FORMULASI TABLET
UJI DISOLUSI TABLET
Oleh :
1. Menjelaskan perbedaan disolusi antara tablet lepas lambat dan lepas cepat.
2. Menjelaskan pengaruh pemberian tablet lepas lambat dan lepas cepat pada
kinetika obat dalam tubuh
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Disolusi
Disolusi adalah suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa obat dari
sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Proses ini dikendalikan oleh
afinitas zat padat terhadap larutan. Selain itu disolusi juga dikatakan sebagai
hilangnya kohesi suatu padatan karena aksi dari cairan yang menghasilkan suatu
disperse homogen untuk ion atau molekuler. Kecepatan pelarutan atau laju
pelarutan adalah kecepatan melarutnya zat kimia atau senyawa obat dalam suatu
medium tertentu dari suatu padatan (Wagner. 1971, Sinko. 2006).
Kecepatan suatu padatan melarut dalam suatu pelarut dinyatakan secara
kuantitatif oleh Noyes dan Whitney pada tahun 1897, persamaan tersebut ialah :
𝑑𝑀𝑑𝑡= 𝐷𝑆ℎ (𝐶𝑠−𝐶) Atau 𝑑𝐶𝑑𝑡= 𝐷𝑆𝑉ℎ (𝐶𝑠−𝐶)
M adalah massa zat terlarut yang terlarut selama waktu t; dM/dt adalah
kecepatan disolusi massa (massa/waktu); D adalah koefisien difusi zat terlarut
dalam larutan; S adalah luas permukaan padatan yang terpajan; h adalah tebal
lapisan difusi; Cs adalah kelarutan padatan (yakni, konsentrasi senyawa dalam
larutan jenuh pada permukaan padatan dan pada temperatur percobaan); C adalah
konsentrasi zat terlarut dalam larutan bulk pada waktu t. Kuantitas dC/dt adalah
kecepatan disolusi dan V adalah volume larutan (Sinko, 2006).
2.4 Spektrofotometer
Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban suatu
sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrofotometer merupakan gabungan
dari alat optic dan elektrik serta sifat-sifat kimia fisiknya. Spektrofotometer sesuai
dengan namanya merupakan alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer.
Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu
dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang
diabsorbsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi cahaya secara
relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai
fungsi dari panjang gelombang.
Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum sinar tampak yang
sinambung dan monokromatis. Sel pengabsorbsi untuk mengukur perbedaan absorbsi
antara cuplikan dengan blanko ataupun pembanding. Spektrofotometer Uv-Vis
merupakan spektrofotometer yang digunakan untuk pengukuran didaerah ultra violet
dan didaerah tampak. Semua metode spektrofotometri berdasarkan pada serapan sinar
oleh senyawa yang ditentukan, sinar yang digunakan adalah sinar yang
semonokromatis mungkin.
Spektrofotometer UV-Vis (Ultra Violet-Visible) adalah salah satu dari sekian
banyak instrumen yang biasa digunakan dalam menganalisa suatu senyawa kimia.
Spektrofotometer umum digunakan karena kemampuannya dalam menganalisa begitu
banyak senyawa kimia serta kepraktisannya dalam hal preparasi sampel apabila
dibandingkan dengan beberapa metode analisa. Spektrofotometri UV/Vis melibatkan
energi elektronik yang cukup besar saat analisis, sehingga spetrofotometer UV/Vis
lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibanding kualitatif. Spektrofotometri
UV-vis adalah pengukuran serapan cahaya di daerah ultraviolet (200 –350 nm) dan
sinar tampak (350 – 800 nm) oleh suatu senyawa.
Serapan cahaya uv atau cahaya tampak mengakibatkan transisi elektronik, yaitu
promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital
keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi.Dimana detector dapat mengukur intensitas
cahaya yang dipancarkan secara tidak langsung cahaya yang diabsorbsi. Tiap media
akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu tergantung pada senyawa
atau warna yang terbentuk.
Spektrofotometri UV-Vis merupakan gabungan antara spektrofotometri UV
dan Visible. Alat ini menggunakan dua buah sumber cahaya yang berbeda, yaitu
sumber cahaya UV dan sumber cahaya Visible. Larutan yang dianalisis diukur
serapan sinar ultra violet atau sinar tampaknya. Konsentrasi larutan yang dianalisis
akan sebanding dengan jumlah sinar yang diserap oleh zat yang terdapat dalam
larutan tersebut.
