Skripsi
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat, Karunia dan
Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Skripsi yang berjudul “Penggunaan Peta Konsep Untuk Mengatasi
Miskonsepsi Siswa Pada Konsep Jaringan Tumbuhan (Penelitian Tindakan
Kelas di MAN 10 Jakarta)“ dimaksudkan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S,Pd) pada jenjang Strata 1
(S1) di Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Atas terselesaikannya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Baiq Hana Susanti, M.Sc selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Nengsih Juanengsih, M.Pd selaku Sekertaris Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Dr. Sujiyo Miranto, M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Biologi
sekaligus menjadi Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan
dan tuntunan selama penulisan skripsi
5. Yanti Herlanti, M.Pd selaku Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, tuntunan, motivasi, kritik dan saran dalam hal penulisan skripsi
6. Para dosen Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
yang telah mengabdikan diri dalam dunia pendidikan dan mencurahkan ilmu
kepada penulis
7. Drs. M. Yasin, M.Pd selaku Kepala Madrasah Aliyah Negeri (MAN 10)
Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian di sekolah tersebut
8. Dra. Ratna Dewi selaku guru biologi di MAN 10 Jakarta atas kerjasama dan
ilmu yang diberikan kepada penulis
9. Kedua orang tua tersayang, H. Ashim Sutardi dan Hj. Yayah Taswiyah yang
telah mencurahkan semangat, doa, motivasi dan dukungan baik moril maupun
materil. Serta adik-adik, Siti Afifah dan Ahmad Fakih atas semangat yang
diberikan
10. Suami tercinta, Zakaria atas cinta kasih, dukungan, nasihat yang telah
diberikan dan menjadi inspirasi penulis. Serta kepada ibu mertua tersayang,
Ibu Sukimah atas segala doa dan semangat yang diberikan
11. Rekan-rekan seperjuangan Prodi Pendidikan Biologi angkatan 2006 atas
segala motivasi dan semangat yang diberikan, khususnya kepada sahabat
tercinta Himmatul Ulya, Lily Mufaizah, Nurlaila, dan Ufi Azmiyah atas
segala mimpi, cita-cita, motivasi, semangat dan inspirasi selama menuntut
ilmu di kampus tercinta
12. Seluruh dewan guru dan karyawan MAN 10 Jakarta atas kerjasama dan
bantuan yang diberikan dalam hal pelaksanaan penelitian serta seluruh siswa/I
kelas XI IPA tahun ajaran 2010/2011 yang telah berpartisipasi menjadi subjek
penelitian
13. Semua pihak yang telah membantu penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan
Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
memerlukannya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1
International Center for Educational Statistics, Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMSS 2007), (diakses di http:nces.ed.gov/timss/table07_3.asp, pada 25 Januari
2011)
2
I Putu Eka Wilantara. Implementasi Model Belajar Konstruktivis dalam Pembelajaran
Fisika untuk Mengubah Miskonsepsi Ditinjau dari Penalaran Formal Siswa. (Tesis: Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja. 2003) h.2
8
memperhatikan konsepsi awal yang dibawa siswa ke dalam kelas sebelum
memberikan konsep atau informasi baru agar konsep yang diberikan dapat
dengan mudah diterima dalam struktur kognitif siswa dan tidak terjadi
miskonsepsi pada siswa.
Konsepsi yang dimiliki siswa terkadang tidak sesuai dengan konsepsi yang
dimiliki oleh para ilmuwan. Jika konsepsi yang dimiliki siswa sama dengan
konsepsi yang dimiliki para ilmuwan, maka konsepsi tersebut tidak dapat
dikatakan salah. Namun jika konsepsi yang dimiliki siswa tidak sesuai dengan
konsepsi para ilmuwan, maka siswa tersebut dikatakan mengalami
miskonsepsi.3
Miskonsepsi yang dialami siswa dapat berasal dari pengalaman sehari-hari
ketika siswa berinteraksi dengan lingkungannya. Miskonsepsi pada diri siswa
juga dapat berasal dari konsep salah yang diajarkan guru pada jenjang
pendidikan sebelumnya. Adanya miskonsepsi ini tentu akan menghambat
proses belajar siswa.
Kesalahan konsep atau miskonsepsi merupakan sumber kesulitan siswa
dalam mempelajari biologi. Pembelajaran yang tidak mempertimbangkan
pengetahuan awal siswa mengakibatkan miskonsepsi-miskonsepsi siswa
semakin kompleks dan stabil. Miskonsepsi dipandang sebagai faktor penting
penghambat bagi siswa dan rujukan bagi guru dalam pembelajaran dan
pengajaran sains.4
Miskonsepsi pada siswa yang muncul secara terus menerus dapat
mengganggu pembentukan konsepsi ilmiah. Pembelajaran yang tidak
memperhatikan miskonsepsi menyebabkan kesulitan belajar dan akhirnya akan
bermuara pada rendahnya prestasi belajar mereka. Pandangan tradisional yang
menganggap bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran
3
Yuyu R. Tayubi, Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep-konsep Fisika dengan
Menggunakan Certainty of Response Index (CRI), (Jurnal Mimbar Pendidikan No3/XXIV/2005),
h. 5
4
Tatang Suratno, Peranan Konstruktivisme dalam Pembelajaran dan Pengajaran Sains,
(Seminar Internasional Pendidikan IPA FITK UIN, 2007), h.8
guru ke pikiran siswa perlu digeser menuju pandangan konstruktivisme yang
berasumsi bahwa pengetahuan dibangun dalam diri siswa.
Menurut Dahar dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan
mediator pembelajaran, pada saat muncul miskonsepsi, guru menyajikan
konflik kognitif sehingga terjadi ketidakseimbangan (disekualibrasi) pada diri
siswa. Konflik kognitif yang disajikan guru, diharapkan dapat menyadarkan
siswa atas kekeliruan konsepsinya dan pada akhirnya mereka merekonstruksi
konsepsinya menuju konsepsi ilmiah. 5
Penyelesaian masalah miskonsepsi yang dihadapi guru dan dialami siswa
tentu tidak lepas dari peran strategi pembelajaran yang digunakan selama
proses pembelajaran. Strategi pembelajaran merupakan siasat atau taktik yang
harus direncanakan guru untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah
ditetapkan.
Strategi pembelajaran bermakna merupakan strategi yang digunakan para
ahli untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa karena dalam proses belajar
bermakna terjadi penyusunan informasi yang saling terkait dengan konsep-
konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif siswa.6 Dalam
strategi belajar bermakna siswa dimotivasi untuk aktif, karena siswa adalah
pusat dari kegiatan belajar mengajar. Dalam pendekatan pembelajaran ini
siswa diharapkan mampu menafsirkan informasi yang diberikan guru sampai
informasi tersebut diterima oleh akal sehat mereka.
Belajar bermakna terjadi jika di dalam struktur kognitif siswa terdapat
konsep-konsep yang relevan yang saling terkait, bila ini tidak dilakukan maka
informasi-informasi yang diterima siswa hanya dalam bentuk hapalan.
Struktur kognitif siswa tentu akan lebih mudah menerima dan menafsirkan
informasi baru yang didapat dari lingkungan maupun dari bahan ajar jika
informasi tersebut memiliki hubungan terhadap informasi yang telah dimiliki
sebelumnya. Salah satu strategi pembelajaran yang mampu menghubungkan
informasi-informasi dalam struktur kognitif siswa adalah peta konsep.
5
I Putu Eka Wilantara, Implementasi Model Belajar Konstruktivis , h.4
6
Ibid
Menurut Ausubel para guru harus mengetahui konsep-konsep yang telah
dimiliki para siswa agar belajar bermakna dapat berlangsung. Novak dalam
bukunya yang berjudul ”Learning How to Learn” menyatakan bahwa peta
konsep merupakan strategi yang didasari oleh belajar bermakna.
Strategi belajar bermakna mengutamakan struktur kognitif dan perolehan
informasi baru. Dalam prinsip belajar bermakna pengetahuan baru harus
memiliki hubungan dengan struktur kognitif. Sehingga siswa dapat secara utuh
memahami konsep-konsep ilmiah yang diberikan guru. Prinsip inilah yang
mendasari peta konsep ke dalam pembelajaran bermakna.
Peta konsep merupakan alat skematis untuk mempersentasikan suatu
konsep yang digambarkan dalam suatu kerangka proposisi. Proposisi-proposisi
yang terdiri dari beberapa informasi kemudian diorganisasikan menjadi peta
konsep. Melalui peta konsep siswa dapat melihat hubungan antar konsep yang
saling terkait secara jelas sehingga informasi-informasi tersebut menjadi
mudah dipahami dan mudah diingat. 7
Peta konsep juga berguna bagi guru untuk menyajikan materi atau bahan
ajar kepada siswa. Dengan peta konsep guru dapat menunjukkan keterkaitan
antara konsep baru dengan konsep yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
Selain itu juga melalui peta konsep yang dibuat siswa guru dapat mengetahui
konsep-konsep yang salah pada siswa.
Mintzes berpendapat bahwa peta konsep yang berlandaskan
konstruktivisme mampu mengatasi masalah miskonsepsi yang sering terjadi
pada siswa ketika siswa berupaya memahami kejadian dan objek ilmiah dan
menghubungkan antara kejadian dan objek yang ditemui ke dalam struktur
kognitif siswa.8 Miskonsepsi dapat terjadi karena tidak adanya hubungan
dalam struktue kognitif siswa antara kejadian objek yang ditemui dengan
kejadian objek ilmiah.
Pemahaman yang memadai dalam menentukan hubungan atau keterkaitan
antar satu konsep dengan konsep yang saling berhubungan melalui stretegi
7
James E. Twining, Strategies for Active Learning, (USA: Allyn and Bacon, 1991), h.172
8
I Putu Eka Wilantara, Implementasi Model Belajar Konstruktivis ,h.6
peta konsep akan sangat membantu siswa dalam menyelesaikan masalah
dalam pembelajaran sains, termasuk di antaranya untuk mengatasi miskonsepsi
dan peningkatan hasil belajar.
