Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN

PARAMETER FISIK DAN KIMIA AIR

Asisten Lab: Teh Nita

Kelompok 3B

Firla Amalia Resmawan 140410190016


Deviana Aulia Putri 140410190032
Andika Trihardi 140410190042
Shelvie Raffiza Nasihin 140410190062
Haura Aqila Fadiyah 140410190074
Septian Pratama 140410190078
Ghefira Rahma Sativa 140410190096
Handina Alya Washfanisa 140410190108

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2021
PARAMETER FISIK DAN KIMIA AIR

1. PARAMETER FISIK

1.1 Kedalaman Air


Air merupakan bahan alam yang diperlukan untuk kehidupan manusia, hewan
dan tanaman yaitu sebagai media pengangkutan zat-zat makanan, juga merupakan
sumber energi serta berbagai keperluan lainnya (Arsyad, 1989). Sementara itu,
kedalaman menurut KBBI merupakan jarak dari permukaan sampai ke dasar. Maka
dari itu, kedalaman air dapat disimpulkan sebagai jarak dari permukaan air hingga ke
dasar air.
Kedalaman perairan dapat diukur menggunakan tongkat berskala dengan cara
memasukkan ujung tongkat kedalam badan perairan kemudian membaca skala pada
tongkat tersebut (Deviana dkk., 2019). Sementara itu, pengukuran kedalaman pada air
laut yang memiliki kedalaman lebih besar dapat dilakukan menggunakan echosounder
sigle beam, GPSmap dan menggunakan alat trasportasi berupa perahu motor dengan
kecepatan laju perahu 5-6 knot. Data hasil pengukuran bathimetri (pengukuran
kedalaman laut) harus dikoreksi terhadap kedudukan permukaan air laut agar diperoleh
kedalaman sebenarnya (Masrukhin, 2014).

1.2 Kecepatan Arus dan Debit


Arus adalah pergerakan secara vertikal atau horizontal massa air di suatu
perairan yang disebabkan karena adanya angin, perbedaan densitas air dan pasang surut
(Nontji, 2002). Gerakan arus sungai arahnya searus dengan aliran sungai menuju hilir
atau muara (Agustini, dkk., 2013). Menurut Handychang & Fany (2017), kecepatan
arus air dapat diukur dengan menggunakan alat current meter, dimana kecepatan arus
air akan dihitung dalam satuan (meter/detik). Kecepatan arus juga dapat dihitung
dengan menggunakan rumus V = s/t. Menurut Hadi & Radjawane, (2009), arus
memiliki peranan penting dalam menentukan kondisi suatu perairan. Pola dan
karakteristik arus yang meliputi jenis arus dominan, kecepatan dan arah serta pola
pergerakan arus laut menyebabkan kondisi suatu perairan menjadi dinamis. Pergerakan
arus berperan dalam membawa material-material serta sifat-sifat yang terdapat dalam
badan air. Pentingnya arus terutama berkaitan dengan aspek perairan itu sendiri seperti
biologi, kimia, dan polutan. Pada aspek biologi, arus berperan dalam distribusi biota.
Terutama bagi biota yang mempunyai kemampuan pergerakan yang lemah seperti
phytoplankton. Selain itu, arus juga mempunyai peran terhadap penyebaran pakan bagi
biota yang sifatnya menetap di perairan. Pada aspek kimia, arus perairan berperan bagi
distribusi unsur-unsur kimia dari satu tempat ke tempat lain. Demikian juga bagi aspek
penyebaran polutan adalah distribusi polutan dari satu tempat ke tempat yang lain
(Diposaptono & Budiman, 2006).
Debit adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu
penampang melintang sungai per satuan waktu yaitu meter kubik per detik (m3/s)
(Asdak, 2010). Debit air dapat diukur dengan menggunakan alat current meter atau
dengan menggunakan rumus dasar debit air menurut Asdak (2010), yaitu Q = AV.
Dengan mengetahui debit air suatu perairan kita dapat mengetahui jenis organisme apa
saja yang hidup di suatu perairan tersebut (Harnalin, 2010). Debit aliran dapat dijadikan
sebuah alat untuk memonitor dan mengevaluasi neraca air suatu kawasan melalui
pendekatan potensi sumber daya air permukaan yang ada (Finawan dan Mardiyanto,
2011). Perhitungan debit air juga dapat digunakan untuk mengetahui kapasitas daerah
aliran sungai wilayah kawasan terutama kawasan utama untuk melakukan analisis
sistem drainase pada saluran drainase primer dan sekunder (Wismarini, 2011).

Soal Perhitungan
1. Hitung jarang sungai (s) jika diketahui:
t = 5 s, V = 0,40 m/s
s=Vxt
s = 0,40 5
s=2m
Jadi, jarak sungai adalah 2 meter.

2. Hitung debit air sungai tersebut, jika diketahui:


D = 8 m, L = 12 m, V = 0,40 m/s
• A=LxD
A = 12 8
A = 96 𝑚2

• Q=AV
Q = 96 0,40
Q = 38,4 m3/s.
Jadi, debit air sungai tersebut adalah 38,4 m3/s.

