Anda di halaman 1dari 89

Efektifitas Hukum Terhadap Kepemilikan Tanah Pertanian Berdasarkan

Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor: 134/HPL/BPN/Tahun 1993


Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan
Pemukiman Perambah Hutan (Studi Kasus Legalitas Kepemilikan Lahan
Warga Pasir Indah dan Muara Dilam)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuh Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan


Dalam Ilmu Hukum

Oleh :
THOMAS FEBRIAN
1735044

KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS PASIR PENGARAIAN

FAKULTAS HUKUM

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang telah

memberikan nikmat dan hidayah sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan

dengan baik dengan judul “Efektifitas Hukum Terhadap Kepemilikan Tanah

Pertanian Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor:

134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama

Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (Studi Kasus Legalitas

Kepemilikan Lahan Warga Pasir Indah dan Muara Dilam)”. Adapun penyusunan

skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat memproleh gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum universitas Pasir Pengaraian.

Demikian penulis ini telah banyak menerima bantuan serta bimbingan dari

berbagai pihak, maka pada kesempatan ini izinkanlah dengan segala rendah hati

untuk mengucapkan terimaasih kepada:

1. Bapak Dr. Hardianto, M.Pd, Selaku Plt. Rektor Universitas Pasir


Pangaraian yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di

Universitas Pasir Pangaraian.

2. Ibu Rise Karmilia SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pasir Pangaraian yang telah mendidik dan memberikan ilmu

pengetahuan sekaligus Penguji II yang telah memberikan kritikan dan

saran demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Bapak Almadison, S.H., M.H, CPLC, CPCLE, Selaku Plt. Ketua Prodi

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pasir Pangaraian yang telah

v
mendidik dan mengajarkan Penulis sekaligus pembimbing I yang telah

membekali ilmu pengetahuan selama proses penulisan skripsi ini.

4. Bapak Hendri, SH.,MH CPLC, CPCLE, selaku Dosen Fakultas Hukum

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pangaraian sekaligus pembimbing II

yang telah membekali ilmu pengetahuan selama proses penulisan skripsi

ini.

5. Bapak Abdul Latif, SH., MH, selaku Dosen Fakultas Hukum

Universitas Pasir Pengaraian yang telah memberikan ilmunya dan

Penguji I yang telah memberikan kritikan dan saran kepada penulis

dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Zulkifli, S.H., M.H,C.L.A, selaku Dosen Fakultas Hukum

Universitas Pasir Pengaraian yang telah memberikan ilmunya dan

Penguji III yang telah memberikan kritikan dan saran demi

kesempurnaan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Pasir Pangaraian

yang telah memberikan pengetahuan dan pengalaman yang sangat

berharga kepada penulis, semoga Jasa Bapak dan Ibu Dosen dibalas oleh

Tuhan Yang Maha Esa.

8. Karyawan dan karyawati Bagian Keuangan, Sekretariat Fakultas


Hukum Universitas Pasir Pangaraian, Tata Usaha, Fakultas Hukum

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pangaraian yang memberikan

pelayanan dan kemudahan dalam urusan administrasi yang berkenaan

dengan pelaksanaan studi penulis.

vi
9. Kepada kedua orang tua saya yang telah mendoakan saya sehingga

terselesaiakan skripsi ini.

10. Keluarga dan rekan serta semua pihak yang telah membantu penulisan

dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis sadar skripsi ini belum sempurna dan memerlukan berbagai

perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat

dibutuhkan.Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan

semua pihak.

Semoga skripsi ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Sekiranyaskripsiyang dibuatini dapat berguna bagi Penulis sendiri maupun orang

yang membacanyadan juga bisa menjadi bahan pembelajaran bersama Sebelumnya

kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan

kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Pasir pengaraian, Agustus 2021


Penulis

THOMAS FEBRIAN

DAFTAR ISI

vii
HALAMAN SAMPUL ……………………………………….…..… i

PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI …………………...… ii

SK PEMBIMBING ………………………………………………… iii

LEMBAR PENGESAHAN HASIL UJIAN SKRIPSI …………... iv

KATA PENGANTAR …………………………………….……….. v

DAFTAR ISI ……………………………………………………...… viii

ABSTRAK …………………………………………………..…....…. x

ABSTRACT……………………………………………………….… xi

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................... 14
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................... 14
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................. 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjuan Pustaka Tentang Transmigrasi................................... 17
2.2. Tinjuan Pustaka Tentang Perlindungan Hukum ..................... 20
2.3. Tinjuan Pustaka Tentang Reforma Agraria ............................ 27
2.4. Tinjuan Pustaka Tentang Pendaftaran Tanah.......................... 33
2.5. Tinjuan Pustaka Tentang Hak-Hak Tanah Pertanian .............. 36
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian ............................................................ 38
3.2. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum ........................................... 39
3.3. Tehnik Memperoleh Bahan Hukum ........................................ 41
3.4. Populasi dan Sampel .............................................................. 42
3.5. Tehnik Analisis Data .............................................................. 43
3.6. Definisi Konseptual ................................................................ 44

viii
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perlindungan hukum terhadap kepemilikan tanah pertanian

berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor

134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian Hak

Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan Pemukiman

Perambah Hutan (Studi Kasus Legalitas Kepemilikan Lahan

Warga Pasir Indah dan Muara Dilam) ……………………. 46

4.2 Akibat Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum

terhadap berlakunya penguasaan tanah tanah pertanian

berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor

134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian Hak

Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan Pemukiman

Perambah Hutan (Studi Kasus Legalitas Kepemilikan Lahan

Warga Pasir Indah dan Muara Dilam) .................................. 57

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ……………………………..…………............... 65
5.2 Saran ………………………...………………….................... 66
DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

ix
Tanah adalah tiang dan sumber hidup manusia. Bagi rakyat tani,
tanah adalah nyawanya. Karena itu tidak aneh kalau soal tanah selalu
menjadi pangkal sengketa, menjadi perebutan. Terbitnya Keputusan Bupati
Rokan Hulu Nomor 76 Tahun 2010 Tentang Izin Usaha Perkebunan
Budidaya (IUP-B) PT. Sumber Alam Makmur Sentosa, tanpa
memperhatikan pertimbangan aspek filosofis, aspek sosial dan aspek yuridis
dalam mengeluarkan keputusan tersebut yang sangat menyalahi ketentuan
peraturan perundangan-undangan terutama Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 134/HPL/BPN/Tahun
1993 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Departemen
Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Atas Tanah Di Kabupaten
Kampar, yang berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap
kepemilikan tanah pertanian bagi para petani penggarap tanah.
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang diteliti adalah
bagaimana bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kepemilikan tanah
pertanian berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor:
134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas
Nama Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan di Desa Pasir Indah
dan faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas hukum terhadap
berlakunya penguasaan tanah tanah pertanian berdasarkan keputusan
menteri negara agraria nomor: 134/hpl/bpn/tahun 1993 tentang pemberian
hak pengelolaan atas nama transmigrasi dan pemukiman perambah hutan
(Studi Kasus Legalitas Kepemilikan Lahan Warga Pasir Indah dan Muara
Dilam).
Permasalahan yang telah dirumuskan akan dijawab dan dipecahkan
dengan metode pendekatan penelitian yuridis empiris yang dengan kata lain
adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat pula disebut dengan penelitian
lapangan.
Penelitian ini akhirnya menyimpulkan bahwa Keputusan Bupati
Rokan Hulu Nomor 76 Tahun 2010 Tentang Izin Usha Perkebunan
Budidaya (IUP-B) PT. Sumber Alam Makmur Sentosa menyalahi peraturan
Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 134/HPL/BPN/Tahun 1993
Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan
Pemukiman Perambah Hutan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifitas hukum terhadap berlakunya penguasaan tanah pertanian terhadap
kepemilikan lahan warga Pasir Indah dan Muara Dilam adalah Kurang
tertibnya administrasi pertanahan masa lalu, Sumber Daya Manusia yang
minim pengetahuan hukum, Penguasaan tanah yang transmigrasi yang tidak
maksimal.

Kata Kunci: Efektifitas Hukum, Kepemilikan Tanah, Transmigrasi

ABSTRACT

x
Soil is the pillar and source of human life. For the peasants, the land
is their life. Therefore, it is not strange that the question of land has always
been the basis of disputes, becoming a struggle. The issuance of the Decree
of the Regent of Rokan Hulu Number 76 of 2010 concerning the Cultivation
Plantation Business Permit (IUP-B) of PT. Sumber Alam Makmur Sentosa,
without taking into account the philosophical aspects, social aspects and
juridical aspects in issuing the decision which is in violation of the
provisions of the legislation, especially the Decree of the State Minister of
Agrarian Affairs/Head of the National Land Agency Number:
134/HPL/BPN/Year 1993 concerning Granting Management Rights on
behalf of the Department of Transmigration and Settlement of Forest
Squatters, on Land in Kampar Regency, which results in legal uncertainty
over ownership of agricultural land for land cultivators.

Based on the above background, the problem being researched


is how the legal protection of agricultural land ownership is based on the
Decree of the State Minister of Agrarian Affairs Number:
134/HPL/BPN/Year 1993 concerning the Granting of Management Rights
in the Name of Transmigration and Settlement of Forest Squatters in Pasir
Indah Village and what factors What are the factors that affect the
effectiveness of the law on the enactment of control over agricultural land
based on the decree of the Minister of State for Agrarian Affairs number:
134/hpl/bpn/1993 concerning the granting of management rights in the
name of transmigration and settlement of forest squatters (Case Study of
Legality of Land Ownership of the Residents of Pasir Indah and Muara
Dilam) .
The problems that have been formulated will be answered and
solved by using an empirical juridical research approach which in other
words is sociological legal research and can also be called field research.
This research finally concludes that the Decree of the Regent of
Rokan Hulu Number 76 of 2010 concerning the Business License for
Cultivation Plantation (IUP-B) PT. Sumber Alam Makmur Sentosa violates
the Decree of the State Minister of Agrarian Affairs Number
134/HPL/BPN/Year 1993 concerning the Granting of Management Rights
in the Name of Transmigration and Settlement of Forest Squatters and the
factors that affect the effectiveness of the law on the enactment of
agricultural land tenure over the land ownership of the residents of Pasir
Indah and Muara Dilam is the lack of orderly land administration in the past,
Human Resources who have minimal legal knowledge, Land tenure that is
not optimal for transmigration.

Keywords: legal effectiveness, land ownership, transmigration.

xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 pasca amandemen dimana dinyatakan Indonesia adalah

negara hukum (rechtstaat) bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).

Sedangkan menurut Aristoteles negara hukum adalah negara yang berdiri di

atas hukum yang menjamin keadilan pada warga negaranya. Keadilan menurut

Aristoteles dibedakan atas keadilan distributif dan keadilan komutatif. Menurut

dia hukum yang baik adalah hukum yang bersumber dari rasa keadilan

masyarakat dan yang memerintah dalam negara adalah pikiran yang adil

sementara penguasa hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.1Menurut

Aristoteles, suatu Negara yang baik ialah Negara yang diperintah dengan

konstitusi dan berkedaulatan hukum.2

Tata hukum Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan

penjabaran dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, merupakan sumber hukum tertinggi yang mengatur semua

persoalan agraria di Indonesia. Konsekuensinya, semua undang-undang yang

mengatur atau peraturan lainnya yang berhubungan dengan keagrarian harus

mengacu kepada Undang-Undang Pokok Agraria. Oleh karena secara de yure

Undang-Undang Pokok Agraria masih diakui keberadaannya, maka sudah

1
Nomensen Sinamo, Hukum Tata NegaraIndonesia, Permata Aksara, Jakarta, 2014, hlm. 36.
2
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm.24.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


1
2

seharusnya Undang-Undang Pokok Agraria menempati urutan tertinggi dalam

keagrarian.3

Secara umum Undang-Undang Pokok Agraria meletakkan dasar

kebijakan di bidang-bidang ini dalam kalimat: “Atas dasar ketentuan dalam

Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

hal-hal yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa

termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatannya

tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.

Jadi setiap kebijakan yang hendak mengatur bidang-bidang ini, sesuai dengan

Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

harus “dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.4

Didalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria, dan selanjutnya disebut UUPA ada dijabarkan bahwa dalam

rangka mewujudkan pemanfaatan tanah bagi sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat, Negara sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia, diberi wewenang

untuk pada tingkat tertinggi yaitu:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan tanah,

dan pemeliharaannya;

2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai hak atas tanah;

3
Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, Tanah Sebagai Komoditas Kajian Kritis atas Kebijakan
Pertanahan Orde Baru, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 1996, hlm..
89.
4
Ibid., hlm. 26.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


3

3. Menentukan dan mengukur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan mengenai tanah.5

Sebagai bagian integral dari sistem penyelenggaraan pemerintahan

negara, maka sistem penyelenggaraan transmigrasi perlu disesuaikan yang

mencakup tiga hal pokok sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai tanggung

jawab pemerintah daerah dalam pelaksanaan transmigrasi sebagai pemrakarsa

pembangunan transmigrasi di daerahnya. 2. Pengaturan mengenai peran serta

masyarakat dalam pelaksanaan transmigrasi. 3. Pengaturan pelaksanaan jenis-

jenis transmigrasi yang berdampak pada perbedaan perlakuan dan bantuan.6

Jika sebelumnya peran Pemerintah dalam pelaksanaan transmigrasi

sangat dominan, maka dalam perubahan undang-undang ini peran pemerintah

daerah lebih dipertegas mulai dari penyediaan kawasan, pembangunan

kawasan, sampai dengan pengembangan Kawasan Transmigrasi. Dengan

demikian, maka pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab yang lebih

besar pada proses pelaksanaan transmigrasi, sehingga ketentuan tentang

penyerahan pembinaan Permukiman Transmigrasi dari Pemerintah kepada

pemerintah daerah ditiadakan.7

Dalam hubungannya dengan masalah agraria, maka transmigrasai

(pemindahan penduduk antara kepulauan Indonesia) salah satu jalan pemecahan

kekurangan tanah bagi petani di Jawa untuk mendapatkan tanah pertanian di

5
Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2008, hlm. 32.
6
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian.
7
Ibid.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


4

daerah lainnya yang luas tanahnya, dan sangat memerlukan tenaga manusia

untuk membukanya.8

Kemudian dalam hubungannya pula dengan azas kebangsaan tersebut di

atas ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa: “tiap-tiap warga Negara

Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama

untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan

hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”

Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria ditujukan kepada pemerintah sebagai suatu instruksi,

agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat

“rechts-kadaster”, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Adapun

pendaftaran itu akan diselenggarkan dengan mengingat pada kepentingan serta

keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan

kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh

karena itu maka akan didahulukan penyelenggaraannya di kota-kota untuk

lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara.

Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum maka

pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan, dengan

maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu sedangkan Pasal

19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

8
Mochammad Tauchid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran
Rakyat Indonesia, STPN Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 384.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


5

Agraria ditujukan kepada pemerintah sebagai suatu instruksi, agar di seluruh

wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “rechtskadaster”

artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.

Pembangunan pertanahan bertujuan untuk memanfaatkan tanah secara

terpadu antara berbagai sektor pembangunan serta mencapai peningkatan

kualitas ruang. Oleh sebab itu, penataan kembali sebagai tuntutan akan

perkembangan atas pemanfaatan sumber-sumber agraria sangatlah diperlukan

dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan akan hak-hak atas tanah. Dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini yang mengatur

tentang sumber-sumber agraria beserta ruang lingkupnya yang meliputi bumi,

air, dan ruang angkasa, agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Untuk memenuhi itu semua, maka

secercah harapan yang diberikan oleh negara masih masih tetap terus

diharapkan oleh masyarakat terhadap pengaturan tentang pemanfaatan atas

tanah sebagaimana diamanatkan di dalam Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001

tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.9

Meningkatnya konflik pertanahan yang terjadi antara kepentingan-

kepentingan kelas-kelas pertanian di daerah pedesaan dan industrial dari luar

desa. Yang bekerja di belakang fenomena konflik pertanahan yang demikian

adalah terjadinya pergeseran struktur ekonomi kita yang telah menempatkan

sektor pertanian di daerah pedesaan semakin menjadi suatu usaha ekonomi yang

9
Muchsin, dkk, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, PT. Refika Aditama,
Bandung, 2014, hlm. 91.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


6

semakin dikuasai oleh mereka yang berada di luar sektor pertanian, dan yang

sebaliknya telah menjadikannya sebagai usaha ekonomi yang semakin jauh

berada jauh di luar jangkauan kontrol masyarakat pertanian di daerah pedesaan

dan di dalam skala yang semakin tidak mendukung nilai-nilai sosial yang luas.

Sebagai akibatnya tanah telah semakin dilihat dan diperlakukan di dalam

hubungannya dengan fungsi ekonomi (sebagai Ricardian rent), dan sebaliknya

semakin kehilangan kaitannya dengan fungsi sosial (berupa Sociological rent)

yang selama ini dimilikinya. Angka konversi tanah-tanah pertanian bagi

peruntukan-peruntukan non-pertanian yang terjadi selama beberapa tahun

terakhir ini sangat jelas menunjukkan hal itu.10

Keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut ternyata harus dibayar

mahal dengan pengorbanan rakyat.Berkembangnya perusahaan-perusahaan

kawasan industri, perusahaan agribisnis, perusahaan perkayuan, pariwisata, real

estates, kesemuanya telah menimbulkan berbagai kasus sengketa tanah antara

rakyat dengan kekuatan modal yang mendapatkan dukungan dari negara.Isu

sengketa tanah sebagian besar muncul sebagai akibat pembebasan tanah untuk

kepentingan industri, pembangunann infrastruktur ekonomi, penggusuran lahan

garapan petani untuk kepentingan pariwisata dan lain-lain. Sengketa tanah

sebagian besar terjadi antara masyarakat adat yang mempertahankan hak adat

atas tanah dengan pemilik modal yang didukung oleh negara yang dikemas

dalam paket pemberian Hak Pengusahaan Hutan dan Hutan Tanaman Industri,

dan pengembangan agribisnis dengan pola Perusahaan Inti Rakyat dan lain-

10
Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim , Op. Cit, hlm. xvi.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


7

lain.11 Fenomena inkonsistensi kebijakan ini secara bersamaan menyebabkan

terjadinya ambivalensi dalam kebijakan pertanahan. Pemerintah selalu

menghadapkan kepada dua pilihan apakah melindungi kepentingan masyarakat

atau “pembangunan”.12

Berkaitan dengan perubahan sosial tersebut, bidang hukum juga

mengalami perubahan dalam aplikasinya. Hal ini terlihat dalam persoalan tanah

di berbagai daerah menunjukkan peningkatan sengketa yang semakin tidak bisa

dihindarkan karena mengiringi perubahan sosial yang muncul secara bersamaan

di berbagai daerah. Antara perubahan sosial dan hukum khususnya hukum

tentang kepemilikan hak atas tanah menjadi masalah mendasar yang harus

segera mendapatkan solusi.

Mengacu pada undang-undang tersebut jelaslah bahwa alokasi

penggunaan tanah ditujukan untuk kepentingan berbagai sektor-sektor yang

dapat menunjang pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini telah mendorong

terjadinya perebutan sumber daya tanah antara rakyat di satu pihak yang

memerlukan sumber daya tanah untuk keperluan subsistemnya, dengan pihak

pemilik modal di lain pihak yang secara jelas mendapat dukungan kuat dari

pemerintah.13

Perkebunan adalah unit produksi pertanian secara besar-besaran,

pengarahan pasar dan berorientasi ekspor, cara produksi pertanian yang

diadakan dan dikelola secara serius demi menghasilkan laba besar.Berkaitan

11
Ibid., hlm. 5.
12
Ibid., hlm. 63.
13
Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, Op. Cit., hlm. 53.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


8

dengan perkembangan perkebunan swasta, menurut Houben, perkebunan

adalah bagian tanah yang dibatasi, yang di atasnya pemilik swasta

menggunakan penduduk setempat (sebagai penghuni sementara atau tetap)

untuk memproduksi tanaman perdagangan.Bedanya dengan pertanian yang

telah dikembangkan oleh masyarakat tradisional, perkebunan menggunakan

lahan yang lebih luas untuk tanaman tertentu (umumnya sejenis), serta dikelola

dengan lebih modern dengan menerapkan sistem manajemen yang lebih teratur

rapi.14

Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lazim juga disebut Undang-

Undang Pokok Agraria, yang untuk selanjutnya disebut UUPA, dapat diketahui

bahwa hak milik atas tanah dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu; (1) berdasarkan

undang-undang, (2) berdasarkan penetapan pemerintah, dan (3) berdasarkan

hukum adat. Terjadi hak milik berdasarkan undang-undang telah mendapat

pengaturan dalam UUPA pada bagian kedua mengenai ketentuan-ketentuan

konversi dan peraturan pelaksanaannya.15

Berbicara mengenai tanah-tanah bekas di zaman kolonial terutama

mengenai tanah-tanah dengan Hak Eigendom maka yang kita dapatkan adalah

proses penyelesaian yang berlarut-larut dari zaman ke zaman. Salah satu hal

yang menyebabkan terjadinya hal ini adalah adanya tumpang tindihnya

peraturan yang dilakukan dari tiap era pemerintahan ke era pemerintahan

14
Nurhadi Sasmita, “Menjadi Kota Definitif: Jember abad 19-20”, Jurnal HUMANIORA, Vol
1, No. 2 Januari 2019, hlm. 127.
15
Ilyas Ismail, “Kajian Terhadap Hak Milik Atas Tanah Yang Terjadi Berdasarkan Hukum
Adat”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 56. Th. XIV April 2012, hlm. 1.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


9

lainnya. Setiap pemerintahan yang terbentuk di Indonesia didapatkan dari

proses politik yang panjang. Hal ini menyebabkan pemerintah menciptakan

produk-produkpolitik yang akhirnya mempengaruhi pada setiap kekuasaan

tersebut dipegang oleh siapa, maka akan mempengaruhi hukum apa yang akan

berlaku di zaman tersebut.16

Dalam menghadapi kelancarannya pelaksanaan transmigrasi perlu segera

mendapat penyelesaian dari pemerintah, yaitu mengenai hak tanah dari para

transmigrasi karena sampai sekarang hak tanah bagi transmigranten masih

tetap merupakan persoalan yang belum mendapat penyelesaian, karena belum

adanya kesatuan hukum agraria yang sesuai dengan perkembangan dewasa

ini.Meskipun dasar dari transmigrasi adalah menuju pembangunan dalam

semua sektor perekonomian tidak hanya di kalangan pertanian saja, tetapi pada

waktu ini yang pertama diharapi oleh para transmigranten, yaitu untuk

mendapatkan sebidang tanah di daerah-daerah transmigrasi itu. Karena orang-

orang yang dipindahkan itu pada waktu ini dapat dikatakan 100% berasal dari

kaum tani, sedang usaha perindustrian dan kerajinan hanya baru dalam

tingkatan usaha samben (sampingan) bagi mereka.17

Tuntutan-tuntutan dari kedua belah pihak itu berkisar di sekitar hak

mengenai tanah.Keadaan yang berlaku dan sampai sekarang belum mendapat

penyelesaian ialah para transmigranten di daerah-daerah kolonisasi lama itu

16
Edwin, “Eigendom sebagai Alat Bukti yang Kuat Dalam Pembuktian Kepemilikan Tanah
Pada Hukum Tanah Indonesia Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 588
PK/PDT/2002”, Tesis, Program Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2012,
hlm. 30-31.
17
Mochammad Tauchid, Op. Cit., hlm. 393-394.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


10

memakai tanah berdasarkan hak usaha (gebruikscrecht, hak

memakai).Berdasarkan pula hak memakai itu dengan sendirinya berarti para

transmigranten tidaklah mempunyai kekuasaan sepenuhnya atas tanah yang

dikerjakan, di antaranya mereka tidak diperbolehkan menyewakan,

menggadaikan, apalagi menjual-belikan tanah yang dikuasai mereka.18

Mengingat keadaan tersebut di atas perlu segera diadakan perubahan-

perubahan di lapangan agraria (agrarische hervorming). Guna menjamin

berhasil baik usaha-usaha diadakan perubahan-perubahan yang akan datang

perlu adanya kepastian hak tanah. Dari pihak jawatan transmigrasi telah ada

peraturan bahwa untuk daerah-daerah yang ditunjuk sebagai daerah

transmigrasi-dalam hal ini mengenai daerah Sukandana- tiap tiap transmigran

dalam waktu tiga tahun permulaan dapat hak berusaha (recht van gebruik) dan

selanjutnya kalau ternyata tanah itu benar-benar dikerjakan dengan baik, tanah

tersebut diubah jadi hak milik (erfelijk individueel bezit) dari transmigran.

(Peraturan Jawatan Transmigrasi No. 1/1952, tanggal 15 Maret 1952).19

Berdasarkan Keputusan Bupati Rokan Hulu Nomor 76 Tahun 2010

Tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) PT. Sumber Alam Makmur

Sentosa memutuskan dan menetapkan bahwa member izin Usaha Perkebunan

Budidaya (IUP-B) kepada PT. Sumber Alam Makmur Sentosa dengan jenis

komoditi Perkebunan Kelapa Sawit yang terletak di Desa Muara Dilam

Kecamatan Kunto Darussalam Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau.

18
Ibid, hlm. 395.
19
Ibid, hlm. 396.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


11

Sementara itu di desa Pasir Indah dan desa Muara Dilam, Kecamatan Kunto

Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau merupakan areal

pemukiman transmigrasi berdasarkan Keputusan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 134/HPL/BPN/Tahun

1993 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Departemen

Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Atas Tanah Di Kabupaten

Kampar (sekarang Kabupaten Rokan Hulu berdasarkan pemekaran Kabupaten

berdasarkan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1999

Tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu,

Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten

Natuna, Kabupaten Kuantan Sengingi dan Kota Batam (Lembaran Negara RI

Tahun 1999 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3902),

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga atas

Undang-undang Nomor Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1999 (Lembaran

Negara RI Tahun 2008 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor

4880).

Bahwa areal perkebunan kelapa sawit PT. Sumber Alam Makmur Sentosa

tersebut tentu menjadi persoalan sengketa lahan dengan masyarakat

transmigrasi setempat, karna masyarakat transmigrasi Desa Pasir Indah dan

Desa Muara Dilam merasa lebih berhak atas kepemilikan dan penguasahaan

tanah dan/atau lahan yang mereka kelola berdasarkan Keputusan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor:

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


12

134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama

Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Atas Tanah Di

Kabupaten Kampar (sekarang Kabupaten Rokan Hulu), yang memutuskan dan

menetapkan bahwa poin pertama memberikan kepada Departemen

Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Hak Pengelolaan atas tanah

seluas 1.240 Ha (seribu dua ratus empat puluh hektar), terletak di desa Muara

Dilam, Kecamatan Kunto Darussalam Propinsi Riau dengan ketentuan dan

syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan ini.

