SKRIPSI
LENNI SARI
150802038
SKRIPSI
LENNI SARI
150802038
SKRIPSI
Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Lenni Sari
150802038
Disetujui di
Medan, Agustus 2019
ii
ABSTRAK
iii
ABSTRACT
iv
Bismillahirrohmannirrohim,
Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan Kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan Rahmat dan Berkahnya serta kemudahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Ucapan terima kasih yang setulusnya penulis berikan kepada Ayahanda Alm. Mara
Luhut Harahap serta Ibunda Nuridan Hasibuan yang tak henti memberi dukungan berupa
moril dan materil hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan sarjana ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ibu Dr. Emma Zaidar Nst, M.Si sebagai Dosen Pembimbing yang selalu menjadi
tempat diskusi dan memberi masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian
dan skripsi ini. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Firman Sebayang
M.S,Ibu Dr.Yuniarti Yusak M.S, Ibu Dr. Rumondang BulanNst. MS dan Bapak M.
Zulham Efendi Sinaga, S.Si, M.Si sebagai Dosen Biokimia, Ibu Dr. Cut Fatimah Zuhra,
M.Si selaku Ketua Departemen Kimia FMIPA USU dan Ibu Dr. Sovia Lenny, M.Si
selaku sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU, serta seluruh staff Dosen dan pegawai
Departemen Kimia FMIPA USU yang telah memberikan ilmu dan membantu segala
keperluan penulis.
Terimakasih juga penulis ucapkan kepada teman semasa perkuliahan dan teman serta
adik-adik asisten biokimia 2016 dan teman teman seperjuangan Kimia 2015 yang
menemani dan berjuang bersama penulis. Terimakasih juga terkhusus kepada Saudara
Kandung Saya , Sinar Depi Harahap, Elvi Khairani harahap, Zulheri Harahap, Andri Adi
Harahap, Maisari Harahap yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil.
Dan tidak lupa kepada sahabat Memel, Dea, Aul, Vira, Ucup, Husni, Tiara, Rizky, Ely,
Intan, Pia, Nina, Jannah, Indah, Irma, Oan, Nurul, Kiky, Milpa, Masito, Kak Lila yang
telah banyak memberikan dukungan semangat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala
saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan.
Akhir kata Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Halaman
PERNYATAAN ORISINALITAS i
PENGESAHAN SKRIPSI ii
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
PENGHARGAAN v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
DAFTAR SINGKATAN xii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Pembatasan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat Penelitian 4
vi
vii
DAFTAR PUSTAKA 49
LAMPIRAN 50
viii
Nomor
Judul Halaman
Tabel
2.1 Sifat Biologis Mencit (Mus musculus) 24
4.1 Hasil Analisa Karakteristik Plester 39
4.2 Interpretasi Gugus Fungsi Senyawa Hasil Analisa FT-IR 41
4.3 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Plester 42
4.4 Rata-rata Waktu (Hari) Penyembuhan Luka Sayat 43
ix
xi
Singkatan Kepanjangan
MHA Mueller Hilton Agar
NA Nutrient Agar
RPOT Repeat Opened Patch Test
FT-IR Fourier Transform Infra Red
SEM Scanning Electron Microscopy
xii
PENDAHULUAN
Kelor disebut sebagai miracle tree (si pohon ajaib). Semua bagian tanamannya
terbukti berkhasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit. Namun, pada dasarnya
setiap bagian tanaman kelor memiliki kandungan zat aktif yang berbeda-beda sehinggga
pemanfaatannya pun harus disesuaikan dengan penyakit yang akan disembuhkan. Daun
kelor memiliki manfaat sebagai antimikroba, antibakteri, antiinflamasi (anti radang),
infeksi, antioksidan, kanker kulit, anemia, diabetes, antitumor, cacingan, serta gangguan
saraf (Mardiana, 2012).
Berbagai bagian dari ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) ditemukan sensitif
terhadap pertumbuhan bakteri gram negatif dan gram positif yang menunjukkan sifat
spektrum yang luas dari ekstrak. Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) ditemukan lebih
\sensitif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan bakteri gram negatif. Ekstrak
daun kelor (Moringa oleifera) mengandung alkaloid, glikosida, flavonoid, steroid,
terpenoid, saponin, tanin dan antrakuinon (sinha, 2012)
Pengobatan luka selama ini hanya berasal dari obat sintesis seperti obat merah,
boorwater, dan bubuk sufia. Akan tetapi obat-obat luka tersebut menimbulkan efek
samping yang berbahaya, seperti toksik terhadap otak dan syaraf serta reaksi
hipersentifitas terhadap kulit. Pengobatan luka menggunakan antiseptik juga tidak
dibenarkan karena menimbulkan gangguan hipertiroid (Anonim, 2008).
Banyaknya jenis penutup luka (plester) yang beredar, hingga kini dirasakan masih
memiliki beberapa efek samping yang cukup sensitif bagi kulit. Hal ini dapat disebabkan
karena sebagian besar bahan alternatif tersebut terdiri dari bahan-bahan atau zat kimia
yang berpeluang dapat menyebabkan alergi di sekitar kulit, timbul bintik-bintik merah
yang bergelembung berisi air dan menyebabkan gatal–gatal, bahkan menimbulkan bekas
hitam yang lama hilangnya (NHF, 2008).
Salah satu tanaman yang berkhasiat obat adalah tanaman kelor (Moringa
oleifera). Tanaman kelor telah menjadi objek penelitian karena beberapa kegunaannya
dan dikenal berpotensi sebagai bakterisida (Vieira et al., 2010).
Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yaitu
pembuatan ekstrak daun kelor dapat diubah menjadi plester luka yang alami, praktis, dan
aman serta ekonomis sebagai penyembuhan luka sayat yang diaplikasikan pada hewan
mencit (Mus musculus).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Daun kelor penelitian berasal dari Pasar II Tanjung Sari, Medan Selayang
7. Pengujian klinis terhadap mencit (Mus musculus ) dengan ukuran luka 1x1 cm untuk
melihat berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhkan luka
8. Plester hanya untuk luka sayat
9. Uji invivo yang dilakukan adalah cara repeat opened patch test (ROPT)
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman kelor yang mempunyai nama dalam bahasa latin disebut Moringa
Oliefera atau dalam bahasa inggris disebut drum stick plant ini merupakan tanaman yang
menjadi sayuran yang banyak nutrisi dan mempunyai berbagai jenis kegunaan.
