengan

rumus sebagai berikut: (Depkes, 1995)

Berat abu (g)


% Kadar abu total = x 100%
Berat sampel (g)

3.4.6 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu total, dididihkan

dalam 25 mL asam klorida 2 N selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam

asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, kemudian dicuci

dengan air panas. Residu dan kertas saring dipijarkan pada suhu 600°C sampai

bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu tidak larut dalam

asam dihitung terhadap bahan yang dikeringkan dengan rumus sebagai berikut:

(Depkes, 1995).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Berat abu (g)
% Kadar abu tidak larut asam = x 100%
Berat sampel (g)

3.5 Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia

Penentuan golongan senyawa kimia skrining fitokimia dilakukan

pemeriksaan senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, glikosida

antrakuinon (Depkes RI, 1995), saponin, tanin, dan steroid/triterpenoid (Harborne,

1996).

3.5.1 Pemeriksaan Alkaloid

Serbuk simplisia/ekstrak ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan

1 mL asam klorida 2 N dan 9 mL air suling, dipanaskan di atas penangas air

selama 2 menit, didinginkan, dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes

alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 mL filtrat.

Pada masingmasing tabung reaksi:

a. ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer.

b. ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat.

c. ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff.

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan

di atas (Depkes, 1995).

3.5.2 Pemeriksaan Flavonoid

Sebanyak 10 g serbuk simplisia/ekstrak ditambahkan 10 mL air panas,

dididihkan selama 5 menit, dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 mL

filtrate ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 mL asam klorida pekat dan 2

mL amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth,

1966).

3.5.3 Pemeriksaan Glikosida

Serbuk simplisia/ekstrak ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30

mL campuran etanol 96% dengan air (7:3) dan 10 mL asam klorida 2 N, direfluks

selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 mL filtrat ditambahkan 25

mL air suling dan 25 mL timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu

disaring. Filtrat disari dengan 20 mL campuran isopropanol dan kloroform (2:3),

dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Sari air dikumpulkan dan diuapkan pada

temperatur tidak lebih dari 50° C. Sisanya dilarutkan dalam 2 mL metanol.

Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut: 0,1 mL larutan percobaan

dimasukan dalam tabung reaksi dan diuapkan di atas penangas air. Pada sisa

ditambahkan 2 mL air dan 5 tetes pereaksi Molisch. Kemudian secara perlahan-

lahan ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya

cincin berwarna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan ikatan gula (Depkes,

1995).

3.5.4 Pemeriksaan Saponin

Serbuk simplisia/ekstrak ditimbang sebanyak 0,5 g, dimasukan ke dalam

tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 mL air panas, didinginkan kemudian dikocok

kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak

kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2

N, menunjukan adanya saponin (Depkes, 1995).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
3.5.5 Pemeriksaan Tanin

Serbuk simplisia/ekstrak ditimbang sebanyak 1 g, dididihkan selama 3

menit dalam 100 mL air suling lalu didinginkan dan disaring. Pada filtrat

ditambahkan 1-2 tetes peraksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru

kehitaman atau hijau kehitaman, menunjukan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.5.6 Pemeriksaan Steroid/triterpenoid

Sebanyak 1 g serbuk simplisia/ekstrak dimaserasi dengan 20 mL n-

heksana selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada

sisa ditambahkan beberapa tetes pereaksi Liebermann-Burchard. Timbulnya

warna biru atau biru hijau menunjukan adanya steroid, sedangkan warna merah,

merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1996).

3.5.7 Pemeriksaan Antrakuinon

Ditimbang sebanyak 0,2 g serbuk simplisia/ekstrak, ditambahkan 5 mL

asam sulfat 2 N, dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 mL benzena,

dikocok dan didiamkan. Lapisan benzena dipisahkan dan disaring, kocok lapisan

benzene dengan 2 mL NaOH 2 N, didiamkan. Lapisan air berwarna merah dan

lapisan benzena tidak berwarna menunjukan adanya antrakuinon (Depkes, 1995).

3.6 Pembuatan Ekstrak Daun Kelor

Pembuatan ekstrak dilakukan secara maserasi bertingkat, yaitu serbuk

simplisia dengan perbandingan tertentu direndam dengan cairan penyari berturut-

turut n-heksan, etilasetat dan etanol 70%. Serbuk simplisia dimaserasi dengan

pelarut n-heksan sebanyak tiga kali, kemudian serbuk yang sama dimaserasi lagi

dengan pelarut etil asetat sebanyak tiga kali, dan terakhir serbuk tersebut

dimaserasi kembali dengan pelarut etanol 70% sebanyak tiga kali.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Masukkan satu bagian serbuk kering simplisia ke dalam wadah maserasi,

ditambahkan 10 bagian pelarut, lalu direndam selama 6 jam pertama sambil

sekali-sekali diaduk, kemudian didiamkan selama 18 jam. Maserat dipisahkan

dengan cara dienaptuangkan dan disaring. Proses penyarian dilakukan sebanyak 3

kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan

kemudian diuapkan dengan rotary evaporator sampai diperoleh diperoleh ekstrak

kental (Depkes, 2008).

3.7 Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Kelor

Ketiga ekstrak kental terlebih dahulu dilarutkan dalam etanol 96%,

kemudian dilakukan skrining fitokimia terhadap masing-masing ekstrak. Prosedur

skrining fitokimia masing-masing ekstrak daun kelor dilakukan sama seperti

prosedur untuk pemeriksaan skrining fitokimia serbuk simplisia.

3.8 Sterilisasi Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas sitotoksik ini disterilkan

terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas dan plastik yang akan digunakan

disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Lay, 1994).

3.9 Pembuatan Media

3.9.1 Pembuatan media Roswell Park Memorial Institute (RPMI)

Komposisi: RPMI sachet, spesifikasi: GIBCO Lot No. 921956, dengan L


glutamine tanpa NaHCO3, netto 10,4 g
Hepes 2g
NaHCO3 2g
HCl 1N secukupnya
NaOH 1N secukupnya
Aquabidest steril ad 1 L

Cara pembuatan: Sebanyak 1 sachet RPMI, 2 gram Hepes, dan 2 gram

NaHCO3 dimasukkan ke dalam erlenmeyer, tambahkan 800 mL aquabidest steril,

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
homogenkan dengan menggunakan stirer magnet. Ukur pH 7,2 – 7,4 dengan pH

meter, untuk menyesuaikan pH dapat digunakan HCl 1N (bila larutan basa) atau

NaOH 1N (bila larutan asam), tambahkan aquabidest steril sampai 1 L, lakukan

sterilisasi dengan filter vaccum di dalam LAF (Laminar Air Flow), dipasang filter

aparatus steril pada botol duran 1 L steril, lakukan proses penyaringan dengan

filter, aliquot media ditampung dalam botol duran 500 mL, diberi identitas pada

botol media (nama media, tanggal pembuatan, expire date, dan nama pembuat),

dan disimpan pada suhu 2-8°C (Sambrook, et al., 1989).

3.9.2 Pembuatan Media Komplit RPMI (MK RPMI)

Komposisi: Fetal Bovine Serum (FBS) 10 %


Penisilin-Streptomisin 2%
Fungizone (Amphotericin B) 0,5 %
RPMI ad 100 mL

Cara pembuatan: Campur semua bahan di atas, dan dilakukan di dalam

LAF (Laminar Air Flow), beri identitas pada botol MK (nama media, tanggal

pembuatan, expire date, dan nama pembuat), simpan pada suhu 2 – 8°C

(Sambrook, et al,.1989).

3.9.3 Pembuatan Media Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium (DMEM)

Komposisi: DMEM sachet 10,4 gram


Hepes 2 gram
NaHCO3 2 gram
HCl 1N secukupnya
NaOH 1N secukupnya
Aquabidest steril ad 1 liter

Cara Pembuatan: Sebanyak 1 sachet DMEM, 2 gram Hepes dan 2 gram

NaHCO3 dimasukkan ke dalam erlenmeyer, tambahkan 800 mL aquabidest steril,

homogenkan dengan menggunakan Stirer magnet. Ukur pH 7,2 – 7,4 dengan pH

meter, untuk menyesuaikan pH dapat digunakan asam klorida 1 N (bila larutan

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
basa) atau natrium hidroksida 1 N (bila larutan asam) sehingga pH sesuai dengan

kondisi yang diharapkan tambahkan aquabidest steril sampai 1 L, lakukan

sterilisasi dengan filter vaccum didalam LAF, dipasang filter aparatus steril pada

botol duran 1 L steril, lakukan proses penyaringan dengan filter, aliquot media

ditampung dalam botol duran 500 mL, diberi identitas pada botol media (nama

media, tanggal pembuatan, expire date dan nama pembuat) dan disimpan pada

suhu 2 - 8oC (Sambrook, et al., 1989).

3.9.4 Pembuatan Media Komplit DMEM (MK DMEM)

Komposisi: Fetal Bovine Serum (FBS) 10%


Penisilin-Streptomisin 2%
Fungizone (Amphotericin B) 0,5%
DMEM ad 100 ml

Cara Pembuatan:Semua bahan di atas dicampur dan dilakukan di dalam

LAF, tiap botol MK diberi identitas (nama media, tanggal pembuatan, expire date

dan nama pembuat), disimpan pada suhu 2-8oC (Sambrook, et al., 1989).

3.9.5 Pembuatan Media M199

Komposisi: M199 sachet, spesifikasi: GIBCO Lot No. 819942, dengan Earle’s
salt, dengan L-glutamine, tanpa NaHCO3, netto 9,5 gram
Akuabidest 1 liter
NaHCO3 2,2 gram
Hepes 2 gram
HCl 1 N secukupnya
NaOH 1 N secukupnya

Cara pembuatan: Sebanyak 1 sachet M199 sachet, 2,2 gram NaHCO3,

gram Hepes dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer. Ditambahkan 800 mL

aquabidest steril dan dihomogenkan menggunakan stirer magnet. Diatur pH 7,2 –

7,4 dengan menggunakan pH meter. Penyesuaikan pH dilakukan dengan

menambahkan HCL 1 N (bila larutan basa) atau NaOH 1 N (bila larutan asam).

Ditambahkan aquabidest hingga volume 1 L dan dilakukan sterilisasi dengan filter

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
vaccum di dalam LAF (Laminar Air Flow). Dipasang filter aparatus steril pada

botol duran 1 L steril. Lakukan proses penyaringan dengan menggunakan filter,

aliquot media ditampung dalam botol duran 500 mL, diberi identitas pada botol

media (nama media, tanggal pembuatan, expire date, nama pembuat). Media

disimpan pada suhu 2 – 8°C (Handayani, et al., 2001).

3.9.6 Pembuatan Media Komplit M199 (MK M199)

Komposisi : Foetal Bovine Serum (FBS) 10 %


Penisilin-streptomisin 3%
Fungizone 1%
M199 ad 100 mL

Cara pembuatan: Campur semua bahan di atas, dan dilakukan di dalam

LAF (Laminar Air Flow), beri identitas pada botol MK (nama media, tanggal

pembuatan, expire date, dan nama pembuat), simpan pada suhu 2 – 8°C

(Handayani, et al., 2001).

3.10 Penumbuhan Sel

3.10.1 Penumbuhan Sel T47D

Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, ambil 10 mL

media RPMI pada tabung konikel 15 mL, ambil ampul (sel T47D) dari freezer -

80°C atau tangki nitrogen dan cairkan pada suhu kamar, ambil suspensi sel dalam

ampul, masukkan tetes demi tetes kedalam media RPMI yang telah disiapkan,

sentrifuge pada 600 rpm selama 5 menit, buang supernatan dan tambahkan 4 mL

MK-RPMI dan resuspensi hingga homogen. Transfer masing-masing 2 mL ke

dalam flask kultur baru. Tambahkan 5 mL MK-RPMI ke dalam masing-masing

flask kultur, dan homogenkan. Amati kondisi sel dengan menggunakan inverted

microscope. Pastikan sel homogen pada seluruh permukaan flask kultur (tidak

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
menggerombol pada bagian tertentu). Beri identitas pada flask kultur, kemudian

simpan dalam inkubator CO2 (Doyle, et al., 2000).

3.10.2 Subkultur Sel T47D

Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, lakukan

pengerjaan pada LAF. Proses panen sel T47D dilakukan dengan cara mengambil

500 Μl panenan sel dan masukkan ke dalam flask kultur. Tambahkan 6 mL MK-

RPMI, homogenkan. Inkubasi sel pada inkubator CO2, amati kondisi sel pada

keesokan harinya (Doyle, et al., 2000).

3.10.3 Panen Sel T47D

Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, amati kondisi

sel. Panen dilakukan apabila sel telah dalam kondisi 80% konfluen, semua

pekerjaan dilakukan pada LAF. Buang MK dari flask dengan mikropipet atau

pipet pasteur, cuci sel 3 kali dengan 5 mL PBS (Phosphate Buffer Salin),

tambahkan 400 μL Tripsin-EDTA 0,25% secara merata, kemudian inkubasi di

dalam inkubator CO2 selama ± 5 menit, dan tambahkan 4 mL MK untuk

menginaktifkan tripsin. Resuspensi sel dengan mikropipet agar sel terlepas satu-

satu (tidak menggerombol). Amati keadaan sel di inverted microscope.

Resuspensi sel kembali jika masih ada sel yang menggerombol. Transfer sel ke

dalam tabung konikel (Doyle, et al., 2000).

3.10.4 Penumbuhan Sel MCF-7

Prosedur penumbuhan sel, subkultur sel dan panen sel MCF-7 dilakukan

sama seperti terhadap sel T47D.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
3.10.5 Penumbuhan Sel Vero

Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, ambil 10 mL

media M199 pada tabung konikel, ambil ampul dari freezer -80°C (sel Vero) atau

tangki nitrogen dan cairkan pada suhu kamar, ambil suspensi sel dalam ampul,

masukkan tetes demi tetes ke dalam media M199 yang telah disiapkan, sentrifuge

pada 600 rpm selama 5 menit, buang supernatan dan tambahkan 4 mL MK-M199

dan resuspensi hingga homogen. Transfer masing-masing 2 mL ke dalam flask

kultur baru. Tambahkan 5 mL MK-M199 ke dalam masing-masing flask kultur,

dan homogenkan. Amati kondisi sel dengan menggunakan inverted microscope.

Pastikan sel homogen pada seluruh permukaan flask kultur (tidak menggerombol

pada bagian tertentu). Beri identitas pada flask kultur, kemudian simpan dalam

inkubator CO2 (Handayani, et al., 2001).

3.10.6 Subkultur Sel Vero

Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, lakukan

pengerjaan pada LAF. Lakukan proses panen sel Vero dengan cara mengambil

500 μL panenan sel Vero dan masukkan ke dalam flask kultur. Tambahkan 6 mL

MK-M199, homogenkan. Inkubasi sel pada inkubator CO2, amati kondisi sel pada

keesokan harinya (Handayani, et al., 2001).

3.10.7 Panen Sel Vero

Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, amati kondisi

sel Vero. Panen dilakukan apabila sel telah dalam kondisi 80% konfluen, semua

pekerjaan dilakukan pada LAF. Buang MK-M199 (sel Vero) dari masing-masing

flask dengan mikropipet atau pipet pasteur, cuci sel 2 kali dengan 5 mL PBS

(Phosphate Buffer Saline), tambahkan 400 μL Tripsin-EDTA 0,25% secara

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
merata, kemudian inkubasi di dalam inkubator CO2 selama ± 5 menit, dan

tambahkan 4 mL MK untuk menginaktifkan tripsin. Resuspensi sel dengan

mikropipet agar sel terlepas satu-satu (tidak menggerombol). Amati keadaan sel di

inverted microscope. Resuspensi sel kembali jika masih ada sel yang

menggerombol. Transfer sel ke dalam tabung konikel (Handayani, et al., 2001).

3.10.8 Penghitungan Sel T47D, Sel MCF-7 dan Sel Vero

Persiapkan alat dan kondisikan bahan pada suhu ruangan, ambil 10 μL

panenan sel dan pipetkan ke dalam hemositometer. Hitung jumlah sel di bawah

mikroskop dengan menggunakan counter. Hemositometer terdiri dari 4 kamar

hitung (A, B, C, dan D), setiap kamar hitung terdiri dari 16 kotak (Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Hemositometer

Hitung sel pada 4 kamar hemositometer, sel yang gelap (mati) dan sel

yang berada di batas luar di sebelah kiri dan atas tidak ikut dihitung. Sel di batas

kanan dan bawah ikut dihitung. Hitung jumlah sel per mL dengan rumus:

∑ sel A + ∑ sel B + ∑ sel C + ∑sel D


∑sel/mL = x 104
4

Hitung jumlah total sel yang diperlukan. Misalnya untuk menanam sel

pada tiap sumuran 96-well plate, maka jumlah total sel yang diperlukan adalah

1x104/sumuran x 100 sumuran (dibuat lebih) = 1x106 sel. Hitung volume panenan

sel yang diperlukan (dalam mL) dengan rumus:

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Jumlah total sel yang diperlukan
Volume panenan sel =
Jumlah sel terhitung/ml

Diambil volume panenan sel, transfer ke tabung konikel baru kemudian

tambahkan MK sampai total volume yang diperlukan (CCRC, 2009).

3.10.9 Pembuatan Larutan Uji

Ekstrak sampel uji ditimbang sebanyak 10 mg dalam polytube, kemudian

dilarutkan dalam dimetilsulfoksida (DMSO) sebanyak 200 μL, divortex agar

sampel terlarut sempurna kemudian dicukupkan dengan Media komplit masing-

masing sel, kemudian dibuat pengenceran selanjutnya sampai diperoleh larutan uji

dengan konsentrasi 1000 μg/mL, 500 μg/mL, 250 μg/mL, 125 μg/mL, 62,5

μg/mL, 31,25 μg/mL dan 15,625 μg/mL semua pengenceran dilakukan dengan

menggunakan media komplit (MK) (CCRC, 2009).

3.11 Pengujian Sitotoksik

Pengujian sitotoksik meliputi pengujian terhadap sel Vero, sel T47D dan

sel MCF7 yang selanjutnya dikonversi ke dalam persen sel hidup dan dianalisis

dengan SPSS 24 lalu dihitung indeks selektivitasnya.

3.11.1 Pengujian Sitotoksik terhadap Sel Vero

Endapan sel Vero disuspensikan pada media M199 dan ditentukan

kerapatan sel sebesar 1 x 106 sel/mL. Suspensi sel dibagi ke dalam sumuran-

sumuran yang tiap sumuran sebanyak 100 μL suspensi dan kemudian

ditambahkan ke dalamnya larutan atau suspensi ekstrak sampel uji dalam berbagai

konsentrasi yang selanjutnya disebut sampel. Pada kontrol positif yang

ditambahkan adalah larutan doksorubisin juga dalam berbagai kadar sedangkan

pada kontrol negatif adalah media M199. Sampel diinkubasi sampai pertumbuhan

sel konfluen. Pada tiap sumuran ditambahkan 100 μL media kultur M199 dan 10

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
μL MTT (Sigma) konsentrasi 5 mg/mL. Sel diinkubasi kembali selama 4 – 6 jam

dalam inkubator CO2 5% bersuhu 37ºC. Reaksi MTT dihentikan dengan reagen

stopper (SDS 10% dalam HCl 0,01 N), lalu plate dibungkus agar tidak tembus

cahaya dan dibiarkan selama satu malam pada suhu kamar. Serapan dibaca

dengan Microplate reader pada = 595 nm (Handayani, et al., 2001).

3.11.2 Pengujian Sitotoksik terhadap Sel T47D

Sel T47D ditanam pada microplate 96 sumuran sehingga diperoleh

kepadatan 1x104 sel/sumuran dan diinkubasi dalam inkubator CO2 5% bersuhu

37°C selama 24 jam untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik. Setelah itu

medium diganti dengan yang baru kemudian ditambahkan ekstrak sampel uji

berbagai konsentrasi dengan co-solvent DMSO (Sigma) dan diinkubasi pada 37ºC

dalam inkubator CO2 5% selama 24 jam. Pada akhir inkubasi, media dan ekstrak

dibuang kemudian sel dicuci dengan PBS (Sigma). Pada masing-masing sumuran,

ditambahkan 100 μL media kultur RPMI dan 10 μL MTT (Sigma) konsentrasi 5

mg/mL. Sel diinkubasi kembali selama 4 – 6 jam dalam inkubator CO2 5%

bersuhu 37ºC. Reaksi MTT dihentikan dengan reagen stopper (SDS 10% dalam

HCl 0,01 N), lalu plate dibungkus agar tidak tembus cahaya dan dibiarkan selama

satu malam pada suhu kamar. Serapan dibaca dengan Microplate reader pada

panjang gelombang 595 nm (Handayani, et al., 2001).

3.11.3 Pengujian Sitotoksik terhadap Sel MCF-7

Prosedur pengujian sitotoksik terhadap sel MCF7 sama seperti terhadap sel T47D.

3.12 Analisis Hasil

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Berdasarkan data absorbansi yang diperoleh dari uji sitotoksik, sel

dikonversi ke dalam persen sel hidup. Persen sel hidup dihitung menggunakan

rumus:

absorbansi sel perlakuan– absorbansi kontrol media


%Hidup = x100%
absorbansi kontrol media Sel − absorbansi kontrol media

Aktivitas sitotoksik dinyatakan dengan IC50 (konsentrasi yang

menyebabkan kematian 50% populasi sel) yang dianalisis dengan analisis probit

menggunakan SPSS (CCRC, 2009).

3.13 Indeks Selektivitas

Sel ditanam pada microplate 96 sumuran sehingga diperoleh kepadatan 1 x


4
10 sel/sumuran dan diinkubasi selama 24 jam untuk mendapatkan pertumbuhan

yang baik. Setelah itu medium diganti dengan yang baru kemudian ditambahkan

ekstrak pada berbagai konsentrasi dengan cosolvent DMSO (Sigma) dan

diinkubasi pada 37ºC dalam inkubator CO2 5% selama 24 jam. Pada akhir

inkubasi, media dan ekstrak dibuang kemudian sel dicuci dengan PBS (Sigma).

Pada masing-masing sumuran, ditambahkan 100 μL media komplit dan 10 μL

MTT (Sigma) 5 mg/mL. Sel diinkubasi kembali selama 4-6 jam dalam inkubator

CO2 5%, 37ºC. Reaksi MTT dihentikan dengan reagen stopper (SDS 10% dalam

HCl 0,01 N), plate dibungkus agar tidak tembus cahaya dan dibiarkan selama satu

malam. Serapan dibaca dengan Microplate reader (Bencmark Bio Rad) pada

panjang gelombang 595 nm (Nugroho, et al., 2012).

Indeks selektivitas diperoleh dari rasio IC50 sel vero dibandingkan dengan

sel kanker yang diuji (sel T47D, sel MCF-7). Indeks selektivitas dihitung

menggunakan persamaan di bawah ini: (Weerapreeyakul, et al., 2012)

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
IC50 Sel Vero
Indek Selektivitas =
IC50 Sel Kanker

3.14 Uji Kombinasi Ekstrak Etilasetat Daun Kelor dengan Doksorubisin


terhadap Sel T47D dan Sel MCF-7

Kultur sel yang digunakan dalam kondisi 70 – 80% konfluen untuk

dipanen. Jumlah sel yang dibutuhkan untuk uji kombinasi adalah 1 x 104

sel/sumuran (1 x 104 sel/100 μL MK). Lalu dibuat pengenceran suspensi sel

sehingga konsentrasi sel akhir 1x104 sel/100 μL MK. Ditransfer sel ke dalam

sumuran, masing-masing 100 μL. Setiap kali mengisi 12 sumuran, resuspensi sel

agar tetap homogen. Sebanyak 3 sumuran kosong disisakan untuk kontrol media.