Kemudian pada poin kelima menyatakan bahwa tanah yang diberikan dengan

Hak Pengelolaan tersebut apabila akan dialihkan/dipindahkan haknya kepada

Pihak lain harus dimintakan ijin terlebih dahulu kepada Menteri Negara/Kepala

Badan Pertanahan Nasional (sekarang disebut Menteri Agraria dan Tata Ruang/

Badan Pertanahan Nasional).

Berdasarkan wawancara penulis dengan Ibu Desmwati, SST. ,MM,

Kasubbag Umum Perlengkapan dan Keuangan Dinas Koperasi UKM,

Transmigrasi dan Tenaga Kerja Rokan Hulu, menyatakan bahwa memang

terdapat sengeketa lahan masyarakat penggarap tanah dengan PT. Sumber

Alam Makmur Sentosa di atas arel pemukiman transmigrasi seluas ± 18 ha.

Sementara itu, hasil wawancara penulis dengan Bapak Kasanah, selaku

Sekretaris Desa Pasir Indah juga menyatakan adanya sengketa lahan antara

masyarakat penggarap tanah dengan PT. Sumber Alam Makmur Sentosa di atas

arel pemukiman transmigrasi seluas ± 18 ha.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


13

Tentu keputusan dan kebijakan Bupati Rokan Hulu dalam menerbitkan

Keputusan Bupati Rokan Hulu Nomor 76 Tahun 2010 Tentang Izin Usaha

Perkebunan Budidaya (IUP-B) PT. Sumber Alam Makmur Sentosa di atas areal

pemukiman transmigrasi Desa Muara Dilam menimbulkan cidera hukum yang

berakibat ketidakpastian hukum terhadap kepemilikan tanah pertanian bagi

masyarakat yang tinggal di desa Muara Dilam yang mereka kuasai dan kelola

selama ini semenjak adanya program pemerintah dalam melakukan

transmigrasi ke beberapa daerah di Indonesia. Terbitnya Keputusan Bupati

Rokan Hulu Nomor 76 Tahun 2010 Tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya

(IUP-B) PT. Sumber Alam Makmur Sentosa, tanpa memperhatikan

pertimbangan aspek filosofis, aspek sosial dan aspek yuridis dalam

mengeluarkan keputusan tersebut yang sangat menyalahi ketentuan peraturan

perundangan-undangan terutama Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor: 134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang

Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Departemen Transmigrasi dan

Pemukiman Perambah Hutan, Atas Tanah Di Kabupaten Kampar (sekarang

Kabupaten Rokan Hulu).

Sebagai Negara hukum, segala tindakan penyelenggara Negara dan warga

Negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hukum dalam hal ini

adalah hierarki tatanan norma yang berpuncak pada konstitusi, yaitu Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka, pelaksanaan

keputusan dan kebijakan Bupati Rokan Hulu dalam menerbitkan Keputusan

Bupati Rokan Hulu Nomor 76 Tahun 2010 Tentang Izin Usaha Perkebunan

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


14

Budidaya (IUP-B) PT. Sumber Alam Makmur Sentosa di atas arel pemukiman

transmigrasi Desa Muara Dilam juga harus berdasarkan pada aturan hukum

yang berpuncak pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Berdasarkan uraian diatas, menurut hemat penulis permasalahan ini layak

diangkat menjadi sebuah topik penelitian dengan judul: “Efektifitas Hukum

Terhadap Kepemilikan Tanah Pertanian Berdasarkan Keputusan Menteri

Negara Agraria Nomor: 134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian

Hak Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan Pemukiman Perambah

Hutan (Studi Kasus Legalitas Kepemilikan Lahan Warga Pasir Indah dan

Muara Dilam)”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Perlindungan HukumTerhadap Kepemilikan Tanah

Pertanian Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor:

134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas

Nama Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan di Desa Pasir Indah?

2. Faktor Apa Sajakah Yang Mempengaruhi Efektifitas Hukum Terhadap

Berlakunya Penguasaan Tanah Tanah Pertanian Berdasarkan Keputusan

Menteri Negara Agraria Nomor: 134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang

Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan Pemukiman

Perambah Hutan (Studi Kasus Legalitas Kepemilikan Lahan Warga Pasir

Indah dan Muara Dilam)?

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


15

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Mengetahui bagaimanabentuk hak kepemilikan masyarakatterhadap

kepemilikan tanah pertanian berdasarkan Keputusan Menteri Negara

Agraria Nomor: 134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian Hak

Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan di

Desa Pasir Indah.

2. Mengetahui faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas hukum

terhadap berlakunya penguasaan tanah tanah pertanian berdasarkan

Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor: 134/HPL/BPN/Tahun 1993

Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan

Pemukiman Perambah Hutan (Studi Kasus Legalitas Kepemilikan Lahan

Warga Pasir Indah dan Muara Dilam).

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Untuk melatih diri dalam melakukan penulisan dan penelitian secara

ilmiah yang dituangkan dalam bentujk karya ilmiah berupa skripsi.

2. Menambah dan mengembangkan wawasan penulis serta untuk

menerapkan ilmu pengetahuan yang penulis peroleh selama

diperkuliahan dalam ilmu hukum secara umum dan khususnya dalam

disiplin ilmu hukum perdata.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


16

3. Sebagai sumbangan pemikiran ilmiah yang sederhana bagi

mahasiswa/akademika Fakultas Hukum Pasir Pengaraian.

1.4.2. Manfaat praktis

1. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran model

penyelesaian konflik yang sesuai dengan norma hukum dan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Memberikan pemahaman dan sumbangan pemikiran, gambaran, dan

penjelasan kepada pemerintah, masyarakat umum, praktisi hukum, dan

aparatur hukum dalam mengupayakan penegakan hukum terhadap hak

atas tanah bagi masyarakat yang menguasai tanah pertanian berdasarkan

Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 134/HPL/BPN/Tahun 1993

Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan

Pemukiman Perambah Hutan (Studi Kasus Legalitas Kepemilikan

Lahan Warga Pasir Indah dan Muara Dilam).

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


17

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Transmigrsi

Dalam hubungannya dengan masalah agraria, maka transmigrasai

(pemindahan penduduk antara kepulauan Indonesia) salah satu jalan pemecahan

kekurangan tanah bagi petani di Jawa untuk mendapatkan tanah pertanian di daerah

lainnya yang luas tanahnya, dan sangat memerlukan tenaga manusia untuk

membukanya.20

Tujuan pokok dari transmigrasi ialah pembukaan kemakmuran di daerah-

daerah yang cukup bahan-bahan dan lapangan usaha kemakmuran diantaranya ialah

tersedianya tanah yang luas tetapi tidak cukup (tidak ada) tenaga yang

mengerjakannya. Bukanlah tujuan transmigrasi hanya sekedar memindahkan

orang-orang, sekedar untuk meratakan saja jumlah penduduk dari daerah ke daerah

lainnya. Kepindahan penduduk dari Jawa dan daerah-daerah lainnya yang sudah

padat penduduknya ke daerah lainnya yang masih jarang menjadi salah satu

jawaban atas masalah kemakmuran di Indonesia.21

Kepadatan penduduk di Jawa sudah sangat mendesak meminta penyelesaian

berhubung tidak seimbangnya keperluan hidup penduduk dengan kemampuan hasil

bumi untuk menjamin kepentingan hidup mereka itu. Persediaan tanah buat

perluasan pertanian di Jawa sudah tidak ada lagi, untuk keperluan penduduk yang

tiap-tiap tahun bertambah sekian besarnya. Pembukaan tanah pertanian baru sudah

20
Mochammad Tauchid, Op. Cit., hlm. 384.
21
Ibid., hlm. 384-385.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


17
18

sangat sedikit kemungkinannya, bahkan sudah sejak beberapa waktu lamanya,

tambahan tanah pertanian di Jawa tertutup. Selama waktu-waktu yang akhir,

tambahan luas tanah pertanian hanya paling banyak 1/3 dari keperluan tanah untuk

tambahan jumlah penduduk (yang memerlukan tanah). Menurut perhitungan pada

tahun 1937, tanah Jawa hanya memungkinkan tambahan luas tanah 300.000 ha lagi

untuk pertanian yang berarti hanya dapat menyediakan tanah untuk tambahan

penduduk selama 5 tahun saja.22

Usaha mengintensifkan pertanian di Jawa sudah dijalankan. Pada tahun

1900 tanah pertanian di Jawa diusahakan (geoceupeerd) 105% dari luas tanah.

Tahun 1926 diusahakan 131% dan tahun 1936 diusahakan 142% dari luas tanah

pertanian. Menurut perhitungan orang ahli, dengan perbaikan pengairan serta

pemupukan dan peralatan yang baik, tanah pertanian di Jawa dapat diusahakan

(geoccupeerd) sampai 135% dari luas tanah. Sedang tambahnya produksi masih

dapatdiusahakan dengan macam-macam perbaikan tetapi walaupunbegitu tidaklah

dapat sejalan dengan tambahnya penduduk. Tambahnya penduduk berarti makin

bertambahnya orang yang tidak mempunyai tanah. Sedangkan harapan dan

kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan dan sumber kehidupan lainnya dari

kerajinan dan perusahaan yang timbul di Jawa bagi orang-orang yang tidak lagi

mempunyai tanah masih sangat sedikit.23

Penduduk di Jawa tiap tahun bertambah antara 500.000 sampai 600.000

orang. Menurut perhitungan sensus penduduk tahun 1930 di antara seluruh

22
Ibid., hlm. 385.
23
Ibid., hlm. 385-386.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


19

penduduk itu ada 30-35% yang mampu bekerja (orang dewasa yang kuat bekerja).

Jadi kalau tiap-tiap tahun bertambah 500.000-600.000 orang berarti tiap tahun

bertambah 175.000 orang yang harus mendapat pekerjaan (penghidupan). Menurut

perhitungan, tambahan kesempatan (lapangan) bekerja pada kerajinan dan

perusahaan dengan kemajuan perusahaan dan perindustrian seperti yang sudah-

sudah, hanya untuk 15.000-20.000 orang saja, yang berarti 10% saja dari tenaga

kerja baru yang harus mendapat pekerjaan untuk hidupnya. Pada tahun 1938 Kantor

Pusat Statistik membuat perhitungan sebagai berikut: Kalau tambahan penduduk

tiap-tiap tahun 1,5% dan tidak ada pemindahan penduduk dari Jawa ke daerah

lainnya, maka pada tahun 2000 penduduk di Jawa sudah menjadi 116.000.000

orang, atau 879 orang penduduk tiap-tiap km² tanah pertanian. Kalau tiap-tiap tahun

penduduk di Jawa dipindahkan 80.000 keluarga terdiri dari: Ibu, bapak dan seorang

anak yang umurnya masing-masing antara 15, 20, dan di bawah 5 tahun, penduduk

di Jawa pada tahun 2000 akan menjadi 74.000.000., kalau dipindahkan tiap-tiap

tahun 120.000 keluarga, pada tahun 2000 pulau Jawa berpenduduk 57.000.000.24

Kolonisasi pertanian sudah sejak tahun 1902 dirancangkan oleh pemerintah

Hindia Belanda dan dijalankan tahun 1905.Pada mulanya dicoba pemindahan ke

Sumatera Selatan, Gedungtataan dan Kotaagung yang dapat dikatakan berhasil.

Sampai pada tahun 1928 kira-kira sudah ada 24.000 jiwa yang dipindahkan, dengan

biaya 5.000.000 rupiah, yaitu 3.500.000 rupiah untuk keperluan biaya kolonisasi

sesungguhnya, yang 1.500.000 rupiah buat irigasi. Jadi menurut perhitungan

sebagai permulaan tiap-tiap jiwa biayanya 200 rupiah atau tiap-tiap keluarga kira-

24
Ibid.,hlm. 386.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


20

kira 800 rupiah. Biaya ini dianggap terlalu tinggi, dan terlalu mahal buat

pemerintah. Karena itu maka pada waktu akhir tahun 1929, yaitu pada waktu krisis

ekonomi, pekerjaan ini dianggap tidak mungkin diteruskan. Sesudah itu dicarikan

akal, yaitu dengan cara menyerahkan (menitipkan) orang-orang yang baru datang

kepada orang-orang yang sudah lama, yang pada waktu panen sangat memerlukan

tenaga. Orang-orang baru ini dapat diterima oleh keluarga lama dengan mendapat

makan dan tempat tinggal serta upah kerja membantu panen. Di samping itu mereka

dapat memulai membuka hutan untuk tanah pertaniannya. Pada tahun 1932 cara

semacam ini dijalankan. Pada tahun itu dikirimkan 7.000 orang ke Lampung dari

Jawa. Untuk 7.000 orang itu pemerintah mengeluarkan biaya 49.000 rupiah,

diantaranya yang 26.000 untuk biaya kereta api, yang berarti uangnya masuk kas

pemerintah kembali. Jadi biaya yang sebenarnya hanya 22.000 rupiah atau 3 rupiah

tiap-tiap orang.25

Selanjutnya pemindahan penduduk secara ini dijalankan. Pada tahun 1938

dipindahkan 33.000, tahun 1939 dipindah kan 45.000 orang, tahun 1940

dipindahkan 52.000 orang. Menurut perhitungan, dengan cara semacam itu paling

banyak tiap-tiap tahun hanya dapat dipindahkan 100.000 orang.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum

Menurut Satjito Rahardjo perlindungan hukum adalah adanya upaya

melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak

25
Ibid.,hlm. 386-387.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


21

Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka

kepentingannya tersebut.26

“Negara Indonesia adalah Negara hukum” Asas legalitas dengan istilah

wetmatigheid van het berstuur, yang mengandung arti setiap tindakan pemerintahan

itu harus ada dasar hukumnya dalam suatu peraturan perundang-undangan. Asas

legalitas juga bisa dipakai sebagai dasar untuk menguji tindakan pemerintahan.