Pemanfaatan daun kelor menjadi produk olahan selama ini hanya sebatas produk olahan
yang mempunyai umur simpan pendek antara lain sayuran dan minuman, sehingga tidak
semua orang bisa menikmati manfaat daun kelor, terutama masyarakat daerah perkotaan
(Nurcahyati, 2014).
Di Indonesia, tanaman kelor ini banyak ditanam sebagai pagar atau pembatas
kebun. Banyak orang memanfaatkan daun kelor dan buah kelor untuk sayuran. Tanaman
kelor di Indonesia dikenal dalam berbagai macam nama, misalnya : kelor (Indonesia,
Jawa, Sunda, Bali, Lampung). Kerol (Buru), Marangghi (Madura), Moltong (Flores),
Kelo (Gorontalo), Keloro (Bugis), Kawano (Sumba), Ongge (Bima), Hau Fo (Timor).
(Nurcahyati, 2014).
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Moringa oleifera adalah tanaman yang kecil, tingginya haya 8 m atau kurang.
Dengan batang yang putih dan lembut, memiliki daun menyirip sepanjang 25-50 cm dan
lebar 3-9 cm. bentuk daun tipis, bulat telur sampai elips dan panjangnya 1,5-2 cm.
Tanaman kelor berumur panjang (parenrial), batangnya berkayu (Lignosus), tegak,
berwarna putih kotor, berkulit tipis, permukaan kasar, dan batang kayunya getas atau
mudah patah (Kurniawan, 2013). Kelor merupakan tanaman yang dapat mentolerir
berbagai kondisi lingkungan, sehingga mudah tumbuh meski dalam kondisi ekstrim
seperti temperatur yang tinggi, di bawah naungan dan dapat bertahan hidup di daerah
bersalju ringan. Kelor tahan dalam musim kering yang panjang dan tumbuh dengan baik
di daerah dengan curah hujan tahunan berkisar antara 250 sampai 1500 mm (Krisnadi,
2013).
Daun kelor mengandung beberapa senyawa aktif, antara lain agnin, leusin dan
metionin (Mardiana, 2013). Daun kelor mengandung beberapa komponen-komponen
fitokimia antara lain Alkaloid 0,4%, Tanin 0,33%, Saponin 18,34%, Flavonoids 0,77%
dan phenol 0,29%. Mineral yang terdapat dalam daun Moringa oleifera berupa Natrium
11,86 ppm, Magnesium 107,56 ppm, Zink 148,54 ppm, Besi 103,75 ppm, Mangan 13,55
ppm, Tembaga 4,66 ppm, Timah 2,96 ppm. Kandungan peroksimat dari daun Moringa
oleifera berupa Karbohidrat 45,43%, protein 16,15%, Lemak 6,355, Serat 9,68%,
Kelembapan 11,76% dan Abu 10.64% (Oluduro, 2012).
Dibalik daun kelor ternyata banyak memiliki manfaat yang sangat luar biasa bagi
kesehatan kita. WHO sebagai organisasi kesehatan dunia pernah mengungkapkan bahwa
daun kelor memiliki kandungan gizi yang sangat besar dibandingkan buah sekalipun
seperti:
2.2 Luka
Luka merupakan sebuah injuri pada jaringan yang mengganggu proses selular
normal, luka dapat juga dijabarkan dengan adanya kerusakan pada kontinuitas/kesatuan
jaringan tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan substansi jaringan (InETNA,
2004). Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan komunitas kulit mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Ketika
luka timbul, beberapa efek akan muncul seperti hilangnya seluruh atau sebagian fungsi
organ, respon stress simpatis, pendarahan serta pembekuan darah, kontaminasi bakteri,
dan kematian sel (Kozie, 1995).
Suatu luka dapat diartikan sebagai, “ rusaksnya struktur jaringan normal, baik di
dalam/luar tubuh. Jenis-jenis luka dapat dibagi yaitu sebagai berikut:
Luka tertutup adalah luka dimana jaringan yang ada pada permukaan tidak rusak,
seperti keseleo, terkilir, patah tulang dan sebagainya
Luka terbuka adalah luka yang dimana kulit atau jaringan selaput lendir rusak.
Kerusakan ini dapat terjadi karena suatu kesengajaan seperti pada tindakan
operasi
Luka traumatis adalah luka terbuka yang tidak dibuat sengaja, merupakan sebab
kecelakaan
Luka robek juga dapat dalam akan tetapi mempunyai dinding-dinding luka yang
tidak rata. Ini mempunyai efek negatif pada penyembuhannya
Luka tusuk biasanya sangat dalam yang mengakibatkan banyak jaringan-jaringan
yang ada didalamnya rusak. Luka-luka tusuk mempunyai dinding luka yang rata
(licin)
Luka penetrasi terjadi jika suatu benda (Peluru) yang masuk jauh ke dalam
tubuh. Di sini jaringan-jaringan yang ada di dalam rusak, dan dinding-dinding
luka biasanya tidak rata
Pada suatu luka bakar terdapat keadaan yang sama halnya seperti pada luka
amputasi dan dekubitis. Pada suatu amputasi, sering mengenai bidang luas yang
menyebabkan penyembuhanya tidak begitu cepat
Penyebab luka
a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis
akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak
dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun
benturan benda tajam ataupun tumpul.
b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa
garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari
seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka
teratur .
c. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan
atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini
dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak
beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.
d. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang
biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang
menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya
menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
e. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan
memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan
kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut
f. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun
sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan
permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula
karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.
- Pengaliran darah lokal, ini harus seoptimal mungkin dalam proses penyembuhan
yang baik
- Ada/tidak adanya edema, adanya ederma dapat menghalangi penyembuhan luka
karena dengan demikian pengaliran darah akan terganggu
- Zat-zat pembakar dan pembangun, zat-zat ini harus ada dalam kadar yang cukup
dalam makanan yang dikonsumsi
- Kebersihan luka, luka yang bersih akan lebih cepat sembuh dari pada luka yang
banyak terdapat nekrosisnya
- Besarnya luka, luka yang besar akan lebih lama sembuhnya dari pada luka yang
kecil, dimana tepi luka itu berdekatan
- Kering atau tidaknya luka, luka yang kering akan lebih cepat sembuh daripada
luka yang basah, karena luka kering akan lebih cepat tumbuh lapisan granulasi di
bawah keropeng luka (Stevens, 1992).
