Anda di halaman 1dari 9

Latihan ke-2

TANDA, MAKNA, ACUAN, LAMBANG DAN KONSEPTULISASI MAKNA

Tugas Mata Kuliah Semantik Bahasa Indonesia

yang Dibina oleh Dr. Tressyalina, S.Pd., M.Pd.

Dinda Putri

NIM 19016086

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2021
TANDA, MAKNA, ACUAN, LAMBANG

DAN KONSEPTULISASI MAKNA

A. Tanda

Tanda dalam bahasa Indonesia pertama-tama adalah berarti 'bekas'.


Pukulan rotan yang cukup keras pada punggung akan memberi bekas. Bekas
pukulan itu, yang berwarna kemerahan, menjadi tanda akan telah terjadi suatu
pukulan dengan rotan pada tempat tersebut. Pada pagi hari secerah sinar matahari
yang masuk ke dalam kamar melalui celah-celah dinding merupakan tanda bahwa
hari sudah siang. Terdengarnya suara azan atau bunyi beduk dari sebuah mesjid
menjadi tanda bahwa waktunya salat telah tiba. Menyalanya lampu lalu-lintas di
simpang jalan menjadi merah menjadi tanda bahwa kita harus stop, tidak boleh
berjalan terus. Dari contoh-contoh di atas kita dapat melihat bahwa tanda dengan
hal yang ditandai bersifat langsung.

Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, yang dapat berupa
pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi
tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang
melingkupi kehidupan ini, walau harus diakui bahwa bahasa adalah sistem bahasa
yang paling lengkap dan sempurna

Menurut Djajasudarma (1993) tanda dapat digolongkan berdasarkan


penyebab timbulnya sebagai berikut.

1. Tanda yang ditimbulkan oleh alam, diketahui manusia karena pengalaman,


misalnya:
- Hari mendung tanda akan hujan,
- Hujan terus-menerus dapat menimbulkan banjir,
- Banjir dapat menimbulkan wabah penyakit dan kelaparan, dan
sebagainya.

2. Tanda yang ditimbulkan oleh binatang, diketahui manusia dari suara


binatang tersebut, misalnya:
- Anjing menggonggong tanda ada orang masuk halaman,
- Kucing bertengkar (mengeong) dengan ramai suaranya tanda ada wabah
penyakit atau keributan, dan sebagainya.

3. Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, tanda ini dibedakan atas: (1) yang
bersifat verbal adalah tanda yang dihasilkan manusia melalui alat-alat
bicara (organ of speach) dan (2) tanda yang bersifat nonverbal, digunakan
manusia untuk berkomunikasi, sama halnya dengan tanda verbal. Tanda
nonverbal dapat dibedakan atas:
(1) tanda yang dihasilkan anggota badan (body gesture) dikenal sebagai
bahasa isyarat, misalnya:

 Acungan jempol bermakna hebat, bagus, dan sebagainya.

 Mengangguk bermakna ya, menghormat, dan sebagainya.

 Menggelengkan kepala bermakna tidak, bukan, dan sebagainya.

 Membelalakkan mata bermakna heran, marah, dan sebagainya.

 Mengacungkan telunjuk bermakna tidak mengerti, setuju, dan sebagainya.

 Menunjuk bermakna itu, satu orang, dan sebagainya.

(2) tanda yang dihasilkan melalui bunyi (suara), misalnya:

 Bersiul bermakna gembira, memanggil, ingin kenal, dan sebagainya.

 Menjerit bermakna sakit, minta tolong, ada bahaya, dan sebagainya.

 Berdeham (batuk-batuk kecil) bermakna ada orang ingin kenal, dan


sebagainya.

B. Makna

a. Konsep Makna

Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure,


makna adalah ‟pengertian‟ atau ‟konsep‟ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah
tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua
unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang
mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie,
signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-
bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi
yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain,
setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini
adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu
kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).

Dalam bidang semantik istilah yang biasa digunakan untuk tanda-


linguistik itu adalah leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang
merupakan satuan bermakna (Harimurti, dalam Astri Widyaruli Anggraeni,
(2012). Sedangkan istilah kata, yang lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa
yang dapat berdiri sendiri yang dapat terjadi dari morfem tunggal atau gabungan
morfem (Harimurti, dalam Astri Widyaruli Anggraeni, (2012) adalah istilah dalam
bidang gramatika. Dalam diktat ini kedua istilah itu dianggap memiliki pengertian
yang sama.

Tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret di dunia
nyata. Misalnya leksem seperti agama, cinta, kebudayaan, dan keadilan tidak
dapat ditampilkan referennya secara konkret. Di dalam penggunaannya dalam
pertuturan, yang nyata makna kata atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga
biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya.
Misal kata buaya dalam kalimat "Dasar buaya, ibunya sendiri ditipunya". Oleh
karena itu, kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah
berada dalam konteks kalimatnya. Makna sebuah kalimat baru dapat ditentukan
apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya.

b. Aspek-aspek Makna

Aspek-aspek makna dapat dibedakan atas empat hal, yaitu pengertian,


perasaan, nada, dan tujuan. Keempat aspek makna tersebut akan diuraikan beirkut
ini.
1) Pengertian (Sense)
Aspek makna pengertian disebut juga tema, yang melibatkan idea atau
pesan yang dimaksud. Pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara dengan
lawan bicaranya atau antara penulis dengan pembaca mempunyai kesamaan
bahasa yang digunakan atau disepakati bersama. Apapun yang kita bicarakan
selalu mengandung tema atau ide untuk membicarakan sesuatu atau menjadi topik
pembicaraan. Lyons mengatakan bahwa pengertian adalah sistem hubungan-
hubungan yang berbeda dengan kata lain di dalam kosakata (Pateda, dalam Fitri,
A dan Astri, W, A, (2017)

2) Perasaan (Felling)

Aspek makna perasaan berhubungan dengan sikap pembicara dengan


situasi pembicaraan (sedih, panas, dingin, gembira, jengkel). Kehidupan sehari-
hari akan selalu berhubungan dengan rasa dan perasaan. Aspek makna yang
disebut perasaan berhubungan dengan sikap pembicara terhadap apa yang sedang
dibicarakan. Misalnya, kalimat turut berduka cita, digunakan pada saat sedang
sedih atau berduka, dan sebaliknya ikut senang ya, digunakan disaat sedang
bergembira karena menerima hadiah atau bahagia karena sesuatu. Dengan
demikian, setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan
setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan perasaan.

3) Nada (Tone)

Aspek makna nada adalah sikap pembicara kepada kawan bicara (Pateda,
dalam Fitri, A dan Astri, W, A, (2017). Aspek nada akan berbubungan dengan
aspek makna yang bernilai rasa. Aspek makna nada melibatkan pembicara untuk
memilih kata-kata yang sesuai dengan keadaan lawan bicara atau pembicara
sendiri. Aspek makna nada berhubungan antara pembicara dengan pendengar
yang akan menentukan sikap yang akan tercermin dari kata-kata yang digunakan.
Contohnya, kalimat “kereta api dari Yogya sudah datang.” akan berbeda dengan
kalimat “kereta api dari Yogya sudah datang?”. Kalimat pertama bernada
memberi tahu, sedangkan kalimat kedua bernada bertanya.

4) Tujuan (Intension)
Aspek makna tujuan adalah maksud tertentu, baik disadari maupun tidak,
akibat usaha dari peningkatan (Pateda, dalam Fitri, A dan Astri, W, A, (2017).
Aspek makna ini melibatkan klasifikasi pernyataan yang bersifat deklaratif,
persuasif, imperatif, naratif, politis, dan pedagogis (pendidikan). Misalnya
kalimat“Jangan diulangi ya!‟, kalimat tersebut mempunyai maksud atau tujuan
agar orang itu tidak mengulangi lagi kesalahan yang pernah dilakukannya. Bentuk
kalimat pun akan bervariasi, bergantung pada aspek makna rasa dan juga nada.
Pendapat lain dikemukakan oleh Djajasudarma, makna mengandung berbagai
aspek, diantaranya adanya aspek tujuan. Dalam tujuan ini terdapat berbagai
maksud tertentu diantaranya tujuan yang bersifat deklaratif, persuasif, imperatif,
naratif, politis, dan pedagogis atau pendidikan.

C. Acuan

Acuan yaitu sesuatu atau benda yang ditunjuk oleh kata/bahasa dan
bertempat di luar kata/bahasa, bsik sesuau tersebut bersifat realistis (hakikat),
imajinatif, maupun ilusi. Acuan dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) acuan
yang berkaitan dengan bahasa itu sendiri, dan (2) acuan yang tidak berkaitan
dengan bahasa.

1) Acuan di dalam bahasa

Yaitu, beberapa kosakata atau istilah yang ditujukan ke hal-hal yang


berada di dalam bahasa. Misalnya istilah-istilah seperti: fa’il, maf’ul, isim, jumlah,
dan sebagainya. Istilah-istilah ini mengacu kepada kedudukan atau makna
kebahasaan yang berada di dalam bahasa.