Asas legalitas mengandung arti bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan

mengedepankan dasar hukum dari sebuah keputusan dan/atau tindakan yang dibuat

oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Konsekuensinya, keputusan atau

tindakan badan atau pejabat pemerintahan tidak bisa dilakukan semena-mena.27

Teori validitas atau legitimasi dari hukum (legal validity) adalah teori yang

mengajarkan bagaimana dan apa syarat-syarat agar suatu kaidah hukum menjadi

legitimate dan sah (valid) berlakunya, sehingga dapat diberlakukan kepada

masyarakat, bila perlu dengan upaya paksa, yakni suatu kaidah hukum yang

memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:28

1. Kaidah hukum tersebut haruslah dirumuskan ke dalam berbagai bentuk

aturan formal, seperti dalam bentuk pasal-pasal dari Undang-Undang

Dasar, undang-undang dan berbagai bentuk peraturan lainnya, aturan-

26
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hlm.
121.
27
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6986/makna-asas-legalitas-dalam-
hukum-administrasi-negara/, diakses pada tanggal 17 Mei 2021 pada pukul 18:21 WIB.
28
Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta, 2013,
hlm. 109-110.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


22

aturan internasional seperti dalam bentuk traktat, konvensi, atau

setidaknya dalam bentuk adat kebiasaan.

2. Aturan formal tersebut harus dibuat secara sah, misalnya jika dalam

bentuk undang-undang harus dibuat oleh parlemen (bersama dengan

pemerintah).

3. Secara hukum, aturan hukum tersebut tidak mungkin dibatalkan.

4. Terhadap aturan formal tersebut tidak ada cacat-cacat yuridis lainnya.

Misalnya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

5. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-badan dan

penerapan hukum, seperti pengadilan, kepolisian, kejaksaan.

6. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima dan dipatuhi oleh

masyarakat.

7. Kaidah hukum tersebut haruslah sesuai dengan jiwa bangsa yang

bersangkutan.

Teori validitas dan keberlakuan hukum mempersyaratkan validitas suatu

norma hukum, dalam arti “keberlakuan” suatu kaidah hukum, yang memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut :

1. Keberlakuan sosial atau faktual. Dalam hal ini, kaidah hukum tersebut

dalam kenyataannya diterima dan diberlakukan oleh masyarakat umumnya,

termasuk dengan menerima sanksi jika ada orang yang tidak

menjalankannya.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


23

2. Keberlakuan yuridis. Dalam hal ini, aturan hukum tersebut dibuat melalui

prosedur yang benar dan tidak bertentangan dengan peraturan lainnya,

terutama dengan peraturan yang lebih tinggi.

3. Keberlakuan moral. Dalam hal ini, agar valid, maka kaidah hukum tersebut

tidaklah boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral, misalnya kaidah

hukum tersebut tidak boleh melanggar hak asasi manusia atau bertentangan

dengan kaidah-kaidah hukum alam.29

Bagi Savigny, hukum sejati bukanlah yang dibuat secara artificial oleh

Negara dan ahli hukum. Hukum sejati adalah hukum yang tumbuh dan berkembang

dari rahim kehidupan rakyat. Itulah “hukum kehidupan sejati”. Antara hukum sejati

dan jiwa rakyat terdapat hubungan organik. Hukum sejati itu tidak dibuat, namun

ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap

hukum sejati itu.30

Untuk memastikan aturan hukum benar-benar mencerminkan adanya

kepentingan umum (volunte generale), Rousseau mensyaratkan agar perlu adanya

badan legislasi-yang merupakan representasi rakyat. Tapi badan itu tidak boleh

dibiarkan berjalan sendiri tanpa kontrol karena bagaimanapun akan adanya bahaya

kepentingan golongan tertentu (volunte de corps) dan adanya kepentingan pribadi

orang per orang (volunte particuliere) selalu menghantui setiap kekuasaan. Ada

semacam kredo yang harus dipatuhi oleh badan legislasi, yakni setia pada

kepentingan umum. Ketika suatu rancangan peraturan diajukan, yang menjadi isu

29
Ibid., hlm. 124.
30
Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 4.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


24

utama, bukan badan itu setuju atau tidak setuju, melainkan apakah rancangan itu

selaras dengan kepentingan umum atau tidak. Ini syarat mutlak, karena ia akan

mengikat individu-individu yang punya otonomi dan bebas. Jelaslah, bagi

Rousseau, hukum merupakan suatu “pribadi publik” dan “pribadi moral” yang

keberadaannya berasal dari kontrak sosial untuk membela dan melindungi

kekuasaan bersama, di samping kekuasaan pribadi dan milik pribadi.31

Dworkin menyatakan bahwa setiap produk hukum (legislasi) harus dapat

diinterprrestasikan dan diterapkan dengan pendekatan moral. Hukum positif harus

memiliki integritas moral. Integritas mungkin tidak menjamin pencapaian keadilan,

tetapi integritas tersebut menjamin adanya derajat moralitas tertentu dalam setiap

produk hukum, sehingga terhindar dari legislasi yang sekedar menjadi produk

kekuasaan politik.32

Mengenai berlakunya suatu undang-undang, ada beberapa asas yang

tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif.

Artinya, supaya undang-undang tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif.

Asas-asas tersebut antara lain:33

1. Undang-undang tidak berlaku surut, artinya undang-undang hanya

boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam undang-

undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan

berlaku.

31
Ibid., hal. 87-88.
32
Ibid., hal. 37.
33
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 2019, hlm. 11-13.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


25

2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang

yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama. Artinya, terhadap

peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang

menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut

dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa

yang lebih luas ataupun yang lebih umum, yang juga dapat mencakup

peristiwa khusus tersebut.

4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-

undang yang berlaku terdahulu. Artinya, undang-undang lain yang lebih

dahulu berlaku dimana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku

lagi apabila ada undang-undang baru yang belakangan yang mengatur

pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan

atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut.

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan

spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi, melalui

pelestarian ataupun pembangunan (inovasi).

Supaya pembuat undang-undang tersebut tidak sewenang-wenang atau

supaya undang-undang tersebut tidak menjadi huruf mati, maka perlu dipenuhi

beberapa syarat tertentu, yakni antara lain:34

34
Bernard L. Tanya, dkk, Op.cit, hlm. 13-14.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


26

a. Keterbukaan di dalam proses pembutan undang-undang.

b. Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul-usul

tertentu, melalui cara-cara:

1. Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk

menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan tertentu yang

akan dibuat.

2. Suatu Departemen tertentu, mengundang organisasi-organisasi

tertentu untuk memberikan masukan bagi suatu rancangan undang-

undang yang sedang disusun.

3. Acara dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat.

4. Pembentukan kelompok-kelompok penasihat yang terdiri dari

tokoh-tokoh atau ahli-ahli terkemuka.

Hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia/rakyat

sebagai titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan pada persoalan-

persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia. Salah satu persoalan

krusial dalam hubungan-hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia dalam

struktur-struktur yang menindas, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Dalam konteks keterbelengguan dimaksud, hukum progresif harus tampil sebagai

institusi yang emansipatoris (membebaskan), yang merupakan suatu kewajiaban

untuk menemukan cara-cara yang paling baik bagi memajukan atau mengarahkan

masyarakat.35

35
Ibid., hlm. 215.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


27

2.3 Tinjauan Umum Tentang Reforma Agraria

Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandungdi

dalamnya, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang dia atas bumi danair

yang mengandung: tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untukusaha-

usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air sertakekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yangbersangkutan dengan

itu.

Secara etimologis, Land reform berasal dari kata “land” yang berarti

“tanah” dan “reform” yang berarti “membentuk kembali” sehingga land reform

secara etimologis dimaknai sebagai perombakan struktur kepemilikan/penguasaan

tanah36 Land reform merupakan perubahan secara mendasar mengenai pemilikan

dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan

penguasaan tanah. Program-program land reform meliputi:

a. Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas;

b. Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee,

c. Redistribusi tanah yang selebihnya dari batas maksimum serta tanah-tanah yang

terkena larangan absentee, tanah bekas swapraja, dan tanah negara lainnya,

d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang

digadaikan,

e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan

36
Bernhard Limbong (selanjutnya disebut Bernhard Limbong II), Reforma Agraria, Margaretha
Pustaka, Jakarta, 2012,hlm. 48.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


28

f. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk

melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan

tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.37

Istilah Pembaruan Agraria baru diperkenalkan di Tahun 2001, yakni sejak

lahirnya Tap MPR Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang berarti bahwa istilah Reforma Agraria

(Agrarian Reform) lebih dulu dikenal dalam wacana ilmiah dibandingkan istilah

Pembaruan Agraria.38

Krishna Ghimire memberikan pengertian yang sama antara agrarian reform

dan landreform. Ia mendefinisikan reformasi agraria atau landreform sebagai

perubahan besar dalam struktur agraria yang membawa peningkatan akses petani

miskin pada lahan serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang

menggarap lahan, termasuk juga akses pada input pertanian, pasar, serta jasa-jasa

dan kebutuhan pendampingan lainnya. Reforma agraria merupakan suatu

perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani

miskin akan penguasaan tanah dan untuk meningkatkan kesejahteraannya.39

Ida Nurlinda memaparkan 10 prinsip dasar reforma agrarian yakni:

1. Menjunjung tinggi hakasasi manusia, karena hak atas sumber-sumber agraria

merupakan hak ekonomi setiap orang.

37
Urip Santoso(selanjutnya disebut Urip Santoso I), Hukum Agraria; Kajian Komprehensif,
Kencana Penada Media Group, Jakarta,2012, hlm. 213.
38
Bernhard Limbong, Op.Cit., hlm. 26.
39
http://repository.unair.ac.id/32537/4/4.%20BAB%20I%20PENDAHULUAN.pdf, diakses
pada tanggal 16 Januari 2021 pada pukul 15:30 WIB.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


29

2. Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum

setempat (pluralisme).

3. Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria(keadilan

gender, keadilan dalam suatu generasi dan antar generasi, serta pengakuan

kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria yang menjadi

ruang hidupnya).

4. Fungsi sosial dan ekologi tanah serta sumber-sumber agraria lainnya, bahwa

hak yang dipunyai seseorang menimbulkan kewajiban sosial bagi yang

bersangkutan karena haknya dibatasi oleh hak orang lain danhak masyarakat

yang lebih luas.

5. Penyelesaian konflik pertanahan.

6. Pembagian tanggung jawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan

manajemen sumber-sumber agraria.

7. Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan hak.

8. Landreform/restrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan

sumber-sumber agraria.

9. Usaha-usaha produksi di lapangan agraria.

10. Pembiayaan program-program pembaruan agraria.40

Sedangkan prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam

sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001

40
Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Perspektif Hukum, RajagrafindoPersada,
Jakarta, 2009, hlm. 96.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


30

adalah sebagai berikut: Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam

harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:

a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara KesatuanRepublik

Indonesia;

b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman

dalam unifikasi hukum;

d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya

manusia Indonesia;

e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi danoptimalisasi

partisipasi rakyat;

f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,

pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya

agraria/sumber daya alam;

g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal,baik

untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap

memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;

h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan

kondisi sosial budaya setempat;

i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antar

daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya

alam;

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


31

j. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan

keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber dayaalam;

k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,

daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan

individu;

l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat

nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat.41

Adapun arah dan kebijakan pembaruan agraria berdasarkan Pasal 6 Tap

MPR Nomor IX/MPR/2001 adalah sebagai berikut:

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor

demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada

prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan

kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanianmaupun tanah perkotaan.

c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara

komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber dayaagraria

yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa

41
Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
SumberDayaAlam.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


32

mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan

atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

e. Memperkuat kelembagaandan kewenangannya dalam rangka mengemban

pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang

berkenaan dengan sumber daya agraria yangterjadi.

f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria

dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yangterjadi.42

Reforma agraria tidak semata-mata memberdayakan satu pihak dengan

diredistribusikannya tanah pada mereka namun dapat juga berarti

menidakberdayakan pihak lain sebab diambilnya tanah dari tangan mereka.

Sebagaimana dinyatakan, “kebijakan reforma agraria bukan sekedar

memberdayakan petani miskin, melainkan juga pada pihak lain,

menidakberdayakan para penguasa tanah yang aksesnya dikurangi secara berarti.”

Karenanya suatu program reforma agraria bukan sekedar memerlukan political will

yang diwujudkan oleh badan-badan pemerintah. Agar mampu mencapai tujuannya,

program reforma agraria sangat memerlukan kekuatan pemerintah yang sanggup

memaksa (government compulsion).

Dalam hal ini Reforma Agraria dapat diartikan sebagai suatu upaya

sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu

tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta

menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan

42
Pasal 6 Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
SumberDaya Alam.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


33

berkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan,

dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan

sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani

khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya.