2.3 Plester
Pembalut adalah bahan penutup yang bersih untuk menutup luka. Plester adalah
bahan yang menahan pembalut agar tetap ditempatnya, serta memberi tekanan untuk
mengendalikan pendarahan. Plester yang berpembalut (misalnya, BAND-AID) adalah
kombinasi pembalut dan plester (Purwoko, 2007).
Plester merupakan massa padat atau setengah padat yang ditaburi perekat pada
bahan penunjang yang sesuai dan ditujukan untuk pemakaian luar pada bagian tubuh
supaya terjadi hubungan yang lama dengan tempat yang diobati. Diantara bahan
penunjang adalah kapas, kertas, laken, kain putih, sutera, moleskin atau plastik (Ansel,
2005).
Luka didefenisikan sebagai cacat pada kulit yang disebabkan oleh kecelakaan
mekanik, tersengat listrik, terbakar karena tumpukan bahan-bahan kimia atau tindakan
operasi (Mutia, 2009). Proses penyembuhan luka melibatkan tiga tahap peradangan,
pembentukan pembuluh darah baru dan jaringan konektif serta proses penyembuhan luka
itu sendiri. Plester merupakan salah satu jenis bahan yang digunakan untuk menutup
luka. Terdapat 9 jenis plester yang dibedakan berdasarkan indikasi lukanya, yaitu plester
dengan lapisan tipis film, lembaran hydrogel, hidrokoloid, busa semipermiabel, hydrogel
bersifat amorf, fillers, kasa dilapisi petroleum jelly, kasa pembalut dan wound vacuum.
Dewasa ini terdapat dua tipe plester, yaitu plester dengan sistem reservoir dan plester
dengan sistem matriks (drug in adhesive system). Pada plester sistem reservoir laju
pelepasan obat dari sediaan dan laju permeasi kulit ditentukan oleh kemampuan kulit
mengabsorbsi obat, sedangkan pada sistem matriks laju pelepasan obat dari sediaan
diatur oleh sistem matriks (Summit,1983).
Penutup luka yang ideal harus memiliki sifat antimikroba dan dapat
menyembuhkan luka (kumar et al, 1998). Penutup luka memiliki fungsi sebagai berikut
(Novriansyah, 2008) :
2.4 Ekstraksi
Faktor yang menentukan berhasilnya proses ekstraksi adalah kualitas dari pelarut
yang dipakai. Pelarut yang ideal harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Pelarut harus melarutkan semua zat wangi (volatil) dengan cepat dan sempurna,
serta dapat sedikit melakukan zat warna, albumin, dan lilin
Pelarut bersifat inert atau tidak bereaksi dengan komponen minyak bunga
Pelarut harus mempunyai titik didih yang cukup rendah serta mudah diuapkan
tanpa menggunakan suhu yang tinggi
Pelarut tidak boleh larut dalam air
Pelarut harus mempunyai titik didih yang seragam dan jika diuapkan tidak akan
tertinggal dalam minyak
Mudah diperoleh dan harganya murah
Tidak mudah terbakar (Satuhu, 2012)
a. Maserasi
Maserasi merupakan salah satu jenis ekstraksi padat cair yang paling sederhana.
Proses ekstraksi dilakukan dengan cara merendam sampel pada suhu kamar
menggunakan pelarut yang sesuai sehingga dapat melarutkan analit dalam sampel.
Sampel biasanya direndam selama 3-5 hari sambil diaduk sesekali untuk mempercepat
proses pelarutan analit. Ekstraksi dilakukan beberapa kali sehingga analit terekstraksi
secara sempurna. Kelebihan ekstraksi ini adalah alat dan cara yang digunakan sangat
sederhana, dapat digunakan untuk analit baik yang tahan terhadap pemanasan.
Kelemahannya adalah menggunakan banyak pelarut (Leba, 2017).
b. Perkolasi
Perkolasi merupakan salah satu jenis ekstraksi padat cair yang dilakukan dengan
jalan mengalirkan pelarut secara perlahan pada sampel dalam suatu perlokator. Pada
ektraksi jenis ini, pelarut ditambahkan secara terus menerus, sehingga proses ekstraksi
selalu dilakukan dengan pelarut yang baru. Pola penambahan pelarut yang dilakukan
adalah menggunakan pola penetesan pelarut dari bejana terpisah disesuaikan dengan
jumlah pelarut yang keluar atau dilakukan dengan penambahan pelarut dalam jumlah
besar secar berkala (Leba, 2017).
c. Sokletasi
Sokletasi merupakan salah satu jenis ekstraksi menggunakan alat soklet. Pada
ekstrraksi ini pelarut dan sampel ditempatkan secara terpisah. Prinsipnya adalah ekstraksi
dilakukan secara terus menerus menggunakan pelarut yang relatif sedikit. Bila ekstraksi
telah selesai maka pelarut dapat diuapkan sehingga akan diperoleh ekstrak. Biasanya
pelarut yang digunakan adalah pelarut-pelarut yang mudah menguap atau mempunyai
titik didih yang rendah. Sokletasi dilakukan dengan cara pemanasan pelarut. Uap pelarut
yang dihasilkan mengalami pendinginan dalam kondensor dan secara kontinyu akan
membasahi sampel dan secara teratur pelarut tersebut dimasukkan kembali ke dalam labu
dengan membawa analit. Sokletasi dapat dihentikan dengan cara menghentikan
pemanasan (Leba, 2017).
Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesis oleh makhluk hidup seperti
tumbuhan, mikroba atau hewan melewati proses biosintesis yang digunakan untuk
menunjang kehidupan namun tidak vital (jika tidak ada tidak mati) sebagaimana gula,
asam amino dan asam lemak. Metabolit ini memiliki aktivitas farmakologi dan biologi
(Saifudin, 2014).
1. Flavonoid
Sehingga bakteri akan mati dan rusak. Beberapa flavonoid yang mendukung kutub
entri zat terlarut, seperti rutin dan quercetin, mengikat struktur protein membran bakteri
yang disebut porines, menyebabkan perubahan konformasi tridimentonal yang dipapri
oleh karakter pori-pori hidrofilik, yang memudahkan senyawa polar bioaktif masuk
melalui cara difusi (Alvarez et al., 2006).
2. Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Pada umumnya
alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom
Nitrogen. Umumnya alkaloid tidak berwarna, memiliki rasa pahit, bersifat optis aktif dan
sedikit berupa cairan pada suhu kamar (Harborne,1987). Kegunaan senyawa alkaloid
dalam bidang farmakologi adalah untuk memacu sistem syaraf, menaikkan tekanan
darah, dan melawan infeksi mikrobial (Pasaribu, 2009).
