Anda di halaman 1dari 15

KEPERAWATAN

MEDIKAL MEDAH II
LAPORAN MAKALAH SEMINAR
PERAWATAN PASIEN YANG MENJALANI DIALISIS GINJAL
(DIALISIS PERITONEAL)

Dosen Fasilitator :
Ns. Bayu Saputra, M.Kep

Disusun Oleh :
Kelompok 2

1. Nila Sari (18031029) 10. Raja Elisa Zalni (19031064)


2. Yustika Andriani (19031043) 11. Annisa Purnama Asri (19031066)
3. Wahyu Alfin Khoir (19031049) 12.April Lia Listiyani (19031067)
4. Harmilla Rezky (19031050) 13. Yulna Azeri (19031068)
5. Azzahrotul Humaira (19031051) 14. Armila Dwitalara (19031069)
6. Fahrul Izza Mei Hendra (19031053) 15. Miftahul Hasana (19031074)
7. Syafira Intantry (19031054) 16. Siti Maisarah (19031075)
8. Rizka Devi Rahmayani (19031055) 17. M. Ramadhani (19031076)
9. Poppy Rafita (19031058) 18. Radja Siti Nur Aisyah (19031077)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKes HANG TUAH PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah seminar kelompok pada mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II. Di dalam makalah ini kami akan membahas tentang “Perawatan
Pasien yang Menjalani Dialisis Ginjal (Dialisis Peritoneal)”.
Dan kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah ikut serta dalam
menyelesaikan makalah ini. Kami juga memohon maaf apabila terdapat kesalahan serta
kekurangan dalam penulisan dan penyampaian informasi nantinya.
Kami juga mengharapkan kritikan dan saran agar terciptanya komunikasi yang baik
dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pekanbaru, 07 Juli 2021

Kelompok 2 B

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2
1.3 Manfaat Penulisan .............................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi Dialisis Peritoneal ................................................................................. 3
2.2 Klasifikasi Dialisis Peritoneal ............................................................................. 4
2.3 Fisiologi Dialisis Peritoneal ................................................................................ 4
2.4 Tujuan Dialisis Peritoneal ................................................................................... 5
2.5 Manfaat Dialisis Peritoneal ................................................................................. 5
2.6 Indikasi dan Kontraindikasi Dialisis Peritoneal ................................................... 6
2.7 Waktu Dialisis Peritoneal ................................................................................... 6
2.8 Kelebihan dan Kekurangan Dialisis Peritoneal .................................................... 7
2.9 Komplikasi Dialisis Peritoneal ............................................................................ 8
2.10 Alat dan Cara Dialisis Peritoneal ........................................................................ 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 11
3.2 Saran ................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prevalensi penderita penyakit ginjal kronik di Indonesia tergolong tinggi. Data
dari Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) diperkirakan terdapat 70.000 penderita
penyakit ginjal kronik di Indonesia dan angka ini akan terus meningkat setiap tahunnya.
Jumlah penderita penyakit ginjal kronik pada tahun 2011 sejumlah 22.304 orang yang
terdiri dari 15.353 pasien baru, 16.951 pasien aktif menjalani HD dan pasien
menggunakan CAPD sebanyak 202 orang. Sedangkan tahun 2012 terjadi peningkatan
29% dari tahun 2011 menjadi 28.782 orang yang terdiri dari 19.621 pasien baru, 9.161
pasien aktif menjalani HD, dan pasien menggunakan CAPD sebanyak 140 pasien.
Terapi pengganti ginjal, berupa dialisis dan transplantasi ginjal merupakan satu-
satunya cara untuk mempertahankan fungsi tubuh pada kondisi penyakit ginjal kronik.
Dialisis dapat dilakukan dengan hemodialisis dan peritoneal dialisis. Peritoneal Dialisis
dapat berupa Intermitten Peritoneal Dialysis (IPD), Continous Cyclic Peritoneal Dialysis
(CCPD), dan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Di Indonesia peritoneal
dialisis yang tersedia adalah Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis (CAPD) yang
relatif baru.
CAPD menggunakan membran peritoneal pasien dengan mekanisme kerja yaitu
cairan dialisis dimasukkan kedalam rongga peritoneal menggunakan kateter yang terbagi
menjadi dua cabang yang akan masuk dan keluar dari peritoneal dan dibiarkan selama
empat hingga enam jam untuk mencapai keseimbangan. Dialisat kemudian dibuang dan
digantikan dengan fluida dialisis yang baru. Perubahan konsentrasi glukosa pada dialisat
akan mengubah osmolaritas dan hal ini mengatur perpindahan air secara osmosis dari
darah ke dialisat.Terapi dialisis yang efektif harus disertai intervensi diet dan
farmakologis, yang memerlukan tingkat kepatuhan yang tinggi dari pasien.Pilihan
menggunakan CAPD pada pasien dengan diagnosis PGK karena tehnik yang relatif
sederhana dan dapat dilakukan sendiri dirumah.CAPD ini juga dapat mengurangi biaya
transportasi yang bisa dikeluarkan untuk melakukan perjalanan menuju pusat
hemodialisis serta penggunaan fasilitas rumah sakit/mesin hemodialisa.