Peta konsep dapat berperan sebagai media pengajaran yang baik dan
menarik dikarenakan peta konsep dapat menyederhanakan materi pelajaran
yang kompleks sehingga memudahkan siswa dalam menerima dan memahami
prinsip-prinsip dari suatu materi pelajaran.9 Dalam peta konsep juga dapat
terlihat kaitan-kaitan konsep dalam bentuk proposisi yang saling berhubungan.
Proposisi tersebut disusun secara hirarki dari yang bersifat umum sampai yang
bersifat khusus. Sehingga terjadi belajar bermakna dalam struktur kognitif
siswa.10
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan guru biologi
MAN 10 Jakarta, penulis memperoleh informasi bahwa siswa memperoleh
kesulitan dalam mempelajari konsep jaringan dan organ tumbuhan, sehingga
banyak siswa yang mengalami miskonsepsi pada konsep ini. Selain itu juga
pada konsep ini banyak siswa yang memiliki nilai di bawah nilai KKM yaitu
70. Konsep jaringan tumbuhan dalam penelitian ini merupakan salah satu
konsep biologi yang diajarkan di kelas XI semester satu. Konsep ini berisikan
jaringan-jaringan yang terdapat pada tumbuhan, baik jaringan muda maupun
jaringan dewasa, serta organ akar, batang, dan daun yang terdapat pada
tumbuhan.
Selain berdasarkan hasil wawancara dengan guru biologi MAN 10 Jakarta,
penulis juga melakukan identifikasi miskonsepsi terhadap subjek penelitian
yaitu siswa MAN 10 Jakarta kelas XI IPA dengan menggunakan Certainty of
Response Index (CRI)11. Berdasarkan identifikasi CRI diperoleh keterangan
mengenai miskonsepsi yang banyak terjadi pada siswa kelas XI IPA MAN 10
Jakarta pada konsep jaringan dan organ tumbuhan, diantaranya:
9
Zulfiani, Analisis Struktur Materi Pelajaran Biologi melalui Peta Konsep pada Mata
Kuliah Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Biologi, (EDUSAINS Vol.1 No.2, 2008)
10
Kadir, Efektifitas Strategi Peta Konsep dalam Pembelajaran Sains dan Matematika,
(Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No 51, 2004), h.765
11
Lampiran 2, h. 72
a. Siswa menganggap bahwa pertumbuhan primer dan sekundr terjadi
pada waktu dan lokasi yang berlainan
b. Siswa menganggap bahwa pertambahan diameter batang dan akar
diakibatkan oleh pertumbuhan primer
c. Siswa menganggap bahwa pada tumbuhan dikotil terdapat kambium
yang terbentuk dari pertumbuhan primer
d. Siswa menganggap bahwa fotosintesis hanya terjadi di daun
e. Siswa menganggap bahwa stomata bukan merupakan modifikasi
jaringan epidermis
f. Siswa menganggap bahwa stolon, rhizome, umbi batang, dan umbi
lapis merupakan modifikasi akar
g. Siswa menganggap bahwa penyerapan air hanya terjadi di ujung akar
h. Siswa menganggap bahwa xylem dan floem hanya terdapat di salah
satu organ akar, batang, atau daun
Berdasarkan identifikasi miskonsepsi siswa di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul ”Penggunaan Peta Konsep Untuk
Mengatasi Miskonsepsi Siswa Pada Konsep Jaringan Tumbuhan”, sebuah
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 10
Jakarta, sebagai upaya untuk mengurangi miskonsepsi siswa yang terjadi di
sekolah tersebut pada konsep jaringan tumbuhan.
12
Nuryani Rustaman, Strategi Pembelajaran Biologi, (Jakarta: Universitas Terbuka,
2007), h.1.5
15
seseorang ketika belajar.13 Dalam belajar bermakna terjadi proses asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan
pengalaman baru ketika seseorang menggabungkan persepsi ke dalam
pengetahuan yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah suatu proses
struktur kognitif yang berlangsung seseuai pengalaman baru. Proses
kognitif tersebut menghasilkan terbentuknya pengetahuan baru dan
berubahnya pengetahuan lama. 14
Teori belajar bermakna David Ausubel ini menjelaskan bahwa siswa
memperoleh informasi baru yang kemudian diasimilasikan dengan
pengertian yang dimiliki siswa. Hal ini sesuai dengan pokok teori
konstruktivisme yang beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil
konstruksi manusia. Dengan demikian agar terjadi belajar bermakna, maka
konsep baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang ada dalam
struktur kognitif siswa. Sehingga setiap siswa memahami adanya
keterkaitan antara konsep baru dengan konsep yang sudah ada sebelumya.
Belajar bermakna tentu berbeda dengan belajar menghafal, dalam
belajar menghafal sering kali konsep inti dan konsep penunjang berbaur
dan saling menghambat. Belajar menghafal juga kurang memperhatikan
keterkaitan antara informasi baru dengan dengan informasi yang sudah
dimiliki sebelumnya. Sehingga tidak ada keterkaitan antara informasi-
informasi tersebut. Oleh karena itu belajar bermakna dirasakan lebih baik
dari belajar menghafal dalam kegiatan pembelajaran.15
Peta konsep memegang peranan penting dalam belajar bermakna. Oleh
karena itu hendaknya setiap siswa pandai menyusun peta konsep untuk
meyakinkan bahwa siswa tersebut telah mengalami belajar bermakna.
Melalui peta konsep guru dapat menerapkan pembelajaran bermakna pada
setiap bidang studi.
13
Athifah, Teori Belajar Bermakna dari David P. Ausubel, diakses di
http://mardhiyanti.blogspot.com/2010/03/teori-belajar-bermakna-dari-david-p.html
14
Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran,(Yogyakarta: Arruz
Media, 2007), h.119
15
M. Sobri Sutikno, Menggagas Pembelajaran Efektif dan Bermakna, (NTP Press:
Mataram, 2007), h. 101
2. Pengertian Peta Konsep
Pengertian peta konsep atau pemetaan konsep menurut Novak adalah
suatu proses yang melibatkan identifikasi konsep-konsep dari suatu materi
pelajaran dan pengaturan konsep-konsep tersebut dalam suatu hirarki,
mulai dari yang paling umum, kurang umum dan konsep-konsep yang
lebih spesifik.16
Sedangkan menurut Dahar peta konsep yaitu suatu cara untuk
memperlihatkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi suatu bidang ilmu
studi.17 Peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang
bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi-proposisi.
Proposisi-proposisi merupakan dua atau lebih konsep-konsep yang
dihubungkan oleh kata-kata dalam suatu unit semantik. Dalam bentuknya
yang paling sederhana, suatu peta konsep hanya terdiri atas dua konsep
yang dihubungkan oleh satu kata penghubung untuk membentuk suatu
proposisi.18
Peta konsep merupakan gambaran konsep-konsep yang saling
berhubungan yang di dalamnya terdapat konsep utama dan konsep
pelengkap. Konsep pelengkap tersebut diasosiasikan dengan konsep utama
sehingga membentuk satu kesatuan konsep yang saling berhubungan.
Konsep utama dan konsep pelengkap diperoleh dari bahan bacaan materi
tertentu atau juga dapat diperoleh dan dibangun dari pengalaman-
pengalaman di masa lampau yang memberi nilai tambah kebermaknaan
dari informasi yang baru.19
Menurut Amin dalam Mia Aina pemetakan konsep adalah suatu
strategi yang dapat membantu para siswa melihat dan memahami
keterkaitan antara konsep yang telah dikuasainya. Dalam pemetaan konsep
siswa dapat memahai hubungan logika antara konsep yang satu dengan
16
Kadir, Efektifitas Strategi Peta Konsep dalam Pembelajaran Sains dan Matematika,
(Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No 51, 2004), h.764
17
Ratna Wilis Dahar, Teori-teori Belajar, (Jakarta: Erlangga, 1989), h.122
18
Ibid
19
A. Suhaenah Suparno, Membangun Kompetensi Belajar, (Jakarta: Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, 2000), h.94
yang lainnya. Sehingga peta konsep sangat efektif dalam membantu siswa
belajar bermakna.20
Willerman dan May dalam Zulfiani menyatakan bahwa peta konsep
merupakan alat bantu mengurutkan topik yang logis sehingga
memudahkan siswa untuk memahami materi secara lebih bermakna. Selain
itu juga peta konsep digunakan untuk mengidentifikasi kerancuan atau
kesalahan kompleks yang ada pada diri siswa yang disebut miskonsepsi.21
Pandoyo dalam Sahat Saragih menyatakan bahwa peta konsep
merupakan media pendidikan yang dapat menunjukkan konsep ilmu secara
sistematis, yang dibentuk mulai dari inti permasalahan sampai pada bagian
pendukung yang mempunyai hubungan satu sama lain, sehingga dapat
membentuk pengetahuan dan mempermudah pemahaman suatu materi
pelajaran. 22
Peta konsep menggambarkan konsep-konsep yang saling berhubungan
yang didalamnya terdapat konsep penting atau konsep utama, selain itu
juga terdapat konsep pelengkap yang diasosiasikan dengan konsep utama
tersebut. Konsep utama maupun konsep pelengkap diperoleh dari bahan
bacaan suatu materi dan juga dapat diperoleh atau dibangun dari
pengalaman-pengalaman di masa lampau yang memberi nilai tambah
terhadap perolehan informasi baru.23
Peta konsep sebaiknya disusun secara hirarki, artinya konsep yang
lebih inklusif diletakkan di puncak peta, makin ke bawah konsep-konsep
diurutkan menjadi konsep yang kurang inklusif atau kurang khusus. Dalam
IPA peta konsep membuat informasi abstrak menjadi konkret dan sangat
bermanfaat meningkatkan ingatan suatu konsep pembelajaran dan
menunjukkan pada siswa bahwa pemikiran itu mempunyai bentuk. Dengan
20
Mia Aina, Meningkatkan Hasil Belajar Sisiwa Pada Konsep Invertebrata Dengan
Menggunakan Teknik Peta Konsep, (Percikan:Vol 87 Edisi April 2008), h.40
21
Zulfiani dkk, Strategi Pembelajaran Sains, (Jakarta:UIN Press, 2009), h. 34
22
Sahat Saragih, Upaya Memperbaiki Miskonsepsi Pembelajaran Analisis Real melalui
Pengajaran Remedial dengan Bantuan Peta Konsep dan Tutor Sebaya, (Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Edisi Khusus I Tahun ke-23, 2007), h.115
23
Suhaenah Suparno, Membangun Kompetensi, h.94
demikian belajar bermakna dengan menggunakan peta konsep akan lebih
mudah tercapai karena konsep-konsep saling terkait dalam suatu hirarki. 24
Berdasarkan pengertian peta konsep di atas dapat disimpulkan bahwa
peta konsep merupakan identifikasi suatu konsep-konsep yang saling
berhubungan yang tergambar dalam proposisi-proposisi yang disertai
dengan kata penghubung antar proposisi dan tersusun secara hirarki,dari
yang inklusif terletak di puncak peta sampai yang kurang inklusif. Peta
konsep membantu siswa memahami keterkaitan antara konsep-konsep dan
membantu memahami materi secara lebih bermakna selain itu juga peta
konsep merupakan alat untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi
pada siswa.
