Anda di halaman 1dari 51

STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. L DENGAN GANGGUAN


SISTEM PENCERNAAN : MELENA DAN ANEMIA
DI RUANG PENYAKIT DALAM RSUD
BLAMBANGAN

Oleh:

MEGA
PUSPITASARI
NIM. 2020.04.043

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BANYUWANGI
BANYUWANGI
2021
STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. L DENGAN GANGGUAN


SISTEM PENCERNAAN : MELENA DAN ANEMIA
DI RUANG PENYAKIT DALAM RSUD
BLAMBANGAN

Untuk Memenuhi Persyaratan Program Profesi Ners

Oleh:

MEGA
PUSPITASARI
NIM. 2020.04.043

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BANYUWANGI
BANYUWANGI
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melena adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai di bagian

gawat darurat rumah sakit. Sebagian besar pasien datang dalam keadaan stabil

dan sebagian lainnya datang dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan

tindakan yang cepat dan tepat (Mazen, 2011). Melena atau berak darah

merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna bagian

atas (SCBA) (Fadila, 2016). Melena adalah tinja yang keluar berupa cairan

berwarna hitam seperti aspal serta berbau amis dan merupakan manifestasi

perdarahan saluran cerna atas (Trihono et al., 2014).

Menurut World Journal Gastroenterol (WJG) tahun 2015, perdarahan

saluran cerna atas atau yang dikenal dengan hematemesis melena merupakan

kasus kegawatan di bidang gastroenterologi yang saat ini masih menjadi

permasalahan dalam bidang kesehatan dunia dengan prevalensi 75% hingga

80% dari keseluruhan kasus perdarahan saluran cerna. Insidensi melena di

negara barat mencapai 100 hingga 160 kasus per 100.000 penduduk atau

mencapai 400.000 pertahun dengan penyebab terbanyak yaitu tukak peptik

sekitar 40% di Amerika Serikat (Holster & Kuipers, 2012). Hasil yang sama

ditunjukan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di Inggris oleh

Hearnshaw (2010), yaitu penyebab terbanyak adalah tukak peptik sebanyak

36%, diikuti oleh varises esofagus sebanyak 11%. Sementara itu pada tahun

2016, prevalensi melena di Indonesia yaitu sebanyak 1.673 kasus (Adi, 2017).
Berbeda dengan di negera barat yangmana penyebab melena terbanyak

karena tukak peptik, maka di Indonesia penyebab melena terbanyak yaitu

karena ruptura varises gastroesofageal sekitar 50-60%, gastritis erosiva

hemoragika sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 10-15 %, dan karena sebab

lainnya < 5% (Asdie, 2016).

Sementara itu, di Provinsi Jawa Timur kasus melena tidak diketahui

secara pasti. Begitu juga di Kabupaten Banyuwangi. Hal ini dikarenakan

melena merupakan salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang jarang

ditemukan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan dari data registrasi pasien

MRS yang dilakukan di Ruang penyakit dalam RSUD Blambangan pada

tanggal 22 Juni 2021, selama 1 tahun terakhir hanya terdapat 30 kasus

melena. Kasus melena yang ditemukan disertai dengan anemia. Sementara

kasus anemia yang terjadi di Ruang penyakit dalam RSUD Blambangan

tercatat sebanyak 25 kasus selama 1 tahun terakhir.

Penyebab utama dari melena adalah terjadinya perdarahan pada

saluran cerna bagian atas. Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat berupa

kelainan di esofagus dan kelainan di lambung (Nurarif & Kusuma, 2015).

Tanda dan gejala melena yang dapat ditemui antara lain anemia, mual dan

muntah, anoreksia, feses yang berwarna hitam dan gelap, perubahan sirkulasi

perifer, serta rasa cepat lelah dan lemah (Smeltzer & Bare, 2013).

Menurut Lyndon (2014) komplikasi yang bisa terjadi pada pasien

melena adalah koma hepatikum atau ensefalopati hepatikum, syok


hipovolemik, aspirasi pneumoni, anemi posthemoragik serta gagal ginjal

akut. Selain dampak secara fisik, pasien melena akan mengalami dampak

terhadap psikososialnya seperti perasaan tak mampu mengendalikan fungsi

tubuh, perasaan takut karena perubahan fungsi dan struktur tubuh serta

penurunan kepercayaan diri.

Mengingat melena dapat mengakibatkan penderita kehilangan darah

dalam jumlah tertentu, maka tindakan yang biasa dilakukan diantaranya

pemberian cairan IV untuk mencegah dehidrasi, pemberian tranfusi darah jika

terjadi perdarahan yang meluas, serta pemberian vitamin K yang

diprogramkan selama beberapa hari (Lyndon, 2014). Bila usaha kuratif

mengalami kegagalaan dan perdarahan tetap berlangsung, maka dapat

dilakukan tindakan operasi. Operasi efektif dianjurkan setelah 6 minggu

perdarahan berhenti dan fungsi hati membaik (Nurarif & Kusuma, 2015).

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Menjelaskan konsep dasar teori dan asuhan keperawatan pada

klien dengan gangguan sistem pencernaan : Melena dan anemia di

Ruang penyakit dalam RSUD Blambangan Tahun 2021


1.2.2 Tujuan Khusus

Setelah dilakukan asuhan keperawatan ini penulis mampu:

1) Melaksanakan pengkajian pada klien dengan gangguan sistem

pencernaan : Melena dan anemia di Ruang penyakit dalam RSUD

Blambangan Tahun 2021 dan membandingkan secara teoritis

2) Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan

sistem pencernaan : Melena dan anemia di Ruang penyakit dalam

RSUD Blambangan Tahun 2021 dan membandingkannya secara

teoritis

3) Membuat rencana tindakan keperawatan pada klien dengan

gangguan sistem pencernaan : Melena dan anemia di Ruang

penyakit dalam RSUD Blambangan Tahun 2021 dan

membandingkan secara teoritis

4) Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan

sistem pencernaan : Melena dan anemia di Ruang penyakit dalam

RSUD Blambangan Tahun 2021 dan membandingkan

secara teoritis

5) Melaksanakan evaluasi hasil asuhan keperawatan yang telah

diberikan pada klien dengan gangguan sistem pencernaan : Melena

dan anemia di Ruang penyakit dalam RSUD Blambangan Tahun

2021 dan membandingkan secara teoritis


1.3 Manfaat Studi Kasus

1.3.1 Bagi Klien

Membantu klien dalam memperoleh informasi penting tentang

penyakit melena dan anemia, bagaimana usaha pencegahan,

pengobatan dan perawatannya.

1.3.2 Bagi Penulis

Diharapkan studi kasus ini dapat menambah pengetahuan dan

wawasan dalam mengaplikasikan ilmu tentang penerapan asuhan

keperawatan pada pasien dengan melena dan anemia.

1.3.3 Bagi Lahan Praktik

Menambah bahan bacaan dan informasi bagi para perawat

untuk meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik khususnya pada

kasus melena dan anemia.

1.3.4 Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan studi kasus ini dapat digunakan sebagai bahan

masukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan penerapan

asuhan keperawatan yang telah dipelajari di lembaga pendidikan.