3. Tanin
Tanin merupakan senyawa polifenol yang dapat larut dalam air dan pelarut organik,
juga dapat mengendapkan protein (Daniel, 2006). Tanin termasuk senyawa bahan alam
dalam tanaman ynag terdiri dari sejumlah besar gugus hidroksi fenolik. Senyawa ini
diperlukan oleh tanaman sebagai sarana proteksi dari serangan hewan, bakteri, jamur,
dan insekta (white, 1957). Senyawa kimia ini biasanya ditemukan pada bagian batang,
daun, buah dan akar pada tanaman. Buah yang memiliki kandungan senyawa tannin
biasanya memberikan rasa asam pada buah tersebut. Senyawa fenol dari tannin
mempunyai antiseptik, astrigensia dan pemberi warrna (Damayanti, 2001)
4. Saponoin
Saponin merupakan senyawa berbentuk glikosida dan bersifat seperti sabun yang bisa
menimbulkan busa yang tetap di dalam air apabila dikocok dengan konsentrasi rendah
dapat menyebabkan hemolisis sel darah (Gunawan dkk, 2004). Saponin atau glikosida
sapogenin adalah salah satu tipe glikosida yang tersebar luas dalam tumbuhan. Biasanya
dalam tumbuhan terdapat 2 macam saponin, yaitu glikosida terpenoid dan glikosida
steroid. Kedua senyawa saponin ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam
eter ( Robinson, 1995).
5. Terpenoid
Terpenoid adalah suatu senyawa dari komponen-komponen tumbuhan yang memilki
ciri berbau dan dapat , ester dari asam organic dan dalam kondisi tertentu terikat dengan
protein. Senyawa terpenoid ini biasanya diisolasi dengan cara kristalisasi, destilasi dan
kromatografi (Yanuhar, 2016).
2.6 Antibakteri
bakteriosidal pada konsentrasi tinggi (Gani, 2007). Mekanisme kerja antibakteri dapat
terjadi melalui lima cara, yaitu hambatan sintesis dinding sel, perubahan permeabilitas
sel, perubahan molekul asam nukleat, penghambatan kerja enzim dan penghambatan
sintesis asam nukleat dan protein (Sunanti, 2007).
a. Metode Dilusi
b. Metode difusi
Prinsip dari metode difusi adalah kemampuan suatu agen antibakteri berdifusi ke
dalam media agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji. Beberapa metode
difusi yang sering digunakan untuk uji aktivitas antibakteri adalah tes Kirby Bauer
(disc diffusion), e-test, ditch-plate technique, cup-plate technique dan gradient-plate
technique (Pratiwi, 2008). Metode disc diffusion atau tes Kirby Bauer adalah metode
yang paling banyak digunakan pada uji aktivitas antibakteri. Metode ini termasuk ke
dalam metode difusi agar yang dilakukan dengan cara mengambil beberapa koloni
bakteri uji yang telah ditumbuhkan selama 24 jam sebelumnya dan disuspensikan ke
dalam 0,5 mL media cair kemudian diinkubasi selama 5-8 jam. Suspensi bakteri uji
tersebut ditambahkan akuades steril hingga mencapai kekeruhan tertentu yang
memenuhi standar Mc. Farland dimana standar konsentrasi bakteri 10 8 CFU/ml.
Selanjutnya, dengan menggunakan lidi steril suspensi bakteri dioleskan secara merata
pada media agar, kemudian kertas samir (paper disc) yang berisi agen antibakteri
diletakan di atas media agar tersebut dan inkubasi pada 37 oC selama 24 jam.
Pengamatan dilakukan dengan mengamati ada tidaknya zona hambatan di sekeliling
kertas samir dimana adanya zona hambat menunjukkan adanya aktivitas antibakteri
terhadap bakteri uji (Lorian, 1980).
Selain tes Kirby Bauer, uji yang dapat dilakukan untuk mengamati ada tidaknya
zona hambat terhadap bakteri uji adalah metode sumuran dengan cara mengoleskan
bakteri uji pada permukaan media agar seperti yang dilakukan pada tes Kirby Bauer
atau dapat juga dilakukan dengan menanam bakteri uji pada media agar. Selanjutnya
dilakukan pembuatan sumuran pada media agar dengan diameter tertentu yang
kemudian di isi dengan agen antibakteri. Setelah di inkubasi selama 24 jam pada suhu
37 oC pengamatan dilakukan dengan melihat ada tidaknya diameter hambat di sekitar
sumuran (Lorian, 1980).
Zona hambat yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas antibakteri terhadap bakteri
uji dapat dikatakan memiliki zona hambatan total (radikal) jika zona hambatan yang
terbentuk di sekitar sumuran atau kertas samir terlihat jernih, zona hambatan parsial
(irradikal) jika masih ada koloni bakteri yang tumbuh pada zona hambatan dan zona
hambatan nol jika tidak terbentuk zona hambatan di sekitar sumuran atau kertas samir
yang berisi senyawa uji (Lorian, 1980).
Bakteri gram positif memiliki kandungan peptiodoglikan yang tinggi dibandingkan gram
negative (Waluyo, 2007).
- Dinding sel mengandung peptidoglikan yang tebal, kandungan lipid rendah 1-4 % serta
diikuti pula dengan adanya ikatan benang-benang teichoic acid dan teichoronic acid,
yang merupakan 50% dari berat kering dinding sel dan 10% dari berat kering
keseluruhan sel.
- Pada pewarnaan Gram, bakteri jenis ini berikatan dengan warna utama (primary Strain)
yaitu Gentian Violet dan tidak luntur (decolorized) bila dicelupkan ke dalam larutan
alkohol.
Adalah bakteri yang mempertahankan zat warna kristal violet sewaktu proses
pewarnaan gram sehingga akan berwarna ungu di bawah mikroskop, Perbedaan
keduanya didasarkan pada perbedaan struktur dinding sel yang berbeda dan dapat
dinyatakan oleh prosedur pewarnaan gram, ditemukan oleh ilmuwan Denmark bernama
Christian gram dan merupakan prosedur penting dalam klasifikasi bakteri (Jawetz, 2005).
