Anda di halaman 1dari 3

Nama : Sinta Rukyani

NIM : 045 STYC 20


Tingkat/Semester : 1 / II
Kelas : A1
Mata Kuliah : Konsep Dasar Keperawatan II
Rangkuman Tentang : Konsep Berpikir Kritis Dalam Keperawatan

Berpikir kritis merupakan kemampuan utama yang harus dimiliki perawat. Namun,
metode pembelajaran yang biasa dilaksanakan belum dapat memfasilitasi pengembangan
kemampuan berfikir kritis mahasiswa keperawatan secara optimal. Berfikir adalah
merupakan salah satu fungsi otak dan fungsi tersebut dapat berjalan dengan baik jika tubuh
dalam keadaan sehat dan lingkungan yang memberikan rangsangan. Untuk melaksanakan
proses perawatan perawat dituntut melakukan aktifitas kognitif dalam berpikir kritis yang
diperlukan beberapa komponon antara lain: pengetahuan, pengkajian, kompetensi, sikap dan
standar berpikir kritis dalam proses keperawatan mulai dari proses Pengkajian, Diagnosis
keperawatan, Perencanaan Keperawatan, Pelaksanaan dan evaluasi yang semuanya
merupakan standar praktek keperawatan professional. Perawat dalam memenuhi secara
komperhensif menggunakan keterampilan kritis dan professional sehingga pelayanan yang
diberikan bermutu bagi pasien maupun perawat sendiri. Konsep berpikir kritis merupakan
elemen penting dalam pemberian asuhan keperawatan yang berkualitas. Proses pembelajaran
di lingkungan klinik praktek keperawatan harus didesign dengan metode pembelajaran yang
efektif yang mendukung berpikir kritis pada mahasiswa.
Berpikir kritis (critical thinking) merupakan kompetensi utama yang menunjang
praktik klinik keperawatan (Simpson & Courtney 2002). Berpikir kritis merupakan pondasi
bagi perawat untuk melakukan penalaran, mengidenti-fikasi dan mengatasi masalah pasien
dan mengambil keputusan klinik. Sebagai luarannya, berpikir kritis secara signifikan
berpengaruh terhadap perilaku caring (Mulyaningsih, 2011), kualitas asuhan keperawatan
(Aprisunadi, 2012), dan mendukung keamanan pasien (Alfaro-LeFevre 2011). Sehingga,
berpikir kritis menjadi capaian belajar utama dalam pendidikan keperawatan (Wilkinsom,
2011). Untuk melaksanakan proses perawatan perawat dituntut melakukan aktivitas kognitif
dalam berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis tumbuh pada saat anda memperoleh
pengetahuan baru dalam praktik keperawatan.
Kataoka-Yahiro dan Saylor (1994) mengembangkan model berpikir kritis yang
meliputi tiga tingkat pemikiran kritis, yaitu: dasar, kompleks, dan komitmen. Berpikir kritis
dalam pendidikan keperawatan merupakan komponen penting dari akuntabilitas profesional
dan asuhan keperawatan berkualitas. Mahasiswa keperawatan diharapkan dapat berpikir kritis
untuk memproses data yang kompleks dan membuat keputusan yang cerdas mengenai
perencanaan dan pengelolaan mengingat pentingnya hal tersebut dalam pembuatan
keputusan, problem solving dan clinical judgment, sedangkan kepercayaan diri
mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan individu, dari kemampuan individu untuk
berpikir optimis dan bertahan melalui kesulitan, serta pengembangan rasa percaya diri adalah
komponen utama pengambilan keputusan yang benar dalam konteks klinis
1. Pemikiran Kritis Dasar
Pada tahap pemikiran kritis dasar, pelajar mempercayai bahwa para ahli
memiliki jawaban yang benar untuk setiap masalah. Berpikir adalah nyata dan
berdasar pada setiap masalah. Contohnya, sebagai mahasiswa-mahasiwi keperawatan,
anda menggunakan standar operasional rumah sakit pada saat memasukkan kateter
Foley. Anda akan mengikuti aturan tahap demi tahap tanpa mempertimbangkan
kebutuhan klien secara individual (contoh : posisi untuk mengurangi nyeri atau
membatasi gerakan klien). Anda tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk
mengantisipasi bagaimana menerapkan prosedur secara individual. Pemikiran Kritis
Dasar adalah satu tahap awal untuk mengembangkan suatu penjelasan (Kataoka-
Yohiro dan Saylor, 1994). Pemikir kritis pada tingkat dasar belajar menerima
bagaimana berbagai opini dan nilai yang berbeda dari beberapa ahli (contoh : model
instruktur dan staf perawat).

