Anda di halaman 1dari 77

UJI IN VIVO PLESTER EKSTRAK METANOL DAUN KELOR

(Moringa oleifera) DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI


TERHADAP Staphylococcus aureus

SKRIPSI

LENNI SARI
150802038

PROGRAM STUDI S1 KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


UJI IN VIVO PLESTER EKSTRAK METANOL DAUN KELOR
(Moringa oleifera) DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI
TERHADAP Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar


Sarjana Sains

LENNI SARI
150802038

PROGRAM STUDI S1 KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUANALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN ORISINALITAS

UJI IN VIVO PLESTER EKSTRAK METANOL DAUN KELOR


(Moringa oleifera) DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI
TERHADAP Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2019

Lenni Sari
150802038

Universitas Sumatera Utara


PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Uji In vivo Plester Ekstrak Metanol Daun Kelor (Moringa


oleifera) dan Uji Aktivitas Antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus
Kategori : Skripsi
Nama : Lenni Sari
Nomor Induk Mahasiswa : 150802038
Program Studi : Sarjana Kimia
Fakultas : MIPA - Universitas Sumatera Utara

Disetujui di
Medan, Agustus 2019

Ketua Program Studi Pembimbing,

Dr. Cut Fatimah Zuhra, M.Si Dr. Emma Zaidar, M.Si

NIP. 197404051999032001 NIP. 195512181987012001

ii

Universitas Sumatera Utara


UJI IN VIVO PLESTER EKSTRAK METANOL DAUN KELOR
(Moringa oleifera) DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI
TERHADAP Staphylococcus aureus

ABSTRAK

Pembuatan plester dengan mencampurkan tepung tapioka dengan variasi 2; 3 ; 4;


5 dan 6 gram, kitosan dengan komposisi tetap 2 % ( w/v), ekstrak daun kelor dengan
komposisi tetap 10 gram, ditambahkan dengan 2 ml gliserol, diaduk hingga homogen,
dicetak diatas plat akrilik, dikeringkan didalam oven selama ± 1 hari. Diperoleh hasil
optimal 6 gram tepung tapioka, gliserin 2 mL, kitosan 2%, dan 10 gram ekstrak daun
kelor. Dari hasil penelitian pada variasi ini memberikan hasil yang terbaik dengan nilai
karakteristik seperti ketebalan, kuat tarik, kemuluran, SEM dan FT-IR yaitu 0,17
KgF/mm2, 0,08 mm, 24,60 %, memiliki struktur permukaaan yang semakin teratur dan
kompatibel, serta analisa spektrum FT-IR menunjukkan spektrum pada daerah 3262,65
cm-1 menunjukkan adanya gugus OH, Spektrum dengan serapan pada daerah 2925,17
cm-1 dan 1418,36 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H, Spektrum dengan serapan pada
daerah 1721,31 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O. Hal ini menunjukkan adanya
interaksi antara tepung tapioka, kitosan, dan gliserin dalam pembuatan plester. Variasi
plester yang terbaik diuji antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dengan metode
cakram kertas. Plester dengan variasi 6 gram Tepung tapioka menghasilkan zona hambat
sebesar 27,8 mm yang dikategorikan sebagai zona hambat kuat. Plester dengan variasi 5
gram, 4 gram, 3 gram, 2 gram masing-masing menghasilkan zona hambat 23,7 mm, 19,9
mm,18,1 mm dan 15,4 mm. yang dikategorikan sebagai zona hambat kuat. Plester
dengan zona hambat terbaik dilakukan uji in vivo terhadap mencit jantan. Pengamatan
terhadap luka sayat yang diberikan terhadap mencit, dapat disembuhkan dengan waktu
9,25 hari.

Kata Kunci : Plester Luka Sayat, Antibakteri, Daun Kelor, Mencit

iii

Universitas Sumatera Utara


ANALYSIS IN VIVO WOUND DRESSING METHANOL EXTRACT
OF Moringa oleifera LEAF AND ANTIBACTERIAL
ACTIVITY ON Staphylococcus aureus

ABSTRACT

Making wound dressing by mixing tapioca flour with variation 2; 3; 4; 5 and 6


grams, chitosan with a fixed composition of 2% (w / v), Moringa leaf extract with a fixed
composition of 10 grams, added with 2 ml of glycerol, stirred until homogeneous, printed
on an acrylic plate, dried in the oven for ± 1 day. Optimal results obtained 6 grams of
tapioca flour, glycerin 2 mL, 2% chitosan, and 10 grams of Moringa leaf extract. From
the research results on this variation gives the best results with the value of
characteristics such as thickness, tensile strength, elongation, SEM and FT-IR that is 0.17
KgF / mm2, 0.08 mm, 24.60%, has a more regular surface structure and compatible, and
FT-IR spectrum analysis shows the spectrum in the region of 3262.65 cm-1 indicates the
presence of OH groups, the spectrum with absorption in the area of 2925.17 cm-1 and
1418.36 cm-1 indicates the presence of CH groups, the spectrum with absorption in the
area of 1721.31 cm-1 there was a C = O group. This shows the interaction between
tapioca flour, chitosan and glycerin in making wound dressing. The best wound dressing
variations were tested for antibacterial against Staphylococcus aureus by the paper disc
method. wound dressing with a variation of 6 grams of tapioca flour produces a zone of
inhibition of 27.8 mm which is categorized as a strong inhibitory zone. wound dressing
with a variation of 5 gram, 4 gram, 3 gram, 2 gram respectively produces inhibition
zones of 23.7 mm, 19.9 mm, 18.1 mm and 15.4 mm. which is categorized as a strong
inhibitory zone. The best inhibitory wound dressing was tested in vivo against male mice.
Observation of a cut wound given to mice, can be cured with a time of 9.25 days.

Keywords: the wound dressing, Antibacterial, Moringa Leaves, Mice,

iv

Universitas Sumatera Utara


PENGHARGAAN

Bismillahirrohmannirrohim,
Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan Kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan Rahmat dan Berkahnya serta kemudahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terima kasih yang setulusnya penulis berikan kepada Ayahanda Alm. Mara
Luhut Harahap serta Ibunda Nuridan Hasibuan yang tak henti memberi dukungan berupa
moril dan materil hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan sarjana ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ibu Dr. Emma Zaidar Nst, M.Si sebagai Dosen Pembimbing yang selalu menjadi
tempat diskusi dan memberi masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian
dan skripsi ini. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Firman Sebayang
M.S,Ibu Dr.Yuniarti Yusak M.S, Ibu Dr. Rumondang BulanNst. MS dan Bapak M.
Zulham Efendi Sinaga, S.Si, M.Si sebagai Dosen Biokimia, Ibu Dr. Cut Fatimah Zuhra,
M.Si selaku Ketua Departemen Kimia FMIPA USU dan Ibu Dr. Sovia Lenny, M.Si
selaku sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU, serta seluruh staff Dosen dan pegawai
Departemen Kimia FMIPA USU yang telah memberikan ilmu dan membantu segala
keperluan penulis.

Terimakasih juga penulis ucapkan kepada teman semasa perkuliahan dan teman serta
adik-adik asisten biokimia 2016 dan teman teman seperjuangan Kimia 2015 yang
menemani dan berjuang bersama penulis. Terimakasih juga terkhusus kepada Saudara
Kandung Saya , Sinar Depi Harahap, Elvi Khairani harahap, Zulheri Harahap, Andri Adi
Harahap, Maisari Harahap yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil.
Dan tidak lupa kepada sahabat Memel, Dea, Aul, Vira, Ucup, Husni, Tiara, Rizky, Ely,
Intan, Pia, Nina, Jannah, Indah, Irma, Oan, Nurul, Kiky, Milpa, Masito, Kak Lila yang
telah banyak memberikan dukungan semangat.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala
saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan.
Akhir kata Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Medan, Agustus 2019


Lenni Sari

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
PERNYATAAN ORISINALITAS i
PENGESAHAN SKRIPSI ii
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
PENGHARGAAN v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
DAFTAR SINGKATAN xii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Pembatasan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tanaman Kelor (Moringa oleifera) 5
2.2 Luka 8
2.3 Plester 11
2.4 Ekstraksi 12
2.4.1 Syarat-syarat Pelarut Yang Baik 12
2.4.2 Metode Ekstraksi Menggunakan Pelarut 13
2.5 Metabolit Sekunder 14
2.6 Antibakteri 16
2.6.1 Uji Aktivitas Antibakteri 17
2.6.2 Bakteri Gram Positif 19
2.6.3 Bakteri Gram Negatif 20
2.6.4 Bakteri Staphylococcus aureus 20
2.7 Mencit (Mus musculus) 22
2.8 Kitosan 25

BAB 3 METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 26
3.2 Alat dan Bahan 26
3.2.1 Alat - alat 26
3.2.2 Bahan 28
3.3 Prosedur Percobaan 28

vi

Universitas Sumatera Utara


3.3.1 Pengambilan Sampel 28
3.3.2 Pembuatan Larutan Pereaksi 28
3.3.2.1 Pembuatan Larutan CH3COOH 1% 28
3.3.2.2 Pembuatan larutan kitosan 2% 29
3.3.3 Cara Kerja 29
3.3.3.1 Preparasi Sampel 29
3.3.4.3 Pembuatan Plester Ekstrak Daun Kelor 29
3.3.4 Pengukuran Ketebalan Plester 30
3.3.5 Pengukuran Kuat Tarik dan kemuluran 30
3.3.6 Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) 31
3.3.7 Analisa FT-IR (Fourier Transform Infra Red) 31
3.3.8 Uji Antibakteri Plester 31
3.3.8.1 Pembuatan Media MHA ( Muller Hinton 31
Agar)
3.3.8.2 Pembuatan Media Agar Miring dan Stok 32
Kultur Mikroba
3.3.8.3 Pembuatan Media Nutrient Agar (NA) 32
Steril
3.3.8.4 Pembuatan Suspensi Mikroba 32
3.3.8.5 Uji Aktivitas Antibakteri 32
3.3.9 Uji In Vivo Pada Hewan Mencit 33
3.4 Bagan Penelitian 33
3.4.1 Pembuatan Larutan CH3COOH 1% 33
3.4.2 Pembuatan Larutan Kitosan 2% 33
3.4.3 Preparasi Sampel 34
3.4.4 Pembuatan Plester 35
3.4.5 Pengujian Plester 35
3.4.6 Uji Antibakteri Plester 36
3.4.6.1 Pembuatan Media MHA 36
3.4.6.2 Pembuatan Media Agar Miring 36
Dan Stok Kultur Mikroba
3.4.6.3 Pembuatan Suspensi Mikroba 37
3.4.6.4 Uji Aktivitas Antibakteri 37
3.4.7 Uji In Vivo Pada Hewan Mencit 38

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Penelitian 39
4.1.1 Hasil Analisa Karakteristik Plester 39
4.1.2 Hasil Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) 39
4.1.3 Hasil Analisa FT-IR (Fourier Transform Infra Red) 39
4.1.4 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Plester 40
4.1.5 Hasil Uji In Vivo Pada Mencit 41
4.2 Pembahasan Penelitian 42
4.2.1 Analisa Kuat Tarik 43

vii

Universitas Sumatera Utara


4.2.2 Persen Kemuluran 43
4.2.3 Ketebalan 44
4.2.4 Analisa Scanning Electron Microscopy (SEM) 45
4.2.5 Uji Aktivitas Antibakteri Plester 45
4.2.6 Uji In Vivo Pada Mencit (Mus musculus) 46
4.2.7 Analisa FT-IR 47

BAB 5KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan 48
5.2 Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 49
LAMPIRAN 50

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Nomor
Judul Halaman
Tabel
2.1 Sifat Biologis Mencit (Mus musculus) 24
4.1 Hasil Analisa Karakteristik Plester 39
4.2 Interpretasi Gugus Fungsi Senyawa Hasil Analisa FT-IR 41
4.3 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Plester 42
4.4 Rata-rata Waktu (Hari) Penyembuhan Luka Sayat 43

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


Gambar
2.1 Tanaman Kelor 5
2.2 Daun Kelor (Moringa oleifera) 7
2.3 Bakteri Staphylococcus aureus 20
2.4 Mencit (Mus musculus) 23
2.5 Struktur Kimia Kitosan 25
4.1 Perbandingan Hasil Plester dan Ekstrak Daun Kelor 40
4.2 Hasil Analisa Zona Bening Plester 42
4.3 Grafik Diameter Zona Hambat Plester Ekstrak Metanol Daun 46
Kelor
4.4 Hasil Penyembuhan Luka Sayat Mencit 46

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


Lampiran
1. Tabel Hasil Karakterisasi Plester 56
2. Hasil Analisa Permukaan SEM 56
3. Spektrum FT-IR dari Plester dan Ekstrak Daun 58
Kelor
4. Pembuatan Plester 59
5. Uji In-Vivo Mencit 60
6. Hasil Uji Indeks Antimikrobial 62

xi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Kepanjangan
MHA Mueller Hilton Agar
NA Nutrient Agar
RPOT Repeat Opened Patch Test
FT-IR Fourier Transform Infra Red
SEM Scanning Electron Microscopy

xii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelor disebut sebagai miracle tree (si pohon ajaib). Semua bagian tanamannya
terbukti berkhasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit. Namun, pada dasarnya
setiap bagian tanaman kelor memiliki kandungan zat aktif yang berbeda-beda sehinggga
pemanfaatannya pun harus disesuaikan dengan penyakit yang akan disembuhkan. Daun
kelor memiliki manfaat sebagai antimikroba, antibakteri, antiinflamasi (anti radang),
infeksi, antioksidan, kanker kulit, anemia, diabetes, antitumor, cacingan, serta gangguan
saraf (Mardiana, 2012).