Keadaan sel diamati di mikroskop untuk melihat distribusi sel. Sel diinkubasikan

ke dalam inkubator selama 24 jam. Setelah sel normal kembali, segera buat seri

konsentrasi sampel dan agen kemoterapi (doksorubisin) untuk perlakuan. Seri

konsentrasi ekstrak terdiri dari 4 konsentrasi: ½; 3/8; 1/4; 1/8 IC50. Seri

konsentrasi doksorubisin terdiri dari 4 konsentrasi: ½; 3,8; 1/4; 1/8 IC50. Diambil

plate yang telah berisi sel dari inkubator. Media sel dibuang dengan cara

membalikkan plate 180° di atas tempat buangan, kemudian plate ditekan secara

perlahan di atas tisu makan untuk meniriskan sisa cairan. Sel dicuci dalam

sumuran dengan masing-masing 100 μL PBS. PBS dibuang, ditiriskan sisa cairan

dengan tisu. Pada kelompok perlakuan kombinasi, dimasukkan seri konsentrasi

sampel ke dalam sumuran masing-masing 50 μL dengan replikasi 3 kali (triplo),

kemudian ditambahkan seri konsentrasi doksorubisin untuk kombinasi masing-

masing 50 μL.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Pada kelompok perlakuan tunggal, dimasukkan seri konsentrasi sampel

atau doksorubisin ke dalam sumuran masing-masing 50 μL dengan replikasi 3 kali

(triplo), kemudian ditambahkan MK masing-masing 50 μL ke dalam sumuran.

Untuk kontrol sel, ditambahkan MK ke dalam sumuran yang berisi sel

masing-masing 100 μL dengan replikasi 3 kali (triplo). Untuk kontrol

media,ditambahkan MK ke dalam sumuran yang kosong (tanpa sel) masing -

masing 100 μLdengan replikasi 3 kali (triplo). Diinkubasi di dalam inkubator

CO2. Lama inkubasi tergantung pada efek perlakuan terhadap sel. Jika dalam

waktu 24 jam belum terlihat efek sitotoksik, diinkubasikan kembali selama 24 jam

(waktu inkubasi total 24 – 48 jam). Dibuat stok MTT 5 mg/mL dengan cara

penimbangan 50 mg serbuk MTT, dilarutkan dalam 10 μL PBS (dengan bantuan

vortex). Dibuat reagen MTT untuk perlakuan (0,5 mg/mL) dengan cara diambil 1

mL stok MTT 5 mg/mL dan diencerkan dengan MK ad 10 mL. Reagen ini dibuat

untuk 1 buah 96 well plate. Media sel dibuang lalu dicuci masing-masing dengan

100 μL PBS 1x. Ditambahkan 100 μL reagen MTT 0,5 mg/mL 100 μL ke setiap

sumuran, termasuk kontrol media (tanpa sel). Diinkubasikan sel selama 2 – 4 jam

di dalam inkubator sampai terbentuk kristal formazan yang ungu. Setelah 2 – 4

jam, kondisi sel diperiksa dengan inverted microscope. Jika formazan telah jelas

terbentuk, ditambahkan stopper SDS 10% dalam HCl 0,1 N. Plate dibungkus

dengan kertas atau alumunium foil dan diinkubasikan di tempat gelap dan suhu

kamar selama semalam. Keesokan harinya, plate di-shaker selama 10 menit untuk

melarutkan formazan. Microplate reader dihidupkan dan ditunggu proses

progressing hingga selesai. Pembungkus plate dibuka dan plate ditutup. Lalu

dimasukkan ke dalam microplate reader.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Dibaca absorbansi pada masing-masing sumuran dengan Microplate

reader dengan λ= 550 – 600 nm (λ= 595 nm) dengan cara tekan tombol START.

Setelah semua sumuran dibaca, tekan tombol STOP dan Microplate reader

dimatikan. Setiap kali pembacaan di Microplate reader, dicatat di buku catatan

pemakaian Microplate reader. Presentase sel hidup dihitung (Nugroho, et al.,

2013), dari hasil persen hidup perlakuan tunggal dan kombinasi dianalisa

menggunakan Compusyn system versi 1 untuk menentukan nilai CI (Combination

index) (Zhang, et al., 2016).

3.15 Pengujian Kombinasi Ekstrak Etilasetat Daun Kelor dengan


Doksorubisin terhadap Apoptosis dan Siklus Sel dari Sel T47D dan
Sel MCF7

Pengujian apoptosis dan siklus sel menggunakan metode flow cytometry.

Jumlah sel yang dibutuhkan untuk uji apoptosis adalah sebanyak 1 x 106

sel/sumuran yang kemudian ditanam pada microplate 6 sumuran, lalu diinkubasi

selama 24 jam. Keesokan harinya sel ditambahkan sampel uji lalu diinkubasi

kembali selama 24 jam. Kemudian diambil media pada masing-masing sumuran

pada tiap konsentrasi lalu dimasukkan dalam tabung konikel 15 mL lalu media

dicuci 1 x dengan PBS dan dibuang. Ditambahkan 250 μL tripsin-EDTA 0,25%

pada tiap sumuran lalu diinkubasi selama 3 menit pada suhu 37°C (pastikan di

bawah mikroskop sel tidak menggerombol satu sama lain untuk mendapatkan

hasil yang maksimal). Setelah itu, ditambahkan 1 mL media kultur lalu media

ditampung pada tabung konikel 15 mL. Disentrifugasi dengan kecepatan 6000

rpm selama 5 menit dan supernatannya dibuang. Lalu ditambahkan sebanyak 1

mL PBS kemudian media dipindahkan ke dalam tabung konikel 1,5 mL dan

disentrifugasi lagi dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit, setelah itu

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
supernatannya dibuang. Untuk pengujian apoptosis ditambahkan Annexin V dan

propidium iodida, sedangkan pengujian siklus sel ditambahkan propidium iodida.

Lalu diukur dengan alat flow cytometer (Hostanska, et al., 2004).

3.16 Pengujian Kombinasi Ekstrak Etilasetat Daun Kelor dengan


Doksorubisin dalam Penekanan Ekspresi Siklin D1 dan Bcl-2 terhadap
Sel T47D dan sel MCF7

Analisis penghambatan ekspresi protein Bcl-2 dan Siklin D1 menggunakan

metode imunositokimia. Sebelum sel T47D ditanam terlebih dahulu pada masing-

masing sumuran 24-well plate dimasukkan coverslip. Kemudian sel ditanam


5
dengan kepadatan 5 x 10 sel/sumuran), lalu diinkubasi selama 24 jam di dalam

inkubator CO2 5% lalu dibuang medium. Sel yang telah diinkubasi kemudian

ditambahkan larutan uji, doksorubisin dan kombinasinya dengan konsentrasi

masing-masing 1 kali IC50 dan ½ IC50. Pada kelompok kontrol, ditambahkan 1000

μl media kultur. Sel kembali diinkubasi selama 24 jam. Keesokan harinya larutan

uji dan media kultur dibuang. Kemudian dicuci dengan PBS 2 kali. Kemudian sel

di fiksasi dengan metanol dingin selama 30 menit. Setelah itu coverslip di masing-

masing sumuran diangkat dengan pinset secara hati-hati dan diletakkan di atas

kaca objek lalu dicuci dengan PBS 2 kali, lalu cuci dengan aquadest lalu

keringkan, tambahkan blocking serum lalu simpan pada sumur kamar diamkan 15

menit, lalu tambahkan antibodi primer Bcl-2/siklin D1 diamkan 60 menit cuci

PBS 2 kali, tambahkan antibodi sekunder Bcl-2/siklin D1 lalu keringkan,

tambahkan larutan label dan cuci PBS 2 kali keringkan tambahkan campuran 1 :

100 DAB substrat lalu cuci dengan aquadest lalu genangi dengan hematoxicillin

dan divisualisasikan dengan reaksi warna. Ekspresi Bcl-2/siklin D1 diamati

menggunakan mikroskop cahaya. Sel yang diamkan 10 menit. Ditambah etanol

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
absolut lalu tambahkan xylol dan tambahkan entelan. Mengekspresikan Bcl-

2/siklin D1 akan memberikan warna coklat/gelap sedangkan yang tidak akan

memberikan warna ungu/ biru (Sekti, dkk., 2010).

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan oleh Herbarium Medanense

(MEDA) Universitas Sumatera Utara adalah jenis Moringa oleifera L., suku

Moringaceae. Hasil identifikasi dan gambar daun dapat dilihat pada Lampiran 1

dan Lampiran 2.

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakteristik daun kelor secara makroskopik dilakukan untuk

memperoleh identitas simplisia. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun

kelor adalah helaian daun berwarna hijau sampai hijau kecoklatan, berbentuk

bundar telur atau bundar telur terbalik, panjang 1 cm sampai 3 cm, lebar 4 mm

sampai 1 cm, ujung daun tumpul, pangkal daun membulat, tepi daun rata, dengan

tekstur permukaan daun licin serta berselaput licin. Hasil pemeriksaan

makroskopik simplisia daun kelor dapat dilihat pada Lampiran 2 .

Pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia secara mikroskopik dilakukan

untuk memperoleh identitas simplisia. Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk

simplisia secara mikroskopik pada Lampiran 3 serbuk berwarna hijau muda,

terlihat adanya fragmen pengenal berupa rambut penutup terdiri dari 1 sel sampai

2 sel, fragmen epidermis atas, fragmen epidermis bawah dengan stomata tipe

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
anomositik, hablur kalsium oksalat berbentuk roset, fragmen berkas pembuluh

dengan penebalan tangga dan spiral.

Menurut Depkes (2000), standarisasi suatu simplisia dan ekstrak adalah

pemenuhan terhadap persyaratan sebagai bahan obat dan menjadi penetapan nilai

untuk berbagai parameter produk. Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia daun

kelor terlihat pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Hasil karakteristik simplisia daun kelor (SDK)


No Uraian Simplisia SDK (%)
1 Kadar air 5,32
2 Kadar sari larut air 32,78
3 Kadar sari larut etanol 14,42
4 Kadar abu total 10,67
5 Kadar abu tidak larut dalam asam 0,95

Hasil karakteristik SDK pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil

pemeriksaan kadar air serbuk simplisia daun kelor (SDK) adalah 5,32%. Hasil

penetapan kadar air simplisia dari daun kelor memenuhi persyaratan dari buku

Materia Medika Indonesia, yaitu tidak melebihi 10% (Depkes, 1989). Tingginya

kandungan air menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat, pertumbuhan bakteri

dan jamur, dan bahan aktif yang terkandung dapat terurai. Perubahan senyawa

kimia berkhasiat akibat aktivitas enzim karena enzim tertentu dalam sel masih

dapat bekerja menguraikan senyawa aktif setelah sel mati dan selama ekstrak

masih mengandung jumlah air tertentu (Depkes, 1986). Penetapan kadar air

dilakukan untuk memberikan batasan minimal kandungan air yang masih dapat

ditolerir di dalam simplisia dan ekstrak.

Hasil penetapan kadar sari yang larut dalam air dari simplisia sebesar

32,78%, hasil ini memenuhi syarat sesuai dengan yang tercantum di Materia

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Medika Indonesia yaitu kadar sari larut dalam air untuk simplisia daun kelor

adalah tidak kurang dari 5% (Depkes, 1989). Senyawa-senyawa yang dapat larut

dalam air adalah glikosida, gula, gom, protein, enzim, zat warna, dan asam

organik. Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol dari simplisia adalah

14,42%, hasil ini memenuhi syarat Materia Medika Indonesia yaitu tidak kurang

dari 5% (Depkes, 1989). Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol digunakan

untuk mengetahui kadar sari yang larut dalam pelarut polar. Senyawa-senyawa

yang dapat larut dalam etanol adalah glikosida, antrakuinon, steroid, alkaloid,

flavonoid, klorofil, dan dalam jumlah sedikit yang larut, yaitu lemak dan saponin

(Depkes, 1986).

Penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam dari serbuk

simplisia 10,67% dan 0,95%, hasil ini memenuhi syarat Materia Medika

Indonesia dimana untuk penetapan kadar abu total tidak lebih dari 11% dan kadar

abu tidak larut asam adalah tidak lebih dari 1% (Depkes, 1989). Tujuan penetapan

kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam adalah untuk memberikan

gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal

sampai terbentuknya simplisia (Depkes, 2000). Zat-zat ini dapat berasal dari

senyawa-senyawa oksida anorganik. Kadar abu total yang tinggi menunjukkan

adanya zat anorganik logam-logam (Ca, Mg, Fe, Cd, dan Pb) yang sebagian

mungkin berasal dari pengotor. Kadar logam berat yang tinggi dapat

membahayakan kesehatan sehingga perlu dilakukan penetapan kadar abu total dan

kadar abu tidak larut asam untuk memberikan jaminan bahwa simplisia tidak

mengandung logam berat tertentu melebihi nilai yang ditetapkan karena

berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Suismono, et al., 2007).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
4.3 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak

Skrining fitokimia terhadap SDK, ENDK, EEADK dan EEDK dilakukan

untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder yang

terdapat di dalamnya. Hasil skrining fitokimia SDK, ENDK, EEADK dan EEDK

dilihat pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3.

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia daun kelor (SDK)


No Skrining Pereaksi Hasil (warna/ endapan)
1 Alkaloid Mayer (+) endapan putih
Bouchardat (+) kekeruhan kuning
Dragendorff (+) kekeruhan coklat
2 Flavonoid Mg + as. Klorida pekat (+) Jingga
3 Glikosida Molisch (+) cincin ungu
4 Saponin Air panas/ dikocok (+) busa
5 Tanin FeCl3 1% (+) hijau kehitaman
6 Steroid/triterpenoid Lieberman-Burchard (+) biru hijau
7 Antrakuinon Benzen-NaOH 2N (-) coklat

Tabel 4.3 Hasil skrining fitokimia ekstrak daun kelor


Ekstrak n- Ekstrak Ekstrak
No Skrining
Heksan etilasetat Etanol
1 Alkaloid + - -
2 Flavonoid - + +
3 Glikosida - + +
4 Saponin - + -
5 Tanin - + +
6 Steroid/Triterpenoid + + -
7 Antrakuinon - - -
Keterangan: (+) positif : mengandung golongan senyawa
(-) negatif : tidak mengandung golongan senyawa

Hasil pengujian skrining fitokimia simplisia menunjukkan adanya

senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan steroid pada daun kelor.

Hasil pengujian skrining fitokimia untuk masing-masing ekstrak menunjukkan

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
golongan senyawa kimia yang ada pada ENDK adalah alkaloid, dan steroid.

EEADK mengandung golongan senyawa flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan

steroid. EEDK mengandung senyawa flavonoid, glikosida, dan tanin.

Alkaloid merupakan senyawa yang sangat penting pada tumbuhan dengan

genus Moringa dimana alkaloid yang mempunyai aktivitas sebagai antikanker.

Golongan alkaloid dapat menyebabkan kerusakan dan pengkerutan pada membran

sel sehingga komponen penyusun membran akan berubah dan proses fisiologi

membran akan terganggu (Karim, et al, 2016).

Flavonoid adalah senyawa fenil yang tersubstitusi derivat benzopyran

yang terdiri dari kerangka dasar C15 (C6-C3-C6). Beberapa tanaman yang

mengandung turunan flavonoid, telah digunakan sebagai pencegahan penyakit dan

agen terapeutik pada pengobatan tradisional di Asia selama ribuan tahun,

diantaranya sebagai antikanker (Huang, et al., 1998). Keberadaan flavonoid pada

EEADK dan EEDK menunjukkan kemungkinan pada ekstrak tersebut memiliki

efek antikanker. Ditemukan adanya senyawa kaempferol, kuersetin dan

isorhamnetin pada daun kelor, senyawa ini merupakan senyawa flavonoid yang

memiliki efek yang baik sebagai antikanker dimana berperan dalam menghambat

proliferasi sel dan menginduksi apoptosis sel (Obakan, et al., 2017).

Steroid adalah senyawa yang memiliki aktifitas antitumor yang tinggi

yang telah diuji melalui kemampuan untuk memblok nuclear factor-kappa B,

dimana Nf-KB ini dapat menghambat apoptosis, mengaktifkan transkripsi dan

angiogenesis (Petronelli, et al., 2009).

Glikosida yang terkandung dalam daun kelor yaitu glukosinolat dan

isotiosianat yang merupakan derivat glukosinolat memiliki efek antikanker

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
dimana senyawa ini menghambat aktivitas NF-kB (nuclear factor-kappa B) yang

berperan dalam proliferasi sel dan apoptosis sel (Brunelli, et al., 2010).

4.4 Ekstraksi

Ekstraksi serbuk simplisia dilakukan secara maserasi bertingkat dimulai

dari pelarut non polar hingga pelarut polar (n-heksana-etil asetat-etanol).

Pemisahan ini bertujuan untuk memisahkan senyawa kimia yang terdapat pada

daun kelor berdasarkan tingkat kepolarannya. Senyawa polar akan larut didalam

pelarut polar dan senyawa non polar akan larut dalam pelarut non polar.

Hasil ekstraksi dari 600 g serbuk simplisia daun kelor (SDK) diperoleh

ekstrak n-heksana (ENDK) sebanyak 20,098 g, ekstrak etil asetat (EEADK)

20,025 g dan ekstrak etanol (EEDK) 95,101 g. Penggunaan pelarut n-heksana

untuk menarik senyawa kimia non polar, seperti alkaloid, triterpenoid dan steroid

bebas. Pelarut etil asetat digunakan agar senyawa kimia yang bersifat semipolar

dan agak polar tersari di dalamnya, seperti flavonoid, glikosida, saponin,

antrakuinon glikosida dan tanin. Pelarut etanol untuk menarik senyawa yang

bersifat polar seperti glikosida dan saponin.

Flavonoid secara umum larut pada pelarut semipolar seperti etilasetat.

Adanya gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih

mudah larut dalam air. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon,

flavanon, dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah

larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform. Masing-masing ekstrak yang

diperoleh dilakukan uji sitotoksik terhadap sel MCF-7, sel T47D dan sel Vero dan

selanjutnya dilakukan penelitian secara komprehensif tentang aktivitas

kombinasinya dengan doksorubisin.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
4.5 Uji Sitotoksik Ekstrak

Metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida]

adalah salah satu uji sitotoksisitas yang bersifat kuantitatif. Uji ini berdasarkan

pengukuran intensitas warna (kolorimetri) yang terjadi sebagai hasil metabolisme

suatu substrat oleh sel hidup menjadi produk berwarna. Pada uji ini digunakan

garam MTT. Garam ini akan terlibat pada kerja enzim dehidrogenase, MTT akan

direduksi menjadi formazan oleh sistem reduktase suksinat tetrazolium, yang

termasuk dalam mitokondria dari sel hidup (Kupcsick, 2011). Perlakuan masing-

masing ekstrak dengan seri konsentrasi 1000 μg/mL; 500 μg/mL; 250 μg/mL; 125

μg/mL; 62,5 μg/mL; 31,25 μg/mL dan 15,625 μg/mL menunjukkan adanya

korelasi antara konsentrasi larutan uji dengan efek toksik yang ditimbulkan Pada

perlakuan dengan doksorubisin dengan seri konsentrasi 24,00 μg/mL, 12,00

μg/mL; 6,00 μg/mL; 3,00 μg/mL; 1,50 μg/mL; 0,75 μg/mL dan 0,375 μg/mL.

Grafik hasil pengujian sitotoksik masing-masing ekstrak terhadap masing-masing

sel yaitu terhadap sel MCF-7 dapat dilihat pada Gambar 4.1, terhadap sel T47D

pada Gambar 4.2 dan sel Vero pada Gambar 4.3, sedangkan untuk uji sitotoksik

doksorubisin ditunjukkan pada Gambar 4.4. Nilai viabilitas sel dari masing-

masing ekstrak dianalisis dengan SPSS 24 untuk menentukan nilai IC50 dari

masing-masing ekstrak terhadap sel MCF-7, sel T47D dan sel vero. Hasil IC50

masing-masing ekstrak yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil IC50 Ekstrak daun kelor terhadap Sel T47D, MCF-7 dan Sel Vero
IC50 ± SD (g/mL)
No. Nama Ekstrak
Sel T47D Sel MCF 7 Sel Vero
1 ENDK 1.053,76±24,05 367,73±23,58 842,57±28,13
2 EEADK 186,56±33,09 149,29±24,41 983,97±30,23
3 EEDK 2.738,89±21,35 1.604,22±18,34 3.994,90±11,97
4 Doksorubisin 1,40±1,98 5.80±7,25 251,09±9,65

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Viabilitas sel MCF-7
100.0

80.0

60.0
% Hidup

Ekstrak n-heksan
40.0
Ekstrak etilasetat
20.0 ekstrak etanol

0.0
0 200 400 600 800 1000 1200
Konsentrasi (g/mL)

Gambar 4.1 Hasil viabilitas sel MCF-7

Viabilitas sel T47D


120.0
100.0
80.0
% Hidup

60.0
Ekstrak n-heksan
40.0
Ekstrak etil asetat
20.0
Ekstrak etanol
0.0
0 200 400 600 800 1000 1200
Konsentrasi (g/mL)

Gambar 4.2 Hasil viabilitas sel T47D

Viabilitas sel Vero


120.0
100.0
80.0
% Hidup

60.0 Ekstrak n-Heksan


40.0 Ekstrak etil asetat
Ekstrak etanol
20.0
0.0
0 200 400 600 800 1000 1200
Konsentrasi (g/mL)

Gambar 4.3 Hasil viabilitas sel Vero

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Uji sitotoksik Doksorubisin
70.0
60.0
50.0
% Hidup

40.0
30.0 Doksorubisin
20.0 terhadap sel MCF7

10.0 Doksorubisin
0.0 terhadap T47D
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00
Konsentrasi g/ml

Gambar 4.4 Hasil uji sitotoksik doksorubisin

Hasil uji sitotoksik pada gambar 4.1; 4.2 dan 4.3 menunjukkan bahwa

semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka nilai viabilitas sel semakin rendah atau

semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka sel yang hidup semakin sedikit yang

berarti semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka akan semakin tinggi efek

sitotoksiknya terhadap sel kultur yang diuji.

Hasil uji sitotoksik perlakuan doksorubisin untuk sel MCF-7 dan sel T47D

yang pada gambar 4.4 menunjukkan bahwa sel T47D lebih sensitif terhadap

doksorubisin dibandingkan dengan sel MCF-7 hal ini disebabkan bahwa sel MCF-

7 adalah salah satu sel kanker payudara yang sudah resisten terhadap agen

kemoterapi (Mechetner, et al., 1998) sehingga sel ini kurang sensitif terhadap

doksorubisin oleh karena itu dibutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi

dibandingkan dengan sel T47D.

