Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MATA KULIAH

ANTROPOLOGI KEPOLISIAN

………………….
NO. MHS. ….
PRODI ……………….
NO. ABSEN …

PERGURUAN TINGGI ILMU KEPOLISIAN


ANGKATAN KE-79
TAHUN 2021
Latihan kasus (1)
Deskripsi Kasus:
• R adalah seorang karyawati di perusahaan penerbangan milik negara.
• PT memiliki kebijakan bahwa usia pensiun untuk karyawan 55 tahun dan
karyawati 45 tahun. Di samping itu karyawati di perusahaan tersebut juga
harus menjaga penampilan untuk memenuhi standar perusahaan: berat
badan tidak boleh lebih dari 45 kg, tidak berjerawat, tidak berketombe dsb
• Di ulangtahun R yang ke 45 dia mendapatkan surat pemberhentian kerja

Analisis Kasus:
Diskriminasi terhadap perempuan yang terus terjadi di berbagai belahan
dunia masih menunjukkan bahwa pemahaman serta usaha-usaha untuk
mewujudkan kesetaraan gender masih banyak menemukan kendala. Masih
kuatnya budaya patriarkhis masih memposisikan perempuan pada stereotype,
peran dan posisi yang termarginalkan. Padahal relasi yang seimbang
(kesetaraan gender) antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek
kehidupan dapat mendorong percepatan proses pembangunan yang dilandasi
nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi tanpa adanya imperioritas satu jenis kelamin
di satu sisi dan superioritas jenis kelamin di sisi lainnya. Dalam ilustrasi kasus di
atas, R seorang karyawati di perusahaan penerbangan milik negara berpotensi
mengalami diskriminasi di tempat kerja, seperti halnya dengan adanya tuntutan
harus menjaga penampilan untuk memenuhi standar perusahaan: berat badan
tidak boleh lebih dari 45 kg, tidak berjerawat, tidak berketombe dsb, namun di
satu sisi masa kerja yang jauh lebih singkat yaitu diberhentikan pada usia ke 45
Tahun. Meskipun hal tersebut sebagai sebuah kebijakan, namun perlu untuk
dikaji lebih mendalam dengan melibatkan instansi terkait, meninjau peraturan
ketenagakerjaan yang mengatur masa kerja seseorang di tempat kerja.

Latihan kasus (2)