2. Pemikiran Kritis Kompleks


Pemikiran Kritis Kompleks mulai dapat memisahkan dirinya dari suatu aturan.
Mereka menganalisis dan memeriksa pilihan-pilihan dengan lebih independen.
Kemampuan berpikir dan keinginan untuk melihat pendapat para ahli secara lebih
luas mulai terbentuk. Perawat belajar bahwa solusi alternatif dan mungkin bertolak
belakng mungkin diperlukan. Pada pemikiran kompleks, setiap solusi memiliki
keuntungan dan resiko masing-masing yang harus dipikirkan dengan hai-hati sebelum
menentukan keputusan terakhir.

3. Komitmen
Tingkat ketiga dari pemikiran kritis adalah komitmen (Kataoka-Yahiro dan
Saylor, 1994). Pada tahap ini seseorang dapat mengantisipasi keadaan untuk
menentukan suatu pilihan tanpa bantuan orang lain. Apapun keputusan yang anda
ambil, anda akan mempertanggung jawabkan alternatif kompleks pada suatu masalah.
Pada tingkat komitmen, anda memilih tindakan yang sesuai dengan alternatif
pemecahan yang ada dan mendukungnya.

Berpikir kritis adalah sebuah komitmen untuk berpikir jernih, tepat dan akurat, serta
bertidak sesuai dengan keadaan.Berpikir kritis tidak hanya memerlukan kemampun kognitif,
tetapi juga kebiasaan seseorang untuk bertanya, mempunyai hubungan yang baik, jujur, dan
selalu mau untuk berpikir jernih tentang suatu masalah. Perawat yang menerapkan pemikiran
kritis dalam bekerja akan fokus terhadap penyelesaian masalah dan membuat keputusan, serta
tidak akan membuat keputusan yang terburu-buru ataupun ceroboh. Perawat yang bekerja
dalam situasi kritis seperti di unit gawat darurat sering bertindak terlalu cepat pada saat ada
masalah. Namun, perawat tersebut telah berlatih disiplin dalam membuat suatu keputusan
untuk menghindari keputusan yang terlalu cepat dan tidak tepat.

Untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis, penting untuk mempelajari


bagaimana menghubungkan pengetahuan dan teori dengan praktik. Kemampuan anda untuk
mengelola pengetahuan yang anda dapatkan di kelas, dari membaca atau dari hasil diskusi
dengan pelajar lain, dan kemudian menerapkannya pada saat anda merawat klien adalah hal
yang menantang.
Krulik dan Rudnick (Fachrurazi, 2011) mengklasifikasikan keterampilan berpikir ke dalam
empat tingkat, yaitu: 1) menghafal (recall thinking), 2) dasar (basic thinking), 3) kritis
(critical thinking), 4) kreatif (creative thinking). Selanjutnya, King (1997) mengelompokkan
keempat tingkatan berpikir tersebut menjadi dua kemampuan berpikir, yaitu kemampuan
berpikir dasar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir dasar hanya
terbatas pada hal-hal rutin dan bersifat mekanis, misalnya menghafal dan mengulang
informasi yang pernah dipeolehnya. Sedangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi
kemampu-an pemecahan masalah, pengambilan keputusan berpikir kritis dan berpikir kreatif.
Hal ini menunjukkkan bahwa salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah
kemampuan berpikir kritis.

KESIMPULAN
Berpikir kritis adalah sebuah komitmen untuk berpikir jernih, tepat dan akurat, serta bertidak
sesuai dengan keadaan.Berpikir kritis tidak hanya memerlukan kemampun kognitif, tetapi
juga kebiasaan seseorang untuk bertanya, mempunyai hubungan yang baik, jujur, dan selalu
mau untuk berpikir jernih tentang suatu masalah. Menurut Gaberson & Oermann, (2010)
pemikiran kritis memungkinkan perawat membuat penilaian yang beralasan dan terinformasi
dalam setting praktik dan memutuskan apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu.
Begitupun dengan kepercayaan diri merupakan komponen utama pengambilan keputusan
yang benar dalam konteks klinis dan untuk proses penilaian terkait. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa kepercayaan diri untuk bereaksi terhadap situasi darurat meningkat saat
faktor seperti latihan berulang dan latihan simulasi hadir (Carlos et al.,2014).
Facione, (2016) mengatatakan terdapat enam sub skill dalam berpikir kritis yaitu, interpretasi,
analisis, evaluasi, inferen, penjelasan dan relugasi diri. (Potter dan Perry, 2013),
menejelaskan penerapannya dalam keperawatan. Interpretasi adalah proses memahami dan
menyatakan makna dari banyak bentuk pengalaman, situasi, data, pemeriksaan atau kriteria.

Anda mungkin juga menyukai