1.3.5 Bagi Penulis Selanjutnya

Diharapkan studi kasus ini dapat dijadikan sebagai

perbandingan dan bahan untuk penelitian keperawatan selanjutnya

serta dapat menjadi referensi dan rujukan dalam pembuatan dan

penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan melena dan

anemia.
1.4 Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan pada penyusunan studi

kasus ini yaitu :

1.4.1 Observasi – Partisipatif

Penulis melakukan pengamatan dan turut serta dalam melakukan

tindakan pelayanan keperawatan

1.4.2 Interview

Penulis melakukan pengumpulan data primer dengan cara tenya jawab

mengulas asuhan keperawatan klien dengan melena dan anemia yang

meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi

1.4.3 Studi Literatur / Dokumentasi

Penulis melakukan pengumpulan data sekunder dengan mencari studi

literatur jurnal atau laporan asuhan keperawatan terdahulu melalui

kepustakaan langsung maupun melalui media internet dengan jangka

waktu jurnal 10 tahun terakhir.


BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Medis

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan

Saluran cerna atau traktus digestifus merupakan sistem organ

yang berfungsi untuk mengambil berbagai zat dari luar tubuh (air,

mineral, nutrien, vitamin), memecah partikel-partikel besar menjadi

partikel kecil, dan mentransfer partikel-partikel tersebut dari

lingkungan luar ke dalam darah, untuk selanjutnya digunakan atau

disimpan dalam sel. Secara umum, struktur anatomi sistem

pencernaan terdiri atas saluran yang berkesinambungan dan terhubung

satu sama lain (rongga mulut, faring, esofagus, lambung/gaster, usus

besar, usus halus, anus) serta organ-organ aksesoris, yaitu kelenjar

ludah, liver, pankreas, serta kelenjar empedu (Juffrie, 2018).

Gambar 2.1 Sistem pencernaan manusia Fisiologi saluran cerna


(Digestive system)
Saluran pencernaan menerima makanan dari luar dan

mempersiapkan bahan makanan untuk diserap oleh tubuh dengan jalan


proses pencernaan (mengunyah, menelan, dan penyerapan) dengan

bantuan zat cair yang terdapat mulai dari mulut sampai ke anus.

Fungsi utama sistem pencernaan adalah menyediakan zat nutrisi yang

sudah dicerna secara berkesinambungan untuk didistribusikan ke

dalam sel melalui sirkulasi dengan unsur-unsur air, elektrolit, dan zat

gizi. Sebelum zat gizi ini diserap oleh tubuh, makanan harus bergerak

sepanjang saluran pencernaan (Scanlon & Sanders, 2014).

a. Mulut

Mulut merupakan organ pertama dari saluran pencernaan

yang letaknya meluas dari bibir sampai istimus fausium yaitu

perbatasan mulut dengan faring. Mulut terdiri dari bagian

vestibulum oris dan kavum oris propia. Waktu kita mengunyah gigi

memecah makanan menjadi bagian kecil-kecil (Triagustina, 2015).

b. Tenggorokan (Faring)

Tenggorokan (Faring) adalah organ yang menghubungkan

rongga mulut dengan kerongkongan, panjangnya ±12 cm. Letaknya

tegak lurus antara basis kranii setinggi vertebra servikalis IV ke

bawah setinggi tulang rawan krikoidea. Organ yang terpenting

didalam faring adalah tonsil yaitu kumpulan kelenjer limfe yang

banyak mengandung limfosit untuk mempertahankan tubuh

terhadap infeksi, menyaring dan mematikan

bakteri/mikroorganisme yang masuk melalui jalan pencernaan dan

pernapasan (Triagustina, 2015).


c. Kerongkongan (Esofagus)

Kerongkongan merupakan saluran pencernaan setelah mulut

dan faring, panjangnya ±25 cm dengan posisi mulai dari tengah

leher sampai ujung bawah rongga dada di belakang trakea. Sekresi

esofagus bersifat mukoid yaitu memberi pelumas untuk pergerakan

makanan melalui esofagus, pada peralihan esofagus ke lambung

terdapat sfingter kardiak yang dibentuk oleh lapisan otot sirkuler

esofagus, Gerakan inilah yang membantu mendorong makanan dari

rongga mulut ke lambung, lebih kurang selama 6 detik

(Triagustina, 2015).

d. Lambung

Lambung merupakan sebuah kantong muskular yang

letaknya antara esofagus dan usus halus, sebelah kiri abdomen,

dibawah diafragma bagian depan pankreas dan limpa. Lambung

merupakan saluran yang dapat mengembang karena adanya

gerakan peristaltik, terutama didaerah epigaster. Variasi dari bentuk

lambung sesuai dengan jumlah makanan yang masuk, adanya

gelombang peristaltik tekanan organ lain, dan postur tubuh.

Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi

secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim

(Triagustina, 2015).

e. Usus Halus

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran

pencernaan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada sekum,


panjangnya ±6 m dan merupakan saluran pencernaan paling

panjang. Bentuk dan susunannya berlipat-lipat melingkar, makanan

dapat masuk karena adanya gerakan yang memberikan permukaan

yang lebih luas. Pada ujung dan pangkalnya terdapat katup,

intestinum minor terletak dalam rongga abdomen dan dikelilingi

oleh usus besar. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua

belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus

penyerapan (ileum) (Scanlon & Sanders, 2014).

Gambar 2.2 Anatomi Usus Halus


f. Usus Besar

Usus besar merupakan saluran pencernaan berupa usus

berpenampang luas atau berdiameter besar dengan panjang 1,5-1,7

m dan berpenampang 5-6 m. Usus besar terdiri dari : Kolon

asendens (kanan), Kolon transversum, Kolon desendens (kiri).

Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum). Bakteri di dalam

usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin

K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa

penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-

bakteri di dalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa

menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare


(Scanlon & Sanders, 2014).

Gambar 2.3 Anatomi Usus Besar


g. Usus Buntu

Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”)

dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada

usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar.

Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis

reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar,

sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang

sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.

h. Umbai Cacing (Appendix)

Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada

usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang

umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks

pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau

peritonitis (infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi manusia,

umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau

hanya appendix) adalah ujung buntu tabung yang menyambung

dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap


embrio. Pada orang dewasa, Umbai cacing berukuran sekitar 10 cm

tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi

apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda –

beda yaitu di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) tetapi letaknya

tetap di peritoneum (Scanlon & Sanders, 2014).

i. Rektum dan Anus

Rektum merupakan lanjutan dari kolon sigmoid yang

menghubungkan intestinum mayor dengan anus, panjangnya 12

cm, dimulai dari pertengahan sakrum sampai kanalis anus. Rektum

terletak dalam rongga pelvis didepan os sakrum dan os koksigis.

Anus merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berhubungan

dengan dunia luar terletak didasar pelvis, di dindingnya diperkuat

oleh sfingter ani yang terdiri dari ; sfingter ani internus, sfingter

levator ani, sfingter ani eksternus. Defekasi adalah hasil refleks.

Apabila bahan feses masuk ke dalam rektum, dinding rektum akan

meregang dan menimbulkan impuls aferen dan disalurkan melalui

fleksus mesentrikus sehingga menimbulkan gelombang peristaltik

pada kolon desenden dan kolon sigmoid akan mendorong feses ke

arah anus (Triagustina, 2015).

j. Pankreas

Pankreas merupakan organ lunak yang berjalan miring dan

menyilang dinding posterior abdomen pada regio epigastrium,

terletak dibelakang lambung dan terbentang dari duodenum sampai

ke limpa. Pankreas merupakan kelenjer eksorin dan kelenjer


endokrin. Kelenjar eksorin menghasilkan sekret yang mengandung

enzim yang dapat menghidrolisis protein, lemak dan karbohidrat.