24
Zulfiani dkk, Strategi Pembelajaran, h. 30
25
Ratna Wilis Dahar, Teori-teori Belajar, h.129
yang dibacanya, menempatkan konsep yang paling inklusif pada
puncak peta konsep yang dibuatnya, kemudian mengurutkan konsep-
konsep yang lain yang kurang inklusif pada konsep yang paling inklusif
dan siswa akan mencari kata penghubung untuk mengaitkan konsep-
konsep itu menjadi preposisi-preposisi yang bermakna.
c. Mengungkapkan konsepsi yang salah pada siswa
Peta konsep dapat menungkapkan konsepsi yang salah
(miskonsepsi) yang terjadi pada siswa. Konsepsi salah biasanya timbul
karena terdapat kaitan antara konsep-konsep yang mengakibatkan
proposisi-proposisi yang salah.
d. Alat evaluasi
Peta konsep dapat dijadikan alat evaluasi pendidikan, selain tes
objektif atau uraian. Novak memperhatikan empat kriteria penilaian
yaitu:
1) Kesahihan proposisi
2) Adanya hirarki
3) Adanya kaitan silang
4) Adanya contoh-contoh
Penggunaan peta konsep sebagai alat evaluasi didasarkan pada tiga
gagasan dalam teori kognitif Ausubel, yaitu:
1) Struktur kognitif seseorang diatur secara hirarkis, dengan konsep-
konsep dan proposisi-proposisi yang lebih inklusif, lebih umum
superordinat terhadap konsep-konsep dan proposisi yang kurang
inklusif dan lebih khusus.
2) Konsep-konsep dalam struktur kognitif mengalami diferensiasi
progresif. Prinsip Ausubel ini menyatakan bahwa belajar bermakna
merupakan proses yang kontinu, dimana konsep-konsep baru
memperoleh lebih banyak arti dengan dibentuknya lebih banyak
kaitan proposional. Jadi konsep-konsep tidak pernah tuntas
dipelajari, tetapi selalu dipelajari, dimodifikasi, dan dibuat lebih
inklusif.
3) Penyesuaian integratif. Prinsip belajar ini menyatakan bahwa
belajar bermakna akan meningkat bila siswa menyadari hubungan-
hubungan baru (kaitan-kaitan konsep) antara kumpulan konsep-
konsep atau proposisi-proposisi yang saling berhubungan. Dalam
peta konsep penyesuaian integratif ini diperlihatkan dengan adanya
kaitan-kaitan silang antara kumpulan konsep-konsep.
26
Tatang Suratno, Peranan Konstruktivisme dalam Pembelajaran dan Pengajaran Sains,
(Seminar Internasional Pendidikan IPA FITK UIN, 2007), h.94
27
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivisti, (Jakarta:
Prestasi Pustaka. 2009), h.161
Rantai kejadian ini dapat digunakan untuk memvisualisasikan
tahapan-tahapan pada suatu proses, langkah-langkah dalam suatu
prosedur linear, dan urutan kejadian.
Contoh peta konsep model rantai kejadian dapat dilihat pada gambar
2.1:
Kejadian awal
Tumbuhan perintis
Melapukkan batuan
Tumbuhan lumut
Semak-semak
Hutan
gliseraldehida
G3P 3-fosfat (G3P)
28
Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Gaung Persada
Press. 2009), h.125
c. Setiap konsep memiliki bobot yang berbeda antara satu dengan
lainnya, ia dapat berbentuk aliran, air, cabang pohon, urutan-urutan
kronologis, dsb.
d. Peta konsep berbentuk hirarkis, manakala suatu konsep di bawahnya
terdapat beberapa konsep, maka konsep itu akan lebih terurai secara
jelas sehingga apapun yang berkaitan dengan konsep tersebut akan
timbul.
29
Tatang Suratno, Peranan Konstruktivisme, h.94
30
Trianto, Model-model Pembelajaran, h.160
31
Ibid
7. Kegunaan Peta Konsep
Beberapa kegunaan pemetaan konsep dalam pengajaran di sekolah
adalah sebagai berikut32:
a. Kegunaan bagi siswa
Pemetaan konsep dapat membantu siswa dalam mempelajari
konsep-konsep pokok dan proposisi, serta berusaha mengaitkan
pengetahuan yang dimiliki dengan yang sedang dipelajari, sehingga
akan terjadi belajar bermakna. Selain itu pemetaan konsep dapat
mengembangkan kreativitas siswa, karena pembuatan pemetaan konsep
merupakan aktivitas yang kreatif dan mempunyai nilai sosial yang
tinggi jika dilakukan secara kelompok di dalam kelas.
b. Kegunaan bagi guru
Pemetaan konsep merupakan alat yang berguna untuk mengamati
makna yang dipegang oleh seorang siswa dan apabila dikonstruksi
secara hati-hati dapat mengungkapkan organisasi kognitif siswa.
Pemetaan konsep juga merupakan alat yang efektif untuk
menunjukkan miskonsepsi-miskonsepsi. Hal ini disebabkan karena
pemetaan konsep berisikan ekspresi-ekspresi mengenai proposisi yang
diinternalisasikan.
Peta konsep juga berguna untuk mengorganisasikan informasi-
informasi dari suatu materi yang terdapat pada sebagian bab buku ajar
maupun keseluruhan bab. Peta konsep menyajikan beberapa kata penting
untuk dipelajari, selain itu juga mengatur nformasi menjadi beberapa
bagian yang memiliki hubungan sehingga informasi-informasi tersebut
dapat mudah dipahami dan diingat. 33
32
Ratna Tanjung, Kegunaan Peta Konsep dalam Pengajaran IPA di SMU, (Jurnal
Khazanah Pengajaran IPA, 1996), h.32-38
33
James E. Twining, Strategies for Active Learning, (USA: Allyn and Bacon, 1991),
h.172
8. Fungsi Peta Konsep dalam Kegiatan Belajar Mengajar
Peta konsep memiliki beberapa fungsi dalam pembelajaran sains
seperti yang dikemukakan oleh Sulistio dalam Zulfiani yaitu:34
a. Merencanakan pembelajaran
Peta konsep dapat digunakan sebagai perencanaan pembelajaran sains
dengan bentuk peta konsep sederhana yang dibuat oleh guru untuk
siswa sebagai catatan.
b. Perencaaan kurikulum dan evaluasi kurikulum
Siswa perlu mengetahui organisasi topik yang akan diajarkan di
sekolah baik itu dalam satuan pelajaran maupun satu buku materi
pelajaran.
c. Mengembangkan pengajaran
Peta konsep digunakan dalam proses pembelajaran dengan cara guru
menjelaskan konsep utama suatu materi kemudian meminta siswa
membuat peta konsep secara keseluruhan yang relevan dengan konsep
utama tersebut serta hubungan-hubungan yang dapat mengaitkan
konsep-konsep tersebut dengan konsep utama yang telah diajarkan
guru.
d. Diskusi
Setiap kelompok diskusi membuat peta konsep mengenai suatu topik
bahasan fisika, kimia, maupun biologi kemudian dipresentasikan di
depan kelas dan mendapat perbaikan dari kelompok lain maupun guru
dalam bentuk diskusi kelas.
e. Laporan praktikum
Sebelum praktikum dilaksanakan, siswa diminta menyusun peta
konsep yang berisi latar belakang teori dan menghubungkan konsep-
konsep teori tersebut dengan prosedur kerja di laboratorium.
Kemudian siswa menyusun peta konsep mengenai kesimpulan
eksperimen dan mensitesiskan peta konsep tersebut dengan peta
konsep pralab yang berisi latar belakang teori.
34
Zulfiani dkk, Strategi Pembelajaran, h.34
f. Belajar buku teks
Siswa membuat peta konsep pada masing-masing bab yang terdapat
pada buku teks. Setiap siswa diberi kesempatan untuk membuat peta
konsep agar diketahui sejauh mana mereka telah belajar bermakna.
g. Tes
Pembuatan peta konsep dapat digunakan dalam soal bentuk uraian
h. Instruksi melalui komputer
Peta konsep dapat dengan mudah dibuat dengan menggunakan
fasilitas komputer.
i. Gambaran pengetahuan sendiri
Siswa dapat diminta menyusun peta konsep berdasarkan pemahaman
konsep yang diperolehnya.
j. Analisis miskonsepsi siswa
Konsepsi siswa berdasarkan hasil tes tertulis atau tes lisan dapat
dibuat dalam bentuk peta konsep. Penggunaan peta konsep dalam hal
ini dapat mendiagnosis miskonsepsi/kesalahan konsep dan mengetahui
konsep-konsep dasar yang telah dimiliki siswa.
k. Menganalisis buku teks
Analisis buku teks dengan peta konsep dilakukan dengan
membandingkan dan menilai bagaimana konsep-konsep dalam buku
teks tersebut disajikan dan dijelaskan.
