Makalah KMB
Makalah KMB
Disusun Oleh :
Andrean 2014301098
Fadilla Aprilia Hanisa 2014301057
Timika Athaafiyah Olivia 2014301091
J. Tri Agustina 2014301063
Dita Febiyana 2014301054
REGULER 2 TINGKAT 2
Assalamualaikum Wr. Wb
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur atas segala nikmat yang Allah SWT. Karena
atas limpahkan rahmat kesehatan yang diberikan kepada kita semua, sehingga dapat
menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Kemudian, tidak pula kita hanturkan salam dan salawat kepada junjungan alam Nabi besar
MUHAMMAD SAW, keluarga, sahabat, para ulama dan seluruh muslim dan muslimat.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, saran dari dosen dan pembaca makalah ini sangat kami perlukan untuk kesempurnaan
makalah kedepannya.
Kami juga ingin mengucapkan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang membantu proses
penyusunan makalah ini. Demikian makalah yang dapat kami buat. Semoga dapat bermanfaat,
bagi para pembaca umumnya dan bagi kami
Sekian dan Terimakasih. Wassalamualaikum Wr. Wb
KATA PENGANTAR...........................................................................2
BAB I PENDAHULUAN......................................................................7
BAB II...................................................................................................10
B. Batu pigmen....................................................................................17
Manifestasi Klinis................................................................................20
A. Asimtomatik...................................................................................................................................20
B. Simtomatik......................................................................................20
C. Komplikasi......................................................................................21
Manifestasi Kolesistitis........................................................................21
Diagnosis Kolelitiasis...........................................................................23
A. Anamnesis...........................................................................................................................23
B. Pemeriksaan Fisik9.........................................................................23
C. Pemeriksaan Penunjang9...............................................................24
Diagnosis Kolesistitis......................................................................25
Diagnosis Banding..........................................................................28
Penatalaksanaan untuk Kolelitiasis..................................................29
A. Penatalaksanaan konservatif........................................................29
B. Penatalaksanaan Operatif.............................................................30
Kolesistektomi................................................................................31
Kolesistostomi.................................................................................33
Spincterotomi endoskopik.............................................................33
C. Komplikasi Kolesistektomi............................................................34
BAB III.................................................................................................40
METODE PENELITIAN...................................................................40
A. Pendekatan/Desain Penelitian...........................................................................................40
B. Subyek Penelitian...........................................................................40
E. Prosedur Penelitian........................................................................42
G. Keabsahan Data.............................................................................44
H. Analisa Data....................................................................................45
BAB IV.................................................................................................47
ASUHAN KEPERAWATAN.............................................................47
A. Hasil Penelitian...............................................................................47
b. Pemeriksaan Fisik..........................................................................56
c. Pemeriksaan penunjang................................................................62
e. Diagnosa Keperawatan..................................................................66
f. Perencanaan Keperawatan...........................................................72
BAB V...................................................................................................97
KESIMPULAN....................................................................................97
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................98
BAB I
PENDAHULUAN
Data World Health Organization (WHO) tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat 400 juta
penduduk di dunia mengalami Cholelithiasis dan mencapai 700 juta penduduk pada tahun 2016.
Cholelithiasis atau batu empedu terbentuk akibat ketidak seimbangan kandungan kimia dalam
cairan empedu yang menyebabkan pengendapan satu atau lebih komponen empedu.
Cholelithiasis merupakan masalah kesehatan umum dan sering terjadi di seluruh dunia,
walaupun memiliki prevalensi yang berbeda beda di setiap daerah (Arif Kurniawan , Yunie
Armiyati, 2017).
Gaya hidup adalah pola hidup setiap orang diseluruh dunia yang di ekspresikan dalam bentuk
aktivitas, minat, dan opininya. Secara umum gaya hidup dapat diartikan sabagai suatu gaya
hidup yang dikenali dengan cara bagaimana seseorang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa
yang penting bagi orang untuk menjadikan pertimbangan pada lingkungan (minat), dan apa
yang orang selalu pikirkan tentang dirinya sendiri dan dunia disekitarnya (opini), serta faktor-
faktor tertentu yang mempengaruhi gaya hidup sehat diantaranya adalah makanan dan olahraga.
Gaya hidup dapat disimpulkan sebagai pola hidup setiap orang yang dinyatakan dalam kegiatan,
membuat masyarakat Indonesia melakukan gaya hidup yang tidak sehat. Mereka banyak
mengkonsumsi makanan yang cepat saji (yang tinggi kalori dan tinggi lemak), waktu untuk
melakukan latihan fisik yang sangat terbatas, serta kemajuan teknologi yang membuat gaya
hidup masyarakat yang santai karena dapat melakukan pekerjaan dengan lebih mudah sehingga
kurang aktifitas fisik dan adanya stress akibat dari pekerjaan serta permasalaahan hidup yang
mereka alami menjadi permasalahan yang sulit mereka hindari. Semua kondisi tersebut dapat
meningkat karena perubahan gaya hidup, seperti misalnya banyaknya makanan cepat saji yang
dapat menyebabkan kegemukan dan kegemukan merupakan faktor terjadinya batu empedu
karena ketika makan, kandung empedu akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan empedu ke
di dalam usus halus dan cairan empedu tersebut berguna untuk menyerap lemak dan beberapa
Berdasarkan beberapa banyaknya faktor yang dapat memicu atau menyebabkan terjadinya
cholelitiasis adalah gaya hidup masyarakat yang semakin meningkat terutama masyarakat
dengan ekonomi menengah keatas lebih suka mengkonsumsi makanan cepat saji dengan tinggi
kolesterol sehingga kolesterol darah berlebihan dan mengendap dalam kandung empedu dan
menjadi kantung empedu dan dengan kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang akibat dari
salah konsumsi makanan sangat berbahaya untuk kesehatan mereka (Haryono, 2013).
B. Rumusan masalah
A. Definisi
Kolelitiasis adalah istilah medis untuk penyakit batu saluran empedu. Kolelitiasis
disebut juga sebagai batu empedu, gallstone, atau kalkulus biliaris. Batu empedu
merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu
yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran
empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya. Koledokolitiasis biasanya terjadi
saat batu empedu keluar dari kandung empedu dan masuk ke duktus biliaris komunis.
Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi pada dinding kandung empedu yang paling
sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis, yang
umumnya disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.4,7
B. Etiologi
Etiologi, faktor risiko dan patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-beda
menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen).