1
1.2 Tujuan
a. Umum : mahasiswa dapat memahami mengenai dialisis peritoneal ( CAPD) dan
menerapkan penggunaan dalam kehidupan sehari-hari
b. Khusus :
 Mahasiswa mampu menuliskan pengertian dialisis peritoneal
 Mahasiswa mampu menuliskan jenis dialisis peritoneal
 Mahasiswa mampu menuliskan tujuan dilakukannya CAPD
 Mahasiswa mampu menuliskan manfaat, indikasi dan kontraindikasinya
 Mahasiswa mampu menuliskan kelebihan kekurangan CAPD
1.3 Manfaat
Diharapkan dengan di buatnya makalah ini dapat memaparkan mengenai CAPD beserta
cara dilakukan untuk di praktekan dalam dunia pekerjaan

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal (DP) adalah suatu proses dialisis menggunakan rongga perut
sebagai penampung cairan dialisat dan peritoneum sebagai membran dialisis
semipermeabel. Melalui membran ini, produk buangan akan berdifusi ke cairan dialisat
dan cairan tubuh berlebih akan dikeluarkan secara osmosis akibat adanya agen osmotik
pada cairan dialisat.
DP telah digunakan oleh sekitar 170.000 pasien penyakit ginjal kronik tahap akhir
di seluruh dunia, atau sekitar 8% populasi pasien yang memerlukan dialisis. 1DP
memiliki sejumlah keuntungan dibandingkan hemodialisis (HD), setidaknya pada dua
atau tiga tahun pertama terapi. Pertama, DP merepresentasikan pengambilan zat buangan
dan cairan tubuh berlebih secara “perlahan”, kontinu, dan “fisiologis”. DP tidak
memerlukan akses vaskular seperti pada HD dan tidak ada kontak antara membran
dengan darah sehingga stimuli katabolik minimal. Fungsi renal residual terjaga lebih baik
pada DP dibandingkan dengan HD.
Syarat mutlak DP adalah pasien dan keluarga harus kompeten untuk melakukan proses
DP secara mandiri. Apabila hal tersebut terpenuhi, satu-satunya kontraindikasi DP adalah
adanya defek diafragmatik luas, adhesi peritoneal, hernia abdominal yang tidak dapat
dioperasi, serta infectious bowel disease.
Terdapat dua prinsip utama pengaturan zat terlarut (solute) dan transpor cairan
melewati membran peritoneum pada DP, yaitu difusi yang didorong oleh gradien
konsentrasi dan ultrafiltrasi yang didorong oleh gradien tekanan hidrostatik/osmotik.
Penahan (barrier) yang memisahkan plasma di kapiler peritoneum dengan cairan di
kavum peritoneum adalah dinding kapiler dan interstisium. Bagi air dan solute ukuran
besar, penghalang utama transpor adalah dinding kapiler, sedangkan untuk solute ukuran
kecil, interstisium memegang peranan sebanyak sepertiga dari resistensi difusi.
Permeabilitas dinding kapiler dapat digambarkan sebagai three-pore model transpor
membran