Peta konsep juga dapat digunakan sebagai alat ukur penilaian hasil
belajar siswa.35
35
Saouma Boujaoude, The Effect of Using Concept Maps as Study Tools on Achievement
in Chemistry, (Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education volume 4,
2008), h.234
F. Hakikat Miskonsepsi
1. Pengertian Konsep, Konsepsi, dan Miskonsepsi
Ausubel mendefinisikan konsep merupakan benda-benda, kejadian-
kejadian, situasi-situasi, atau ciri-ciri yang mewakili ciri khas dan yang
terwakili dari setiap budaya oleh suatu tanda atau simbol. Jadi konsep
merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi
antara sesama manusia dan yang memungkinkan manusia berpikir.36
Tafsiran setiap orang terhadap banyak konsep sangat berbeda-beda.
Misalkan penafsiran struktur dan fungsi tumbuhan atau metabolisme pada
tumbuhan dapat berbeda untuk setiap orang. Tafsiran konsep oleh seseorang
inilah yang disebut dengan konsepsi.37 Meskipun dalam IPA kebanyakan
konsep telah memiliki arti yang jelas dan ilmiah dan sudah disepakati oleh
para ilmuwan, kenyataannya konsepsi siswa masih dapat berbeda-beda.
Konsepsi yang dimiliki siswa tidak selalu sesuai dengan konsepsi para
ilmuwan, konsepsi para ilmuwan lebih canggih, lebih kompleks, lebih rumit,
dan lebih banyak melibatkan hubungan antar konsep. Faktor kesenjangan
antara miskonsepsi yang dimiliki para ilmuwan dan siswa inilah yang
menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada siswa.
Novak mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-
konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Sedangkan David
Hammer mendefinisikan miskonsepsi sebagai ”strongly held cognitive
structures that are different from the accepted understanding in a field and
that the presume to interfere with acquisition of new knowledge”38 yang
berarti bahwa miskonsepi dapat dipandang sebagai konsepsi atau struktur
kognitif yang melekat dengan kuat dan stabil dibenak siswa yang
sebenarnya menyimpang dari konsepsi yang dikemukakan para ilmuwan
yang dapat menyesatkan para siswa dalam memahami fenomena alamiah
dan melakukan eksplanasi ilmiah.
36
Yuyu Tayubi, Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep-konsep Fisika Menggunakan
Certainty of Response Index (CRI), (Jurnal Mimbar Pendidikan No3/XXIV/2005), h.5
37
Ibid
38
Ibid
Suparno memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat
akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang
salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hirarki
konsep-konsep yang tidak benar.39 Miskonsepsi adalah salah satu faktor
penghambat bagi siswa untuk membangun sendiri ilmunya secara benar. 40
Miskonsepsi merupakan kesalahan yang terjadi secara terus menerus serta
menunjukkan kesalahan dengan sumber-sumber tertentu.
Miskonsepsi dapat diartikan sebagai suatu konsepsi yang tidak sesuai
dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para ilmuwan,
hanya dapat diterima dala kasus-kasus tertentu dan tidak berlaku untuk
kasus-kasus lainnya Miskonsepsi didefinisikan sebagai siswa yang tidak
cocok dengan konsepsi para ilmuwan. Konsepsi tersebut pada umumnya
dibangun berdasarkan akal sehat atau dibangun secara intuitif dalam upaya
memberi makna terhadap dunia pengalaman mereka sehari-hari.
Miskonsepsi pada siswa mungkin diperoleh melalui proses pembelajaran
pada jenjang pendidikan sebelumnya.
2. Sebab-sebab Miskonsepsi
Penyebab timbulnya miskonsepsi pada pemahaman siswa, yaitu41
a. Keterbatasan informasi yang diterima
b. Terbatasnya kemungkinan untuk menguji teori baru
c. Kesalahan dalam buku teks
d. Informasi dari media yang salah penyampaiannya
e. Siswa selalu pasif dan menerima apa adanya dari guru
f. Materi terlalu kompleks dan tidak sesuai dengan pola berfikir siswa
39
Nur Afifudin, Miskonsepsi, tersedia di
http://begawanafif.blogspot.com/2009/02/penggunaan-model-model-pembelajaran.html diakses
pada 19 Januari 2010
40
Nur Asma, Model Pembelajaran untuk Menanggulangi Miskonsepsi Bidang Studi
Fisika di SMU, (Jurnal Pembelajaran, Vol 27, No 2, 2004), h. 107-119
41
Suhirman, Prakonsepsi, Miskonsepsi, dan Pemahaman Konsep dalam Pembelajaran
Sains, (Jurnal Teknologi Pembelajaran: Teori dan Penelitian, Tahun 2006, No 2, 1998), h.82
g. Materi yang dibahas masih terlalu asing bagi siswa
Miskonsepsi bisa disebabkan oleh terbatasnya informasi yang diterima
siswa dan terbatasnya kemungkinan untuk menguji keunggulan pengetahuan
yang dibentuk.
Kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu
permasalahan atau soal latihan dapat saja terjadi, karena mereka membentuk
pengetahuan dengan tidak benar. Kesalahan dapat saja terjadi karena kurang
lengkapnya informasi yang siswa terima, kesalahan dalam buku atau
informasi tambahan dari media yang salah disampaikan. Kesalahan dapat
juga terjadi jika siswa terlalu dituntun atau pasif dan menerima apa adanya
dari guru atau materi terlalu kompleks dan tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan berfikir siswa atau materi yang dibahas sangat jauh berbeda
dengan kehidupan atau pengalaman mereka sehari-hari. 42
Miskonsepsi dapat bertahan lama dan sifatnya menetap pada siswa.
perubahan hanya dapat terjadi jika siswa merasa tidak yakin lagi dengan
pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ia berusaha mencari alternatif
pemecahannya. Jika alternatif pemecahan masalah mampu menyelesaikan
masalahnya/teratasi, maka ia akan melakukan reorganisasi
pengetahuannya. 43
Menurut Berg, miskonsepsi pada siswa sulit diperbaiki, seringkali
“sisa” miskonsepsi terus menerus mengganggu siswa, seperti siswa dapat
mengerjakan soal-soal sederhana, tetapi miskonsepsi siswa muncul kembali
ketika siswa dihadapkan pada soal-soal yang lebih sulit. Pada umumnya
guru tidak mengetahui miskonsepsi yang terjadi pada siswa, sehingga proses
belajar mengajar tidak disesuaikan dengan prakonsepsi yang dimiliki siswa.
44
42
Suhirman, Prakonsepsi, Miskonsepsi., h.80
43
Ibid
44
Nurdiniah dan Rusmansyah, Meningkatkan Pemahaman Siswa dalam Memahami
Konsep Energetika melalui Pendekatan Pemecahan Masalah, (Vidya Karya Volume I, No1,
2001), h.25
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa miskonsepsi terjadi
secara universal di seluruh dunia bagaimanapun lingkungan sosial budaya,
bahasa, maupun etniknya. Konsepsi dan miskonsepsi siswa diduga kuat
terbentuk pada masa anak-anak ketika terjadi interaksi otak dengan alam.45
Miskonsepsi dapat terjadi pada pengalaman siswa sehari-hari mengenai
fenomena alam dan sekitarnya. 46
Penyebab miskonsepsi yang diuraikan di atas masih sangat terbatas.
Dalam kenyataan di lapangan, siswa dapat mengalami miskonsepsi dengan
sebab-sebab yang lebih bermacam-macam dan rumit. Penyebab
sesungguhnya juga sulit diketahui, karna terkadang siswa tidak secara
terbuka mengungkapkan bagaimana mereka mengalami dan memiliki
konsep yang tidak tepat tersebut.
Pendidik juga perlu mengetahui bahwa miskonsepsi yang dialami setiap
siswa dalam satu kelas dapat berlainan dan penyebabnya juga berlainan.
Maka dapat terjadi, dalam satu kelas terdapat bermacam-macam
miskonsepsi dan penyebab miskonsepsi. Dengan demikian, bagi pendidik
tidak mudah untuk sungguh-sungguh mengerti penyebab miskonsepsi yang
dialami setiap siswa. Sebagai akibatnya, tidak mudah juga untuk membantu
setiap siswa secara tepat dalam mengatasi miskonsepsi.
45
Yuyu Tayubi, Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep-konsep ,h. 5
46
Claudia von Aufschnaiter dan Christian Rogge, Misconception or Missing Conception,
(Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2010), h. 12
47
Tatang Suratno, Peranan Konstruktivisme dalam Pembelajaran dan Pengajaran Sains,
(Seminar Internasional Pendidikan IPA FITK UIN, 2007), h.9
Mengapa konstruktivisme memandang penting miskonsepsi?
Setidaknya terdapat lima klaim utama yang mendasari miskonsepi, yaitu:48
a. Siswa membawa berbagai konsepsi mengenai objek dan fenomena alam
dan seringkali tidak sesuai dengan konsep ilmiah. Guru sebaiknya
memiliki pengetahuan mengenai konsepsi siswa.
b. Siswa berdasarkan gender, usia, kemampuan dan latar belakang budaya,
cendrung membawa miskonsepsi yang berasal dari pengalaman pribadi
maupun hasil interaksi sosial.
c. Misikonsepsi sangat sulit diberantas dan sifatnya beragam. Diperlukan
strategi perubahan konseptual
d. Terdapat kesamaan antara penjelasan saintis yang tergugurkan teorinya
dengan miskonsepsi siswa. Diperlukan kajian sejarah sains bagi siswa
e. Melacak darimana asalnya miskonsepsi sangatlah sulit, terutama secara
empiris. Namun gejala miskonsepsi yang terjadi di berbagai populasi
dan budaya mencerminkan adanya kesamaan pengalaman budaya siswa
dalam hal observasi alam, penggunaan bahasa sehari-hari, pengaruh
media massa serta pengalaman belajar di kelas.
