Anda di halaman 1dari 20

TUGAS PSIKOLOGI PERSALINA , KEHAMILAN DALAM PRAKTEK KEBIDANAN

NAMA :EZI OLIVIA

NIM : 191012115201001

PRODI :S1 KEBIDANAN

KELOMPOK 1

KELAINAN - KELAINAN PSIKOLOGI YANG TERDAPAT DALAM MASA KEHAMILAN DAN


PERSALINAN

DEPRESI
DEPRESI
Merupakan gangguan mood yang muncul pada 1 – 4 wanita hamil. Selama
hamil perubahan hormone bisa mempengaruhi kadar zat kimia di otak yang
berhubungan langsung dengan pengaturan suasana hati dan juga ditambah lagi
dengan mengh adapi masalah hidup yang cukup berat. Resiko bumil terkena depresi
akan meningkat bila bumil pernah keguguran, pengalaman traumatis, atau depresi
sebelum hamil. DINI KASDU, dkk (2009) mengatakan hampir 10% wanita hamil
mengalami depresi berat/ringan. Umumnya terjadi pada Trimester I.

CIRI CIRI DEPRESI DALAM MASA KEHAMILAN :


a. Perasaan sedih akan perubahan kondisi fisiknya
b. Sulit berkonsentrasi
c. Hilangnya minat akan aktivitas yang biasa digemarinya
d. Putus asa
e. Cemas
f. Perasaan bersalah dan tidak berharga
g. Sedih
h. Nafsu makan menurun
i. Merasa lelah dan kurang energy
j. Tidak bisa tidur dengan nyenyak
k. Pada kasus patologis depresi merupakan reaksi ektreem karena penderitanya
sering memiliki delusi (kenyataan yang semu) ketidakpastian dan perasaan putus
asa

GEJALA INI BIASANYA TERJADI 1 – 2 MINGGU PADA TRIMESTER I


PENYEBAB DEPRESI DALAM MASA KEHAMILAN :

Studi baru menunjukkan bahwa factor paling menentukan kadar depresi adalah
HUBUNGAN DENGAN PASANGAN, karena tidak mendapatkan dukungan yang
baik dari pasangan thd perubahan – perubahan yang terjadi selama kehamilan.

DAMPAK BURUK DEPRESI :


Timbulnya gangguan perkembangan dan pertumbuhan janin dan gangguan
kesehatan mental anak.
Depresi yang dialami juga berdampak pada kelahiran PREMATUR, BBLR dll yang
akan berimbas pada kehidupan anak nantinya.
TIFFANI FIELD, Ph. D dari University of Miami Medical School, berdasarkan
penelitian yang dilakukan selama 20 tahun, menemukan anak yang lahir dari ibu
depresi berat selama kehamilan akan memiliki kadar hormone stress yang tinggi,
aktivitas otak peka pada depresi, mengalami gejala depresi spt susah makan dan
tidur. Bila gejala depresi pada bayi baru lahir tidak segera ditangani segera, maka
ANAK AKAN BERKEMBANG TIDAK BAHAGIA. SULIT BERJALAN, BERAT BADAN
KURANG, TIDAK RESPONSIF THD ORANG LAIN. Bila keadaan ini tidak selesai
kemungkinan akan tumbuh menjadi BAYI YANG DEPRESI. Saat mulai sekolah
mereka mengalami masalah perilaku spt AGRESIF dan MUDAH STRES.

PENANGANAN DEPRESI PADA MASA KEHAMILAN :


a. Segera meminta bantuan tenaga kesehatan
Memeriksakan kehamilan (ANC) secara teratur agar terdeteksi secara dini
jika terjadi kelainan
Depresi sedang dan ringan : psikolog
Depresi berat : psikiater
b. Istirahat yang cukup : tidur bisa menghilangkan stres
c. Olahraga ringan : mampu meningkatkan kadar hormone serotonin
(hormone bahagia) dan menurunkan hormone stress (hormone kortisol),
dan sebelumnya harus konsultasi dulu dengan dokter kandungan
olahraga apa yang cocok pada bumil
d. Konsumsi makanan sehat dan bergizi seimbang, hindari makanan tinggi
gula, kafein, lemak jahat.
e. Konsumsi asam lemak omega – 3 : mood booster alami untuk
menurunkan stress dan juga baik untuk perkambangan otak bayi, spt
kacang – kacangan, ikan dan minyak nabati

HIPERMASKULIN
PENGERTIAN HIPERMASKULIN
Wanita hipermaskulin adalah wanita yang memiliki sifat yang aktif dan
kejantanan. Pada wanita ini . sejak awal kehamilan dihadapi pada perasaan
engga untuk melahirkan tetap dia ingin memiliki anak. Dia menggangap nahwa
anak dapat menghambat pekerjaan dan karirnya

CIRI –CIRI HIPERMASKULIN DALAM KEHAMILAN


1. Bersikap pasif.
2. Bergantung pada ibunya.
3. Menyuruh suami melakukan semua tugasnya.
4. Tingkah lakunya infantil, kekanak-kanakan.
5. Penampakan dirinya sebagai gadis kecil yang main boneka.
6. Merasakan kehamilan dan kelahiran sebagai peristiwa magis yang menakjubkan.
7. Jika kehamilannya semakin tua wanita ini jadi sangat tidak sabaran dan menjadi
semakin pasif, ia banyak mengeluh dan mendesak lingkungannya agar kelahiran
bayinya bisa dipercepat
8. Sama sekali tidak merasa bertanggung jawab terhadap benda yang ada di
rahimnya itu.
9. Secara tidak sadar merasakan coitus.
10. Menyerahkan semua tanggung jawab kepada ibunya
11. Mengharapkan ibunya terus menerus menunggui dirinya di saat hamil dan
melahirkan bayinya untuk memberikan atensi pada kelahiran janinnya kelak.