Batu kolesterol
Batu kolesterol berhubungan dengan sejumlah faktor risiko, antara lain
adalah:
Jenis kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan 4 :
1. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu.16
Suku bangsa
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu empedu
bisa berjalan dalam keluarga10. Di negara Barat penyakit ini sering dijumpai, di Amerika
Serikat 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu empedu lebih
sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga
sering ditemukan di negara lain selain AS, Chile dan Swedia.17
Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda. Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah
40-50 tahun.11,18
Obesitas
Sindroma metabolik terkait obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepar
dan merupakan faktor risiko utama untuk terbentuknya batu kolesterol.9
Kehamilan
Batu kolesterol lebih sering ditemukan pada wanita yang sudah mengalami lebih dari satu
kali kehamilan. Faktor utama yang diperkirakan turut berperan pada risiko ini adalah
tingginya kadar progesteron selama kehamilan. Progesteron dapat mengurangi
kontraktilitas kandung empedu, sehingga
menyebabkan terjadinya retensi yang lebih lama dan pembentukan cairan empedu yang
lebih pekat di dalam kandung empedu.9
Stasis cairan empedu
Penyebab lain dari stasis kandung empedu yang berhubungan dengan peningkatan risiko
batu empedu meliputi cedera medula spinalis, puasa jangka panjang dengan pemberian
nutrisi parenteral total saja, serta penurunan berat badan cepat akibat restriksi kalori dan
lemak yang berat (seperti diet, operasi gastric bypass).9
Obat-obatan
Terdapat sejumlah obat yang berhubungan dengan pembentukan batu kolesterol.
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau terapi kanker prostat dapat meningkatkan
risiko batu kolesterol dengan meningkatkan sekresi kolesterol empedu. Clofibrate dan
obat hipolipidemia fibrat lain dapat meningkatkan eliminasi kolesterol hepar hepatik
melalui sekresi biliaris dan nampaknya dapat meningkatkan risiko terbentuknya batu
kolesterol. Analog somatostatin nampak menjadi predisposisi terbentuknya baru empedu
dengan mengurangi proses pengosongan batu empedu.9,10
Faktor keturunan
Penelitian pada kembar identik dan fraternal menunjukkan bahwa sekitar 25% kasus batu
kolesterol memiliki predisposisi genetik. Terdapat sekurangnya satu lusin gen yang
berperan dalam menimbulkan risiko ini.19 Dapat terjadi suatu sindroma kolelitiasis terkait
kadar fosfolipid yang rendah pada individu dengan defisiensi protein transport bilier
herediter yang diperlukan untuk sekresi lecithin.15
Seperti pada kolelitiasis, penyebab kolesistitis juga berbeda menurut jenisnya. Faktor
risiko untuk terjadinya kolesistitis kakulosa umumnya serupa dengan kolelitiasis dan
meliputi jenis kelamin wanita, kelompok etnik tertentu, obesitas atau penurunan berat
badan yang cepat, obat-obatan (terutama terapi hormonal pada wanita), kehamilan dan
usia. Sementara itu, kolesistitis akalkulosa berhubungan dengan penyakit yang
berhubungan dengan stasis cairan empedu, seperti penyakit kritis, operasi besar atau
trauma/luka bakar berat, sepsis, pemberian nutrisi parenteral total (TPN) jangka panjang,
puasa jangka panjang, penyakit jantung (termasuk infark miokardium), penyakit sel
sabit, infeksi Salmonella, diabetes mellitus, pasien AIDS yang terinfeksi
cytomegalovirus, cryptosporidiosis, atau microsporidiosis. Pasien dengan
imunodefisiensi juga menunjukkan peningkatan risiko kolesistitis akibat berbagai
sumber infeksi lain. Dapat dijumpai sejumlah kasus kolesistitis idiopatik.10
D. Epidemiologi
Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di Amerika Serikat, dimana
batu empedu kolesterol ditemukan pada 70% dari semua kasus dan 30% sisanya terdiri
atas batu pigmen dan jenis batu dari sejumlah komposisi lain. Angka kejadian batu
saluran empedu ini nampak semaking meningkat seiring bertambahnya usia.
Diperkirakan bahwa sekitar 20% pasien dewasa yang berusia
lebih dari 40 tahun dan 30% yang berusia lebih dari 70 tahun menunjukkan adanya
pembentukan batu saluran empedu. Selama usia reproduksi, rasio wanita dibandingkan
pria adalah sekitar 4:1, sementara pada usia lanjut umumnya angka kejadian hampir
sama pada kedua jenis kelamin.
Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus sistikus
(kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya merupakan kasus kolesistitis akalkulosa.
Dari semua warga Amerika Serikat yang menderita kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga
menderita kolesistitis akut.
Patogenesis
Patogenesis Kolelitiasis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran
empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu
empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang
paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan
susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu
empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu
dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan
kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat
berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel
dan pembentukan mukus.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang
abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu.
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu
banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam- garam empedu dan
lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol
dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel
hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam
tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang
mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena
diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana
sebagai batu duktus sistikus.K3[7]
B. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat. Ada dua
bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium bilirubinat. Batu
pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras dan penampilan hijau
sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium
bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai
26%) dan banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat
dominan dan merupakan 40 sampai 60
% dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam.
Bilirubin pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, aktif disekresikan ke
empedu oleh sel liver. Kebanyakan bilirubin dalam empedu dibentuk dari konjugat
glukorinide yang larut air dan stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri dari bilirubin tidak
terkonjugasi yang tidak larut dengan kalsium.
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan mencakup sekresi
pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang
mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi
pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi
(anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya
insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan invasi bakteri sekunder dalam
batang saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris
Lumbricoides. E.coli membentuk B- glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan
bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat yang
tak dapat larut.
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :
Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit yang
berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi
unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase
yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu
mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja glukuronidase.
Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh bakteri,
bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55 % batu pigmen
dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung
dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang.
C. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini sering
ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk,
berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme
yang sama dengan batu kolesterol.
Patogenesis Kolesistitis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama
kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus
(10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus.