Berbagai bagian dari ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) ditemukan sensitif
terhadap pertumbuhan bakteri gram negatif dan gram positif yang menunjukkan sifat
spektrum yang luas dari ekstrak. Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) ditemukan lebih
\sensitif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan bakteri gram negatif. Ekstrak
daun kelor (Moringa oleifera) mengandung alkaloid, glikosida, flavonoid, steroid,
terpenoid, saponin, tanin dan antrakuinon (sinha, 2012)

Pengobatan luka selama ini hanya berasal dari obat sintesis seperti obat merah,
boorwater, dan bubuk sufia. Akan tetapi obat-obat luka tersebut menimbulkan efek
samping yang berbahaya, seperti toksik terhadap otak dan syaraf serta reaksi
hipersentifitas terhadap kulit. Pengobatan luka menggunakan antiseptik juga tidak
dibenarkan karena menimbulkan gangguan hipertiroid (Anonim, 2008).

Banyaknya jenis penutup luka (plester) yang beredar, hingga kini dirasakan masih
memiliki beberapa efek samping yang cukup sensitif bagi kulit. Hal ini dapat disebabkan
karena sebagian besar bahan alternatif tersebut terdiri dari bahan-bahan atau zat kimia
yang berpeluang dapat menyebabkan alergi di sekitar kulit, timbul bintik-bintik merah

Universitas Sumatera Utara


2

yang bergelembung berisi air dan menyebabkan gatal–gatal, bahkan menimbulkan bekas
hitam yang lama hilangnya (NHF, 2008).

Beberapa penelitian terdahulu yang pernah melakukan penelitian yaitu


Penyembuhan luka pada mencit (Mus musculus) yang terjadi pada hari ke-6 dengan
ekstrak daun kelor konsentrasi 50% menunjukan luka sudah tertutup dan daerah yang
dilukai sudah ditumbuhi oleh bulu pada permukaan kulit mencit (Fadilah, 2018).

Salah satu tanaman yang berkhasiat obat adalah tanaman kelor (Moringa
oleifera). Tanaman kelor telah menjadi objek penelitian karena beberapa kegunaannya
dan dikenal berpotensi sebagai bakterisida (Vieira et al., 2010).

(Savitri, E et al. 2018) Ekstrak etanol daun kelor mampu menghambat


pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Dari rata-rata zona hambat yang terbentuk,
ekstrak etanol daun kelor memiliki kekuatan daya hambat terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dalam katagori sedang pada konsentrasi 20% dan 40% dan
kategori kuat pada konsentrasi 60% dan 80%.

(Maya, 2015) Menyatakan bahwa ekstrak daun kelor (Moringa oleifera)


berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada plat
resin akrilik aktivasi panas. Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dengan konsentrasi
40% merupakan konsenrasi yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Sthapylococcus aureus.

Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yaitu
pembuatan ekstrak daun kelor dapat diubah menjadi plester luka yang alami, praktis, dan
aman serta ekonomis sebagai penyembuhan luka sayat yang diaplikasikan pada hewan
mencit (Mus musculus).

Universitas Sumatera Utara


3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Berapakah variasi plester yang optimum sebagai antibakteri?


2. Berapa lama proses penyembuhan luka sayat pada mencit (Mus musculus )?

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini dibatasi pada:

1. Daun kelor penelitian berasal dari Pasar II Tanjung Sari, Medan Selayang

2. Maserasi daun kelor dengan pelarut metanol.

3. Pengujian antibakteri plester luka terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan


variasi tepung tapioka dan aquadest yaitu 2 g : 35 ml ; 3 g : 34 ml ; 4 g : 33 ml ; 5 g ; 32
ml ; 6 g : 31 ml.
4.Metode yang digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri plester luka adalah
metode cakram kertas terhadap staphylococcus aureus
5. Hewan mencit jantan (Mus musculus ) dengan umur 8-11 minggu berat badan
25-30 g

6. Jenis mencit yang digunakan adalah galur wistar

7. Pengujian klinis terhadap mencit (Mus musculus ) dengan ukuran luka 1x1 cm untuk
melihat berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhkan luka
8. Plester hanya untuk luka sayat
9. Uji invivo yang dilakukan adalah cara repeat opened patch test (ROPT)

Universitas Sumatera Utara


4

1.4 Tujuan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui variasi plester yang optimum sebagai antibakteri


2. Untuk mengetahui lama proses penyembuhan luka sayat pada mencit (Mus
musculus)

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumber informasi terhadap


masyarakat tentang pengaplikasian ekstrak daun kelor dapat diubah menjadi plester luka
yang praktis, aman serta ekonomis sebagai penyembuhan luka pada mencit (Mus
musculus ) dengan modifikasi zat aktif kitosan yang diketahui sebagai alternatif untuk
mengurangi aktivitas bakteri dan mempercepat penyembuhan luka.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kelor (Moringa oleifera)

Tanaman kelor yang mempunyai nama dalam bahasa latin disebut Moringa
Oliefera atau dalam bahasa inggris disebut drum stick plant ini merupakan tanaman yang
menjadi sayuran yang banyak nutrisi dan mempunyai berbagai jenis kegunaan.
Pemanfaatan daun kelor menjadi produk olahan selama ini hanya sebatas produk olahan
yang mempunyai umur simpan pendek antara lain sayuran dan minuman, sehingga tidak
semua orang bisa menikmati manfaat daun kelor, terutama masyarakat daerah perkotaan
(Nurcahyati, 2014).

Gambar 2.1 Tanaman Kelor (Moringa oleifera)

Banyak ahli botani mengatakan bahwa tumbuhan kelor (Moringa oleifera)


berasal dari daerah sekitar Himalaya di Utara India. Namun, sekarang ini, pohon kelor
sudah bisa ditemukan di semua daerah tropis di seluruh dunia mulai dari belahan Asia
Selatan sampai dengan Afrika Barat. Bahkan sekarang, pohon kelor juga ditanam dan

Universitas Sumatera Utara


6

menjadi pemandangan di taman-taman di Kepulauan Pasifik mulai dai Karibia sampai ke


arah Utara Marianas (Jonni, 2008).

Di Indonesia, tanaman kelor ini banyak ditanam sebagai pagar atau pembatas
kebun. Banyak orang memanfaatkan daun kelor dan buah kelor untuk sayuran. Tanaman
kelor di Indonesia dikenal dalam berbagai macam nama, misalnya : kelor (Indonesia,
Jawa, Sunda, Bali, Lampung). Kerol (Buru), Marangghi (Madura), Moltong (Flores),
Kelo (Gorontalo), Keloro (Bugis), Kawano (Sumba), Ongge (Bima), Hau Fo (Timor).
(Nurcahyati, 2014).

Tanaman kelor memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae /tumbuhan

Subkingdom : Tracheobionta/tumbuhan berpembuluh

Super Divisi : Spermatophyta/menghasilkan biji

Divisi : Magnoliophyta/tumbuhan berbunga

Kelas : Magnoliopsida/berkeping dua/dikotil

Sub Kelas : Dilleniidae

Ordo : Capparales

Famili : Moringaceae

Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera Lamk (Krisnadi, 2013).

Moringa oleifera adalah tanaman yang kecil, tingginya haya 8 m atau kurang.
Dengan batang yang putih dan lembut, memiliki daun menyirip sepanjang 25-50 cm dan
lebar 3-9 cm. bentuk daun tipis, bulat telur sampai elips dan panjangnya 1,5-2 cm.
Tanaman kelor berumur panjang (parenrial), batangnya berkayu (Lignosus), tegak,
berwarna putih kotor, berkulit tipis, permukaan kasar, dan batang kayunya getas atau

Universitas Sumatera Utara


7

mudah patah (Kurniawan, 2013). Kelor merupakan tanaman yang dapat mentolerir
berbagai kondisi lingkungan, sehingga mudah tumbuh meski dalam kondisi ekstrim
seperti temperatur yang tinggi, di bawah naungan dan dapat bertahan hidup di daerah
bersalju ringan. Kelor tahan dalam musim kering yang panjang dan tumbuh dengan baik
di daerah dengan curah hujan tahunan berkisar antara 250 sampai 1500 mm (Krisnadi,
2013).

Gambar 2.2 Daun Kelor (Moringa oleifera)

Daun kelor mengandung beberapa senyawa aktif, antara lain agnin, leusin dan
metionin (Mardiana, 2013). Daun kelor mengandung beberapa komponen-komponen
fitokimia antara lain Alkaloid 0,4%, Tanin 0,33%, Saponin 18,34%, Flavonoids 0,77%
dan phenol 0,29%. Mineral yang terdapat dalam daun Moringa oleifera berupa Natrium
11,86 ppm, Magnesium 107,56 ppm, Zink 148,54 ppm, Besi 103,75 ppm, Mangan 13,55
ppm, Tembaga 4,66 ppm, Timah 2,96 ppm. Kandungan peroksimat dari daun Moringa
oleifera berupa Karbohidrat 45,43%, protein 16,15%, Lemak 6,355, Serat 9,68%,
Kelembapan 11,76% dan Abu 10.64% (Oluduro, 2012).

Dibalik daun kelor ternyata banyak memiliki manfaat yang sangat luar biasa bagi
kesehatan kita. WHO sebagai organisasi kesehatan dunia pernah mengungkapkan bahwa

Universitas Sumatera Utara


8

daun kelor memiliki kandungan gizi yang sangat besar dibandingkan buah sekalipun
seperti:

 Protein 2 kali lebih besar dari yang dimiliki susu


 Kalsium 4 kali besar dari yang dimiliki susu (Nurcahayati, 2014)

2.2 Luka

Luka merupakan sebuah injuri pada jaringan yang mengganggu proses selular
normal, luka dapat juga dijabarkan dengan adanya kerusakan pada kontinuitas/kesatuan
jaringan tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan substansi jaringan (InETNA,
2004). Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan komunitas kulit mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Ketika
luka timbul, beberapa efek akan muncul seperti hilangnya seluruh atau sebagian fungsi
organ, respon stress simpatis, pendarahan serta pembekuan darah, kontaminasi bakteri,
dan kematian sel (Kozie, 1995).