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.2.2 Pembuatan Baku Seri 10; 15; 20; 25; dan 30 ppm
Dipipet 0,1 mL; 0,15 mL; 0,2 mL; 0,25 Dimasukkan masing-masing ke dalam
mL; 0,3 mL dari baku seri 1000 ppm labu ukur 100 mL
4.1 Hasil
4.1.1 Data Hasil Pengamatan
a Hasil absorbansi baku seri dengan berbagai konsentrasi
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
10 0,540
15 0,822
20 1,152
25 1,355
30 1,831
b Hasil absorbansi sampel pada menit dan vessel yang berbeda
Absorbansi
Menit Ke-
Vessel Kiri Vessel Tengah Vessel Kanan
10 1,886 1,882 1,86
20 1,882 1,882 1,890
30 1,884 1,886 1,84
4.1.2 Analisis Data
a Kurva kalibrasi baku parasetamol
1.2
1
0.8 Linear ()
0.6
0.4
0.2
0
5 10 15 20 25 30 35
Konsentrasi (ppm)
b Analisa data
Y = bx + a
Y = 0,0623 x – 0,11
Contoh perhitungan
Menit ke-10 vesel kiri = 1,886
Y = 0,0623 x – 0,11
1,886 = 0,0623 x – 0,11
1,886 + 0,11 = 0,0623 x
1,996 = 0,0623 x
X = 32,0385 mcg/mL
Terdisolusi dalam 900 mL
= 900 x 32,0385
= 28834,65 mcg/mL
28834,65 mcg = 288,3465 mg
% terdisolusi = (288,3465 : 500)
x 100 % = 57,66 %
c Hasil uji disolusi sampel tablet parasetamol
Kadar (%)
Menit Ke-
Vessel Kiri Vessel Tengah Vessel Kanan
10 57,66 % 57,56 % 57,66 %
20 57,56 % 57,56 % 57,78 %
30 57,61 % 57,66 % 57,61 %
4.2 Pembahasan
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting
artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Laju
disolusi adalah jumlah zat aktif dalam sediaan padat yang melarut dalam waktu
tertentu pada praktikum kali ini dilakukan uji disolusi sediaan tablet metformin
extended release dan immediate release menggunakan alat uji disolusi metode
keranjang.
Setelah semua variasi konsentrasi selesai dibuat maka dilakukan
pengukuran serapan/absorbansi dengan spektroskopi sinar UV. Saat pengukuran
sampel dengan spektrofotometer ultraviolet, kuvet yang akan digunakan
dikalibrasi terlebih dahulu. Pertama, kuvet diisi dengan aquadest, lalu disesuaikan
nilai absorbansinya hingga menunjukkan angka nol. Tujuan melakukan kalibrasi
adalah untuk menghindari kesalahan perhitungan konsentrasi. Kuvet dibilas
dengan larutan yang akan dihitung konsentrasinya sehingga kuvet hanya berisi
larutan uji tanpa pengotor. Adanya pengotor dapat menyamarkan perhitungan
konsentrasi karena pengotor dapat memberikan absorbansi. Sebelum dimasukkan
ke dalam spektrofotometer ultraviolet, kuvet dibersihkan menggunakan kertas
tissue bersih. Jika tidak dibersihkan, mungkin pengotor yang berasal dari
praktikan, seperti uap air dapat menempel pada kuvet dan memberikan
absorbansi, sehingga hasil akhir absorbansi dapat keliru.
Pengukuran dilakukan pada λ maksimum supaya dihasilkan serapan yang
maksimum juga. Untuk melakukan pengukuran dengan metode spektrofotometri UV,
sampel dimasukkan ke dalam kuvet. Pengukuran absorbansi hendaknya dimulai dari
sampel yang konsentrasinya kecil agar tidak mempengaruhi pengukuran
konsentrasinya lainnya. Setiap akan mengganti sampel dengan konsentrasi yang
berbeda, kuvet hendaknya dibilas dengan larutan sampel agar tidak ada sisa sampel
yang sebelumnya yang dapat mempengaruhi nilai dari absorbansi.