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu dan
terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah
dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung
empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat
menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak
faktor yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan
cairan empedu, kolesterol,
lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu
yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.21
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85 persen
pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu para
pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies
Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme –
organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan,
perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding
kandung empedu.22
Manifestasi Klinis
Manifestasi Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)
A. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri
abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50
% dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya,
adalah asimtomatik. Kurang dari 25
% dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan
gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data
yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimtomatik.
B. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri
lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan
atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan,
berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu,
dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan
kolik biliaris.
C. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan
sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan
dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus
sistikus atau dalam infundibulum. Massa yang dapat dipalpasi hanya ditemukan pada
20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan memerlukan terapi berupa kolesistektomi
terbuka atau laparoskopik.2,10
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan
atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila
timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala
klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan
sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias
Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi
kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala
pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental
atau penurunan kesadaran sampai koma.2
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena komplikasi
mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus koledokus disertai
dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan adanya obstruksi saluran
empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan
abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula Vateri sewaktu ada saluran umum
diantara duktus koledokus distal dan duktus pankreatikus dapat menyebabkan
pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan
menyebabkan ikterus obstruktif.20
Manifestasi Kolesistitis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah
kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan
suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit
tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan
inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar
60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan.8
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada
pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual.
Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume
vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir
selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung
empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi
subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi
terhenti (tanda Murphy).8
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri
secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga
distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda
rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan,
asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan
(bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya
batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan
diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya
berupa mual saja.8
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan
kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan
inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat
tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi
sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya.15
Diagnosis
Diagnosis Kolelitiasis
A. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan- lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai
mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
B. Pemeriksaan Fisik9
Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema
kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif
apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung
empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti
menarik nafas.
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba
hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3
mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan
timbul ikterus klinis.
C. Pemeriksaan Penunjang9
Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan
mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi
serangan akut.
Pemeriksaan radiologis
o Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto
polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,
kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas
yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
Gambar 4. Gambaran batu di dalam kandung empedu pada foto polos abdomen.
o Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
o Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik,
muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena
pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
Gambar 5. Hasil USG pada kolelitiasis (kiri); hasil kolesistografi pada kolesistitis
(kanan).
Diagnosis Kolesistitis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas,
demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar
antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada
hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 μmol/L (5mg/dl)] pada
45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum
(biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya
meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase
diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat
meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta
leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu
dipertimbangkan.
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat memberikan
konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung empedu
tanpa visualisasi kandung empedu. Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan
gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu
tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak.
Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada
obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran
adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya
keganasan pada kandung empedu.
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu,
batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai
90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah
cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda
sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu penegakkan diagnosis.
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih
besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan
perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa
tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan
dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil
yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.24
Gambar 6. CT Scan abdomen pada pasien kolesistitis akut menunjukkan adanya batu
empedu dan penebalan dinding kandung empedu.
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak
mudah. Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum
terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus
koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi
oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.8
Gambar 7. Kiri: Scintigrafi normal, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit;
Kanan: pada pasien kolesistitis, HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30
menit
Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat digunakan untuk
melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu empedu di duktus biliaris
komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi.
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada jaringan.
Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis kronik dimana
terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti neutrofil. Terdapat
gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff.
Pada kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan perforasi.
Diagnosis Banding
Diagnosis kolelitiasis dan kolesistitis harus dapat ditegakkan sesegera mungkin agar
dapat dilakukan penanganan sedini mungkin dan menghindari terjadinya peningkatan
morbiditas dan mortalitas pada pasien.
Untuk kolelitiasis, dapat dipertimbangkan kemungkinan adanya patologi intra-
abdominal maupun ekstra-abdominal yang menyebabkan nyeri abdomen bagian atas.
Beberapa penyakit yang perlu dipertimbangkan adalah penyakit ulkus peptik,
pankreatitis (akut atau kronik), hepatitis, dispepsia, gastroesophageal reflux disease
(GERD), irritable bowel syndrome, spasme esofagus, pneumonia, nyeri dada karena
penyakit jantung, ketoasidosis diabetik, apendisitis, striktura duktus biliaris,
kolangiokarsinoma, kolesistitis, atau kanker pankreas.
Untuk kolesistitis akut, dapat dipertimbangkan diagnosis banding untuk nyeri perut
kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal,
kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus,
perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada
wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis.
Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat
mengancam nyawa ibu dan bayi. Penyakit lain yang dapat dipertimbangkan antara lain
adalah aneurisma aorta abdominal, iskemia mesenterik akut, dan kolik biliaris.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk Kolelitiasis
A. Penatalaksanaan konservatif
Untuk penatalaksanaan konservatif dapat diberikan obat yang dapat menekan sintesis
dan sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol di usus. Ursodiol
merupakan jenis obat yang paling sering digunakan. Ursodiol (asam ursodeoksikolat)
diindikasikan untuk batu empedu radiolusens yang berdiameter kurang dari 20 mm pada
pasien yang tidak dapat menjalani kolesistektomi. Obat ini memiliki sedikit efek
inhibitorik pada sintesis dan sekresi asam empedu endogen ke dalam cairan empedu dan
nampaknya tidak mempengaruhi sekrresi fosfolipid ke dalam cairan empedu. Setelah
pemberian
dosis berulang, obat akan mencapai kondisi seimbang setelah kurang lebih 3 minggu.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian.
Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan umumnya berhasil bila batu
berukuran kecil dan murni merupakan batu kolesterol, serta memiliki angka
kekambuhan sebesar 50 % dalam 5 tahun.
Terapi lain yang dapat digunakan adalah Extarcorporal Shock Wave Lithotripsy
(ESWL). Litotripsi pernah sangat populer beberapa tahun yang lalu, namun saat ini
hanya digunakna pada pasien yang benar-benar dianggap perlu menjalani terapi ini
karena biayanya yang mahal. Supaya efektif, ESWL memerlukan terapi tambahan
berupa asam ursodeoksilat.