Sedangkan, kelenjer endokrin menghasilkan hormon insulin dan

glukagon yang memegang peranan penting pada metabolisme

karbohidrat (Triagustina, 2015).

k. Hati

Hati merupakan kelenjer aksesoris terbesar dalam tubuh.

Hati berwarna coklat dengan berat 1000-1800 gram. Hati terletak

disebelah rongga perut bagian kanan atas dibawah diafragma.

Sebagian besar terletak pada region hipokondria dengan region

epigastrium. Hati adalah organ yang terbesar di dalam badan

manusia (Triagustina, 2015).

l. Kandung Empedu

Kandung empedu (vesika fallea) adalah kantong berbentuk

buah pir yang terletak pada permukaan viseral diliputi oleh

peritoneum kecuali bagian yang melekat pada hati dan terletak

pada permukaan bawah hati diantara lobus dekstra dan kaudatus

hati. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari

melalui saluran empedu (Triagustina, 2015).

2.1.2 Definisi Melena

Melena adalah tinja yang keluar berupa cairan berwarna hitam

seperti aspal serta berbau amis dan merupakan manifestasi perdarahan

saluran cerna atas (Trihono et al., 2014). Melena adalah buang air
besar berwarna hitam seperti ter yang berasal dari saluran cerna

bagian atas. Saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas

ligamentum treitz, yakni dari jejunum proksimal, duodenum, gaster,

dan esophagus. Pada perdarahan SCBA penting untuk dibedakan

antara perdarahan yang disebabkan oleh varises esofagus dan non-

varises, hal ini dikarenakan perbedaan tatalaksana dan prognosis

(Fadila, 2016). Sistem pencernaan mengolah makanan atau asupan

yang masuk untuk diubah menjadi zat-zat yang diperlukan oleh tubuh.

Oleh karena itu, sistem pencernaan yang terdiri dari organ-organ

tersebut harus tetap terjaga agar dapat menjalankan fungsinya secara

optimal (Brunner & Suddarth, 2015).

2.1.3 Etiologi / Predisposisi

Umumnya melena disebabkab oleh perdarahan saluran cerna

bagian atas. Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat

dikelompokkan menjadi 2 penyebab, yaitu perdarahan variseal dan

non variseal. Perdarahan variseal merupakan perdarahan yang timbul

akibat pecahnya varises esofagus, gaster dan hypertensive portal

gastropathy sebagai akibat hipertensi portal (Keegan et al., 2016).

Perdarahan non variseal merupakan perdarahan SCBA yang bukan

disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, gaster maupun

hypertensive portal gastropathy. Penyebab-penyebab perdarahan

SCBA adalah ulkus peptikum, gastritis erosif, robekan Mallory-Weis,

keganasan pada SCBA, esofagitis, dan malformasi vaskuler (Nurarif


& Kusuma, 2015).

Menurut Nurarif & Kusuma (2015), etiologi melena dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Kelainan Esofagus

1) Varises Esophagus

Penderita melena yang diesbabkan oleh pecahnya

varises esophagus, tidak mengeluh rasa nyeri atau pedih di

epigastrum. Pada umumnya sifat perdarahan timbul spontan

dan massif. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan

tidak membeku karena sudah bercampur dengan asam

lambung.

2) Karsinoma Eshopagus

Karsinoma eshopagus sering memberikan keluhan

melena daripada hematemesis. Disamping mengeluh disfagia,

badan mengurus dan anemis, hanya sesekali penderita muntah

darah dan itu pun tidak massif.

3) Sindroma Mallory – Weiss

Suatu kondisi yang ditandai dengan robekan pada

selaput lendir, yang terletak dibawah kerongkongan. Robekan

tersebut biasnya linear dan muncul dipersimpangan yang

menghubungkan esofagus dan lambung, robekan tersebut

rentan terhadap pendarahan. Biasanya disebabkan karena

terlalu sering muntah hebat dan terus-menerus.


4) Esofagitis dan tukak esophagus

Esophagus bila sampai menimbulkan perdarahan lebih

sering intermitten atau kronis dan biasanya ringan, sehingga

lebih sering timbul melena daripada hematemesis Tukak di

esophagus jarang sekali mengakibatkan perdarahan jika

dibandingkan dengan tukak lambung dan duodenum.

5) Esofagogastritris korosiva

Pernah ditemukan penderita wanita dan pria yang

muntah darah setelah tidak sengaja meminum air keras untuk

Party. Air keras tersebut mengandung asam sitrat dan asam

HCl yang bersifat korosif untuk mukosa mulut, esophagus dan

lambung. Penderita juga mengeluh nyeri dan panas seperti

terbakar di mulut, dada, dan epigastrum.

b. Kelainan di lambung

1) Gastritis Erisovahemoragiika

Melena tidak massif dan timbul setelah penderita

minum obat-obatan yang menyebabkan iritasi lambung.

Sebelum muntah penderita mengeluh nyeri ulu hati.

2) Tukak lambung

Penderita mengalami dyspepsia berupa mual, muntah,

nyeri ulu hati dan sebelum melena didahului rasa nyeri atau

pedih di epigastrum yang berhubungan dengan makanan.

3) Karsinoma lambung

Insidensinya jarang, pasien umumnya berobat dalam


fase lanjut dengan keluhan rasa pedih dan nyeri di ulu hati,

rasa cepat kenyang, badan lemah. Jarang mengalami

hematemesis, tetapi sering melena.

2.1.4 Patofisiologi

Penyakit sirosis hepatis menyebabkan jaringan parut yang

menghalangi aliran darah dari usus yang kembali ke jantung dan

meningkatkan tekanan dalam vena portal (hipertensi portal). Ketika

tekanan dalam vena portal menjadi cukup tinggi, darah yang mengalir

di sekitar hati melalui vena-vena dengan tekanan yang lebih rendah

untuk mencapai jantung. Vena-vena yang paling umum yang dilalui

darah untuk menuju hati adalah vena-vena yang melapisi bagian

bawah dari kerongkongan (esofagus) dan bagian atas dari lambung.

Sebagai akibat dari aliran darah yang meningkat dan peningkatan

tekanan yang diakibatkannya, vena-vena pada kerongkongan bagian

bawah dan lambung bagian atas mengembang dan disebut sebagai

gastrik varises, semakin tinggi tekanan portal, maka varises semakin

besar dan pasien berkemungkinan mengalami perdarahan dari varises-

varises yang ada di kerongkongan (esofagus) atau lambung (Smeltzer

& Bare, 2016).

Varises dapat pecah dan mengakibatkan perdarahan

gastrointestinal yang masif. Hal ini dapat menyebabkan kehilangan

darah tiba-tiba, penurunan curah jantung, dan apabila berlebihan

mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Sebagai respon terhadap


penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi

untuk mencoba mempertahankan perfusi. Apabila volume darah tidak

digantikan maka akan terjadi disfungsi seluler, sel-sel akan menjadi

mestabolisme anaerobi dan terbentuknya asam laktat. Penurunan aliran

darah akan memberikan efek pada sistem tubuh yang mana akan

mengalami kegagalan karena ketidakcukupan oksigen (Bararah &

Jauhar, 2014).