Ciri-ciri bakteri gram negatif yaitu
- Mengandung sedikit sekali peptidoglikan dan tidak terdapat ikatan bennag-
benang teichoic acid dan tecichoronic acid
- Pada umumnya berbentung basil kecuali Basillus Antharias dan Basillus cereus
- Pada pewarnaan gram, bakteri jenis tidak mampu berikatan dengan zat warn
autama yaitu gentian violet dan luntur bila dicelupkan kedalam larutan alcohol
- Dibawah mikroskop tampak berwarna merah ( Nasution, 2014)
Kerajaan : Bacteria
Pilum : Fimicutes
Kelas : Bacilli
Bangsa : Bacillales
Suku : Staphylococcaceae
Marga : Staphylococcus
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Bangsa : Rodentia
Suku : Muridae
Genus : Mus
Mencit (Mus musculus) merupakan hewat pengerat yang memiliki rambut berwarna
keabu-abuan atau putih, mata berwarna merah atau hitam, kulit berpigmen dan perur
sedikit pucat. Mencit dewasa pada umur 35 hari dan memiliki waktu kehamilan 19-21
hari. Mencit dapat melahirkan 6-15 ekor. Mencit dapat hidup mencapai umur 1-3 tahun.
Dilihat dari bentuk luarnya, mencit tampak praktis dan efisien untuk penelitian-penelitian
dalam laboratorium yang ruangannya terbatas. Luas permukaan tubuhnya 36 cm2 pada
berat badan 20 gram. Bobot pada waktu lahir berkisar antara 0,5-1,5 gram yang akan
meningkat sampai lebih kurang 40 gram pada umur 70 hari atau 2 bulan (Harkness,
1983).
Kriteria Keterangan
Berat dewasa
Jantan 20-40 g
Betina 18-35 g
2.8 Kitosan
METODE PENELITIAN
3.2.1. Alat-alat
Alat Merk
- Thermometer YZ
- Cawan Petri Normax
- Pipet Tetes
- Spatula
- Batang pengaduk
- Kertas saring biasa
- Kapas OnMed
- Magnetik stirrer
- Labu takar Pyrex
- Gelas ukur Pyrex
- Alat SEM (Scanning Electron Microscopy) JSM-6360
- Alat FT-IR (Fourier Transform Infra Red)
- Alat rotary evaporator
- Plester Hipafix Buchy
- Aluminium foil Klinpark
- Jarum ose
- Jangka sorong
- Cotton bad
- Pisau
- Pinset
- Inkubator Vision
- Vortex Vision
- Penggaris Butterfly
- Jarum suntik BD Needle
- Desikator
- Autoklaf Hirayama
3.2.2. Bahan
- Daun kelor(s)
- Metanol(aq)
- Gliserin(aq)
- Kitosan(s)
- Kitosan(aq) 2%
- Aquadest(l)
- CH3COOH(aq) 1%
- Tepung Tapioka(s)
- Gliserin(aq)
- Nutrient Agar (NA)
- Mueller Hinton Agar (MHA)
- Bakteri Staphylococcus aureus
Sampel berupa daun kelor yang diperoleh dari pasar II tanjung sari, Medan
selayang yang memiliki nama latin Moringa oleifera.
Sebanyak 2 gram tepung tapioka dimasukkan kedalam gelas beaker yang telah
diisi dengan 35 mL aquadest. Diaduk hingga homogen. Dipanaskan diatas hotplate pada
suhu ± 70℃ hingga mengental dan bercampur tepung tapioka dan aquadest.
Ditambahkan 10 mL ekstrak daun kelor sambil diaduk hingga homogen. Kemudian
ditambahkan larutan kitosan 2% dan 2 mL gliserin. Diaduk hingga homogen
menggunakan magnetic stirrer dan dibiarkan mengental. Campuran dituang ke plat
akrilik dan diratakan. Dikeringkan didalam oven pada suhu ± 40℃ selama 24 jam.
Dilakukan prosedur yang sama untuk tepung tapioka dengan variasi 3 g, 4 g, 5 g, dan 6 g
dan aquadest variasi 34 ml, 33 ml, 32 ml, dan 31 ml. Kemudian lapisan yang telah kering
dibentuk sesuai ukuran dan ditempelkan pada plester hipafix.
Untuk setiap sampel plester yang akan diuji, ketebalan diukur pada lima titik
yang berbeda menggunakan jangka sorong sebanyak lima kali, yaitu sudut sisi kiri atas,
sudut sisi kanan atas, sudut sisi kiri bawah, sudut sisi kanan bawah dan tengah.
Kemudian, dicari rata-rata dari ketebalan tersebut.
Fmaks
𝜎=
𝐴0
Keterangan:
Disamping bersama kekuatan tarik (𝜎) sifat mekanik bahan juga diamati dari sift
kemulurannya (𝜀) yang didefenisikan sebagai:
It−I0
𝜀= x 100%
I0
Stroke
σ= x 100%
I0
keterangan:
𝜀 = kemuluran (%)
Kedalam tabung reaksi yang steril dimasukkan 3 mL media Nutrient Agar steril,
didiamkan pada temperatur kamar sampai memadat pada posisi miring membentuk sudut
37°C. Biakan bakteri Staphylococcus aureus dari strain utama diambil dengan jarum ose
steril lalu diinokulasikan pada permukaan media Nutrient Agar miring dengan cara
menggores, kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 18-24 jam.
Uji in vivo yang digunakan adalah cara repeat opened patch test (ROPT).
Mencit yang digunakan sebagai bahan uji dicukur bulunya secukupnya dan disayat
hingga 3 cm. mencit yang telah di lukai ditempelkan plester variasi terbaik dari hasil uji
antibakteri dan handsaplast hingga menutupi luka. Selama aplikasi area tersebut tidak
boleh dicuci. Reaksi kulit akan dievaluasi selama 24, 48, dan 72 jam.
1 mL CH3COOH
dimasukkan kedalam labu takar 100 mL
diencerkan dengan aquadest
dihomogenkan
Hasil
1 gr Kitosan
dimasukkan kedalam gelas beaker
ditambahkan 50 mL CH3COOH 1%
didiamkan selama 1 jam sampai kitosan larut
Hasil
Daun Kelor
dibersihkan dari ranting
dikeringkan pada suhu kamar
dihaluskan dengan blender
disaring
Ekstrak Pekat
Tepung Tapioka
ditimbang sebanyak 2 g
dimasukkan kedalam gelas beaker
ditambahkan 35 mL aquadest
dipanaskan diatas hotplate ± 70oC
Larutan Putih
ditambahkan 10 mL ekstrak daun kelor
ditambahkan larutan kitosan 2% (w/v)
ditambahkan 2 mL gliserin
diaduk hingga homogen dan mengental
Larutan Hijau
Lapisan Kering
diukur sesuai cetakan
ditempelkan pada plester hipafix
Plester
Catatan: dilakukan hal yang sama untuk tepung tapioka dan aquadest 3 g : 34 mL, 4 g :
33 mL, 5g : 32 mL, 6 g : 31 ml.