B. Penatalaksanaan Operatif
Sebaiknya tidak dilakukan terapi bedah untuk batu empedu asimptomatik. Risiko
komplikasi akibat intervensi pada penyakit asimptomatik nampak lebih tinggi dari risiko
pada penyakit simptomatik. Sekitar 25% pasien dengan batu empedu asimptomatik akan
mengalami gejala dalam waktu 10 tahun. Individu dengan diabetes dan wanita hamil
perlu menjalani pengawasan ketat untuk menentukan apakah mereka mulai mengalami
gejala atau komplikasi. Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan kolesistektomi
pada batu empedu asimpomatik, antara lain adalah:
Pasien dengan batu empedu besar yang berdiameter lebih dari 2 cm
Pasien dengan kandung empedu yang nonfungsional atau nampak mengalami
kalsifikasi (porcelain gallbladder) pada pemeriksaan pencitraan dan pada pasien yang
berisiko tinggi mengalami karsinoma kandung empedu
Pasien dengan cedera medula spinalis atau neuropati sensorik yang mempengaruhi
abdomen
Pasien dengan anemia sel sabit, dimana kita akan sulit membedakan antara krisis
yang menyebabkan nyeri dengan kolesistitis
Selain itu, terdapat sejumlah faktor risiko terjadinya komplikasi batu empedu yang dapat
menjadi indikasi untuk menawarkan kolesistektomi elektif
pada pasien, meskipun masih asimptomatik. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah:
Sirosis
Hipertensi porta
Anak-anak
Kandidat transplantasi
Diabetes dengan gejala minor
Pasien dengan kalsifikasi kandung empedu
Pada pasien kolelitiasis yang diputuskan akan menjalani terapi operatif, terdapat
beberapa teknik pembedahan yang dapat digunakan:
Kolesistektomi
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan pada pasien
yang mengalami gejala atau komplikasi akibat adanya batu empedu, kecuali usia atau
kondisi umum pasien tidak memungkinkan dilakukannya operasi. Pada beberapa kasus
empiema kandung empedu, dapat dilakukan drainase pus sementara dari kandung
empedu (kolesistostomi) sehingga memungkinkan dilakukannya stabilisasi, untuk
nantinya dilanjutkan dengan terapi kolesistektomi elektif.
Pada pasien dengan batu empedu yang dicurigai juga memiliki batu di saluran empedu,
dokter bedah dapat melakukan kolangiografi intraoperatif pada saat operasi
kolesistektomi. Duktus biliaris komunis dapat dieksplorasi menggunakan koledokoskop.
Bila ditemukan adanya batu duktus biliaris komunis, maka biasanya akan dilakukan
ekstraksi intraoperatif. Alternatif lain yang dapat ditempuh, dokter bedah dapat membuat
sebuah fistula antara bagian distal duktus biliaris dan duodenum di sebelahnya
(koledokoduodenostomi), sehingga batu dapat masuk ke dalam usus dengan aman.
Kolesistektomi yang pertama dilakukan pada akhir tahun 1800an. Pendekatan operasi
terbuka yang dikembangkan oleh Langenbuch masih menjadi teknik standar sampai
akhir tahun 1980an, dimana mulai diperkenalkan teknik baru berupa kolesistektomi
laparoskopik.
Kolesistektomi laparoskopik merupakan revolusi terapi minimal invasif, yang telah
mempengaruhi semua area praktek bedah modern. Saat ini, kolesistektomi terbuka
hanya dilakukan pada kondisi tertentu saja. pendekatan kolesistektomi terbuka dilakukan
menggunakan sebuah insisi subkostal kanan yang besar. Sebaliknya, kolesistektomi
laparoskopik menggunakan 4 insisi yang sangat kecil. Waktu pemulihan dan nyeri
paskaoperasi nampak jauh lebih rendah pada pendekatan laparoskopik.
Saat ini, kolesistektomi laparoskopik biasanya dilakukan di klinik rawat jalan. Dengan
mengurangi waktu rawat inap dan waktu yang terbuang selama pasien tidak dapat
bekerja, pendekatan laparoskopik juga dapat mengurangi biaya kolesistektomi.
Pada pedoman penggunaan klinis operasi laparoskopik saluran biliaris yang
dipublikasikan tahun 2010, Society of American Gastrointestinal and Endoscopic
Surgeons (SAGES) menyatakan bahwa pasien dengan kolelitiasis simptomatik dianggap
memenuhi syarat untuk operasi laparoskopik. Pasien kolelitiasis dengan kolesistektomi
laparoskopik tanpa komplikasi dapat dipulangkan di hari yang sama bila nyeri dan mual
paskaoperasi sudah terkendali dengan baik. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun
dapat menunjukkan risiko yang lebih besar untuk kembali dirawat di rumah sakit.
Selama melakukan kolesistektomi laparoskopik, seorang dokter bedah harus mengambil
semua batu yang tidak sengaja keluar melalui perforasi pada kandung empedu. Pada
beberapa kasus tertentu, mungkin perlu dilakukan perubahan menjadi operasi terbuka.
Pada pasien dengan batu empedu yang masuk dan hilang di cavum peritoneum,
direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan follow-up dengan USG selama 12
bulan. Sebagian besar kejadian komplikasi (biasanya terbentuk abses di sekitar batu)
akan terjadi dalam jangka waktu ini.
Komplikasi yang paling ditakuti dari kolesistektomi adalah kerusakan pada duktus
biliaris komunis. Kejadian cedera duktus biliaris nampak semakin meningkat sejak
dikembangkannya teknik kolesistektomi laparoskopik, namun kejadian dari komplikasi
ini sudah mulai berkurang seiring bertambahnya
pengalaman dan pelatihan yang dilakukan oleh para dokter bedah dalam bidang operasi
minimal invasif.
Kolangiografi rutin umumnya tidak banyak membantu untuk mencegah terjadinya
cedera duktus biliaris komunis. Namun, bukti menunjukkan bahwa teknik ini dapat
membantu mendeteksi cedera semacam ini pada masa intraoperasi.
Kolesistostomi
Pada pasien yang berada dalam kondisi sakit kritis dengan empiema kandung empedu
dan sepsis, operasi kolesistektomi dapat berbahaya. Pada kondisi ini, dokter bedah dapat
memilih untuk melakukan kolesistostomi, suatu prosedur minimal invasif yang
dilakukan dengan memasang pipa drainase di kandung empedu. Teknik ini biasanya
dapat memperbaiki kondisi klinis pasien. saat pasien sudah stabil, dapat dilakukan
kolesistektomi definitif secara elektif.
Pada beberapa kasus, kolesistostomi juga dapat dilakukan oleh spesialis radiologi invasif
menggunakan panduan dari CT-scan. Pendekatan ini tidak memerlukan anestesi dan
nampak bermanfaat untuk pasien dengan kondisi klinis yang tidak stabil.