Selain varises esofagus, kelainan pada esofagus yang sering

terjadi adalah esofagogastritis korosiva, tukak esofagus, dan sindroma

Mallory-weiss. Esofagogastritis korosiva ini sering terjadi akibat

benda asing yang mengandung asam sitrat dan asam HCL yang

bersifat korosif mengenai mukosa mulut, esofagus dan lambung

seperti yang terkandung dalam air keras (H2SO4). Sehingga penderita

akan mengalami muntah darah, rasa panas terbakar dan nyeri pada

mulut, dada, serta epigastrium. Sindroma Malloryweiss terjadi di

bagian bawah esofagus dan lambung, gangguan ini awalnya

disebabkan karena muntah-muntah yang lama dan kuat sehingga

menimbulkan peningkatan intra abdomen dan menyebabkan pecahnya

arteri submukosa esofagus, kemudian laserasi pada esofagus yang

terjadi dapat merobek pembuluh darah sehingga menimbulkan

perdarahan.

Kelainan di lambung seperti karsinoma lambung dan gastritis

erosive hemoragika akibat obat-obatan golongan salisilat biasanya

menimbulkan iritasi pada mukosa lambung dan dapat merangsang


timbulnya tukak (ulcerogenic drugs). Apabila erosi ini terus terjadi

maka akan menimbulkan perdarahan yang masif. Darah yang sudah

terkontaminasi dengan asam lambung akan berubah warna menjadi

lebih gelap dan tidak bergumpal (Hadi, 2013).

Beberapa faktor penyebab non varises tersebut kebanyakan

akan mengiritasi mukosa lambung dan mengakibatkan peningkatan

asam lambung sehingga akan menyebabkan terjadinya ulserasi dan

laserasi pada mukosa lambung. Hal ini akan menyebabkan kerusakan

dinding mukosa dan menimbulkan perdarahan. Apabila perdarahan

terjadi dalam jumlah yang banyak maka akan menyebabkan

penurunan volume darah sehingga penderita akan mengalami

kekurangan volume cairan yang ditandai dengan penurunan tekanan

nadi, peningkatan nadi, dan kelemahan. Penderita juga akan

mengeluh mual dan mengalami penurunan nafsu makan akibat

peningkatan asam lambung, selain itu penderita juga akan dipuasakan

minimal hingga perdarahan berhenti. Akibatnya, intake nutrisi yang

masuk ke dalam tubuh akan berkurang dan nutrisi yang dibutuhkan

tubuh menjadi tidak seimbang (Sudoyo, 2014).

Pada melena dalam perjalanannya melalui usus, darah menjadi

berwarna gelap bahkan hitam. Perubahan warna disebabkan oleh HCL

lambung, pepsin dan warna hitam ini diduga karena adanya pigmen

porfirin. Diperkirakan darah yang muncul dari duodenum dan jejunum

akan tertahan pada saluran cerna sekitar 6-8 jam untuk merubah warna

feses menjadi hitam. Paling sedikit perdarahan sebanyak 50-100 cc


baru dijumpai keadaan melena. Feses tetap berwarna hitam seperti ter

selama 48-72 jam setelah perdarahan berhenti, ini bukan berarti

keluarnya feses yang berwarna hitam tersebut menandakan masih

berlangsung. Darah yang tersembunyi terdapat pada feses selama 7-10

hari setelah terjadinya perdarahan tunggal (Bararah & Jauhar, 2014).

Ketika terjadi gangguan pada sistem pencernaan, beberapa

protein dalam makanan yang terlepas dari pencernaan dan penyerapan

digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara normal ada di dalam usus.

Kemudian bakteri-bakteri membuat unsur-unsur yang dilepaskan ke

dalam usus, unsur-unsur ini kemudian dapat diserap kedalam tubuh.

Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia, dapat mempunyai

efek-efek beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur beracun ini

diangkut dari usus di dalam vena portal ke hati dimana mereka

dikeluarkan dari darah dan didetoksifikasi. Ketika unsur-unsur beracun

berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi dari otak akan

terganggu, disebut dengan hepatik ensefalopati atau koma hepatikum.

Gejala-gejala berupa sifat lekas marah, ketidakmampuan untuk

konsentrasi atau melakukan perhitungan, kehilangan memori,

kebingungan, kejang dan penurunan tingkat kesadaran. Sehingga

apabila dibiarkan, hepatik ensefalopati yang parah/berat akan

menyebabkan koma dan kematian (Hadi, 2013).

2.1.5 Gambaran Klinis / Manifestasi Klinis

Menurut Nurarif & Kusuma (2015), Gejala terjadi akibat


perubahan morfologi dan lebih menggambarkan beratnya kerusakan

yang terjadi daripada etiologinya.

Didapatkan tanda dan gejala sebagai berikut:

a. Gejala-gejala intestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual,

muntah dan diare. Demam, berat badan turun, lekas lelah, dan

Ascites

b. Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau

Kecoklatan

c. Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil karena fibrosis.

Hati-hati akan kemungkinan timbulnya prekoma dan koma

hepatikum

d. Kelainan pembuluh darah seperti kolateral di dinding, koput

medusa, wasir dan varises esofagus

e. Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme

yaitu: Impotensiginekomastia, hilangnya rambut axila dan pubis.

Menurut Purwadianto & Sampurna (2016), Manifestasi Klinis

yang dapat ditemukan pada pasien dengan melena adalah:

a. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)

b. Mengeluarkan darah dari rectum (hematoskezia)

c. Syok (frekuensi denyut jantung meningkat, tekanan darah rendah)

d. Akral teraba dingin dan basah

e. Penyakit hati kronis (sirosis hepatis)

f. Koagulopati purpura serta memar

g. Demam ringan antara 38 -39° C


h. Nyeri pada lambung/perut, nafsu makan menurun

i. Hiperperistaltik

j. Jika terjadi perdarahan yang berkepanjangan dapat menyebabkan

terjadinya penurunan Hb dan Ht (anemia) dengan gejala mudah

lelah, pucat nyeri dada, dan pusing yang tampak setelah beberapa

jam

k. Leukositosis dan trombositosis pada 2-5 jam setelah perdarahan

l. Peningkatan kadar ureum darah setelah 24-48 jam akibat

pemecahan protein darah oleh bakteri usus

m. Tekanan darah menurun (90/60 mmHg)

n. Distensi abdomen

o. Berkeringat, membran mukosa pucat

p. Lemah, pusing

q. Wajah pucat
2.1.6 WOC (Web of Caution)

Zat kimia, obt-obatan golongan


NSAID, alkohol

Kelainan di esofagus, kelainan di lambung

Iritasi mukosa lambung

Erosi mukosa lambung, Mual, Muntah, Anoreksia, Perdarahan, Hematemesis & Melena

Volume Intravaskular ↓
Merangsang nosi reseptor hipotalamusNafsu makan ↓

Intake nutrisi
Penurunan Hb Agen cedera fisiologis MK : Defisit
adekuat ↓
Nutrisi
Transport O2 ↓ MK : Nyeri Akut

Cepat lelah MK : Keletihan

MK : Intoleransi Aktivitas MK : Perfusi Perifer Tidak Efektif

MK : Risiko syok
Kurang volume cairan

MK : Hipovolemia

(Nurarif & Kusuma, 2015)

Bagan 2.1 WOC (Web of Caution) Melena


2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk kasus melena menurut Nurarif

& Kusuma (2015) adalah sebagai berikut :

a. Pemeriksaan tinja

Makroskopis dan mikroskopis, ph dan kadar gula jika diduga ada

intoleransi gula, biakan kuman untuk mencari kuman penyebab dan

uji resistensi terhadap berbagai antibiotika (pada diare persisten).

b. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan yaitu pemeriksaan

darah rutin berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit,

pemeriksaan hemostasis lengkap untuk mengetahui adanya

kelainan hemostasis, pemeriksaan fungsi hati untuk menunjang

adanya sirosis hati, pemeriksaan fungsi ginjal untuk menyingkirkan

adanya penyakit gagal ginjal kronis, pemeriksaan adanya infeksi

Helicobacter pylori.

c. Pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi

Merupakan pemeriksaan penunjang yang paling penting karena

dapat memastikan diagnosis pecahnya varises esofagus atau

penyebab perdarahan lainnya dari esofagus, lambung dan

duodenum

d. Kontras Barium (radiografi)

Bermanfaat untuk menentukan lesi penyebab perdarahan. Ini

dilakukan atas dasar urgensinya dan keadaan kegawatan


e. Angiografi

Bermanfaat untuk pasien-pasien dengan perdarahan saluran cerna

yang tersembunyi dari visual endoskopik.