1.3 Intensitas dan Penetrasi Cahaya


Intensitas cahaya (luminous intensity) adalah kuat cahaya yang dikeluarkan
oleh sebuah sumber cahaya ke arah tertentu, diukur dengan Candela (Satwiko, 2004).
Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa
cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan (Nyabakken,
1992). Penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organisme fotosintetik
(phytoplankton) dan mempengaruhi migrasi vertikal harian juga mengakibatkan
kematian bagi organisme tertentu (Herlina, 1987)
Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya kekeruhan air
serta kepadatan plankton suatu perairan. Intensitas cahaya merupakan kebutuhan dasar
dalam dinamika ekosistem perairan. Hampir semua energi yang mengontrol
metabolisme danau dan sungai berasal dari energi surya yang digunakan untuk proses
fotosintesis. Energi yang tersimpan dalam proses fotosintesis membentuk bahan
organik yang disintesis di dalam danau atau sungai (autochthonous) atau dalam daerah
aliran sungai kemudian dibawa ke danau atau sungai dalam berbagai bentuk
(allochthonous). Intensitas radiasi matahari yang sampai pada perairan akan
mempengaruhi alga dan fitoplankton yang berperan penting dalam proses fotosintesis
di perairan (Carpenter, 2009).
Bagi organisme air, intensitas cahaya dapat berfungsi sebagai alat orientasi
yang mendukung kehidupan organisme tersebut di habitatnya, yang mana ini akan
berakibat pada penetrasi cahaya. Kekeruhan pada perairan dapat berdampak pada
proses biologi yang ada dalam perairan seperti fitoplankton sulit untuk melakukan
fotosintesis. Kejernihan ini dapat diukur dengan menggunakan secchi disk. Prinsip
secchi disk adalah penentuan kecerahan air berdasarkan batas pandangan ke dalam air
untuk melihat warna putih yang berada di dalamnya. Semakin keruh suatu air maka
batas pandangnya akan semakin terbatas (Odum, 1994). Pada pengukuran, secchi disk
dicelupkan ke dalam air perlahan hingga tidak terlihat secchi disk lagi. Setelah itu dapat
diukur panjang secchi disk dari permukaan hingga kedalaman secchi disk tidak terlihat.
Kemudian, secchi disk diturunkan lagi sampai ke dasar perairan dan ditarik kembali ke
permukaan hingga secchi disk terlihat. Kecerahannya dapat diukur dengan rumus :

𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 + 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑎𝑚𝑝𝑎𝑘


𝐾𝑒𝑐𝑒𝑟𝑎ℎ𝑎𝑛 =
2

Jarak tampak adalah jarak dari permukaan perairan ditambah dengan


lempengan secchi disk yang terlihat, sedangkan jarak hilang adalah jarak antara
permukaan perairan sampai lempengan secchi disk (Hutapea et al., 2019).

Lux meter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur intensitas cahaya
dengan prinsip kerja mengubah intensitas cahaya yang datang menjadi arus listrik. Lux
meter memiliki 4 komponen utama yaitu photodiode, Mikrokontroler, pengkonversi
analog ke digital (Analog-Digital Converter/ADC), dan perada kristal cair (Liquid
Crystal Display/LCD). Photodiode berfungsi untuk menangkap setiap sinyal cahaya
yang diterimanya. Mikrokontroler merupakan alat yang mengerjakan instruksi-
instruksi yang diberikan, dimana instruksi ini disusun dalam bentuk program komputer.
ADC merupakan sebuah piranti yang mampu menerjemahkan besaran analog menjadi
bahasa digital yang banyak digunakan untuk pemrosesan data, komputasi, dan sistem
kontrol. LCD merupakan peraga elektronik yang menampilkan angka yang diterima
oleh ADC (Wibawa dan Putra, 2018).

(Ismail dkk, 2013)