Spincterotomi endoskopik
Bila kita tidak dapat segera melakukan pengambilan batu dalam duktus biliaris komunis,
maka dapat digunakan spincterotomi retrograde endoskopik. Pada prosedur ini, dokter
akan melakukan kanulasi duktus biliaris melalui papilla Vater. Menggunakan
spincterotome elektrokauter, dokter akan membuat insisi dengan ukuran sekitar 1 cm
melalui sphincter Oddi dan bagian intraduodenal dari duktus biliaris komunis, sehingga
menghasilkan suatu lubang yang dapat digunakan untuk mengeksktraksi batu.
Spincterotomi retrograde endoskopik terutama bermanfaat pada pasien dengan kondisi
sakit berat yang mengalami kolangitis ascenderen akibat
tersumbatnya ampulla Vater oleh batu empedu. Indikasi lain untuk melakukan prosedur
ini adalah sebagai berikut:
o Mengambil batu duktus biliaris komunis yang tertinggal selama dilakukannya
prosedur kolesistektomi sebelumnya
o Melakukan pembersihan batu preoperatif dari duktus biliaris komunis untuk
mengeliminasi kebutuhan akan eksplorasi duktus biliaris intraoperatif, terutama pada
kondisi dimana keahlian seorang dokter bedah dalam bidang eksplorasi laparoskopik
duktus biliaris masih terbatas atau pasien menunjukkan risiko tinggi untuk menggunakan
anestesia
o Mencegah rekurensi pankreatitis akut akibat batu empedu atau komplikasi lain dari
koledokolitiasis pada pasien dengan keadaan umum yang terlalu buruk untuk menjalani
kolesistektomi elektif atua pada pasien dengan prognosis jangka panjang yang buruk
Spincterotomi endoskopik intraoperatif (IOES) selama dilakukannya kolesistektomi
laparoskopik dapat menjadi terapi alternatif untuk spincterotomi endoskopik preoperatif
(POES) dilanjutkan dengan kolesistektomi laparoskopik; hal ini disebabkan karena
IOES memiliki efektivitas dan tingkat keamanan yang sama dengan POES serta dapat
mengurangi lamanya perawatan di rumah sakit.
C. Komplikasi Kolesistektomi
Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan paru lainnya,
pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan interna, fistula biliaris-
enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan absorpsi empedu dari
suatu sumber intraabdomen akibat kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus
koledokus oleh batu, bekuan darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk
mengurangi insidensi komplikasi dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi
intraoperatif sewaktu kolesistektomi.
Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat berhasil yang
menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala
pada 75 sampai 90 persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala
pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya gangguan ekstrabiliaris yang tidak
diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom pascagastrektomi,
pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian kecil pasien terdapat
gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang menyebabkan gejala persisten.
B. Terapi bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah
sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi
konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik
tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan
komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah
sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju
menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum
dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan
mengaburkan anatomi.
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien
yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema,
kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata,
hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit
atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24
sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang
menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan
intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis
keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang
diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan.28
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien
kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk
kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi
elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja,
resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan
dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung
empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit
berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang
terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain
waktu.
SOP PEMBERIAN OBAT SUPOSITORIA
Pemberian obat suppositoria adalah cara memberikan obat dengan memasukkan obat
melalui anus atau rektum dalam bentuk suppositoria.
Tahap Persiapan
1. Persiapan Alat
2. Obat supositoria dalam tempatnya
3. Pelumas larut air
4. Pengalas
5. Sarung tangan
6. Tissue
7. Bengkok
Persiapan Pasien
Persiapan Lingkungan
Tahap Pelaksanaan
C. Tahap Akhir
3. Dokumentasi hasil
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan/Desain Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan deskriptif kualitatif dalam bentuk review studi kasus untuk
penelitian deskriptif kualitatif adalah sebuah metode yang digunakan peneliti untuk
menemukan pengetahuan atau teori terhadap penelitian pada satu waktu tertentu (Mukhtar,
2013) dalam (Hulu, 2014). Pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan asuhan
evaluasi.
B. Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian keperawatan merupakan individu dengan
kasus yang akan diteliti secara rinci dan mendalam. Adapun kriteria subyek penelitian yang
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi target atau
jangkauan yang akan diteliti (Setiadi, 2013). Kriteria inklusi pada penelitian ini, meliputi :
Cholelitiasis.
Kriteria ekslusi adalah kriteria anggota populasi yang tidak bias dijadikan sebagai sampel
dalam penelitian (Setiadi, 2013). Kriteria ekslusi pada penelitian ini, meliputi :
3. Cholelithiasis adalah dikenal sebagai penyakit batu empedu merupakan penyakit yang di
dalamnya terdapat batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di
dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya. Cholelithiasis adalah material atau kristal
tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung empedu. Untuk menentukan penyakit dapat
dilihat dari rekam medis yang tercatat diruangan dengan dinyatakan pasien pre dan post oprasi
Cholelithiasis.
4. Asuhan keperawatan dengan kolelitiasis merupakan suatu proses tindakan keperawatan
dilakukan oleh seorang perawat yang diberikan secara langsung kepada pasien dengan
kolelitiasis dalam tatanan pelayanan kesehatan dengan langkah – langkah memberikan asuhan
Penelitian ini dilakukan dengan review di di ruang rawat Rumah Sakit Bhayangkara Makassar
dan di ruang rawat inap north wing enam Rumah Sakit Advent Bandung, pada klien yang
mengalami Cholelitiasis. Waktu penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 maret – 3 april
2020.
E. Prosedur Penelitian
internet
6. Mahasiswa melapor ke pembimbing untuk konsultasi mengenai kasus yang telah diperoleh
7. Setelah di setujui oleh pembimbing kemudian membuat review kasus dari kedua klien.
F. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data
Pada bab ini dijelaskan terkait metode pengumpulan data yang digunakan :
a. Wawancara
Wawancara selalu ada dua pihak yang masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda,
pihak satu sebagai pencari informasi dan pihak yang lain sebagi pemberi informasi (Sugiyono,
2009). Wawancara yang dilakukan pada klien maupun pada keluarga. Hasil wawancara berisi
tentang identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
Selain wawancara, teknik pengumpulan data yang lain adalah observasi dan pemeriksaan fisik.
Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara
langsung ke objek penelitan untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan (Sugiyono,
2009). Hasil dari observasi dan pemeriksaan fisik yaitu tentang mengenai keadaan umum
klien, respon klien terhadap asuhan keperawatan yang telah dilakukan sesuai dengan diagnosa
keperawatan yang ditemukan. Pada pemeriksaan fisik dengan teknik inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi pada tubuh klien untuk mengetahui kelainan yang dirasakan oleh klien.
c. Studi dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu (Sugiyono, 2009). Studi
dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen
untuk mendapatkan suatu data atau informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Studi dokumentasi dalam penelitian ini adalah dengan melihat hasil dari pemeriksaan
diagnostik dan data lain yang relevan, seperti hasil laboratorium, radiologi, ataupun
Alat atau instrument pengumpulan data menggunakan format asuhan keperawatan medikal
G. Keabsahan Data
Keabsahan data yang dilakukan peneliti dimaksudkan untuk membuktikan kualitas data atau
informasi yang diperoleh peneliti dengan melakukan pengumpulan data menggunakan format
asuhan keperawatan sehingga menghasilkan sebuah data yang akurat. Selain itu, keabsahan
data dilakukan dengan memperpanjang waktu pengamatan atau tindakan minimal selama tiga
triangulasi dari tiga sumber data utama yaitu klien, perawat dan keluarga klien yang berkaitan
dengan masalah yang teliti. Triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang
bersifat menggabungkan data dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang
9. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber berarti untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan
teknik yang sama. Misalnya melalui observasi dan wawancara, peneliti biasa menggunakan
obeservasi terlihat pada dokumen-dokumen klien atau rekam medis, dan pemeriksaan
penunjang yang dapat berupa foto atau gambar. Triangulasi wawancara dilakukan dengan
Triangulasi teknik berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda
untuk mendapatkan data dari sumber data yang sama. Dalam penelitian kualitatif, peneliti
dapat menggunakan wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik untuk mengecek kebenaran.
Selain itu, peneliti juga bisa menggunakan informan yang berbeda untuk mengetahui
kebenarannya contohnya seperti keluarga dan perawat.
Triangulasi waktu juga dapat mempengaruhi kreaditibilitas data. Data yang dikumpulkan
dengan teknik wawancara dipagi hari saat narasumber masih segar sehingga akan
memungkinkan data yang lebih valid. Data tetap dapat dikumpuklan di siang dan malam hari.
H. Analisa Data
Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan data sampai semua
data terkumpul. Analisa data dilakukan dengan cara mengemukakan fakta, fakta selanjutnya
membandingkan dengan teori yang ada dan selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan.
Teknik analisis yang digunakan dengan cara menarasikan jawaban-jawaban yang diperoleh
dari hasil interpretasikan dan dibandingkan dengan teori yang ada sebagai bahan untuk
Data dikumpulkan dari hasil WOD (wawancara, observasi, dokumen). Hasil ditulis dalam
bentuk catatan lapangan, kemudian disalin dalam bentuk transkrip (catatan terstruktur).
Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan dijadikan satu dalam
bentuk transkip dan dikelompokan menjadi data subyektif dan obyektif, dianalisis berdasarkan
Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan, maupun teks naratif. Kerahasiaan
15. Kesimpulan
Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan hasil-hasil
penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku kesehatan. Penarikan kesimpulan
dilakukan dengan metode induksi. Data yang dikumpulkan terkait dengan pengkajian,
Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian asuhan keperawatan dengan
cholelitiasis dalam bentuk review kasus yang telah dilaksanakan sampel klien 1 diambil
dari Karya Tulis Ilmiah Fernando Sipayung (2018) dengan judul Asuhan Keperawatan
rawat inap north wing enam Rumah Sakit Advent Bandung dan sampel klien 2 diambil
dari Karya Tulis Ilmiah Ratmiani (2019) dengan judul Asuhan Keperawatan pada klien
mengambil hasil laporan askep dari media internet dengan jumlah sampel sebanyak 2
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian pada klien 1 dilakukan di ruang rawat inap north wing
enam Rumah Sakit Advent Bandung dan pada klien 2 di ruang rawat Rumah
a. Pengkajian Keperawatan
7 Alamat Jl. Citarum Peuntas No. 75, Jl. Baji Pangasseng II No. 17
RT/RW: 03/14 Wangun sari
S = klien mengatakan
sakitnya terasadi ulu hati, bergerak dan batuk
kuadran 4
(Batu Empedu).
16 Riwayat Sosial Tidak ada data Tidak terjadi gangguan dalam
konsep diri, klien tidak
menarik diri akibat
penyakitnya atau menganggap
penyakitnya adalah beban.
Namun klien hanya
beranggapan bahwa
penyakitnya ini adalah sebuah
cobaan dan harus lebih sabar
dalam menghadapi.
kesehatan pada klien 1 dengan keluhan utama yaitu nyeri pada perut bagian
kanan atas kurang lebih 3 hari (paliatif), terasa bila sedikit digerakkan, atau saat
pada abdomen.
kuadran 4
aktivitas. Pada klien 1 dan 2 pola eliminasi saat dirumah baik dan dirumah
sakit baik. Pola makan dan minum klien 1 tidak ditemukan masalah pada klien
2 saat dirumah sakit pola makan klien menurun, tidak ditemukan mual dan
pada klien 1 dan 2 juga tidak memiliki alergi makanan ataupun minuman.
b. Pemeriksaan Fisik
Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Fisik Klien dengan Cholelitiasis
S : 37,9 ºC R : 22 x/menit
S : 38,4 ºC
R : 20x/menit
BB : 62 kg TB : 155 cm
TB : 163 cm BB : 67 Kg
Saturasi 97 %.
4. Status Gizi Tidak ada data Tidak ada data
5. Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi
a. Kepala 1.) Kepala : Simetris, rambut 1.) Kepala : Warna rambut
berwarna hitam, kulit kepala klien hitam sedikit beruban
bersih, bentuk kepala dan mudah dicabut.
mesocepal, benjolan (-), lesi
2.) Hidung : Penciuman
(-)
klien baik terbukti saat
2.) Mata : penglihatan baik, diciumkan minyak kayu
sklera berwarna putih, putih klien dapat menebak
konjungtiva sedikit anemis kalau itu aroma minyak
(+), ikterik (-) palpebral tidak kayu putih, serta tidak
oedem, pupil isokor, reflek terdapat adanya sekret yang
cahaya kanan/kiri: -/-, menghalangi penciuman.
pergerakan bola mata normal.