Undang Undang Pokok Agraria memiliki lima misi utama berikut: (1)

Perombakan Hukum Agraria, (2) Pelaksanaan Landreform, (3) Penataan

Penggunaan Tanah, (4) Likuidasi Hak-hak Asing dalam Bidang Agraria, (5)

Penghapusan Sisa-sisa Feudal dalam Bidang Agraria. Akademi Agraria yang

kelahirannya tidak terlepas dari lahirnya Undang Undang Pokok Agraria Tahun

1960, dengan demikian mengemban misi ideal itu.

Peraturan Pemerintah No. 6/1999 tentang Pengusahaan Hutan dan

Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, serta Permeneg Agraria/Kepala

BPN No. 2/1999 tentang Izin Lokasi, ketentuan tentang larangan tanah guntai

(absenteeism) diatur dalam pasal 10, Pasal ini menyatakan: (1) Setiap orang dan

badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya

diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan

mencegah cara-cara pemerasan; (2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1

ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan; (3) Pengecualian

terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.

2.4 Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah

Guna menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah disatu pihak

Undang Undang Pokok Agraria mengharuskan pemerintah untuk mengadakan

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


34

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, dan di lain pihak Undang

Undang Pokok Agraria mengharuskan para pemegang hak yang bersangkutan

untuk mendaftarkan hak-hak atas tanahnya. Boedi Harsono merumusakan

pengertian pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan

secara teratur dan terus menerus untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan, dan

menyajikan data tertentu mengenai bidang-bidang atau tanah-tanah tertentu yang

ada disuatu wilayah tertentu dengan tujuan tertentu.43

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, “Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan

data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya

bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah

susun, serta hak-hak tertentu yang membebaninya.44

Kegiatan pendaftaran tanah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh

pemerintah secara terus menerus dalam rangka menginventarisasikan data-data

berhubungan dengan hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria

dan Peraturan Pemerintah, sedangkan pendaftaran hak atas tanah yang

bersangkutan dan dilaksanakan secara terus menerus setiap ada peralihan hak-hak

atas tanah tersebut menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan

43
Hasan Wargakusumah, et. al., Hukum Agraria I Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prehallindo,
Jakarta, 2001, hlm. 80.
44
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


35

Pemerintah guna mendapatkan sertipikat tanda bukti tanah yang kuat. Dalam

memenuhi kebutuhan ini pemerintah melakukan data penguasaan tanah terutama

yang melibatkan para pemilik tanah.Sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria dalam Pasal

19 menyatakan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin

kepastian hukum, yakni:45

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang

hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak -hak lain yang

terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang

hak yang bersangkutan.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, agar

dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan

perbuatan hukum mengenai bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah

terdaftar.

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Menurut Pasal 3 dan

Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 data yang tersedia di

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya bersifat terbuka bagi umum yang

berkepentingan.

Pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan

kepastian hak atas tanah itu bersifat rechtskdaster dan meliputi kegiatan-kegiatan:

a. pengukuran, perpetaan (lebih tepat pemetaan), dan pembukuan tanah;

b. pendaftaran hak-hak tersebut;

45
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


36

c. pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat.46

Tujuan pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono adalah agar dari kegiatan

pendaftaran itu dapat diciptakan suatu keadaan, dimana:

a. Orang-orang dan badan-badan hukum yang mempunyai tanah dengan mudah

dapat membuktikan, bahwa merekalah yang berhak atas tanah itu, hak apa yang

dipunyai dan tanah yang manakah dihaki. Tujuan ini dicapai dengan

memberikan surat tanda bukti hak kepada pemegang hak yang bersangkutan.

b. Siapapun yang memerlukan dapat dengan mudah memperoleh keterangan yang

dapat dipercaya mengenai tanah-tanah yang bersangkutan (baik ia calon

pembeli atau calon kreditor) yang ingin memperoleh kepastian, apakah

keterangan yang diberikan kepadanya oleh calon penjual atau debitur itu benar.

Tujuan ini dicapai dengan memberikan sifat terbuka bagi umum pada data yang

disimpan.47

2.5 Teori Tentang Hak-Hak Tanah Pertanian

Salah satu langkah yang dilakukan adalah redistribusi tanah kepada para

petani penggarap dan tanah kemudian menjadi hak milik mereka. Dengan

demikian, proses ini menghapuskan suatu bentuk pemusatan pemilikan tanah di

tangan segelintir orang dan meluaskan bentuk pemilikan tanah dengan menjadikan

mayoritas petani di pedesaan sebagai petani penggarap yang merdeka. Sepanjang

46
Hasan Wargakusumah, et. al., Op.cit, hlm. 80.
47
Ibid., hlm. 80-81.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


37

dekade 1960-an dan 1970-an, reforma agraria (landreform) telah menjadi kebijakan

yang popular di beberapa negara Amerika Latin, Afrika, dan Asia sebagai cara

dalam membangun perekonomian nasional mereka.48

Pelaksanaan landreform yang didasarkan pada Undang-undang Pokok

Agraria mengandung ketentuan yang terdiri dari:

(1) Tanah pertanian adalah untuk petani penggarap;

(2) Hak utama atas tanah, misalnya hak milik pribadi adalah khusus untuk warga

negara Indonesia, tetapi warga negara asing dapat memperoleh tambahan untuk

menyewa atau memakai tanah dalam jangka waktu dan luas tertentu yang diatur

oleh Undang-undang;

(3) Pemilikan tanah absentee tidak dibenarkan, kecuali bagi mereka yang bertugas

aktif dalam dinas negara dan hal pengecualian lainnya;

(4) Petani-petani yang ekonominya lemah harus dilindungi terhadap mereka yang

kedudukannya kuat. Selain merupakan suatu praktik pembagian tanah dan

menjadikannya sebagai hak milik petani landreform pada saat itu dijalankan

bersamaan dengan penetapan kembali sistem bagi hasil yang merupakan bentuk

penggarapan yang umum.49

Dalam realitas historisnya, ada banyak istilah untuk bentuk penggarapan ini,

seperti hak ulayat di Minangkabau, tanah perkebunan di Ambon; wewengkon desa

di Jawa dan Bali, dan lainnya. Berdasarkan prinsip ini, maka setiap penduduk yang

menjadi anggota persekutu- an memiliki hak untuk menggarap dan mengambil

48
Andi Achdian, Tanah Bagi Yang Tak Bertanah Landreform Pada Masa Demokrasi
Terpimpin 1960-1965, Kekal Press, Bogor, 2008, hlm. 3.
49
Ibid., hlm. 8-9.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


38

sesuatu manfaat dari tanah yang ada dalam desa, dengan serangkaian kewajiban

yang kemudian harus dipatuhinya. Prinsip ini memberikan jaminan bagi setiap

penduduk desa untuk mendapatkan kehidupan dari sumber daya yang dimiliki oleh

desa tersebut. Hal ini membuktikan bahwa kedaulatan atas tanah tidak ditentukan

secara sepihak oleh para penguasa tradisional.50

50
Ibid., hlm. 14-15.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Ditinjau dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan itulah peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek

mengenai isu hukum yang sedang dicari jawabannya. Pendekatan yang

digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan yuridis empiris.

Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan),

tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam aturan perundangan,

namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem

norma itu bekerja di dalam masyarakat. Penelitian ini juga sering disebut

sebagai penelitian bekerjanya hukum (law in action). 51 Jenis penelitian ini

adalah menggunakan jenis penelitian yuridis empiris, dan mengacu kepada

norma-norma hukum positif yang terdapat di dalam Peraturan Perundang-

Undangan dan bahan hukum lainnnya.Dari pendekatan-pendekatan tersebut,

peneliti menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), dan

pendekatan kasus (case approach) dalam penulisan skripsi ini.

a. Undang-undang (statute approach)

Dalam penelitian hukum normatif tidak dapat melepaskan diri dari

pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai

aspek aturan hukum sebagai fokus tema sentral dalam penelitian.

51
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 47.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


38
39

Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan menggunakan legislasi

dan regulasi. Pendekatan yang digunakan untuk meneliti seluruh undang-

undang dan regulasi yang berkaitan dengan terhadap legalitas Kepemilikan

Tanah Pertanian Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor:

134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas

Nama Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (Studi Kasus

Legalitas Kepemilikan Lahan Warga Pasir Indah dan Muara Dilam).

b. Pendekatan kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus yang digunakan untuk meneliti adalah ratio decidendi,

yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh Pemerintahan Daerah

Kabupaten Rokan Huludalam hal menerbitkan Keputusan Bupati Rokan

Hulu Nomor 76 Tahun 2010 Tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya

(IUP-B) PT. Sumber Alam Makmur Sentosa diatas tanah khusus

pemukiman transmigrasi.

3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis data yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini terbagi pada

dua jenis data antara lain:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber

pertama terkait dengan permasalahan yang akan dibahas. 52 Dalam hal ini

52
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,
hlm. 30.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


40

penelitian ini penulis akan menggunakan data primer dari pengalaman,

pemahaman, persepsi, pendapat, harapan dan lain-lain dari subyek penelitian

yang sekaligus sumber data primer.

1. Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Rokan Hulu.

2. Kepala Dinas Ketransmigrasian Kabupaten Rokan Hulu.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan

keputusan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka

yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian. 53 Bahan hukum

sekunder yaitu data yang diambil dari teori-teori hukum dan pendapat para

ahli hukum dari tulisan-tulisan, buku-buku, dan beberapa literatur serta

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang

dibahas, yang terdiri dari:

Merupakan bahan penelitian yang bersumber dari penelitian

kepustakaan yang diperoleh dari undang-undang antara lain:Undang-

Undang dan Peraturan-Peraturan yang terkait dengan objek penelitian, yang

diantaranya:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok

Agraria

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

53
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Op.cit, hlm. 156.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


41

4. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor: 134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian Hak

Pengelolaan Atas Nama Departemen Transmigrasi dan Pemukiman

Perambah Hutan, Atas Tanah Di Kabupaten Kampar.

3. Data Tersier

Data tersier merupakan data penunjang dari kedua data primer dan

data sekunder. Data ini diperoleh melaluijurnal hukum, jurnal ilmiah, surat

kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek

penelitiandan lain sebagainya yang masih ada keterkaitan dengan masalah

yang diteliti.

3.3 Teknik Memperoleh Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum empiris atau lapangan

terdapat 3 (tiga) teknik yang dapat digunakan, baik digunakan secara sendiri-

sendiri atau terpisah maupun digunakan secara bersama-sama sekaligus.Ketiga

teknik itu adalah wawancara, angket atau kuiesioner dan observasi.Dalam

penelitian empiris atau lapangan proposal ini teknik pengumpulan data

didapatkan dengan melakukan wawancara.54

Wawancara dimaksudkan melakukan Tanya jawab secara langsung

antara peneliti dengan responden atau narasumber atau informan untuk

mendapatkan informasi.Wawancara adlah bagian penting dalam suatu

penelitian hukum terutama penelitian hukum empiris. Karena tanpa

54
Ibid., hlm. 160-161.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


42

wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang hanya diperoleh dengan

jalan bertanya secara langsung kepada responden, narasumber atau

informan. 55 Yaitu pola khusus dalam bentuk interaksi dimana pewawancara

mengajukan pertanyaan seputar masalah penelitian kepada responden atau

melakukan tanya jawab langsung dengan pihak yang bersangkutan.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau

karakteristik yang sama.56 Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek

dengan ciri yang sama.57 Populasi merupakan keseluruhan pihak yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi

populasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Rokan Hulu;

2) Kepala Dinas Ketransmigrasian Kabupaten Rokan Hulu.

3.4.2 Sampel

Penulis dalam melakukan penelitian ini, maka penulis menentukan

sampel, dimana sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi

yang dapat mewakili keseluruhan objek penelitian.58vSedangkan metode yang

penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode sensus dan purposive

55
Ibid.
56
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013,
hlm. 172.
57
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010,
hlm. 118.
58
Ibid., hlm. 119.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


43

sampling. Metode sensus adalah menetapkan sampel berdasarkan jumlah

populasi yang ada sedangkan yang dimaksud dengan metode purposive

sampling yaitu menetapkan sejumlah sampel yang mewakili jumlah populasi

yang ada, yang kategori sampelnya itu telah ditetapkan sendiri oleh penulis.

Untuk lebih jelasnya mengenai populasi dan sampel dapat dilihat pada tabel di

bawah ini:

Lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel populasi dan sampel penelitian

di bawah ini:

Tabel I.2

Populasi dan Sampel

Jumlah Jumlah Presentase


No Jenis Populasi
Populasi Sampel (%)

1. Kepala Badan Pertanahan Nasianal


1 1 100%
Kabupaten Rokan Hulu

2. Kepala Dinas Ketransmigrasian


1 1 100%
Kabupaten Rokan Hulu.

3. Kepala Desa Muara Dilam 1 1 100%

4. Kepala Desa Pasir Indah 1 1 100%

Jumlah 4 4 400%

3.5 Teknik Analisis Data

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


44

Data yang diperoleh baik dari hasil wawancara maupun kajian kepustakaan

akan dianalisis dengan metode kualitatif. Pendekatan atau metode kualitatif adalah

metode yang mengungkap fakta-fakta secara mendalam berdasarkan karakteristik

ilmiah dari individu atau kelompok untuk memahami dan mengungkap sesuatu

dibalik fenomena.59Pendekatan atau metode kualitatif merupakan metode penelitian

yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara

tertulis ataupun lisan dan prilaku nyata. Dari pembahasan tersebut, akan menarik

kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari yang bersifat umum

kepada khusus.