Hasil IC50 masing-masing ekstrak yang ditunjukkan pada Tabel 4.4

diperoleh IC50 yang paling poten adalah ekstrak etilasetat daun kelor yaitu

terhadap sel MCF-7 memberikan nilai IC50 149,29±24,41 μg/mL dan hasil

pengujian sitotoksik EEADK terhadap sel T47D memberikan nilai IC50

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
186,56±33,09 μg/mL. Ekstrak dinyatakan poten jika mempunyai nilai IC50 kurang

dari 500 μg/mL (Machana, et al., 2011). Dari hasil pengujian dan perhitungan

nilai IC50 EEADK terhadap sel MCF-7 dan sel T47D, diperoleh hasil IC50 di

bawah 500 μg/mL. Ekstrak ini dapat menjadi agen ko-kemopreventif, sebagai

terapi tambahan yang dikombinasikan dengan obat kanker modern seperti

doksorubisin. EEADK adalah ekstrak paling poten sesuai dengan hasil skrining

fitokimia ekstraknya dimana EEADK mengandung metabolit sekunder yang lebih

banyak dibanding ekstrak yang lain yaitu flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan

steroid dimana senyawa ini telah diteliti memiliki aktivitas antikanker (Karim, et

al., 2016). Perlakuan selanjutnya diteruskan pada ekstrak yang paling poten yaitu

EEADK.

Sel MCF-7 adalah sel kanker payudara yang tergolong resisten terhadap

obat kemoterapi seperti doksorubisin dibandingkan dengan sel T47D. Hal ini

disebabkan karena pada sel MCF-7, Pgp diekspresikan tinggi sehingga sensitivitas

sel terhadap agen kemoterapi doksorubisin rendah (Wong, et al., 2006).

Kombinasi EEADK dengan doksorubisin diharapkan dapat meningkatkan

sensitivitas sel MCF-7 dan aktivitas sitotoksik doksorubisin serta dapat

menurunkan dosis doksorubisin pada pengobatan sehingga dapat mengurangi efek

samping doksorubisin. Sel T47D sering digunakan dalam penelitian kanker secara

in vitro karena mudah penanganannya, memiliki kemampuan replikasi yang tidak

terbatas atau cepat pertumbuhannya. Selain itu memiliki homogenitas yang tinggi

dan mudah diganti sel baru yang telah dibekukan jika terjadi kontaminasi.

Hasil uji sitotoksik doksorubisin dengan nilai IC50 5,8 μg/mL terhadap sel

MCF-7 dan 1,4 μg/mL terhadap sel T47D. Kombinasi doksorubisin dan EEADK

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
diharapkan dapat memberikan hasil yang sinergis sehingga dapat dikembangkan

sebagai obat antikanker.

4.6 Indeks Selektivitas

Penentuan nilai indeks selektivitas (IS), perlu diketahui IC50 sel Vero dan

IC50 sel MCF-7 serta sel T47D dengan menggunakan metode MTT. Indeks

selektivitas dihitung menggunakan persamaan di bawah ini:

IC50 Sel Vero


Indeks Selektivitas =
IC50 Sel Kanker

Indeks selektivitas menunjukkan selektivitas sitotoksik (tingkat keamanan)

dari ekstrak terhadap sel kanker dibandingkan sel normal, yaitu dengan

membandingkan IC50 ekstrak terhadap sel normal dan IC50 ekstrak terhadap sel

kanker. Nilai indeks selektivitas ekstrak pada sel MCF-7 dan sel T47D dapat

dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Nilai indeks selektivitas (IS) ekstrak daun kelor pada sel MCF-7 dan
sel T47D
Indeks selektivitas
No. Nama Ekstrak
Sel T47D Sel MCF 7
1 ENDK 0,80 2,29
2 EEADK 5,27 6,59
3 EEDK 1,46 2,49

Nilai indeks selektivitas masing-masing ekstrak ditunjukkan pada Tabel

4.5 yaitu ENDK terhadap T47D 0,80; terhadap MCF7 2,29; EEADK terhadap

T47D 5,27; EEADK terhadap MCF7 6,59; EEDK terhadap T47D 1,46 dan

terhadap MCF7 2,49. Ekstrak dikatakan memiliki selektivitas yang tinggi apabila

nilai IS lebih besar dari 3 sehingga ekstrak yang selektif terhadap sel kanker

MCF-7 dan sel T47D adalah ekstrak etil asetat daun kelor (Machana, et al., 2011).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
4.7 Uji Kombinasi EEADK-Doksorubisin terhadap Sel MCF-7

Salah satu ciri sel kanker adalah tidak sensitif terhadap sinyal

antiproliferasi oleh karena itu pengobatan penyakit kanker dengan obat modern

umumnya menggunakan dosis besar. Peningkatan dosis obat sitostatik

menimbulkan masalah karena semakin banyak sel normal yang terserang dan

mati. Selain itu peningkatan dosis dapat menyebabkan sel kanker cepat menjadi

resisten terhadap obat. Salah satu pendekatan yang sedang populer adalah

penggunaan kombinasi kemoterapi, dimana senyawa kemoprevensi yang bersifat

non toksis atau lebih tidak toksik dikombinasikan dengan agen kemoterapi untuk

meningkatkan efikasi dengan menurunkan toksisitasnya terhadap jaringan yang

normal (Junedi, et al., 2010).

Hasil pengujian EEADK terhadap sel MCF-7 diperoleh nilai IC50 149,29

μg/mL sedangkan perlakuan dengan doksorubisin menghasilkan penghambatan

pertumbuhan sel sebesar 50% dengan IC50 5,8 μg/mL. Uji kombinasi dilakukan

dengan perlakuan kombinasi EEADK-doksorubisin terhadap MCF-7. Seri kadar

EEADK-doksorubisin secara berturut-turut adalah 74,63; 55,97; 37,31; 18,66


3 1 1
μg/ml (EEADK dengan ½; /8; /4; /8 IC50) dan 2,9; 2,18; 1,45; 0,73 μg/mL

3 1 1
(doksorubisin dengan ½; /8; /4; /8 IC50). Hasil uji sitotoksik kombinasi EEADK-

doksorubisin dalam penentuan indeks kombinasinya dianalisa menggunakan

software Compusyn system version 1 (Zhang, et al., 2016). Hasil analisa data

indeks kombinasi (CI) EEADK-doksorubisin ditunjukkan pada Tabel 4.6.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Tabel 4.6 Nilai indeks kombinasi (CI) EEADK-doksorubisin terhadap sel MCF-7
EEADK Doksorubisin (ug/mL)
(µg/mL) 2,9 2,18 1,45 0,73
74,63 0,551 0,603 0,102 0,436
55,97 0,379 0,323 0,064* 0,341
37,31 0,265 0,189 0,039* 0,179
18,66 0,277 0,088* 0,023* 0,083*
Keterangan:
Indeks Kombinasi perlakuan kombinasi EEADK dengan doksorubisin terhadap
sel MCF-7, Dihitung menggunakan metode Compusyn system versi 1.

Hasil indeks kombinasi (CI) pada Tabel 4.6 menunjukkan perlakuan

kombinasi EEADK-doksorubisin memberikan efek sinergis sangat kuat (CI < 0,1)

terhadap sel MCF-7 dengan dosis optimum ekstrak-doksorubisin 18,66 μg/mL –


1 1
1,45 μg/mL ( /8 IC50 EEADK- /4 IC50 doksorubisin). Pada pengamatan morfologi

sel MCF-7 dapat diamati morfologi sel yang mati akibat perlakuan tunggal

ekstrak dan doksorubisin serta kombinasi keduanya. Efek sinergisme untuk semua

perlakuan kombinasinya dimungkinkan karena adanya kemampuan kombinasi

tersebut untuk mencegah resistensi obat akibat pompa efflux Pgp yang terjadi pada

sel kanker payudara MCF-7. Pencegahan resistensi obat dapat dilakukan dengan

penekanan terhadap aktivasi Pgp dan ekspresinya. Pgp berperan sebagai pompa

pengeluaran (efflux) untuk detoksifikasi senyawa-senyawa yang masuk ke dalam

sel. Ekspresi Pgp yang berubah akan menurunkan konsentrasi doksorubisin di

dalam sel melalui mekanisme efflux obat dari dalam sel. Akibatnya potensi

sitotoksik doksorubisin pada sel kanker berkurang (Wong, et al., 2006). Ekspresi

berlebihan dari P-gp, suatu transporter membran plasma yang mengantarkan agen

kemoterapi keluar dari sel, diduga berperan dalam timbulnya resistensi sel kanker

terhadap agen kemoterapi. Flavonoid yang merupakan suatu senyawa polifenol

dilaporkan mampu menghambat P-gp dengan mekanismenya yaitu menghambat

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
ikatan antara substrat dengan P-gp dan menghambat aktivitas ATPase sehingga

akan meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap agen kemoterapi (Kitagawa,

2006).

4.8 Uji Kombinasi EEADK-Doksorubisin terhadap sel T47D

Hasil pengujian EEADK terhadap sel T47D diperoleh nilai IC50 186,56

μg/mL sedangkan perlakuan dengan doksorubisin menghasilkan penghambatan

pertumbuhan sel sebesar 50% dengan IC50 1,4 μg/mL. Data tersebut

memperlihatkan efikasi EEADK dan doksorubisin sebagai agen tunggal.

Efek kombinasi EEADK dan doksorubisin terhadap pertumbuhan sel

T47D dianalisis dengan software Compusyn system version 1 untuk mengetahui

kemungkinan efek kombinasinya, yaitu apakah sinergis, aditif atau antagonis.

Seri konsentrasi EEADK-doksorubisin secara berturut-turut adalah 93,28; 69,96;


1 3 1 1
46,64; 23,32 μg/mL ( /2; /8; /4; /8 IC50 EEADK) dan 0,7; 0,525; 0,35 dan 0,175

1 3 1 1
μg/mL ( /2; /8; /4; /8 IC50 doksorubisin). Indeks kombinasi (CI) EEADK-

doksorubisin ditunjukkan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Nilai indeks kombinasi (CI) EEADK-doksorubisin terhadap sel T47D
EEADK Doksorubisin (ug/mL)
(µg/mL) 0,7 0,525 0,35 0,175
93,28 1,467 1,015 0,853 1,167
69,96 1,742 1,052 0,756 1,025
46,64 1,930 1,019 0,733 0,949
23,32 2,034 1,103 0,698* 0,800
Keterangan:
Indeks Kombinasi perlakuan kombinasi EEADK dengan doksorubisin terhadap
sel T47D, dihitung menggunakan metode Compusyn system versi 1.

Hasil indeks kombinasi (CI) pada Tabel 4.7 menunjukkan perlakuan

kombinasi ekstrak-doksorubisin memberikan efek sinergis (CI = 0,3-0,7) terhadap

sel T47D dengan dosis optimum ekstrak-doksorubisin 23,32 μg/mL – 0,35 μg/mL

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
1 1
( /8 IC50 EEADK- /4 IC50 doksorubisin), ada juga kombinasi memberi efek aditif

(CI = 0,9-1,1) dan antagonis (CI = 1,45-3,3). Hasil yang diperoleh menunjukkan

bahwa kombinasi EEADK-doksorubisin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi

EEADK dan doksorubisin yang diberikan. Pada pengamatan morfologi sel T47D

dapat diamati morfologi sel yang mati akibat perlakuan tunggal ekstrak dan

doksorubisin serta kombinasi keduanya.

Doksorubisin digunakan secara luas untuk terapi berbagai jenis kanker

namun penggunaannya dalam klinik dibatasi oleh timbulnya efek samping (Tyagi,

et al., 2004). Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan

doksorubisin adalah mual, imunosupresi dan aritmia yang sifatnya reversibel serta

dapat dikontrol dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat

pengobatan dengan doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah

cardiomyopathy yang diikuti dengan gagal jantung (Singal, et al., 1998).

Mekanisme yang memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan

oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida

dan pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan jaringan kardiak.

Berdasarkan hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa toksisitas

kardiak akibat pemberian doksorubisin merupakan efek samping sesuai dosis

(Wattanapitayakul, et al., 2005), dari hasil penelitian dapat ditunjukkan bahwa

EEADK sinergis dengan doksorubisin (CI = 0,3-0,7), sehingga diharapkan

aplikasi EEADK sebagai ko-kemoterapi dan mampu menurunkan dosis

doksorubisin yang dalam terapi kanker payudara selain toksis terhadap jaringan

normal doksorubisin juga diketahui mampu menyebabkan timbulnya resistensi sel

tumor terhadap obat.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
4.9 Uji Penghambatan Siklus Sel Terhadap Sel MCF-7

Akumulasi sel pada siklus sel merupakan salah satu target utama agen

antikanker. Pada penelitian ini pengamatan siklus sel dilakukan dengan metode

flowsitometri, dengan metode ini, dapat dilihat distribusi sel pada masing-masing

fase dalam siklus sel setelah perlakuan, sehingga dapat diperkirakan jalur

penghambatan EEADK serta kombinasinya dengan doksorubisin dalam

menghambat siklus sel. Fase-fase dalam siklus sel normal memiliki perbedaan

pada jumlah set kromosom yaitu fase G1 jumlah set kromosomnya adalah 2n.

Berlanjut pada fase S, jumlah set kromosomnya antara 2n dan 4n karena terjadi

proses replikasi sedangkan pada fase G2 dan M, replikasi telah sempurna

membentuk set kromosom 4n. Dengan adanya fluorochrome yang memiliki

kemampuan berinterkalasi dengan basa untai DNA seperti propidium iodide maka

tiap sel yang memiliki jumlah set kromosom yang berbeda akan memberikan

intensitas fluoresensi yang berbeda. Semakin banyak set kromosom maka

intensitas fluoresensi akan semakin besar. Alat yang digunakan untuk membaca

intensitas fluoresensi tiap sel pada penelitian ini adalah FACS (Fluorescence

Activated Cell Sorting) atau flowsitometer (Givan, 2001).

Pengujian siklus sel pada sel MCF-7 dengan metode flowsitometri

dilakukan dengan berbagai perlakuan. Diantaranya adalah kontrol ditunjukkan

pada Gambar 4.5, EEADK pada konsentrasi ½ IC50 yaitu 74,63 μg/mL

ditunjukkan pada Gambar 4.6, EEADK pada konsentrasi 1/10 IC50 yaitu 14,93
1
μg/mL ditunjukkan pada Gambar 4.7, EEADK-doksorubisin ( /8 IC50 EEADK dan

1
/4 IC50 doksorubisin yaitu 18,66 μg/mL dan 1,45 μg/mL) ditunjukkan pada

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
R1

Gambar 4.8, doksorubisin pada konsentrasi ½ IC50 yaitu 2,9 μg/mL ditunjukkan
GO-G1

pada Gambar 4.9. Profil penghambatan siklus sel MCF-7 Tabel 4.8 dibawah ini.
S-pha se G2-M
M1

Tabel 4.8 Distribusi sel MCF-7 setelah perlakuan dengan berbagai M5 konsentrasi
EEADK, doksorubisin dan kombinasi keduanya.
Fase sel (%)
Konsentrasi
G0 – G1 S G2 - M
Fil e: KS SS .00 1 Total Even ts: 2000 0
Kontrol X Pa rameter: FL2-A FL2-Area (L inea r) 47,64 19,94 32,12
EEADK Marke r ½Events
IC50 % Gated % Total Mean 63,77CV Media 18,44 n 17,58
All 200 00 100 .00 100 .00 375 .68 56.07 336 .00
EEADK IC 1/10 20850 1.0 4 1.0 4
M1 69,8993.74 16,13
69.76 47.50 13,43
GO-G1 686 8
Kb.EEADK- Dox (1/8 IC EEADK-
50 1/4 34.34
50
34.34
IC doxo) 200 .96
54,4810.32
R1 202 .00
18,16 27,62
S-pha se 298 1 14.90 14.90 294 .76 8.9 9 297 .00
Doksorubisin ½ IC
G2-M 569
501 28.46 28.46 383 .52
55,00 7.1 2 383 .00
30,00 15,00
M5 435 0 21.75 21.75 709 .62 25.67 666 .00

GO-G1
GO-G1
G2-M
S-pha se G2-M
M1
S-pha se
M5

Fil e: KS SS .00 1 Total Even ts: 2000 0


Fil e: 1 /2 EEADK MCF7 SS.00 3 Total Even ts: 2000 0
X Pa rameter: FL2-A FL2-Area (L inea r)
X Pa rameter: FL2-A FL2-Area (L inea r)
Marke r Events % Gated % Total Mean CV Media n
Marke r Events % Gated % Total Mean CV Media n
All 200 00 All 100 144
.00 01 100 .0047.25
100 .00 72.00236277
.08.00 0.030.31
0 255 .00
M1 GO-G1
166 69 686
83.34 183.3447.64 34.30 200
1.3 8 724 .58 .95 10.32
0.0 0 202 .00
GO-G1 S-pha
197 1 se 9.8287 6 2 9.819.94 14.36 8.6
6 211 .52 2943.15211 .00
9.0 2 296 .00
S-pha se G2-M 3.1462
620 0 6 3.132.12 23.13 8.7
0 303 .86 3814.04306 .00
6.9 4 380 .50
G2-M
Gambar 4.5 Gambaran siklus sel MCF-7 kontrol 634 3.1 7 3.1 7 384 .07 7.1 5 379 .00
M5 128 0.6 4 0.6 4 623 .15 27.20 552 .50

GO-G1 G2-M

S-pha se

Fil e: 1 /2 EEADK MCF7 SS.00 3 Total Even ts: 2000 0


X Pa rameter: FL2-A FL2-Area (L inea r)

Marke r Events % Gated % Total Mean CV Media n


All 302 0 100 .00 15.10 257 .37 27.30 223 .00
GO-G1 192 6 63.77 9.6 3 211 .44 8.4 4 211 .00
S-pha se 557 18.44 2.7 9 304 .19 8.5 8 307 .00
G2-M 531 17.58 2.6 6 380 .80 6.2 6 377 .00

Gambar 4.6 Gambaran siklus sel MCF-7 yang diberi ½ IC50 EEADK

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
R1

GO-G1
G2-M
S-pha se
M1

M5

Fil e: KOMB MCF7 SS.001 Total Even ts: 2000 0


X Pa rameter: FL2-A FL2-Area (L inea r)

Marke r Events % Gated % Total Mean CV Media n


All 200 00 100 .00 100 .00 7.2 8 680 .05 0.0 0
M1 195 51 97.76 97.76 0.4 1 135 3.73 0.0 0
GO-G1 222 1.1 1 1.1 1 210 .86 10.40
R1 211 .00
S-pha se 73 0.3 6 0.3 6 302 .64 8.7 2 301 .00
G2-M 123 0.6 1 0.6 1 393 .71 7.4 8 388 .00
Gambar 4.7 Gambaran siklus sel MCF-7 yang diberi 1/10 IC EEADK
M5 36 0.1 8 0.1 8 601 .42
50
27.79 529 .50

GO-G1 G2-M

S-pha se G2-M
M1 S-pha se

M5

Fil e: KOMB MCF7 SS.001 Total Even ts: 2000 0


X Pa rameter: FL2-A FL2-Area (L inea r)
Fil e: 1 /2 DOXO MCF7 SS.018 Total Even ts: 2000 0
X Pa rameter: FL2-A
Marke FL2-Area
r Events(L inea
%r)Gated % Total Mean CV Media n
All 391 100 .00 1.9 6 276 .42 29.97 242 .00
Marke r Events % Gated % Total Mean CV Media n
GO-G1 213 54.48 1.0 6 210 .65 10.26 211 .00
All 200 00 100 .00 100 .00 0.6 8 187 1.78 0.0 0
S-pha se 71 18.16 0.3 6 303 .39 8.6 6 301 .00
M1 199 77 99.89 99.89 0.3 0 146 6.94 0.0 0
G2-M 108 27.62 0.5 4 391 .95 7.3 8 385 .50
GO-G1 11 0.0 6 0.0 6 227 .91 9.3 5 229 .00
Gambar 4.8 Gambaran siklus sel MCF-7 yang diberi 1/8 IC
S-pha se 5 0.0 3 0.0 3 313 .80 EEADK dan ¼
8.6 950 312 .00
G2-M 5 0.0 3 0.0 3 419 .00 7.1 1 410 .00
IC50 doksorubisin
M5 2 0.0 1 0.0 1 663 .50 12.26 663 .50

GO-G1
G2-M

S-pha se

Fil e: 1 /2 DOXO MCF7 SS.018 Total Even ts: 2000 0


X Pa rameter: FL2-A FL2-Area (L inea r)

Marke r Events % Gated % Total Mean CV Media n


All 20 100 .00 0.1 0 273 .90 27.33 248 .00
GO-G1 11 55.00 0.0 6 219 .82 11.17 217 .00
S-pha se 6 30.00 0.0 3 304 .83 10.77 310 .00
G2-M 3 15.00 0.0 1 410 .33 6.2 1 410 .00

Gambar 4.9 Gambaran siklus sel MCF-7 yang diberi ½ IC50 doksorubisin

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Analisis data dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan membandingkan

antara perlakuan dengan kontrol. Analisis siklus sel dilakukan pada fase siklus sel

dimana terjadi akumulasi sel terbesar pada masing-masing perlakuan.

Hasil akumulasi sel terbesar pada fase G0-G1 ditunjukkan pada Tabel 4.8,

baik perlakuan EEADK tunggal dan kombinasi EEADK-doksorubisin maupun


1
doksorubisin tunggal yaitu EEADK ½ IC50 sebesar 63,77%, EEADK /10 IC50

sebesar 69,89%, doksorubisin ½ IC50 sebesar 55,00% dan kombinasi EEADK-

doksorubisin sebesar 54,48%. Apabila dibandingkan dengan kontrol, akumulasi

sel pada fase G0-G1 sebesar 47,64%. Persentase yang lebih tinggi dibanding

kontrol menunjukkan bahwa sel mengalami penghambatan dalam persiapan

materi DNA yang akan disintesis. Penghambatan pada siklus G0-G1 memungkinan

terjadi pemacuan apoptosis. Penghentian siklus sel pada fase G0-G1 memberi

kesempatan sel memperbaiki DNA yang rusak dan memberikan kesempatan pada

sel yang mengalami kerusakan untuk dikenali lalu dilanjutkan proses apoptosis.

Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik. Kesalahan

pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak meskipun terdapat

kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau kromosom tidak terpisah

sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan genetik. Hal ini kritis bagi

timbulnya kanker, oleh karena itu, proses regulasi siklus sel mampu berperan

dalam pencegahan kanker (Ruddon, 2007).

Hambatan regulasi daur sel pada fase G0-G1 oleh EEADK terjadi melalui

penurunan level ekspresi siklin D1 (berdasarkan pengujian imunositokimia)

sehingga tidak terjadi aktivasi CDK4 dan CDK6 yang berakibat pada

penghambatan fosforilasi pRb (protein retinoblastoma), Rb yang tidak

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
terfosforilasi akan berikatan dengan faktor transkripsi E2F mengikat DNA dan

menghambat transkripsi gen yang produknya diperlukan untuk fase S siklus sel

sehingga sel tertahan di fase G1 atau terjadi G1arrest (King, 2000). Penghambatan

daur sel ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh kemampuan senyawa yang

terkandung dari EEADK meningkatkan ekspresi Protein p21 dan p27 akan

membentuk ikatan kompleks dengan siklin D dan Cyclin Dependent Kinase 4/6

(Cdk), sehingga akan menghambat posporilasi pRb (protein retinoblastoma). Hal

ini mengakibatkan E2F inaktif, hal ini berakibat pada terhentinya daur sel

(Obakan, et al., 2017; King, 2000). Penghentian siklus sel pada fase G0-G1

memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki DNA yang rusak apabila

tidak bisa diperbaiki lanjut ke proses apoptosis.