Inspeksi : hidung klien
3.) Hidung : simetris,
tampak simetris, tidak
penciuman baik, mukosa
tampak adanya pernafasan
hidung bersih, cuping
cuping hidung, tidak tampak
hidung (-). adanya sekret.
usus 8 x/menit
d. Punggung Tidak ada data Tidak ada data
h. Tulang Belakang
Ekstermitas
Palpasi
Berdasarkan tabel diatas, didapatkan data dari hasil pengkajian pada klien 1
kholesistitis.0.50mV,
R+S;2.40mV
Ambacyn iv / 12 Jam
paracetamol 1 gr IV.
4. Alprazolam 1 x 1 / Oral
Granon 1x 8 mg iv
Ulsidex 3 x 1 / Oral
5.
B6 3 x 1 / Oral
6.
Ursodeoxy 3 x 1 / Oral
7.
8.
9.
e. Diagnosa Keperawatan
Tabel 4.6 Diagnosa Keperawatan Pasien dengan Cholelitiasis
Klien 1 Klien 2
R = Nyeri pada
abdomen kanan
atas kuadran 4
T = Nyeri dirasakan
terus menerus
- klien tampak
mual
DO :
- Klien tampak
meringis memegang
perut
- Klien tampak mual
- Tanda-tanda vital :
TD : 130 / 90 mmHg
N : 82 x/menit
R : 22 x/menit
S: 38,4 0C
2. Rabu, Resiko tinggi Sabtu, Intoleransi Aktivitas
28.11.2018 gangguan pemenuhan berhubungan dengan
23 Maret 2019
nutrisi: kurang dari nyeri
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan dan luka post operasi
mual, muntah DS :
- Klien mengatakan
badannya terasa
DS: Klien mengatakan panas
sering muntah
muntah, dan - klien mengatakan
merasa mual” merasakan nyeri
pada luka bekas
operasi
DO: Pasien tampak
DO :
lemah,
- Badan klien teraba
TD: 120/70
panas
mmHg,
- Tampak luka post
N: 88X/mnt, operasi pada
SPO2: 99%, abdomen
- Leukosit : 14,6
10^3/uL
3. Rabu, Kurang pengetahuan Sabtu, Resiko Infeksi
28.11.2018 b/d kurangnya berhungan
23 Maret 2019
informasi dengan prosedur
invasive
(Pasca tindakan
DS: “Klien mengatakan pembedahan).
tidak tahu tentang DS :
penyakitnya, prosedur
pembedahan dan - Klien mengatakan
pengobatan karena sulit melakukan
tidak ada yang aktivitas
memberitahu, dan - Klien mengatakan
dokter memberi tahu selalu dibantu dalam
bahwa saya harus beraktivitas
DO :
- Klien tampak
terbaring Lemah
- Klien tampak
dibantu dalam
beraktivitas
29.11.2018
DS:”Pasien
mengatakan masih
terasa sakit di bagian
perut”
dan 3 diagnosa pada klien 2. adapun diagnosa yang sama antara klien 1 dan
Cholelitiasis
Klien 1
1 Rabu, Pre operasi Setelah dilakukan 1.1 Pantau tingkat
tindakan dan intensitas
28.11.2018 Nyeri b/d
keperawatan nyeri
inflamasi selama 1X24 jam
1.2 Ajarkan teknik
klien dapat relaksasi (nafas
kandung empedu,
mengkonpensasi dalam)
obstruksi/spasme nyeri dan
melaporkan nyeri 1.3 Beri kompres
duktus, iskemia hangat (hati-
berkurang atau
hilang dengan hati dengan
jaringan/nekrosis
kriteria hasil: klien yang
mengalami
1) Skala nyeri0-4 perdarahan)
bilirubin
total, bilirubin
direct, dan
kan berat badan indirect)
stabil
2.5 Jelaskan
4) Nilai
tentang
laboratorium pengontrolan
normal dan
(Leukosit, pemberian
konsumsi
bilirubin)
karbohidrat,
lemak
2.6 Anjurkan
mengurangi
makanan
berlemak dan
menghasilkan
2.7 Konsultasikan
dengan ahli gizi
untuk
menetapkan
kebutuhan
kalori
bagi klien
2.9Tawarkan
makan
sedikit, tapi
sering
sebelum makan
2.11 Sajikan
makanan dalam
keadaanhangat
2.12 Kolaborasi
cairan IV
perubahan
gaya hidup
dan ikut
serta dalam
pengobatan
visualisasi,
sentuhan
5) Observasi
tandatanda
vital
6)Kolaborasi
medis
dalam pemberian
analgetik
Kamis
5. 29.11.2018 Post operasi Tidak terjadi 1) Observasi
Resiko tinggi infeksi selama adanya
terjadinya infeksi 3X 24 jam tanda-tanda
berhubungan Setelah dilakukan
Tindakan infeksi seperti
dengan adanya
keperawatan, rubor, kalor,
port de entry
dengan kriteria edema, dan
hasil: fungsi laesa
4)Kolaborasi untuk
pemeriksaan
laboratorium
5) Merawat luka
dengan teknik
aseptic
6) Kolaborasi
dengan
pemberian
antibiotik
KLIEN 2
non farmakologi
1.4 Tingkatkan
istirahat
1.5Monitor vital
sign
1.6 Kolaborasi
dengan
dokter
pemberian
analgetik
2. Sabtu, Post operasi Setelah dilakukan 2.1 Bantu klien
Intoleransi tindakan untuk
23 Maret 2018
Aktivitas keperawatan Mengidentifika-
berhungan dengan selama 3x24 jam si aktifitas yang
nyeri dan luka post diharapka klien mampu
operasi mampu dilakukan
melakukan 2.3 Bantu untuk
aktivitas mengidentifika
si aktifitas
secara mandiri
yang disukai
dengan
Kriteria Hasil : 2.4Bantu klien
untuk membuat
- Berpartisipasi jadwal latihan
dalam aktivitas di waktu luang
fisik tanpa
disertai
peningkatan
tekanan darah,
nadi, dan RR
- Mampu me
Lakukan
aktivitas sehari-
hari tanpa
bantuan orang
lain
3. Sabtu, Post operasi Setelah dilakukan 3.1 Monitor tanda
Resiko Infeksi tindakan dan gejala
23 Maret 2019
berhubungan keperawatan infeksi
dengan prosedur selama 3x24 jam
3.2 Inspeksi
invasive (Pasca diharapkan keadaan luka
tindakan masalah teratasi
pembedahan) dengan 3.3Lakukan
perawatan luka
Kriteria Hasil :
3.4 Ajarkan cara
- Klien bebas dari menghindari
tanda dan gejala infeksi
infeksi
3.5Monitor
- Jumlah leukosit pemeriksaan
dalam batas leukosit
normal
- Klien mampu
menjaga perilaku
hidup sehat
G. Implementasi Keperawatan
Tabel 4.8 Implementasi Keperawatan Pasien dengan Cholelitiasis
Klien 1
28/11/18 1. Pre operasi Pre operasi
6) Kolaborasi medis :
15.45
pemberian analgesic,
injeksi paracetamol 1 gr
17.00
IV
17.30
28/11/18 2. Pre operasi Pre operasi
Resiko tinggi gangguan
pemenuhan nutrisi: kurang
dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual,
muntah tindakan keperawatan
sebagai berikut :
4) Memeriksakan
laboratorium (HB:
16.00 14.3g/dl, WBC: 14.010/μL,
bilirubin direct: 0.81
mg/dl, dan indirect: 0.31
mg/dl)
6) Menganjurkan mengurangi
makanan berlemak dan
menghasilkan gas
7) Mengkonslultasikan
dengan ahli gizi untuk
16.30 menetapkan kebutuhan
kalori harian dan jenis
makanan yang sesuai bagi
klien
9) Memberikan makanan
lunak rendah lemak dan
menganjurkan makanan
sedikit tapi sering
pengobatannya”
A. : Masalah Teratasi
3)Dibatasi jumlah
pengunjung P. :Kaji masalah lain.