2) Acuan ke luar bahasa

Yaitu, acuan yang berada di luar bahasa, baik bersifat riil di alam semesta
maupun tidak. Acuan luar bahasa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Acuan indrawi, yaitu acuan yang dapat ditangkap indra, seperti matahari
dan bulan.
b) Acuan metafisik, yaitu sesuatu yang bisa dikenal melalui pengetahuan dari
kitab-kitab agama, seperti: jin, malaikat, iblis, dan sebagainya.

c) Acuan ilusi, yaitu sesuatu yang tidak ada wujudnya dalam kenyataan,
seperti raksasa, monster, dan sebagainya.

d) Acuan imajinatif, yaitu sesuatu yang tidak ada wujudnya, akan tetapi ia
tergambar melalui hal-hal yang ada/wujud dalam realita, seperti: pribadi
tokoh yang ada di dalam cerita novel, deskripsi wainta dalam syair, dan
sebagainya.

e) Acuan abstrak, yaitu sesuatu yang tidak memiliki wujud namun dipahami
secara logis, misalnya sifat jujur, adil, dan lain-lain.

f) Acuan mutlak, yaitu sesuatu yang mutlak berada di luar bahasa tanpa
terfokus pada sesuatu. Dalam ilmu nahwu,acuan ini disebut Isim Jenis.
Misalnya, hewan, manusia, orang laki-laki, dan sebagainya.

D. Lambang

Lambang sebenarnya juga adalah 'tanda'. Hanya bedanya lambang ini tidak
memberi tanda secara langsung, melainkan melalui sesuatu yang lain. Warna
merah pada bendera Sang Merah Putih merupakan lambang “keberanian”, dan
warna putih merupakan lambang “kesucian”. Gambar padi dan kapas pada burung
Garuda Pancasila melambangkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia",
sedangkan banyaknya bulu burung garuda yang tujuh helai tu melambangkan
bahwa proklamasi kemerdekaan terjadi pada tanggal 17 Agustus. Seperti kata
(Ogden dan Richard, dalam Chaer, (2009):38) lambang ini bersifat konvensional,
perjanjian; tetapi ia dapat diorganisasi, direkam dan dikomunikasikan. Jadi, untuk
mengetahui maksud lambang-lambang itu kita harus mempelajarinya.

Bunyi-bunyi bahasa atau satuan bahasa sebenarnya termasuk lambang


sebab sifatnya konvensional. Untuk memahami makna atau yang diacu oleh
bunyi-bunyi bahasa itu kita harus mempelajarinya. Tanpa mempelajarinya, orang
Inggris tidak akan tahu bahwa (meja)dalam bahasa Indonesia itu adalah 'table'
dalam bahasanya: dan dia juga tidak akan tahu bahwa (anjing) dalam bahasa
Indonesia sama dengan 'dog' dalam bahasanya.

Lambang bahasa (entah berupa kata, gabungan kata, maupun satuan ujaran
lainnya) sama dengan lambang dan tanda-tanda dalam bidang lain “mewakili”
suatu konsep yang berada di dunia ide atau pikiran kita. Umpamanya kata (kursi)
“mewakili” suatu konsep dalam benak kita berupa benda yang biasa digunakan
sebagai tempat duduk dengan wujudnya yang sedemikian rupa sehingga nyaman
untuk diduduki. Meskipun dalam dunia nyata ada sedemikian banyaknya jenis dan
macam kursi tetapi gambaran abstrak akan konsep kursi itu sama. Oleh karena itu,
ada kemungkinan bila seseorang mendengar kata (kursi) yang diucapkan oleh
seorang pengujar atau membacanya yang ditulis oleh seorang penulis, dia akan
memiliki bayangan atau gambaran kursi yang tidak sama dengan yang dimaksud
oleh si pengujar atau si penulis. Bisa terjadi si pengujar atau penulis
memaksudkan (kursi) yang dapat dilipat-lipat (dan biasa disebut kursi lipat)
sedangkan si pendengar atau pembaca membayangkan kursi berjok empuk seperti
yang diduduki seorang direktur di kantor perusahaan besar.

E. Konseptulisasi Makna

Konsep sebagai referen dari suatu lambang memang tidak pernah bisa
“sempurna”. Oleh karena itulah kalau kita menyebut (kursi) atau (pemuda) atau
lambang apa saja, orang sering bertanya “apa yang Anda maksud dengan kursi
itu?", atau juga “apa atau siapa yang Anda maksud dengan pemuda itu?”. Semua
ini membuat orang berusaha merumuskan konsep-konsep yang ada dalam dunia
idenya dalam suatu rumusan yang disebut definisi atau batasan. Secara umum
definisi atau batasan ini memberi rumusan yang lebih teliti mengenai suatu konsep,
walaupun definisi itu sendiri seringkali juga banyak kelemahannya.
DAFTAR PUSTAKA

Amilia, F & Angraeni, A, W. (2017: 4). Semantik: Konsep dan Contoh Analisis.
Jember: Madani.
Angraeni, A, W. 2012. Semantik Bahasa Indonesia. Jember: Universitas
Muhammadiyah Jember.
Chaer, Abdul. (2009: 2). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 1. Pengantar ke Arah Ilmu Makna.
Bandung: ERESCO.

Anda mungkin juga menyukai