Gejala Hiperemesis
Gejala utama hiperemesis adalah mual dan muntah saat hamil, yang bisa terjadi
hingga lebih dari 3-4 kali sehari. Kondisi ini bisa sampai mengakibatkan hilangnya
nafsu makan dan penurunan berat badan. Muntah yang berlebihan juga dapat
menyebabkan ibu hamil merasa pusing, lemas, dan mengalami dehidrasi.
Selain mual dan muntah secara berlebihan, penderita hiperemesis gravidarum juga
dapat mengalami gejala tambahan berupa:

 Sakit kepala
 Konstipasi
 Sangat sensitif terhadap bau
 Produksi air liur berlebihan
 Inkontinensia urine
 Jantung berdebar

Gejala hiperemesis gravidarum biasanya muncul di usia kehamilan 4-6 minggu dan
mulai mereda pada usia kehamilan 14-20 minggu.
Gangguan Kehamilan

Pada usia remaja, pertumbuhan dan perkembangan anak masih berlangsung.


Remaja memerlukan asupan gizi yang seimbang untuk mencapai tumbuh kembang
yang optimal. Kehamilan remaja dapat mengganggu tumbuh kembang sang ibu dan
menyebabkan terjadinya anemia, kekurangan gizi, dan rendahnya daya tahan tubuh. 

Jika kehamilan tidak direncanakan, ada kemungkinan ibu hamil tidak melakukan
vaksinasi dan akses terhadap layanan kesehatan pun terbatas. Bagi janin, gangguan
kesehatan tersebut dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah (BBLR),
kelahiran prematur, bayi lahir dengan anemia, maupun hambatan tumbuh kembang
bayi. 

Halusinasi hipnogonik
 Pengeritain halusinasi hipnagonik
Halusinasi adalah gangguan persepsi yang membuat seseorang mendengar, merasa,
mencium aroma, dan melihat sesuatu yang kenyataannya tidak ada. Pada keadaan
tertentu, halusinasi dapat mengakibatkan ancaman pada diri sendiri dan orang lain.
Halusinasi adalah sensasi yang diciptakan oleh pikiran seseorang tanpa adanya
sumber yang nyata. Gangguan ini dapat memengaruhi kelima panca indera.
Seseorang disebut berhalusinasi ketika dia melihat, mendengar, merasa, atau
mencium suatu aroma yang sebenarnya tidak ada. Hal-hal ini hanya ada di dalam
pikiran mereka. Penderita gangguan halusinasi seringkali memiliki keyakinan kuat
bahwa apa yang mereka alami adalah persepsi yang nyata sehingga tak jarang
menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang memiliki halusinasi
juga mungkin bisa memiliki perilaku menyimpang.

Penyebab Munculnya Halusinasi


Halusinasi dapat muncul akibat berbagai faktor. Berikut adalah beberapa penyebab
terjadinya halusinasi yang paling umum:

1. Gangguan kejiwaan, seperti skizofrenia, demensia, dan depresi berat dengan gejala


psikosis. Psikosis adalah kumpulan gejala gangguan mental di mana seseorang
merasa terpisah dari kenyataan yang sebenarnya, ditandai dengan gangguan
emosional dan pikiran. Penderita psikosis akan sulit membedakan hal yang nyata dan
tidak.
2. Gangguan saraf dan otak, seperti penyakit Parkinson, migrain dengan aura, delirium,
stroke, epilepsi, dan penyakit Alzheimer.
3. Terlalu banyak mengonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, seperti kokain,
amfetamin, heroin dan obat psikedelik.
4. Demam pada anak kecil atau pada lanjut usia.
5. Gangguan tidur, seperti narkolepsi.
6. Penyakit berat, seperti gagal ginjal atau gangguan hati stadium lanjut, HIV/AIDS,
kanker otak.
7. Cedera kepala berat.
8. Gangguan elektrolit, misalnya rendahnya kadar natrium darah (hiponatremia) dan
rendahnya kadar magnesium (hipomagenesemia).
9. Kelainan asam basa, seperti pada kondisi asidosis.
10. Efek samping obat-obatan.

Berbagai Jenis Halusinasi yang Perlu Anda Ketahui


Berdasarkan ciri-ciri dan penyebabnya, jenis halusinasi yang umum terjadi adalah
sebagai berikut:

1. Halusinasi pendengaran (audio)


Halusinasi pendengaran adalah jenis halusinasi yang paling umum terjadi, yang
menyebabkan seseorang mendengar suara-suara yang tidak didengar orang lain.
Anda mungkin mendengar seseorang berbicara kepada Anda atau memberi tahu
Anda untuk melakukan hal-hal tertentu. Suara itu bisa berupa suara marah, suara
netral, suara mesra, suara lantunan musik, percakapan, tawa, bahkan langkah kaki
seseorang. Misalnya, Anda seolah mendengar seseorang sedang berjalan di loteng,
padahal tidak ada siapa-siapa di loteng. Kondisi ini adalah gejala yang biasa terjadi
pada skizofrenia, gangguan bipolar, atau demensia.
2. Halusinasi penglihatan (visual)
Halusinasi visual melibatkan indera penglihatan, seolah seperti melihat sesuatu
namun benda tersebut sebenarnya tidak ada. Halusinasi visual bisa melihat berupa
suatu objek, pola visual, manusia, atau cahaya. Misalnya, Anda mungkin melihat
seseorang yang sebenarnya tidak berada di ruangan, atau melihat lampu berkedip
yang tidak dapat dilihat orang lain.
3. Halusinasi penciuman (olfaktorik)
Halusinasi penciuman melibatkan indera penciuman. Seseorang mungkin mencium
aroma wewangian atau justru bau yang tidak sedap atau merasa bahwa tubuhnya
berbau busuk padahal nyatanya tidak.
4. Halusinasi pengecapan (gustatorik)
Halusinasi pengecapan melibatkan indra perasa yang menyebabkan seseorang
merasakan sensasi bahwa sesuatu yang dimakan atau diminum memiliki rasa yang
aneh. Misalnya, seseorang mengeluh karena merasakan atau mengecap rasa logam
secara terus-menerus. Jenis halusinasi ini merupakan salah satu gejala yang sering
terjadi pada penderita epilepsi.
5. Halusinasi sentuhan (taktil)
Halusinasi taktil melibatkan perasaan sentuhan atau gerakan di tubuh Anda.
Misalnya, Anda merasa seolah disentuh atau digelitik seseorang, padahal tidak ada
orang lain di sekitar Anda. Anda mungkin merasa bahwa ada serangga yang sedang
merayap di kulit atau di organ-organ dalam tubuh Anda, atau merasa seolah ada
semburan api yang membakar wajah Anda.