48
Tatang Suratno, Peranan Konstruktivisme, h.9
Tahap pelaksanaan tindakan terdiri dari : (1) guru memberikan
pengetahuan awal mengenai strategi pembelajaran peta konsep
sebagai strategi pembelajaran yang digunakan, (2) guru memberikan
tes kemampuan awal (pretest) konsep jaringan tumbuhan, (3) guru
menjelaskan tujuan pembelajaran kepada siswa, (4) siswa secara
berkelompok membuat peta konsep mengenai jaringan tumbuhan
berdasarkan handout yang diberikan guru dan buku pelajaran yang
dimiliki siswa, (5) perwakilan kelompok mempresentasikan peta
konsep yang telah dibuat, (6) guru menjelaskan konsep jaringan
tumbuhan, dan (7) siswa menarik kesimpulan mengenai konsep
jaringan tumbuhan berdasarkan peta konsep yang telah dibuat
c) Pengamatan dan evaluasi
Tahap pengamatan dan evaluasi: (1) observer mencatat setiap
aktivitas guru dan siswa dalam lembar observasi selama proses
pembelajaran menggunakan peta konsep, (2) memberikan tes
kemampuan kepada siswa pada akhir siklus I (post test), dan (3)
berdiskusi dengan guru bidang studi dan observer untuk mengetahui
tanggapan dan sarannya terhadap proses pembelalajaran.
d) Refleksi
Tahap refleksi: (1) mengolah dan menganalisis data dari siklus I
yaitu pretest, posttest dan hasil observasi, (2) menarik kesimpulan
kekurangan pada siklus I, dan (3) merefleksi kekurangan pada siklus
I sebagai acuan pada siklus II.
3. Siklus II
a) Perencanaan
Merencanakan strategi upaya perbaikan untuk pelaksanaan
pembelajaran pada siklus II. Membuat rancangan pelaksanaan
pembelajaran pada konsep organ tumbuhan menggunakan
pembelajaran peta konsep.
b) Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan tindakan terdiri dari: (1) guru memberikan tes
kemampuan awal (pretest) organ tumbuhan, (2) guru menjelaskan
tujuan pembelajaran kepada siswa, (3) siswa secara berpasangan
membuat peta konsep mengenai organ tumbuhan berdasarkan
handout yang diberikan guru dan buku pelajaran yang dimiliki
siswa, (5) perwakilan pasangan mempresentasikan peta konsep yang
telah dibuat, (6) guru menjelaskan konsep organ tumbuhan, dan (7)
siswa menarik kesimpulan mengenai konsep organ tumbuhan
berdasarkan peta konsep yang telah dibuat
c) Pengamatan dan evaluasi
Tahap pengamatan dan evaluasi: (1) observer mencatat setiap
aktivitas guru dan siswa dalam lembar observasi selama proses
pembelajaran menggunakan peta konsep, (2) memberikan tes
kemampuan kepada siswa pada akhir siklus II (post test), dan (3)
berdiskusi dengan guru bidang studi dan observer untuk mengetahui
tanggapan dan sarannya terhadap proses pembelalajaran
d) Refleksi
Tahap refleksi: (1) mengolah dan menganalisis data dari siklus II
yaitu pretest, posttest dan hasil observasi, (2) menarik kesimpulan
kekurangan pada siklus II, dan (3) merefleksi kekurangan pada
siklus II dan sebagai penentuan apakah perlu penambahan siklus
pembelajaran atau tidak.
E. Kerangka Pikir
Biologi berisi konsep-konsep yang saling berhubungan dan kompleks.
Namun kebanyakan guru mengajarkan konsep-konsep biologi tersebut
dengan metode ceramah dan hapalan, dan proses pembelajaran yang pasif
sehingga banyak siswa yang belum memahami konsep-konsep tersebut secara
mendalam, selain itu juga guru tidak memperhatikan konsepsi awal siswa
sebelum menerima konsep yang baru, akibatnya terjadi miskonsepsi pada
siswa. Dalam kehidupan sehari-hari siswa juga memiliki konsepsi-konsepsi
yang berbeda-beda mengenai fenomena alam yang terjadi disekitarnya dan
tidak jarang konsepsi yang terbentuk siswa ternyata berbeda dengan
konsepsi-konsepsi para ilmuwan. Peristiwa ini juga mengakibatkan
miskonsepsi pada siswa.
Miskonsepsi didefinisikan sebagai konsepsi siswa yang tidak cocok
dengan konsepsi yang benar, hanya dapat ditemukan dalam kasus-kasus
tertentu dan tidak berlaku untuk kasus-kasus lainnya serta tidak dapat
digeneralisasikan. Miskonsepsi ini dapat muncul pada diri siswa berasal dari
pengalaman sehari-hari ketika berinteraksi dengan alam sekitarnya.
Dalam menangani miskonsepsi siswa, kiranya perlu diketahui lebih
dahulu konsep-konsep alternatif apa saja yang dimiliki siswa dan darimana
mereka mendapatkan konsep tersebut. Diperlukan cara-cara mengidentifikasi
atau mendeteksi salah konsep tersebut, yaitu melalui peta konsep.
Peta konsep merupakan suatu alat skematis untuk merepresentasikan
suatu rangkaian konsep yang digambarkan dalam suatu kerangka proposisi.
Peta konsep disusun secara hirarki, konsep esensial akan berada pada bagian
atas peta. Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan melihat hubungan antara
dua konsep tersebut benar atau tidak. Biasanya miskonsepsi dapat dilihat
dalam proposisi yang salah dan tidak adanya hubungan yang lengkap antar
konsep.
Konsep biologi
Peta konsep
Perbaikan konsep
F. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teoritis dan penyusunan kerangka pikir, maka dapat
dirumuskan hipotesis tindakan pada penelitian ini adalah penggunaan peta
konsep dalam pembelajaran biologi dapat mengurangi miskonsepsi siswa
kelas XI MAN 10 Jakarta.
BAB III
METODE PENELITIAN
49
Masnur Muslich, Melaksanakan PTK itu Mudah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h.9
50
Suharsimi Arikunto, Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h.3
51
E. Mulyasa, Praktik Penelitian Tindakan Kelas, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2009), h.34
52
Suharsimi Arikunto, Penelitian Tindakan, h.16
38
Adapun model dan penjelasan untuk masing-masing tahap adalah sebagai
berikut:53
Perencanaan
Pengamatan
Perencanaan
Pengamatan
53
Ibid., h.16
Hasil pengamatan dijadikan refleksi untuk rencana tindakan pada
siklus kedua.
b. Siklus kedua
Proses pembelajaran tetap menggunakan strategi belajar peta
konsep pada konsep organ tumbuhan. Hasil refleksi pada siklus
kedua ini dijadikan bahan observasi kembali. Hasil pengamatan
dianalisis sebagai bahan refleksi untuk rencana tindakan dalam
melaksanakan penelitian tindakan kembali.
c. Observasi dan Evaluasi
Observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan
pembelajaran. Evaluasi dilaksanakan setelah proses pembelajaran
berlangsung dengan memberikan posttest kepada siswa.
d. Analisis dan Refleksi
Data yang telah terkumpul pada siklus pertama dianalisis dan
didiskusikan bersama guru yang bersangkutan, tentang kelebihan
dan kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran dan
kemudian dideskripsikan sebagai bahan penyusunan perencanaan
tindakan pada pembelajaran siklus yang kedua.
Berdasarkan data yang terkumpul pada siklus kedua dianalisis
dan direfleksikan kembali, dilihat apakah hasil yang didapat sudah
sesuai dengan yang diinginkan peneliti. Dari hasil analisis dilihat
seberapa besar peningkatannya. Langkah pembelajaran yang masih
kurang direkomendasikan untuk diperbaiki jika ada penelitian
selanjutnya.