3
2.2 Klasifikasi Dialisis Peritoneal
a. Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Memungkinkan pasien untuk menangani prosedur dirumah dengan kantung dan aliran
gravitasi, memerlukan waktu lama pada malam hari, dan total 3-5 siklus harian/ 7 hari
seminggu.
b. Automated Peritoneal Dialysis (APD)
APD sama dengan CAPD dalam melanjutkan proses dialysis tetapi berbeda pada
tambahan mesin siklus peritoneal. APD dapat dilanjutkan dengan siklus CCPD, IPD
dan NPD.
c. Continous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD)
CCPD merupakan variasi dari CAPD dimana suatu mesin siklus secara otomatis
melakukan pertukaran beberapa kali dalam semalam dan satu siklus tambahan pada
pagi harinya. Di siang hari, dialisat tetap berada dalam abdomen sebagai satu siklus
panjang.
d. Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD)
IPD bukan merupakan lanjutan prosedur dialisat seperti CAPD dan CCPD. Dialysis
ini dilakukan selama 10-14 jam, 3 atau 4 jam kali per minggu, dengan menggunakan
mesin siklus dialysis yang sama pada CCPD. Pada pasien hospitalisasi memerlukan
dialysis 24-48 jam kali jika katabolis dan memerlukan tambahan waktu dialisat.
e. Nightly Peritoneal Dialysis (NPD)
Dilakukan mulai dari 8-12 jam misalnya dari malam hingga siang hari.

2.3 Fisiologi Dialisis Peritoneal


Pada CAPD terdapat tiga proses yang terjadi secara bersamaan, yaitu difusi,
ultrafiltrasi, dan absorpsi cairan.
1. Difusi
Partikel terlarut yang mengandung toksin uremik (ureum, kreatinin, kalium, dll.)
berdifusi dari pembuluh kapiler peritoneum menuju cairan peritoneal (dialisat).
Sedangkan, glukosa atau bikarbonat pada cairan dialisat berdifusi dari arah
sebaliknya. Proses keberhasilan difusi pada CAPD bergantung pada beberapa
faktor, seperti gradien konsentrasi antara dua cairan, luas permukaan peritoneum,

4
resistensi membran peritoneum, berat molekul partikel terlarut yang berdifusi,
mass transfer area coefficient (KoA), dan aliran darah peritoneal.
2. Ultrafiltrasi
Pada dialisis, pembuangan kelebihan cairan pada tubuh (ultrafiltrasi) merupakan
faktor penting. Pada CAPD, proses ini tercapai dengan menambahkan agen
osmotik pada cairan dialisis seperti halnya dextrose, asam amino, dextran,
sehingga dijumpai perbedaan gradien osmotik antara kapiler peritoneal dan cairan
peritoneum. Pada CAPD, proses ultrafiltrasi akan terus berlangsung hingga
cairan dialisis berubah menjadi isotonik.
3. Absorpsi
Cairan Absorpsi cairan dari rongga peritoneal terjadi melalui drainase aliran
limfatik dengan laju absorpsi yang konstan. Laju absorpsi peritoneal sekitar 1-2
ml/min. Faktor yang memengaruhi laju absorpsi cairan pada peritoneal antara lain
tekanan hidrostatik intraperitoneal dan efektivitas saluran limfatik.

2.4 Tujuan Dialisis Peritoneal


Dialisis peritoneal khususnya dilakukan untuk klien dengan penyakit ginjal yang
berat. Tujuan dari dialisis peritoneal ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksin serta
limbah hasil metabolisme dalam tubuh. Selain itu, tujuan dari dialisis peritoneal ini juga
untuk mengembalikan keseimbangan cairan yang berlebihan, dan memulihkan
keseimbangan elektrolit.

2.5 Manfaat Dialisis Peritoneal


DP memiliki sejumlah keuntungan dibandingkan hemodialisis (HD), setidaknya
pada dua atau tiga tahun pertama terapi. Pertama, DP merepresentasikan pengambilan
zat buangan dan cairan tubuh berlebih secara “perlahan”, kontinu, dan “fisiologis”. DP
tidak memerlukan akses vaskular seperti pada HD dan tidak ada kontak antara
membrane dengan darah sehingga stimuli katabolik minimal. Fungsi renal residual
terjaga lebih baik pada DP dibandingkan dengan HD.