Penyembuhan adalah mengembalikan integritas dari jaringan yang terluka dan


mencegah organisme dari deregulasi homeostotis. Penyembuhan luka telah berkembang
dari zaman kuno. Aplikasi bahan penutup bertujuan untuk menghentikan pendarahan dan
melindungi luka dari iritasi lingkungan sekitar seperti contohnya air dan gangguan
elektrolit.

Suatu luka dapat diartikan sebagai, “ rusaksnya struktur jaringan normal, baik di
dalam/luar tubuh. Jenis-jenis luka dapat dibagi yaitu sebagai berikut:

 Luka tertutup adalah luka dimana jaringan yang ada pada permukaan tidak rusak,
seperti keseleo, terkilir, patah tulang dan sebagainya
 Luka terbuka adalah luka yang dimana kulit atau jaringan selaput lendir rusak.
Kerusakan ini dapat terjadi karena suatu kesengajaan seperti pada tindakan
operasi

Universitas Sumatera Utara


9

 Luka traumatis adalah luka terbuka yang tidak dibuat sengaja, merupakan sebab
kecelakaan
 Luka robek juga dapat dalam akan tetapi mempunyai dinding-dinding luka yang
tidak rata. Ini mempunyai efek negatif pada penyembuhannya
 Luka tusuk biasanya sangat dalam yang mengakibatkan banyak jaringan-jaringan
yang ada didalamnya rusak. Luka-luka tusuk mempunyai dinding luka yang rata
(licin)
 Luka penetrasi terjadi jika suatu benda (Peluru) yang masuk jauh ke dalam
tubuh. Di sini jaringan-jaringan yang ada di dalam rusak, dan dinding-dinding
luka biasanya tidak rata
 Pada suatu luka bakar terdapat keadaan yang sama halnya seperti pada luka
amputasi dan dekubitis. Pada suatu amputasi, sering mengenai bidang luas yang
menyebabkan penyembuhanya tidak begitu cepat

Penyebab luka

a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis
akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak
dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun
benturan benda tajam ataupun tumpul.

b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa
garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari
seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka
teratur .

c. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan
atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini
dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak
beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.

Universitas Sumatera Utara


10

d. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang
biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang
menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya
menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.

e. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan
memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan
kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut

f. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun
sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan
permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula
karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pada proses penyembuhan luka

- Pengaliran darah lokal, ini harus seoptimal mungkin dalam proses penyembuhan
yang baik
- Ada/tidak adanya edema, adanya ederma dapat menghalangi penyembuhan luka
karena dengan demikian pengaliran darah akan terganggu
- Zat-zat pembakar dan pembangun, zat-zat ini harus ada dalam kadar yang cukup
dalam makanan yang dikonsumsi
- Kebersihan luka, luka yang bersih akan lebih cepat sembuh dari pada luka yang
banyak terdapat nekrosisnya
- Besarnya luka, luka yang besar akan lebih lama sembuhnya dari pada luka yang
kecil, dimana tepi luka itu berdekatan
- Kering atau tidaknya luka, luka yang kering akan lebih cepat sembuh daripada
luka yang basah, karena luka kering akan lebih cepat tumbuh lapisan granulasi di
bawah keropeng luka (Stevens, 1992).

Universitas Sumatera Utara


11

2.3 Plester

Pembalut adalah bahan penutup yang bersih untuk menutup luka. Plester adalah
bahan yang menahan pembalut agar tetap ditempatnya, serta memberi tekanan untuk
mengendalikan pendarahan. Plester yang berpembalut (misalnya, BAND-AID) adalah
kombinasi pembalut dan plester (Purwoko, 2007).

Plester merupakan massa padat atau setengah padat yang ditaburi perekat pada
bahan penunjang yang sesuai dan ditujukan untuk pemakaian luar pada bagian tubuh
supaya terjadi hubungan yang lama dengan tempat yang diobati. Diantara bahan
penunjang adalah kapas, kertas, laken, kain putih, sutera, moleskin atau plastik (Ansel,
2005).

Luka didefenisikan sebagai cacat pada kulit yang disebabkan oleh kecelakaan
mekanik, tersengat listrik, terbakar karena tumpukan bahan-bahan kimia atau tindakan
operasi (Mutia, 2009). Proses penyembuhan luka melibatkan tiga tahap peradangan,
pembentukan pembuluh darah baru dan jaringan konektif serta proses penyembuhan luka
itu sendiri. Plester merupakan salah satu jenis bahan yang digunakan untuk menutup
luka. Terdapat 9 jenis plester yang dibedakan berdasarkan indikasi lukanya, yaitu plester
dengan lapisan tipis film, lembaran hydrogel, hidrokoloid, busa semipermiabel, hydrogel
bersifat amorf, fillers, kasa dilapisi petroleum jelly, kasa pembalut dan wound vacuum.
Dewasa ini terdapat dua tipe plester, yaitu plester dengan sistem reservoir dan plester
dengan sistem matriks (drug in adhesive system). Pada plester sistem reservoir laju
pelepasan obat dari sediaan dan laju permeasi kulit ditentukan oleh kemampuan kulit
mengabsorbsi obat, sedangkan pada sistem matriks laju pelepasan obat dari sediaan
diatur oleh sistem matriks (Summit,1983).

Penutup luka yang ideal harus memiliki sifat antimikroba dan dapat
menyembuhkan luka (kumar et al, 1998). Penutup luka memiliki fungsi sebagai berikut
(Novriansyah, 2008) :

- Melindungi terhadap pengaruh mekanik dan melindungi terhadap kontaminasi

Universitas Sumatera Utara


12

- melindungi infeksi sekunder

- melindungi kekeringan dan hilangnya cairan tubuh

- melindungi hilangnya penguapan

2.4 Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses penarikan komponen aktif (minyak atsiri) yang


terkandung dalam tanaman menggunakan bahan pelarut yang sesuai dengan kelarutan
komponen aktifnya. Cara ekstraksi menggunakan pelarut menguap lebih
menguntungkan, tetapi prosesnya tidak mudah diterapkan dibandingkan dengan cara
penyulingan (Satuhu, 2012)

2.4.1 Syarat-syarat pelarut yang baik

Faktor yang menentukan berhasilnya proses ekstraksi adalah kualitas dari pelarut
yang dipakai. Pelarut yang ideal harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

 Pelarut harus melarutkan semua zat wangi (volatil) dengan cepat dan sempurna,
serta dapat sedikit melakukan zat warna, albumin, dan lilin
 Pelarut bersifat inert atau tidak bereaksi dengan komponen minyak bunga
 Pelarut harus mempunyai titik didih yang cukup rendah serta mudah diuapkan
tanpa menggunakan suhu yang tinggi
 Pelarut tidak boleh larut dalam air
 Pelarut harus mempunyai titik didih yang seragam dan jika diuapkan tidak akan
tertinggal dalam minyak
 Mudah diperoleh dan harganya murah
 Tidak mudah terbakar (Satuhu, 2012)

Universitas Sumatera Utara


13

2.4.2 Metode Ekstraksi Menggunakan Pelarut

Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa


cara sebagai berikut:

a. Maserasi

Maserasi merupakan salah satu jenis ekstraksi padat cair yang paling sederhana.
Proses ekstraksi dilakukan dengan cara merendam sampel pada suhu kamar
menggunakan pelarut yang sesuai sehingga dapat melarutkan analit dalam sampel.
Sampel biasanya direndam selama 3-5 hari sambil diaduk sesekali untuk mempercepat
proses pelarutan analit. Ekstraksi dilakukan beberapa kali sehingga analit terekstraksi
secara sempurna. Kelebihan ekstraksi ini adalah alat dan cara yang digunakan sangat
sederhana, dapat digunakan untuk analit baik yang tahan terhadap pemanasan.
Kelemahannya adalah menggunakan banyak pelarut (Leba, 2017).

b. Perkolasi

Perkolasi merupakan salah satu jenis ekstraksi padat cair yang dilakukan dengan
jalan mengalirkan pelarut secara perlahan pada sampel dalam suatu perlokator. Pada
ektraksi jenis ini, pelarut ditambahkan secara terus menerus, sehingga proses ekstraksi
selalu dilakukan dengan pelarut yang baru. Pola penambahan pelarut yang dilakukan
adalah menggunakan pola penetesan pelarut dari bejana terpisah disesuaikan dengan
jumlah pelarut yang keluar atau dilakukan dengan penambahan pelarut dalam jumlah
besar secar berkala (Leba, 2017).

c. Sokletasi

Sokletasi merupakan salah satu jenis ekstraksi menggunakan alat soklet. Pada
ekstrraksi ini pelarut dan sampel ditempatkan secara terpisah. Prinsipnya adalah ekstraksi
dilakukan secara terus menerus menggunakan pelarut yang relatif sedikit. Bila ekstraksi
telah selesai maka pelarut dapat diuapkan sehingga akan diperoleh ekstrak. Biasanya
pelarut yang digunakan adalah pelarut-pelarut yang mudah menguap atau mempunyai

Universitas Sumatera Utara


14

titik didih yang rendah. Sokletasi dilakukan dengan cara pemanasan pelarut. Uap pelarut
yang dihasilkan mengalami pendinginan dalam kondensor dan secara kontinyu akan
membasahi sampel dan secara teratur pelarut tersebut dimasukkan kembali ke dalam labu
dengan membawa analit. Sokletasi dapat dihentikan dengan cara menghentikan
pemanasan (Leba, 2017).

2.5 Metabolit Sekunder

Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesis oleh makhluk hidup seperti
tumbuhan, mikroba atau hewan melewati proses biosintesis yang digunakan untuk
menunjang kehidupan namun tidak vital (jika tidak ada tidak mati) sebagaimana gula,
asam amino dan asam lemak. Metabolit ini memiliki aktivitas farmakologi dan biologi
(Saifudin, 2014).

Metabolit sekunder tanaman yang mempunyai aktifitas antimikroba baik untuk


bakteri maupun jamur, sehingga membantu menghambat penyebaran patogen dalam
tubuh tanaman. Adapun kandungan metabolit sekunder yaitu:

1. Flavonoid

Flavonoid merupakan suatu senyawa polifenol lebih dari 4000 flavonoid


terindentifikasi, flavonoid tersebut banyak ditemukan di dalam buah-buahan, sayur-
sayuran dan biji-bijian. Macam-macam flavonoid adalah flavanol, flavon, flavanon,
isoflavon, katekin, kalkon, dan antosianin (Hooper et al. 2008). Flavonoid merupakan
suatu senyawa fenol yang tersebar luas pada hampir semua tumbuhan tingkat tinggi,
kecuali algae. Penelitian secara in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa flavonoid
mempunyai aktivitas biologis dan farmakologis, antara lain sebagai antibakteri.
Flavonoid mempunyai aktivitas antibakteri karena flavonoid mempunyai kemampuan
berinteraksi dengan DNA bakteri. Hasil interaksi tersebut menyebabkan terjadinya
kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom dan lisosom (Sabir, 2005).

Universitas Sumatera Utara


15

Sehingga bakteri akan mati dan rusak. Beberapa flavonoid yang mendukung kutub
entri zat terlarut, seperti rutin dan quercetin, mengikat struktur protein membran bakteri
yang disebut porines, menyebabkan perubahan konformasi tridimentonal yang dipapri
oleh karakter pori-pori hidrofilik, yang memudahkan senyawa polar bioaktif masuk
melalui cara difusi (Alvarez et al., 2006).

2. Alkaloid

Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Pada umumnya
alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom
Nitrogen. Umumnya alkaloid tidak berwarna, memiliki rasa pahit, bersifat optis aktif dan
sedikit berupa cairan pada suhu kamar (Harborne,1987). Kegunaan senyawa alkaloid
dalam bidang farmakologi adalah untuk memacu sistem syaraf, menaikkan tekanan
darah, dan melawan infeksi mikrobial (Pasaribu, 2009).