54
Fika Damayanti, Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Jigsaw
sebagai Upaya Mengatasi Miskonsepsi Siswa Terhadap Konsep Sel, (Skripsi, Jurusan Pendidikan
IPA, FITK, UIN, 2008), h.62
55
Lampiran 3, h.79 dan lampiran 6, h.83
Menjelaskan 22, 25 2 11%
struktur dan
fungsi jaringan
pengangkut
Menggambar 27 1 6%
jaringan
penyokong dan
pengangkut
Menjelaskan 28 29 2 11%
tipe-tipe ikatan
pembuluh
∑ 4 11 3 18 100%
56
Saouma Boujaude, The Effect of Using Concept Maps as Study Tools on Achievement
in Chemistry, (Eurasia Jurnal Math & Science & Technology Education, 2008, vol 4), h.234
57
Boston et al, Classroom Assessment (Concept and Applications), (USA: McGraw-Hill
Higher Education, 2008), h.223
I. Teknik Pemeriksaan Keterpercayaan (Trustworthiness) Studi
1. Uji Validitas
Suatu alat evaluasi dapat dikatakan valid apabila alat tersebut mampu
mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Uji validitas adalah uji
kesanggupan alat penilaian dalam mengukur isi yang sebenarnya. Untuk
mengukur validitas soal dalam penelitian ini menggunakan rumus
korelasi biserial. Rumus yang digunakan adalah:58
Mp Mt p
Rpbi =
St q
Keterangan:
Rpbi = koefisien korelasi biserial
Mp = rerata skor pada tes yang memiliki jawaban benar
Mt = rerata skor soal
St = standar deviasi dari skor total
p = proporsi siswa yang menjawab benar
q = proporsi siswa yang menjawab salah
Berdasarkan pengujian validitas instrument penelitian didapatkan
soal valid untuk siklus I dan II sebagai berikut:
Tabel 3.4. Hasil Uji Validitas Soal
Jenis Tes Jumlah Butir Soal Jumlah Soal Valid
Tes kemampuan
kognitif siswa pada 30 18
siklus I
Tes kemampuan
kognitif siswa pada 30 15
siklus II
2. Uji Reliabilitas
Relaibilitas alat penilaian adalah ketepatan alat tersebut dalam
mengukur apa yang dinilainya. Analisis reliabilitas dilakukan untuk
mengetahui apakah soal yang sudah disusun dapat memberikan hasil
yang tetap atau tidak tetap. Hal ini berarti apabila soal yang dikenakan
untuk sejumlah subjek yang sama dalam waktu tertentu, maka hasil akan
58
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2005), h.79
tetap atau relatif sama. Instrumen disebut reliabil mengandung arti
bahwa instrumen tersebut cukup baik sehingga mampu mengungkap data
yang bisa dipercaya. Uji ini dilakukan dengan menggunakan rumus KR-
20 dari Kuder-Ricardson. Rumus yang digunakan adalah:59
n S 2 pq
r11 =
n 1 S2
keterangan:
r11 = reliabilitas menggunakan persamaan KR-20
p = proporsi siswa yang menjawab benar
q = proporsi siswa yang menjawab salah
n = banyaknya soal
S2 = standar deviasi atau simpangan baku
59
Ibid., h.100
60
Lampiran 4, h.80 dan lampiran 7, h.84
3. Tingkat Kesukaran
Bilangan yang menunjukan sukar atau mudahnya suatu soal disebut
indeks kesukaran. Untuk dapat mengukur tingkat kesukaran suatu soal
digunakan rumus.61
B
P = JS
Keterangan:
P = Indeks kesukaran
B = Banyaknya siswa yang menjawab soal dengan benar
JS = Jumlah seluruh siswa peserta tes
61
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi, h. 208.
62
Lampiran 5, h.82 dan lampiran 8, h.86
J. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk menghitung persentase
miskonsepsi siswa digunakan rumus sebagai berikut63:
% = jumlah miskonsepsi x 100%
Total
Sedangkan untuk menghitung peningkatan penguasaan konsep siswa
diperoleh dari rata-rata indeks Gain. Gain adalah selisih antara nilai postest
dan pretest. Gain menunjukkan peningkatan pemahaman atau penguasaan
konsep siswa setelah pembelajaran.
Rumus yang digunakan untuk mengetahui indeks Gain menurut Meltzer
adalah:64
N- Gain = skor postest – skor pretest
skor ideal – skor pretest
63
Fika Damayanti, Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Jigsaw
sebagai Upaya Mengatasi Miskonsepsi Siswa Terhadap Konsep Sel, (Skripsi, Jurusan Pendidikan
IPA, FITK, UIN, 2008), h.66
64
David E. Meltezer, The Relationship between Mathematic Preparation and Conceptual
Learning Gains in Physics: a Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores dari
www.physyceducation.net/docs/addenum-on-normalized (diakses pada 11-10-2010)
65
Richard R. Hake, Analyzing Change/Gain Scores, American Educational Research
Association’s Division, Measurrement and Research Methodology, 1999, h. 1
pengukuran beruntun maupun subjek berpasangan.66 Rumus uji Wilcoxon
yang digunakan yaitu:67
J − J̅
z=
(N(N + 1)(2N + 1))/24
K. Indikator Keberhasilan
Penelitian ini dikatakan berhasil atau siswa dinyatakan mengalami
peningkatan hasil belajar terhadap konsep jaringan dan organ tumbuhan
apabila mencapai indikator sebagai berikut:
1. Miskonsepsi siswa berkurang minimal 40%
2. Tidak ada siswa yang mendapat nilai dibawah KKM yaitu 70
66
Ruseffendi, Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan, (Bandung: IKIP Bandung
Press, 1998), h.402
67
Ibid., h.403
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
51
No Tindakan Kondisi Siswa
3. Diskusi kelompok Masing-masing anggota
dalam pembuatan peta kelompok berdiskusi untuk
konsep menentukan proposisi dan
kata penghubung peta
konsep
Beberapa siswa
mengeluarkan ide/pendapat
mengenai proposisi dan
bentuk peta konsep yang
harus dibuat oleh
kelompoknya
Beberapa siswa pasif dan
belum terbiasa belajar
secara berkelompok
4. Diskusi kelas Dua kelompok
mengenai peta konsep mempresentasikan peta
yang telah dibuat oleh konsep yang telah dibuat di
perwakilan kelompok papan tulis
Setiap kelompok antusias
untuk memberi masukan
dan saran terhadap peta
konsep yang telah dibuat di
papan tulis
Terdapat perbedaan peta
konsep yang dibuat oleh
beberapa kelompok
b. Miskonsepsi Siswa
1) Prakonsepsi Siswa pada Siklus I
Salah satu penyebab miskonsepsi pada siswa dan terjadi
secara terus menerus adalah guru yang tidak memperhatikan
prakonsepsi awal siswa. Setiap siswa memiliki prakonsepsi
yang berbeda-beda, sehingga perlu bagi guru untuk
mengetahui prakonsepsi tersebut sebelum memulai
pembelajaran. Sebelum peneliti menerapkan peta konsep pada
pembelajaran sebagai upaya mengurangi miskonsepsi pada
siswa, terlebih dahulu peneliti melakukan tanya jawab dengan
siswa mengenai materi yang akan dibahas. Hal ini bertujuan
agar peneliti mengetahui prakonsepsi siswa dan konsep apa
saja yang masih menjadi miskonsepsi pada siswa.
Berikut ini konsep-konsep yang menjadi miskonsepsi siswa
sebelum pembelajaran dengan menggunakan peta konsep yang
terdapat pada tabel 4.2:
Tabel 4.2. Miskonsepsi Siswa pada Siklus I
No Miskonsepsi Seharusnya
1. Tumbuhan hanya terdiri Jaringan tumbuhan terdiri
dari satu macam dari jaringan meristem dan
jaringan jaringan dewasa
2. Setiap jaringan pada Jaringan pada tumbuhan
tumbuhan memiliki terbagi menjadi jaringan
struktur dan fungsi yang dewasa dan jaringan
sama meristem. Jaringan dewasa
terbagi menjadi beberapa
jaringan yang memilki
struktur dan fungsi yang
berbeda
3. Jaringan meristem Jaringan meristem terletak
terletak di seluruh di ujung pangkal akar dan
bagian tumbuhan batang
No Miskonsepsi Seharusnya
4. Jaringan epidermis Jaringan yang menyokong
membantu menyokong tumbuhan sehingga tumbuh
tumbuhan sehingga tegak adalah jaringan
tumbuhan menjadi tegak penyokong yang terdiri dari
jaringan sklerenkim dan
kolenkim
5. Sel kipas pada tanaman Sel kipas pada tanaman
Bambu merupakan kulit Bambu merupakan
Bambu yang sudah tua modifikasi jaringan
dan mengelupas epidermis
6. Fotosintesis terjadi di Fotosintesis terjadi di
jaringan epidermis jaringan parenkim asimilasi
7. Jaringan xylem Jaringan xylem berfungsi
mengangkut hasil mengangkut air, zat hara,
fotosintesis dan mineral dari akar ke
daun
8. Jaringan floem Jaringan floem berfungsi
mengangkut mineral mengangkut hasil
dari tanah fotosintesis ke seluruh
bagian tumbuhan
9. Tempurung kelapa Tempurung kelapa
merupakan kumpulan merupakan jaringan sklereid
jaringan epidermis yang termasuk jaringan
penyokong
68
Lampiran 20, h.170
Untuk mengetahui tingkat efektifitas tindakan yang telah
dilakukan pada penelitian tindakan kelas siklus I maka data skor
hasil tes pemahaman siswa dianalisis dengan N-Gain terhadap skor
rerata tes awal dan tes akhir kemampuan pemahaman siswa.
Adapun hasil N-Gain tersebut adalah sebagai berikut:69
Tabel 4.5. Hasil N-Gain Pretest dan Posttest Siklus I
Pretest Posttest N-Gain
Rata-rata
36,76923 74,1154 0,596
siswa
e. Refleksi
Proses pembelajaran dengan menggunakan peta konsep pada
konsep jaringan tumbuhan mampu membuat siswa lebih
terkondisikan untuk belajar. Peta konsep dapat membantu siswa
69
Lampiran 24, h.183
menyusun konsep-konsep yang kompleks menjadi konsep yang
terstruktur dan mudah diingat sehingga memudahkan siswa ketika
belajar. Berdasarkan peta konsep yang dibuat oleh siswa, guru
dapat mengetahui kedelaman materi yang dikuasai siswa dan
mengetahui miskonsepsi yang terjadi pada siswa.
Pada siklus I sebagian besar siswa belum terbiasa dengan
pembelajaran peta konsep. Selain itu juga pengurangan
miskonsepsi siswa dari pretest ke posttest belum mencapai 40%.
Pelaksanaan pembelajaran menggunakan peta konsep pada siklus I
ini masih terdapat kekurangan yaitu:
1) Masih terdapat siswa yang mengalami kesulitan membuat
proposisi dan kata penghubung
2) Beberapa anggota kelompok masih bersifat pasif sehingga
hanya sebagian anggota kelompok membuat peta konsep
secara benar
3) Siswa tidak membaca handout secara seksama sehingga
mengalami kesulitan menemukan kata-kata penting untuk
proposisi
4) Pembelajaran peta konsep mengenai jaringan tumbuhan pada
siklus I tidak menggunakan gambar objek berupa gambar sel
atau gambar jaringan tumbuhan, sehingga masih ditemukan
beberapa konsep yang salah pada siswa
5) Pada saat pembelajaran dan membuat peta konsep, siswa
disusun secara berkelompok, akibatnya hanya sebagian
anggota kelompok saja yang membuat peta konsep
Kendala-kendala di atas menyebabkan ketidakberhasilan siklus
I, sehingga perlu adanya perbaikan untuk siklus selanjutnya.