5
2.6 Indikasi dan Kontraindikasi Dialisis Peritoneal
Indikasi utama dilakukan dialysis peritoneal adalah gagal ginjal akut, gagal ginjal
kronis, bayi dan anak-anak, pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik pada
hemodialisis, pasien dengan akses vascular sulit. Sedangkan kontraindikasi dilakukannya
dialysis peritoneal dibagi menjadi 2 yaitu, kontraindikasi absolute CAPD dan
kontraindikasi relative CAPD, seperti pada tabel dibawah :
Kontraindikasi Absolut CAPD Kontraindikasi Relatif CAPD
1. Hilangnya fungsi peritoneal, akibat
adhesi abdomen yang luas yang
1. Ostomi, hernia abdomen, riwayat
membatasi aliran dialisat seperti pada
pembedahan multiple
riwayat operasi atau penyakit
peradangan usus

2. Infeksi dinding abdomen yang sedang 2. Frailty atau gangguan fisik


berlangsung (selulitis, abses, dan
peritonitis) 3. Higienitas diri yang buruk

3. Penyakit intestinum yang berat (IBD 4. Malnutrisi berat


dan iskemik) 5. Obesitas morbid

4. Gangguan Psikis yang berat 6. Tidak patuh terhadap pengobatan

5. Lingkungan rumah yang tidak sesuai


7. GERD atau ileus
untuk dilakukan CAPD

2.7 Waktu yang Tepat dilakukan Dialisis Peritoneal


Perawat harus mempersiapkan pasien untuk pemasangan kateter dengan cara
mengkaji risiko terjadinya gangguan pendarahan, pirau ventrikuloperitoneal, hipotensi
dan enterokolitis nekrotikan. Penjelasan tentang pra prosedur pemasangan kateter
dan informed consent, pemantauan reaksi anak terhadap pemberian sedasi dan pereda
nyeri, mempertahankan teknik steril pada saat memasang kateter dan memantau kondisi
anak.

6
Perawat perlu mengkaji hasil tes laboratorium terkait ureum, kreatinin dan
analisis kimia darah pasien, mengkaji status cairan, bising usus, komplikasi abdominal,
status nutrisi dengan cara meningkatkan asupan nutrisi dan penggantian protein yang
adekuat. Pemberian suasana yang nyaman pada anak dan keluarga untuk memberikan
waktu istirahat yang cukup serta melihat kemampuan anak untuk melakukan aktivitas
sehari-hari setelah pemasangan kateter. Memantau komplikasi seperti pendarahan
retroperitoneal akibat perforasi, perubahan warna abdomen dan tanda tanda
hipovolemia.Mengkaji tanda-tanda dehidrasi seperti takikardia; hipotensi; mata cekung;
penurunan perfusi perifer dan perubahan tingkat kesadaran.Memantau suhu anak karena
dapat terjadi hipotermia saat cairan dialisat yang dimasukkan tidak dihangatkan terlebih
dahulu. Memantau tanda-tanda gawat pernapasan akibat distensi abdomen, kelebihan
cairan dan hidrotorak.Mengkaji tanda-tanda hiperglikemia saat menggunakan larutan
dialysis dengan glukosa.
Memantau kepatenan kateter dialysis dan adanya kebocoran pada tempat insersi
dengan cara mengkaji oklusi kateter dengan memantau kemudahan aliran dengan
gravitasi, reposisi anak bila diperlukan untuk meningkatkan aliran seperti posisi miring,
tinggi atau rendahkan bagian kepala tempat tidur, memeriksa posisi dan adanya hambatan
pada selang dan tempatkan kantong cairan pada ketinggian yang tepat. Tempelkan kateter
dan selang dengan kassa dan plester steril.Pertahankan klem pada posisi yang tepat,
berikan antikoagulan dan lakukan irigasi kateter sesuai program.