1.4 Suhu
Suhu adalah ukuran derajat panas atau dingin suatu benda. Alat yang digunakan
untuk mengukur suhu disebut termometer. Suhu menunjukkan derajat panas benda.
Mudahnya, semakin tinggi suhu suatu benda, semakin panas benda tersebut. Secara
mikroskopis, suhu menunjukkan energi yang dimiliki oleh suatu benda. Setiap atom
dalam suatu benda masing-masing bergerak, baik itu dalam bentuk perpindahan
maupun gerakan di tempat berupa getaran. Makin tingginya energi atom-atom
penyusun benda, makin tinggi suhu benda tersebut. Suhu juga disebut temperatur,
satuan suhu adalah Kelvin (K). Skala-skala lain adalah Celcius, Fahrenheit, dan
Reamur (Kreith, 1991).
Suhu pada ekosistem perairan berfluktuasi baik harian maupun tahunan,
terutama mengikuti pola temperatur udara lingkungan sekitarnya, intensitas cahaya
matahari, letak geografis, penaungan dan kondisi internal perairan itu sendiri seperti
kekeruhan, kedalaman, kecepatan arus dan timbunan bahan organik di dasar perairan.
Suhu memiliki peranan yang sangat penting terhadap kehidupan di dalam air.
Kelarutan berbagai jenis gas dalam air serta semua aktivitas biologis di dalam perairan
sangat dipengaruhi oleh suhu. Sebagaimana diketahui bahwa meningkatnya suhu
sebesar 10°C akan meningkatkan laju metabolisme sebesar 2-3 kali lipat.
Meningkatnya laju metabolisme akan menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat,
sementara dilain pihak naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam
air menurun. Fenomena ini akan menyebabkan organisme air mengalami kesulitan
untuk respirasi (Satino, 2010).
Suhu pada perairan dapat diukur dengan termometer. Pengukuran suhu ini
diakukan dengan cara mencelupkan termometer yang sudah diikat dengan tali ke dalam
permukaan air dan ditunggu beberapa saat hingga termometer dapat menyesuaikan
dengan suhu permukaan laut. Termometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur
suhu sebuah benda (Lakitan, 2002). Termometer bekerja dengan memanfaatkan
perubahan sifat termometrik suatu benda ketika benda tersebut mengalami perubahan
suhu. Berbeda dengan pengukuran suhu pada perairan, pengukuran suhu udara
dilakukan dengan menggantung termometer di udara dan ditunggu hingga termometer
dapat menyesuaikan dengan suhu udara (Kreith, 1991).
Termometer memiliki dua metode pembacaan yaitu pembacaan secara analog
dan secara digital. Termometer yang dibaca menggunakan metode analog umumnya
disebut termometer analog. Termometer analog memiliki jenis yang beragam, salah
satunya adalah termometer raksa, yang merupakan sebuah alat ukur suhu berupa
tabung dengan air raksa di dalamnya. Air raksa ini akan bergerak naik atau turun sesuai
dengan keadaan suhu yang diterima oleh tabung. Selain pengukuran suhu yang
dilakukan secara analog, pengukuran suhu dapat dilakukan secara digital (Sudimanto,
2019). Namun, penggunaan dari termometer raksa ini memiliki kekurangan, yaitu
dapat pecah dalam penggunaannya sehari-hari dan efek merkuri yang sangat
merugikan bagi kesehatan (Darwis dkk, 2018).
Termometer digital merupakan alat ukur suhu yang dibuat khusus dalam bentuk
digital, dimana ia mampu memberikan tingkat akurasi yang tinggi dalam menyatakan
besaran suhu pada suatu benda, ruang, maupun zat. Termometer digital biasanya
memakai termokopel sebagai sensornya. Sensor tersebut berguna untuk membaca
perubahan nilai tambahan. Tidak seperti alat ukur suhu jenis lain, jenis yang satu ini
mampu memberikan akurasi nilai suhu yang jauh lebih tepat. Selain itu, juga memiliki
desain yang jauh lebih modern dengan bentuk yang sangat praktis untuk digunakan
atau dibawa kemana saja (Gugun, 2014). Darwis dkk. (2018) juga menyatakan bahwa
kelebihan dari termometer digital adalah lebih ramah lingkungan.
Termometer alkohol merupakan termometer yang menggunakan alkohol
sebagai media pengukur, yang merupakan alternatif dari termometer cairan raksa
dengan fungsi yang sama. Inti termometer alkohol tidak beracun dan akan menguap
dengan cukup cepat. Cairan yang dipergunakan dapat berupa etanol murni atau asetat
isoamyl, tergantung pada produsen dan pekerjaan yang mengadakan komunikasi
dengan suhu. Termometer alkohol terbuat dari bahan transparan karenanya cairan
alkohol harus terlihat dengan penambahan pewarna merah atau biru. Termometer ini
hanya dapat mengukur suhu badan makhluk hidup (manusia dan hewan) dan tidak
dapat mengukur yang tinggi suhunya di atas 78°C (Riyadi dkk, 2015).

Termometer digital Termometer raksa Termometer alkohol


(Arefin, 2013) (Delitala, 2014) (Pereira, 2020)
1.5 Tipe Substrat
Tipe substrat secara ukuran berdasarkan Skala Wentworth menurut Holme dan
McIntyre (1971) dalam Amrul, N. Z. M. H. (2004) dibagi menjadi batuan, pasir, lumpur
dan liat. Batuan dibedakan menjadi 4 yaitu batuan (boulder), batuan bulat (cobble),
batuan kerikil (pabble), butiran (granule). Pada pasir dibagi menjadi 5 yaitu pasir
paling kasar (very coarse sand), pasir kasar (coarse sand), pasir sedang (medium sand),
pasir halus (fine sand), pasir sangat halus (very fine sand). Setiap partikel substrat
memiliki karakteristik ukuran yang berbeda beda.