Akumulasi siklus sel pada fase S ditunjukkan pada Tabel 4.8 untuk
1
perlakuan tunggal EEADK ½ IC50 sebesar 18,44%, EEADK /10 IC50 sebesar

16,13%, dan kombinasi EEADK-doksorubisin sebesar 18,16%, lebih kecil

dibandingkan dengan kontrol akumulasi sel pada fase S sebesar 19,94%.

Penurunan persentase dibanding kontrol menunjukkan bahwa EEADK tunggal

dan kombinasi tidak mencegah terjadinya sintesa DNA. Sedangkan doksorubisin

½ IC50 akumulasi sel pada fase S sebesar 30,00% lebih besar dari kontrol.

Hambatan regulasi siklus sel pada fase S oleh doksorubisin kemungkinan

terjadi karena doksorubisin menyebabkan interkalasi DNA dan menghambat

topoisomerase II sehingga menyebabkan terhambatnya replikasi DNA sel kanker

yang terjadi pada fase S, hal ini menyebabkan siklus sel tertahan di fase S (Yang,

et al., 2014).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Pada fase G2-M, akumulasi sel untuk perlakuan EEADK ½ IC50 sebesar
1
17,58%, EEADK /10 IC50 sebesar 13,43%, doksorubisin ½ IC50 sebesar 15,00%

dan kombinasi EEADK-doksorubisin sebesar 27,62% lebih kecil dibandingkan

dengan kontrol sel sebesar 32,12%. Penurunan persentase perlakuan tunggal dan

kombinasi dibanding kontrol kemungkinan disebabkan perlakuan dengan ekstrak

tidak dapat menurunkan ekspresi siklin B sehingga menunjukkan tidak ada

perbaikan DNA yang rusak (DNA repair) pada sel kanker (Dipaola, 2002).

4.10 Uji Penghambatan Siklus Sel Terhadap Sel T47D

Pengujian siklus sel pada sel T47D dengan metode flowsitometri

dilakukan dengan berbagai perlakuan. Diantaranya adalah kontrol ditunjukkan

pada Gambar 4.10, EEADK pada konsentrasi ½ IC50 yaitu 93,28 μg/mL

ditunjukkan pada Gambar 4.11, EEADK pada konsentrasi 1/10 IC50 yaitu 18,66
1
μg/mL ditunjukkan pada Gambar 4.12, EEADK-doksorubisin ( /8 IC50 EEADK

1
dan /4 IC50 doksorubisin yaitu 23,32 μg/mL dan 0,35 μg/mL) ditunjukkan pada

Gambar 4.13, doksorubisin pada konsentrasi ½ IC50 yaitu 0,7 μg/mL ditunjukkan

pada Gambar 4.14. Profil penghambatan siklus sel T47D Tabel 4.9 dibawah ini.

Tabel 4.9 Distribusi sel T47D setelah perlakuan dengan berbagai konsentrasi
EEADK, doksorubisin dan kombinasi keduanya.
Fase sel (%)
Konsentrasi
G0 – G1 S G2 - M
Kontrol 43,84 23,86 32,36
EEADK ½ IC50 52,34 24,33 23,57
EEADK 1/10 IC50 55,04 27,26 18,07
Kb.EEADK- Dox (1/8 IC50EEADK-1/4 IC50doxo) 54,49 20,34 25,43
Doksorubisin ½ IC50 50,64 25,51 23,35

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Marke r Events % Gated % Total Mean CV Media n
All 200 00 100 .00 100 .00 298 .47 45.27 285 .50
M1 123 0 6.1 5 6.1 5 34.43 137
R1.68 12.00
GO-G1 770 2 38.51 38.51 217 .18 8.9 6 214 .00
S-pha se 416 1 20.80 20.80 307 .11 8.7 7 307 .00
G2-M 601 9 30.09 30.09 388 .74 5.7 2 387 .00
M5 100 2 5.0 1 5.0 1 671 .17 25.24 631 .50

GO-G1
GO-G1
G2-M
S-pha se G2-M
M1
S-pha se
M5

Fil e:
Fil e: 1 /2 EEADK KS 1SS.004
T47D T4 7D SS.0 02 Total0Even ts: 2000 0
Total Even ts: 2000
X Pa rameter: X Pa rameter:
FL2-A FL2-AreaFL2-A FL2-Area
(L inea r) (L inea r)

Marke%
Marke r Events r Gated
Events% Total
% GatedMean% TotalCVMeanMedia nCV Media n
All 200 00 All 100 .00
170 34 100 .00
100 .00 85.1766.25
332 .97 R1
292 .29
284 26.56 280 .00
.00
M1 GO-G1
208 3 10.42746 810.4243.8423.16
37.34 216 .06 8.0 0 8.4 8 213 .00
158 .22
GO-G1 S-pha
695 6 se 34.78 406 434.7823.86 20.3210.71
209 .73 302 .04
207 .50 8.8 4 302 .00
S-pha se 330G2-M
8 16.54551 216.5432.36 27.56 8.3386
301 .18 0 .04301 .00 5.8 2 385 .00
G2-M 402 3 20.11 20.11 386 .61 7.7 5 383 .00
Gambar 4.10 Gambaran siklus sel T47D kontrol
M5 374 0 18.70 18.70 704 .67 25.91 649 .00

GO-G1

GO-G1 G2-M
S-pha se
M1 G2-M

S-pha se M5

Fil e: 1 /10 EKS Fil


T47 e:D
1 /2SS.00
EEADK3 T47D SS.004 Total Even ts: Total
2000 0Even ts: 2000 0
X Pa rameter:
X Pa rameter: FL2-A FL2-Area FL2-A FL2-Area
(L inea r) (L inea r)

Marke%r Gated
Marke r Events Events % Gated
% Total % TotalCVMeanMediaCV
Mean n Media n
All 200 00 All100 .00
132 01 100 .00
100 .00 66.0083.35
214 .59 271 .37 27.61 251 .00
216 .00
M1 GO-G1
655 0 32.75690 932.7552.3421.1434.54 209 .67 9.010.67
153 .98 0 207 .00
GO-G1 S-pha
662 9 se33.15321 233.1524.33 16.06 9.8
216 .77 300
7 .80
215 .008.2 9 301 .00
S-pha se 328 G2-M
0 16.40311 216.4023.57 15.56 9.0
304 .10 379
6 .46
303 .006.7 5 377 .00
G2-M 242 3 12.12 12.12 387 .25 6.9 3 381 .00
Gambar 4.11 Gambaran siklus sel T47D yang diberi ½ IC EEADK
M5 122 8 6.1 4 6.1 4 663 .15
50
25.89 617 .00

GO-G1
G2-M

S-pha se

Fil e: 1 /10 EKS T47 D SS.00 3 Total Even ts: 2000 0


X Pa rameter: FL2-A FL2-Area (L inea r)

Marke r Events % Gated % Total Mean CV Media n


All 115 48 100 .00 57.74 268 .48 25.72 246 .00
GO-G1 635 6 55.04 31.78 215 .51 9.4 4 214 .00
S-pha se 314 8 27.26 15.74 298 .61 9.0 8 297 .50
G2-M 208 7 18.07 10.44 381 .73 6.6 8 376 .00

Gambar 4.12 Gambaran siklus sel T47D yang diberi 1/10 IC50 EEADK

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
X Pa rameter: FL2-A FL2-Area (L inea r)

Marke r Events % Gated % Total Mean CV Media n


All 200 00 100 .00 100 .00 98.35 179 .83 12.00
M1 151 50 75.75 75.75 16.71 161 .99 7.0 0
GO-G1 217 0 10.85 10.85 209 .29 11.65 212 .00
R1
S-pha se 819 4.0 9 4.0 9 302 .85 7.9 9 305 .00
G2-M 107 0 5.3 5 5.3 5 392 .93 7.8 2 391 .00
M5 817 4.0 8 4.0 8 732 .84 25.78 684 .00

GO-G1
GO-G1
G2-M

S-pha se G2-M
M1 S-pha se

M5

Fil e: KOMB 1 T47D SS.005 Total Even ts: 2000 0


X Pa rameter: FL2-A FL2-Area (L inea r)
Fil e: 1 /2 DOXO T4 7D SS.0 06 Total Even ts: 1848 0
MarkeFL2-Area
X Pa rameter: FL2-A r Events(L inea
% Gated
r) % Total Mean CV Media n
All 333 8 100 .00 16.69 276 .59 28.38 241 .50
Marke r Events GO-G1 % Gated 181%9 Total54.49
Mean 9.1 0 CV213 .38 Media n9.3 5 214 .00
All 184 80 se100 .00679
S-pha 100 .0020.34
108 .943.4 0
137304
.23 .04 33.007.8 6 307 .00
M1 130 77
G2-M 70.7684970.7625.4326.934.2 5151388 .52 .91 4.0 07.3 4 387 .00
GO-G1 255 4 13.82 13.82 215 .31 10.14 215 .00
Gambar 4.13 Gambaran siklus sel T47D yang diberi 1/8 IC EEADK dan ¼ IC
S-pha se 130 0 7.0 3 7.0 3 306 .44 508.8 2 306 .00 50
doksorubisin G2-M 120 5 6.5 2 6.5 2 392 .38 6.9 1 390 .00
M5 391 2.1 2 2.1 2 646 .34 27.70 588 .00

GO-G1
G2-M

S-pha se

Fil e: 1 /2 DOXO T4 7D SS.0 06 Total Even ts: 1848 0


X Pa rameter: FL2-A FL2-Area (L inea r)

Marke r Events % Gated % Total Mean CV Media n


All 460 3 100 .00 24.91 279 .29 27.56 255 .00
GO-G1 233 1 50.64 12.61 214 .47 9.5 1 215 .00
S-pha se 117 4 25.51 6.3 5 301 .45 8.9 9 300 .00
G2-M 107 5 23.35 5.8 2 388 .49 6.9 8 386 .00

Gambar 4.14 Gambaran siklus sel T47D yang diberi ½ IC50 doksorubisin

Analisis data dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan membandingkan

antara perlakuan dengan kontrol. Analisis siklus sel dilakukan pada fase siklus sel

dimana terjadi akumulasi sel terbesar pada masing-masing perlakuan.

Akumulasi sel terbesar pada fase G0-G1 ditunjukkan pada Tabel 4.9 yaitu

baik perlakuan EEADK tunggal dan kombinasi EEADK-doksorubisin maupun


1
doksorubisin tunggal yaitu EEADK ½ IC50 sebesar 52,34%, EEADK /10 IC50

sebesar 55,04%, doksorubisin ½ IC50 sebesar 50,64% dan kombinasi EEADK-

doksorubisin sebesar 54,49% apabila dibandingkan dengan kontrol dengan

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
akumulasi sel pada fase G0-G1 sebesar 43,84%. Persentase yang lebih tinggi

dibanding kontrol menunjukkan bahwa sel mengalami penghambatan dalam

persiapan materi DNA yang akan disintesis. Penghambatan pada siklus G0-G1

memungkinan terjadi pemacuan apoptosis. Penghentian siklus sel pada fase G0-G1

memberi kesempatan sel memperbaiki DNA yang rusak dan memberikan

kesempatan pada sel yang mengalami kerusakan untuk dikenali lalu dilanjutkan

proses apoptosis. Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas

genomik. Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak

meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau

kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan

genetik. Hal ini kritis bagi timbulnya kanker, oleh karena itu, proses regulasi

siklus sel mampu berperan dalam pencegahan kanker (Ruddon, 2007).

Pada perlakuan tunggal dan kombinasi ekstrak etil asetat daun kelor
1 1
dengan doksorubisin dengan dosis (EEADK /8 IC50 dan doksorubisin /4 IC50)

terjadi penghambatan pada siklus G0-G1, penghentian siklus sel pada fase G0-G1

kemungkinan terjadi pemacuan apoptosis. Penghentian siklus sel pada fase G1

akan memberikan kesempatan pada sel yang mengalami kerusakan untuk dikenali

dan melanjutkan proses apoptosis. Untuk mengetahui lebih jelasnya adanya

pemacuan apoptosis maka dilakukan pengujian apoptosis dengan metode

flowsitometri.

Hambatan regulasi daur sel pada fase G0-G1 oleh EEADK terjadi melalui

penurunan level ekspresi siklin D1 (berdasarkan pengujian imunositokimia)

sehingga tidak terjadi aktivasi CDK4 dan CDK6 yang berakibat pada

penghambatan fosforilasi pRb (protein retinoblastoma), Rb yang tidak

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
terfosforilasi akan berikatan dengan faktor transkripsi E2F mengikat DNA dan

menghambat transkripsi gen yang produknya diperlukan untuk fase S siklus sel

sehingga sel tertahan di fase G1 atau terjadi G1 arrest (King, 2000). Penghambatan

daur sel ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh kemampuan senyawa yang

terkandung dari EEADK meningkatkan ekspresi Protein p21 dan p27 akan

membentuk ikatan kompleks dengan siklin D dan Cyclin Dependent Kinase 4/6

(Cdk), sehingga akan menghambat posporilasi pRb (protein retinoblastoma). Hal

ini mengakibatkan E2F inaktif, hal ini berakibat pada terhentinya daur sel

(Obakan, et al., 2017; King, 2000). Penghentian siklus sel pada fase G0-G1

memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki DNA yang rusak apabila

tidak bisa diperbaiki lanjut ke proses apoptosis.

Akumulasi sel pada fase S ditunjukkan pada Tabel 4.9 yaitu untuk
1
perlakuan tunggal EEADK ½ IC50 sebesar 24,33%, EEADK /10 IC50 sebesar

27,26%, dan doksorubisin ½ IC50 sebesar 25,65%, lebih tinggi dibandingkan

dengan kontrol akumulasi sel pada fase S sebesar 23,86%. Persentase yang lebih

tinggi dibanding kontrol menunjukkan bahwa sel mengalami penghambatan pada

fase S sehingga mencegah terjadinya sintesa DNA. Hambatan regulasi siklus sel

pada fase S kemungkinan terjadi karena penurunan level ekspresi siklin A

menyebabkan tidak terjadi aktivasi siklin A dengan CDK1/CDK2 sehingga siklus

sel tertahan di fase S (King, 2000). Sedangkan untuk kombinasi EEADK-

doksorubisin akumulasi sel pada fase S sebesar 20,34% lebih kecil dari pada

kontrol sel, penurunan persentase dibanding kontrol menunjukkan bahwa

kombinasi EEADK-doksorubisin tidak mencegah terjadinya sintesa DNA.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Pada fase G2-M, akumulasi sel untuk perlakuan EEADK ½ IC50 sebesar
1
23,57%, EEADK /10 IC50 sebesar 18,07%, doksorubisin ½ IC50 sebesar 23,35%

dan kombinasi EEADK-doksorubisin sebesar 25,43% lebih kecil dibandingkan

dengan kontrol sel sebesar 32,36%. Penurunan persentase dibanding kontrol

menunjukkan tidak ada perbaikan DNA yang rusak (DNA repair) (Dipaola, 2002).

4.11 Uji Apoptosis pada sel MCF-7

Pengamatan apoptosis dilakukan dengan metode flowsitometri. Metode ini

merupakan metode untuk menghitung sel hidup, sel nekrosis dan apoptosis secara

cepat. Pada uji ini digunakan suatu protein yaitu Annexin V yang dapat berikatan

secara spesifik pada fosfatidilserin yang terdapat pada membran plasma sel

selama proses apoptosis. DNA pada sel yang rusak baik nekrosis maupun

apoptosis akan diwarnai oleh propidium iodida (PI) yang menghasilkan

fluoresensi oranye hingga merah. Saat melewati sinar laser, sel akan tereksitasi

dan menghamburkan cahayanya menghasilkan cahaya fluoresensi (Brussaard, et

al., 2000; Demo, et al., 1999).

Pengujian apoptosis pada sel MCF-7 dilakukan dengan berbagai

perlakuan. Diantaranya adalah kontrol ditunjukkan pada Gambar 4.15, EEADK

pada konsentrasi ½ IC50 yaitu 74,63 μg/mL ditunjukkan pada Gambar 4.16,
1
EEADK pada konsentrasi /10 IC50 yaitu 14,93 μg/mL ditunjukkan pada Gambar

1 1
4.17, EEADK-doksorubisin ( /8 IC50 EEADK dan /4 IC50 doksorubisin yaitu

18,66 μg/mL dan 1,45 μg/mL) ditunjukkan pada Gambar 4.18, doksorubisin pada

konsentrasi ½ IC50 yaitu 2,9 μg/mL ditunjukkan pada Gambar 4.19. Hasil uji

apoptosis pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 4.10.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Tabel 4.10 Hasil pengujian apoptosis EEADK pada sel MCF-7
Jenis Perlakuan Konsentrasi (g/mL) R1 (%) R2 (%) R3 (%) R4 (%)
Kontrol 90,70 4,25 2,60 2,50
EEADK ½ IC50 74,63 0,27 0,18 42,83 56,99
EEADK 1/10 IC50 14,93 10,48 20,59 58,64 10,39
Kb EEADK-Dox 18,66-1,45 4,71 41,47 13,89 40,08
Doksorubisin ½IC50 2,9 64,61 17,04 12,80 5,58
Keterangan: R1 = sel hidup, R2 = sel yang mengalami apoptosis awal, R3 = sel
yang mengalami apoptosis akhir dan nekrosis awal, R4 = sel yang mengalami
nekrosis akhir (late nekrosis).

Gambar 4.15 Gambaran persentase kondisi sel MCF-7 kontrol

R3 Fil e: 1 /2 EEADK MCF7 APOPT.0 03


R4
Pati ent ID: 04 09.1 8
Acquis itio n Date : 09 -Apr-18
Gate: No Gate
Total Even ts: 2000 0

R2 Regio n % Gated % Total


R1 0.2 7 0.2 7
R1 R2 0.1 8 0.1 8
R3 42.83 42.83
R4 56.99 56.99

Gambar 4.16 Gambaran persentase kondisi sel MCF-7


Fil e: 1 /2 yang
EEADKdiberi ½ IC50 03
MCF7 APOPT.0
EEADK Pati ent ID: 04 09.1 8
Acquis itio n Date : 09 -Apr-18
R3 Gate:
Fil No Gate
e: 1 /10 EEADK MCF7 APOPT.006
R4
Total
Pati Even
ent ts: 09.1
ID: 04 2000 80
Quad Locatio
Acquis n: 6
itio n Date 4, 7
: 09 9
-Apr-18
Gate: No Gate
Quad % Gated % Total
Total Even ts: 2000 0
UL 59.48 59.48
URn %40.08
Regio Gated % 40.08
Total
R2
LL
R1 0.2 8
10.48 0.2 8
10.48
LRR2 0.1 7
20.59 0.1 7
20.59
R1
R3 58.64 58.64
R4 10.39 10.39

Gambar 4.17 Gambaran persentase kondisi sel MCF-7 yang


Fil e: 1 /10diberi
EEADK 1/10 ICAPOPT.006
MCF7 50
EEADK Pati ent ID: 04 09.1 8
Acquis itio n Date : 09 -Apr-18
Gate: No Gate
Total Even ts: 2000 0
Quad Locatio n: 6 4, 7 9

Quad % Gated % Total


UL 10.78 10.78
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
UR 58.07 58.07
LL 10.82 10.82
LR 20.33 20.33
R3 Fil e: KOMB MCF7 APOP.002
R4
Pati ent ID: 04 19.1 8
Acquis itio n Date : 19 -Apr-18
Gate: No Gate
Total Even ts: 2000 0

Regio n % Gated % Total


R1 4.7 1 4.7 1
R1 R2 41.47 41.47
R3 13.89 13.89
R4 40.08 40.08

Gambar 4.18 Gambaran persentase kondisi sel MCF-7


Fil e: KOMByang diberi 1/8 IC50
MCF7 APOP.002
EEADK- ¼ IC50 doksorubisin Pati ent ID: 04 19.1 8
Acquis itio n Date : 19 -Apr-18
Gate: No Gate
Total Even ts: 2000 0
R3 Fil e: 1 /2 DOXO MCF7 APOPT.004
R4 Quad Locatio n: 1 08, 92
Pati ent ID: 04 09.1 8
Acquis %
Quad itioGated
n Date :%
09Total
-Apr-18
Gate:
UL No Gate 39.91 39.91
Total
UREven13.64 ts: 2000 13.64
0
LL 4.7 9 4.7 9
R2 Regio n % Gated % Total
LR 41.66 41.66
R1 64.61 64.61
R1 R2 17.04 17.04
R3 12.80 12.80
R4 5.5 8 5.5 8

Gambar 4.19 Gambaran persentase kondisi sel Fil


MCF-7
e: 1 /2 DOXOyang
MCF7 diberi ½ IC50
APOPT.004
doksorubisin Pati ent ID: 04 09.1 8
Acquis itio n Date : 09 -Apr-18
Gate: No Gate
Persentase jumlah sel yang hidup pada Tabel 4.10 menunjukkan hasil
Total Even ts: 2000 0
Quad Locatio n: 6 4, 7 9

untuk kontrol sebesar 90,70%, pada perlakuan dengan


QuadEEADK ½Total
% Gated % IC50 (0,27%),
UL 5.5 7 5.5 7
UR 12.71 12.71
EEADK 1/10 IC50 (10,48%), perlakuan dengan EEADK - doksorubisin (4,71%)
LL 64.75 64.75
LR 16.96 16.96

sedangkan dengan doksorubisin ½ IC50 (64,61%). Penggunaan EEADK baik

dengan tunggal dan kombinasi menunjukkan persentase jumlah sel hidup yang

rendah dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan penggunaan tunggal

doksorubisin menunjukkan persentase jumlah sel hidup yang lebih tinggi

dibanding perlakuan dengan EEADK.

Pada sel MCF7 yang diberi EEADK ½ IC50 terlihat persentase sel yang

mengalami apoptosis awal (0,18%), EEADK 1/10 IC50 (20,59%) sedangkan yang

diberi EEADK-doksorubisin terlihat persentase sel yang mengalami apoptosis

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
awal (41,47%), doksorubisin ½ IC50 (17,04%), dibandingkan kontrol (4,25%).
1
Terlihat EEADK pada konsentrasi /10 IC50 dan kombinasinya dengan

doksorubisin meningkatkan jumlah sel yang mengalami apoptosis awal dan

kombinasi EEADK-doksorubisin lebih meningkatkan jumlah sel yang mengalami

apoptosis dibandingkan dengan EEADK tunggal dengan konsentrasi ½ IC50.

Persentase sel yang mengalami apoptosis akhir dan nekrosis awal pada

pemberian EEADK ½ IC50 (42,83%), EEADK 1/10 IC50 (58,64%), yang diberi

EEADK-doksorubisin terlihat persentase sel yang mengalami apoptosis akhir dan

nekrosis awal (13,89%), doksorubisin ½ IC50 (12,80%), sedangkan pada kontrol

sel (2,60%). Sel yang mengalami late necrosis pada sel MCF7 yang diberi

EEADK ½ IC50 (56,99%), EEADK 1/10 IC50 (10,39%), yang diberi EEADK-

doksorubisin terlihat persentase sel yang mengalami late necrosis (40,08%),

doksorubisin ½ IC50 (5,58%), sedangkan pada kontrol (2,50%).