2.8 Kelebihan dan Kekurangan Dialisis Peritoneal


Kelebihan
1) Tidak ada perubahan aliran darah drastis yang biasa nya terjadi di hemodialysis
2) Pasien gagal ginjal tidak perlu bolak balik kerumah sakit
3) Peralatan yang digunakan bersifat fortabel (mudah dibawa)
4) Penggunaan obat obatan lebih sedikit
5) Larangan ataupun batasan makanan lebih sedikit
6) Fungsi ginjal dapat bertahan lebih lama
7) Lebih baik bagi jantung dan pembuluh darah
8) Resiko terjadi demensia lebih rendah

7
Kekurangan

1) Pasien yang tidak disiplin akan terkena infeksi


2) Terjadi hernia
Pengguna CAPD akan menahan cairan dialisat di dalam rongga perut untuk waktu
yang lama. Kondisi ini memberikan tekanan pada dinding perut. Tekanan yang
terus-menerus akan menyebabkan kelemahan pada dinding perut. Akibatnya,
organ di dalam perut, seperti usus, dapat menonjol keluar dan membentuk hernia
3) Peningkatan berat badan
4) Dialisis tidak optimal

2.9 Kompilkasi Dialisis Peritoneal


Komplikasi CAPD :
1) Peritonitis
Diagnosis peritonitis dapat ditegakkan bila ditemukan manifestasi seperti nyeri
abdomen, demam, cairan dialisat yang keruh, hitung leukosit pada cairan dialisat
lebih dari 100 leukosit/mm3 dan hasil kultur cairan dialisat yang positif.
Peritonitis pada umumnya disebabkan oleh bakteri, baik gram positif maupun
gram negatif. Namun, dapat juga disebabkan oleh jamur dan bakteri tahan asam.
Sumber infeksi dapat disebabkan oleh kontaminasi akibat sentuhan (touch
contamination), infeksi yang berhubungan dengan kateter (exite site/ tunnel
infection), enteric, dan iatrogenic (bakteremia dan ginekologis).
Pencegahan Peritonitis Upaya pencegahan peritonitis dapat dimulai dengan :
a. Menjaga kedisiplinan dan kebersihan tangan pada tahap penggantian
cairan dialisat,
b. Pemberian antibiotik profilaksis seperti sefalosporin pada saat
pemasangan kateter,
c. Pemberian krim mupirocin pada exit-site yang dapat mencegah infeksi s.
Aureus atau penggunaan salep gentamicin yang terbukti mengurangi
infeksi pseudomonas dan gram negatif pada exit-site.

8
Komplikasi Non Infeksi CAPD :
1) Komplikasi Mekanik
Adanya cairan dialisat pada rongga peritoneum meningkatkan tekanan intra
abdomen. Peningkatan tekanan intraperitoneal berisiko menimbulkan hernia,
kebocoran perikateter, kebocoran diafragma, dan nyeri.
2) Komplikasi Metabolik
Absorpsi glukosa dari cairan dialisat CAPD sebanyak 500-800 kkal/hari,
menyebabkan risiko hiperglikemia pada pasien CAPD tanpa riwayat diabetes
sebelumnya. Komplikasi metabolik lain, seperti hiperlipidemia, hiponatremia,
hipokalemia, hiperkalsemia, hipermagnesemia, dan hipoalbuminemia juga dapat
timbul pada pasien yang menjalani CAPD.
3) Encapsulating Peritoneal Sclerosis
Encapsulating peritoneal sclerosis (EPS) adalah komplikasi yang jarang namun
berbahaya, dengan insiden kumulatif dari 0,5-4,4% yang meningkat seiring
dengan lamanya menggunakan CAPD. Pada kondisi ini, terjadi sklerosis masif
pada membran peritoneal, sehingga terjadi enkapsulasi jaringan intestinal. Hal ini
mengganggu fungsi saluran cerna, gangguan motilitas, gangguan absorpsi nutrisi,
ileus obstruktif, anoreksia, dan perburukkan klinis secara progresif.
4) Kenaikan Berat Badan
Pada dialisis peritoneal, cairan cuci darah yang digunakan umumnya mengandung
gula yang bisa diserap tubuh. Hal ini dapat meningkatkan asupan kalori pada
tubuh dan menyebabkan kenaikan berat badan

2.10 Alat yang digunakan dan Cara Melakukan


a) Alat dan Cairan
1. Kateter + Stylet (peritoneal dialysis catheter baxter R)
2. Cairan dialisa : perisolution Otsuka R atau dianealR1,5% (Baxter)
3. Mini surgical kit: dispossable syringe 1 ml, 2,5 ml dan 5 ml
4. Obat-obatan
 Premedikasi: Diazepam injeksi
 Anestesi lokal: Lidokain 2,5 %