2.1.8 Penatalaksanaan

a. Penatalaksaan Medis

1. Pemasangan balon SB Tube

Dilakukan pemasangan balon Sengstaken Blakemore Tube (SB

Tube) untuk penderita perdarahan akibat pecahnya varises.

Sebaiknya pemasangan SB tube dilakukan sesudah penderita

tenang dan kooperatif, sehingga penderita dapat diberitahu dan

dijelaskan makna pemakaian alat tersebut, cara pemasangannya

dan kemungkinan kerja ikutan yang dapat timbul pada waktu

dan selama pemasangan (Nurarif & Kusuma, 2015).

2. Tindakan operasi

Bila usaha-usaha penanggulangan perdarahan diatas mengalami

kegagalaan dan perdarahan tetap berlangsung, maka dapat

dilakukan tindakan operasi. Tindakan operasi yang bisa

dilakukan adalah ligasi varises esofagus, transeksi esofagus,

pintasan portokaval. Operasi efektif dianjurkan setelah 6 minggu

perdarahan berhenti dan fungsi hati membaik (Nurarif &

Kusuma, 2015).
b. Penatalaksaan Non Medis

1. Penatalaksaan Keperawatan

Pengobatan penderita perdarahan saluran cerna bagian

atas harus sedini mungkin dan sebaiknya dirawat di rumah

sakit untuk mendapatkan pengawasan yang teliti dan

pertolongan yang lebih baik. Penatalaksanaan keperawatan

meliputi:

a) Tirah baring

b) Pemeriksaan Hb, Ht

c) Pemberian transfusi darah bila terjadi perdarahan luas

d) Pemberian cairan IV untuk mencegah dehidrasi

e) Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi dan kesadaran

bila perlu pasang CVP

f)Pertahankan kadar Hb 50-70 % nilai normal

g) Pemberian obat hemostatik seperti Vit K

h) Dilakukan klisma dengan air biasa dan pemberian

antibiotik yang tidak diserap usus

(Nurarif & Kusuma, 2015)

2. Penatalaksanaan Diit/Gizi

Penangaan diit pada melena bertujuan untuk

memberikan makanan secukupnya yang memungkinkan

istirahat pada saluran cerna dan mengurangi risiko

pendarahan ulang untuk mengusahakan keadaan gizi sebaik

mungkin. Syarat diet pada klien melena yaitu :


a) Energi diberikan sesuai kebutuhan klien

b) Protein diberikan 20% dari total kebutuhan

c) Kerbohidrat diberikan 15% dari total kebutuhan

d) Karbohidrat diberikan sisa dari energi total

e) Serat diberikan rendah yaitu 8gr/hari

f) Vitamin dan mineral cukup

g) Makanan mudah dicerna dan diberikan porsi kecil tapi

sering

h) Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang

berbau tajam

i) Cairan cukup, terutama apabila ada muntah

j) Makan makanan tidak terlalu panas dan terlalu dingin

k) Makan secara perlahan di lingkungan yang

tenang (Lyndon, 2014)

2.1.9 Komplikasi

Menurut Nurarif & Kusuma (2015) Komplikasi Hematemesis

Melena antara lain :

a. Syok hipovolemik

Disebut juga dengan syok preload yang ditandai dengan

menurunnya volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Dapat

terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya

volume intravaskuler menyebabkan penurunan volume

intraventrikel.
b. Anemia karena perdarahan

Anemia karena perdarahan adalah berkurangnya jumlah sel darah

merah atau jumlah hemoglobin. Perdarahan hebat merupakan

penyebab tersering dari anemia. Jika kehilangan darah, tubuh

segera menarik cairan dari jaringan di luar pembuluh darah sebagai

usaha untuk menjaga agar pembuluh darah tetap terisi. Akibatnya

darah menjadi encer dan persentase sel darah merah berkurang.

c. Koma Hepatik

Suatu sindrom neuropsikiatrik yang ditandai dengan perubahan

kesadaran, intelektual, dan kelainan neurologis yang menyertai

kelainan parenkim hati.

d. Aspirasi Pneumoni

Infeksi paru yang terjadi akibat cairan yang masuk ke saluran napas

e. Anemi Post Hemoragik

Kehilangan darah yang mendadak dan tidak disadari.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

a. Identitas Pasien

Umumnya berisikan nama, nomor rekam medik, tempat

tanggal lahir, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,

tanggal masuk RS, dan diagnosa medis. Identitas perlu ditanyakan

untuk memastikan bahwa pasien yang dihadapi adalah pasien yang

dimaksud, selain itu identitas diperlukan untuk data penelitian,


asuransi, dan lain sebagainy (Sudoyo, 2014).

b. Keluhan Utama / Alasan Masuk Rumah Sakit

Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien

sehingga pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam

menulis keluhan utama harus disertai dengan indikator waktu,

berapa lama pasien akan mengalami hal tersebut (Sudoyo, 2014).

Pasien dengan melena perlu ditanyakan tentang perdarahan

yang timbul apakah mendadak dan banyak, atau sedikit tetapi terus

menerus, apakah timbul perdarahan yang berulang, serta

sebelumnya pernah mengalami perdarahan atau tidak. Biasanya

pasien akan mengeluh nyeri pada daerah epigastrium apabila

mengalami tukak lambung, namun apabila disebabkan karena

pecahnya varises esofagus tidak mengeluh nyeri atau pedih pada

epigastrium, BAB berwarna gelap, dan badan terasa lemah akibat

kehilangan banyak darah (Hadi, 2013).

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis,

terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum

keluhan utama sampai pasien datang berobat. Biasanya pasien akan

mengalami nyeri pada daerah epigastrium, namun pada pasien

dengan penyebab varises esofagus biasanya tidak mengalami nyeri,

BAB berdarah dengan warna lebih gelap, pusing, sesak nafas, dan

badan terasa lemah. Pasien juga akan terlihat pucat, membrane

mukosa kering dan pucat, turgor kulit buruk, intake dan output
cairan tidak seimbang.

d. Riwayat Penyakit Masa Lalu

Riwayat kesehatan dahulu bertujuan untuk mengetahui

kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang

pernah diderita dengan penyakitnya sekarang. Tanyakan pula

apakah pasien pernah mengalami kecelakaan, menderita penyakit

yang berat dan menjalani operasi tertentu, riwayat alergi obat dan

makanan, lama perawatan, apakah sembuh sempurna atau tidak.