3.6 Definisi Konseptual

Dalam hal memperoleh kesamaan pengertian serta untuk menghindari

kekeliruan dalam beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka

penulis memandang perlu menjelaskan konsep yang digunakan dalam penelitian ini

adalah, sebagai berikut:

1. Hak adalah sama dengan izin. Izin bagi yang bersangkutan untuk berbuat

sesuatu. Tapi izin ini bukan bersumber pada hukum melainkan sejajar/sederajat

dengan hukum. Hak adalah hukum yang berupa izin.60

2. Transmigran adalah adalah Warga Negara Republik Indonesia yang berpindah

secara sukarela ke kawasan transmigrasi.61

59
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 53-54.
60
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 276.
61
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


45

3. Lahan transmigrasi adalah kawasan transmigrasi atau kawasan budidaya yang

memiliki fungsi sebagai permukiman dan tempat usaha masyarakat dalam satu

sistem pengembangan berupa wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi

permukiman transmigrasi.

4. Perlindungan Hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek

hukum, baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat refresif, yang di

kemas atau di deklarasikan dalam bentuk aturan hukum baik secara lisan

ataupun tulisan.

5. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk

meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang

diselenggarakan oleh pemerintah.62

6. Hak Pengelolaan (HPL) adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan

pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain

berupa perencanaan peruntukan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk

keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian dari tanah tersebut kepada

pihak ketiga atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

62
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


46

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Perlindungan hukum terhadap kepemilikan tanah pertanian berdasarkan

Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 134/HPL/BPN/Tahun 1993

Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan

Pemukiman Perambah Hutan (Studi Kasus Legalitas Kepemilikan Lahan

Warga Pasir Indah dan Muara Dilam).

Dengan demikian yang dimaksud dengan Negara Hukum adalah negara

yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.

Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga

negaranya, dan sebagai dasar daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila

kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula

peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu

mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.

Konstitusi Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen kedua Pasal 28 D ayat 1

menegaskan: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3 ayat (2)

menegaskan: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan

perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang

sama di depan hukum.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


46
47

Berpedoman kepada kewenangan negara dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA

diatas, kebijakan untuk membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,

peruntukan dan penggunaan tanah adalah perlu. Tujuannya adalah untuk

memberikan kepastian terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah. Muatan dari

kebijakan tersebut seperti diamanatkan oleh Pasal 14 ayat (1) UUPA yaitu

Pemerintah harus membuat perencanaan umum mengenai persediaan, peruntukan

dan pengunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya untuk keperluan:

a. Negara

b. Peribadatan dan keperluan suci lainnya sesuai dasar Ketuhanan Yang Maha Esa

c. Pusat-pusat kehidupan masyarakat

d. Memperkembangkan produksi petanian, peternakan, perikanan serta sejalan

dengan itu, dan

e. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan

pertambangan.63

Tujuan pokok dari transmigrasi ialah pembukaan kemakmuran di daerah-

daerah yang cukup bahan-bahan dan lapangan usaha kemakmuran diantaranya ialah

tersedianya tanah yang luas tetapi tidak cukup (tidak ada) tenaga yang

mengerjakannya. Bukanlah tujuan transmigrasi hanya sekedar memindahkan

orang-orang, sekedar untuk meratakan saja jumlah penduduk dari daerah ke daerah

lainnya. Kepindahan penduduk dari Jawa dan daerah-daerah lainnya yang sudah

63
Syafrinaldi, dkk, Hukum dan Teori dalam Realita Masyarakat, UIR Press, Pekanbaru, 2015,
hlm. 444-445.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


48

padat penduduknya ke daerah lainnya yang masih jarang menjadi salah satu

jawaban atas masalah kemakmuran di Indonesia.64

Kebijakan pemerintah dalam pengadaan tanah untuk transmigrasi

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial ekonomi dan pertahanan keamanan

serta atas usul Menteri dalam Negeri, maka daerah yang dipandang perlu dan tepat

untuk menempatkan transmigran dapat ditetapkan sebagai Daerah Transmigrasi

berdasarkan Keputusan Presiden.65

Pengertian pertimbangan sosial ekonomi dan pertahanan keamanan

diuraikan sebagai berikut :

a. Daerahnya masih kosong atau jarang penduduknya.

b. Areal tanah yang masih cukup luas bagi kemungkinan usaha-usaha pertanian

dalam arti luas.

c. Memungkinkan untuk memberikan lapangan kerja dan lapangan penghidupan

baru yang lebih baik.

d. Mempunyai arti vital dari segi keamanan bagi negara dan bangsa.

e. Alasan-alasan lain yang dipandang perlu oleh pemerintah.66

Kebijakan pemerintah dalam pengadaan tanah untuk transmigran sangat

menekankan pemilihan calon lokasi atau daerah transmigrasi harus benar-benar

memperhatikan aspek fisik, ekonomi, sosial budaya maupun hubungan-hubungan

64
Mochammad Tauchid, Loc. Cit.
65
Ayu Cakrawati Utami, Penjualan Tanah Subsidi Pemerintah Oleh Transmigran Menurut
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Ketransmigrasian, Jurnal lex Privatum Vol. V/No.
8/Okt/2017, hlm. 118.
66
Ibid.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


49

dengan lingkungan sekitarnya, sehingga daerah tujuan dapat diandalkan sebagai

harapan untuk meningkatkan taraf hidup transmigran beserta keluarganya.67

Krishna Ghimire memberikan pengertian yang sama antara agrarian reform

dan landreform. Ia mendefinisikan reformasi agraria atau landreform sebagai

perubahan besar dalam struktur agraria yang membawa peningkatan aksespetani

miskin pada lahan serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang

menggarap lahan, termasuk juga akses pada input pertanian, pasar, serta jasa-jasa

dan kebutuhan pendampingan lainnya. Reforma agraria merupakan suatu

perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani

miskin akan penguasaan tanah dan untuk meningkatkan kesejahteraannya.68

Landasan konstitusional dan politik pertanahan di Indonesia didasarkan

pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 yang menagatakan: “bumi dan air, ruang angkasa, serta kekayaan yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.”69

Kalau disimak, bunyi ketentuan-ketentuan tersebut di atas menunjukkan:

1. Pengaturan tanah secara nasional, menjadi perekat dalam negara menjadi

integrasi dalam mencapai tujuan untuk menciptakan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat;

67
Ibid., hlm. 118-119.
68
http://repository.unair.ac.id/32537/4/4.%20BAB%20I%20PENDAHULUAN.pdf, diakses
pada tanggal 16 Januari 2021 pada pukul 15:30 WIB.
69
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum
di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hlm. 220.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


50

2. Dalam pengaturan pelaksanaan perundang-undangan yang mengatur apapun

dalam rangka menciptakan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat, tidak

boleh terlepas dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).70

Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Ketransmigrasian, transmigrasn

pada transmigrasi umum berhak untuk memperoleh bantuan dan pemerintah berupa

antara lain, lahan usaha dan lahan tempat tinggal beserta rumah dengan status hak

milik. Dalam pelaksanaan Undang-Undang Ketransmigrasian tersebut ditegaskan

pemberian sekurang-kurangnya 2 (dua) hektar ini sesuai dengan UUPA yaitu

mengenai batas minimum tanah yang dapat dimiliki oleh perseorangan dengan

pengertian bahwa dapat diberikan pembagian lebih dari 2 (dua) hektar disesuaikan

dengan kondisi tanah setempat, jenis atau macam produksi pertaniannya misalnya

untuk menanam tanaman komoditi ekspor serta kemampuan mengolah tanah.

Pada Undang-Undang Ketransmigrasian, tidak diatur tentang luasan tanah

yang akan diberikan pada masing-masing Kepala Keluarga transmigran, baik tanah

untuk lahan maupun tanah untuk permukiman.Pada Pasal 13 ayat (1) huruf c,

berbunyi:

“Transmigran pada Transmigrasi Umum berhak untuk memperoleh bantuan


dari pemerintah berupa lahan usaha dan lahan tempat tinggal beserta rumah dengan
status hak milik.”

Pasal 14 ayat (1) huruf d, berbunyi:

“Transmigran pada Transmigrasi Swakarsa Berbantuan memperoleh


bantuan dari pemerintah berupa: lahan usaha dan/atau sarana usaha dan lahan
tempat tinggal beserta rumah dengan status hak milik.”

Pasal 15 ayat (1) huruf d, yang menentukan:

70
Ibid., hlm. 221.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


51

”Pemberian lahan tempat tinggal dan lahan usaha bagi transmigran


Swakarsa Mandiri dengan status hak milik, serta ramuan rumah.”
Dari ketiga Pasal di atas, tidak ada satu pasal-pun yang menyebutkan ukuran

luas lahan bagi transmigran. Peraturan Pelaksanaan tentang Penyelenggaraan

Transmigrasi, Pasal 32 menentukan sebagai berikut :

(2) Hak Milik atas tanah bagi transmigran pada prinsipnya tidak dapat

dipindahtangankan, kecuali:

a. Transmigran meninggal dunia.

b. Setelah memiliki hak sekurang-kurangnya selama 20 (dua puluh) tahun.

c. Transmigran Pegawai Negeri yang dialih tugaskan.

(2) Pemindahtanganan diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak

milik menjadi hapus dan tanahnya kembali kepada pemegang Hak Pengelolaan.

(3) Tanah yang kembali kepada pemegang Hak Pengelolaan sebagaimana pada ayat

(2) diberikan pada transmigrasi pengganti.

Sesuai dengan yang diatur dalam Pasal19 UUPA, yakni:

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah

di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2)Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.

b. Pendaftaran hak atas tanahdan peralihan hak-hak tersebut.

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


52

(3)Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan

masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomis serta kemungkinan

penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

(4) Dalam Peraturan Pemerintah diaturbiaya-biaya yang bersangkutan dengan

pendaftaran termaksud dalam ayat 1 di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat

yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Peraturan perundangan tentang Transmigrasi di Indonesia pada awalnya

dibuat pada era pemerintahan Orde Baru yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1972 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi. Menurut Undang-Undang

tersebut tanah yang diberikan pada para transmigran berdasarkan hak pakai dan

setelah dimanfaatkan dengan baik dalam rentang waktu minimal 5tahun, maka hak

tersebut dapat ditingkatkan menjadi hak milik. Hal ini sesuai dengan bunyi dari

penjelasan Pasal 7 alinea 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun1972, bunyinya

sebagai berikut : Pemberian hak-hak atas tanah kepada para transmigran dilakukan

secara bertahap dan bertingkat berdasarkan atas ketentuan-ketentuan prosedur

Agraria khusus di Daerah Transmigrasi.

Adapun pemberian hak milik bagi transmigran adalah sebagai beriku:

a. Ada usulan dan penyerahan lahan oleh warga masyarkat yang

disertai/dibuktikan dengan berita acara penyerahan;

b. Lahan tersebut merupakan areal penggunaan lain/APL;

c. Adanya SK Bupati tentang pencadangan lokasi;

d. Adanya Hak Pegelolaan Lahan (HPL) yang diterbitkan oleh

badan/kantor pertanahan nasional;

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


53

e. Dinas Transmigrasi dan Sosial (Diskertransos) kabupaten mengajukan

permohonan sertipikat Unit Pemukiman Tarnsmigrasi (UPT) kepada

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Dinas

Transmigrasi dan Sosial Propinsi dengan melampirkan keputusan

Bupati tentang daftar penetapan calon transmigrasi dan peta daftar

pembagian lahan/persil. Selanjutnya Kementerian Tenaga Kerja dan

Transmigrasi megalokasikan dana sesuai dengan jumlah persil yang

diusulkan pada daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA)

Disnakertransos propinsi, selanjutnya Disnakertransos propinsi

berkoordinasi dengan badan/kantor pertanahan nasiona propinsi untuk

pembuatan dan penerbitan sertipikat, badan/kantor pertanahan nasional

propinsi memerintahkan/menyerahkan pembuatan dan penerbitan

sertipikat tersebut kepada badan/kantor pertanahan nasional kabupaten;

f. Ada SK Bupati bahwa yang bersangkutan terdaftar sebagai warga

transmigrasi di lokasi tersebut;

g. Transmigran tidak meninggalkan lokasi transmigrasi selama 3 bulan

berturut-turut selama masa pembinaan oleh Kementerian tenaga kerja

dan transmigrasi RI selama lima (5) tahun;

h. Transmigran bersedia menetap di lokasi dan mengelola lahan yang

disediakan/berikan;

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


54

i. Bidang tanah yang diberikan kepada transmigran terdiri dari lahan

pekarangan, lahan usaha 1dan lahan usaha 2;71

Berdasarkan pernyataan dari Dinas Koperasi UKM, Transmigrasi dan

Tenaga Kerja Rokan Hulu, menyatakan bahwa sebanyak dan seluas 600 ha (enam

ratus hektar lahan tanah untuk transmigrasi tersebut bertambah luas dengan adanya

pecahan KK (kartu keluarga) dan transmigrasi swakarsa mandiri menjadi seluas

815 ha (delapan ratus lima belas hektar) di wilayah Desa Pasir Indah pada tahun

2012.72

Hal di atas, memberikan dasar-dasar edukatif kepada warga transmigran

untuk secara aktif mengerjakan tanahnya dan apabila benar tanah pertanian tersebut

dikerjakan secara produktif, maka haknya dapat ditingkatkan dari hak atas tanah

yang lebih rendah pada hak-hak atas tanah yang lebih tinggi, yakni dari hak pakai

menjadi hak milik.