Selain karena kondisi berat di mana halusinasi seringkali menetap, ada juga
halusinasi sementara yang tidak bersifat kronis. Misalnya, halusinasi yang mungkin
Anda alami ketika salah satu anggota keluarga baru saja meninggal dunia. Anda
mungkin mendengar suara orang itu sejenak atau sekilas melihatnya. Jenis halusinasi
ini biasanya akan menghilang ketika duka kehilangan secara perlahan memudar.
Gangguan halusinasi
merupakan kondisi medis serius yang perlu segera mendapat pemeriksaan dan
penanganan psikiater. Selain perlu segera berkonsultasi ke psikiater, penderita
gangguan halusinasi tidak disarankan tinggal atau bepergian sendiri. Dengan
penanganan yang tepat dan sedini mungkin (misalnya pemberian obat-obatan
dan psikoterapi), halusinasi diharapkan dapat segera teratasi agar tidak sampai
membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Panic disorder
Pengertian panik disorder
Serangan panik (panic attack) adalah munculnya rasa takut atau gelisah
berlebihan secara tiba-tiba. Kondisi yang juga disebut dengan serangan kegelisahan
ini ditandai dengan detak jantung yang bertambah cepat, napas menjadi pendek,
pusing, otot menjadi tegang, atau gemetar. Serangan panik dapat berlangsung
selama beberapa menit atau hingga setengah jam.
Serangan panik bisa dialami sesekali dalam hidup, yang biasanya menghilang saat
keadaan atau situasi pemicunya berakhir. Namun, jika serangan panik terjadi secara
berulang dan untuk jangka waktu yang lama, maka kondisi ini disebut gangguan
panik.

Gejala Serangan Panik

Berikut ini adalah beberapa gejala yang menyertai serangan panik:

 Berkeringat secara berlebihan


 Merasa gelisah atau berpikir secara irasional
 Mulut terasa kering
 Otot menjadi tegang
 Merasa sangat takut
 Gemetar
 Sesak napas
 Detak jantung meningkat
 Kram perut
 Nyeri dada
 Mual
 Pusing atau pingsan

Serangan panik dapat berlangsung selama 5 hingga 10 menit, namun bisa juga
terjadi secara berkesinambungan dalam waktu dua jam. Pasca serangan panik,
penderita akan mengalami kelelahan. Selain itu, kondisi ini juga menyisakan rasa
takut akan terjadinya serangan kembali hingga membuat penderitanya menghindar
dari situasi yang dapat memicu serangan panik.

Penyebab Serangan Panik

Saat seseorang mengalami serangan panik, otak memerintahkan sistem saraf untuk
menimbulkan respons melawan atau menghindar. Tubuh kemudian akan
menghasilkan zat kimia yang disebut adrenalin, yang memicu peningkatan detak
jantung, frekuensi napas, dan aliran darah ke otot. Kondisi tersebut sebenarnya
muncul dalam rangka mempersiapkan tubuh untuk melawan atau menghindar dari
situasi tertekan.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk
mengalami serangan panik:

 Stres.
 Perubahan suasana secara tiba-tiba, misalnya masuk ke lingkungan yang
ramai dan penuh sesak.
 Faktor genetik atau memiliki keluarga dengan riwayat serangan panik.
 Mengalami trauma atau pengalaman yang membuat diri sangat tertekan.
 Konsumsi kafein, alkohol, dan NAPZA.

Diagnosis Serangan Panik

Untuk mendiagnosis secara tepat dan membedakan serangan panik dengan gejala
penyakit lain, dokter dapat memulai dengan pemeriksaan fisik secara menyeluruh.
Selanjutnya, dilakukan juga beberapa tes penunjang untuk menetapkan diagnosis.
Tes tersebut dapat berupa:

 Tes darah, untuk memeriksa tiroid dan risiko terhadap kondisi lain.
 Elektrokardiogram (EKG), untuk memeriksa kondisi jantung.
Bila tidak ada kelainan organ dan fungsi tubuh, akan dilakukan evaluasi psikologis,
untuk memahami tingkatan gejala, stres, ketakutan, dan gangguan lain yang dapat
berdampak kepada aspek-aspek kehidupan penderita, termasuk konsumsi alkohol.