POST OP
Resiko tinggi
terjadinya infeksi
berhubungan
dengan adanya
port de entry POST OP
29.11.18 2
1) Mengukur suhu tubuh
klien, inpeksi luka operasi
ruber (-), kalor (-), Edema
(-), dan fungsi laesa
2) Memberikan edukasi
S :”Mengatakan tidak ada demam”
O : Keadaan pasien lemah, wajah tampak
16.00 rileks, S : 37,10C, P : 20X/mnt,
N : 80X/mnt, TD:110/70mmHg
Saturasi 98%, 36,3 0C
A. :Masalah Teratasi
17.00 kepada klien dan keluarga P. :Kaji masalah lain.
agar tidak memegang luka
bekas operasi
4) Dilakukan pemeriksaan
CBC lengkap
5) Mengganti verban
dengan menggunakan
sarung tangan steril saat
mengganti verban luka
operasi
Klien 2
23/03/19
Nyeri Akut b.d agen
pencedera fisik (mis,Prosedur Hasil :
operasi) P : Nyeri bertambaha saat
14.45
1) Melakukan pengkajian klien banyak
14.53
3) Mengajarkan tentang Hasil :
tekhnik Non Farmakologi Klien menerima serta mengikuti latihan
(relaksasi nafas dalam) nafas
4) Menganjurkan kepada
klien untuk meningkatkan
istirahat
14.59
5) Memonitor Vital Sign
Hasil :
Hasil :
6) Melaksanakan pemberian Hasil :
obat analgetik
Santagesic 1 Ampul (2 cc)
25.03.19 2.
1)Melakukan pengkajian Hasil :
nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, P : Nyeri bertambah saat klien Miring kanan
16.10 karakteristik, durasi, miring kiri dan batuk
frekuensi, kualitas dan
Q : Klien mengatakan Nyeri seperti tertusuk -
faktor peripitasi.
tusuk
Hasil :
2)Mengobservasi reaksi non
Klien tampak menahan sakit
verbal dari
ketidaknyamanan
Hasil :
16.16
3)Mengajarkan tentang Klien mengatakan rasa nyeri klien sedikit
tekhnik Non Farmakologi berkurang
(relaksasi nafas dalam)
16.20
4)Menganjurkan kepada klien
Untuk meningkatkan Hasil :
istirahat Klien mengatakan paham dan sudah
melakukan
Hasil :
Santagesic 1 Ampul (2 cc)
Ranitihidine 1 Ampul (2 cc)
3.
1) Melakukan pengkajian
26.03.19 Hasil :
nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, P : Nyeri bertambah saat batuk
karakteristik, durasi,
11.32 frekuensi, kualitas dan Q : Klien mengatakan Nyeri seperti
faktor peripitasi. tertusuk
tusuk
R : Nyeri dirasakan pasa bagian abdomen
S : Skala nyeri 2 (ringan)
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu tubuh : 35,6 ºC
15.14
2.
1) Membantu klien untuk Hasil :
26.03.19
mengidentifikasi aktifitas Klien mengatakan sudah bisa ke kamar
yang mampu dilakukan
mandi secara mandiri, klien mengatakan
11.45 sudah bisa mengambil makan dan minum
secara mandiri.
3.
4) Memonitor pemeriksan
Hasil :
leukosit
15.38
14,6 10^3/uL
3.
Hasil :
BAB V
KESIMPULAN
Kolelitiasis adalah penyakit batu saluran empedu. Etiologi, faktor risiko dan patogenesis untuk
kolesistitis umumnya akan berbeda-beda menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen).
Faktor yang berhubungan dengan kejadian kolelitiasis adalah jenis kelamin, suku bangsa, usia,
Kolesistitis merupakan inflamasi pada dinding kandung empedu yang paling sering disebabkan oleh
obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis, yang umumnya disertai keluhan nyeri perut kanan
atas, nyeri tekan dan demam. Faktor risiko kolesistitis umumnya serupa dengan kolelitiasis.
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala (asimtomatik). Dapat
memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun
dispepsia, mual. Sementara keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan
tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Kolelitiasis dapat ditangani secara konservatif maupun secara operatif. Pada batu empedu yang
kolesistektomi, meskipun pada beberapa kasus dapat dipertimbangkan untuk meluruhkan batu
menggunakan terapi medikamentosa. Untuk kolesistitis, dapat diberikan terapi simptomatik, terapi
Tjokropawiro, 2012. (2015). Analisis Praktik. Juliana Br Sembiring, FIK UI, 2015
Wibowo. (2010). Journal Of Chemical Information and
Modeling. https://doi.org/10.1017/CB09781107415324.004