Obat-obat yang pernah dikonsumsi seperti steroid, kontrasepsi,

transfusi, kemoterapi, dan apabila pasien pernah mengalami

pemeriksaan maka harus dicatat dengan seksama hasilnya (Sudoyo,

2014). Biasanya pada pasien yang mengalami melena memiliki

riwayat penyakit hepatitis, penyakit hati menahun, sirosis, penyakit

lambung, pemakaian obat-obatan ulserogenik, alkoholisme, dan

penyakit darah seperti leukemia, hemophilia, dan ITP (Hadi, 2013).

e. Riwayat Kesehatan Keluarga

Riwayat kesehatan keluarga penting untuk mencari

kemungkinan penyakit herediter atau penyakit infeksi. Biasanya

pasien memiliki riwayat keluarga yang mengalami kelainan pada

sistem pencernaan, seperti kanker lambung, gastritis, atau penyakit

penyerta yang dapat memperburuk kondisi seperti penyakit darah

dan penyakit pada hati seperti hepatitis dan sirosis. Kemudian

dikaji juga kebiasaan anggota keluarga yang memicu penyakit ini

seperti alkohol (Sudoyo, 2014).


f. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum

Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, dapat diperhatikan

bagaimana keadaan umum pasien melalui ekspresi wajahnya

dan tanda-tanda spesifik lainnya. Keadaan umum pasien dapat

dibagi atas tampak sakit ringan, sakit sedang atau sakit berat.

Keadaan umum pasien seringkali dapat menilai apakah

keadaan pasien dalam keadaan darurat atau tidak seperti

menilai apakah pasien sudah memperlihatkan tanda-tanda syok

atau belum. Biasanya keadaan umum pasien dengan melena

tampak lemah karena kekurangan cairan dalam jumlah yang

cukup banyak (Sudoyo, 2014).

2) Kesadaran

Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan

melihat reaksi pasien yang wajar terhadap stimulus visual,

auditor maupun taktil. Seorang yang sadar dapat tertidur tetapi

akan bangun apabila dirangsang. Biasanya pasien akan datang

dengan tingkat kesadaran yang baik namun beberapa juga

datang dengan kesadaran yang menurun atau sinkop. Sinkop

merupakan penurunan kesadaran sementara yang berhubungan

dengan penurunan aliran darah di otak. Sinkop berhubungan

dengan kolaps postural dan dapat menghilang tanpa gejala sisa.

Pasien sirosis hepatis dengan perdarahan cenderung mengalami

koma hepatikum (Sudoyo, 2014).


3) Tanda-Tanda Vital

Biasanya terjadi penurunan tekanan nadi, penurunan tekanan

darah, peningkatan frekuensi pernafasan serta peningkatan

suhu tubuh akibat kekurangan cairan. Tanda-tanda vital perlu

diperhatikan guna menilai tanda-tanda syok dan anemia pada

pasien sehingga apabila pasien sudah syok perlu diberikan

pertolongan untuk mengatasi syoknya (Sudoyo, 2014).

4) Pemeriksaan Fisik Head to Toe

Menurut (Bararah & Jauhar, 2014) pemeriksaan head to toe

yang didapatkan pada pasien dengan melena sebagai berikut:

a) Kepala

Inspeksi : biasanya bentuk normachepal, tidak ada lesi atau

jejas, kulit kepala kurang bersih

Palpasi : biasanya tidak teraba edema

b) Mata

Inspeksi : biasanya konjungtiva anemis karena penderita

melena akan kehilangan darah dalam jumlah

yang cukup banyak, sklera ikterik akibat

gangguan pada hati, pupil isokhor, mata cekung

Palpasi : biasanya tidak teraba edema palpebra

c) Hidung

Inspeksi : biasanya bentuk simetris, tidak ada jejas atau lesi,

tidak ada sumbatan pada jalan nafas, tidak ada

cuping hidung
Palpasi : biasanya tidak ada nyeri tekan sinus

d) Mulut

Inspeksi : biasanya bibir simetris, mukosa bibir kering dan

pucat terkadang sianosis

e) Telinga

Inspeksi : biasanya simetris kiri dan kanan, tidak ada jejas

atau lesi, tidak ada cairan dan darah yang keluar

f) Leher

Inspeksi : biasanya tidak ada pembesaran vena jugularis

Palpasi : biasanya tidak terjadi pembengkakan kelenjar

getah bening dan kelenjar tiroid.

g) Thoraks

(1) Paru-paru

Inspeksi : biasanya simetris kiri dan kanan, tidak ada

retraksi dinding dada, terdapat spider nevi

pada pasien sirosis hepatis

Palpasi : biasanya fremitus kiri dan kanan

sama Perkusi : biasanya sonor

Auskultasi : biasanya irama nafas vesikular tanpa ada

suara nafas tambahan seperti ronchi,

wheezing, stridor.

(2) Jantung

Inspeksi : biasanya ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : biasanya ictus cordis teraba


Perkusi : biasanya pekak pada batas-batas jantung

Auskultasi : biasanya irama jantung regular

h) Abdomen

Inspeksi : biasanya ada asites yang ditandai dengan distensi

abdomen serta umbilicus yang menonjol, adanya

spider nevi dan venektasi di sekitar abdomen

Palpasi : palpasi pada keadaan asites yang masif sulit

dilakukan, metode ballottement dilakukan untuk

menilai hati dan lien, biasanya konsistensi hepar

kenyal menandakan sirosis, terjadi splenomegali,

adanya nyeri tekan apabila terjadi tukak peptik

atau gastritis hemoragik.

Perkusi : biasanya timpani

Auskultasi : biasanya terdapat obstruksi usus ditandai

dengan bising usus yang abnormal, bruit dan

friction rub terdapat pada hepatoseluler

carcinoma, bising vena merupakan tanda

hipertensi portal atau meningkatnya aliran

kolateral di hati.

i) Ekstermitas

Atas : biasanya ada edema sakral, eritema palmaris, CRT <

3 detik, akral teraba dingin, ikterus

Bawah : biasanya ada edema sakral dan pretibial, eritema

palmaris, CRT < 3 detik, akral teraba dingin,


ikterus

j) Genitalia

Inspeksi : biasanya tidak terjadi gangguan pada genitalia

g. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Hadi (2013) dalam menegakkan penyebab

diagnosa pada pasien melena diperlukan pemeriksaan penunjang

diantaranya adalah:

1) Pemeriksaan Laboratorium

a) Hitung darah lengkap untuk mengetahui penurunan Hb, Ht,

jumlah eritrosit dan peningkatan leukosit.

b) Profil hematologi, untuk mengetahui perpanjangan masa

protombin dan tromboplastin, biasanya terjadi peningkatan.

c) Pemeriksaan kimia darah biasanya menunjukkan

peningkatan kadar BUN, natrium, total bilirubin dan

ammonia, serta penurunan kadar albumin.

d) Elektrolit, untuk mengetahui penurunan kalium serum,

peningkatan natrium, glukosa serum, dan laktat.

e) Gas darah arteri, untuk mengetahui terjadinya alkalosis

respiratori dan hipoksemia, serta gangguan keseimbangan

asam basa lainnya.

f) Test faal hati untuk mengetahui kelainan fungsi hati apabila

penderita mengalami sirosis hepatis dengan pecahnya

varises esofagus.
g) Test faal ginjal untuk mengetahui ada tidaknya kelainan

fungsi ginjal.