Adapun perbaikan yang dilakukan untuk siklus selanjutnya adalah:
a) Siswa dibentuk secara berpasangan, tidak lagi secara
berkelompok. Hal ini bertujuan agar setiap siswa turut aktif
dalam membuat peta konsep, selain itu juga memudahkan guru
dalam mengawasi dan mengetahui miskonsepsi pada siswa
b) Guru memberikan beberapa potongan gambar jaringan
tumbuhan untuk dicantumkan di peta konsep yang dibuat oleh
setiap pasangan. Hal ini bertujuan agar setiap siswa mengenal
bentuk jaringan maupun organ tumbuhan yang dibahas
c) Menugaskan siswa untuk membaca handout dengan seksama
agar memudahkan menemukan kata penting dari suatu bacaan
dan menggarisbawahi kata-kata penting tersebut untuk
dijadikan proposisi
d) Mengawasi secara merata setiap pasangan ketika membuat
peta konsep
f. Keputusan
Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I ini maka dapat
diambil keputusan, karena pada siklus I kriteria keberhasilan
pengurangan miskonsepsi belum sesuai dengan angka pengurangan
yang diharapkan yaitu sebesar 40%, jadi dapat dilanjutkan ke
siklus II sebagai perbaikan pembelajaran.
2. Siklus II
a. Hasil Pengamatan
Berdasarkan pengamatan peneliti pada siklus II, diperoleh
catatan sebagai berikut:
Tabel 4.7 Hasil Catatan Lapangan Siklus II
No Tindakan Kondisi Siswa
1. Pembentukan Siswa berpasangan dengan
pasangan teman sebangku
Tingkat kepandaian siswa
bervariasi pada setiap
pasangan
Setiap pasangan menentukan
posisi duduk untuk diskusi
2. Pembuatan peta Beberapa siswa sudah mulai
No Tindakan Kondisi Siswa
konsep oleh masing- mengetahui cara membuat
masing pasangan peta konsep yang benar
Beberapa siswa membaca
handout dengan seksama dan
menggaris bawahi kata-kata
penting untuk dijadikan
proposisi peta konsep
Setiap siswa secara cepat
dapat menentukan proposisi
dari suatu bacaan
Siswa-siswa sudah terbiasa
dengan pembelajaran peta
konsep
3. Diskusi pasangan Masing-masing siswa dalam
dalam pembuatan pasangan berdiskusi untuk
peta konsep menentukan proposisi dan
kata penghubung peta konsep
Setiap siswa aktif dalam
mengeluarkan ide/pendapat
mengenai proposisi dan
bentuk peta konsep yang
harus dibuat
Setiap pasangan memiliki
kretaifitas yang berbeda
dalam pembuatan peta
konsep
4. Diskusi kelas Empat pasangan
mengenai peta mempresentasikan peta
konsep yang telah konsep yang telah dibuat di
dibuat oleh papan tulis
perwakilan pasangan Setiap pasangan antusias
untuk memberi masukan dan
saran terhadap peta konsep
yang telah dibuat di papan
tulis
Terdapat perbedaan peta
konsep yang dibuat oleh
setiap pasangan
b. Miskonsepsi Siswa
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data pretest dan posttest
yang berupa jumlah miskonsepsi siswa dari 15 butir soal pilihan
ganda pada siklus II. Berikut ini adalah jumlah miskonsepsi siswa
pada siklus II yang terdapat pada Tabel 4.8:
Tabel 4.8. Jumlah Miskonsepsi Siswa pada
Pretest dan Posttest Siklus II
Siswa Pretest Posttest Min (-)
1 8 4 4
2 10 3 7
3 9 2 7
4 8 3 5
5 8 4 4
6 10 2 8
7 9 2 7
8 9 2 7
9 9 2 7
10 8 2 6
11 7 1 6
12 9 1 8
13 9 2 7
14 10 4 6
15 9 3 6
16 9 2 7
17 9 4 5
18 10 3 7
19 11 2 9
20 9 2 7
21 7 1 6
22 10 4 6
23 10 1 9
24 7 4 3
25 8 3 5
26 6 1 5
% 58,5% 16% 42,5%
Berdasarkan Tabel 4.8 di atas dapat diketahui bahwa hasil
pretest dan posttest pada siklus II menunjukkan adanya
pengurangan miskonsepsi dengan persentase sebesar 58,5%
berkurang 42,5% menjadi 16%.
Hasil tes akhir yang dilaksanakan pada akhir pembelajaran di
siklus II ini sudah memenuhi pengurangan miskonsepsi yang
diharapkan (40%). Pengurangan miskonsepsi pada siklus II ini
sebesar 42,5%. Selain itu juga nilai seluruh siswa di atas KKM
(70).
Untuk menguji signifikansi penguranngan miskonsepsi siswa
dari siklus I ke siklus II, maka dilakukan uji Wilcoxon antara data
posttest siklus I dan II. Berikut hasil pengujian statistik
menggunakan uji Wilcoxon yang terdapat pada Tabel 4.9:70
Tabel 4.9. Hasil Uji Wilcoxon Data Posttest Siklus I dan II
N-Pasang J-tabel J-hitung
22 65 43
70
Lampiran 23, h.182
71
Lampiran 21, h.176
Berdasarkan Tabel 4.10 di atas, diketahui skor penilaian rubrik
peta konsep pada siklus II mengalami peningkatan. Rata-rata skor
peta konsep siswa pada siklus II ini sebesar 6,02 dan sebanyak 10
siswa mendapat skor di atas rata-rata. Peningkatan skor peta
konsep pada siklus II ini dikarenakan siswa sudah memahami dan
terbiasa dengan pembelajaran peta konsep. Pembelajaran dengan
peta konsep juga dilakukan siswa pada bidang studi pelajaran yang
lain.
e. Refleksi
Proses pembelajaran dengan menggunakan peta konsep pada
siklus II ini sudah menunjukkan hasil yang lebih baik dari suklus I.
Pada siklus II ini konsep yang dibahas adalah organ tumbuhan.
Jika pada siklus I siswa dibentuk dalam bentuk kelompok, pada
siklus II ini siswa dibentuk dalam pasangan. Ketika siswa dibentuk
dalam kelompok, beberapa siswa masih pasif dan tidak turut serta
dalam pembuatan peta konsep. Namun ketika siswa dibentuk
dalam pasangan, setiap siswa aktif turut serta membuat peta
konsep.
Sebagai perbaikan dari siklus I, pada siklus II ini setiap
pasangan diberikan potongan gambar mengenai jaringan atau organ
tumbuhan. Potongan gambar tersebut dicantumkan siswa di peta
konsep yang mereka buat. Dari potongan gambar tersebut siswa
dapat mengetahui bentuk jaringan yang mereka pelajari dan
hubungannya dengan jaringan lain pada tumbuhan. Selain itu juga
guru dapat mengetahui miskonsepsi siswa berdasarkan potongan
gambar yang mereka cantumkan di peta konsep.
Tidak terdapat banyak kendala yang dihadapi pada siklus II
ini, dikarenakan setiap siswa sudah terbiasa menentukan proposisi
untuk peta konsep yang akan dibuatnya. Pada siklus II ini, setiap
siswa membaca handout yang diberikan guru dengan seksama,
sehingga siswa mudah menentukan kata-kata penting untuk
dijadikan proposisi peta konsep. Selain itu juga setiap setiap siswa
sudah terbiasa dengan pembelajaran peta konsep. Peta konsep juga
diterapkan siswa pada pelajaran yang lain.
Berdasarkan nilai posttest yang diberikan peneliti setelah akhir
pembelajaran pada siklus II, diperoleh hasil terjadi pengurangan
miskonsepsi siswa sebesar 42,5%, yang berarti tercapainya target
pengurangan miskonsepsi siswa sebesar 40% dan pengurangan
miskonsepsi pada siklus II ini lebih besar dari siklus I yang hanya
sebesar 37,2%.
f. Keputusan
Berdasarkan 2 siklus yang telah dilakukan dengan
menggunakan peta konsep sebagai strategi pembelajaran, diperoleh
hasil sebagai berikut:
1) Miskonsepsi siswa dapat dikurangi baik pada siklus I dan II.
Selain itu dampak dari berkurangnya miskonsepsi siswa
tercapai peningkatan pengauasaan konsep siswa. Pengurangan
miskonsepsi siswa pada siklus II sebesar 42,5%. Hal ini
menunjukkan ketercapaian target minimal pengurangan
miskonsepsi, yaitu sebesar 40%. Dengan demikian tindakan
yang dilakukan untuk mengurangi miskonsepsi siswa telah
berhasil
2) Peta konsep sebagai strategi yang digunakan dalam
pembelajaran tidak hanya membuat materi yang kompleks
menjadi lebh sederhana, tetapi juga dapat mengurangi
miskonsepsi siwa dan memudahkan siswa dalam menerima
materi karena konsep tersusun secara hirarki yang mudah
diterima oleh struktur kognitif seseorang
3) Secara keseluruhan kegiatan belajar mengajar pada siklus II
menunjukkan arah yang lebih baik dibandingkan siklus I
B. Pembahasan
Penerapan pembelajaran biologi dengan menggunakan peta konsep
pada konsep jaringan dan organ tumbuhan mampu mengurangi
miskonsepsi siswa dan meningkatkan hasil belajar siswa. Sebelum
dilaksanakan pembelajaran dengan peta konsep, proses pembelajaran
didominasi oleh guru, selain itu guru tidak memperhatikan konsepsi awal
siswa, sehingga memungkinkan konsepsi awal tersebut menjadi
miskonsepsi pada siswa. Konsepsi awal siswa bisa bersumber dari
fenomena alam di kehidupan sehari-hari maupun dari kesalahan konsep
yang didapatkan siswa pada jenjang pendidikan sebelumnya.