Nama Partikel Ukuran (mm)

Batuan (boulder) >256

Batuan bulat (cobble) 256 - 64

Batuan kerikil (pebble) 64 - 4

Butiran (granule) 4-2

Pasir paling kasar (very coarse sand) 2 -1

Pasir kasar (coarse sand) 1 - 0,5

Pasir sedang (medium sand) 0,5 - 0,25

Pasir halus (fine sand) 0,25 - 0,125

Pasir sangat halus (very fine sand) 0,125 - 0,0625

Lumpur (silt) 0,0625 - 0,0039

Liat (clay) <0,0039

Substrat batuan merupakan kawasan yang paling padat makroorganisme dan


memiliki keragaman fauna maupun flora yang paling besar dibandingkan tipe substrat
yang lain (Triatmodjo, 1999). Pada substrat pasir, makroorganismenya tidak setinggi
pada substrat batuan, dan kawasan ini biasanya merupakan ekosistem pesisir yang
sering dimanfaatkan manusia sebagai aktivitas rekreasi. Dijelaskan oleh Dahl (1952)
dan Salvat (1964) semakin besar arus/ombak akan semakin besar ukuran partikel
pasirnya dan membentuk deposit kerikil, bila arus/ombaknya kecil maka ukuran
partikelnya akan semakin kecil. Substrat berlumpur merupakan substrat yang sangat
halus. Tipe substrat ini dibandingkan dengan tipe substrat lain memiliki kandungan
bahan organik yang tinggi (Taqwa dkk., 2014). Tipe substrat liat memiliki unsur hara
yang sedikit dan sedikit adanya makrobentos karena partikelnya sulit ditembus (Arief,
2003). Biasanya pada suatu perairan tipe substratnya tidak hanya terdiri dari satu
substrat saja tetapi kombinasi dari beberapa tipe substrat. Misalnya pada sungai
biasanya terdiri dari 3 kombinasi yaitu pasir, lumpur, dan liat. Tipe substrat liat dan
lumpur paling banyak ditemukan di sungai arus lemah (Nyabakken, 1982).

1.6 Total Dissolved Solid


Total Dissolved Solid (TDS) atau padatan terlarut adalah padatan-padatan yang
mempunyai ukuran lebih kecil dari padatan tersuspensi. TDS menggambarkan jumlah
zat terlarut baik zat organik maupun anorganik yang terdapat pada sebuah larutan atau
perairan. TDS dinyatakan dalam satuan part per million (ppm) atau sama dengan
miligram per liter (mg/L) (Hersyah, 2017). Bahan-bahan terlarut pada perairan alami
tidak bersifat toksik, akan tetapi jika berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan
yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam air dan
akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis di perairan. Tingginya kadar TDS
apabila tidak dikelola dan diolah dapat mencemari badan air. Selain itu juga dapat
mematikan kehidupan akuatik, dan memiliki efek samping yang kurang baik pada
kesehatan manusia karena mengandung bahan kimia dengan konsentrasi yang tinggi
antara lain fosfat, surfaktan, ammonia, dan nitrogen serta kadar padatan tersuspensi
maupun terlarut, kekeruhan, BOD5, dan COD yang tinggi (Ahmad dan El-Dessouky,
2008).
Total Dissolved Solid (TDS) dapat diukur dengan menggunakan alat yaitu TDS
Meter. Pertama-tama, disiapkan terlebih dahulu TDS meter dan melakukan kalibrasi
agar hasil pengukuran yang didapatkan akurat. Kemudian disiapkan juga larutan
sampel yang akan diukur. Lalu, ditekan tombol “on” pada TDS meter dan dicelupkan
probe TDS meter ke larutan hingga angka digital pada alat tersebut bergerak.
Selanjutnya, ditunggu hingga pergerakan angka digital stabil dan tekan “hold”. Angka
yang muncul pada layar TDS meter adalah kadar ppm pada larutan sampel.

(Jamil, et al., 2021)


1.7 Daya Hantar Listrik (Konduktivitas)
Konduktivitas air adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk
meneruskan aliran listrik. Konduktivitas air dinyatakan dengan satuan mhos/cm atau
Siemens/cm. Berfungsi untuk mendeteksi besarnya konduktivitas air, karena air layak
minum memiliki nilai konduktivitas sebesar 42-500 mhos/cm, tetapi nilai
konduktivitas lebih dari 250 tidak dianjurkan karena dapat mengendap dan
menyebabkan batu ginjal (Khairunnas & Gusman, 2018).
Salinity Conductivity Temperature (SCT) meter

(Aldosky & Shamdeen, 2011)

Alat Conductivity Meter terdiri 2 komponen: (1) Unit (mesin) sebagai media
pengaturan dan pembacaan, (2) Conductivity probe (batang konduktivitas) sebagai
komponen pengukur. Refraktometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur
kadar/konsentrasi bahan terlarut. Prinsip kerja dari refraktometer adalah memanfaatkan
refraksi cahaya (Aldosky & Shamdeen, 2011)