EEADK dan kombinasinya menunjukkan aktivitas positif dalam apoptosis

dengan metode flowsitometri menggunakan annexin V. Prinsip dari pelabelan

annexin V adalah pewarnaan pada phosphatidylserines (PS) yang terdapat pada

membran luar sel. Sel apoptosis awal mengekspresikan PS pada luar membran

plasma. PS dapat terwarnai oleh label annexin V. Sel yang mengalami apoptosis

akhir dan sel nekrosis akan kehilangan integritas membran selnya dan permeabel

terhadap pewarna annexin V (Zimmermann and Meyer, 2011). Mekanisme kerja

dari EEADK, doksorubisin dan kombinasi kemungkinan berada pada fase

apoptosis awal, apoptosis akhir dan nekrosis sel.

Dari hasil yang diperoleh, terlihat jelas perbedaan penggunaan tunggal

ekstrak dan yang dikombinasikan dengan doksorubisin. Penggunaan kombinasi

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
lebih bagus daripada penggunaan tunggal ekstrak. Kombinasi EEADK-

doksorubisin lebih memacu terjadinya apoptosis awal dibandingkan penggunaan

tunggal EEADK dan doksorubisin. Hasil ini kemungkinan disebabkan EEADK

mengandung senyawa flavonoid (kuersetin, kaempferol), glukosinolat

(glukomoringin), isotiosianat (benzyl isotiosianat, phenetil isotiosianat) yang

memiliki aktifitas antitumor yang tinggi yang telah diuji kemampuannya

memblok nuclear factor-kappa B, menginduksi apoptosis, menghambat

proliferasi dan angiogenesis. (Brunelli, 2010; Obakan, et al., 2017).

4.12 Uji Apoptosis pada sel T47D

Pengujian apoptosis pada sel T47D dilakukan dengan berbagai perlakuan.

Diantaranya adalah kontrol ditunjukkan pada Gambar 4.20, EEADK pada

konsentrasi ½ IC50 yaitu 93,30 μg/mL ditunjukkan pada Gambar 4.21, EEADK
1
pada konsentrasi /10 IC50 yaitu 18,66 μg/mL ditunjukkan pada Gambar 4.22,

1 1
EEADK-doksorubisin ( /8 IC50 EEADK dan /4 IC50 doksorubisin yaitu 23,32

μg/mL dan 0,35 μg/mL) ditunjukkan pada Gambar 4.23, doksorubisin pada

konsentrasi ½ IC50 yaitu 0,7 μg/mL ditunjukkan pada Gambar 4.24. Hasil uji

apoptosis pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11 Hasil pengujian apoptosis EEADK pada sel T47D


Jenis Perlakuan Konsentrasi (g/mL) R1 (%) R2 (%) R3 (%) R4 (%)
Kontrol 90,46 0,80 4,70 4,06
EEADK ½ IC50 93,30 0,66 1,07 24,68 73,69
EEADK 1/10 IC50 18,66 2,83 17,76 16,96 62,58
Kb EEADK-Dox 23,32-0,35 2,58 7,66 32,02 57,90
Doksorubisin ½IC50 0,7 18,08 67,88 8,71 5,44
Keterangan: R1 = sel hidup, R2 = sel yang mengalami apoptosis awal, R3 = sel
yang mengalami apoptosis akhir dan nekrosis awal, R4 = sel yang mengalami
nekrosis akhir (late nekrosis).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
R3 Fil e: KS 1 T4 7D APOPT.0 07
R4
Pati ent ID: 04 09.1 8
Acquis itio n Date : 09 -Apr-18
Gate: No Gate
Total Even ts: 2000 0

R2 Regio n % Gated % Total


R1 90.46 90.46
R1 R2 0.8 0 0.8 0
R3 4.7 0 4.7 0
R4 4.0 6 4.0 6

Gambar 4.20 Gambaran persentase kondisi sel T47DFilkontrol


e: KS 1 T4 7D APOPT.0 07
Pati ent ID: 04 09.1 8
Acquis itio n Date : 09 -Apr-18
R3 Fil e: 1No
Gate: /2 EKS
GateAPOPT.0 05
R4
Pati ent
Total ID: ts:
Even 04 04.1
200080
AcquisLocatio
Quad itio n Date
n: 6: 4,
047-Apr-18
9
Gate: No Gate
Quad
Total Even% Gated
ts: 2000 %0Total
UL 4.0 3 4.0 3
R2 Regio
UR n % Gated 4.6 4 %4.6
Total
4
LLR1 0.6 6 90.61
90.61 0.6 6
R1 LRR2 1.0
0.7 27 1.0
0.7 27
R3 24.68 24.68
R4 73.69 73.69

Gambar 4.21 Gambaran persentase kondisi sel T47DFilyang diberi


e: 1 /2 EKS ½ IC50
APOPT.0 05EEADK
Pati ent ID: 04 04.1 8
Acquis itio n Date : 04 -Apr-18
R3 Gate: No
Fil e: 1 /10 Gate
EKS APOPT.0 03
R4 Total Even ts: 2000
Pati ent ID: 04 04.108
Quad
Acquis Locatio n: 6 4,
itio n Date 7 9-Apr-18
: 04
Gate: %
Quad NoGated
Gate % Total
Total
UL Even ts: 2000
74.69 0
74.69
UR 23.57 23.57
R2 Regio n % Gated % Total
LL 0.6 8 0.6 8
R1 2.8 3 2.8 3
LR 1.0 7 1.0 7
R1 R2 17.76 17.76
R3 16.98 16.98
R4 62.58 62.58

Gambar 4.22 Gambaran persentase kondisi sel T47D yang


Fil e: 1 /10 diberi 1/10
EKS APOPT.0 03 IC50
EEADK Pati ent ID: 04 04.1 8
Acquis itio n Date : 04 -Apr-18
Gate: No Gate
Total Even ts: 2000 0
Quad Locatio n: 6 4, 7 9

Quad % Gated % Total


UL 63.15 63.15
UR 16.13 16.13
LL 3.1 9 3.1 9
LR 17.53 17.53

Gambar 4.23 Gambaran persentase kondisi sel T47D yang diberi 1/8 IC50
EEADK- ¼ IC50 doksorubisin

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
R3 Fil e: 1 /2 DOXO APOPT.006
R4
Pati ent ID: 04 04.1 8
Acquis itio n Date : 04 -Apr-18
Gate: No Gate
Total Even ts: 2000 0

R2 Regio n % Gated % Total


R1 18.08 18.08
R1 R2 67.88 67.88
R3 8.7 1 8.7 1
R4 5.4 4 5.4 4

Gambar 4.24 Gambaran persentase kondisi sel FilT47D yang


e: 1 /2 DOXO diberi ½ IC50
APOPT.006
doksorubisin Pati ent ID: 04 04.1 8
Acquis itio n Date : 04 -Apr-18
Gate: No Gate
Persentase jumlah sel yang hidup pada Tabel 4.11 menunjukkan hasil
Total Even ts: 2000 0
Quad Locatio n: 6 4, 7 9

untuk kontrol sebesar 90,46%, pada perlakuan dengan


Quad EEADK ½Total
% Gated % IC50 (0,66%),
UL 5.7 4 5.7 4
UR 8.2 5 8.2 5
EEADK 1/10 IC50 (2,83%), perlakuan dengan EEADK - doksorubisin (2,58%)
LL 18.40 18.40
LR 67.60 67.60

sedangkan dengan doksorubisin ½ IC50 (18,08%). Penggunaan tunggal EEADK,

doksorubisin dan kombinasinya menunjukkan persentase jumlah sel hidup yang

rendah dibandingkan dengan kontrol sel.

Pada sel T47D yang diberi EEADK ½ IC50 terlihat persentase sel yang
1
mengalami apoptosis awal (1,07%), EEADK /10 IC50 (17,76%), EEADK-

doksorubisin (7,66%) dan doksorubisin ½ IC50 sebesar 67,88% lebih tinggi

dibandingkan kontrol sel sebesar 0,80%. Terlihat perlakuan dengan tunggal

EEADK dan kombinasi meningkatkan jumlah sel yang mengalami apoptosis

awal.

Persentase sel yang mengalami apoptosis akhir dan nekrosis awal pada

pemberian EEADK ½ IC50 (24,68%), EEADK 1/10 IC50 (8,71%), EEADK-

doksorubisin sebesar 71,67%, doksorubisin ½ IC50 (8,71%), Hasilnya lebih tinggi

dibandingkan dengan kontrol sel (4,70%). Sel yang mengalami late necrosis pada

sel T47D yang diberi EEADK ½ IC50 (73,69%), EEADK 1/10 IC50 (62,58%),

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
EEADK-doksorubisin sebesar 25,94%, doksorubisin ½ IC50 (5,44%), sedangkan

pada kontrol (4,06%).

EEADK dan kombinasinya menunjukkan aktivitas positif dalam apoptosis

dengan metode flowsitometri menggunakan annexin V. Prinsip dari pelabelan

annexin V adalah pewarnaan pada phosphatidylserines (PS) yang terdapat pada

membran luar sel. Sel apoptosis awal mengekspresikan PS pada luar membran

plasma. PS dapat terwarnai oleh label annexin V. Sel yang mengalami apoptosis

akhir dan sel nekrosis akan kehilangan integritas membran selnya dan permeabel

terhadap pewarna annexin V (Zimmermann dan Meyer, 2011). Mekanisme kerja

dari EEADK, doksorubisin dan kombinasi kemungkinan berada pada fase

apoptosis awal, apoptosis akhir dan nekrosis sel.

Dari hasil yang diperoleh, terlihat jelas perbedaan penggunaan tunggal

ekstrak dan yang dikombinasikan dengan doksorubisin. Penggunaan tunggal lebih

memacu apoptosis awal dibandingkan kombinasi sedangkan penggunaan

kombinasi lebih memacu terjadinya apoptosis akhir dan nekrosis awal. Hasil ini

kemungkinan disebabkan EEADK mengandung senyawa flavonoid (kuersetin,

kaempferol), glukosinolat (glukomoringin), isotiosianat (benzyl isotiosianat,

phenetil isotiosianat) yang memiliki aktifitas antitumor yang tinggi yang telah

diuji kemampuannya memblok nuclear factor-kappa B, menginduksi apoptosis,

menghambat proliferasi dan angiogenesis. (Brunelli, 2010; Obakan, et al., 2017).

4.13 Pengamatan Ekspresi Protein Siklin D1 dan Bcl-2

Suatu sel masuk ke fase proliferasi dapat dideteksi dengan penelusuran

ekspresi gen siklin D1 yang berperan pada awal siklus sel (fase G1). Selanjutnya

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
untuk mengetahui suatu sel kanker mempertahankan kehidupannya dalam kaitan

dengan apoptosis perlu diperiksa ekspresi Bcl-2.

Pengamatan ekspresi protein regulator siklus sel Siklin D1 pada sel T47D

dengan EEADK 1 kali IC50, ½ IC50, kombinasi EEADK dengan doksorubisin dan

doksorubisin menggunakan metode imunositokimia dengan prinsip pengikatan

antibodi spesifik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa EEADK mampu

menurunkan ekspresi Siklin D1 pada sel T47D yang ditunjukkan pada Gambar

4.25 dan pada sel MCF7 pada Gambar 4.26 secara visual menunjukkan bahwa

sitoplasma sel perlakuan uji mempunyai warna transparan kebiruan/ungu berbeda

signifikan dengan kontrol sel dengan antibodi spesifik Siklin D1 yang berwarna

gelap/coklat.

a b

c d

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
e f
Gambar 4.25 Ekspresi Siklin D1 yang diberi berbagai perlakuan pada sel T47D
Keterangan: : ekspresi (+) : ekspresi (-)
a. Kontrol tanpa antibodi d. EEADK ½ IC50
b. Kontrol + antibodi Siklin D1 e. Doksorubisin ½ IC50
c. EEADK 1 IC50 f. 1/8 IC50 EEADK-1/4 IC50 doksorubisin

a b

c d

e f
Gambar 4.26 Ekspresi Siklin D1 yang diberi berbagai perlakuan pada sel MCF7
Keterangan : : ekspresi (+) : ekspresi (-)
a. Kontrol tanpa antibodi d. EEADK ½ IC50
b. Kontrol + antibodi Siklin D1 e. Doksorubisin ½ IC50
c. EEADK 1 IC50 f. 1/8 IC50 EEADK-1/4 IC50 doksorubisin

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Perjalanan teratur sel melalui berbagai fase siklus sel ini dikendalikan oleh

CDK yang telah diaktifkan. CDK menyebabkan fosforilasi berbagai protein

sasaran yang penting dan diekspresikan selama siklus sel tetapi dalam bentuk

inaktif. Sebaliknya berbagai siklin baru disintesis sewaktu fase tertentu siklus sel.

Siklin ini berfungsi untuk mengaktifkan CDK dengan berikatan dan kadar siklin

dengan cepat turun. Karena sifat pembentukan dan penguraiannya yang siklis,

protein ini disebut siklin. Sementara siklin membangkitkan CDK, inhibitor siklin

yang banyak jenisnya, menekan CDK dan menimbulkan kontrol negatif terhadap

siklus sel (Budityastomo, 2010). Walaupun setiap fase siklin dipantau dengan

cermat, transisi dari G1 ke S diperkirakan merupakan tahap yang sangat penting

dalam siklus sel. Apabila suatu sel menemukan sinyal yang mendorong

pertumbuhan, kadar siklin D meningkat dan CDK4 dan CDK6 menjadi aktif.

Tahap ini dijaga oleh produk protein retinoblastoma (pRB). Fosforilasi pRB yang

ditimbulkan oleh CDK mengalahkan hambatan G1 menuju S sehingga sel dapat

masuk ke dalam fase sintesis DNA (Padanilam, 2003).

Siklin D1 merupakan siklin yang berperan dalam siklus G0-G1. Kompleks

siklin D/CDK4, siklin D/CDK6 dan siklin E/CDK2 mengatur transisi fase G1 ke

fase S. Cyclin D1-CDK4 komplek adalah protein yang bertanggung jawab dalam

phosphorilasi Rb yang akan menentukan G0 lengkap sehingga siklus sel dapat

dilanjutkan pada fase S. Faktor pertumbuhan akan meregulasi siklin D dan E

sehingga menyebabkan proliferasi sel (King, 2000). NF-kB adalah salah satu

faktor transkripsi yang mempromosikan progresi siklus sel melalui pengaturan

gen yang terlibat dalam siklus sel seperti cyclin D1, D2, D3 dan cyclin E, c-myc

dan c-mycb. NF-kB diduga berhubungan pula dengan aktivitas pRb melalui cyclin

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
D1. Hambatan regulasi daur sel oleh EEADK dan kombinasi dengan doksorubisin

terjadi melalui penghambatan NF-kB sehingga menghambat progresi siklus sel

(Ratnasari, et al., 2016; Park and Hong, 2016) dimana pada penelitian sebelumnya

telah dibuktikan bahwa ekstrak etanol daun kelor dapat menurunkan jumlah NF-

kB aktif pada sel MCF7 (Andjani, et al., 2016).

Hambatan regulasi daur sel oleh EEADK dan kombinasinya dengan

doksorubisin dapat juga terjadi melalui penurunan level ekspresi siklin D1 yang

berakibat pada penghambatan fosforilasi pRb, melalui pembentukan kompleks

dengan Cdk4/6. Penghambatan fosforilasi pRb berakibat terhentinya daur sel

karena E2F tidak terlepas dari ikatan dengan pRb sehingga sel tidak mampu

mentranskrip gen-gen yang diperlukan pada proses daur sel maupun proliferasi sel

(King, 2000).

Hasil penelitian menunjukkan EEADK mampu menurunkan ekspresi Bcl-

2 pada sel T47D yang ditunjukkan pada Gambar 4.27 dan pada sel MCF7 yang

ditunjukkan pada Gambar 4.28 secara visual menunjukkan bahwa sitoplasma sel

uji mempunyai warna transparan kebiruan berbeda signifikan dengan kontrol sel

dengan antibodi spesifik Bcl-2 yang berwarna gelap/coklat.

a b

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
c d

e f
Gambar 4.27 Ekspresi Bcl-2 yang diberi berbagai perlakuan pada sel T47D
Keterangan : : ekspresi (+) : ekspresi (-)
a. Kontrol tanpa antibodi d. EEADK ½ IC50
b. Kontrol + antibodi Siklin D1 e. Doksorubisin ½ IC50
c. EEADK 1 IC50 f. 1/8 IC50 EEADK-1/4 IC50 doksorubisin

a b

c d

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
e f
Gambar 4.28 Ekspresi Bcl-2 yang diberi berbagai perlakuan pada sel MCF7
Keterangan : : ekspresi (+) : ekspresi (-)
a. Kontrol tanpa antibodi d. EEADK ½ IC50
b. Kontrol + antibodi Siklin D1 e. Doksorubisin ½ IC50
c. EEADK 1 IC50 f. 1/8 IC50 EEADK-1/4 IC50 doksorubisin

EEADK dapat menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara T47D.

Penelusuran jalur apoptosis pada penelitian ini melalui pengamatan ekspresi Bcl-2

yang didapat menurun akibat perlakuan ekstrak dengan warna sitoplasma biru.

Protein proapoptosis (Bax, Bak, Bad) dapat menginduksi pelepasan sitokrom C

yang bersama Apaf-1 menginduksi apoptosis melalui aktivasi caspase namun

keberadaan Bcl-2 sebagai protein antiapoptosis beraksi kebalikan (Padanilam,

2003).

Apabila ekspresi Bax atau Bak dinaikkan dan Bcl-2 atau Bcl-XL

diturunkan, maka akan terjadi regulasi sel ke arah kematian melalui apoptosis. Hal

ini semakin membuktikan bahwa EEADK berpotensi sebagai agen ko-kemoterapi

karena meningkatkan aktivitas sitotoksik sel kanker payudara terhadap agen

kemoterapi melalui pemacuan apoptosis dengan penurunan ekspresi protein Bcl-2.

Protein Bcl-2 merupakan salah satu jenis protein anti apoptosis yang

terlibat dalam proses apoptosis. NFκB merupakan faktor transkripsi yang penting

dalam transkripsi protein antiapoptosis seperti Bcl-2, IAP dan Bcl-XL (Park dan

Hong, 2016). Terjadinya penghambatan jalur NFκB dapat menekan ekspresi

protein Bcl-2. Keberadaan EEADK dapat menurunkan ekspresi protein Bcl-2

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
dapat terlihat secara visual dibandingkan dengan kontrol sel yang diberi antibodi

Bcl-2. Apoptosis yang terjadi kemungkinan juga melibatkan adanya peningkatan

ekspresi protein pro apoptosis seperti Bad, Bax, Bak (Park dan Hong, 2016). Oleh

karena itu, masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui

pengaruh pemberian EEADK terhadap ekspresi protein pro apoptosis (Bax dan

Bak).

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah:

a. ENDK, EEADK dan EEDK memiliki aktivitas antikanker pada sel MCF-7

dengan nilai IC50 ENDK sebesar 367,73±23,58 µg/mL; EEADK sebesar

149,29±24,41 µg/mL; EEDK sebesar 1604,22±18,34 µg/mL, pada sel T47D

dengan nilai IC50 ENDK sebesar 1053,76±24,05 µg/mL; EEADK sebesar

186,56±33,09 µg/mL; EEDK sebesar 2738,89±21,35 µg/mL, ekstrak yang

paling potensial dan paling selektif dalah EEADK.

b. EEADK yang dikombinasikan dengan doksorubisin memberikan efek

sinergis sangat kuat terhadap sel MCF-7 terdapat pada konsentrasi

EEADK - doksorubisin 18,66 µg/mL – 1,45 µg/mL (1/8 IC50 - 1/4 IC50) dan

sinergis terhadap sel T47D terdapat pada konsentrasi EEADK -

doksorubisin 23,32 µg/mL – 0,35 µg/mL (1/8 IC50 - 1/4 IC50).

c. EEADK dengan konsentrasi 1/10 IC50 (14,93 µg/mL), ½ IC50 (74,63

µg/mL) dan kombinasinya dengan doksorubisin menghambat siklus sel

MCF-7 pada fase G0-G1 dengan persentase berturut-turut 69,89%, 63,77%

dan 54,48%; EEADK dengan konsentrasi 1/10 IC50 (18,66 µg/mL), ½ IC50

(93,26 µg/mL) dan kombinasinya dengan doksorubisin menghambat siklus

sel T47D pada fase G0-G1 dengan persentase berturut-turut 55,04%, 52,34%

dan 54,49%.
1
d. EEADK dengan dosis 1/10 IC50, /2 IC50 dan kombinasinya dengan

doksorubisin memacu apoptosis awal terhadap sel MCF-7 dengan

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
persentase berturut-turut sebesar 20,59%; 0,18%; 41,47%; untuk apoptosis

akhir 58,64%; 42,83%; 13,89%; dan untuk nekrosis akhir berturut-turut

10,39%; 56,99%; 40,08% sedangkan terhadap sel T47D memacu apoptosis

awal dengan persentase berturut-turut 17,76%; 1,07%; 7,66% ; apoptosis

akhir 16,98%; 24,68%; 32,02%, untuk nekrosis akhir berturut-turut 62,58;

73,69% dan 57,90%.

e. EEADK dan kombinasinya dengan doksorubisin dapat menekan ekspresi

siklin D1 sehingga menghambat siklus sel pada fase G0-G1.

f. EEADK dan kombinasinya dengan doksorubisin dapat menekan ekspresi

Bcl-2 sehingga memacu apoptosis pada sel kanker.

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk:

a. Melakukan uji lanjutan efek kombinasi terhadap ekspresi protein

proapoptosis (Bax, Bak) dan ekspresi p53 yang berperan dalam proliferasi

dan apoptosis sel kanker payudara.

b. Melakukan isolasi senyawa aktif yang ada pada ekstrak etil asetat daun

kelor.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., and Lichtman, A.H. (2003). Cellular and Molecular Immunology.
Edisi kelima. Philadelphia: Saunders. Hal. 522-534.

Abcam. (2007). T47D (Human Ductal Breast Epithelial Tumor Cell Line) Whole
Cell Lysate (ab14899) data sheet. Diunduh tanggal 18 September 2017
dari: http://www.abcam.com/T47D-Human-ductal-breast-epithelial
tumor cell line- Whole-Cell-Lysate-ab14899.html.

Abdull R.A.F, Ibrahim, M.D., and Kntayya, S.B. (2014). Health benefit of
Moringa oleifera. Asian Pac J Cancer Prev, 20, 8571-6.

Allen, J.D., Arnold, V.L., Jeany, M.L., Martin, V.D.V., Olaf, V.T., Glen, R., et al.
(2002). Potent and Specific Inhibition of the Breast Cancer Resistance
Protein Multidrug Transporter In Vitro and In Mouse Intestine by A
Novel Analogue of Fumitremorgin C. Molecular Cancer Therapeutics.
1(6): 417-425.

Aka, J.A., and Lin, X.S. (2012). Comparison of Functional Proteomic Analyses
of Human Breast Cancer Cell Lines T47D and MCF-7. Proteomic
Analyses of Breast Cancer Cell Lines. 7(2): e31532.

Amundson, S.A., Myers, T.G., Scudiero, D., Kitada, S., Reed, J.C., and Fornace,
A.J. (2000), An Informatics Approach Identifying Markers of
Chemosensitivity in Human Cancer Cell Lines. Cancer Res. 60:6101-
6110.