3. Tanin
Tanin merupakan senyawa polifenol yang dapat larut dalam air dan pelarut organik,
juga dapat mengendapkan protein (Daniel, 2006). Tanin termasuk senyawa bahan alam
dalam tanaman ynag terdiri dari sejumlah besar gugus hidroksi fenolik. Senyawa ini
diperlukan oleh tanaman sebagai sarana proteksi dari serangan hewan, bakteri, jamur,
dan insekta (white, 1957). Senyawa kimia ini biasanya ditemukan pada bagian batang,
daun, buah dan akar pada tanaman. Buah yang memiliki kandungan senyawa tannin
biasanya memberikan rasa asam pada buah tersebut. Senyawa fenol dari tannin
mempunyai antiseptik, astrigensia dan pemberi warrna (Damayanti, 2001)
4. Saponoin

Saponin merupakan senyawa berbentuk glikosida dan bersifat seperti sabun yang bisa
menimbulkan busa yang tetap di dalam air apabila dikocok dengan konsentrasi rendah
dapat menyebabkan hemolisis sel darah (Gunawan dkk, 2004). Saponin atau glikosida
sapogenin adalah salah satu tipe glikosida yang tersebar luas dalam tumbuhan. Biasanya
dalam tumbuhan terdapat 2 macam saponin, yaitu glikosida terpenoid dan glikosida

Universitas Sumatera Utara


16

steroid. Kedua senyawa saponin ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam
eter ( Robinson, 1995).

5. Terpenoid
Terpenoid adalah suatu senyawa dari komponen-komponen tumbuhan yang memilki
ciri berbau dan dapat , ester dari asam organic dan dalam kondisi tertentu terikat dengan
protein. Senyawa terpenoid ini biasanya diisolasi dengan cara kristalisasi, destilasi dan
kromatografi (Yanuhar, 2016).

2.6 Antibakteri

Senyawa antibakteri merupakan senyawa yang mempunyai kemampuan


menghambat pertumbuhan mikroorganisme, senyawa ini dapat berasal dari bagian
tanaman tumbuhan seperti daun, bunga, biji, buah, rimpang, batang dan umbi.Sebagian
besar senyawa antibakteri yang berasal dari tanaman diketahui merupakan metabolit
sekunder terutama dari golongan fenolik dan terpena dalam minyak atsiri. Beberapa
senyawa yang bersifat antibakteri dari tanaman diantaranya adalah fitoeleksin, asam
organik, minyak atsiri, fenolitik dan beberapa kelompok pigmen tanaman (Naufalin,
2005).
Jenis bakteri yang umum ditemukan dalam luka terinfeksi adalah S. aureus,
Enterococcus, E. coli, P. aeruginosa, Streptococci haemolytic, Klebsiella, Citrobacter,
dan bakteri Morganella (BSN Medical, 2009). Antibakteri adalah suatu zat yang dapat
melawan infeksi atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme dengan cara
mengahancurkan atau menghambat pertumbuhan serta aktifitasnya. Istilah antibakteri
sering berkaitan dengan penghambatan senyawa dalam pertumbuhan bakteri in vitro dan
in vivo bila diberikan pada jaringan hidup pada kontak yang sesuai (Pelczar, 1988).

Berdasarkan cara kerjanya, antibakteri dibedakan menjadi bakteriostatik dan


bakteriosidal. Antibakteri bakteriostatik adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri, sedangkan antibakteri bakteriosidal adalah zat yang bekerja mematikan bakteri.
Beberapa zat antibakteri bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah dan bersifat

Universitas Sumatera Utara


17

bakteriosidal pada konsentrasi tinggi (Gani, 2007). Mekanisme kerja antibakteri dapat
terjadi melalui lima cara, yaitu hambatan sintesis dinding sel, perubahan permeabilitas
sel, perubahan molekul asam nukleat, penghambatan kerja enzim dan penghambatan
sintesis asam nukleat dan protein (Sunanti, 2007).

2.6.1 Uji Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas antibakteri mempunyai tujuan mengukur aktivitas daya


antibakteri dari suatu senyawa kimia terhadap bakteri, menentukan konsentrasi suatu
antibakteri terhadap cairan badan atau jaringan, dan kepekaan suatu antibiotik
terhadap konsentrasi-konsentrasi obat yang dikenal (Jawetz et al., 2001). Uji aktivitas
antibakteri untuk menentukan kepekaan suatu bakteri patogen dapat dilakukan dengan
dua metode antara lain:

a. Metode Dilusi

Keuntungan utama dari metode dilusi dapat memperkirakan konsentrasi senyawa


uji dalam medium agar atau suspensi broth, biasanya digunakan untuk menentukan
nilai KHM. Pada metode dilusi agar, medium diinokulasi dengan organisme uji dan
sampel yang di uji dicampur dengan inokulum. Material yang diinokulasi dan
pertumbuhan mikroorganisme dapat terlihat dan dibandingkan dengan kultur kontrol
yang tidak mengandung sampel uji. Pengujian diulang dengan variasi dilusi sampel uji
dalam medium kultur dan menentukan dilusi yang paling tinggi dapat mencegah
pertumbuhan mikroorganisme sampel (Rahman et al., 2010). Dalam tabung uji,
berbagai konsentrasi senyawa uji dicampur dengan suspensi bakteri pada beberapa
tabung, konsentrasi terendah menyebabkan penghambatan pertumbuhan
mikroorganisme sesuai dengan nilai KHM. Pada uji mikrodilusi cair, mikroorganisme
yang tumbuh di sumur plat, dimana berbagai konsentrasi senyawa uji ditambahkan.
Pertumbuhan mikroorganisme ditunjukkan oleh adanya kekeruhan dalam sumur
(Choma et al., 2010).

Universitas Sumatera Utara


18

b. Metode difusi

Prinsip dari metode difusi adalah kemampuan suatu agen antibakteri berdifusi ke
dalam media agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji. Beberapa metode
difusi yang sering digunakan untuk uji aktivitas antibakteri adalah tes Kirby Bauer
(disc diffusion), e-test, ditch-plate technique, cup-plate technique dan gradient-plate
technique (Pratiwi, 2008). Metode disc diffusion atau tes Kirby Bauer adalah metode
yang paling banyak digunakan pada uji aktivitas antibakteri. Metode ini termasuk ke
dalam metode difusi agar yang dilakukan dengan cara mengambil beberapa koloni
bakteri uji yang telah ditumbuhkan selama 24 jam sebelumnya dan disuspensikan ke
dalam 0,5 mL media cair kemudian diinkubasi selama 5-8 jam. Suspensi bakteri uji
tersebut ditambahkan akuades steril hingga mencapai kekeruhan tertentu yang
memenuhi standar Mc. Farland dimana standar konsentrasi bakteri 10 8 CFU/ml.
Selanjutnya, dengan menggunakan lidi steril suspensi bakteri dioleskan secara merata
pada media agar, kemudian kertas samir (paper disc) yang berisi agen antibakteri
diletakan di atas media agar tersebut dan inkubasi pada 37 oC selama 24 jam.
Pengamatan dilakukan dengan mengamati ada tidaknya zona hambatan di sekeliling
kertas samir dimana adanya zona hambat menunjukkan adanya aktivitas antibakteri
terhadap bakteri uji (Lorian, 1980).

Selain tes Kirby Bauer, uji yang dapat dilakukan untuk mengamati ada tidaknya
zona hambat terhadap bakteri uji adalah metode sumuran dengan cara mengoleskan
bakteri uji pada permukaan media agar seperti yang dilakukan pada tes Kirby Bauer
atau dapat juga dilakukan dengan menanam bakteri uji pada media agar. Selanjutnya
dilakukan pembuatan sumuran pada media agar dengan diameter tertentu yang
kemudian di isi dengan agen antibakteri. Setelah di inkubasi selama 24 jam pada suhu
37 oC pengamatan dilakukan dengan melihat ada tidaknya diameter hambat di sekitar
sumuran (Lorian, 1980).

Zona hambat yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas antibakteri terhadap bakteri
uji dapat dikatakan memiliki zona hambatan total (radikal) jika zona hambatan yang

Universitas Sumatera Utara


19

terbentuk di sekitar sumuran atau kertas samir terlihat jernih, zona hambatan parsial
(irradikal) jika masih ada koloni bakteri yang tumbuh pada zona hambatan dan zona
hambatan nol jika tidak terbentuk zona hambatan di sekitar sumuran atau kertas samir
yang berisi senyawa uji (Lorian, 1980).

2.6.2 Bakteri Gram Positif

Bakteri Gram Positif merupakan bakteri yang tidak mampu mempertahankan


warna kristal violet pada dinding selnya saat perwarnaan gram dilakukan, pewarnaan
gram sangat penting untuk mengetahui klasifikasi bakteri dan mengetahui identifikasinya
( Radji, 2011 ).

Bakteri gram positif memiliki kandungan peptiodoglikan yang tinggi dibandingkan gram
negative (Waluyo, 2007).

- Dinding sel mengandung peptidoglikan yang tebal, kandungan lipid rendah 1-4 % serta
diikuti pula dengan adanya ikatan benang-benang teichoic acid dan teichoronic acid,
yang merupakan 50% dari berat kering dinding sel dan 10% dari berat kering
keseluruhan sel.

- Pada umumnya berbentuk bulat (coccus)

- Pada pewarnaan Gram, bakteri jenis ini berikatan dengan warna utama (primary Strain)
yaitu Gentian Violet dan tidak luntur (decolorized) bila dicelupkan ke dalam larutan
alkohol.

- Dibawah mikroskop tampak berwarna ungu (Nasution, 2014)

Universitas Sumatera Utara


20

2.6.3 Bakteri Gram Negatif

Adalah bakteri yang mempertahankan zat warna kristal violet sewaktu proses
pewarnaan gram sehingga akan berwarna ungu di bawah mikroskop, Perbedaan
keduanya didasarkan pada perbedaan struktur dinding sel yang berbeda dan dapat
dinyatakan oleh prosedur pewarnaan gram, ditemukan oleh ilmuwan Denmark bernama
Christian gram dan merupakan prosedur penting dalam klasifikasi bakteri (Jawetz, 2005).
Ciri-ciri bakteri gram negatif yaitu
- Mengandung sedikit sekali peptidoglikan dan tidak terdapat ikatan bennag-
benang teichoic acid dan tecichoronic acid
- Pada umumnya berbentung basil kecuali Basillus Antharias dan Basillus cereus
- Pada pewarnaan gram, bakteri jenis tidak mampu berikatan dengan zat warn
autama yaitu gentian violet dan luntur bila dicelupkan kedalam larutan alcohol
- Dibawah mikroskop tampak berwarna merah ( Nasution, 2014)

2.6.4 Bakteri Staphylococcus aureus

Gambar 2.3 Bakteri Staphylococcus aureus (garrity, 2004)

Klasifikasi bakteri Staphylococcus aureus (Garrity, 2004 )

Universitas Sumatera Utara


21

Kerajaan : Bacteria

Pilum : Fimicutes

Kelas : Bacilli

Bangsa : Bacillales

Suku : Staphylococcaceae

Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus juga merupakan bakteri tidak bergerak, dan mampu


membentuk kapsul, berbentuk kokus dan tersusun seperti buah anggur.Ukuran
Staphylococcus berbeda-beda tergantung pada media pertumbuhanya. Apabila
ditumbuhkan dengan media agar, Staphylococcus aureus memiliki diameter 0,5-1,0 mm
dengan koloni berwarna kuning. Dinding selnya mengandung asam teikoat, yaitu sekitar
40% dari berat kering dinding selnya.Asam tekioat adalah beberapa kelompok antigen
dari Staphylococcus. Asam teikoat mengandung aglutinogen dan Nasetilglukosamin
(Rya and Ray, 2004).

Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif. Sel-sel berbentuk bola,


berdiameter 0,5-1,5 µm, terdapat dalam tunggal dan berpasangan dan secara khas
membelah diri lebih dari satu bidang 19 sehingga membentuk gerombolan yang tak
teratur, non metil, tidak diketahui adanya stadium istirahat. Dinding sel mengandung dua
komponen utama yaitu peptidoglikan dan asam teikoat yang berkaitan dengannya.
Metabolisme dengan respirasi dan fermentatif. Anaerob fakultatif, tumbuh lebih cepat
dan lebih banyak dalam keadaan aerobik. Suhu optimum 35-42℃. Berasosiasi dengan
kulit, dan selaput lendir hewan berdarah panas. Kisaran inangnya luas dan banyak galur
merupakan patogen potensial. Berbagai infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus
aureus dimediasi oleh faktor virulen dan respon imun sel inang. Secara umum bakteri
menempel ke jaringan sel inang kemudian berkoloni dan menginfeksi. Selanjutnya

Universitas Sumatera Utara


22

bertahan, tumbuh,dan mengembangkan infeksi berdasarkan kemampuan bakteri untuk


melawan pertahanan tubuh sel inang. Respon sel inang dimediasi oleh leukosit yang
diperoleh dari ekspresi molekul adhesi pada sel endotel. Komponen dinding sel
Staphylococcus aureus yaitu peptidoglikan dan asam teikoat, memacu pelepasan sitokin.
Leukosit dan faktor sel inang lainnya dapat dirusak secara lokal oleh toksin yang
dihasilkan oleh bakteri tersebut. Selain itu adanya protein adheren ekstraseluler
mengakibatkan respon anti inflamasi. Protein ini juga menghambat sekresi leukosit sel
inang dengan cara berinteraksi langsung dengan protein adhesif sel inang, dan 20
fibrinogen. Apabila tubuh tidak cukup berhasil mengatasi infeksi tersebut maka akan
terjadi inflamasi lokal (Rostinawati, 2009).

2.7 Mencit (Mus musculus )

Menurut Mangkoewidjojo dan Smith (1988) taksonomi mencit adalah:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Bangsa : Rodentia

Suku : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus L.

Universitas Sumatera Utara


23

Gambar 2.4 Mencit (Mus musculus )

Mencit (Mus musculus) merupakan hewat pengerat yang memiliki rambut berwarna
keabu-abuan atau putih, mata berwarna merah atau hitam, kulit berpigmen dan perur
sedikit pucat. Mencit dewasa pada umur 35 hari dan memiliki waktu kehamilan 19-21
hari. Mencit dapat melahirkan 6-15 ekor. Mencit dapat hidup mencapai umur 1-3 tahun.
Dilihat dari bentuk luarnya, mencit tampak praktis dan efisien untuk penelitian-penelitian
dalam laboratorium yang ruangannya terbatas. Luas permukaan tubuhnya 36 cm2 pada
berat badan 20 gram. Bobot pada waktu lahir berkisar antara 0,5-1,5 gram yang akan
meningkat sampai lebih kurang 40 gram pada umur 70 hari atau 2 bulan (Harkness,
1983).

Smith dan Mangkowidjojo (1988) menyatakan bahwa mencit sebagai hewan


percobaan sangat praktis untuk penelitian kuantitatif, karena sifatnya yang mudah
berkembang biak, selain itu mencit juga dapat digunakan sebagai hewan model untuk
mempelajari seleksi terhadap sifat-sifat kuantitatif. Sifat biologis mencit secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

Universitas Sumatera Utara


24

Tabel 2.1 Sifat Biologis Mencit (Mus musculus)

Kriteria Keterangan

Lama hidup 1-3 tahun

Lama produksi ekonomis 9 bulan

Lama bunting 19-21 hari

Kawin sesudah beranak 19-24 jam

Umur sapih 21 hari

Umur dewasa kelamin 35 hari

Umur dikawinkan 8 minggu

Siklus estrus 4-5 hari

Lama estrus 12-14 jam

Berat dewasa

Jantan 20-40 g

Betina 18-35 g

Berat lahir 0,5-1,0 g

Berat sapih 18-20 g

Jumlah anak lahir 6-15 ekor

Jumlah putting susu 5 pasang

Kecepatan tumbuh 1 g/hari

Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo (1988).

Universitas Sumatera Utara


25

2.8 Kitosan

Kitosan biasanya ditemukan di alam sebagai kitin, yang secara natural


merupakan komponen makromolekul berupa polisakarida yang dibentuk dari n-asetil-
2-amino-2-deoksi-d-glukosa melalui ikatan β-(1,4) glikosida. Kitosan terbentuk ketika
beberapa gugus asetil dihilangkan dari kitin. Pada tiga dekade terakhir kitosan
digunakan dalam proses detoksifikasi air. Apabila kitosan disebarkan diatas
permukaan air, mampu menyerap lemak, minyak, logam berat, dan zat yang
berpotensi sebagai toksik lainnya (Kumar, 1998). Biasanya produk dengan nilai
derajat deasetilasi lebih dari 60% dapat dilarutkan dalam larutan asam yang disebut
kitosan. Struktur kimia dari kitosan disajikan pada Gambar 1 (Teng, 2012).

Gambar 2.5 Struktur kimia kitosan (Teng, 2012)

kitosan dapat digunakan sebagai antibakteri dengan mekanisme kitosan dapat


berikatan dengan protein membran sel, diantaranya glutamat yang merupakan
komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membran, terutama
phosphatidil colin (PC) sehingga menyebabkan permeabilitas inner membrane (IM)
menjadi meningkat dan dengan meningkatnya permeabilitas IM memberi jalan yang
mudah untuk keluarnya cairan sel. Hal ini menunjukan bahwa cairan sel dapat keluar
dari sitoplasma dengan membawa komponen metabolit lain dan menyebabkan terjadi
lisis. Adanya peningkatan lisis ini menyebabkan terhentinya pembelahan sel
(regenerasi) dan menyebabkan bakteri mati (Simpson, 1997).

Universitas Sumatera Utara


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2018 di Laboratorium


Biokimia/Kimia Bahan Makanan, Uji Antibakteri dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera
Utara. Pengukuran ketebalan plester dan kuat tarik serta kemuluran plester dilakukan di
fakultas Tekhnik Universitas Sumatera Utara. Analisa FT-IR dilakukan di Universitas
Negeri Padang. Analisa Scanning Electron Microscopy (SEM) dilakukan di
Laboratorium Fisika Universitas Negeri Medan serta uji in vivo dilakukan di
Laboratorium Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1. Alat-alat

Peralatan yang digunakan dalam Penelitian ini meliputi:

Alat Merk

- Gelas Beaker Pyrex


- Erlenmeyer Pyrex
- Botol plastik
- Hotplate Cimarec
- Plat akrilik
- Corong kaca
- Oven Gallenkamp

Universitas Sumatera Utara


27

- Thermometer YZ
- Cawan Petri Normax
- Pipet Tetes
- Spatula
- Batang pengaduk
- Kertas saring biasa
- Kapas OnMed
- Magnetik stirrer
- Labu takar Pyrex
- Gelas ukur Pyrex
- Alat SEM (Scanning Electron Microscopy) JSM-6360
- Alat FT-IR (Fourier Transform Infra Red)
- Alat rotary evaporator
- Plester Hipafix Buchy
- Aluminium foil Klinpark
- Jarum ose
- Jangka sorong
- Cotton bad
- Pisau
- Pinset
- Inkubator Vision
- Vortex Vision
- Penggaris Butterfly
- Jarum suntik BD Needle
- Desikator
- Autoklaf Hirayama

Universitas Sumatera Utara


28

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

- Daun kelor(s)
- Metanol(aq)
- Gliserin(aq)
- Kitosan(s)
- Kitosan(aq) 2%
- Aquadest(l)
- CH3COOH(aq) 1%
- Tepung Tapioka(s)
- Gliserin(aq)
- Nutrient Agar (NA)
- Mueller Hinton Agar (MHA)
- Bakteri Staphylococcus aureus

3.3 Prosedur Percobaan

3.3.1 Pengambilan Sampel

Sampel berupa daun kelor yang diperoleh dari pasar II tanjung sari, Medan
selayang yang memiliki nama latin Moringa oleifera.

3.3.2 Pembuatan Larutan Pereaksi

3.3.2.1 Pembuatan Larutan CH3COOH 1%

Dipipet 1 mL larutan CH3COOH glasial kemudian dimasukkan kedalam labu


takar 100 mL. diencerkan dengan aquadest hingga garis batas.

Universitas Sumatera Utara


29

3.3.2.2 Pembuatan Larutan Kitosan 2%

Ditimbang 1 g kitosan kemudian dimasukkan kedalam gelas beaker.


Ditambahkan 50 mL larutan CH3COOH 1%. Didiamkan selama ± 1 jam hingga seluruh
kitosan larut.

3.3.3 Cara Kerja

3.3.3.1 Preparasi Sampel

Daun kelor yang dibersihkan kemudian dikeringkan pada suhu ruangan.


Kemudian dihaluskan dengan blender hingga dapat daun kelor halus. Kemudian
diekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol (perbandingan 1: 6) dan didiamkan
selama 24 jam kemudian disaring dan dirotaryevaporator untuk menghasilkan ekstrak
pekat kemudian dipanaskan diatas waterbath untuk menghilangkan pelarut yang tersisa.

3.3.3.2 Pembuatan Plester Ekstrak Daun Kelor

Sebanyak 2 gram tepung tapioka dimasukkan kedalam gelas beaker yang telah
diisi dengan 35 mL aquadest. Diaduk hingga homogen. Dipanaskan diatas hotplate pada
suhu ± 70℃ hingga mengental dan bercampur tepung tapioka dan aquadest.
Ditambahkan 10 mL ekstrak daun kelor sambil diaduk hingga homogen. Kemudian
ditambahkan larutan kitosan 2% dan 2 mL gliserin. Diaduk hingga homogen
menggunakan magnetic stirrer dan dibiarkan mengental. Campuran dituang ke plat
akrilik dan diratakan. Dikeringkan didalam oven pada suhu ± 40℃ selama 24 jam.
Dilakukan prosedur yang sama untuk tepung tapioka dengan variasi 3 g, 4 g, 5 g, dan 6 g
dan aquadest variasi 34 ml, 33 ml, 32 ml, dan 31 ml. Kemudian lapisan yang telah kering
dibentuk sesuai ukuran dan ditempelkan pada plester hipafix.

Universitas Sumatera Utara


30

3.3.4 Pengukuran Ketebalan Plester

Untuk setiap sampel plester yang akan diuji, ketebalan diukur pada lima titik
yang berbeda menggunakan jangka sorong sebanyak lima kali, yaitu sudut sisi kiri atas,
sudut sisi kanan atas, sudut sisi kiri bawah, sudut sisi kanan bawah dan tengah.
Kemudian, dicari rata-rata dari ketebalan tersebut.

3.3.5 Pengukuran Kuat Tarik dan Kemuluran

Kekuatan tarik suatu bahan didefenisikan sebagai besarnya beban maksimum


(Fmaks) yang digunakan untuk memutuskan spesimennya bahan dibagi dengan luas
penampang awal (A0).

Fmaks
𝜎=
𝐴0

Keterangan:

𝜎 = kekuatan tarik bahan (kgf/mm2)

F = tegangan maksimum (kgf)

A0 = luas penampang (mm2)

Disamping bersama kekuatan tarik (𝜎) sifat mekanik bahan juga diamati dari sift
kemulurannya (𝜀) yang didefenisikan sebagai:

It−I0
𝜀= x 100%
I0

Stroke
σ= x 100%
I0

keterangan:

𝜀 = kemuluran (%)

Universitas Sumatera Utara


31

I0 = panjang specimen mula-mula (mm)

It = panjang specimen setelah diberi beban (mm)

3.3.6 Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy)

SEM (Scanning Electron Microscopy) merupakan alat yang dapat membentuk


bayangan permukaan spesimen secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-
10 nm diarah pada spesimen interaksi berkas electron dengan specimen menghasilkan
beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar x, elektron sekunder,
absorbansi elektron. Dalam hal ini, dilihat permukaan dari pencampuran tepung tapioka
dengan ekstrak daun kelor, kitosan, dan gliserin berdasarkan sifat mekanik yang optimal.