Penanganan Serangan Panik

Penanganan serangan panik bertujuan untuk mengurangi intensitas dan frekuensi


sarangan agar kualitas hidup bertambah baik. Penanganan dapat dilakukan
pemberian obat dan dengan psikoterapi. Keduanya dapat dilaksanakan secara
bersamaan atau hanya satu saja, tergantung dari kondisi dan tingkat keparahan yang
dialami.
Obat-obatan
Serangan panik yang hanya terjadi sesekali tidak membutuhkan penanganan. Namun
jika terus berulang (mengalami gangguan panik), maka psikiater akan meresepkan
obat guna mencegah kemunculannya. Obat yang diresepkan adalah sama dengan
obat untuk depresi atau obat penenang, seperti:

 Fluoxetine
 Sertraline
 Venlafaxine
 Alprazolam
 Clonazepam

Pada penderita gangguan panik, obat perlu dikonsumsi setidaknya selama 1 tahun.
Penggunaan obat tidak bisa dihentikan secara tiba-tiba, melainkan dengan
mengurangi dosisnya secara perlahan dan di bawah pengawasan dokter.
Terapi
Jenis terapi yang diterapkan untuk mengobati penderita serangan panik
adalah terapi perilaku kognitif. Dalam terapi ini, penderita akan dibimbing untuk
memahami dan meyakini bahwa serangan panik tidak membahayakan. Penderita
juga akan diajari mengubah respons perasaan dan perilaku terhadap pola pikiran
negatif, sehingga nantinya membantu mereka dalam mengatasi serangan panik
secara mandiri. Dengan kata lain, penderita diajari untuk mengatasi rasa takut
terhadap situasi yang membuat mereka panik.

Komplikasi dan Pencegahan Serangan Panik

Serangan panik dapat diobati hingga mencapai kesembuhan total asalkan segera
ditangani. Jika diabaikan, maka kondisi ini dapat bertambah parah dan sulit diatasi,
hingga mengganggu kehidupan penderita. Di samping merasa ketakutan terus-
menerus, komplikasi yang dapat timbul dari serangan panik adalah:

 Munculnya fobia atau takut akan suatu hal


 Tidak mau bersosialisasi
 Timbulnya masalah di kantor atau di sekolah
 Terjerumus ke dalam masalah keuangan
 Kecanduan minuman keras atau NAPZA
 Depresi
 Munculnya keinginan untuk bunuh diri

Tidak ada langkah pencegahan khusus terhadap serangan maupun gangguan panik,
selain kesadaran diri untuk segera mengatasinya sebelum kondisi ini bertambah
buruk.

Obsessive compulsive disorder (OCD)


Pengertian OCD

Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) adalah sejenis gangguan mental. Orang


dengan OCD memiliki pikiran dan dorongan yang tidak dapat dikendalikan dan
berulang (obsesi), serta perilaku (paksaan) kompulsif. Contoh perilaku kompulsif
adalah mencuci tangan 7 kali setelah menyentuh sesuatu yang mungkin kotor.
Pikiran dan tindakan tersebut berada di luar kendali pengidap. Meski pengidap
mungkin tidak ingin memikirkan atau melakukan hal tersebut, ia tidak berdaya untuk
menghentikannya. Dengan kata lain, OCD dapat memengaruhi secara signifikan
kehidupanpengidapnya.

  Faktor Risiko OCD

Faktor risiko OCD meliputi faktor keturunan, struktur otak dan fungsinya (masih
belum jelas), serta lingkungan hidup. Namun, hal yang paling memengaruhi adalah
lingkungan hidup yang tidak mendukung perkembangan psikis pengidap sewaktu
kecil, yaitu ketika anak sering direndahkan atau diejek karena
ketidaksempurnaannya. Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan timbal balik ingin
melakukan hal yang sempurna.

Penyebab OCD

OCD adalah gangguan umum yang menyerang orang dewasa, remaja, dan anak-anak
di seluruh dunia. Kebanyakan orang didiagnosis pada usia 19 tahun, biasanya dalam
usia dini pada anak laki-laki daripada anak perempuan.

Penyebab OCD belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa faktor di atas
berpengaruh terhadap terjadinya gangguan ini.

Baca juga: Trauma Masa Kecil, Apakah Benar Menjadi Pemicu OCD?

 
Gejala OCD

Orang dengan OCD memiliki gejala obsesi, kompulsi, atau keduanya. Gejala-gejala ini
dapat mengganggu semua aspek kehidupan, seperti pekerjaan, sekolah, dan
hubungan pribadi. Obsesi adalah pikiran yang berulang, dorongan, atau gambaran
mental yang menyebabkan kecemasan.

Sementara itu, kompulsi adalah perilaku berulang seseorang dengan OCD merasakan
dorongan untuk melakukan dalam menanggapi pemikiran obsesif. Kompulsi umum
termasuk pembersihan berlebihan dan/atau mencuci tangan, memesan, dan
mengatur sesuatu dengan cara yang khusus dan tepat. Pengidap juga bisa berulang
kali memeriksa berbagai macam hal, seperti pemeriksaan berulang kali untuk
melihat apakah pintu terkunci atau oven mati.

Gejala bisa datang dan pergi, mereda seiring waktu, atau memburuk. Orang dengan
OCD dapat mencegah gejala muncul dengan menghindari situasi yang bisa memicu
obsesi mereka, atau mungkin menggunakan alkohol atau obat-obatan untuk
menenangkan diri. Meskipun sebagian besar orang dewasa dengan OCD menyadari
apa yang mereka lakukan tidak masuk akal, beberapa orang dewasa dan sebagian
besar anak mungkin tidak menyadari bahwa perilaku mereka di luar kebiasaan.
Orangtua atau guru biasanya mengenali gejala OCD pada anak-anak.

Diagnosis OCD

Langkah-langkah untuk membantu mendiagnosis OCD termasuk dalam pemeriksaan


fisik. Hal ini dapat dilakukan untuk membantu menyingkirkan masalah lain yang
dapat menyebabkan gejala dan untuk memeriksa komplikasi terkait. Selanjutnya,
dilakukan tes laboratorium termasuk hitung darah lengkap (CBC), pemeriksaan
fungsi tiroid, dan skrining untuk alkohol dan obat-obatan. Evaluasi psikologis
termasuk membahas pikiran, perasaan, gejala, dan pola perilaku. Kriteria diagnostik
untuk OCD ada pada Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5), yang
diterbitkan oleh American Psychiatric Association.