1.8 Salinitas

Salinitas adalah jumlah total dissolved solids terutama mineral dan garam
inorganik terlarut yang terkandung dalam satuan massa larutan. Nilai salinitas
dinyatakan dalam g/kg yang umumnya dituliskan dalam ‰, ppt (part-per-thousand),
atau ppm (part-per-million) (Yihdego & Panda, 2017). Pengaruh salinitas pada proses
ekosistem tergantung pada banyak faktor, seperti konsentrasi garam, jenis garam,
durasi paparan (akut atau kronis) dan yang paling penting konteks lingkungan
(misalnya salinitas latar belakang alam, iklim dan komunitas biotik). Salinitas tinggi
dapat menyebabkan stress dan kematian pada hewan sementara pada tumbuhan
salinitas dapat mengurangi pertumbuhan, menghentikan reproduksi tanaman, dan
mengganggu penyerapan nitrogen (Berger et al., 2018).
Secara analog salinitas dapat diukur menggunakan refraktometer, dimana
memiliki prinsip pembiasan cahaya. Menurut Sembiring dkk. (2019) refraktometer
terdapat 3 jenis yaitu hand refraktometer, refraktometer imersi (refraktometer celup),
dan refraktometer ABBE. Tetapi refraktometer yang paling sering digunakan adalah
hand refraktometer. Pada hand refraktometer cara penggunaannya:
• Refraktometer dibersihkan terlebih dahulu dengan tisu ke arah bawah
• Refraktometer ditetesi dengan aquades atau larutan NaCl 5% pada bagian
prisma dan day light plate
• Refraktometer dibersihkan dengan kertas tissue sisa aquadest / NaCl yang
tertinggal
• Sampel cairan diteteskan pada prisma 1 – 3 tetes
• Skala kemudian dilihat ditempat yang bercahaya dan dibaca skalanya
• Kaca dan prisma dibilas dengan aquades / NaCl 5% serta dikeringkan dengan
tisu
• Refraktometer disimpan pada tempat yang kering

Menurut Afrianto (2008) salinometer merupakan alat yang mengukur salinitas


dengan cara mengukur kepadatan dari air yang akan dihitung salinitasnya berdasarkan
daya hantar listriknya. Cara pemakaian salinometer adalah:
• Mansukan air yang akan diukur salinitasnya kedalam gelas ukur volume 1000
ml
• Masukan salinometer ke dalam gelas ukur tersebut
• Biarkan beberapa saat agar salinometer tidak bergerak lagi
• Salinitas air dapat dilihat dari angka yang terlihat di permukaan air
Refraktometer memiliki fungsi untuk menentukan konsentrasi dari bahan terlarut
dengan memanfaatkan indeks bias suatu cahaya seperti gula dan garam. Jika sampel
merupakan larutan dengan konsentrasi rendah maka yang terjadi sudut refraksi akan
lebar dikarenakan perbedaan refraksi prisma dan sampel besar, maka skala yang
terbaca akan jatuh pada skala rendah. Menurut Sembiring dkk. (2019) komponen
refraktometer adalah:
• Day Light Plate (kaca), berfungsi untuk melindungi prisma dari goresan akibat
debu, benda asing, atau mencefah sampel yang diteteskan pada prisma tidak
menetes atau jatuh
• Prisma (biru), berfungsi untuk pembacaan skala dari zat terlarut dan mengubah
cahaya polikromatis menjadi monokromatis
• Knop pengatur skala, berfungsi untuk mengkalibrasi skala menggunakan
aquades
• Lensa, berfungsi untuk memfokuskan cahaya yang monokromatis
• Handle, berfungsi memegang alat refraktometer dan menjaga suhu agar stabil
• Bimatal strip, berfungsi untuk mengatur suhu sekitar 18-28 derajat celcius
• Lensa pembesar, berfungsi untuk memperbesar skala yang terlihat pada eye
piece
• Eye piece, merupakan tempat untuk melihat skala yang ditunjukan oleh
refraktometer
• Skala, memiliki kegunaan untuk melihat konsentrasi dan massa jenis suatu
larutan

(Sembiring dkk., 2019)