3.3.7 Analisa FT- IR (Fourier Transform Infra Red)

Analisa FT-IR (Fourier Transform Infra Red) merupakan analisa terhadap


interaksi senyawa-senyawa yang terkandung dalam plester berupa uluran atau lekukan
gugus fungsi yang ditampilkan dalam bentuk spektrum gelombang. Dalam hal ini, dilihat
spectrum interaksi gugus fungsi dari plester hasil campuran tepung tapioka, kitosan, dan
gliserin berdasarkan sifat mekanik yang optimal.

3.3.8 Uji Antibakteri Plester

3.3.8.1 Pembuatan Media MHA (Mueller Hinton Agar)

Sebanyak 19 g serbuk Mueller Hinton Agar dimasukkan ke dalam erlenmeyer


lalu dilarutkan dalam 500 ml aquadest dan dipanaskan hingga semua larut dan mendidih.
Lalu disterilkan di autoklaf pada suhu 121̊ C selama 15 menit.

Universitas Sumatera Utara


32

3.3.8.2 Pembuatan Media Agar Miring dan Stok Kultur Mikroba

Kedalam tabung reaksi yang steril dimasukkan 3 mL media Nutrient Agar steril,
didiamkan pada temperatur kamar sampai memadat pada posisi miring membentuk sudut
37°C. Biakan bakteri Staphylococcus aureus dari strain utama diambil dengan jarum ose
steril lalu diinokulasikan pada permukaan media Nutrient Agar miring dengan cara
menggores, kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 18-24 jam.

3.3.8.3 Pembuatan Media Nutrient Agar (NA) Steril

Sebanyak 7 g Nutrient Agar dimasukkan dalam erlenmeyer lalu dilarutkan dalam


250 mL aquadest dan dipanaskan hingga semua larut dan mendidih. Kemudian
dimasukkan kedalam autoklaf lalu disterilkan selama 15 menit pada suhu 121̊ C.

3.3.8.4 Pembuatan Suspensi Mikroba


Kedalam kultur bakteri Streptococcus aureus dimasukkan 10 mL aquadest yang
telah disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Selanjutnya divortex
hingga diperoleh suspensinya. Diukur nilai absorbansi blanko berupa aquadest steril
denganmenggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 600 nm. Diukur
nilai absorbansi suspensi bakteri dengan panjang gelombang 600 nm > DM0,5.

3.3.8.5 Uji Aktivitas Antibakteri

Sebanyak 15 ml media MHA (Mueller Hinton Agar) dimasukkan kedalam cawan


petri, setelah itu dibiarkan sampai memadat, kemudian digoreskan inokulum
Staphylococcus aureus kedalam cawan petri secara sinambung, dan diinkubasi selama 24
jam pada suhu 28-29oC. Diletakkan kertas cakram yang telah direndam plester variasi
tepung atpioka dan aquadest yaitu 2 g : 35 ml ; 3 g : 34 ml ; 4 g : 33 ml ; 5 g ; 32 ml ; 6 g
: 31 ml.

Universitas Sumatera Utara


33

3.3.9 Uji In Vivo Pada Hewan Mencit

Uji in vivo yang digunakan adalah cara repeat opened patch test (ROPT).
Mencit yang digunakan sebagai bahan uji dicukur bulunya secukupnya dan disayat
hingga 3 cm. mencit yang telah di lukai ditempelkan plester variasi terbaik dari hasil uji
antibakteri dan handsaplast hingga menutupi luka. Selama aplikasi area tersebut tidak
boleh dicuci. Reaksi kulit akan dievaluasi selama 24, 48, dan 72 jam.

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Pembuatan Larutan CH3COOH 1%

1 mL CH3COOH
dimasukkan kedalam labu takar 100 mL
diencerkan dengan aquadest
dihomogenkan

Hasil

3.4.2 Pembuatan Larutan Kitosan 2%

1 gr Kitosan
dimasukkan kedalam gelas beaker
ditambahkan 50 mL CH3COOH 1%
didiamkan selama 1 jam sampai kitosan larut

Hasil

Universitas Sumatera Utara


34

3.4.3 Preparasi Sampel

Daun Kelor
dibersihkan dari ranting
dikeringkan pada suhu kamar
dihaluskan dengan blender
disaring

150 g Serbuk Daun Kelor

dimaserasi dengan metanol sebanyak 1L


didiamkan selama 24 jam
disaring

Larutan Metanol Residu


dipekatkan dengan rotaryevaporator

Ekstrak Pekat

Universitas Sumatera Utara


35

3.4.4 Pembuatan Plester

Tepung Tapioka
ditimbang sebanyak 2 g
dimasukkan kedalam gelas beaker
ditambahkan 35 mL aquadest
dipanaskan diatas hotplate ± 70oC
Larutan Putih
ditambahkan 10 mL ekstrak daun kelor
ditambahkan larutan kitosan 2% (w/v)
ditambahkan 2 mL gliserin
diaduk hingga homogen dan mengental
Larutan Hijau

dituang keatas plat akrilik dan diratakan


dikeringkan didalam oven ± 40oC

Lapisan Kering
diukur sesuai cetakan
ditempelkan pada plester hipafix
Plester

Catatan: dilakukan hal yang sama untuk tepung tapioka dan aquadest 3 g : 34 mL, 4 g :
33 mL, 5g : 32 mL, 6 g : 31 ml.

3.4.5 Pengujian Plester

Plester

pengukuran kuat tarik dan uji SEM


ketebalan uji FT-IR
kemuluran

Universitas Sumatera Utara


36

3.4.6. Uji Antibakteri Plester

3.4.6.1 Pembuatan Media MHA

19 gr Mueller Hinton Agar (MHA)

dilarutkan dengan 500 mL aquadest


dipanaskan sambil diaduk hingga larut dan mendidih
disterilkan didalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit

Media Mueller Hinton Agar (MHA)

3.4.6.2 Pembuatan Media Agar Miring dan Stok Kultur Mikroba

7 g Nutrient Agar (NA)


dimasukkan kedalam erlenmeyer
dilarutkan dengan 250 mL aquadest
dipanaskan hingga larut dan mendidih
disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15
menit

Media Nutrient Agar (NA) Steril


dimasukkan 3 mL ke dalam tabung reaksi yang steril
didiamkan pada suhu kamar sampai memadat pada posisi
miring membentuk sudut 30-45o
digoreskan biakan bakteri Staphylococcus aureus dengan
jarum ose steril kepermukaan media Nutrient Agar miring
diinkubasi pada suhu 35oC selama 18-24 jam

Stok Kultur Bakteri

Universitas Sumatera Utara


37

3.4.6.3 Pembuatan Suspensi Mikroba

10 mL Aquadest
dimasukkan kedalam tabung reaksi
disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit
diambil kultur bakteri Staphylococcus aureus dengan jarum ose lalu
dimasukkan kedalam aquadest yang telah steril
diukur nilai absorbansi blanko berupa berupa aquadest steril dengan
panjang gelombang 600 nm
divortex hingga terbentuk suspensi
diukur nilai absorbansi suspensi bakteri dengan panjang gelombang
600 nm > OD 0,5

Suspensi Bakteri

3.4.6.4 Uji Aktivitas Antibakteri

15 mL Media MHA
dimasukkan kedalam cawan petri steril
dibiarkan sampai memadat
diambil cotton bad steril, lalu dicelupkan kedalam inokulum
bakteri
dimasukkan kertas cakram yang telah disterilkan
digoreskan pada media MHA yang telah memadat
dipipet 10 mikro plester dengan berbagai konsentari kedalam
kertas cakram
diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 35oC
diukur diameter zona bening disekitar cakram dengan jangka sorong

Diameter Zona Bening

Universitas Sumatera Utara


38

3.4.7 Uji In Vivo Pada Hewan Mencit

Mencit

dicukur bulunya
disayat hingga 1 cm
ditempelkan plester hingga menutupi seluruh luka
diamati luka setelah 24,48, dan 72 jam

Hasil

Universitas Sumatera Utara


BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Hasil Analisa Karakteristik Plester

Dari hasil penelitian pembuatan dan karakterisasi serta uji aktivitas plester dari
ekstrak daun kelor dengan penambahan tepung tapioka, gliserin sebagai antibakteri
diperoleh karakteristik dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Hasil Analisa Karakteristik plester

No Vari Tebal Lebar L0 A0 Load σ ε


asi (mm) (mm) (mm) (mm) (KgF) (KgF/mm2) (%)
1 I 0,06 10 97 0,84 0,02 0,033 23,15

2 II 0,06 10 97 0,91 0,02 0,033 31,92

3 III 0,07 10 97 0,91 0,03 0,042 20,31

4 IV 0,08 10 97 0,80 0,12 0,15 9,44

5 V 0,08 10 97 0,96 0,14 0,17 24,60

4.1.2. Hasil Analisa Scanning Electron Microscopy (SEM)

Hasil pemeriksaan SEM menunjukkan bentuk permukaan dari plester dari tepung
tapioka, gliserin, kitosan dan ekstrak daun kelor sebagai antibakteri. Dari karakteristik
plester dengan penambahan 6 gram tepung tapioka, 2 gram gliserin, 10 ml ekstrak daun
kelor dan penambahan kitosan 2% menunjukkan hasil terbaik, sehingga dilakukan uji

Universitas Sumatera Utara


40

fisik Scanning Electron Microscopy (SEM) yang menunjukkan hasil permukaan yang
rata serta kompatibel dengan tipe bentuk morfologi yang teratur. Hasil SEM dapat dilihat
pada lampiran 2.

4.1.3. Hasil Analisa Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Hasil analisa FT-IR (Fourier Transform Infra Red) plester dari ekstrak daun kelor
dengan penambahan tepung tapioka, kitosan dan gliserin. Dari karakteristik uji Tarik
pada plester dengan penambahan 6 gram tepung tapioka, 2 gram gliserin, 10 ml ekstrak
daun kelor dan penambahan kitosan 2%, dilakukan uji FT-IR (Fourier Transform Infra
Red) dapat dilihat pada gambar 4.1.

Plester
Ekstrak Daun Kelor
180

160

140

120

%T 100

80 1397,40
3326,28
60
1721,31
40

20

0 3262,65 1418,36
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500

-1
cm

Gambar 4.1 Perbandingan Hasil Analisa FT-IR Plester dan Ekstrak Daun Kelor

Universitas Sumatera Utara


41

Adapun hasil interpretasi pada gugus fungsi dengan analisis FT-IR dapat dilihat pada
table 4.2 berikut:

Tabel 4.2. Interpretasi Gugus Fungsi Senyawa Hasil Analisis FT-IR

Frekuensi (cm-1) Frekuensi (cm-1)


Gugus Fungsi Hasil teori
CH 1418,36 1350-1470, 2850-2960
2925,17

OH 3262,65 3250-3650

C=O 1721,31
1690-1760

1321,64
C-O 1055,51

4.1.4. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Plester

Bakteri yang digunakan untuk plester adalah bakteri Staphylococcus aureus yang dapat
menyerang kulit. Hasil analisis pengujian zona bening plester dengan penambahan
ekstrak daun kelor terhadap bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada gambar
4.2.

Universitas Sumatera Utara


42

Gambar 4.2 Hasil Analisa Zona Bening Plester

Berdasarkan hasil uji antibakteri pada plester didapatkan data sebagai berikut :

Tabel 4.3 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Plester


No Perlakuan Zona Hambat (mm) Indeks Antimikrobial Kekuatan
1 Kontrol 0 0 -
2 Variasi 1 15.4 1.5 Kuat
3 Variasi 2 18.1 2 Kuat
4 Variasi 3 19.9 2.3 Kuat
5 Variasi 4 23.7 2.9 Kuat
6 Variasi 5 27.8 3.6 Kuat

4.1.5 Hasil Uji In Vivo Pada Mencit

Hewan uji yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) jenis galur wistar sebanyak 12
ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 4 ekor dimana masing-
masing kelompok 1 adalah luka tanpa plester (kontrol), kelompok 2 adalah luka yang
ditutupi dengan hansaplast dan kelompok 3 adalah luka yang ditutupi dengan plester dari
ekstrak daun kelor, 2% kitosan, tepung tapioka dan gliserin. Setelah mencit dilukai,
dilakukan pengamatan setiap hari untuk melihat penyembuhan luka mencit dan merawat

Universitas Sumatera Utara


43

mencit dengan benar. Lama penyembuhan luka sayat mencit dapat dilihat pada table 4.2
berikut.