Pengobatan OCD

Sayangnya, OCD tidak bisa disembuhkan. Namun, pengidap bisa meredakan gejala
yang mengganggu aktivitas mereka dengan menjalani beberapa perawatan.
Pengobatan OCD terdiri dari obat-obatan, psikoterapi, atau kombinasi keduanya.
Meskipun sebagian besar pengidap OCD membaik setelah mendapatkan
pengobatan, beberapa pengidap lainnya terus mengalami gejala.

Kadang-kadang orang dengan OCD juga ditemukan memiliki gangguan mental


lainnya, seperti kecemasan, depresi, dan gangguan dismorfik tubuh (gangguan saat
seseorang memiliki anggapan keliru bahwa bagian dari tubuh mereka tidak normal).
Penting untuk mempertimbangkan gangguan lain ini ketika menentukan pilihan
perawatan.

Serotonin Reuptake Inhibitor (SRI) dan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)


adalah dua jenis obat yang digunakan untuk membantu mengurangi gejala OCD.
Selain itu, beberapa obat lain yang juga terbukti efektif mengatasi OCD pada orang
dewasa dan anak-anak adalah clomipramine, yang merupakan anggota dari kelas
yang lebih tua dari "tricyclic" antidepresan, dan beberapa SSRI yang lebih baru,
termasuk fluoxetine, fluvoxamine, dan sertraline. Jika gejala tidak membaik dengan
jenis obat ini, penelitian menunjukkan beberapa pasien dapat merespons dengan
baik terhadap obat antipsikotik (seperti risperidone).

Selain obat-obatan, psikoterapi juga efektif untuk mengatasi OCD pada orang
dewasa dan anak-anak. Penelitian menunjukkan bahwa jenis psikoterapi tertentu,
termasuk terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi terkait lainnya (misalnya, pelatihan
pembalikan kebiasaan) dapat sama efektifnya dengan obat bagi banyak individu.
Penelitian juga menunjukkan bahwa tipe CBT yang disebut Exposure and Response
Prevention (EX/RP) efektif dalam mengurangi perilaku kompulsif dalam OCD, bahkan
pada orang yang tidak merespons dengan baik terhadap obat SRI. Bagi banyak
pengidap, EX/RP adalah pilihan pengobatan tambahan ketika SRI atau obat SSRI tidak
efektif mengatasi gejala OCD.

Baca juga: Tenang, Anak OCD Bisa Bersosialisasi dengan Cara Ini

Pencegahan OCD

Tidak ada cara yang pasti untuk mencegah gangguan obsesif-kompulsif. Namun,
mendapatkan pengobatan sesegera mungkin bisa membantu mencegah OCD
memburuk dan mengganggu kegiatan dan rutinitas pengidap sehari-hari

Gangguan pola makan


Pengertian Gangguan Makan

Gangguan makan adalah sikap yang berbeda terhadap makanan yang menyebabkan
seseorang mengubah perilaku dan kebiasaan makannya. Hal ini dapat menjadi
kondisi serius yang berdampak negatif bagi kesehatan, emosi, dan kemampuan
seseorang dalam berbagai area kehidupan yang penting.

Gejala Gangguan Makan

Gejala ini bervariasi tergantung dari jenis gangguan yang dialami, antara lain:
1. Gangguan makan berlebihan

Saat mengidap gangguan ini, seseorang biasanya makan dalam jumlah banyak, lalu
merasa kehilangan kendali dengan pola makannya. Pengidap tersebut makan lebih
cepat dan banyak saat tidak lapar dan melanjutkannya, meskipun sudah kenyang.
Seperti hanya bulimia, pengidap akan merasa jijik pada dirinya sendiri dan malu atas
perilakunya, tetapi pengidap tidak berusaha melakukan olahraga berlebihan atau
memuntahkan makanannya. Pengidap biasanya cenderung makan sendirian agar
gangguannya ini tidak diketahui oleh orang lain. 

2. Anoreksia nervosa

Gangguan ini ditunjukkan dengan berat badan rendah yang tidak normal, merasa
sangat takut jika berat badan bertambah dan memiliki persepsi yang salah tentang
berat badan atau bentuk tubuh dirinya. Pengidap anoreksia berupaya keras menjaga
asupan makanan guna menjaga berat dan bentuk tubuhnya, sehingga terkadang
dapat meninggal karena kelaparan.

Gejala anoreksia lainnya dapat berupa: tubuh kurus, insomnia, kelelahan yang
berlebihan, pusing, kuku berwarna biru, kuku dan rambut rapuh, sembelit, kulit
kering, dan detak jantung tidak teratur.

3. Bulimia nervosa atau sering disebut bulimia

 Saat mengidap gangguan bulimia, seseorang mengalami kehilangan kendali saat


makan, sehingga berulang kali mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak, lalu
mengeluarkannya kembali (eating and purging). Hal ini dilakukan untuk mengurangi
kalori yang berlebih karena merasa bersalah, malu, dan takut mengalami kenaikan
berat badan berlebih. Cara yang dilakukan, biasanya dengan memaksa diri untuk
muntah dan berolahraga terlalu keras.

Gejala bulimia lainnya adalah penggunaan suplemen penurunan berat badan secara
ekstrem, penggunaan pencahar, dan mengonsumsi obat diuretik atau enema secara
teratur. Pengidap bulimia cenderung menilai kekurangan dalam dirinya dengan
terlalu keras, meskipun sebenarnya berat badannya normal atau sedikit berlebih.
Banyak pengidap bulimia juga membatasi makan dalam siang hari, sehingga
meningkatkan jumlah makanan pada malam hari, kemudian dimuntahkan kembali.