Plester
10 mL Aquadest
dimasukkan kedalam tabung reaksi
disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit
diambil kultur bakteri Staphylococcus aureus dengan jarum ose lalu
dimasukkan kedalam aquadest yang telah steril
diukur nilai absorbansi blanko berupa berupa aquadest steril dengan
panjang gelombang 600 nm
divortex hingga terbentuk suspensi
diukur nilai absorbansi suspensi bakteri dengan panjang gelombang
600 nm > OD 0,5
Suspensi Bakteri
15 mL Media MHA
dimasukkan kedalam cawan petri steril
dibiarkan sampai memadat
diambil cotton bad steril, lalu dicelupkan kedalam inokulum
bakteri
dimasukkan kertas cakram yang telah disterilkan
digoreskan pada media MHA yang telah memadat
dipipet 10 mikro plester dengan berbagai konsentari kedalam
kertas cakram
diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 35oC
diukur diameter zona bening disekitar cakram dengan jangka sorong
Mencit
dicukur bulunya
disayat hingga 1 cm
ditempelkan plester hingga menutupi seluruh luka
diamati luka setelah 24,48, dan 72 jam
Hasil
Dari hasil penelitian pembuatan dan karakterisasi serta uji aktivitas plester dari
ekstrak daun kelor dengan penambahan tepung tapioka, gliserin sebagai antibakteri
diperoleh karakteristik dapat dilihat pada tabel 4.1.
Hasil pemeriksaan SEM menunjukkan bentuk permukaan dari plester dari tepung
tapioka, gliserin, kitosan dan ekstrak daun kelor sebagai antibakteri. Dari karakteristik
plester dengan penambahan 6 gram tepung tapioka, 2 gram gliserin, 10 ml ekstrak daun
kelor dan penambahan kitosan 2% menunjukkan hasil terbaik, sehingga dilakukan uji
fisik Scanning Electron Microscopy (SEM) yang menunjukkan hasil permukaan yang
rata serta kompatibel dengan tipe bentuk morfologi yang teratur. Hasil SEM dapat dilihat
pada lampiran 2.
Hasil analisa FT-IR (Fourier Transform Infra Red) plester dari ekstrak daun kelor
dengan penambahan tepung tapioka, kitosan dan gliserin. Dari karakteristik uji Tarik
pada plester dengan penambahan 6 gram tepung tapioka, 2 gram gliserin, 10 ml ekstrak
daun kelor dan penambahan kitosan 2%, dilakukan uji FT-IR (Fourier Transform Infra
Red) dapat dilihat pada gambar 4.1.
Plester
Ekstrak Daun Kelor
180
160
140
120
%T 100
80 1397,40
3326,28
60
1721,31
40
20
0 3262,65 1418,36
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
-1
cm
Gambar 4.1 Perbandingan Hasil Analisa FT-IR Plester dan Ekstrak Daun Kelor
Adapun hasil interpretasi pada gugus fungsi dengan analisis FT-IR dapat dilihat pada
table 4.2 berikut:
OH 3262,65 3250-3650
C=O 1721,31
1690-1760
1321,64
C-O 1055,51
Bakteri yang digunakan untuk plester adalah bakteri Staphylococcus aureus yang dapat
menyerang kulit. Hasil analisis pengujian zona bening plester dengan penambahan
ekstrak daun kelor terhadap bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada gambar
4.2.
Berdasarkan hasil uji antibakteri pada plester didapatkan data sebagai berikut :
Hewan uji yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) jenis galur wistar sebanyak 12
ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 4 ekor dimana masing-
masing kelompok 1 adalah luka tanpa plester (kontrol), kelompok 2 adalah luka yang
ditutupi dengan hansaplast dan kelompok 3 adalah luka yang ditutupi dengan plester dari
ekstrak daun kelor, 2% kitosan, tepung tapioka dan gliserin. Setelah mencit dilukai,
dilakukan pengamatan setiap hari untuk melihat penyembuhan luka mencit dan merawat
mencit dengan benar. Lama penyembuhan luka sayat mencit dapat dilihat pada table 4.2
berikut.
Keterangan:
Kelompok III : luka sayat mencit ditutupi dengan plester plester dengan
penambahan 6 gram tepung tapioka, 2 ml gliserin, 10 ml ekstrak
daun kelor dan kitosan 2%.
Kuat Tarik adalah ukuran kekuatan (tarikan) maksimum yang bisa ditahan suatu
benda ketika diregangkan atau ditarik sebelum film tersebut putus atau sobek. Semakin
tinggi gaya yang diproduksi maka kekuatan tariknya akan semakin besar (Fardhyanti dan
Julianur, 2015). Berdasarkan hasil pengukuran kuat tarik pada plester yang paling
mendekati standart minimal japanase industrial standart adalah variasi 4 yaitu dengan
penambahan 6 gram tepung tapioka, 2 % kitosan, 10 gram ekstrak daun kelor dan 2 ml
gliserin yaitu dengan kuat tarik 0,17 KgF/mm2 . Hal ini disebabkan karena proses
pencampuran yang lebih stabil sehingga permukaan film yang dihasilkan merata dan
tidak mudah patah jika ditarik. Menurut japanase industrial standart minimal nilai kuat
Tarik plester adalah 3,92266 Mpa (Ariska dan Suyanto, 2015).
Kemuluran adalah persentase perubahan panjang film pada saat film ditarik
sampai putus (Krochta, 1997). Pengujian kemuluran dilakukan dengan membandingkan
penamabahan panjang yang terjadi dengan panjang bahan sebelum dilakukan uji Tarik
(Arini, 2017). Berdasarkan hasil uji kemuluran, plester dengan variasi terbaik yaitu
dengan penambahan 6 gram tepung tapioka, 2 % kitosan, 10 gram ekstrak daun kelor dan
2 ml gliserin dihasilkan persen kemuluran sebesar 24,60%. Dari hasil tersebut dapat
dilihat bahwa plester dengan penambahan 6 gram tepung tapioka menghasilkan persen
kemuluran yang tinggi. Menurut Japanase Industrial Standart (1975) persen kemuluran
dikategorikan jelek apabila kurang dari 10% dan dikategorikan sangat baik apabila lebih
dari 50% (Ariska dan Suyanto,2015).