Table 4.4 Rata-rata Waktu (Hari) Penymebuhan Luka Sayat Mencit

Mencit Waktu (Hari)


Kelompok I Kelompok II Kelompok III
1 14 13 10
2 13 12 9
3 13 11 10
4 13 10 8
RATA-RATA 13,25 11,5 9,25

Keterangan:

Kelompok I : luka sayat mencit tanpa plester (kontrol)

Kelompok II : luka sayat mencit ditutupi dengan hansaplast

Kelompok III : luka sayat mencit ditutupi dengan plester plester dengan
penambahan 6 gram tepung tapioka, 2 ml gliserin, 10 ml ekstrak
daun kelor dan kitosan 2%.

4.2 Pembahasan Penelitian

4.2.1 Analisa Kuat Tarik

Kuat Tarik adalah ukuran kekuatan (tarikan) maksimum yang bisa ditahan suatu
benda ketika diregangkan atau ditarik sebelum film tersebut putus atau sobek. Semakin
tinggi gaya yang diproduksi maka kekuatan tariknya akan semakin besar (Fardhyanti dan
Julianur, 2015). Berdasarkan hasil pengukuran kuat tarik pada plester yang paling

Universitas Sumatera Utara


44

mendekati standart minimal japanase industrial standart adalah variasi 4 yaitu dengan
penambahan 6 gram tepung tapioka, 2 % kitosan, 10 gram ekstrak daun kelor dan 2 ml
gliserin yaitu dengan kuat tarik 0,17 KgF/mm2 . Hal ini disebabkan karena proses
pencampuran yang lebih stabil sehingga permukaan film yang dihasilkan merata dan
tidak mudah patah jika ditarik. Menurut japanase industrial standart minimal nilai kuat
Tarik plester adalah 3,92266 Mpa (Ariska dan Suyanto, 2015).

4.2.2 Persen Kemuluran

Kemuluran adalah persentase perubahan panjang film pada saat film ditarik
sampai putus (Krochta, 1997). Pengujian kemuluran dilakukan dengan membandingkan
penamabahan panjang yang terjadi dengan panjang bahan sebelum dilakukan uji Tarik
(Arini, 2017). Berdasarkan hasil uji kemuluran, plester dengan variasi terbaik yaitu
dengan penambahan 6 gram tepung tapioka, 2 % kitosan, 10 gram ekstrak daun kelor dan
2 ml gliserin dihasilkan persen kemuluran sebesar 24,60%. Dari hasil tersebut dapat
dilihat bahwa plester dengan penambahan 6 gram tepung tapioka menghasilkan persen
kemuluran yang tinggi. Menurut Japanase Industrial Standart (1975) persen kemuluran
dikategorikan jelek apabila kurang dari 10% dan dikategorikan sangat baik apabila lebih
dari 50% (Ariska dan Suyanto,2015).

4.2.3 Ketebalan

Sampel diukur dengan menggunakan jangka sorong pada 5 sisi yang berbeda
yaitu sudut sisi kiri atas, sudut sisi kanan atas, sudut sisi kiri bawah, sudut sisi kanan
bawah dan tengah kemudian dicari rata-rata ketebalan tersebut. Ketebalan dinyatakan
dalam mm sedangkan jangka sorong yang digunakan memiliki ketelitian 0,01 mm.
Berdasarkan ketebalan plester yang dihasilkan dengan variasi penambahan 6 gram
tepung tapioka, 2 % kitosan, 10 gram ekstrak daun kelor dan 2 ml gliserin dihasilkan
nilai ketebalan plester yaitu sebesar 0,08 mm. Hal tersebut masih di bawah standart

Universitas Sumatera Utara


45

maksimal ketebalan plester. Menurut Japanase Industruial Standart (1975) maksimal


ketebalan plester adalah 0,25 mm (Ariska dan Suyatno, 2015).

4.2.4 Analisa Scanning Electron Microscopy (SEM)

Hasil SEM akan memperlihatkan permukaan plester, hasil yang didapatkan


dipengaruhi oleh bahan-bahan penyusun dari plester tercampur secara merata atau tidak,
dilihat dari uji mekanik yang tertinggi dilakukan uji SEM terhadap plester. Hasil yang
diperoleh pada analisa SEM disimpulkan bahwa pada plester dengan variasi
penambahan 6 gram tepung tapioka, 2 % kitosan, 10 gram ekstrak daun kelor dan 2 ml
gliserin memperlihatkan pada perbesaran 1500 kali, 2000 kali dan 2500 kali
menghasilkan permukaan yang tidak rata, hal ini dikarenakan masih ada bahan plester
yang seluruhnya tidak homogen. Diduga bahan tersebut adalah ekstrak daun kelor yang
tidak seutuhnya homogen dikarenakan kurang bercampurnya ekstrak kelor dengan air.

4.2.5 UJi Aktivitas Antibakteri Plester

Uji aktivitas antibakteri plester daun kelor dilakukan dengan metode cakram
kertas. Pengujian aktivitas antibakteri ini menngunakan media berupa Nutrient Agar
yang bertujuan agar dapat menumbuhkan bateri uji yang digunakan yaitu Staphylococcus
aureus, hal ini dikarenakan media ini memiliki kandungan nutrisi berupa nitrogen,
karbon serta sumber vitamin bagi pertumbuhannya.
Menurut Davis dan Stout (1971) dalam (Maharani, 2018) menyatakan diameter
zona bening 10-20 mm memiliki daya hambat yang kuat, diameter zona bening 5-10 mm
memiliki daya hambat sedang dan diameter zona bening < 5 mm memiliki daya hambat
lemah.
Dari tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa plester ekstrak methanol daun kelor
menunjukkan diameter zona hambat yang kuat yaitu dengan zona hambat bakteri

Universitas Sumatera Utara


46

berturut-turut 15.4 mm, 18.1 mm, 19.9 mm, 23.7 mm, 27.8 mm. hal ini berbanding lurus
dengan penambahn tepung tapioka dan aquadest.

Plester Ekstrak Metanol Daun Kelor


30
Diameter Zona Hambat (mm)

25

20

15

10

0
Variasi 1 Variasi 2 Variasi 3 Variasi 4 Variasi 5
Variasi Plester

Gambar 4.3 Grafik Diameter Zona Hambat Plester Ekstrak Metanol Daun Kelor

4.2.6 Uji In-Vivo pada Mencit (Mus musculus)

Uji In- Vivo Pada Mencit (Mus musculus)


16

14

12

10
Kelompok I
Hari

8
Kelompok II
6 Kelompok III
4

0
1 2 3 4
Mencit

Gambar 4. 4 Hasil Penyembuhan Luka Sayat Mencit

Universitas Sumatera Utara


47

Hasil uji in vivo yang telah dilakukan terhadap mencit jantan jenis galur wistar
dapat dilihat pada tabel 4.2. penyembuhan luka dengan plester penambahan 5 gram
tepung tapioka, 2 % kitosan, 10 gram ekstrak daun kelor adalah hasil yang terbaik yaitu
selama 9,25 hari. Hal ini dipengaruhi bahan yang terdapat pada plester tersebut. (Savitri,
E et al. 2018) Ekstrak etanol daun kelor mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus. Berdasarkan hasil penyembuhan luka sayat tanpa perlakuan rata-
rata 13,25 hari, luka sayat dengan plester hansaplast menghabiskan rata-rata 11,5 hari
dan luka sayat yang dilapisi dengan plester memerlukan penyembuhan rata-rata 9,25
hari. Dari hasil uji tersebut, penyembuhan luka sayat dengan plester dapat digolongkan
kategori cepat. Berdasarkan penelitian (Khuluqi, A, 2017) Rerata hari penyembuhan luka
sayat pada kelompok tanpa perlakuan ialah 13,3, dengan pemberian povidone iodine 10%
sediaan salep ialah 9,3, dengan pemberian ekstrak daun pegagan (Centella asiatica)
sediaan salep ialah 10,3, dan dengan pemberian ekstrak daun teh hijau (Camellia
sinensis) sediaan salep ialah 11,5.

Gambaran secara makroskopis yang terlihat setelah pembuatan luka sayat pada
punggung mencit yaitu terjadi kemerahan dan pembengkakan di area tepi luka, selain itu
mencit terlihat menggaruk-garuk dan menggigit area luka sayat tersebut. Gambaran
tersebut menjelaskan teori yang dikemukakan (Sjamsuhidajat, 2010) bahwa luka sayat
mengalami reaksi inflamasi yang ditandai dengan warna kemerahan (rubor) karena
kapiler melebar, terjadi pembengkakan (tumor) dan keluamya berbagai mediator
inflamasi.

4.2.7 Analisa FT-IR

Dari hasil FT-IR pada pembuatan plester dengan vasiai penambahan 6 gram
tepung tapioka, 2% kitosan, 2 mL gliserin, dan 10 mL ekstrak daun kelor pada lampiran
3 memberikan spectrum dengan serapan pada daerah 3262,65 cm-1 menunjukkan adanya
gugus hidroksil (OH) atau gugus –NH, spectrum dengan serapan pada daerah 2925,17
cm-1 menunjukkan adanya gugus alkane (CH), spectrum dengan serapan apada daerah
1721,31 cm-1 menunjukkan adanya gugus (C=O) Keton dan spectrum dengan serapan

Universitas Sumatera Utara


48

pada daerah 1321,64 cm-1, 1055,51 cm-1 menunjukkan adanya gugus (C-O) asam
karboksilat.

Universitas Sumatera Utara


BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Dari variasi plester yang dihasilkan, dilakukan uji antibakteri terhadap bakteri
Staphylococcus aureus. Dimana hasil yang paling terbaik adalah variasi ke-5
yaitu dengan penambahan tepung tapioka 6 gram, 31 mL aquadest, kitosan 2%, 2
mL gliserin dan 10 mL ekstrak daun kelor memiliki daya hambat sebesar 27,8%
yang dikategorikan zona hambat kuat. Sedangkan variasi tepung tapioka dan
aquadest (5 gram : 32 mL : 4 gram : 33 mL ; 3 gram : 34 mL ; 2 gram : 35 mL)
masing-masing memiliki daya hambat sebesar 23,7% ; 19,9% ; 18,1% ; dan
15,4%.
2. Plester variasi dengan penambahan tepung tapioka 6 gram, 31 mL aquadest,
kitosan 2%, 2 mL gliserin dan 10 mL ekstrak daun kelor dilakukan uji in vivo
terhadap mencit (Mus musculus) jenis Galur wistar yang dapat menyembuhkan
luka sayat yaitu selama 9,25 Hari.

5.2 Saran

Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan pembuatan plester dengan


penambahan formulasi ekstrak yang memiliki zat antibakteri yang kuat untuk lebih
mempercepat penyembuhan luka sayat serta dapat mengaplikasikannya pada jenis luka
lainnya seperti luka bakar.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

[NHF] National Health Federation. 2008. Principles and Practices of Transdermal


Medicine. http://www.thenhf.com/article.php?id=579. [Artikel]. (5 Desember
2011)
Alvarez MDLA, Debattista NB, Pappano NB. 2006. Synergism of Flavonoids with
Bacteriostatic Action Against Stapylococcus aureus ATCC 25 923 and
Eschericha coli ATCC 25 922. Biocell 30 (1) : 39-42

Ananto, F.J, Eko S, Nayla B, Yusri C. 2015. Gel Daun Kelor Sebagai Antibiotik Alami
Pada Pseudomonas seruginosa Secara In vivo. Pharmacy, Vol.12 No. (1)

Anonim. 2008. Merawat Luka, Jangan dengan Obat Merah. www.depkes.go.id. Diakses
tanggal 20 Agustus 2009

Arini Dewi, M. Syahrul. Kasman. 2017. Pembuatan dan Pengujian Sifat Mekanik Plastik
Biodegradable Berbasis Tepung Biji Durian. Journal of science and Technology
, 6 (3) : 276-283

Ariska, R. E. & Suyatno. 2013. Pengaruh Penambahan Pati Bengkoang terhadap


Karakterisasi Fisik dan Mekanik Edible Film dari Pati Bonggil Pisang dan
Keragenan dengan Plastizer Gliserol. Prosiding Seminar, 2 (1), 34-40

BSN Medical. 2009. Bakteri luka yang umum di temukan dalam luka terinfeksi.
http://www.cutimed-sorbact.com/Indonesia/start.html. (20 Desember 2011).