• T , seorang penyandang tuna rungu mengadukan kekerasan seksual
yang dilakukan oleh A, penjaga sekolah terhadap T, kepada unit PPA.
• Kejadian terebut berlangsung beberapa kali: di ruang gamelan sekolah
pada saat T sedang membereskan peralatan seusai mengajar. Dan di kamar
mandi sekolah.
• Unit PPA mengalami kesulitan saat mengolah kasus T karena persoalan
komunikasi dan masalah pembuktian. Di samping itu kejadiannya juga
berulang.
Analisis Kasus:
Kesulitan yang dialami oleh penyidik Unit PPA dalam mengolah kasus T
karena persoalan komunikasi dan masalah pembuktian hendaknya dapat
diatasi oleh penyidik Unit PPA. Penyidik Unit PPA dalam upaya mendapatkan
alat bukti dapat menempuh beberapa langkah, diantaranya sebagai berikut:
1. Memeriksa keberadaan CCTV di lingkungan sekolah dan di titik-titik tertentu,
seperti di area ruang gamelan ataupun akses menunju kamar mandi untuk
menjadikan kasus lebih terang.
2. Memeriksakan T ke RS untuk dilakukan visum et repertum.
Peran dokter dalam kasus kekerasan seksual yaitu memberikan bantuan
berupa pemeriksaan ataupun pengumpulan sampel bukti dari tubuh korban
yang kemudian dituangkan dalam surat keterangan medis atau visum et
repertum. Visum et repertum yang baik harus mampu membuat terang
perkara tindak pidana yang terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik
yang cukup.
3. Menyediakan pendampingan/penerjemah
Penerjemah merupakan ahli bahasa isyarat yang dapat bermanfaat dalam
memahami setiap laporan ataupun kronologis cerita dari T atas tindakan
kekerasan seksual yang dilakukan oleh A, penjaga sekolah.
4. Membawa ke psikolog untuk menghindari adanya trauma psikologis.
Psikologi dapat membantu dalam memulihkan kondisi psikologis dari T yang
mengalami trauma pasca kejadian kekerasan seksual yang dilakukan oleh A,
penjaga sekolah.
5. Setiap proses yang dihadapi haruslah didampingi ahli, penasehat hukum,
dan penerjemah dan orang-orang yang akrab ataupun orang yang mampu
menimbulkan rasa nyaman bagi korban penyandang disabilitas korban
kekerasan seksual guna mempermudah komunikasi dan pemeriksaan.
6. Semua peristiwa yang dialami perempuan korban dan dituturkan kepada
aparatur penegak hukum merupakan bagian penting yang harus
dirahasiakan oleh aparatur penegak hukum.
Apabila korban penyandang tuna rungu adalah anak dibawah umur yang
dilakukan penjaga sekolah berkali kali dasar hukum yang dipakai adalah UU
Perlindungan Anak yaitu pasal 76 D Jo Pasal 81 ayat (1) UURI No 17 th 2016
tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang undang Nomor 1
tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UURI Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjadi Undang undang dengan ancaman hukuman maks
15 tahun dan min 5 tahun. Mengingat korban penyandang tuna rungu penyidik
wajib memberikan pelayanan sesuai UU No 8 Th 2016 tentang Penyandang
Disabilitas yaitu memberikan pendampingan baik dari keluarga maupun dari
sekolah luar biasa, sehingga korban dapan memberikan keterangan.
Pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak korban pelecehan seksual
dapat dilakukan beberapa bentuk upaya perlindungan oleh Negara, KPAI
maupun LPSK. KPAI memberikan pembinaan dan pendampingan psikologis
korban, menerima proses pengaduan dan pengumpulan data korban pelecehan
seksual, melakukan pembatasan pemberitaan yang berkaitan dengan anak
yang merupakan korban tindak asusila, dan melakukan pemantauan secara
intensif pada anak selama proses sistem peradilan pidana berlangsung. LPSK
memberikan perlindungan kepada anak dengan kegiatan psikolog yang
didampingi oleh wali, melakukan pemantauan dan pendampingan disamping
korban dari awal proses penyidikan hingga persidangan berlangsung,
penggunaan metode teleconference, memberikan perlindungan fisik berupa
pengamanan dan pengawalan oleh polri, yakni rumah aman kepada anak
beserta keluarga, melakukan koordinasi dengan pihak kedutaan terkait.

Latihan kasus (3)


• T dijanjikan menjadi fotomodel oleh pacarnya. Kemudian ia difoto dalam
keadaan tanpa busana.
• Pacar T menggunakan foto-foto tersebut sebagai alat untuk memeras T
supaya mau berhubungan seksual. Kalau T menolak, Pacar T mengancam
akan menyebarluaskan foto-foto T.
• Kemudian kekerasan berlanjut sampai Pacar T memaksa T untuk
berhubungan seksual dengan laki-laki lain.
Analisis Kasus:
Pacar T dapat diduga telah melakukan Tindak Pidana Perdagangan
Orang dan Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi Dan Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau
mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik
yang memiliki muatan pemerasan atau pengancaman Sebagaimana dimaksud
dalam bunyi Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU RI No. 27 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan TPPO dan Pasal 29 ayat (1) Jo Pasal 4 ayat (1) UU RI No 44
Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Pasal 45 ayat (4) Jo Pasal 27 ayat (4) UU
RI No. 11 Tahun 2008 tentang Imformasi dan Transaksi Elektronik.
Perlindungan hukum bagi T selaku korban TPPO, yaitu sebagai berikut:
1. Melindungi hak setiap orang yang menjadi korban kejahatan perdagangan
orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh
hukum dan undang-undang, oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum
yang telah terjadi atas korban serta dampak yang diderita oleh korban, maka
korban tersebut berhak untuk mendapat bantuan dan perlindungan yang
diperlukan sesuai dengan asas hukum.
2. Bantuan dan perlindungan terhadap korban adalah berkaitan dengan hak-
hak asasi korban seperti hak mendapatkan bantuan fisik, hak mendapatkan
bantuan penyelesaian permasalahan, hak mendapatkan kembali haknya,
hak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi, hak memperoleh
perlindungan dari ancaman dan hak memperoleh ganti kerugian
(restitusi/kompensasi) dari pelaku maupun negara.

Anda mungkin juga menyukai