Andjani, N., Sujuti, H., and Winarsih, S. (2016). Efek ekstrak etanol daun kelor
(M.oleifera) terhadap nuclear factor kappa beta (NF-kB) aktif dan
apoptosis cell line kanker MCF-7. Biokimia FKUB. Vol.3 No.4. Hal.204-
212.

Anonim, (2007), ATCC Cell Biology, available from


http://www.atcc.org/common /catalog/numSearch/numResults.cfm?atcc
Num=HTB-22, diunduh 24 September 2017.

Anonim. (2014). Kanker-Pengertian, Penyebab, Jenis Kanker. Diunduh tanggal


11 Mei 2017 dari http://mediskus.com/penyakit/kanker-pengertian-
penyebabjenis. html.

ATCC. (2008), Cell Biology, ATCC® Number: HTB-22TM, Designations: MCF-


7,http://www.atcc.org/ATCCAdvancedCatalogSearch/ProductDetails/tab
id/452/Default.aspx?ATCCNum=HTB-22&Template=cellBiology.
Diunduh 24 September 2017.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Awodele, O., Oreagbe I.A., and Odoma, S. (2012). Toxicological evaluation of
aquaeous leaf extract of Moringa oleifera Lam. (Moringaceae).
J.Ethnopharmacol. 139: 300-306.

Aziz, F., Andrijono, dan Saifuddin, A.B. (2010). Buku Acuan Nasional Onkologi
Ginekologi. Edisi Pertama. Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono. Hal. 17.

Baumforth and Crocker, (2003). Molecular and Immunological Aspects of Cell


Proliferation, in Molecular Biology in Cellular Pathology, Wiley
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/0470867949.ch6/summary

Bennett, R.N., Mellon, F.A., Foidl, N., Pratt, J.H., Dupont, M.S., Perkins, L., et al.
(2003). Profiling glucosinolates and phenolics in vegetative and
reproductive tissues of the multi-purposetrees Moringa oleifera L.
(Horseradish Tree) and Moringa stenopetala L. J. Agric. Food Chem.,
51, 3546–3553.

Berkovich, L., Earon, G., Ron, I., Rimmon, A., Vexler, A., and Levari S. (2013).
Moringa oleifera aqueous leaf extract down-regulates nuclear factor-
kappaB and increases cytotoxic effect of chemotherapy in pancreatic
cancer cells. BMC Complementary and Alternative Medicine. 13:212.

Bose, C.K., (2007). Possible role of Moringa Oleifera L. root in epithelial ovarian
cancer, MedGenMed, 9(1): 26.

Broin. (2010). Growing and processing moringa leaves. France: Imprimerie


Horizon. Hal. 25-26

Brunelli, D., Tavecchio, M., Falcioni, C., Frapolli, R., Erba, Iori, R., et al. (2010).
The isothiocyanate produced from glucomoringin inhibit NF-kB and
reduces myeloma growth in nude mice in vivo. Biochemical
Pharmacology. 79(8): 1141-1148.

Brussaard, C., Marie, D., and Bratbak, G. (2000). Flowcytometric Detection of


Viruses. Journal of Virological Methods. 85: 175-182.

Budityastomo, H. (2010). Pemberian Fraksi Etanolik Ekstrak Bawang Dayak


Terhadap Tingkat Ekspresi Cyclin-E Galur Sel Kanker Serviks Uteri
Hela. Tesis. Surakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Hal. 58.

Butt, A.J., Firth, S.M., King, M.A., and Baxter, R.C. (2000). Insulin-Like Growth
Factor-Binding Protein-3 Modulates Expression of Bax and Bcl-2 and
Potentiates P53-Independent Radiation-Induced Apoptosis In Human
Breast Cancer Cells. J. Biol Chem, 275(50):39174-39181.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
CCRC (Cancer Chemoprevention Research Centre). (2009). Protokol Kultur Sel.
Yogyakarta: Cancer Chemoprevention Research Centre. Hal. 1-7.

Charoensin, S. (2014). Antioxidant and anticancer activities of Moringa oleifera


leaves. J. Med. Plants Res. Vol. 8(7): 318-325

Childs, A.C., Phaneuf, S.L., Dirks, A.J., Phillips, T., and Leeuwenburgh. (2002).
Doxorubicin Treatment In Vivo Causes Cytochrome c Release and
Cardiomyocyte Apoptosis, as well as Increased Mitochondrial
Efficiency, Superoxide Dismutase Activity, and Bcl-2:Bax Ratio. Cancer
Res, 62: 4592-4598.

Choi, Y. (2005). ABC Transporters as Multidrug Resistance Mechanism and the


Development of Chemosensitizers for Their Reversal. Cancer Cell
International. 5: 30.

Chou, C.T., and Martin, N. (2004). Compusyn For Drug Combinations User’s
Guide. Combosyn, Inc USA. Hal. 24-33.

Clarke, L.H. (2000). Estrogens, BRCA1 and Breast Cancer. Cancer Research. 60:
4993-5001.

Conseil, G., Helene, B.C., Guila, D., Jean, M.J., Denis, B., and Attilio, D.P.
(1998). Flavonoids: A Class of Modulators with Bifunctional Interactions
at Vicinal ATP-and Steroid-Binding Sites on Mouse P-glycoprotein.
Proceedings of the National Academy of Science of the United States of
America. 95(17): 9831-9836.

Cooper ,G.M., and Hausman R.E. (2009). The Cell: A Molecular Approach, Fifth
Edition, ASM Press and Sinauer Associates, Inc. Hal. 52.

Demo, S.D., Masuda, E., Rossi, A.B., Throndset, B.T., Gerard, A.L., and Chan,
E.H. (1999). Quantitative Measurement of Mast Cell Degranulation
Using a Novel Flow Cytometric Annexin-V Binding Assay. Cytometry.
36: 340-348.

Deng, L., Linlee, Y.C., Claret, F.X., and Kuo, M.T. (2001). 2
Acetylaminofluorene Up-regulates Rat mdr1b Expression through
Generating Reactive Oxygen Species That Activate NF-κB Pathway. The
Journal of Biological Chemistry. 276(1): 413-420.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Ditjen POM. Hal. 33.

Depkes RI. (1986). Sediaan Galenik. Jakarta: Ditjen POM. Hal. 1,7, 10, 19, 21.

Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Hal. 348-351.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Hal. 299-304, 321-325, 333-335.

Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan
Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 10-17.

Depkes RI. (2008). Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Hal. 174-175.

Dhulipala, V.C., Welshons, W.V., and Reddy, C.S. (2006). Cell Cycle Proteins in
Normal and Chemically Induced Abnormal Secondary Palate
Development: a Review, Human Exp. Toxicol. 25: 675-682.

Diananda, R. (2009). Mengenal Seluk Beluk Kanker. Cetakan ketiga. Yogyakarta:


Katahati. Hal. 15, 22, 29-30.

Dipaola, S.R. (2002). To Arrest or Not to G2-M Cell-Cycle Arrest. Clinical


Cancer Research. 8: 3311-3314.

Divi, M. S., Bellamkonda, R., and Dasireddy, K.S. (2012). Evaluation of


antidiabetic and antihyperlipedemic potential of aqueous extract of
Moringa oleifera in fructose fed insulin resistant and STZ induced
diabetic wistar rats: acomparative study, Asian J. Pharm. Clin. Res. 5
67–72.

Doyle, A., Griffiths, J.B., and Newell, D.G. (2000). Cell and Tissue Culture:
Laboratory Procedures. Edisi ke III. New York: John Wiley & Son. Hal.
23-24.

Ekowati, H., Sarmoko., and Widiastuti, R. (2013). Combination of Three Species


of Zingiberaceae Prevents Doxorubicin-Induced Hepatotoxicity.
Universa Medicina. 32(1): 11-19.

Elwood, J.C., and Richardson, A. (1993). The Effectiveness of Breast Cancer


Screening by Mammography in Younger Woman. Online J Curr Clin
Trials. Hal. 32.

Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants.


Journal of Pharmaceutical Sciences. 55(3): 225-276.

Fikriansyah.,Widiastuti, M.,Wulandari, N., Tirtanirmala, P., and Murwanti, R.


(2015). Cardioprotective Effect of Kelor (Moringa oleifera) Leaf
Ethanolic Extract against Doxorubicin-Induced Cardiotoxicity in Rats.
Indonesian journal of Cancer Chemoprevention, 6(2): 53-57.

Fogli, S., Nieri P., and Breschi M.C. (2004). The role of nitric oxide in
anthracycline toxicity and prospects for pharmacologic prevention of
cardiac damage. FASEB J, 18 (6), 664-75

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Freshney, I.A. (2000). Culture of Animal Cells. A Manual of Basic Technique.
Edisi ke IV. Toronto: Willey-Liss. Hal. 329-344.

Frias, M.A., Lang, U., Gerber-Wicht, C., and James, R.W. (2009). Native and
reconstituted HDL protect cardiomyocytes from doxorubicin-induced
apoptosis, Cardiovasc Res. 85: 118-26.

Ghassami, E., Asghari, G., and Jafarain, A. (2014). Evaluation of cytotoxicity of


Moringa oleifera lams. callus and leaf extracts on HeLa cells. Advanced
Biomedical Research. 3(194): 1-5.

Ghosh, N. (2013). Anticancer effect of moringa oleifera leaf extract on human


breast cancer cell, Thesis, Kolkata India, School of Bioscience and
Engineering Jadavpur University. Hal. 1-57.

Gibbs, J.B. (2000). Mechanism-Based Target Identification and Drug Discovery


in Cancer Research. Science. 287(5460): 1969-1973.

Givan, A.L. (2001). Flowcytometry First Principles. New York: Wiley-Liss Inc.
Hal. 115-116,123.

Goncalves, E.M., Ventura, C.A., Yano. T., Macedo, M.L.D., and Ganeri, S.C.
(2006). Morphological and Growth Alterations In Vero Cells
Transformed by Cysplatin. Cell Biology International. 30(6): 485-494.

Hahn, W.C., and Weinberg, R.A. (2002). Modelling The Molecular Circuitry of
Cancer. Nature Reviews Cancer. 2(5): 331-341.

Hanani, E. (2017). Analisis Fitokimia. Jakarta: Penerbit buku kedokteran (EGC).


Hal. 11-13

Handayani, R., Sugiyanto., dan Salamah, N. (2001). Uji Sitotoksisitas Senyawa


Aktif Komponen Daun Gynura procumbens (Lour) Merr Terhadap
Beberapa Cell Line. Majalah Farmasi Indonesia. 12(3): 140-151.

Harborne, J.B. (1996). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa


Tumbuhan. Penerjemah Kosasih Padmawinata. Edisi II. Bandung: ITB
Press. Halaman 152-153.

Hartono, N.W.B. (2009). Pengaruh Alpinia galanga (Lengkuas) Terhadap


Aktivitas Proliferasi Sel dan Indeks Apoptosis pada Adenokarsinoma
Mamma Mencit C3H. Tesis. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Hal. 31-35, 46-47.

Hermawan, A., Nur, K.A., Samoko, D.D., Putri, P., and Meiyanto, E. (2012),
Ethanolic Extract of Moringa oleifera Increased Cytotoxic Effect of
Doxorubicin on Hela Cancer Cells. Journal of Natural Remedies.
12(2):106–114.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Hossain, N., Mirghani, M.E.S., and Raus, B.R., (2015). Optimization of Moringa
oleifera Leaf Extraction and Investigation of Antibreast Cancer Activity
with Leaf Extract. Engineering International. Vol.3.No.2: 97-103

Hostanska, K., Nisslein, T., Freudenstein, J., Reichling, J., and Saller, R. (2004).
Evaluation of Cell Death Caused by Triterpene Glycosides and Phenolic
Substances from Cimifuga racemosa Extract in Human MCF-7 Breast
Cancer Cells. Biologycal & Pharmaceutical Bulletin. 27(12): 1970-1975.

Huang, Y., Bruyne, T.D., Apers, S., Ma, Y., Claeys, M., Berghe, V., Pieters, L.,
and Vlietinck, A. (1998). Complement Inhibiting Cucurbitacin
Glycosides from Picriafel-terrae. J.Nat. Prod. 61: 757-761.

Imai, Y., Ishikawa, E., Asada, S., and Sugimoto, Y. (2005). Estrogen Mediated
Post Transcriptional Down-Regulation of Breast Cancer Resistance
Protein/ABCG2. Cancer Research. 65(2): 596-604.

Ingvarsson, S., Sigbjornsdottir., Bjarnveig, I., Huiping, C., Hafsteindottir, S.H.,


Ragnarson, G., et al. (2002). Mutation Analysis of The CHK2 Gene in
Breast Carcinoma ang Other Cancers. Breast Cancer Research. 4: R4.

Juliano, R.L., and Ling, V. (1976). A Surface Glycoprotein Modulating Drug


Permeability in Chinese Hamster Ovary Cell Mutants. Biochimica et
Biophysica Acta. 455(1): 152-162.

Junedi, S., Susidarti, R.A., dan Meiyanto, E. (2010). Naringenin Meningkatkan


Efek Sitotoksik Doxorubicin pada Sel Kanker Payudara T47D Melalui
Induksi Apoptosis. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 8(2): 85-90.

Karim, A.A.N., Ibrahim, D.M., Kntayya, B.S., Rukayadi, Y., Hamid, A.H., and
Razis, A.F.A. (2016). Moringa oleifera Lam: Targeting
Chemoprevention. Asian Pasific Journal of Cancer Prevention. 17(8):
3675-3686.

Kemenkes RI. (2015). Kanker Pembunuh Papan Atas. Edisi 55. Jakarta:
Kemenkes RI Mediakom. Hal. 11, 25.

Khalafalla, M. M., Abdellatef, E., Dafalla, H. M., Nassrallah, A. A., Aboul-Enein,


K. M., Lightfoot, D. A., et al. (2010). Active principle from Moringa
oleifera Lam leaves effective against two leukemias and a
hepatocarcinoma. Afr J Biotechnol; 9(49), 8467-8471.

King, R.J.B. (2000). Cancer Biology. Edisi 2. London School of Biological


Sciences, University of Surrey. Hal. 228-231, 263-264.

Kitagawa, S. (2006). Inhibitory Effect of Polyphenols on P-Glycoprotein


Mediated Transport. Biologycal & Pharmaceutical Bulletin. 29(1): 1-6.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Kresno, B.S. (2014). Biomarker Keganasan Patobiologi, Patofisiologi dan
Aplikasi Klinik. Edisi Pertama. Badan Penerbit FKUI. Jakarta. Hal. 46-
51.

Krisnadi, A. D. (2015). Kelor Super Nutrisi. Pusat Informasi dan Pengembangan


Tanaman Kelor Indonesia. Blora. Hal. 8-11.

Kumar, R., Babu, B.P.,Bharavi, R., Venkateswarlu, U., Devi, V. R., and Srilatha,
C. (2011) Protective Effect of Moringa oliefera Lam Leaf Extract in
Paracetamol Induced Hepatotoxic Rat. IJPI’s Journal of Pharmacology
and Toxicology. 1:5.

Kupcsik, L., and Martin, J.S. (2011). Mammalian Cell Viability: Methods and
Protocols. New York: Humana Press. Hal. 13-18.

Kurniasih. (2013). Khasiat dan Manfaat Daun Kelor. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press. Hal. 166-169.

Lapenna, S., and Giordano, A. (2009). Cell Cycle Kinases as Therapeutic Targets
for Cancer, Nat. Rev. Drug Discov. 8(7): 547-566.

Lay, B.W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: Raja Grafindo


Persada. Hal. 57-58, 109.

Leone, A.,Spada, A., Battezzatti, A., Schiraldi, A.,Aristil, J., and Bertoli, S.
(2015). Cultivation, Genetic, Ethnopharmacology, Phytochemistry and
Pharmacology of Moringa oleifera Leaves: An Overview. International
Journal of Molecular Science. 16, 12791-12835

Luqman, S., Srivastava, S., Kumar, R., Maurya, A. K., and Chanda, D. (2012).
Experimental assessment of Moringa oleifera leaf and fruit for its
antistress, antioxidant, and scavenging potential using in vitro and in vivo
assays. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine.
Article ID 519084. doi:10.1155/2012/519084. Hal. 1-12.

Machana,S., Natthida,W., Sahapat, B.,Bungorn S., and Thaweesak, T. (2011).


Cytotoxic And Apoptotic Effects of Six Herbal Plants Against The
Human Hepatocarcinoma (HepG2) Cell Line. Chinese Medicine. 6:39.

Marzban, H., Belgio, D.R.M., Alizadeh, J., Ghavami, S., Zachariah, M.R., and
Rastegar, M. (2015). Cellular commitment in developing cerebellum.
Frontiers in Cellular Neuroscience. 8(450): 1-26.

Mechetner, E., Kyshtoobayeva, A., Zonis, S., Kim, H., Stroup, R., Garcia, R., et
al. (1998). Levels of Multidrug Resistance (MDR1) PGlycoprotein
Expression by Human Breast Cancer Correlate with in vitro Resistance to
Taxol and Doxorubicin. Clinical Cancer Research. 4(2): 389-398.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Meiyanto, E., Susidarti, A.R., Handayani, S., and Rahmi, F. (2008). Ekstrak
Etanolik Biji Buah Pinang (Areca catechu L.) Mampu Menghambat
Proliferasi dan Memacu Apoptosis Sel MCF-7. Majalah Farmasi
Indonesia. 19(1): 12-19.

Mutiara, T., Harijono. Estiasih, T., and Sri, E.W. (2013) Effect lactagogue
moringa leaves (Moringaoleifera Lam) powder in rats, J. Basic Appl. Sci.
Res. 3(4). ISSN 2090-4304. 430–434.

Nair, S., and Varalakshmi, K. N. (2011). Anticancer, cytotoxic potential of


Moringa oleifera extracts on HeLa cell line. Journal of Natural
Pharmaceuticals. 2(3), 138-142.

Nilius, B., Amana, G.S., Guderman, T., Jahn, R., Lill, R., Offermanns, S., et al.
(2013). Review of Physiology, Biochemistry and Pharmacology.
Springer International Publishing Switzerland. Hal. 44.

Nugroho, A.E., Hermawan, A., Putri, D.D.P., Novika, A., and Meiyanto, E.
(2013). Combinational Effects of Hexane Insoluble Fraction of Ficus
septica Burm. F. and Doxorubicin Chemotherapy on T47D Breast Cancer
Cells. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 3(4): 297-302.

Obakan, P., Arisan, D.E., Gurkan, C.A., and Unsal, P.N. (2017). Breast cancer
and flavonoid as treatment strategy. Intech Open Science. Hal. 305-326.

Onuki, R., Kawasaki, H., Baba, T., and Taira, K. (2004). Analysis of A
Mitochondrial Apoptotic Pathway Using Bid-Targeted Ribozymes in
Human MCF7 Cells in the Absence of A Caspase-3-Dependent Pathway.
Antisense and Nucleic Acid Drug Development. 13 (2): 75-82.

Osman, H.M., Shayoub, M.E., Babiker, E.M., Faiza, A.O., Ahmed, M.E.,
Elhassan, M., et al. (2015). Assesment of acute toxicity and LD50 of
Moringa oleifera ethanolic leave extract in albino rats and rabbits.
Journal of Medicinal and Biological Science Research. 1(4): 38-43.

Padanilam, B.J. (2003). Cell Death Induced by Acute Renal Injury: A Perspective
on the contributions of Apoptosis and Necrosis. Am J Physiol Renal
Physiol. 284: 608–627.

Pao, M.L., Clamon, G., Maclndoe, J., White, M., Hukku, B., and Peterson, W.D.
(1985). Development of A New Human Breast Cancer Line Ia-270.
Breast Cancer Researh and Treatment. 5(1): 23-29.

Park, M.H., and Hong, H.J. (2016). Roles of NF-kB in Cancer and Inflamatory
Diseases and Their Therapeutic Approaches. Cell.5(15): 1-13.

Petronelli,A.,Pannitteri, G., and Testa, U. (2009). Triterpenoids as New Promising


Anticancer Drugs. PubMed. 20(10):880-892.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Quiles, J.L, Huertas, J.R., Battino, M., Mataix, J., and Ramerez. M.C. (2002).
Antioxidant Nutrients and Adriamycin Toxicity. Toxicol, 180 : 79-95.

Rao, A. V., Devi, P. U., and Kamath, R. (2001). In vivo radioprotective effect of
Moringa oleifera leaves. Indian Journal of Experimental Biology,; 39(9),
858-863.

Rasjidi, I. (2010). Epidemiologi Kanker Pada Wanita. Cetakan pertama. Jakarta:


CV. Sagung Seto. Hal. 130-131.

Ratnasari A.A., Winarto, H., Purbadi, S., Sekarutami, M.S., dan Sutrisna, B.
(2016). Hubungan Ekspresi NF-kB dengan Respons Radiasi Kanker
Serviks Stadium Lokal Lanjut. Departemen Obstetri dan Ginekologi FK
Universitas Sebelas Maret. 4(1): 31-36.

Reynolds, C.P., and Maurer, B.J. (2005). Evaluating Response to Antineoplastic


Drug Combinations in Tissue Culture Models. Methods in Molecular
Medicine. 110: 173-183.

Ruddon, R.W. (2007). Cancer Biology. New York: Oxford University Press. Hal.
117-196.

Sambrook, J., Fritsch, E.F., and Maniatis, T. (1989). Molecular Cloning A


Laboratory. Edisi Kedua. New York: Cold Spring Harbor Laboratory
Press. Hal. 75-79.

Sari, I.D.,Yasin, H.A., Arovia, A.R., Mayani, I.U., dan Darmawan, E. (2015).
Peningkatan Sistem Imun oleh Kombinasi Ekstrak Etanol Awar-Awar
(Ficus septica burm. F) dan Ekstrak etanol Daun Kelor (Moringa
oleifera) Sebagai Kokemoterapi Kanker pada Tikus Betina Galur
Sprague Dawley yang Diinduksi Doksorubisin. Pharmaciana. Vol.5. No.
2: 147-152.

Satyanarayana, A., and Kaldis, P. (2009). Mammalian Cell-cycle Regulation:


Several Cdks, Numerous Cyclins, and Diverse Compensatory
Mechanisms. Oncogene. 28: 2925-2939.

Sayed, M.D., El-Attar, M.M., and Husein, M.A. (2009). Evaluation of


Flowcytometric Immunophenotyping and DNA Analysis for Detection of
Malignant Cells in Serosal Cavity Fluids. Diagn cytopathol. 37(7): 498-
504.

Schafer, J.M., Lee, E.S., Regan, R.M., Yao, K., and Jordan, V.C. (2000). Rapid
Development of Tamoxifen-stimulated Mutant p53 Breast Tumors
(T47D) in Athymic Mice. Clinical Cancer Research. 6: 4373-4380.

Sekti, D.A., Mubarok, M.F., Armandani, I., Junedy, S., dan Meiyanto, E. (2010).
Ekstrak Etanolik Daun Awar-Awar (Ficus septica Burm. F) Memacu

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Apoptosis Sel Kanker Payudara MCF-7 Melalui Penekanan Ekspresi
Bcl-2. Majalah Obat Tradisional. 15(3): 100-104.

Sharma, R.A. (2000). Cancer Chemoprevention: A Clinical Reality. Journal of the


Royal Society of Medicine. 93(10): 518-520.