2) Pemeriksaan Radiologis

a) Dilakukan dengan pemeriksaan esopagogram untuk daerah

esofagus dan double contrast untuk lambung dan

duodenum.

b) Pemeriksaan tersebut dilakukan pada berbagai posisi

terutama pada 1/3 distal esofagus, kardia, dan fundus

lambung untuk mengetahui ada tidaknya varises sedini

mungkin setelah hematemesis berhenti.

3) Pemeriksaan Endoskopi

a) Untuk menentukan asal dan sumber pendarahan

b) Keuntungan lain yaitu dapat diambil foto, aspirasi cairan

dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik, pemeriksaan

dilakukan sedini mungkin setelah hematemesis berhenti

2.2.2 Diagnosis Keperawatan

Kemungkinan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul

berdasarkan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2018):

a. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif

b. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

c. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna

makanan

d. Perfusi Perifer Tidak Efektif berhubungan dengan penurunan

konsenterasi hemoglobin
e. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan

f. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis (anemia)

g. Risiko Syok berhubungan dengan perdarahan

(PPNI, 2018a)

2.2.3 Fokus Intervensi

a. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama

3x24 jam, status cairan membaik dengan kriteria hasil :

Status Cairan (L. 03028) (PPNI, 2018c)

Tabel 2.1 Standar Luaran Status Cairan


Cukup Cukup
Kriteria Hasil Menurun Sedang Meningkat
Menurun Meningkat
Kekuatan nadi 1 2 3 4 5
Turgor kulit 1 2 3 4 5
Output urine 1 2 3 4 5
Cukup Cukup
Memburuk Sedang Membaik
Memburuk membaik
Frekuensi nadi 1 2 3 4 5
Tekanan darah 1 2 3 4 5
Membran
1 2 3 4 5
mukosa
Kadar Hb 1 2 3 4 5
Kadar Ht 1 2 3 4 5
Intake cairan 1 2 3 4 5
Suhu tubuh 1 2 3 4 5
Intervensi: Manajemen Hipovolemia (I. 03116) (PPNI,

2018b) Observasi :

1) Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. Frekuensi nadi

meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menyempit, turgor

kulit menurun, membran mukosa kering, volume urin menurun,

hematokrit meningkat, haus, lemah)

2) Monitor intake dan output cairan


Terapeutik :

1. Hitung kebutuhan cairan

2. Berikan asupan oral

Edukasi :

1. Anjurkan memperbanyak asupan oral

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. NaCl, RL)

2. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. Glukosa 2,5%,

NaCl 0,4%)

3. Kolaborasi pemberian produk darah

b. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama

3x24 jam, status kenyamanan meningkat dengan kriteria

hasil : Status Kenyamanan (L. 08064)

Tabel 2.2 Standar Luaran Status Kenyamanan


Cukup Cukup
Kriteria Hasil Meningkat Sedang Menurun
Meningkat Menurun
Keluhan tidak
1 2 3 4 5
nyaman
Gelisah 1 2 3 4 5
Keluhan sulit
1 2 3 4 5
tidur
Mual 1 2 3 4 5
Menangis 1 2 3 4 5
Cukup Cukup
Memburuk Sedang Membaik
Memburuk Membaik
Pola Tidur 1 2 3 4 5
Intervensi: Perawatan Kenyamanan (I. 08245)

Observasi :

1) Identifikasi gejala yang tidak menyenangkan (mis. Mual, nyeri,


gatal, sesak)

2) Identifikasi pemahaman tentang kondisi, situasi dan perasaannya

3) Identifikasi masalah emosional dan

spiritual Terapeutik :

1. Berikan posisi yang nyaman

2. Ciptakan lingkungan yang nyaman

3. Dukung keluarga dan pengasuh terlibat dalam terapi/pengobatan

Edukasi :

1. Ajarkan teknik relaksasi

2. Jelaskan mengenai kondisi dan pilihan

terapi/pengobatan Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian analgesik, antipruritus, antihistamin, jika

perlu

c. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna

makanan

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama

3x24 jam, status nutrisi meningkat dengan kriteria hasil :

Status Nutrisi (L. 03030)

Tabel 2.3 Standar Luaran Status Nutrisi


Cukup Cukup
Kriteria Hasil Menurun Sedang Meningkat
Menurun Meningkat
Porsi makanan
yang 1 2 3 4 5
dihabiskan
Cukup Cukup
Meningkat Sedang Menurun
Meningkat Menurun
Diare
1 2 3 4 5
Cukup Cukup
Memburuk Sedang Membaik
Memburuk Membaik
Berat badan 1 2 3 4 5
IMT 1 2 3 4 5
Frekuensi
1 2 3 4 5
makan
Nafsu makan 1 2 3 4 5
Bising usus 1 2 3 4 5
Membran
1 2 3 4 5
mukosa
Intervensi: Manajemen Nutrisi (I. 03119)

Observasi :

1) Identifikasi status nutrisi

2) Identifikasi makanan disukai

3) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien

4) Monitor asupan makanan

5) Monitor berat badan

6) Monitor hasil pemeriksaan

laboratorium Terapeutik :

1. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai

2. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein

3. Berikan suplemen makanan, jika perlu

Edukasi :

1. Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori

dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu


d. Perfusi Perifer Tidak Efektif berhubungan dengan penurunan

konsenterasi hemoglobin

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama

3x24 jam, status sirkulasi membaik dengan kriteria hasil :

Status Sirkulasi (L. 02016)

Tabel 2.4 Standar Luaran Status Sirkulasi


Cukup Cukup
Kriteria Hasil Menurun Sedang Meningkat
Menurun Meningkat
Kekuatan nadi 1 2 3 4 5
Output urine 1 2 3 4 5
Saturasi
1 2 3 4 5
oksigen
PaO2 1 2 3 4 5
Cukup Cukup
Meningkat Sedang Menurun
Meningkat Menurun
Pucat 1 2 3 4 5
Akral dingin 1 2 3 4 5
PaCO2 1 2 3 4 5
Fatigue 1 2 3 4 5
Sinkop 1 2 3 4 5
Cukup Cukup
Memburuk Sedang Membaik
Memburuk Membaik
Tekanan darah
1 2 3 4 5
sistolik
Tekanan darah
1 2 3 4 5
diastolik
Mean Arteial
1 2 3 4 5
Pressure
Pengisian
1 2 3 4 5
kapiler
Intervensi: Pemantauan Hasil Laboratorium (I. 09988)

Observasi :

1) Identifikasi pemeriksaan laboratorium yang diperlukan

2) Monitor hasil laboratorium yang diperlukan

3) Periksa kesesuaian hasil laboratorium dengan penampilan klinis

pasien
Terapeutik :

1. Ambil sampel darah/sputum/pus/jaringan atau lainnya sesuai

protokol

2. Interpretasikan hasil pemeriksaan

laboratorium Kolaborasi :

1. Kolaborasi dengan dokter jika hasil laboratorium memerlukan

intervensi medis

e. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama

3x24 jam, toleransi aktivitas meningkat dengan kriteria

hasil : Toleransi Aktivitas (L. 05047)

Tabel 2.5 Standar Luaran Toleransi Aktivitas


Cukup Cukup
Kriteria Hasil Menurun Sedang Meningkat
Menurun Meningkat
Frekuensi nadi 1 2 3 4 5
Saturasi
1 2 3 4 5
oksigen
Kekuatan
tubuh bagian 1 2 3 4 5
atas
Kekuatan
tubuh bagian 1 2 3 4 5
bawah
Cukup Cukup
Meningkat Sedang Menurun
Meningkat Menurun
Keluhan lelah 1 2 3 4 5
Perasaan
1 2 3 4 5
lemah
Cukup Cukup
Memburuk Sedang Membaik
Memburuk Membaik
Warna kulit 1 2 3 4 5
Tekanan darah 1 2 3 4 5
Frekuensi
1 2 3 4 5
napas
Intervensi: Manajemen Energi (I. 05178)