Pelaksanaan pengadaan tanah untuk transmigrasi tidak bisa terlepas dari

peraturan tentang pengadaan tanah, yang mengacu pada tujuan hukum agraria

nasional dengan prinsip keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan

umum. Proses utama yang menimbulkan hubungan hukum antara transmigran

dengan tanah yang diperolehnya, didasarkan pada kebijakan penyediaan tanah di

daerah tujuan transmigrasi.

71
http://e-journal.uajy.ac.id/5894/4/HK309949.pdf, diakses pada tanggal 3 Juli 2021, pada
pukul 11:51 WIB.
72
Wawancara dengan Ibu Desmawati, SST. ,MM, Kasubbag Umum Perlengkapan dan
Keuangan, Hari Kamis,Tanggal 11 Februari 2021, bertempat di Dinas Koperasi UKM, Transmigrasi
dan Tenaga Kerja Rokan Hulu.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


55

Untuk menjamin dapat dilaksanakannya pembangunan permukiman

transmigrasi serta lahan garapannya, diperlukan adanya kepastian hak atas tanah

yang dicadangkan untuk pembangunan transmigrasi. Pengadaan tanah untuk

transmigrasi sesuai dengan penjelasan Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 1997

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian

(Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009) dalam penjelasannya bahwa : Penyediaan

tanah bagi penyelenggaraan transmigrasi dapat berasal dari tanah negara dan/tanah

hak. Apabila berasal dari tanah hak, tanah dimaksud harus terlebih dahulu

dibebaskan dari segala hak atas tanah dan segala sesuatu yang berada di atasnya,

dan selanjutnya diproses hak pengelolaannya sesuai dengan peraturan perundangan

yang berlaku.

Penguasaan dan pemilikan tanah secara individual diperoleh dengan cara

membuka tanah. Van Setten Van Der Meer mengatakan bahwa: hak untuk

menguasai tanah berawal dan bersumber dari kerja seseorang membuka tanah yang

sebelumnya tak tergarap.Tanah yang baru dibuka dikenal sebagai bakalan. Hak

pemilikan individual diberlakukan terhadap seorang petani perintis apabila ia sudah

membuka tanah baru, ia diberi waktu tiga tahun untuk membangun dan mencetak

sawah sebelum dianggap pantas untuk dikenakan pajak.

Konsep pemberian tanah garapan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional

bagi para transmigran dengan hak Pengelolaan yang kemudian berdasarkan

ketentuan perundang-undangan Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian yang dapat

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


56

dialihkan dan/atau ditingkatkan menjadi hak milik. Dengan keluarnya Keputusan

Bupati Rokan Hulu Nomor 76 Tahun 2010 Tentang Izin Usaha Perkebunan

Budidaya (IUP-B) PT. Sumber Alam Makmur Sentosa yang lokasi perusahaan

dan/atau kebun tersebut terletak di Desa Muara Dilam Kecamatan Kunto

Darussalam Kabupaten Rokan Hulu yang diperuntukkan bagi pendirian perusahaan

dibidang perkebunan sawit di wilayah transmigrasi tersebut, hal ini bertentangan

dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor: 134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas

Nama Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Atas Tanah Di

Kabupaten Kampar (sekarang Kabupaten Rokan Hulu) yang memutusakan dan

menetapkan pertama bahwa memberikan kepada Departemen Transmigrasi dan

Pemukiman Perambah Hutan Hak Pengelolaan atas tanah seuas 1.240 Ha (seribu

dua ratus empat puluh hektar) yang terletak di Desa Muara Dilam, Kecamatan

Kunto Darussalam, Kabupaten Kampar (sekarang Kabupaten Rokan Hulu) yang

dipergunakan untuk lokasi pemukiman transmigrasi. Fakta inilahyang

menimbulkan sengketa tanah transmigrasi dan perkebunan yang dimaksudkan

untuk menunjukkansiapa yang paling berhak atas tanah tersebut.

Agenda Reforma Agraria dengan mengundangkan Peraturan Presiden

Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres Reforma Agraria).

Perpres tersebut merupakan komitmen pemerintah untuk melakukan penataan aset

dan akses agraria yang telah diamanatkan dalam TAP MPR NO. IX/MPR/2001 dan

Undang-Undang Pokok Agraria. Melalui analisis terhadap urgensi dan pengaturan

Reforma Agraria dalam Reforma Agraria dapat disimpulkan bahwa Reforma

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


57

Agraria dibutuhkan untuk menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah, serta penanganan sengketa dan konflik agraria sebagai

instrumen untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Namun, substansi

Perpres Reforma Agraria lebih menekankan pada aspek penataan aset dan akses

pertanahan dengan melakukan reditribusi tanah, legalisasi tanah, dan

pemberdayaan masyarakat dibandingkan aspek penanganan sengketa dan konflik

agraria sebagai sumber ketimpangan kepemilikan tanah.73

4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum terhadap

berlakunya penguasaan tanah tanah pertanian berdasarkan Keputusan

Menteri Negara Agraria Nomor 134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang

Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan Pemukiman

Perambah Hutan (Studi Kasus Legalitas Kepemilikan Lahan Warga Pasir

Indah dan Muara Dilam).

Sengketa dan konflik kepemilikan dan penguasaan tanah ini terasa semakin

marak pula, ketika tanah tanah dan sumber daya alam itu selalu menjadi “ajang

perebutan” dan “ajang penyerobotan” untuk berbagai kepentingan. Akibatnya

terjadi pula permasalahan dalam kepemilikan dan penguasaan tanah. Oleh karena

itu benarlah pandangan Bernard Limbong bahwa tidak ada persoalan yang paling

kompleks di Indonesia, kecuali masalah pertanahan (agraria), termasuk juga

Provinsi Riau.74

73
Wawancara dengan BapakAri Maskuri, Koordinator Kelompok Substansi Penataan Hak tanah
dan Ruang, Hari Senin,Tanggal 24Mei 2021, bertempat di Badan Pertanahan Nasional Rokan Hulu.
74
Syafrinaldi, dkk, Op.Cit., hlm. 439.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


58

Menurut Bernard Limbong pada hakikatnya sengketa dan konflik

kepemilikan dan penguasaan tanah ini disebabkan oleh kurang tertibnya

administrasi pertanahan masa lalu, ketimpangan struktur kepemilikan dan

penguasaan tanah, sistem publikasi pendaftaran tanah yang negatif, meningkatnya

kebutuhan tanah, sehingga harga tanah tidak dapat dikendalikan karena ulah mafia

tanah, peraturan perundangan saling tumpang tindih, baik secara horizontal maupun

vertikal, demikian juga substansi yang diatur, masih banyaknya terdapat tanah

terlantar, kurang cermatnya notaris dan PPAT dalam menjalankan tugasnya, belum

terdapat persamaan persepsi atau interprestasi para penegak hukum, khususnya

hakim terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.75

Berpijak pada akar sengketa dan konflik pertanahan yang begitu

kompleksnya seperti digambarkan di atas, akan mendatangkan kekacauan dalam

masyarakat dan memberi dampak terhadap kepastian hukum dalam kepemilikan

dan penguasaan tanah. Oleh karena itu sangatlah besar manfaatnya kegiatan Rapat

Pengkajian Sengketa Tumpang Tindih Kepemilikan dan Penguasaan Tanah yang

ditaja oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Riau untuk

mencari solusi yang tepat menurut Hukum Agraria sehingga semua bentuk sengketa

dan konflik kepemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia dan khususnya di

Provinsi Riau dapat berakhir.76

Soal tanah sangat sulit dilepaskan kaitannya dengan kepentingan

dankekuasaan. Artinya, dalam setiap sengketa tanah yang muncul, pertama-tama

75
Ibid., hlm. 439-440.
76
Ibid., hlm. 441.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


59

akanmenyentuh sisi politik. Jadi meskipun secara hukum kaum petani pada posisi

yang kuat,karena kurangnya daya tawar yang memadai pada sisi politiknya, maka

kekalahan selalumenjadi hal yang diterima kaum petani.Disinilah nampaknya titik

pangkal dari semua soal sengketa tanah termasuk tanah transmigrasi maupun

perkebunan yang selama ini berlangsung.

Secara makro, kajian dan temuan di beberapa wilayah seperti Sumatera

Selatan, Jambi, Sumatera Barat, dan Riau menunjukkan bahwa problem tanah

transmigrasi relatif rumit karena masih banyak sisa-sisa persoalan masa lalu yang

belum diselesaikan. Sedikitnya ada sebelas persoalan yang berhasil penulis

identifikasi dan croscheck di lapangan: Pertama, masih terdapat lahan-lahan

transmigrasi yang statusnya belum dikeluarkan dari kawasan hutan; kedua, terdapat

tanah transmigrasi dengan status HPL milik pemda yang memiliki tanah sisa

(restan) dan dimanfaatkan masyarakat; ketiga, masih terdapat lahan transmigrasi

yang belum diterbitkan HPL-nya, keempat, terdapat HPL yang terbit berbeda

dengan tanah yang digunakan oleh masyarakat; kelima, terdapat objek yang

dikuasai masyarakat tidak sesuai dengan peta yang dikeluarkan atau

ketidaksesuaian antara objek dan subjek; keenam, terdapat perbedaan subjek yang

diusulkan oleh Dinas Transmigrasi (daerah) dengan yang menguasai tanah (sudah

terjadi peralihan); ketujuh, pemahaman pemerintah setempat yang berbeda-beda

terhadap regulasi terkait tanah transmigrasi, misalnya untuk menerbitkan sertipikat

harus ada rekomendasi dari bupati atau pemda setempat padahal tidakada bukti

pelimpahan/penunjukan kewenangan; kedelapan, status tanah berkonflik yang

tipologi konfliknya berbedabeda, kesembilan, Departemen Transmigrasi (pusat dan

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


60

daerah) tidak memiliki dokumen pendukung yang memadai (peta dan daftar

peserta), kesepuluh, makelar, masyarakat, dan para pemain tanah ikut terlibat dalam

lahan-lahan transmigrasi dengan memanfaatkan koperasi sebagai dalih

tindakannya, dan kesebelas, persoalan transaksi antara warga setempat dengan

pembeli di bawah tangan yang tanpa bukti apapun. Banyaknya problem itu menjadi

salah satu kendala lambannya capaian peyelesaian hak tanah pada lahan

transmigrasi.77

Munculnya sengketa sebenarnya tidak terlepas dari pemahaman masyarakat

tentang kepemilikan hak atas tanah yang dipersepsikan berbeda dengan

kepemilikan hak atas tanah oleh hukum secara formal. Sejarah panjang kepemilikan

tanah di Indonesia mengalami pasang surut. Diawali dengan zaman kerajaan,

kemudian masuk zaman penjajahan Belanda, Jepang dan kemudian masa

kemerdekaan hingga masa Reformasi bergulir. Dari masa kemasa tersebut

masyarakat juga mengalami perubahan dalam prilakudan pola berpikir, termasuk

dalam kaitannya dengan masalahkepemilikan, baik secara faktual maupun secara

formal. Peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) hal,antara

lain adalah: Pertama, masalah penggarapan rakyat atasareal tanah kehutanan,

perkebunan, proyek perumahan yangditerlantarkan dan lain-lain. Kedua.Masalah

yang berkenaan denganpelanggaran ketentuan tentang land reform. Ketiga, ekses-

ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan. Keempat, sengketa

77
M. Nazir Salim, Transformasi Kebijakan Agraria dan Transmigrasi di Indonesia, CV.
Pustaka Ilmu Group, Yogyakarta, hlm. 93-94.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


61

perdata berkenaan dengan tanah. Kelima, masalah yang berkenaan dengan hak

ulayat masyarakat hukum adat.78

Masyarakat memandang bahwa fakta penguasaan dan kepemilikan hak atas

tanah didasarkan pada sejarah turun temurun penguasaan tanah dan kepemilikan

tanah. Jadi siapapun yang secara turun temurun memiliki hak atas tanah dan

menguasai tanah maka merekalah sebetulnya pemilik sah hak atas tanah hal yang

demikian sering dikatakan sebagai ipso facto. Berbeda dengan pandangan

masyarakat tersebut pandangan hukum secara formal, yakni pandangan hukum

terhadap kepemilikan hak atas tanah didasarkan pada akte kepemilikan dan

penguasaan terhadap akte tanah tersebut, sehingga siapapun yang memiliki akte

kepemilikan tanah (sertifikat tanah) atas nama pemilik tanah tersebut maka dia

adalah pemilik sah hak atas tanah secara hukum. Hal yang demikian sering disebut

sebagai pemahaman tentang kepemilikan tanah secara hukum (yuridis) ipso jure.