Sharma, G., Tyagi, A.K., Singh, R.P., Chan, D.C.F., and Agarwal, R. (2004).
Synergistic Anti-Cancer Effect of Grape sedd Extract and Covenentional
Cytotoxic Agent Doxorubicin Against Human Breast Carcinoma Cells,
Breast Cancer Research and Treatment. 85(1): 1-12.

Singal, P.K., and Iliskovic, N. (1998). Doxorubicin-Induced Cardiomyopathy. The


New England Journal of Medicine. 339: 900-905.

Singal, P.K., Li, T., Kumar, D., Danelisen, I., and Iliskovic, N. (2000).
Adriamycin-induced heart failure: mechanism and modulation. Mol Cell
Biochem. 207: 77–86.

Sinha, M., Das, D. K., Bhattacharjee, S., Majumdar, S., and Dey, S. (2011). Leaf
extract of Moringa oleifera prevents ionizing radiation-induced oxidative
stress in mice. Journal of Medicinal Food. 14(10), 1167-1172.

Sinha, M., Das, D. K., Datta, S., Ghosh, S., and Dey, S. (2012). Amelioration of
ionizing radiation induced lipid peroxidation in mouse liver by Moringa
oleifera Lam. leaf extract. National Journal of Medicinal Food. vol 50:
209-215

Siu, W.Y., Yam, C.H., and Poon, R.Y.C. (1999). G1 versus G2 Cell Cycle After
Adriamycin-induced Damage in Mouse Swiss3T3 Cells. Federation of
European Biochemical Societies. 461: 299-305.

Sreelatha, S.A., Jeyachitra, B., and Padma, P.R. (2011). Antiproliferation and
induction of apoptosis by Moringa oleifera leaf extraction human cancer
cells. Food Chem Toxicol. 6: 1270-5.

Srivastava, S.K., and Singh, S.V. (2004). Cell cycle arrest, apoptosis induction
and inhibition of nuclear factor kappa B activation in antiproliverative
activity of benzyl isothiocyanate against human pancreatic cancer cells.
Carcinogenesis. 25(9): 1701-1709.

Stitcha, K.R., Kenney, P.M., Boysen, G., Liang, H., Su, X., Wang, M., et al.
(2002). Effects of benzyl isothiocyanate phenethyl isothiocyanate on
DNA adduct formation by a mixture of benzo[a]pyrene and 4-
(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanone in A/J mouse lung.
Carcinogenesis. 23(9): 1433-1439.

Sudiana, I.K. (2011). Patobiologi Molekuler Kanker. Jakarta: Salemba Medika.


Hal. 1, 45-52.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Suismono, Widaningrum, dan Miskiyah. (2007). Bahaya Kontaminasi Logam
Berat dalam Sayuran dan Alternatif Pencegahan Cemarannya. Buletin
Teknologi Pascapanen Pertanian. 3: 16-27.

Surh, Y.J. (1999). Molecular Mechanism of Chemopreventive Effect of Selected


Dietary and Medicinal Phenolic Substances. Mutation Research. 428(1-
2): 305-327.

Sutalangka, C. Wattanathorn, J. Muchimapura, S., and Thukham-mee. (2013)


Moringa oleifera mitigates memory impairment and neurodegenerationin
animal model of age-related dementia, Oxid. Med. Cell. Longev. : 1–9.

Tsao, A.S., Kim, E.S., and Hong, W.K. (2004). Chemoprevention of Cancer. CA
Cancer Journal for Clinicians. 54(3): 150-180.

Torosian, M.H. (2002). Breast Cancer: A Guide to Detection and Multidiciplinary


Theraphy. New Jersey: Humana Press Inc. Hal. 12-13.

Tyagi, A.K., Agarwal, C., Chan, D.C.F., and Agarwal, R. (2004). Synergistic
Anti-Cancer Effects of Silibinin with Conventional Cytotoxic Agents
Doxorubicin, Cisplatin and Carboplatin against Human Breast
Carcinoma MCF-7 and MDA-MB468 Cells. Oncology Reports. 11(2):
493-499.

Vermeulen, K., Berneman, Z.N., and Bockstaele, D.R. (2003). Cell Cycle and
Apoptosis, Cell Prolif. 36(3): 165-175.

Wargasetia, T.L. (2005). Terapi Gen pada Penyakit Kanker. JKM. 4(2): 24- 37.

Wattanapitayakul, S.K., Chularojmontri, L., Niumsakul, S., Herunsalee, A.,


Charuchongkolwongse, S., and Bauer, J.A. (2005). Screening of
Antioxidants from Medicinal Plants for Cardioprotective Effect Against
Doxorubicin Toxicity. Basic and Clinical Pharmacology and Toxicology.
96(1): 80-87.

Weerapreeyakul, N., Nonpunya, A., Barustux, S., Thitimetharoch, T., and


Sripanidkulchai, B. (2012). Evaluation of The Anticancer Potential of Six
Herbs Against A Hepatoma Cell Line. Chinese Medicine. 7(15): 1-7.

World Health Organization. (1998). Quality Control Methods For Herbal


Materials. WHO/PHARM/92.559. Geneva: WHO. Hal. 33-35.

Wong, H.L., Bendayan, R., Rauth, A.M., Xue, H.Y., Babakhanian, K., and Wu,
X.Y. (2006). A Mechanistic Study of Enhanced Doxorubicin Uptake and
Retention in Multidrug Resistant Breast Cancer Cells Using A Polymer-
Lipid Hybrid Nanoparticle System. The Journal of Pharmacology and
Experimental Therapeutics. 317(3): 1372-1381.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Xiao, Z., Chen, Z., Gunasekera, A.H., Sowin, T.J., Rosenberg, S.H., Fesik, S., et
al. (2003). Chk1 Mediates S and G2 Arrest Through Cdc25A
Degradation in Response to DNA-Damaging Agents. J. Biol. Chem.
278(24): 21767-21773.

Yang, F., Teves, S.S., Kemp, J.C., and Henikoff, S. (2014). Doxorubicin, DNA
Torsion, and Chromatin Dynamics. Biochimica et Biophysica Acta
(BBA). 1845(1): 84-89.

Yudissanta, A., dan Ratna, M. (2012). Analisis Pemakaian Kemoterapi pada


Kasus Kanker Payudara dengan Menggunakan Metode Regresi Logistik
Multinominal (Studi Kasus Pasien di Rumah Sakit “X” Surabaya. Jurnal
Sains dan Seni ITS. 1(1): D112-D117.

Yurina, V., Sujuti, H., Rahmani, E. and Nopitasari, A.R. (2014). The Role of
Moringa oleifera Extract Leaves in Inducing Apoptosis in Breast Cancer
Cell Line. International Journal of Pharmacological and Pharmaceutical
Science. Vol.1, No. 12: 204-211

Zampieri, L., Bianchi, P., Ruff, P., and Arbuthnot, P. (2002). Differential
Modulation by Estradiol of P-glycoprotein Drug Resistance Protein
Expression in Cultured MCF7 and T47D Breast Cancer Cells. Anticancer
Res. 22(4): 2253-9.

Zhang, N., Fu, J.N., and Chou, C.T. (2016). Synergistic Combination of
Microtubule Targeting Anticancer Fludelone with Cytoprotective
Panaxytriol Derived from Panax Ginseng Against Mx-1 Cells in vitro:
Experimental Design and Data Analysis Using the Combination Index
Method. Am. J. Cancer. Res. 6(1): 97-104.

Zhao, L., Wientjes, M.G., and Au, J.L.S. (2004). Evaluation of Combination
Chemotherapy: Integration of Nonlinear Regression, Curve Shift,
Isobologram, and Combination Index Analyses. Clinical Cancer
Research. 10: 7994-8004.

Zhou, J., Liu, M., Aneja, R., Chandra, R., Lage, H., and Joshi, H.C. (2006).
Reversal of P-glycoprotein Mediated Multidrug Resistance in Cancer
Cells by The c- Jun-NH2-Terminal Kinase. Cancer Research. 66(1): 445-
452.

Zimmermann, M., and Meyer, N. (2011). Mammalian Cell Viability Annexin


V/7-AAD Staining in Keratinocytes. Editor Martin James
Stoddart.Switzerland: Humana Press. Hal.57-63.

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 1. Hasil identifikasi daun kelor (Moringa oleifera L.)

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 2. Gambar daun kelor (Moringa oleifera L.)

Keterangan:
a. Gambar daun kelor
b. Gambar simplisia daun kelor (SDK)

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 3. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk SDK

Untano

Keterangan (Perbesaran 10 x 40):


1. Berkas pembuluh dan mesofil
2. Rambut penutup
3. Epidermis atas dengan jaringan palisade
4. Epidermis bawah dengan stomata tipe anomositik
5. Mesofil dengan sel minyak

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 4. Bagan ekstraksi serbuk simplisia secara maserasi bertingkat

Serbuk simplisia

dimaserasi dengan n-heksana

Ampas Maserat

dimaserasi dengan etil asetat dipekatkan

Ampas Maserat Ekstrak n-heksana

dimaserasi dengan etanol dipekatkan diskrining

Hasil

Maserat Ampas

dipekatkan
Ekstrak etil asetat*

Ekstrak etanol diskrining

Hasil
diskrining

Hasil

Keterangan : * = Uji Sitotoksik dan Uji Kombinasi dengan doksorubisin

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 5. Perhitungan kadar air SDK

Volume air (mL)


%Kadar air = x100%
Berat sampel (g)

Nama Berat Volume Volume Selisih Kadar Rata-


Sampel awal (ml) akhir volume air (%) rata (%)
(g) (ml) (ml)
5,0017 2,10 2,40 0.30 5,99

SDK 5,0019 2,40 2,65 0,25 4,99 5,32

5,0020 2,65 2,90 0,25 4,99

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 6. Perhitungan kadar sari larut air SDK

Berat sari (g) 100


% Kadar sari larut air = x x 100%
Berat sampel (g) 20

Nama Berat sampel Berat sari (g) Kadar sari Rata-rata (%)
(g) larut dalam air
(%)
5,0130 0,3148 31,40

SDK 5,0160 0,3464 34,55 32,78

5,0140 0,3249 32,40

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 7. Perhitungan kadar sari larut etanol SDK

Berat sari (g) 100


% Kadar sari larut dalam etanol = x x 100%
Berat sampel (g) 20

Nama Berat sampel Berat sari (g) Kadar sari Rata-rata (%)
(g) larut dalam
etanol (%)
5,0160 0,1457 14,55

SDK 5,0150 0,1435 14,30 14,42

5,0150 0,1444 14,40

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 8. Perhitungan kadar abu total SDK

Berat abu (g)


% Kadar abu total = x 100%
Berat sampel (g)

Nama Berat sampel Berat abu (g) Kadar abu Rata-rata (%)
(g) total (%)
2,0232 0,2178 10,77

SDK 2,0225 0,2127 10,52 10,67

2,0226 0,2168 10,72

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 9. Perhitungan kadar abu tidak larut asam SDK

Berat abu (g)


% Kadar abu tidak larut asam = x 100%
Berat sampel (g)

Nama Berat sampel Berat abu (g) Kadar abu Rata-rata (%)
(g) total (%)
2,0232 0,0190 0,94

SDK 2,0225 0,0197 0,97 0,95

2,0226 0,0189 0,93

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 10. Perhitungan persen sel hidup sel MCF-7

a. Kontrol sel dan kontrol media

Absorbansi Rata-rata Absorbansi Rata-rata Absorbansi


kontrol sel absorbansi kontrol media absorbansi kontrol sel
kontrol sel kontrol media dikurangi kontrol
media
0,463 0,097
0,438 0,447 0,098 0,097 0,350
0,441 0,096

b. EEADK
Contoh pada kadar 1000 ug/mL:
0,137 - 0,097
% Sel Hidup = x 100%
0,350
% Sel Hidup = 11,51%

Kadar % sel hidup


Absorbansi Absorbansi rata-rata
(µg/mL) rata-rata
1000 0,134 0,136 0,142 0,137 11,51
500 0,179 0,183 0,175 0,179 23,41
250 0,284 0,281 0,292 0,286 53,85
125 0,305 0,304 0,307 0,305 59,47
62.5 0,330 0,347 0,354 0,344 70,41
31.25 0,343 0,342 0,344 0,343 70,22
15.625 0,388 0,362 0,377 0,376 79,54

c. Doksorubisin
Contoh pada kadar 1000 ug/mL:
0,249 - 0,097
% Sel Hidup = x 100%
0,350
% Sel Hidup = 43,39%

Kadar % sel hidup


Absorbansi Absorbansi rata-rata
(µg/mL) rata-rata
24 0,248 0,248 0,251 0,249 43,39
12 0,268 0,262 0,258 0,263 47,29
6 0,267 0,260 0,271 0,266 48,24
3 0,288 0,289 0,272 0,283 53,09
1,5 0,310 0,293 0,308 0,304 58,99
0,75 0,283 0,302 0,298 0,294 56,33
0,375 0,333 0,321 0,315 0,323 64,51

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 11. Perhitungan persen sel hidup sel T47D

a. Kontrol sel dan kontrol media

Absorbansi Rata-rata Absorbansi Rata-rata Absorbansi


kontrol sel absorbansi kontrol media absorbansi kontrol sel
kontrol sel kontrol media dikurangi kontrol
media
0,833 0,070
0,782 0,797 0,071 0,070 0,727
0,777 0,069

b. EEADK
Contoh pada kadar 1000 ug/mL:
0,102 - 0,070
% Sel Hidup = x 100%
0,797
% Sel Hidup = 4,35%

Kadar % sel hidup


Absorbansi Absorbansi rata-rata
(µg/mL) rata-rata
1000 0,099 0,103 0,103 0,102 4,35
500 0,161 0,189 0,179 0,176 14,62
250 0,480 0,527 0,567 0,525 62,51
125 0,569 0,564 0,642 0,592 71,72
62.5 0,627 0,600 0,667 0,631 77,18
31.25 0,637 0,763 0,672 0,691 85,34
15.625 0,723 0,749 0,726 0,733 91,11

c. Doksorubisin
Contoh pada kadar 1000 ug/mL:
0,215 - 0,070
% Sel Hidup = x 100%
0,797
% Sel Hidup = 19,94%

Kadar % sel hidup


Absorbansi Absorbansi rata-rata
(µg/mL) rata-rata
24 0,234 0,209 0,202 0,215 19,94
12 0,183 0,188 0,187 0,186 15,95
6 0,236 0,235 0,229 0,233 22,46
3 0,402 0,399 0,360 0,387 43,58
1,5 0,523 0,523 0,523 0,523 62,28
0,75 0,500 0,516 0,521 0,512 60,82
0,375 0,523 0,486 0,493 0,501 59,21

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 12. Perhitungan persen sel hidup sel Vero

a. Kontrol sel dan kontrol media

Absorbansi Rata-rata Absorbansi Rata-rata Absorbansi


kontrol sel absorbansi kontrol media absorbansi kontrol sel
kontrol sel kontrol media dikurangi kontrol
media
0,405 0,105
0,407 0,405 0,108 0,116 0,289
0,402 0,135

b. EEADK
Contoh pada kadar 1000 ug/mL:
0,143 - 0,116
% Sel Hidup = x 100%
0,289
% Sel Hidup = 9,47%

Kadar % sel hidup


Absorbansi Absorbansi rata-rata
(µg/mL) rata-rata
1000 0,142 0,143 0,145 0,143 9,47
500 0,367 0,382 0,379 0,376 90,07
250 0,395 0,387 0,388 0,390 94,92
125 0,401 0,388 0,399 0,396 96,99
62.5 0,381 0,400 0,354 0,378 90,88
31.25 0,384 0,380 0,403 0,389 94,57
15.625 0,367 0,383 0,381 0,377 90,42

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 13. Bagan pembuatan media RPMI

RPMI Sachet* 2 g Hepes 2 g NaHCO3

Dimasukkan ke dalam erlenmeyer

Ditambahkan 800 mL aquabidest steril

Dihomogenkan menggunakan stirer magnet

Diatur pH 7,2 – 7,4 (HCl 1 N atau NaOH 1 N)

Ditambahkan aquabidest steril sampai 1 liter


Larutan media

Dilakukan sterilisasi dengan penyaringan

Ditampung dalam botol steril

Diberi identitas pada botol media

Disimpan pada suhu 2 – 8oC

Media RPMI

Keterangan : * = dapat diganti media DMEM atau M199 tergantung sel

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 14. Bagan pembuatan media komplit (MK) RPMI

Fetal Bovine Penisilin- Fungizone RPMI ad


Serum (FBS) Streptomisin (amphotericin B) 100%
(10%) (2%) (0,5%)
%)

Dicampur

Diberi identitas pada botol MK

Disimpan pada suhu 2 – 8oC

Media Komplit (MK)

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 15. Bagan penumbuhan sel

Sel MCF-7, T47D dan Vero

Diambil dari freezer

Diambil beberapa tetes

Konikel
Dimasukkan ke dalam konikel yg berisi RPMI

Disentrifus 6000 rpm selama 5 menit

Dibuang supernatan

Ditambahkan 4 mL MK RPMI

Diresuspensi hingga homogen


Flask

Dimasukkan ke dalam flask

Ditambahkan 5 mL MK ke dalam setiap flask

Dihomogenkan

Diamati kondisi sel dengan mikroskop inverted

Diberi identitas pada flask

Disimpan dalam inkubator CO2

Sel MCF-7, T47D


dan Vero

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 16. Bagan panen sel

Sel MCF-7,
T47D dan Vero

Dipersiapkan dan dikondisikan

Diamati apakah sel telah konfluen 80%

Dibuang MK dari flask dengan mikropipet


Sel yang melekat

Dicuci sel 2 x dengan PBS

Ditambahkan 400 µL trypsine-EDTA 0,25%

Diinkubasi dalam inkubator CO2 selama 5 menit

Ditambahkan 4 mL MK

Di resuspensi dengan mikropipet

Diamati sel dibawah mikroskop inverted

Diresuspensi kembali jika masih ada sel yang menggerombol

Ditransfer sel ke dalam tabung konikel

Panen Sel MCF-7,


T47D dan Vero

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 17. Bagan penghitungan sel

Kultur Sel T47D,


MCF-7 dan Vero

Diambil 10 µL panenan sel

Dipipetkan ke dalam hemositometer

Dihitung jumlah sel dibawah mikroskop

Jumlah Sel
T47D, MCF-7
dan Vero

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 18. Bagan pembuatan larutan uji

EEADK

Ditimbang sebanyak 10 mg

Dimasukkan ke dalam polytube

Dilarutkan dalam 200 µL DMSO

Divortex

Dibuat pengenceran sampai diperoleh konsentrasi


1000 µg/mL, 500 µg/mL, 250 µg/mL, 125 µg/mL,
62,5 µg/mL, 31,25 µg/mL, dan 15,625 µg/mL

Larutan Uji

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 19. Bagan pengujian sitotoksik

Sel

Ditanam pada microplate 96 sumuran dengan


kepadatan 1 x 104/ sumuran
Diinkubasi selama 24 jam

Dibuang medium

Ditambahkan medium baru

Ditambahkan larutan uji

Diinkubasi selama 24 jam

Dibuang media dan larutan uji setelah 24 jam

Dicuci dengan PBS

Ditambahkan 100 µL MK dan 10 µL MTT (5 mg/mL)

Diinkubasi selama 4 - 6 jam

Ditambahkan SDS (sebagai stopper)

Dibungkus dengan aluminium foil

Dibiarkan selama 1 malam

Dibaca serapan dengan Microplate reader (λ=595 nm)

Absorbansi

Dihitung % sel hidup

Dihitung IC50 dengan analisa probit menggunakan


SPSS 24
IC50

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 20. Bagan pengujian flowsitometri

Sel

Ditanam pada microplate 6 sumuran dengan


kepadatan 1 x 106 / sumuran
Diinkubasi selama 24 jam

Dibuang medium

Ditambahkan medium baru

Ditambahkan larutan uji

Diinkubasi selama 24 jam

Larutan dipindahkan ke dalam tabung konikel


berdasarkan konsentrasi

Dicuci dengan 1000 µL PBS. Hasil cucian


dipindahkan konikel berdasarkan konsentrasi

Ditambahkan 250 µL Tripsin - EDTA

Ditambahkan MK untuk menginaktivasi Tripsin.


Kumpulkan ke dalam konikel berdasarkan konsentrasi

Dicuci lagi dengan PBS. Hasil cucian dipindahkan


konikel berdasarkan konsentrasi

Larutan yang terkumpul di masing-masing konikel


disentrifugasi selama 2 menit dengan kecepatan 2500
rpm

Medium dibuang, ditambahkan PBS, diresuspensi.