9
 Substitusi: Larutan heparin, KCL 7,46%, betadin
5. Baju operasi steril
6. Handschoen steril
7. Masker dan tutup kepala
8. Alkohol 70%, kasa steril, plester
9. Doek steril
b) Pelaksanaan Dialisis perinoteal
1. Kateter ditanam kedalam peritoneum dan bagian internal kateter direkatkan
melalui pembentukan jaringan fibrus yang menstabilkan kateter dan
meminimalkan adanya lubang.
2. Selang penghubung disambungkan ke ujung internal dari insersi kateter ke
kantong plastik cairan dialisis.
3. Kantong dialisis diangkat setinggi bahu dan infus dengan gravitasi ke saluran
peritoneum (kurang lebih 10 menit sebanyak 2 liter).
4. Waktu yang dibutuhkan sekitar 4-6 menit.
5. Ketika waktu terakhir dialisis cairan dialirkan dari saluran peritoneum dengan
arah gravitasi. Drainase sebanyak 2 liter ditambah dengan ultrafiltrasi kurang
lebih 10-20 menit jika tetap berfungsi secara optimal.
6. Sesudah cairan dialisat dialirkan, sebuah kantong cairan dialisis segera
diinfuskan menggunakan teknik aseptik.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dialisis peritoneal (DP) adalah suatu proses dialisis menggunakan rongga perut sebagai
penampung cairan dialisat dan peritoneum sebagai membran dialisis semipermeabel. DP
telah digunakan oleh sekitar 170.000 pasien penyakit ginjal kronik tahap akhir di seluruh
dunia, atau sekitar 8% populasi pasien yang memerlukan dialisis. Dialisis peritoneal
khususnya dilakukan untuk klien dengan penyakit ginjal yang berat. Tujuan dari dialisis
peritoneal ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksin serta limbah hasil metabolisme
dalam tubuh. Terapi pengganti ginjal, berupa dialisis dan transplantasi ginjal merupakan
satu-satunya cara untuk mempertahankan fungsi tubuh pada kondisi penyakit ginjal
kronik. Dialisis dapat dilakukan dengan hemodialisis dan peritoneal dialisis. Peritoneal
Dialisis dapat berupa Intermitten Peritoneal Dialysis (IPD), Continous Cyclic Peritoneal
Dialysis (CCPD), dan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Di Indonesia
peritoneal dialisis yang tersedia adalah Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis
(CAPD) yang relatif baru. Sehingga Syarat mutlak DP adalah pasien dan keluarga harus
kompeten untuk melakukan proses DP secara mandiri dan harus konsisten dalam
melakukannya.
3.2 Saran
Bagi Keluarga pasien CAPD diharapkan agar mempertahankan dukungan yang telah
diberikan kepada pasien hemodialisis dan untuk keluarga yang masih rendah dalam
memberikan dukungannya agar dapat meningkatkan dukungannya terhadap pasien
hemodialisis dan sebagai perawat dalam memberikan intervensi dan melibatkan peran
keluarga saat melakukan asuhan keperawatan pasien hemodialisis. Semoga dengan
adanya makalah ini pembaca dapat mengetahui apa saja yang harus dilakukan pada
pasien CAPD

11
DAFTAR PUSTAKA
Lydia, Aida. (2020). Peran Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis dalam Pemerataan
Layanan Pengganti Ginjal di Indonesia. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Vol. 7, No. 3
September 2020
Joyce. M Black., & Jane. Hokanson Hawks. (2021). Keperawatan Medikal Bedah : Gangguan
Eliminasi, Sistem Ginjal dan Perkemihan. Singapore : Elsevier Inc.
Askandar. Tjokroprawiro., dkk. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Airlangga
University Press
Purnamawati, I. D., Yetti, K., & Hayati, H. (2015). Gambaran Perawat dalam Merawat Anak
yang Menjalani Terapi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di Rumah
Sakit Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Cikini Jakarta. Jurnal Persada Husada
Indonesia, 2(6), 62-72.
Adilistya, T., & Timan, I. S. (2018). Pemeriksaan Fungsi Membran Peritoneum pada Prosedur
Dialisis Peritoneal. Cermin Dunia Kedokteran, 45(11), 831-836.

12

Anda mungkin juga menyukai