2. PARAMETER KIMIA

2.1 Kadar Oksigen Terlarut (DO)


Kadar oksigen terlarut atau DO (Dissolved Oxygen) merupakan parameter
penting dalam analisis kualitas air yang menunjukan jumlah oksigen yang tersedia pada
suatu badan air. Pada ekosistem perairan, DO berpengaruh terhadap kualitas air. Jika
nilai DO pada air besar, maka mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang
bagus. Begitu juga sebaliknya, jika nilai DO pada air rendah, maka dapat terindikasi
bahwa air tersebut telah tercemar (Aruan & Siahaan, 2017).
Cara mengukur kadar oksigen terlarut dapat dilakukan dengan menggunakan
Metode Winkler atau dengan menggunakan DO meter. Pengukuran dengan
menggunakan Metode Winkler dilakukan dengan cara titrasi, pertama sampel air
diambil dengan menggunakan botol Winkler 125 mL, kemudian ditambahkan 1 mL
MnSO4 dan 1 mL KI lalu tutup dan kocok hingga terdapat endapan. Tambahkan 1 mL
H2SO4 pekat lalu tutup dan kocok kembali hingga larutan berubah warna menjadi
kuning. Selanjutnya ambil 50 mL sampel ke dalam erlenmeyer 250 mL, dan dilakukan
titrasi dengan Na-Tiosulfat 0,1 N hingga warna berubah kuning muda, kemudian
tambahkan amilum dan lanjutkan titrasi kembali hingga warna berubah dari biru hingga
menjadi bening (Mariyam dkk., 2004). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan
rumus:
𝑚𝑙 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝑁 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 8 𝑥 1000 𝑚𝑔⁄𝑙
𝐷𝑂 (𝑚𝑔⁄𝑙 ) =
𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Fungsi reagen pada metode Winkler
MnSO4: Reaksi MnSO4 dengan OH- membentuk endapan MnO2 yang akan
teroksidasi menjadi Mn(OH)3. Banyaknya Mn(OH)3 ekuivalen dengan O2
dalam larutan (Hutagalung dkk., 1985).
Fungsi KlO3: Reduktor yang akan mereduksi mangan dioksida yang
dihasilkan dari sampel yang sebelumnya telah direaksikan dengan mangan
sulfat (Sutisna, 2018).
Fungsi Na thiosulfat : Sebagai titran yang dioksidasi menjadi tetrationat
sambil mereduksi I2 menjadi I- (Hutagalung dkk., 1985).

Reaksi kimia pada Metode Winkler

(Hutagalung dkk., 1985).


Sedangkan pengukuran dengan menggunakan DO meter, pertama geser
selector O2/DO ke posisi DO, kemudian celupkan probe ke dalam air sampel hingga
kedalaman 10 cm, diamkan selama 5 menit agar terjadi keseimbangan panas antara
probe dengan sampel, dan lihat hasilnya terlihat (Mariyam dkk., 2004). DO meter ini
berfungsi untuk menentukan konsentrasi oksigen terlarut dengan metode elektrokimia.
Probe pada DO meter terdiri dari katoda dan anoda yang direndam dalam larutan
elektrolit pada DO meter, hasil pengukuran akan muncul pada layar digital (Bayu dkk.,
2018). Prinsip kerja dari DO meter ini yaitu berdasarkan dari fenomena polarografi
yang terjadi antara dua elektroda katoda dan anoda (Riadhi dkk., 2017).
(Riadhi dkk., 2017)

2.2 Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD)


BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah analisis empiris untuk mengukur
proses-proses biologis khususnya aktivitas mikroorganisme yang berlangsung di dalam
air atau suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang
terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang
dapat diurai.
Penentuan kadar BOD dilakukan dengan metode winkler (metode iodometri),
dimana perhitungan BOD dilakukan pada hari ke-5 dan pada suhu 20°C. Prinsipnya
dengan menggunakan titrasi iodometri. Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu
ditambahkan larutan MnCl2 dan NaOH-Kl, sehingga akan terjadi endapan MnO2,
kemudian ditambahkan H2SO4 maka endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga
akan membebaskan molekul Iodium (I2) yang ekivalen dengan oksigen terlarut. Iodium
yang dibebaskan selanjutnya dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat
(Na2S2O3) dan menggunakan indikator amilum (kanji).

2.3 Soal Analisis DO dan BOD


Dari analisis kadar oksigen terlarut air sungai dengan mutu air kelas II melalui metode
winkler, didapat hasil seperti berikut:
V Na-thiosulfat (Na2S2O3.5H2O) = 2,25mL
N Na-thiosulfat = 0,01N
V sampel winkler = 100mL

a. Berapakah kadar oksigen terlarut dalam perairan tersebut?


8000 𝑥 𝑚𝐿 𝑁𝑎 − 𝑇ℎ𝑖𝑜𝑠𝑢𝑙𝑓𝑎𝑡 𝑥 𝑁 𝑁𝑎 − 𝑇ℎ𝑖𝑜𝑠𝑢𝑙𝑓𝑎𝑡
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑂𝑘𝑠𝑖𝑔𝑒𝑛 𝑇𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 =
50(𝑉 − 2)
𝑉
8000 𝑥 2,25 𝑚𝐿 𝑥 0,01 𝑁
=
50(100 − 2)
100
180
= = 3,67 𝑚𝑔⁄𝑙
49

b. Dalam analisis BOD selama 5 hari terbaca volume Na-thiosulfat 1,60mL.