Suspensi dikumpulkan dalam polytube

disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 3000


rpm

larutan dibuang. Endapan di staining dengan


Propidium Iodida

diukur dengan Flowsitometer


Profil Siklus Sel

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 21. Bagan pengujian imunositokimia

Sel

Dimasukkan 5 x 104 sel tiap sumuran yang telah diberi


coverslip pada bagian dasarnya
Diinkubasi selama 24 jam
Dibuang medium lalu ditambah dengan medium baru
Ditambahkan larutan uji
Diinkubasi selama 24 jam
Dibuang media dan larutan uji setelah 24 jam
Dicuci dengan PBS
Difiksasi dengan metanol dingin selama 30 menit
Metanol dibuang.
Dicuci dengan PBS 2 x masing-masing 500 µL
Dicuci dengan aquades masing-masing 500 µL,
dikeringkan
Ditambahkan 300 µL H2O2 (1 : 9 dalam aquades).
Dicuci dengan PBS 2 x masing-masing 500 µL,
dikeringkan
Ditambahkan prediluted blocking serum. Disimpan
pada temperatur kamar. Didiamkan selama 15 menit.
Ditambahkan antibodi primer Bcl-2/siklin D1.
Didiamkan selama 60 menit. Dicuci dengan PBS 2 x
masing-masing 500 µL, dikeringkan
Ditambahkan antibodi sekunder. Didiamkan 20 menit.
Dicuci dengan PBS 2 x masing-masing 500 µL,
dikeringkan.
Ditambahkan 100 µL larutan label. Didiamkan 10
menit. Dicuci dengan PBS 2 x masing-masing 500 µL,
dikeringkan.
Ditambahkan 100 µL campuran 1 : 100 DAB
Substrat. Didiamkan 10 menit. Dicuci dengan
aquadest masing-masing 500 µL, dikeringkan.
Digenangi dengan 100 µL Mayer Hematoxicilin.
Didiamkan 10 menit. Dicuci dengan aquadest hingga
bersih masing-masing 500 µL,
Coverslip diambil dari masing-masing sumuran
menggunakan pinset. Coverslip diletakkan di atas kaca
objek dikeringkan.
Ditambahkan etanol absolut
Ditambahkan xylol
Ditambahkan entelan untuk melekatkan coverslip
Diamati di bawah mikroskop cahaya

Ekspresi Bcl2/siklin
D1

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 22. Sel MCF-7, T47D dan sel Vero di bawah mikroskop

a b
Keterangan: a. Sel MCF-7 sebelum diberi larutan uji (perbesaran 10 x 10)
b. Sel MCF-7 setelah diberi larutan uji (sel mengalami
perubahan bentuk morfologi) (perbesaran 10 x 10)

a b
Keterangan: a. Sel T47D sebelum diberi larutan uji (perbesaran 10 x 10)
b. Sel T47D setelah diberi larutan uji (sel mengalami
perubahan bentuk morfologi) (perbesaran 10 x 10)

a b
Keterangan: a. Sel Vero sebelum diberi larutan uji (perbesaran 10 x 10)
b. Sel Vero setelah diberi larutan uji (sel mengalami
perubahan bentuk morfologi) (perbesaran 10 x 10)

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 23. Microplate-96 sumuran

Keterangan: microplate-96 sumuran yang berisi sel dan larutan uji


a. 1000 µg/mL
b. 500 µg/mL
c. 250 µg/mL
d. 125µg/mL
e. 62,5 µg/mL
f. 31,25 µg/mL
g. 15,625 µg/mL
h. Kontrol media
i. Kontrol sel

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 24. Hasil IC50 EEADK pada sel MCF-7 dengan analisis probit SPSS
24

Confidence Limits
95% Confidence Limits for Konsentrasi ekstrak 95% Confidence Limits for log ( Konsentrasi
etil asetat daun kelor terhadap MCF 7 ekstrak etil asetat daun kelor terhadap MCF 7b)
Probability Estimate Lower Bound Upper Bound Estimate Lower Bound Upper Bound
a
PROBIT 0.01 26306.351 10540.278 101626.276 4.420 4.023 5.007
0.02 14350.659 6331.778 47908.449 4.157 3.802 4.680
0.03 9769.830 4580.054 29746.051 3.990 3.661 4.473
0.04 7315.951 3588.469 20791.048 3.864 3.555 4.318
0.05 5782.181 2941.715 15540.436 3.762 3.469 4.191
0.06 4732.834 2483.366 12132.866 3.675 3.395 4.084
0.07 3970.683 2140.216 9767.706 3.599 3.330 3.990
0.08 3393.024 1873.069 8045.467 3.531 3.273 3.906
0.09 2940.971 1658.902 6745.419 3.468 3.220 3.829
0.1 2578.285 1483.242 5736.137 3.411 3.171 3.759
0.15 1495.114 931.278 2938.110 3.175 2.969 3.468
0.2 969.588 641.209 1732.119 2.987 2.807 3.239
0.25 668.690 463.846 1104.769 2.825 2.666 3.043
0.3 478.979 345.317 740.884 2.680 2.538 2.870
0.35 351.591 261.298 514.378 2.546 2.417 2.711
0.4 262.193 199.197 366.330 2.419 2.299 2.564
0.45 197.398 151.880 266.077 2.295 2.181 2.425
0.5 149.286 115.074 196.314 2.174 2.061 2.293
0.55 112.900 86.138 146.608 2.053 1.935 2.166
0.6 85.000 63.377 110.351 1.929 1.802 2.043
0.65 63.387 45.612 83.246 1.802 1.659 1.920
0.7 46.529 31.924 62.486 1.668 1.504 1.796
0.75 33.328 21.538 46.239 1.523 1.333 1.665
0.8 22.985 13.799 33.300 1.361 1.140 1.522
0.85 14.906 8.162 22.851 1.173 .912 1.359
0.9 8.644 4.192 14.310 .937 .622 1.156
0.91 7.578 3.566 12.789 .880 .552 1.107
0.92 6.568 2.991 11.321 .817 .476 1.054
0.93 5.613 2.465 9.904 .749 .392 .996
0.94 4.709 1.985 8.532 .673 .298 .931
0.95 3.854 1.551 7.199 .586 .191 .857
0.96 3.046 1.160 5.899 .484 .064 .771
0.97 2.281 .811 4.620 .358 -.091 .665
0.98 1.553 .504 3.340 .191 -.298 .524
0.99 .847 .238 2.006 -.072 -.624 .302
a. A heterogenity factor is used.
b. Logarithm base = 10

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 25. Hasil IC50 Doksorubisin pada sel MCF-7 dengan analisis probit
SPSS 24

Confidence Limits
95% Confidence Limits for Konsentrasi 95% Confidence Limits for log ( Konsentrasi
doksorubisin terhadap MCF 7 doksorubisin terhadap MCF 7b)
Probability Estimate Lower Bound Upper Bound Estimate Lower Bound Upper Bound
a
PROBIT 0.01 1.419E9 1.502E7 2.088E13 9.152 7.022 13.320
0.02 1.475E8 1901150.767 7.343E11 8.169 6.279 11.866
0.03 3.509E7 641849.903 8.781E10 7.545 5.807 10.944
0.04 1.191E7 283528.783 1.777E10 7.076 5.453 10.250
0.05 4948534.292 145847.985 4.847E9 6.694 5.164 9.685
0.06 2342401.672 82816.975 1.604E9 6.370 4.918 9.205
0.07 1215799.522 50416.036 6.085E8 6.085 4.703 8.784
0.08 675862.068 32323.914 2.555E8 5.830 4.510 8.407
0.09 396225.327 21573.231 1.160E8 5.598 4.334 8.065
0.1 242361.327 14867.107 5.612E7 5.384 4.172 7.749
0.15 31666.757 3178.650 2777002.853 4.501 3.502 6.444
0.2 6282.607 930.669 255230.322 3.798 2.969 5.407
0.25 1568.515 323.542 33021.580 3.195 2.510 4.519
0.3 451.117 124.775 5283.894 2.654 2.096 3.723
0.35 142.163 51.273 973.362 2.153 1.710 2.988
0.4 47.524 21.786 197.859 1.677 1.338 2.296
0.45 16.462 9.261 43.531 1.216 .967 1.639
0.5 5.799 3.690 10.609 .763 .567 1.026
0.55 2.043 1.189 3.198 .310 .075 .505
0.6 .708 .293 1.212 -.150 -.533 .084
0.65 .237 .062 .496 -.626 -1.208 -.305
0.7 .075 .012 .200 -1.128 -1.936 -.698
0.75 .021 .002 .077 -1.669 -2.728 -1.115
0.8 .005 .000 .027 -2.271 -3.615 -1.576
0.85 .001 .000 .008 -2.974 -4.650 -2.110
0.9 .000 .000 .002 -3.858 -5.955 -2.781
0.91 .000 .000 .001 -4.071 -6.270 -2.943
0.92 .000 .000 .001 -4.303 -6.613 -3.119
0.93 .000 .000 .000 -4.558 -6.990 -3.312
0.94 .000 .000 .000 -4.843 -7.410 -3.528
0.95 .000 .000 .000 -5.168 -7.891 -3.774
0.96 .000 .000 .000 -5.549 -8.455 -4.062
0.97 .000 .000 .000 -6.018 -9.148 -4.417
0.98 .000 .000 .000 -6.642 -10.071 -4.889
0.99 .000 .000 .000 -7.625 -11.524 -5.632
a. A heterogenity factor is used.
b. Logarithm base = 10

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 26. Hasil IC50 EEADK pada sel T47D dengan analisis probit SPSS 24

Confidence Limits
95% Confidence Limits for Konsentrasi ekstrak 95% Confidence Limits for log ( Konsentrasi
etil asetat daun kelor terhadap T47D ekstrak etil asetat daun kelor terhadap T47Db)
Probability Estimate Lower Bound Upper Bound Estimate Lower Bound Upper Bound
a
PROBIT 0.01 5369.694 2648.687 15995.479 3.730 3.423 4.204
0.02 3622.178 1910.949 9673.375 3.559 3.281 3.986
0.03 2821.555 1552.450 7035.154 3.450 3.191 3.847
0.04 2338.204 1327.280 5538.727 3.369 3.123 3.743
0.05 2006.791 1168.077 4560.986 3.303 3.067 3.659
0.06 1761.984 1047.442 3866.979 3.246 3.020 3.587
0.07 1572.036 951.760 3346.652 3.196 2.979 3.525
0.08 1419.403 873.360 2941.026 3.152 2.941 3.468
0.09 1293.496 807.538 2615.434 3.112 2.907 3.418
0.1 1187.494 751.221 2348.067 3.075 2.876 3.371
0.15 833.467 555.776 1505.531 2.921 2.746 3.178
0.2 629.068 436.060 1060.783 2.799 2.640 3.026
0.25 494.162 353.033 787.982 2.694 2.548 2.897
0.3 397.860 291.068 605.362 2.600 2.464 2.782
0.35 325.459 242.500 475.908 2.512 2.385 2.678
0.4 268.980 203.070 380.370 2.430 2.308 2.580
0.45 223.683 170.206 307.722 2.350 2.231 2.488
0.5 186.559 142.270 251.175 2.271 2.153 2.400
0.55 155.596 118.183 206.296 2.192 2.073 2.314
0.6 129.393 97.223 170.042 2.112 1.988 2.231
0.65 106.939 78.899 140.241 2.029 1.897 2.147
0.7 87.478 62.862 115.288 1.942 1.798 2.062
0.75 70.431 48.848 93.972 1.848 1.689 1.973
0.8 55.326 36.636 75.352 1.743 1.564 1.877
0.85 41.758 26.022 58.647 1.621 1.415 1.769
0.9 29.309 16.800 43.092 1.467 1.225 1.634
0.91 26.907 15.102 40.036 1.430 1.179 1.602
0.92 24.520 13.446 36.972 1.390 1.129 1.568
0.93 22.140 11.831 33.885 1.345 1.073 1.530
0.94 19.753 10.252 30.752 1.296 1.011 1.488
0.95 17.343 8.703 27.543 1.239 .940 1.440
0.96 14.885 7.175 24.209 1.173 .856 1.384
0.97 12.335 5.656 20.671 1.091 .753 1.315
0.98 9.609 4.119 16.769 .983 .615 1.225
0.99 6.482 2.495 12.078 .812 .397 1.082
a. A heterogenity factor is used.
b. Logarithm base = 10

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 27. Hasil IC50 doksorubisin pada sel T47D dengan analisis probit
SPSS 24

Confidence Limits
95% Confidence Limits for Konsentrasi 95% Confidence Limits for log ( Konsentrasi
doksorubisin terhadap T47D doksorubisin terhadap T47Db)
Probability Estimate Lower Bound Upper Bound Estimate Lower Bound Upper Bound
a
PROBIT 0.01 1059.196 345.891 6006.264 3.025 2.539 3.779
0.02 487.024 182.184 2226.091 2.688 2.261 3.348
0.03 297.485 121.206 1186.814 2.473 2.084 3.074
0.04 205.313 89.156 739.820 2.312 1.950 2.869
0.05 151.850 69.419 503.907 2.181 1.841 2.702
0.06 117.466 56.082 363.544 2.070 1.749 2.561
0.07 93.788 46.498 273.134 1.972 1.667 2.436
0.08 76.667 39.303 211.505 1.885 1.594 2.325
0.09 63.826 33.721 167.668 1.805 1.528 2.224
0.1 53.916 29.278 135.432 1.732 1.467 2.132
0.15 26.811 16.246 56.175 1.428 1.211 1.750
0.2 15.387 10.100 28.116 1.187 1.004 1.449
0.25 9.556 6.656 15.670 .980 .823 1.195
0.3 6.230 4.521 9.385 .795 .655 .972
0.35 4.191 3.106 5.935 .622 .492 .773
0.4 2.877 2.130 3.924 .459 .328 .594
0.45 2.000 1.445 2.692 .301 .160 .430
0.5 1.398 .965 1.897 .145 -.015 .278
0.55 .977 .634 1.360 -.010 -.198 .133
0.6 .679 .409 .981 -.168 -.388 -.008
0.65 .466 .258 .706 -.332 -.589 -.151
0.7 .314 .157 .502 -.504 -.803 -.299
0.75 .204 .092 .349 -.689 -1.036 -.457
0.8 .127 .051 .234 -.896 -1.297 -.631
0.85 .073 .025 .147 -1.138 -1.602 -.832
0.9 .036 .010 .082 -1.441 -1.988 -1.085
0.91 .031 .008 .072 -1.514 -2.081 -1.145
0.92 .025 .007 .061 -1.594 -2.183 -1.211
0.93 .021 .005 .052 -1.681 -2.294 -1.284
0.94 .017 .004 .043 -1.779 -2.419 -1.365
0.95 .013 .003 .035 -1.891 -2.562 -1.457
0.96 .010 .002 .027 -2.022 -2.729 -1.565
0.97 .007 .001 .020 -2.183 -2.935 -1.698
0.98 .004 .001 .013 -2.397 -3.208 -1.874
0.99 .002 .000 .007 -2.734 -3.640 -2.152
a. A heterogenity factor is used.
b. Logarithm base = 10

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 28. Hasil IC50 EEADK pada sel Vero dengan analisis probit SPSS 24

Confidence Limits
95% Confidence Limits for Konsentrasi ekstrak 95% Confidence Limits for log ( Konsentrasi
etil asetat daun kelor terhadap sel Vero ekstrak etil asetat daun kelor terhadap sel Verob)
Probability Estimate Lower Bound Upper Bound Estimate Lower Bound Upper Bound
a
PROBIT 0.01 80057.511 8193.918 6.003E8 4.903 3.913 8.778
0.02 47812.449 5893.529 1.658E8 4.680 3.770 8.220
0.03 34475.319 4777.757 7.335E7 4.538 3.679 7.865
0.04 26956.446 4077.903 3.973E7 4.431 3.610 7.599
0.05 22067.439 3583.633 2.414E7 4.344 3.554 7.383
0.06 18611.324 3209.475 1.580E7 4.270 3.506 7.199
0.07 16029.352 2912.969 1.090E7 4.205 3.464 7.037
0.08 14022.983 2670.220 7818513.251 4.147 3.427 6.893
0.09 12417.181 2466.576 5780590.354 4.094 3.392 6.762
0.1 11102.084 2292.403 4378442.908 4.045 3.360 6.641
0.15 6984.107 1689.374 1389105.747 3.844 3.228 6.143
0.2 4832.025 1321.170 559597.693 3.684 3.121 5.748
0.25 3522.727 1066.599 257325.175 3.547 3.028 5.410
0.3 2652.309 877.165 128509.074 3.424 2.943 5.109
0.35 2038.967 729.062 67784.359 3.309 2.863 4.831
0.4 1588.655 609.007 37106.564 3.201 2.785 4.569
0.45 1247.888 508.877 20829.490 3.095 2.707 4.319
0.5 983.968 423.349 11885.677 2.993 2.627 4.075
0.55 775.866 348.720 6849.786 2.890 2.542 3.836
0.6 609.438 282.284 3969.058 2.785 2.461 3.599
0.65 474.845 222.018 2307.613 2.677 2.346 3.363
0.7 365.038 166.562 1348.515 2.562 2.222 3.130
0.75 274.842 115.616 797.892 2.439 2.063 2.903
0.8 200.370 70.815 483.601 2.302 1.850 2.684
0.85 138.628 35.788 301.472 2.142 1.554 2.479
0.9 87.208 13.398 188.272 1.941 1.127 2.275
0.91 77.972 10.425 170.330 1.892 1.018 2.231
0.92 69.043 7.905 153.414 1.839 .828 2.186
0.93 60.401 5.807 137.322 1.781 .764 2.138
0.94 52.022 4.097 121.859 1.716 .612 2.086
0.95 43.874 2.740 106.813 1.642 .438 2.029
0.96 35.917 1.700 91.935 1.555 .230 1.963
0.97 28.084 .940 76.876 1.448 -.027 1.886
0.98 20.250 .425 61.027 1.306 -.372 1.786
0.99 12.094 .120 42.877 1.083 -.921 1.632
a. A heterogenity factor is used.
b. Logarithm base = 10

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 29. Nilai Persen hidup sel MCF-7 dengan pemberian kombinasi
EEADK-Doksorubisin

Kontrol sel
0,447 0,459 0,439 0.433 0.438 0,432
Kontrol media
0,086 0,095 0,088 0,097 0,096 0,097

a. Absorbansi dan persen hidup perlakuan tunggal

µg/mL EEADK % µg/mL %


Doksorubisin
Hidup Hidup
74,63 0,360 0,356 0,402 80,28 2,90 0,302 0,303 0,302 60,08
55,97 0,379 0,371 0,373 80,76 2,18 0,294 0,308 0,307 60,27

37,31 0,390 0,395 0,392 85,93 1,45 0,298 0,310 0,304 60,56
18,66 0,397 0,432 0,438 94,54 0,73 0,328 0,318 0,320 65,73

b. Absorbansi dan persen hidup perlakuan kombinasi EEADK-Doksorubisin

Dokso 2,90 µg/mL % %


Dokso 2,18 µg/mL
Hidup Hidup
EEADK 74,63 0,270 0,275 0,503 50,79 0,284 0,276 0,282 53,85

µg/mL 55,97 0,264 0,261 0,267 49,07 0,274 0,255 0,253 48,11

37,31 0,271 0,253 0,267 48,97 0,261 0,244 0,242 44,76

18,66 0,267 0,273 0,271 50,89 0,241 0,245 0,236 42,37

Dokso 1,45 µg/mL % %


Dokso 0,73 µg/mL
Hidup Hidup
EEADK 74,63 0,166 0,167 0,146 19,10 0,287 0,274 0,266 52,42

µg/mL 55,97 0,155 0,152 0,137 15,75 0,276 0,277 0,265 51,56

37,31 0,164 0,136 0,140 15,37 0,266 0,256 0,244 46,58

18,66 0,162 0,153 0,137 16,52 0,244 0,245 0,245 43,51

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 30. Nilai Persen hidup sel T47D dengan pemberian kombinasi
EEADK-Doksorubisin

Kontrol sel
0,820 0,843 0,835 0.875 0.840 0,835
Kontrol media
0,079 0,077 0,083 0,084 0,087 0,093

a. Absorbansi dan persen hidup perlakuan tunggal


% µg/m %
µg/mL EEADK Doksorubisin
Hidup L Hidup
93,28 0,689 0,697 0,668 79,32 0,70 0,128 0,119 0,119 5,04
69,96 0,771 0,756 0,728 88,16 0,53 0,127 0,127 0,124 5,57

46,64 0,747 0,812 0,781 91,90 0,35 0,127 0,154 0,148 7,811
23,32 0,786 0,803 0,798 93,58 0,18 0,383 0,348 0,354 36,68

b. Absorbansi dan persen hidup perlakuan kombinasi EEADK-Doksorubisin

Dokso 0,70 µg/mL % %


Dokso 0,53 µg/mL
Hidup Hidup
EEADK 93,28 0,135 0,136 0,144 7,20 0,129 0,128 0,132 6,02

µg/mL 69,96 0,147 0,160 0,155 9,26 0,126 0,134 0,140 6,54

46,64 0,165 0,171 0,164 10,94 0,135 0,129 0,127 6,14

23,32 0,163 0,177 0,176 11,64 0,141 0,137 0,135 7,12

Dokso 0,35 µg/mL % %


Dokso 0,18 µg/mL
Hidup Hidup
EEADK 93,28 0,146 0,152 0,154 8,82 0,344 0,360 0,324 34,17

µg/mL 69,96 0,145 0,140 0,133 7,33 0,315 0,304 0,318 30,17

46,64 0,139 0,134 0,137 6,98 0,302 0,318 0,264 27,83

23,32 0,140 0,130 0,130 6,54 0,264 0,273 0,243 23,26

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 31. Indeks kombinasi (IK) EEADK - doksorubisin pada sel MCF-7
dengan Compusyn system version 1

Experiment Name: sherly


Date: 05042018
File Name: E:\sherly kombinasi MCF-7.cse
Description Kombinasi Doxorubisin dan EEADK
Drug: Doksorubisin (Dox) [ppm]
Drug: Etilasetat Daun Kelor (EEADK) [ppm]
Drug Combo: Kombinasi Dox EEADK MCF-7 (CI) (Dox+EEADK)

Data for Drug: Dox [ppm]


Dose Effect
2.9 0.6
2.18 0.6
1.45 0.61
0.73 0.66
4 data points entered.
X-int: 1.28432
Y-int: 0.24857 +/- 0.01547
m: -0.1935 +/- 0.05066
Dm: 19.2450
r: -0.9378

Data for Drug: EEADK [ppm]


Dose Effect
74.63 0.8
55.97 0.81
37.31 0.86
18.66 0.95
4 data points entered.
X-int: 2.32436
Y-int: 2.70584 +/- 0.34226
m: -1.1641 +/- 0.20976
Dm: 211.035
r: -0.9690

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 31. (Lanjutan)

CI Data for Non-Constant Combo: CI (Dox+EEADK)


Dose Dox Dose EEADK Effect CI
2.9 74.63 0.51 0.55129
2.9 55.97 0.49 0.37881
2.9 37.31 0.48 0.26470
2.9 18.66 0.51 0.27680
2.18 74.63 0.53 0.60282
2.18 55.97 0.48 0.32250
2.18 37.31 0.45 0.18897
2.18 18.66 0.42 0.08838
1.45 74.63 0.19 0.10181
1.45 55.97 0.16 0.06384
1.45 37.31 0.15 0.03985
1.45 18.66 0.17 0.02267
0.73 74.63 0.52 0.43617
0.73 55.97 0.52 0.34145
0.73 37.31 0.47 0.17985
0.73 18.66 0.44 0.08279

Combination Index Plot

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 32. Indeks kombinasi (IK) EEADK - doksorubisin pada sel T47D
dengan Compusyn system version 1

Experiment Name: Sherly


Date: 5 April 2018
File Name: E:\sherly compusyn T47D.cse
Description Kombinasi Doxorubisin dan EEADK
Drug: Doxorubisin (DOX) [ppm]
Drug: etilasetat daun kelor (EEADK) [ppm]
Drug Combo: Kombinasi Doxo dan EEADK (CI) (DOX+EEADK)

Data for Drug: DOX [ppm]


Dose Effect
0.7 0.05
0.525 0.055
0.35 0.078
0.175 0.37
4 data points entered.
X-int: -0.9469
Y-int: -1.6892 +/- 0.19487
m: -1.7838 +/- 0.41472
Dm: 0.11300
r: -0.9500

Data for Drug: EEADK [ppm]


Dose Effect
93.28 0.79
69.96 0.88
46.64 0.92
23.32 0.94
4 data points entered.
X-int: 2.67270
Y-int: 2.57295 +/- 0.44849
m: -0.9627 +/- 0.25960
Dm: 470.656
r: -0.9344

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 32. (Lanjutan)

CI Data for Non-Constant Combo: CI (DOX+EEADK)


Dose DOX Dose EEADK Effect CI
0.7 93.28 0.07 1.46653
0.7 69.96 0.093 1.74194
0.7 46.64 0.11 1.93005
0.7 23.32 0.12 2.03372
0.525 93.28 0.061 1.01501
0.525 69.96 0.065 1.05161
0.525 46.64 0.062 1.01912
0.525 23.32 0.071 1.10257
0.35 93.28 0.088 0.85253
0.35 69.96 0.073 0.75577
0.35 46.64 0.07 0.73327
0.35 23.32 0.065 0.69797
0.175 93.28 0.34 1.16729
0.175 69.96 0.3 1.02478
0.175 46.64 0.28 0.94923
0.175 23.32 0.23 0.80080

Combination Index Plot

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 33. LAF (Laminar Air Flow), mikroskop inverted, dan inkubator CO2

Keterangan: Laminar Air Flow

Keterangan : Mikroskop inverted

Keterangan : Inkubator CO2

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Lampiran 34. Microplate reader dan Flowsitometer

Keterangan : Microplate reader

Keterangan: Flowsitometer

Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara
Universitas
Universitas Sumatera
Sumatera Utara
Utara

Anda mungkin juga menyukai