Penyebab Gangguan Makan

Gangguan makan bisa terjadi karena banyak hal, antara lain:

 Tekanan masyarakat. Kesuksesan dan nilai seseorang sering disalahartikan


dengan tubuh yang ramping. Tekanan kelompok dan pandangan orang di
media tersebut dapat memicu keinginan untuk berusaha keras memiliki
tubuh ramping.
 Beberapa orang memiliki gen yang dapat memicu perkembangan gangguan
makan. Seseorang yang memiliki orang tua atau saudara kandung yang
mengidap gangguan makan cenderung berisiko mengalaminya juga.
 Masalah emosi dan psikologi. Pengidap gangguan makan, biasanya memiliki
masalah emosi dan psikologi yang memicu mereka mengalami kondisi ini.
Pengidap mungkin memiliki kepercayaan diri yang rendah, perfeksionis, sikap
impulsif, ataupun hubungan yang terganggu dengan anggota keluarga atau
teman. Selain itu, gangguan makan juga bisa dipicu oleh keadaan yang sarat
tekanan dan pengalaman buruk (misalnya, pelecehan seksual, intimidasi,
ataupun kehilangan orang yang dekat).

Faktor Risiko Gangguan Makan

Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan


makan, antara lain:

 Usia. Remaja putri atau wanita muda mulai usia 20-an cenderung lebih
banyak mengidap gangguan ini dibanding pria.
 Profesi. Atlet, aktor, dan model juga berisiko tinggi mengalami gangguan
makan karena dituntut untuk menurunkan berat badan oleh pekerjaan.
 Gangguan psikologi. Seseorang dengan gangguan psikologi, seperti depresi,
stres, dan perasaan cemas atau sikap kompulsif-obsesif cenderung mengidap
gangguan makan.
 Diet yang tidak wajar. Seseorang yang melakukan diet secara berlebihan
cenderung dapat mengalami gangguan makan.

Diagnosis Gangguan Makan

Diagnosis gangguan makan ini dibuat berdasarkan tanda, gejala, dan kebiasaan
makan seseorang. Jika dicurigai mengalami gangguan makan, maka seseorang
diminta menjalani beberapa pemeriksaan oleh dokter dan psikolog/psikiater untuk
menentukan keberadaan gangguan tersebut. Diagnosis dilakukan dengan cara:

 Pemeriksaan fisik menyeluruh, seperti tinggi, berat badan, dan tanda-tanda


vital yang lain, termasuk detak jantung, tekanan darah, denyut nadi dan
kondisi perut.
 Dokter juga akan mengajukan pemeriksaan sinar-X dan elektrokardiogram
untuk memeriksa tulang patah, detak jantung yang tidak teratur, ataupun
tanda-tanda pembusukan pada gigi yang menjadi ciri anoreksia atau bulimia.
 Pemeriksaan psikologi yang akan dilakukan oleh psikolog atau psikiater untuk
mengetahui sikap pasien terhadap makanan, cara makan, dan pandangannya
terhadap tubuh. Sangat penting mendapatkan jawaban yang jujur untuk
menentukan pengobatan yang tepat.
 Pemeriksaan darah dan urine diperlukan untuk memeriksa darah seluruhnya,
fungsi hati, ginjal, dan tiroid.

Pengobatan dan Efek Samping Gangguan Makan

Pengobatan untuk gangguan ini yang utama adalah psikoterapi atau disebut juga
terapi bicara untuk menggantikan kebiasaan tidak sehat menjadi lebih sehat. Salah
satunya adalah terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy). Terapi ini
terutama dilakukan untuk pengidap bulimia dan gangguan makan berlebihan. Terapi
perilaku kognitif akan mengubah pandangan seseorang saat menghadapi sebuah
situasi, termasuk mencari penyelesaian masalah dan cara sehat mengatasi tekanan,
sehingga pada akhirnya dapat mengubah sikap seseorang menjadi lebih baik.

Jenis terapi bicara lain yang bisa dilakukan adalah terapi interpersonal yang
memfokuskan pada masalah yang berkaitan dengan hubungan terhadap orang lain,
terapi keluarga yang melibatkan seluruh keluarga untuk membahas gangguan yang
dialami pengidap, hubungan di antara mereka, dan pengaruh gangguan ini terhadap
keluarga.

Selain kedua terapi tersebut, juga dilakukan terapi pola makan untuk membantu
seseorang memperoleh kembali dan mempertahankan pola makan yang sehat.
Terapi ini dilakukan oleh ahli gizi dan dokter, terutama untuk pasien dengan berat
badan yang kurang akibat gangguan makan

Pemberian obat-obatan mungkin akan dipertimbangkan. Meskipun obat tidak dapat


menyembuhkan gangguan makan, tetapi dapat membantu mengendalikan keinginan
untuk makan banyak, muntah, ataupun kecemasan berlebihan yang menyangkut
pola makan dan makanan. 

Dukungan keluarga dan teman sangat penting untuk keberhasilan pengobatan pada
pengidap gangguan makan.

Efek Samping atau komplikasi yang dapat terjadi jika semakin parah dan lama
gangguan makan yang dialami, maka semakin serius komplikasi yang bisa dialami,
antara lain:

 Terhambatnya pertumbuhan tubuh.


 Gangguan psikologi, seperti depresi, kecemasan, dan bahkan niat untuk
melakukan bunuh diri.
 Masalah kesehatan yang serius.
 Penurunan prestasi di sekolah atau penurunan kualitas kerja.
 Rusaknya hubungan sosial.
 Kematian.
Pencegahan Gangguan Makan

Untuk mencegah gangguan makan, lakukan beberapa cara di bawah ini:

 Selalu berpikir positif, termasuk soal image diri sendiri.


 Mau mengonsumsi makanan sehat dan olahraga cukup.
 Cari lingkungan menyenangkan untuk melepas stres.
 Kalau merasa tidak bisa lagi mengendalikan diri atau ada perasaan salah dan
malu, sebaiknya pergi ke psikolog atau psikiater.