Dua pemahaman yang berbeda ini, kemudian memicu adanya sengketa kepemilikan

hak atas tanah perkebunan, sehingga perebutan kepemilikan hak atas tanah

perkebunan bagi masyarakat setempat berdasarkan pada fakta-fakta kepemilikan

yang secara turun temurun, sementara pandangan hukum formal berpedoman pada

kepemilikan tanah dengan dasar kepemilikan formal sertifikat Hak Guna Usaha

yang diperoleh secara sah oleh pihak perkebunan.79

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Desa Pasir Indah,

mengenai ada atau terdapat sertifikasi lahan untuk desa Muara Dilam pada tahun

78
Sholih Mu’adi, “Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan Melalui Cara Non
Litigasi (Suatu Studi Litigasi Dalam Situasi Transisional)”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum
PascaSarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hlm. 54.
79
Ibid., hlm. 55.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


62

2020 sampai 2021. Sedangkan untuk konflik pertanahan dan/atau lahan antara

masyarkat dengan PT. Sumber Alam Makmur Sentosa belum menemukan titik

terang dan solusi atas permasalahn tersebut, meskipun sudah diadakan musyawarah

antara masyarakat pemilik lahan dengan para Pihak yang hadir sebagai perwakilan

dari PT. Sumber Alam Makmur Sentosa tersebut.80

Berdasarkan pernyataan dari Sekretari Desa Pasir Indah, yang menyatakan

bahwa faktor-faktor ataupun penyebab yang mempengaruhi efektifitas hukum

terhadap berlakunya penguasaan tanah tanah pertanian berdasarkan Keputusan

Menteri Negara Agraria Nomor 134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian

Hak Pengelolaan Atas Nama Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (Studi

Kasus Legalitas Kepemilikan Lahan Warga Pasir Indah dan Muara Dilam) adalah

sebagai berikut:81

1. Kurang tertibnya administrasi pertanahan masa lalu.

Dalam tataran empiris kelemahan sistem administrasi tanah yang lemah

itu merupakan akibat simultan dari sejumlah faktor berikut: (a)

Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya legalitas formal

kepemilikan lahan masih rendah, (b) Biaya administrasi tanah mahal,

(c) Lembaga yang berwenang menangani sistem administrasi tanah

kurang pro-aktif, dan (d) Kesulitan dalam memberantas berkembangnya

80
Wawancara dengan Bapak Kepala Desa Muara Dilam Zulfikar, SHi pada hari Senin, tanggal 2
Agustus 2021 di Kantor Desa Muara Dilam.
81
Wawancara dengan Bapak Kasanah, Sekretaris Desa Pasir Indah, Hari Kamis, Tanggal 25
Februari 2021, bertempat di kediaman Sekretaris Desa Pasir Indah.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


63

rent seeking activity dalam transaksi tanah dengan memanfaatkan

kelemahan sistem administrasi tanah itu sendiri.82

2. Sumber Daya Manusia yang minim pengetahuan hukum.

Sumber daya Manusia pada masyarakat yang kurang pengetahuan

hukum dan teknologi sehingga berdampak pada masih rendahnya

tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya legalitas formal

kepemilikan lahan sebagai bukti kepemilikan yang sah atas suatu

penguasaan lahan dan/atau tanah.

3. Penguasaan tanah yang transmigrasi yang tidak maksimal.

Berdasarkan fakta yang ada di desa Pasir Indah bahwa tanah

transmigrasi dikelola dan digarap oleh orang lain, sehingga peruntukan

dan/ataupun penguasaan tanah bagi transmigran yang tidak maksimal.

Dengan demikian, bukti-bukti yang dimiliki masyarakat tentang hak atas

tanah didasarkan pada bukti-bukti empirik (di lapangan) dan secara historis turun

temurun, sedangkan kepemilikan pihak perkebunan akan hak atas tanah di dasarkan

pada buktiformal berupa sertifikat Hak Guna Usaha yang dikeluarkan pihak agraria,

sehingga pertentangan muncul sebagai perbedaan pemahaman dan perbedaan

persepsi atas kepemilikan hak atas tanah yang didasarkan pada konsep tradisional

kepemilikan turun temurun dengan kepemilikan dengan dasar hukum yang rasional

modern yang mendasarkan pada aspek formalitas.83

82
Sumaryanto, Syahyuti, Saptana dan Bambang Irawan, “Masalah Pertanahan Di Indonesia
Dan Implikasinya Terhadap Tindak Lanjut Pembaruan Agraria”, Jurnal, FAE. Volume 20 No. 2,
Desember 2002, hlm. 7.
83
Ibid.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


64

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Pemerintah Pusat harus mengambil

kebijakan mengutamakan kepentingan masyarakat diwilayah transmigrasi berdasarkan

kepentingan umum tentang pemanfaatan sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Penyabab-penyebab utama pada konflik tersebut dilatarbelakangi oleh

masalah perencanaan pengadaan tanah bagi transmigran yang akan segera

dilakukan percepatan pendaftaran tanah demi menjamin kepastian hukum atas

kepemilikan aset berupa tanah oleh transmigran yang secara sah dan diakui

olehegara. Dimana lahan tersebut akan membuat nasib para transmigran berubah

menjadi lebih baik. Sebagaimana tujuan dari program transmigran dilakukan yaitu

transmigrasi akan mengentaskan kemiskinan dengan memberikan lahan dan

kesempatan baru bagi para pendatang yang miskin.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

1. Kebijakan pemerintah dalam pengadaan tanah untuk transmigrasi didasarkan

pada konsep pemberian tanah garapan oleh Kepala Badan Pertanahan

Nasional bagi para transmigran dengan hak Pengelolaan yang kemudian

berdasarkan ketentuan perundang-undangan Nomor 29 Tahun 2009

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 Tentang

Ketransmigrasian yang dapat dialihkan dan/atau ditingkatkan menjadi hak

milik. Namun peruntukannya tanah tersebut beralih fungsi dengan

keluarnya Keputusan Bupati Rokan Hulu Nomor 76 Tahun 2010 Tentang

Izin Usha Perkebunan Budidaya (IUP-B) PT. Sumber Alam Makmur

Sentosa yang lokasi perusahaan dan/atau kebun tersebut terletak di Desa

Muara Dilam Kecamatan Kunto Darussalam Kabupaten Rokan Hulu yang

diperuntukkan bagi pendirian perusahaan dibidang perkebunan sawit di

wilayah transmigrasi tersebut, hal ini bertentangan dengan Keputusan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor:

134/HPL/BPN/Tahun 1993 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas

Nama Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Atas

Tanah Di Kabupaten Kampar (sekarang Kabupaten Rokan Hulu).

2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang

Ketransmigrasian, para transmigran dapat meningkatkan kepemilikannya

terhadap tanah garapan yang diberikan oleh pemerintah dengan bukti-bukti

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


65
66

yang dimiliki masyarakat tentang hak atas tanah didasarkan pada bukti-

bukti empirik (di lapangan) dan secara historis turun temurun, sedangkan

kepemilikan pihak perkebunan akan hak atas tanah di dasarkan pada bukti

formal berupa sertifikat Hak Guna Usaha yang dikeluarkan pihak agraria,

sehingga pertentangan muncul sebagai perbedaan pemahaman dan

perbedaan persepsi atas kepemilikan hak atas tanah yang didasarkan pada

konsep tradisional kepemilikan turun temurun dengan kepemilikan dengan

dasar hukum yang rasional modern yang mendasarkan pada aspek

formalitas.

5.2 Saran

1. Kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kabupaten

Rokan Hulu agar aktif berkoordinasi dengan Dinas Perkebunan dan

Kehutanan Kabupaten Rokan Hulu untuk memperjuangkan pembebasan

lahan pada unit pemukiman transmigrasi (UPT) desa Pasir Indahkecamatan

Kunto Darussalam dari hutan kawasan menjadi area penggunaan lain (APL)

sehingga sertifikat hak pengelolaan (HPL) segera dapat diproses sebagai

syarat bagi penerbitan sertifikat tanah warga transmigrasi di UPT tersebut.

2. Kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kabupaten

Rokan Hulu agar aktif berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan Kabupaten

Rokan Hulu dan Notaris PPAT di Kabupaten Rokan Hulu agar tidak terjadi

peralihan hak milik atas tanah transmigrasi oleh warga transmigran sebelum

dua puluh tahun sejak sertifikat hak milik atas tanah tersebut diperoleh.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


67

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Achdian, Andi, 2008, Tanah Bagi Yang Tak Bertanah Landreform Pada Masa
Demokrasi Terpimpin 1960-1965, Kekal Press, Bogor.

Amiruddin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996, Tanah Sebagai Komoditas Kajian
Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta.

Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum,


Kencana, Jakarta.

Hasni, 2008, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.

Limbong, Bernhard (selanjutnya disebut Bernhard Limbong II), 2012,


Reforma Agraria, Margaretha Pustaka, Jakarta.

Muchsin, dkk, 2014, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, PT.
Refika Aditama, Bandung.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum


Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Nurlinda, Ida, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Perspektif Hukum,


Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta,


2003.

Salim, M. Nazir, Transformasi Kebijakan Agraria dan Transmigrasi di


Indonesia, CV. Pustaka Ilmu Group, Yogyakarta.

Samosir, Djamanat, 2013,Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika


Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung.

Santoso, Urip (selanjutnya disebut Urip Santoso I), 2012, Hukum Agraria;
Kajian Komprehensif, Kencana Penada Media Group, Jakarta.
Sinamo, Nomensen, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia, Permata Aksara,
Jakarta.

Soerjono, Soekanto, 2013, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2019,Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Syafrinaldi, dkk, 2015, Hukum dan Teori dalam Realita Masyarakat, UIR
Press, Pekanbaru.

Tanya, Bernard L., dkk, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.

Tauchid, Mochammad, 2009, Masalah Agraria Sebagai Masalah


Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, STPN Press,
Yogyakarta.

Wargakusumah, Hasan, et. al., 2001, Hukum Agraria I Buku Panduan


Mahasiswa, PT. Prehallindo, Jakarta.

B. Jurnal/Tesis/Disertasi

Ayu Cakrawati Utami, Penjualan Tanah Subsidi Pemerintah Oleh Transmigran


Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang
Ketransmigrasian, Jurnal lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017.

Edwin, “Eigendom sebagai Alat Bukti yang Kuat Dalam Pembuktian


Kepemilikan Tanah Pada Hukum Tanah Indonesia Analisis Terhadap
Putusan Mahkamah Agung No. 588 PK/PDT/2002”, Tesis, Program
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2012.

Ilyas Ismail, “Kajian Terhadap Hak Milik Atas Tanah Yang Terjadi
Berdasarkan Hukum Adat”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 56. Th.
XIV April 2012.

Sasmita Nurhadi, 2019, “Menjadi Kota Definitif: Jember abad 19-20”, Jurnal
HUMANIORA, Vol 1, No. 2 Januari.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


Sholih Mu’adi, 2008, “Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan
Melalui Cara Non Litigasi (Suatu Studi Litigasi Dalam Situasi
Transisional)”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum PascaSarjana
Universitas Diponegoro, Semarang.

Sumaryanto, Syahyuti, Saptana dan Bambang Irawan, “Masalah Pertanahan Di


Indonesia Dan Implikasinya Terhadap Tindak Lanjut Pembaruan
Agraria”, Jurnal, FAE. Volume 20 No. 2, Desember 2002.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok -


Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.

D. Wawancara

Wawancara dengan Ibu Desmwati, SST. ,MM, Kasubbag Umum Perlengkapan


dan Keuangan, Hari Kamis,Tanggal 11Februari 2021, bertempat di Dinas
Koperasi UKM, Transmigrasi dan Tenaga Kerja Rokan Hulu.

Wawancara dengan Bapak Kasanah, Sekretaris Desa Pasir Indah, Hari Kamis,
Tanggal 25 Februari 2021, bertempat di kediaman Sekretaris Desa Pasir Indah.

Wawancara dengan Bapak Kepala Desa Muara Dilam Zulfikar, SHi pada hari
Senin, tanggal 2 Agustus 2021 di Kantor Desa Muara Dilam.

Wawancara dengan Bapak Ari Maskuri, Koordinator Kelompok Substansi


Penataan Hak tanah dan Ruang,Hari Senin,Tanggal 24 Mei 2021, bertempat di
Badan Pertanahan Nasional Rokan Hulu.

E. Website:

http://repository.unair.ac.id/32537/4/4.%20BAB%20I%20PENDAHULUAN.
pdf

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6986/makna-asas-
legalitas-dalam-hukum-administrasi-negara/

http://e-journal.uajy.ac.id/5894/4/HK309949.pdf

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


FOTO WAWANCARA

Wawancara dengan bapak Kasanah, Sekretaris Desa Pasir Indah, Kec. Kunto
Darussalam Kab. Rokan Hulu.

Wawancara dengan bapak Ari Maskuri, Koordinator Kelompok Substansi


Penataan Hak tanah dan Ruang, di Badan Pertanahan Nasional Rokan Hulu.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


Wawancara dengan ibu Desmwati, SST. ,MM, Kasubbag Umum Perlengkapan
dan Keuangan, di Dinas Koperasi UKM, Transmigrasi dan Tenaga Kerja
Rokan Hulu.

Wawancara dengan bapak Kepala Desa Muara Dilam Zulfikar, SHi di Kantor
Desa Muara Dilam, Kec. Kunto Darussalam Kab. Rokan Hulu.

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Diri
Nama : Thomas Febrian
Tempat/Tanggal Lahir : Pekan Tebih, 30 Agustus 1999
Status : Menikah
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Email : febrianthomas001@gmail.com
Nama Ayah : Zulkifli
Nama Ibu : Dahlina
Alamat : Desa Kepenuhan Hulu Kec. Kepenuhan Hulu,
Kabupaten Rokan Hulu.
II. Pendidikan Formal
1. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 001 Kepenuhan Hulu.
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP) 001 Kepenuhan Hulu.
3. Sekolah Menengah Atas Negeri (SMA) 001 Kepenuhan Hulu.
4. Universitas Pasir Pengaraian.

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya,

Pasir Pengaraian, 09 Agustus 2021

Thomas Febrian

Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian


Fakultas Hukum Universitas Pasir Pengaraian

Anda mungkin juga menyukai