4.2.3 Ketebalan
Sampel diukur dengan menggunakan jangka sorong pada 5 sisi yang berbeda
yaitu sudut sisi kiri atas, sudut sisi kanan atas, sudut sisi kiri bawah, sudut sisi kanan
bawah dan tengah kemudian dicari rata-rata ketebalan tersebut. Ketebalan dinyatakan
dalam mm sedangkan jangka sorong yang digunakan memiliki ketelitian 0,01 mm.
Berdasarkan ketebalan plester yang dihasilkan dengan variasi penambahan 6 gram
tepung tapioka, 2 % kitosan, 10 gram ekstrak daun kelor dan 2 ml gliserin dihasilkan
nilai ketebalan plester yaitu sebesar 0,08 mm. Hal tersebut masih di bawah standart
Uji aktivitas antibakteri plester daun kelor dilakukan dengan metode cakram
kertas. Pengujian aktivitas antibakteri ini menngunakan media berupa Nutrient Agar
yang bertujuan agar dapat menumbuhkan bateri uji yang digunakan yaitu Staphylococcus
aureus, hal ini dikarenakan media ini memiliki kandungan nutrisi berupa nitrogen,
karbon serta sumber vitamin bagi pertumbuhannya.
Menurut Davis dan Stout (1971) dalam (Maharani, 2018) menyatakan diameter
zona bening 10-20 mm memiliki daya hambat yang kuat, diameter zona bening 5-10 mm
memiliki daya hambat sedang dan diameter zona bening < 5 mm memiliki daya hambat
lemah.
Dari tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa plester ekstrak methanol daun kelor
menunjukkan diameter zona hambat yang kuat yaitu dengan zona hambat bakteri
berturut-turut 15.4 mm, 18.1 mm, 19.9 mm, 23.7 mm, 27.8 mm. hal ini berbanding lurus
dengan penambahn tepung tapioka dan aquadest.
25
20
15
10
0
Variasi 1 Variasi 2 Variasi 3 Variasi 4 Variasi 5
Variasi Plester
Gambar 4.3 Grafik Diameter Zona Hambat Plester Ekstrak Metanol Daun Kelor
14
12
10
Kelompok I
Hari
8
Kelompok II
6 Kelompok III
4
0
1 2 3 4
Mencit
Hasil uji in vivo yang telah dilakukan terhadap mencit jantan jenis galur wistar
dapat dilihat pada tabel 4.2. penyembuhan luka dengan plester penambahan 5 gram
tepung tapioka, 2 % kitosan, 10 gram ekstrak daun kelor adalah hasil yang terbaik yaitu
selama 9,25 hari. Hal ini dipengaruhi bahan yang terdapat pada plester tersebut. (Savitri,
E et al. 2018) Ekstrak etanol daun kelor mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus. Berdasarkan hasil penyembuhan luka sayat tanpa perlakuan rata-
rata 13,25 hari, luka sayat dengan plester hansaplast menghabiskan rata-rata 11,5 hari
dan luka sayat yang dilapisi dengan plester memerlukan penyembuhan rata-rata 9,25
hari. Dari hasil uji tersebut, penyembuhan luka sayat dengan plester dapat digolongkan
kategori cepat. Berdasarkan penelitian (Khuluqi, A, 2017) Rerata hari penyembuhan luka
sayat pada kelompok tanpa perlakuan ialah 13,3, dengan pemberian povidone iodine 10%
sediaan salep ialah 9,3, dengan pemberian ekstrak daun pegagan (Centella asiatica)
sediaan salep ialah 10,3, dan dengan pemberian ekstrak daun teh hijau (Camellia
sinensis) sediaan salep ialah 11,5.
Gambaran secara makroskopis yang terlihat setelah pembuatan luka sayat pada
punggung mencit yaitu terjadi kemerahan dan pembengkakan di area tepi luka, selain itu
mencit terlihat menggaruk-garuk dan menggigit area luka sayat tersebut. Gambaran
tersebut menjelaskan teori yang dikemukakan (Sjamsuhidajat, 2010) bahwa luka sayat
mengalami reaksi inflamasi yang ditandai dengan warna kemerahan (rubor) karena
kapiler melebar, terjadi pembengkakan (tumor) dan keluamya berbagai mediator
inflamasi.
Dari hasil FT-IR pada pembuatan plester dengan vasiai penambahan 6 gram
tepung tapioka, 2% kitosan, 2 mL gliserin, dan 10 mL ekstrak daun kelor pada lampiran
3 memberikan spectrum dengan serapan pada daerah 3262,65 cm-1 menunjukkan adanya
gugus hidroksil (OH) atau gugus –NH, spectrum dengan serapan pada daerah 2925,17
cm-1 menunjukkan adanya gugus alkane (CH), spectrum dengan serapan apada daerah
1721,31 cm-1 menunjukkan adanya gugus (C=O) Keton dan spectrum dengan serapan
pada daerah 1321,64 cm-1, 1055,51 cm-1 menunjukkan adanya gugus (C-O) asam
karboksilat.
5.1 Kesimpulan
1. Dari variasi plester yang dihasilkan, dilakukan uji antibakteri terhadap bakteri
Staphylococcus aureus. Dimana hasil yang paling terbaik adalah variasi ke-5
yaitu dengan penambahan tepung tapioka 6 gram, 31 mL aquadest, kitosan 2%, 2
mL gliserin dan 10 mL ekstrak daun kelor memiliki daya hambat sebesar 27,8%
yang dikategorikan zona hambat kuat. Sedangkan variasi tepung tapioka dan
aquadest (5 gram : 32 mL : 4 gram : 33 mL ; 3 gram : 34 mL ; 2 gram : 35 mL)
masing-masing memiliki daya hambat sebesar 23,7% ; 19,9% ; 18,1% ; dan
15,4%.
2. Plester variasi dengan penambahan tepung tapioka 6 gram, 31 mL aquadest,
kitosan 2%, 2 mL gliserin dan 10 mL ekstrak daun kelor dilakukan uji in vivo
terhadap mencit (Mus musculus) jenis Galur wistar yang dapat menyembuhkan
luka sayat yaitu selama 9,25 Hari.