Gangguan bipolar

Pengertian Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar adalah kondisi seseorang yang mengalami perubahan suasana hati
secara fluktuatif dan drastis, misalnya tiba-tiba menjadi sangat bahagia dari yang
sebelumnya murung. Nama lain dari gangguan bipolar adalah manik depresif.

Faktor Risiko Gangguan Bipolar

Terdapat berapa faktor yang diduga meningkatkan risiko seseorang terkena


gangguan bipolar, yakni:

 Mengalami stres berat.


 Kejadian traumatik.
 Kecanduan akan minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang.
 Memiliki riwayat keluarga dekat (saudara kandung atau orangtua) yang
mengidap gangguan bipolar.

Gejala Gangguan Bipolar

Terdapat dua fase dalam gangguan bipolar, yaitu fase mania (naik) dan depresi
(turun). Pada periode mania, pengidapnya jadi terlihat sangat bersemangat, enerjik,
dan bicara cepat. Sedangkan pada periode depresi, pengidapnya akan terlihat sedih,
lesu, dan hilang minat terhadap aktivitas sehari-hari.

Berdasarkan perputaran episode suasana hati, ada sebagian pengidap gangguan


bipolar yang mengalami keadaan normal di antara mania dan depresi. Ada juga yang
mengalami perputaran cepat dari mania ke depresi atau sebaliknya tanpa adanya
periode normal (rapid cycling). Selain itu, ada juga pengidap yang mengalami mania
dan depresi secara bersamaan. Contohnya, ketika pengidap merasa sangat
berenerjik, tetapi di saat bersamaan juga merasa sangat sedih dan putus asa. Gejala
ini dinamakan dengan periode campuran (mixed state).

 DiagnosisGangguanBipolar

Diagnosis lebih lanjut mengenai kondisi ini sangat dibutuhkan, sebab gejala
gangguan bipolar mirip dengan kondisi lain, seperti penyakit tiroid, serta dampak
dari kecanduan alkohol atau penyalahgunaan NAPZA. Pemeriksaan yang dilakukan
bisa dengan metode wawancara ke keluarga atau kerabat pengidap gangguan
bipolar. Wawancara ini terkait gejala, seperti sejak kapan dan seberapa sering gejala
muncul.

Pengidapnya juga kemudian akan dirujuk ke psikiater atau dokter spesialis kesehatan
jiwa. Psikiater akan melakukan beberapa pengamatan terkait pola bicara, berpikir,
dan bersikap. Pskikiater juga mungkin akan menanyakan riwayat penyakit keluarga,
riwayat penyakit, hingga pola tidur.

Penyebab Gangguan Bipolar

Beberapa ahli berpendapat bahwa kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan


neurotransmitter atau zat pengontrol fungsi otak. Tidak hanya itu, ada juga yang
berpendapat bahwa gangguan bipolar berkaitan dengan faktor keturunan.

Beberapa faktor yang diduga bisa meningkatkan risiko seseorang terkena gangguan
bipolar adalah mengalami stres tingkat tinggi, pengalaman traumatik, kecanduan
minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang, dan memiliki riwayat keluarga
dekat (saudara kandung atau orangtua) yang mengidap gangguan bipolar.

Pengobatan Gangguan Bipolar

Tujuan pengobatan gangguan bipolar adalah untuk menurunkan frekuensi terjadinya


fase-fase mania dan depresi agar pengidapnya dapat hidup secara normal dan
membaur dengan lingkungan. Selain memperbaiki pola hidup, penanganan biasanya
mencakup pemberian obat- obatan yang dikombinasikan dengan terapi psikologis
(contohnya terapi perilaku kognitif).

Pencegahan Gangguan Bipolar

Langkah pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi efek dari
bipolar, yaitu dengan memberikan terapi sesuai dengan anjuran dokter.

 
Kapan Harus ke Dokter?

Kamu harus berbicara dengan dokter jika gangguan bipolar menunjukkan tanda-
tanda berikut ini:

 Memunculkan gejala periode mood yang terjadi dalam jangka panjang.


 Memiliki pemikiran untuk bunuh diri.
 Merasa agresif dan konfrontasional.
 Kesulitan tidur dalam beberapa hari.

Tidak ada salahnya untuk menghubungi dokter jika kamu merasakan gejala-gejala
seperti di atas. Penanganan yang tepat nyatanya dapat mengurangi akibat yang
ditimbulkan dari kondisi ini.

skizofrenia
Pengertian Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan kronis ketika pengidapnya mengalami


halusinasi, delusi, dan juga menunjukan perubahan sikap. Pengidap skizofrenia
umumnya mengalami kesulitan untuk membedakan antara kenyataan dengan
pikiran yang ada pada diri si pengidap.

Baca juga: 5 Faktor Risiko Skizofrenia Paranoid

Penyebab Skizofrenia

Meski penyebab utama skizofrenia belum ditemukan, ada beberapa faktor yang
dapat menjadi penyebab dari skizofrenia, antara lain:

Faktor Genetik

Keturunan dari pengidap skizofrenia, memiliki risiko 10 persen lebih tinggi untuk
mengidap skizofrenia. Risiko tersebut akan meningkat 40 peren lebih besar ketika
kedua orangtua sama-sama pengidap skizofrenia. Sementara itu, anak kembar yang
salah satunya menderita skizofrenia, risiko akan meningkat 50 persen lebih besar.

Komplikasi saat Kehamilan dan Persalinan

Skizofrenia dapat disebabkan oleh beberapa kondisi yang mungkin terjadi ketika
masa kehamilan dan dampaknya akan terlihat ketika anak tersebut lahir. Kondisi
tersebut, seperti paparan racun dan virus, ibu seorang pengidap diabetes,
perdarahan dalam masa kehamilan, serta kekurangan nutrisi. Selain dari kehamilan,
komplikasi yang terjadi pada masa persalinan juga dapat menyebabkan seorang anak
mengidap skizofrenia. Contoh komplikasi yang dimaksud, seperti berat badan yang
terlalu rendah saat kelahiran, kelahiran yang prematur, dan asfiksia atau kekurangan
oksigen saat dilahirkan.

Faktor Kimia pada Otak

Ketidakseimbangan kadar serotonin dan dopamin pada otak, dapat menjadi salah
satu penyebab dan meningkatkan risiko seseorang mengidap skizofrenia. Keduanya
merupakan zat kimia yang berfungsi untuk mengirim sinyal antara sel-sel otak
sebagai bagian dari neurotransmitter.

Selain itu, pengidap skizofrenia juga memiliki perbedaan struktur dan fungsi otak,
bila dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki gangguan mental. Perbedaan
tersebut antara lain:

 Ventrikel otak memiliki ukuran yang lebih besar. Ventrikel sendiri adalah
bagian dalam otak yang berisi cairan.
 Lobus temporalis memiliki ukuran yang lebih kecil. Ingatan dalam otak
manusia berkaitan dengan lobus temporalis.
 Sel-sel pada otak memiliki koneksi yang lebih sedikit.

Faktor Risiko Skizofrenia

Setiap orang bisa saja terkena skizofrenia tanpa mengenal umur, tetapi umumnya
kalangan remaja dan orang yang baru menginjak usia 20 tahun awal memiliki faktor
risiko yang lebih tinggi untuk terkena skizofrenia. Beberapa faktor yang menjadi
faktor risiko skizofrenia, yaitu:

 Bentuk struktur otak dan sistem saraf pusat yang tidak normal.
 Faktor genetik dari orangtua.
 Kekurangan oksigen, kekurangan nutrisi dan terkena virus saat didalam
kandungan.
 Lahir dengan kondisi prematur.
 Peningkatan aktivasi pada sistem kekebalan tubuh.
 Ketidakseimbangan kadar serotinin dan dopamine.
 Peningkatan aktivasi pada sistem kekebalan tubuh.
 Penyalahgunaan dari obat-obat terlarang.

Gejala Skizofrenia

Skizofrenia terbagi menjadi dua kategori, yaitu positif dan negatif. Berikut ini
penjelasan dari dua kategori gejala penyakit tersebut:
1. Gejala Negatif

Gejala skizofrenia negatif adalah kondisi ketika sifat dan kemampuan yang dimiliki
orang normal, seperti konsentrasi, pola tidur normal, dan juga memiliki motivasi
hidup menjadi hilang. Umumnya, gejala tersebut ditambah dengan ketidakmauan
seseorang untuk bersosialisasi dan merasa tidak nyaman saat bersama orang lain.
Ciri-ciri orang yang mengidap gejala skizofrenia negatif, yaitu terlihat apatis dan
buruk secara emosi, tidak peduli terhadap penampilan diri sendiri dan menarik diri
dari pergaulan.

2. Gejala Positif

Biasanya berupa delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan adanya perubahan perilaku.

Diagnosis Skizofrenia

Jika gejala gangguan kejiwaan skizofrenia terlihat, umumnya dokter kejiwaan akan
melakukan pemeriksaan fisik kepada pengidap. Selain itu, pemeriksaan riwayat
kesehatan keluarga juga akan dilakukan. Sementara untuk pemeriksaan penunjang,
seperti pemeriksaan laboratorium seperti tes darah, pemeriksaan citra otak
dengan CT Scan atau MRI dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik
dari gejala skizofrenia, misalnya tumor otak atau kelainan metabolik yang bisa
memiliki gejala halusinasi seperti skizofrenia. Jika tidak ditemukan gejala atau
indikasi penyakit lain akan gangguan kejiwaan skizofrenia, dokter akan merujuk
pasien atau pengidap untuk ditangani oleh psikiater atau dokter spesialis kejiwaan.

Pengobatan Skizofrenia

Skizofrenia dapat diobati dengan menggunakan beberapa cara, seperti


mengombnasikan obat-obatan melalui terapi psikologis. Obat dengan resep pada
pengobatan skizofrenia ini adalah antipsikotik yang dapat memengaruhi zat
neurotransmiter didalam otak, yang bisa menurunkan rasa cemas, menurunkan atau
mencegah halusinasi dan membantu menjaga kemampuan berpikir.

Dokter umumnya akan memberikan obat-obatan antipsikotik kepada pengidap


skizofrenia untuk mengurangi atau menghilangkan gejalanya. Pengobatan lainnya
dengan terapi kejut listrik atau elektrokonvulsif (ECT). Metode ECT dengan cara
memberikan aliran listrik eksternal ke otak pengidap yang sebelumnya sudah di
anestesi atau ditidurkan sehingga kekacauan listrik pada otak penyebab gejala
halusinasi dapat berkurang.

 
Pencegahan Skizofrenia

Untuk saat ini tindakan preventif gangguan kejiwaan skizofrenia secara spesifik
belum tersedia. Namun, tentu saja faktor risiko atas terjadinya skizofrenia bisa
dilakukan dengan diagnosis sedari dini jika ada anggota keluarga yang memiliki
indikasi akan adanya gejala skizofrenia.

Keharmonisan keluarga juga menjadi hal yang penting untuk dijaga, serta melakukan
kegiatan positif dan rutin berolahraga juga bermanfaat untuk menjaga kesehatan
mental seseorang. Jika seseorang terdiagnosis mengidap skizofrenia, penanganan
medis dan pemberian resep dokter akan sangat berguna. Hal tersebut tentu saja
bertujuan untuk menghindari gejala skizofrenia semakin parah.

Anda mungkin juga menyukai