Berapakah BOD perairan tersebut (tanpa pengenceran)?
𝐵𝑂𝐷 = 𝐷𝑂0 ℎ𝑎𝑟𝑖 − 𝐷𝑂5 ℎ𝑎𝑟𝑖
3,67 𝑚𝑔 8000 𝑥 𝑚𝐿 𝑁𝑎 − 𝑡ℎ𝑖𝑜𝑠𝑢𝑙𝑓𝑎𝑡 𝑥 𝑁 𝑁𝑎 − 𝑡ℎ𝑖𝑜𝑠𝑢𝑙𝑓𝑎𝑡
𝐵𝑂𝐷 = −
𝐿 50(𝑉 − 2)
𝑉
3,67 𝑚𝑔 8000 𝑥 1,60 𝑚𝐿 𝑥 0,01𝑁
= −
𝐿 50(100 − 2)
100
3,67 𝑚𝑔 128
= −
𝐿 49
= 3,67 − 2,61 = 1,06 𝑚𝑔⁄𝑙

c. Berdasarkan nilai DO, apakah sungai tersebut memenuhi standar baku


mutu air kelas II?, sebutkan alasannya
Tidak memenuhi karena menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, nilai DO
minimum untuk kelas 2 sebesar 4mg/L (Hanisa dkk., 2017)
d. Berdasarkan nilai BOD, apakah sungai tersebut memenuhi standar baku
mutu air kelas II?, sebutkan alasannya
Memenuhi karena menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, nilai BOD maksimum untuk
kelas 2 sebesar 3mg/L (Hanisa dkk., 2017)

2.4 Kadar Karbon Dioksida Terlarut dan Asam Karbonat Terlarut


Karbon dioksida adalah senyawa kimia yang terbentuk dari 1 atom karbon dan
2 atom oksigen (9CO2), mudah larut dalam air dingin, tidak berbau dan tidak berwarna.
Karbon dioksida yang terdapat dalam air umumnya berasal dari udara melalui proses
difusi. Terbawa oleh air hujan, hasil penguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme.
Dalam air laut, senyawa karbon dioksida terdapat dalam bentuk ion dan bentuk
molekul. Dalam bentuk ion adalah ion bikarbonat (HCO3) dan karbonat (CO3)
sedangkan dalam bentuk molekul adalah molekul karbon dioksida bebas (CO2) dan
asam karbonat (H2CO3) (Susana, 2018). Karbondioksida (CO2) memiliki peranan yang
sangat besar bagi kehidupan organisme air. Senyawa ini dapat membantu proses
dekomposisi atau perombakan bahan organik oleh bakteri. Namun jika dalam keadaan
yang berlebihan dapat mengganggu dapat menjadi racun bagi beberapa jenis ikan
(Barus, 2004). Kandungan CO2 di perairan digunakan untuk melarutkan kapur, yaitu
untuk mengubah senyawa menjadi kalsium bikarbonat Ca(HCO3-). Kadar
karbondioksida (CO2) yang baik bagi organisme perairan yaitu kurang lebih 15 mg/l.
Jika lebih dari itu dapat membahayakan karena menghambat pengikatan oksigen (O2)
(Octasari, 2018).
Untuk menghitung kadar karbon dioksida (CO2) yang terlarut dalam air, dapat
menggunakan rumus berikut:
100
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐶𝑂2 = 𝑥 𝑝 𝑥 0,5
𝑉

Keterangan: 1000 = mL/liter air


P = volume titran (H2SO4) yang digunakan
0,5 = jumlah mg/liter setara CO2 0,5 M H2SO4
V = volume air yang dititrasi
(Al Idrus, 2018).

Menurut Snoeyink & D. (1880), Karbon dioksida (CO2) yang larut dalam air
akan membentuk asam karbonat (H2CO3). Asam karbonat adalah asam karboksilat
dengan gugus hidroksil dengan gugus hidroksil sebagai substituen. Senyawa ini
merupakan asam poliprotik, khususnya diprotik yang artinya senyawa ini memiliki dua
proton yang dapat terlepas dari molekul induknya (Greenwood & Earnshaw, 1997).
Sehingga, terdapat dua konstanta disosiasi yaitu :

Ka(app) = 4.27×10−7; pK(app) = 6,35 pada 25 °C dan kekuatan ionik = 0.0

H2CO3 merupakan suatu asam lemah dan sedikit terionisasi menghasilkan H+


(spesi yang mengindikasi larutan bersifat asam). Proses asidifikasi samudera, secara
sederhana adalah karbon dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil yang
terakumulasi dalam atmosfer, menyebabkan pemanasan global, berpengaruh terhadap
samudera. Karbon dioksida yang diserap oleh laut dan bereaksi dengan air laut
membentuk asam karbonat H2CO3 dan meningkatkan keasaman (H+) air laut.
Sebaliknya, air laut menjadi kekurangan persediaan karbonat (CO3)2- akibat
pembentukan ion bikarbonat, yang dikenal sebagai zat yang digunakan oleh puluhan
ribu spesies hewan laut untuk membentuk cangkang dan tulang serta karang. Jika
keasaman lautan cukup tinggi, air laut menjadi korosif dan melarutkan cangkang,
melemahkan pertumbuhan hewan laut dan terumbu karang beserta jutaan spesies
hewan laut yang bergantung kepadanya (Caldeira dan Wickett, 2003).
Asam karbonat akan terurai menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat. Ion
bikarbonat akan terurai menjadi ion hidrogen dan ion karbonat. Ion bikarbonat dan
karbonat berperan sebagai inhibitor radikal bebas dimana ikatan dengan ion tersebut
dan membentuk karbonat radikal yang dapat bereaksi pula dengan senyawa organik.
Maka, pada kondisi ini terjadi persaingan pengikatan senyawa oleh radikal hidroksil
yaitu persaingan antara ion bikarbonat, karbonat dan senyawa organik. Kehadiran ion
bikarbonat dan karbonat dapat menghambat pendekomposisian senyawa organik. Pada
pH basa dapat terjadi pembentukan ion karbonat yang lebih cepat. Ion karbonat 20-30
kali lebih kuat daripada bikarbonat dalam menghilangkan radikal bebas. Oleh karena
itu, pada pH > 10 perlu dihindari karena ion bikarbonat akan berubah menjadi ion
karbonat (Snoeyink & D., 1880). Suhu perairan 25°C dan tekanan 1 atm memiliki pH
< 7, maka yang terjadi adalah reaksi dimana ion H+ (aq) > ion H- (aq) dan kondisi
tersebut dapat disebut kondisi yang asam begitu sebaliknya.