Miskonsepsi pada siswa yang terjadi selama proses pembelajaran
salah satunya dikarenakan guru tidak menghubungkan informasi baru yang
diterima siswa dengan informasi yang sudah dimiliki siswa sebelumnya
sehingga siswa mengaggap satu konsep dengan konsep lainnya tidak
berhubungan. Peta konsep sebagai suatu strategi pembelajaran aktif dapat
menghubungkan informasi yang telah dimiliki dengan pengetahuan atau
informasi baru.
Setelah dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan peta konsep,
siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran, guru dapat mengetahui
konsep-konsep apa saja yang menjadi miskonsepsi pada siswa, siswa juga
mampu menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama
dalam struktur kognitif mereka. Melalui peta konsep guru dapat
mengetahui konsepsi awal siswa dan konsep awal apa saja yang menjadi
miskonsepsi.
Pada siklus I, pengurangan miskonsepsi setelah pembelajaran peta
konsep hanya mencapai 37,2%, skor rata-rata rubrik peta konsep mencapai
5,5 dan masih terdapat 6 siswa yang mendapat skor posttest di bawah
KKM (70). Persentase pengurangan miskonsepsi ini belum sesuai dengan
pengurangan miskonsep yang diharapkan yaitu sebesar 40%. Oleh karena
itu penelitian dilanjutkan ke siklus II.
Pada siklus II, pengurangan miskonsepsi mencapai 42,5% dengan skor
rata-rata rubrik peta konsep mencapai 6,02 dan seluruh siswa mencapai
skor posttest di atas nilai KKM (70). Pengurangan miskonsepsi pada siklus
II ini sudah sesuai dengan target pengurangan yang diharapkan. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan peta konsep pada konsep jaringan dan
organ tumbuhan membantu siswa untuk memahami konsep yang diberikan
dan membantu mengurangi miskonsepsi siswa sehingga hasil belajar siswa
meningkat.
Tindakan perbaikan yang dilakukan di siklus II merupakan hasil
refleksi dari siklus I. Pada siklus I siswa dibentuk secara berkelompok,
namun ternyata hal ini kurang efektif, dikarenakan beberapa anggota
kelompok tidak turut aktif dalam pembuatan peta konsep. Maka pada
siklus II siswa dibentuk secara berpasangan. Setiap anggota pasangan turut
aktif membuat peta konsep.
Selain pembentukan siswa secara berpasangan, pada siklus II ini guru
membagikan potongan gambar untuk dicantumkan di peta konsep. Hal ini
bertujuan agar siswa lebih memahami konsep yang dibahas dan dapat
menghubungkan antara gambar dengan proposisi yang dibuat. Sehingga
dapat mengurangi miskonsepsi pada siswa.
Pada siklus I, siswa masih mengalami kesulitan ketika membuat peta
konsep, dikarenakan siswa tidak membaca handout dengan seksama dan
kesulitan menemukan kata-kata penting untuk dijadikan proposisi. Sebagai
perbaikan dari siklus I, pada siklus II siswa diperintahkan untuk menggaris
bawahi kata-kata penting pada handout yang diberikan, sehingga
memudahkan siswa ketika membuat proposisi.
Pembelajaran peta konsep membantu siswa belajar aktif, memudahkan
penerimaan informasi baru melalui pembelajaran yang sistematis, dan
menghubungkan informasi yang diperoleh dengan informasi yang telah
dimiliki pada struktur kognitif siswa. Berdasarkan peta konsep yang
dibuat siswa, guru dapat melihat keterkaitan informasi baru dengan
informasi yang sebelumnya dimiliki siswa, sehingga peta konsep berguna
sebagai alat pendeteksi miskonsepsi pada siswa. Hal ini sesuai dengan
salah satu fungsi peta konsep yang dikemukakan oleh Ratna Wilis Dahar
yaitu peta konsep dapat berguna sebagai alat pendeteksi miskonsepsi
siswa.73
Miskonsepi dapat dipandang sebagai konsepsi atau struktur kognitif
yang melekat dengan kuat dan stabil dibenak siswa yang sebenarnya
menyimpang dari konsepsi yang dikemukakan para ilmuwan yang dapat
menyesatkan para siswa dalam memahami fenomena alamiah dan
melakukan eksplanasi ilmiah. Dalam pembelajaran peta konsep, siswa
diarahkan untuk memahami suatu konsep dari yang umum ke yang khusus
dan konsep disusun secara hirarki. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri belajar
bermakna yang dikemukakan oleh Ausubel. Peta konsep merupakan
wujud pembelajaran bermakna.
Peta konsep pada siklus I dibuat secara berkelompok sedangkan pada
siklus II secara berpasangan dan terdapat perbedaan peta konsep yang
dibuat oleh setiap kelompok atau setiap pasangan. Perbedaan peta konsep
ini dikarenakan pembelajaran peta konsep dapat mengembangkan
kreativitas siswa, karena pembuatan peta konsep merupakan aktivitas yang
kreatif dan mempunyai nilai sosial yang tinggi jika dilakukan secara
kelompok di dalam kelas seperti yang dikemukakan oleh Ratna Tanjung
yaitu peta konsep dapat digunakan strategi pembelajaran yang
mengembangkan kreativitas siswa.74 Namun demikian peta konsep yang
dibuat secara berpasangan lebih efektif dari pada peta konsep yang dibuat
secara berkelompok.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan, dapat
disimpulkan suatu pola tindakan pembelajaran peta konsep untuk
mengatasi miskonsepsi siswa yaitu:
73
Ratna Wilis Dahar, Teori-teori Belajar, (Jakarta: Erlangga, 2006), h.131
74
Ratna Tanjung, Kegunaan Peta Konsep dalam Pengajaran di SMU, (Jurnal Khazanah
IPA, 1996), h.32
a. pembelajaran dengan menggunakan peta konsep sebagai upaya untuk
mengurangi miskonsepsi siswa akan maksimal jika dalam proses
pembelajarannya siswa dikelompokkan secara berpasangan
b. sebelum guru menerapkan peta konsep dalam pembelajaran hendaknya
guru memberikan penjelasan mengenai cara pembuatan peta konsep
dan siswa dilatih membuat peta konsep
c. ketika siswa membuat proposisi, siswa hendaknya membaca handout
dengan seksama dan menggarisbawahi kata-kata penting untuk
dijadikan proposisi
d. bila perlu, guru memberikan potongan gambar untuk dicantumkan
pada peta konsep
e. guru memantau dan memeriksa proposisi yang dibuat siswa pada saat
pembelajaran berlangsung
Pola tindakan pada penelitian ini dapat digunakan guru untuk sebagai
pola pembelajaran dengan menggunakan peta konsep untuk
memaksimalkan pengurangan miskonsepsi dan peningkatan hasil belajar
pada siswa.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan analisis data pada bab
sebelumnya, maka kesimpulan pada penelitian ini yaitu:
1. Penggunaan peta konsep dalam pembelajaran jaringan dan organ
tumbuhan dapat mengatasi miskonsepsi pada siswa. Hal ini dapat
dilihat dari pengurangan miskonsepsi pada siklus I sebesar 37,2% dan
mengalami peningkatan pada siklus II sebesar 42,5%
2. Penelitian ini menghasilkan suatu pola tindakan pembelajaran peta
konsep untuk mengurangi miskonsepsi yaitu:
a. Pembelajaran dengan menggunakan peta konsep sebagai upaya
untuk mengurangi miskonsepsi siswa, ketika proses
pembelajarannya siswa dikelompokkan secara berpasangan
b. Sebelum guru menerapkan peta konsep dalam pembelajaran guru
memberikan penjelasan mengenai cara pembuatan peta konsep dan
siswa dilatih membuat peta konsep
c. Ketika siswa membuat proposisi, siswa diharuskan membaca
handout dengan seksama dan menggarisbawahi kata-kata penting
untuk dijadikan proposisi
d. Bila perlu, guru memberikan potongan gambar untuk dicantumkan
pada peta konsep
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diajukan, maka dapat diajukan
saran-saran sebagai berikut:
1. Guru harus mengetahui konsep apa saja yang masih menjadi
miskonsepsi pada setiap siswa
2. Dikarenakan miskonsepsi pada setiap siswa berbeda, maka diperlukan
strategi atau metode pembelajaran yang melibatkan seluruh siswa
72
secara aktif, sehingga melalui keaktifan siswa guru dapat mengetahui
apakah masih terjadi miskonsep atau tidak
3. Sebelum pembelajaran dilaksanakan, guru hendaknya membuat
beberapa proposisi utama terlebih dahulu untuk diberikan kepada
siswa ketika proses pembelajaran agar memudahkan siswa ketika
menyusun peta konsep
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta:
Arruz Media, 2007
E. Twining, James. Strategies for Active Learning, USA: Allyn and Bacon, 1991
Muslich, Masnur. Melaksanakan PTK itu Mudah, Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Tanjung, Ratna. Kegunaan Peta Konsep dalam Pengajaran IPA di SMU, Jurnal
Khazanah Pengajaran IPA, 1996
Yunus, Yustini., Mariani Natalina, Evi Suryawati, Sri Wulandari, Nur Asiah, dan
Kamilia Sari. Upaya Peningkatan Aktifitas dan Hasil Belajar Biologi
Melalui Penggunaan Peta Konsep Pada Sisiwa Kelas II4 SMP Negeri 2
Pekan Baru, Jurnal Biogenesis, Vol 2 (2), 2006
Zulfiani, Analisis Struktur Materi Pelajaran Biologi melalui Peta Konsep pada
Mata Kuliah Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Biologi,
EDUSAINS Vol.1 No.2, 2008