Menurut Food Drug Administration, suatu zat aktif yang ingin dibuat menjadi
sediaan immediate release atau sediaan lepas cepat adalah zat aktif yang termasuk
Biopharmaceutics Clasification System (BCS) dengan kelarutan zat aktif yang baik.
Kemudian dari segi bentuk sediaan merupakan bentuk sediaan yang dimaksudkan
untuk ditelan, memiliki kelarutan yang tinggi yakni dengan kekuatan sediaan yang
paling tinggi larut dalam 250 mL atau kurang dalam media air dengan pH 1-6,8 di
suhu 37oC ±1oC, tidak memiliki indeks terapi yang sempit, serta mengandung
eksipien yang sesuai. (FDA, 2018). Metformin memiliki kelarutan dalam air yang
tinggi namun memiliki permeabilitas yang rendah sehingga digolongkan dalam
Biopharmaceutics Clasification System (BCS) III. Permeabilitas yang buruk juga
menyebabkan biavailabilitas yang rendah yakni sebesar 60% (Kurniawan, 2012)
Acetaminophenum (asetaminofen) / Paracetamol ( farmakope Indonesia III ,
1979 hal 37) C8H9NO2. Asetaminofen mengandung tidak kurang dari 98,0% dan
tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian Hablur atau serbuk hablur putih ; tidak berbau ; rasa pahit.
Kelarutan Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13
bagian aseton P dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol p ;
larut dalam larutan alkali hidroksida. Suhu lebur 169° sampai 172° C.
Penyimpanan dalam wadah yang tertutup baik, terlindung dari cahaya. Khasiat
dan penggunaan Analgetikum; antipiretikum.
Menurut Farmakope Indonesia edisi V, parasetamol merupakan serbuk
hablur putih, tidak berbau, dan memiliki rasa sediki pahit. Parasetamol larut dalam
1:70 air dingin, 1:20 air mendidih, 1:7 etanol, 1:13 aseton, 1:40 gliserol, 1:9
propilen glikol serta larut dalam metanol, dimetil formalmida, etil diklorida, dan
dalam larutan alkali hidroksida. Parasetamol memiliki titik leleh 168-172ºC dan
pH 5,3-6,5. Tablet dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan solid yang
mengandung satu atau lebih zat aktif dengan atau tampa berbagai eksipien (yang
meningkatkan mutu sediaan tablet, kelancaran sifat aliran bebas, sifat kohesivitas,
kecepatan desintegrasi, dan sifat anti lekat) dan dibuat dengan mengempa
campuran serbuk dalam mesin tablet (Siregar, 2010). Berdasarkan metode
pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Sebagian
besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk sediaan yang
paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan
tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat
dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain
cetakan (Siregar, 2010). Sediaan tablet mempunyai beberapa persyaratan antara
lain uji mutu fisik. Menurut Siregar, mutu dijadikan dasar acuan untuk
menetapkan kebenaran khasiat dan keamanan. Mutu suatu sediaan obat dapat
ditinjau dari berbagai aspek antara lain aspek teknologi yang meliputi stabilitas
fisik dan kimia dimana sediaan tablet harus memenuhi kriteria yang
dipersyaratkan oleh Farmakope. Desain suatu tablet yang menekannkan hanya
pada efek zat aktif yang diinginkan saja dapat menghasilkan sediaan tablet yang
tidak memadai secara fisk.
Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap enzim
siklooksigenase (COX, cyclooxygenase), dan penelitian terbaru menunjukkan
bahwa obat ini lebih selektif menghambat COX-2. Meskipun mempunyai aktivitas
antipiretik dan analgesik, tetapi aktivitas antiinflamasinya sangat lemah karena
dibatasi beberapa faktor, salah satunya adalah tingginya kadar peroksida dapat
lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektivitas hambatannya pada COX-2, sehingga
obat ini tidak menghambat aktivitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan
darah.