Choma, I. M., dan Edyta, M. G. (2010). Bioautography Detection in Thin- Layer


Chromatography. Journal of Chromatography A Chroma-351708.

Damayanti, L., 2001. Uji Aktivitas Antibakteri Tumbuhan Patikan Kebo (Euphorbia
hirta L) Terhadap Stapylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli
ATCC 25922 Serta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya. Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta

Universitas Sumatera Utara


50

Daniel, M., 2006. Medicinal Plants Chemistry an Properties, Science Publisher, Enfield,
NH. USA

Davis & Stout. 1971. Disc Plate Method of Microbiological Antibotic Essay. Journal of
Microbiology. Vol 22 No. 4

Fadilah, 2018. Uji Aktivitas Daun Kelor (Moringa oleifera) Terhadapa Penyembuhan
Luka Pada Mencit (Mus musculus L.). [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera
Utara, Program Studi S1 KIMIA.

Fardhyanti, D. S dan S.S. Julianur. 2015. Karakterisasi Edible Film Berbahan Dasar
Ekstrak Keragenan dan Rumput Laut (Euchema cottoni). Jurnal Bahan Alam
terbarukan. 4 (2): 68-73

Gani, A. 2007. Aktivitas antibakteri ekstrak kasar dalaun cocor bebek (Kalanchoe
gastonis-bonnier) skripsi. Bogor: Departemen Biologi FMIPA, Institusi
Pertanian Bogor

Garitty. G. M., Bell. J. A. and Lilburn. T. G. 2004. Taxonomic Outline of The


Prokaryotes Bergey’s Mannual of Systematic Bacteriologi, 2th Edition T.
United State of America, Springer, New York Berlin Hendelberg

Gunawan, Didik dan Sri Mulyani., 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Penerbit
Swadaya : Yogyakarta

Harborne,J.B., 1987. Metode Fitokimia, Penuntun cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Terbitan II. Penerbit ITB. Bandung

Harkness, J. E., The Mouse., 1983. The Biology and Medicine of Rabbits and Rodents.
Second Edition. Lea and Febriger: Philadekphia

Hooper,L., Kroon, P. A., Rimm, E. B., Cohn, J. S., Harvey, L., Lecornu, K. A., et al.
2008. Flavonoids, Flavonoid-rich Foods, and Cardiovascular Risk: a meta-
Analys of randomized controlled trials. American Journal of Clinical
Nutrition,88(1). 1-15

Universitas Sumatera Utara


51

Idonesia Enterostomal Theraphy Nurse Association (InENTA) & Tim Perawatan Luka
dan Stoma Rumah Sakit Dharmais. 2004. Perawatan Luka. Makalah Mandiri.
Jakarta

Jawetz, E., Melnick, J.L., dan Adelberg, E.A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika. Hal. 318-319.

Jonni MS, Sitorus M, dan Katharuna N. 2008. Cegah Malnutiri Dengan Kelor. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta

Khuluqi, A. 2017. Perbedaan Waktu Penyembuhan Luka Sayat Pada Mencit (Mus
muscullus) dengan Ekstrak Daun The Hijau (Camellia sinensis) Dan Daun
Pegagan (Centella asiatica). Palembang

Kozier. 1995. Nursing, Nursing process, Nursing Care. 5th ed. Addison Westley Nursing
. Redwood City. Calif

Krisnadi, A.D. 2015. Kelor Super Nutrisi. Blora: Kelorina


Krochta, dan De Mulder Johsston. 1997. Edible and Biodegradable Polymers Film.
Changes and Opportunities. Food Tehcnology 51
Kurniawan, Setyo. 2013. Obat Ajaib Sirih Merah dan Daun Kelor. Yogyakarta: Buku
Biru

Leba, M. 2017. Ektraksi dan Real Kromatografi. Deepublish: Yogyakarta. 2-5

Lorian, V. 1980. Antibiotics in Laboratory Medicine, Jilid I, 1-179, 510-515. Jakarta:


Universitas Indonesia Press.

Mardiana, L. 2012. Daun Ajaib Tumpas Penyakit. Jakarta: Penebar Swadaya

Maya, M. 2015. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Kelor (Moringa Oleifera )


Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus Pada Plat Resin Akrilik
Aktivasi Panas. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta

Universitas Sumatera Utara


52

Mutia, T.2009. Peranan Serat Alam Untuk Bahan Baku Tekstil Medis Pembalut Luka
(Wound dressing). Arena Tekstil. Vol.24 (2) : 60-112

Nasution, M. 2014. Pengantar Mikrobiologi. USU Press. Medan


Naufalin, R. 2005. Kajian Sifat Antimikroba Ekstrak Bunga Kecombrang ( Nicolaia
specioa Horan) terhadap Berbagai Mikroba Patogen dan Perusak Pangan.
Medan: [Tesis] Mawar Perangin-angin FMIPA USU
Novriansyah, Robin., 2008, Perbedaan Kepadatan Kolagen di sekitar Luka Insisi Tikus
Wistar yang Dibalut Kasa Konvensional dan Penutup Oksklusif Hidrokolid
selama 2 dan 14 Hari, [Tesis], Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.
Nurcahyati, Erma. 2014. Khasiat Dahsyat Daun Kelor. Jakarta. Jendela Sehat
Oluduro, A. O. (2012). Evaluation of Antimicrobial properties and nutritional potential
of Moringa Oleifera Lam. Leaf in South-Western Nigeria. Malaysian Journal of
Microbiology, Vol 8 (2) 2012, pp. 59-67

Pasaribu, S. 2009. Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder Dari Daun Tumbuhan Bandotan.
Jurnal Kimia Mulawarman. Vol 8(2) 2009, 63-76

Pelczar, M.J dan Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi 2. UI-Press: Jakarta

Pratiwi, S. S. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.

Purwoko, Tjahjadi. 2007. Fisiologi Mikroba. Jakarta: Bumi Aksara.

Radji, M., 2011. Buku Ajar Mikrobiologi. Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran, EGC. Jakarta

Rahman, M. A., Ahsan, T., dan Islam, S. 2010. Antibacterial and antifungal properties
of methanol extract from the stem of Argyreia argentea. Bang. Journal
Phrmacol, Vol 5, Hal: 41-44.

Robinson, t., 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung. Penerbit ITB

Universitas Sumatera Utara


53

Rostinawati, T. 2009. Aktivitas antibakteri madu amber dan madu putih terhadap bakteri
Pseudomonas aeruginosa multiresisten dan Staphylococcus aureus resisten
metisilin. Penelitian Mandiri. Universitas Padjajaran, Fakultas Farmasi.
Jatinagor.

Ryan, J. K & Ray, G. C. 2004. Sherris Medical Microbiology An Introduction to


Infections Diseases, Edisi 4, 21-55, USA, Mc Graw Hill.
Sabir, A., 2005. Aktivitas Antibakteri Flavonoid Propolis Trigona sp terhadap Bakteri
Streptococcus epidermis, dan Micrococcus luteus. Journal of Marine Research.
(2): 152-160

Saifudin,A. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder. Deepublish: Yoyakarta. 22


Salemba Medika, Jakarta

Sjamsuhidajat, R & de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarya: EGC

Satuhu,S.2012. Panduan Lengkap Minyak Atsiri. Penebar Swadaya: Jakarta Hal. 46-47

Savitri, E, Fakhrurrazi, Harris A, 2018, Uji Antibakteri Ekstrak Daun Kelor (Moringa
Oleifera L.) terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal
Kedokteran Hewan. 2 (3): 373-379

Simpson BK. 1997. Utilization of chitosan for preservation of raw shrimp. Journal of
Food Biotechnology 2: 25-44.

Sinha, Sankar, Narayan. 2012. Phytochemical Analysis and Antibacterial Potential of


Moringa Oliefera Iam, International Journal of Science Innovations and
Discoveries, 2(4): 401-407

Smith, B.J. & S. Mangkoewidjojo.1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan


Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Stevens, P.J.M. 1992. Ilmu Keperawatan Jilid 2. Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta

Universitas Sumatera Utara


54

Summit, N.J. 1983. Transderm-Nitro. Acuan Profesional. Ciba Pharmaceutical Co.


Newyork

Sunanti. 2007. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Tunggal Bawang Putih (Allium sativum)
dan Rimpang Kunyit (Curcuma domestica) terhadap Salmonella typhinaria
[skripsi]. Bogor: Departemen Biologi FMIPA, Institusi Pertanian Bogor.

Teng D. 2012. From chitin to chitosan dalam Yao K, Li J, Yao F, Yin Y, editors.
Chitosan-Based Hydrogels: Functions and Applications. Boca Raton: CRC
Press.

Vieira, G. H. F., J. A. Mourao, A. M. Angelo, R. A. Costa, dan R. H. Silva. 2010.


Antibacterial effect (in vitro) of Moringa oleifera and Annona muricata against
gram positive and gram negative bacteria. Rev. Inst. Med. Trop. 3(52):129-132.

Waluyo, L. 2007. Mikrobiologi Umum. Edisi Revisi, UPT, Penerbit Universitas


Muhammadiyah Malang. Malang

White, T., 1957. Tannins their occurrences and significance. J Sci Food Agri. 8: 377-387

Widowati, I., S. Efiyati, dan S. Wahyuningtyas. 2014 Uji aktivitas antibakteri ekstrak
daun kelor (Moringa oleifera L.) terhadap bakteri pembusuk ikan segar
(Pseudomonas aeruginosa). Jurnal PELITA. 2(9): 146-157.

Yanuhar, U., 2016. Mikroalga Laut Nannochloropsis oculata. UB Press. Malang

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


56

Lampiran 1. Tabel Hasil Karakterisasi plester

Tabel 1.1 Hasil analisa kuat Tarik dan kemuluran plester dari campuran 6 gram tepung
tapioka, 10 gram ekstrak daun kelor, 2% kitosan dan 2 ml gliserin.

No Vari Tebal Lebar L0 A0 Load σ ε


asi (mm) (mm) (mm) (mm) (KgF) (KgF/mm2) (%)
1 I 0,06 10 97 0,84 0,02 0,033 23,15

2 II 0,06 10 97 0,91 0,02 0,033 31,92

3 III 0,07 10 97 0,91 0,03 0,042 20,31

4 IV 0,08 10 97 0,80 0,12 0,15 9,44

5 V 0,08 10 97 0,96 0,14 0,17 24,60

Lampiran 2. Hasil Analisa Permukaaan SEM

Universitas Sumatera Utara


57

Universitas Sumatera Utara


58

Lampiran 3. Spektrum FT-IR dari Plester dan Ekstrak Daun Kelor

Gambar L.3.1. Spektrum FT-IR Plester

Universitas Sumatera Utara


59

Gambar L.3.2. Spektrum FT-IR Ekstrak Daun Kelor

Lampiran 4. Pembuatan Plester

(a) (b)

Universitas Sumatera Utara


60

(c)

Gambar L.4. a). Pencetakan plester

b). Plester setelah dioven

c). Plester luka

Lampiran 5. Uji In Vivo Mencit

(a) (b)

Universitas Sumatera Utara


61

(c ) (d)

(e)

Gambar L.5. a). Hari pertama pada luka mencit

b). Mencit dengan Plester Ekstrak Daun Kelor

c). Mencit dengan Hansaplast

d). Proses penyembuhan luka mencit

e). Mencit sembuh total

Universitas Sumatera Utara


62

Lampiran 6. Hasil Uji Indeks Antimikrobial

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai