Anda di halaman 1dari 15

Referat

BELL’S PALSY

OLEH
NURFAISAL
RESKI APRIANTI PINNI

PEMBIMBING
dr. Artha Bayu D, Sp.S

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar

Bagian Ilmu Penyakit Saraf

Makassar 2012
BAB I
PENDAHULUAN

Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti
beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n.
fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy.(1,2,3)
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di
bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas
yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.(4,5)
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-
diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
(6)

Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan.


Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan
frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak
pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak
didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada
beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan .(7)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti
beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n.
fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy.(1,2,3)

II. 2 ETIOLOGI
Penyebab kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui
secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb :
o Kongenital.
 Anomali kongenital (sindroma Moebius)
 Trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial,dll.)
o Didapat
 Trauma
 Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
 Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll.)
 Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
 Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll.)
 Sindroma paralisis n. fasialis familial
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah
bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetik.(4,8)
II. 3 ANATOMI
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : (9)
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang
menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa
serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa
rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari
daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan
sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan
sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.(9)
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang
menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai
saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di
ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi
pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar
sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan
berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus
(N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.(9)
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI,
dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan
lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus
intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini
nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas
saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os
mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan
bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.(9)

II.4 PATOFISIOLOGI
Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan, yaitu teori iskemik
vaskuler dan teori infeksi virus, teori kombinasi.
 Teori iskemik vaskuler. Teori ini dikemukakan oleh Mc. Groven pada
tahun 1955 yang menyatakan bahwa adanya ketidakstabilan otonomik
dengan respon simpatis yang berlebihan. Hal ini menyebabkan spasme
pada arteriol dan statis pada vena di bagian bawah kanalis spinalis.
Vasospasme ini menyebabkan iskemik dan terjadinya oedem. Hgasilnya
adalah paralisis flaksid perifer dari semua otot yang melayani ekspresi
wajah.(10,11)
 Teori infeksi virus. Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab
infeksi yang dapat ditemukan pada kasus saraf fasialis adalah otitis media,
meningitis bakteri, penyakit limfe, infeksi HIV, dan lainnya. Pada tahun
1972 Mc Cromick menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada
ganglion genikulatum dapat mengalami reaktivasi saat daya tahan tubuh
menurun. Adanya reaktivasi infeksi ini menyebabkan terjadinya reaksi
inflamasi dan edema saraf fasialis, sehingga saraf terjepit dan terejadi
kematian sel saraf karena sel saraf tidak mendapatkan suplai oksigen yang
cukup.(10,12)
 Teori kombinasi, teori ini dikemukakan oleh Zalvan yang menyatakan
bahwa kemungkinan Bell’s palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau
reaktivitas virus Herpes Simpleks dan merupakan reaksi imunologis
sekunder atau karena proses vaskuler sehingga menyebabkan inflamasi
dan penekanan saraf perifer ipsilateral.(10)

II. 5 GEJALA KLINIK


Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan kompleks,
kerusakan atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat mengakibatkan banyak
masalah. Penyakit ini seringkali menimbulkan gejala-gejala klinis yang beragam
akan tetapi gejala-gejala yang sering terjadi yaitu wajah yang tidak simetris,
kelopak mata tidak bisa menutup dengan sempurna, gangguan pada pengecapan,
serta sensasi mati rasa pada salah satu bagian wajah. Pada kasus yang lain juga
terkadang disertai dengan adanya hiperakusis (sensasi pendengaran yang
berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut
terjadi mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari. Keluhan yang terjadi
diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai
infeksi. Selain itu juga terjadi kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi
menghilang, Tampak seperti orang letih, Hidung terasa kaku terus - menerus, sulit
berbicara, sulit makan dan minum, sensitive terhadap suara (hiperakusis), salivasi
yang berlebih atau berkurang, pembengkakan wajah, berkurang atau hilangnya
rasa kecap, air liur sering keluar, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata
bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya.(13)

Gambar 1. Penderita bell’s palsy

Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini
yaitu, pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun
tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak
mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan
(lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak matanya maka bola mata akan
tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila
berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui sisi mulut yang lumpuh.
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi
lesi.(14,15)
a. Lesi di luar foramen stylomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar
pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang, lipatan
kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak
dilindungi maka aur mata akan keluar terus menerus.(14)
b. Lesi di canalis facialis (melibatkan chorda tympani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus,
ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan
salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah
menunjukkan terlibatnya intermedius nerve, sekaligus menunjukkan lesi di daerah
antara pons dan titik di mana chorda tympani bergabung dengan facial nerve
(N.VII) di canalis facialis.(16)
c. Lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus,
lesi di canalis facialis, ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus. Lesi
di canalis facialis, lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam
liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di tympani membrane
dan conchae. (15)
e.Lesi di daerah meatus acusticus interna
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di
canalis facialis, lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi, lesi di tempat yang lebih
tinggi lagi, ditambah dengan tuli sebagai akibat dari terlibatnya vagus nerve (N.X).
(16)
f. Lesi di tempat keluarnya facial nerve (N.VII) dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya trigeminus nerve (N.V), vagus nerve (N.X), dan kadang-kadang juga
abducens nerve (N.VI), accessory nerve (N.XI), dan hypoglossal nerve (N.XII).(14)

II. 6 DIAGNOSA
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya
kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab
lain dad kelumpuhan n. fasialis perifer (1,10,11)
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan
derajat kerusakan n. fasialis sbb:(4,17,18)
1) Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah
diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan
patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis ireversibel.
2) Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur
kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.
3) Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-
otot wajah.
4) Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap
dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asant dan rasa pahit (pil
kina). Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang
sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap
pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n.
fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
5) Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di letakkan di
belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas
rembesan air mata pada kertas filter; berkurang atau mengeringnya air mate
menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. genikulatum

II.7 DIAGNOSA BANDING


1.  Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai
dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi : (19)
·         Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang
telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-
langit) atau lidah
·         Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang
terkinfeksi
·         Kesulitan menutup satu mata
·         Sakit telinga
·         Pendengaran berkurang
·         Dering di telinga (tinnitus)
·         Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
·         Perubahan dalam persepsi rasa

2. Miller Fisher Syndrom


Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang
jarang dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated
Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa
opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom
didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan
kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan
kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada
Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan
rasa kebas, pusing dan mual. (19)
 

II.8 TATA LAKSANA


1) Istirahat terutama pada keadaan akut
2) Medikamentosa :
Prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus
BP yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi
udem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari
sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
(2,20,21,18,22)

3) Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan
pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang
lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama
5 menit pagi-sore.(7)
4) Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intrakranial(8,22,23 )
Tindakan operatif dilakukan apabila :
 Tidak terdapat penyembuhan spontan
 Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

II.9 KOMPLIKASI
1. Crocodile tear phenomenon.

Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang
salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke
kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.(19)

2. Synkinesis

Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri.
selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata,
maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma,
atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf
yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
(24)

3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme

Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan
tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal
hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi
lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi
ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan
atau 1-2 tahun kemudian.(25)

II.10 PROGNOSIS
Penderita Bell’s Palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah (26) :
 Usia di atas 60 tahun
 Paralisis komplit
 Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh
 Nyeri pada bagian belakang telinga
 Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik yaitu sekitar 80-90% penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tiga bulan tanpa ada
kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang
40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.
Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan
peluang 10-15% antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika
tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan
gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile, tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara
parsial dibanding penderita non diabetik dan penderita DM
l e b i h s e r i n g k a m b u h d i b a n d i n g y a n g n o n D M . H a n y a 23 %
kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy k a m b u h
pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang
k a m b u h ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
BAB III
RINGKASAN

Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Penyebab kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang
belum diketahui secara pasti. Umumnya dapat dibagi menjadi Kongenital,
Didapat. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain :
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetik.(4,8) Penyakit ini seringkali menimbulkan
gejala-gejala klinis yang beragam akan tetapi gejala-gejala yang sering terjadi
yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak bisa menutup dengan
sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa pada salah satu
bagian wajah. Pada kasus yang lain juga terkadang disertai dengan adanya
hiperakusis (sensasi pendengaran yang berlebihan), telinga berdenging, nyeri
kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut terjadi mendadak dan mencapai
puncaknya dalam dua hari. Keluhan yang terjadi diawali dengan nyeri pada
bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai infeksi. Selain itu juga terjadi
kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi menghilang, Tampak seperti orang
letih, Hidung terasa kaku terus - menerus, sulit berbicara, sulit makan dan minum,
sensitive terhadap suara (hiperakusis), salivasi yang berlebih atau berkurang,
pembengkakan wajah, berkurang atau hilangnya rasa kecap, air liur sering keluar,
air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap
cahaya.(13)
  

DAFTAR PUSTAKA

1.   Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta


neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2.  Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy,“ http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy-
html” (diakses tanggal 11 desember 2011)
3.   Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy, http://emedicine.medscape.com/
article/1146903-overview#a0156” ”(diakse tanggal 22 Desember 2011).
4.    Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-
palsy-case-report/” (diakses tanggal 11 desember 2011)
5.   Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6.    Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”,
(diakses tanggal 12 Desember 2011)
7.   Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8.   Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy, http://coolhendra.blogspot.com/2010
.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html (diakses tanggal 12 desember 2011)
9.   Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2
10.  Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat, 1985 : 311-17

Anda mungkin juga menyukai