Alat uji disolusi yang digunakan adalah alat uji disolusi dengan metode
keranjang dimana prinsip dari alat tersebut yaitu Sediaan obat dimasukan kedalam
keranjang lalu keranjang tersebut di celupkan ke dalam labu berisi dapar. Suhu
labu dipertahankan pada 37oC ± 0,5oC, dengan penangas bersuhu tetap. Motor
yang menggerakkan keranjang diatur dengan kecepatan yang ditentukan,
kemudian cairan sampel diambil pada selang waktu tertentu untuk menentukan
jumlah obat di dalam cairan tersebut. Alat ini terdiri dari wadah tertutup yang
terbuat dari kaca atau bahan lain yang inert, sebuah batang logam, sebuah
keranjang berbentuk silinder yang digerakan oleh motor penggerak. Wadah
kemudian akan tercelup sebagian dalam suatu tangas air yang berukuran
sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada suhu
37oC±0,5oC selama pengujian dan menjaga agar gerakan air dalam tangas konstan.
Pada bagian atas wadah sebaiknya, ujungnya melebar untuk mecegah penguapan,
dapat menggunakan penutup yang sesuai.
Adapun dalam disolusi sendiri bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti;
a Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia zat aktif.
Sifat – sifat fisikokimia zat aktif memiliki peranan dalam pengendalian
disolusinya dari bentuk sediaan. Kelarutan zat aktif dalam air diketahui sebagai
salah satu dari berbagai faktor yang menentukan laju disolusi (Siregar, 2010).
Faktor ini meliputi : Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan
faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan
laju disolusi yang cepat. Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat
memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga
laju disolusi meningkat. (Shargel dan Andrew, 1988).
b Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan.
Faktor yang berkaitan dengan sediaan meliputi :
1) Efek formulasi.
Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan
bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil
dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu
disolusi bertambah, sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi
laju disolusi.
2) Efek faktor pembuatan sediaan.
Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang
larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat
menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju disolusi (Shargel dan
Andrew, 1988)
c Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan.
Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan solid yang mempengaruhi
proses disolusi meliputi metode granulasi atau prosedur pembuatan, ukuran
granul, interaksi zat aktif dan eksipien, pengaruh gaya kempa, pengaruh
penyimpanan pada laju disolusi (Siregar, 2010).
d Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi
Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi dapat menyebabkan hasil disolusi
berubah – ubah dari uji ke uji pada semua teknik pengujian yang digunakan.
Faktor ini meliputi :
1) Tegangan permukaan medium disolusi.
Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi
bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat
meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan
kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang
sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi.
2) Viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil
laju disolusi bahan obat.
3) pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit
lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju
disolusi. Obat-obat asam lemah disolusinya kecil dalam medium asam,
karena bersifat nonionik, tetapi disolusinya besar pada medium basa
karena terionisasi dan pembentukan garam yang larut (Gennaro, 2000).
e Faktor yang berkaitan dengan parameter uji
Beberapa faktor parameter uji disolusi mempengaruhi karakteristik disolusi
zat aktif. Faktor – faktor tersebut seperti sifat dan karakteristik media disolusi, pH,
lingkungan dan suhu sekeliling telah mempengaruhi daya guna disolusi suatu zat
aktif (Siregar, 2010).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut.
2. Hasil percobaan uji disolusi untuk tablet parasetamol immediate
release sudah sesuai yaitu Q = 57,66 %, Hasil itu sudah memenuhi
kriteria Food Drug Administration, yaitu mempunyai nilai Q=80%
dalam 30 menit
3. Hasil percobaan uji disolusi untuk tablet parasetamol extended release
belum sesuai, karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan
oleh USP yaitu dalam waktu 60 menit harus larut tidak kurang dari
20-40 % jumlah yang tertera pada etiket.
5.2 Saran
Dari praktikum yang telah dilaksanakan hendaknya data yang di ambil
dalam penimbangan haruslah secara sempurna. Selain itu sebelum melakukan
praktikum para praktikan sebaiknya sudah menguasai bahan-bahan materi yang
akan dipraktikumkan sehingga memudahkan untuk pemahamannya. Bimbingan
dari laboran atau teknisi juga sangat diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Muhammad, 1987. Ilmu Meracik Obat. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta.
Ansel. 2013. Bentuk Sediaan Farmasetis dan Sistem Penghataran Obat. EGC:
Jakarta.
Tim Penyusun. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Departemen Kesehatan RI:
Jakarta.