Observasi :

1) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan

kelelahan

2) Monitor pola dan jam tidur

Terapeutik :

1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. Cahaya,

suara, kunjungan)

2. Berikan aktivitas distraksi yang

menenangkan Edukasi :

1. Anjurkan tirah baring

2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap

Kolaborasi

1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan

makanan

f. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis (anemia)

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama

3x24 jam, tingkat keletihan membaik dengan kriteria hasil:

Tingkat Keletihan (L. 05046)

Tabel 2.6 Standar Luaran Tingkat Keletihan


Cukup Cukup
Kriteria Hasil Menurun Sedang Meningkat
Menurun Meningkat
Tenaga 1 2 3 4 5

Kemampuan
melakukan 1 2 3 4 5
aktivitas rutin
Cukup Cukup
Meningkat Sedang Menurun
Meningkat Menurun
Verbalisasi
1 2 3 4 5
lelah
Frekuensi
1 2 3 4 5
napas
Cukup Cukup
Memburuk Sedang Membaik
Memburuk Membaik
Selera makan 1 2 3 4 5
Pola napas 1 2 3 4 5
Pola istirahat 1 2 3 4 5
Intervensi: Edukasi Aktivitas / Istirahat (I. 12362)

Observasi :

1) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima

informasi Terapeutik :

1. Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan

2. Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk

bertanya Edukasi :

1. Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas/olahraga secara rutin

2. Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok, aktivitas bermain

atau aktivitas lainnya

3. Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat

g. Risiko Syok berhubungan dengan perdarahan

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama

3x24 jam, tingkat syok menurun dengan kriteria hasil:

Tingkat Syok (L. 03032)

Tabel 2.7 Standar Luaran Tingkat Syok


Cukup Cukup
Kriteria Hasil Menurun Sedang Meningkat
Menurun Meningkat
Kekuatan nadi 1 2 3 4 5
Output urine 1 2 3 4 5
Tingkat 1 2 3 4 5
kesadaran
Saturasi
1 2 3 4 5
oksigen
Cukup Cukup
Meningkat Sedang Menurun
Meningkat Menurun
Akral dingin 1 2 3 4 5
Pucat 1 2 3 4 5
Cukup Cukup
Memburuk Sedang Membaik
Memburuk Membaik
Tekanan darah
1 2 3 4 5
sistolik
Tekanan darah
1 2 3 4 5
diastolik
Tekanan nadi 1 2 3 4 5
Pengisian
1 2 3 4 5
kapiler
Frekuensi nadi 1 2 3 4 5
Frekuensi
1 2 3 4 5
napas
Intervensi: Pencegahan Syok (I. 02068)

Observasi :

1) Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi,

frekuensi napas, TD, MAP)

2) Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)

3) Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, CRT)

4) Monitor tingkat kesadaran dan respon

pupil Terapeutik :

1. Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >94%

2. Pasang jalur IV, jika perlu

3. Lakukan skin test untuk mencegah reaksi

alergi Edukasi :

1. Jelaskan penyebab/faktor risiko syok

2. Jelaskan tanda dan gejala awal syok


3. Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan tanda dan gejala

awal syok

4. Anjurkan memperbanyak asupan

oral Kolaborasi :

1. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu

2. Kolaborasi pemberian tranfusi darah, jika perlu

2.2.4 Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana

tindakan untuk tujuan yang spesifik. Pelaksanaan implementasi

merupakan aplikasi dari perencanaan keperawatan oleh perawat dan

(Nursalam, 2013).

Ada beberapa tahap dalam tindakan keperawatan yaitu:

a. Tahap persiapan menuntut perawat mempersiapkan segala sesuatu

yang diperlukan dalam tindakan

b. Tahap intervensi adalah kegiatan pelaksanaan dari rencana yang

meliputi kegiatan independent, dependent dan interdependent

c. Tahap implementasi adalah pencatatan yang lengkap dan akurat

terhadap suatu kegiatan dalam proses keperawatan.

2.2.5 Evaluasi

Evaluasi adalah sesuatu yang direncanakan dan perbandingan

yang sistematis pada sistem kesehatan klien, tipe pernyataan evaluasi

ada dua yaitu formatif dan sumatif. Pernyataan formatif merefleksi


observasi perawat dan analisa terhadap klien, terhadap respon

langsung dari intervensi keperawatan. Penyataan sumatif adalah

merefleksi rekapitulasi dan sinopsis observasi dan analisa mengenai

status kesehatan klien terhadap waktu. Pernyataan ini menguraikan

kemajuan terhadap pencapaian kondisi yang dijelaskan dalam hasil

yang diharapkan (Nursalam, 2013).


DAFTAR PUSTAKA

Adi. (2017). Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas: Ilmu Penyakit
Dalam (Ed. V). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Asdie. (2016). Perdarahan Saluran Makanan. Universitas Gadjah Mada.

Bararah, & Jauhar. (2014). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional. Prestasi Pustakaraya.

Brunner, & Suddarth. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Edisi 12).
EGC.

Fadila, M. N. (2016). Hematemesis Melena dikarenakan Gastritis Erosif dengan


Anemia dan Riwayat Gout Atritis.

Hadi, S. (2013). Gastroenterologi. PT Alumni.

Hearnshaw. (2010). Use of Endoscopy for Management of Acute Upper


Gastrointestinal Bleeding in UK: Results of a Nation wide Audit. 1136.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20357318

Holster, & Kuipers. (2012). Management of Acute Nonvariceal Upper


Gastrointestinal Bleeding: Current Policies and Future Perspectives. World J
Gastroenterol. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3309909/

Juffrie, M. (2018). Saluran Cerna yang Sehat : Anatomi dan Fisiologi. Kesehatan
Pencernaan Awal Tumbuh Kembang Yang Sehat, 3–12.

Keegan, T., Taylor, Benjamin, & Diggle, P. (2016). Childhood Malnutrition and
Its Determinants among Under Five Children in Ghana. Paediatric &
Perinatal Epidemiology, 29(6), 552–561.

Lyndon, S. (2014). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Binarupa Aksara.

Mazen. (2011). Managing Acute Upper GI Bleeding, Preventing Recurrences.


Clev Clin J Med.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC (Edisi 3). Mediaction Publishing.

Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis


Edisi 3. Salemba Medika.

PPNI. (2018a). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Edisi 1). Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI. (2018b). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Edisi 1). Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI. (2018c). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Edisi 1). Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Purwadianto, A., & Sampurna, B. (2016). Kedaruratan Medik. Penerbit Bina


Rupa Aksara.

Scanlon, & Sanders. (2014). Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi (Essentials of
Anatomy and Physiology) (Ed. III). EGC.

Smeltzer, & Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Edisi 12).
EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8th ed.). EGC.

Sudoyo, A. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi V). Interna Publishing.

Triagustina, I. G. A. (2015). Konsep Dasar IPA Aspek Biologi. Ombak.

Trihono, P. P., Windiastuti, E., Gayatri, P., Sekartini, R., Indawati, W., & Idris, N.
S. (2014). Kegawatan Pada Bayi dan Anak. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM.

Widoyono. (2012). Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasan. Erlangga Medical Series.

Anda mungkin juga menyukai