5.2 Saran
Ananto, F.J, Eko S, Nayla B, Yusri C. 2015. Gel Daun Kelor Sebagai Antibiotik Alami
Pada Pseudomonas seruginosa Secara In vivo. Pharmacy, Vol.12 No. (1)
Anonim. 2008. Merawat Luka, Jangan dengan Obat Merah. www.depkes.go.id. Diakses
tanggal 20 Agustus 2009
Arini Dewi, M. Syahrul. Kasman. 2017. Pembuatan dan Pengujian Sifat Mekanik Plastik
Biodegradable Berbasis Tepung Biji Durian. Journal of science and Technology
, 6 (3) : 276-283
BSN Medical. 2009. Bakteri luka yang umum di temukan dalam luka terinfeksi.
http://www.cutimed-sorbact.com/Indonesia/start.html. (20 Desember 2011).
Damayanti, L., 2001. Uji Aktivitas Antibakteri Tumbuhan Patikan Kebo (Euphorbia
hirta L) Terhadap Stapylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli
ATCC 25922 Serta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya. Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
Daniel, M., 2006. Medicinal Plants Chemistry an Properties, Science Publisher, Enfield,
NH. USA
Davis & Stout. 1971. Disc Plate Method of Microbiological Antibotic Essay. Journal of
Microbiology. Vol 22 No. 4
Fadilah, 2018. Uji Aktivitas Daun Kelor (Moringa oleifera) Terhadapa Penyembuhan
Luka Pada Mencit (Mus musculus L.). [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera
Utara, Program Studi S1 KIMIA.
Fardhyanti, D. S dan S.S. Julianur. 2015. Karakterisasi Edible Film Berbahan Dasar
Ekstrak Keragenan dan Rumput Laut (Euchema cottoni). Jurnal Bahan Alam
terbarukan. 4 (2): 68-73
Gani, A. 2007. Aktivitas antibakteri ekstrak kasar dalaun cocor bebek (Kalanchoe
gastonis-bonnier) skripsi. Bogor: Departemen Biologi FMIPA, Institusi
Pertanian Bogor
Gunawan, Didik dan Sri Mulyani., 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Penerbit
Swadaya : Yogyakarta
Harkness, J. E., The Mouse., 1983. The Biology and Medicine of Rabbits and Rodents.
Second Edition. Lea and Febriger: Philadekphia
Hooper,L., Kroon, P. A., Rimm, E. B., Cohn, J. S., Harvey, L., Lecornu, K. A., et al.
2008. Flavonoids, Flavonoid-rich Foods, and Cardiovascular Risk: a meta-
Analys of randomized controlled trials. American Journal of Clinical
Nutrition,88(1). 1-15
Idonesia Enterostomal Theraphy Nurse Association (InENTA) & Tim Perawatan Luka
dan Stoma Rumah Sakit Dharmais. 2004. Perawatan Luka. Makalah Mandiri.
Jakarta
Jawetz, E., Melnick, J.L., dan Adelberg, E.A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika. Hal. 318-319.
Jonni MS, Sitorus M, dan Katharuna N. 2008. Cegah Malnutiri Dengan Kelor. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta
Khuluqi, A. 2017. Perbedaan Waktu Penyembuhan Luka Sayat Pada Mencit (Mus
muscullus) dengan Ekstrak Daun The Hijau (Camellia sinensis) Dan Daun
Pegagan (Centella asiatica). Palembang
Kozier. 1995. Nursing, Nursing process, Nursing Care. 5th ed. Addison Westley Nursing
. Redwood City. Calif
Mutia, T.2009. Peranan Serat Alam Untuk Bahan Baku Tekstil Medis Pembalut Luka
(Wound dressing). Arena Tekstil. Vol.24 (2) : 60-112
Pasaribu, S. 2009. Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder Dari Daun Tumbuhan Bandotan.
Jurnal Kimia Mulawarman. Vol 8(2) 2009, 63-76
Radji, M., 2011. Buku Ajar Mikrobiologi. Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran, EGC. Jakarta
Rahman, M. A., Ahsan, T., dan Islam, S. 2010. Antibacterial and antifungal properties
of methanol extract from the stem of Argyreia argentea. Bang. Journal
Phrmacol, Vol 5, Hal: 41-44.
Robinson, t., 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung. Penerbit ITB
Rostinawati, T. 2009. Aktivitas antibakteri madu amber dan madu putih terhadap bakteri
Pseudomonas aeruginosa multiresisten dan Staphylococcus aureus resisten
metisilin. Penelitian Mandiri. Universitas Padjajaran, Fakultas Farmasi.
Jatinagor.
Sjamsuhidajat, R & de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarya: EGC
Satuhu,S.2012. Panduan Lengkap Minyak Atsiri. Penebar Swadaya: Jakarta Hal. 46-47
Savitri, E, Fakhrurrazi, Harris A, 2018, Uji Antibakteri Ekstrak Daun Kelor (Moringa
Oleifera L.) terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal
Kedokteran Hewan. 2 (3): 373-379
Simpson BK. 1997. Utilization of chitosan for preservation of raw shrimp. Journal of
Food Biotechnology 2: 25-44.
Stevens, P.J.M. 1992. Ilmu Keperawatan Jilid 2. Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta
Sunanti. 2007. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Tunggal Bawang Putih (Allium sativum)
dan Rimpang Kunyit (Curcuma domestica) terhadap Salmonella typhinaria
[skripsi]. Bogor: Departemen Biologi FMIPA, Institusi Pertanian Bogor.
Teng D. 2012. From chitin to chitosan dalam Yao K, Li J, Yao F, Yin Y, editors.
Chitosan-Based Hydrogels: Functions and Applications. Boca Raton: CRC
Press.
White, T., 1957. Tannins their occurrences and significance. J Sci Food Agri. 8: 377-387
Widowati, I., S. Efiyati, dan S. Wahyuningtyas. 2014 Uji aktivitas antibakteri ekstrak
daun kelor (Moringa oleifera L.) terhadap bakteri pembusuk ikan segar
(Pseudomonas aeruginosa). Jurnal PELITA. 2(9): 146-157.
Tabel 1.1 Hasil analisa kuat Tarik dan kemuluran plester dari campuran 6 gram tepung
tapioka, 10 gram ekstrak daun kelor, 2% kitosan dan 2 ml gliserin.
(a) (b)
(c)
(a) (b)
(c ) (d)
(e)