2.5 Derajat Keasaman pH (Potential of Hydrogen)


pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau
basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. pH normal memiliki nilai 7
sementara bila nilai pH > 7 menunjukkan zat tersebut memiliki sifat basa sedangkan
nilai pH < 7 menunjukkan keasaman. pH 0 menunjukkan derajat keasaman yang tinggi,
dan pH 14 menunjukkan derajat kebasaan tertinggi. Derajat keasaman (pH) perairan
merupakan parameter kualitas air yang penting dalam ekosistem perairan. Nilai pH
suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air, serta
mencirikan suatu pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan (Pantamareta,
2013). Perubahan pH ditentukan oleh aktivitas fotosintesis dan respirasi dalam
ekosistem. Fotosintesis memerlukan karbon dioksida, yang oleh komponen autotrof
akan diubah menjadi monosakarida. Penurunan karbon dioksida dalam ekosistem akan
meningkatkan pH perairan, sebaliknya proses respirasi oleh semua komponen
ekosistem akan meningkatkan jumlah karbondioksida sehingga pH perairan menurun
(Izzati, 2010). Nilai pH di perairan merupakan parameter yang dikaitkan dengan
konsentrasi karbon dioksida (CO2) dalam ekosistem perairan. Semakin tinggi
konsentrasi karbon dioksida, pH perairan semakin rendah (Izzati, 2010).
Nilai pH dapat diukur menggunakan pH meter dengan cara memasukan pH
meter ke dalam sampel air yang diambil dari perairan sampai pembacaan pada alat
konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut (Rasjid, 2017). Adapula
tata cara penggunaan pH meter sebagai berikut:
Tahapan persiapan
Letakkan pH meter pada permukaan yang datar dan hindarkan dari sinar
maupun panas secara langsung
Rangkai peralatan dengan benar
Tekan tombol ON/OFF unutk menyalakan pH meter
Tahapan Kalibrasi
Siapkan larutan buffer 4.01± 0.01 (25°C), 6.87 ± 0.01 (25°C), 9.18± 0.01
(25°C).
Celupkan elektroda ke dalam larutan buffer 6.87 ± 0.01 (25°C). Atur/sesuaikan
temperatur dan pH larutan buffer.
Bilas elektroda dengan aquades kemudian keringkan dengan tisu.
Lakukan langkah 2 dan 3 untuk larutan buffer 4.01 ± 0.01 (25°C)dan 9.18 ±
0.01 (25°C).
pH meter siap dipergunakan untuk pengukuran.
Tahap Pengukuran pH
Celupkan elekotroda pada air yang hendak diukur pH nya
Tunggu hingga pH meter menunjukkan angka yang stabil
Mengakhiri pH meter
Keluarkan elektroda dari air kemudian bilas menggunakan aquades lalu
keringkan dengan tisu.
Masukkan elektroda ke dalam tempat elektroda yang berisi larutan KCl 3 M.
(Cahyani, 2018)
(Karangan, dkk., 2019)
Alat lain yang dapat digunakan untuk mengukur pH adalah Test kit. Test kit
merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mendeteksi kadar suatu senyawa
dengan cukup akurat (Sulistyarti, dkk., 2018). Untuk mengukur pH pada ekosistem
perairan menggunakan pH test kit dapat dilakukan dengan cara berikut:
Masukkan sampel air yang akan diukur pH nya kedalam tabung ukur.
Tambahkan tujuh tetes pH test kit kedalam tabung ukur.
Homogenkan hingga kedua larutan larut.
Tunggu selama 10 menit hingga warna air berubah, kemudian cocokkan
perubahan warna dengan warna ukur.
(Redaksi PS, 2009).

(Karangan, dkk., 2019)


Prinsip kerja utama pH meter terletak pada sensor probe berupa elektroda kaca
dengan mengukur jumlah ion H3O+ dalam larutan. Ujung elektroda kaca merupakan
lapisan kaca yang berbentuk bulat (bulb). Bulb ini dipasangkan dengan silinder kaca
non-konduktor yang selanjutnya diisi dengan larutan HCl. Dalam larutan HCl terendam
sebuah kawat elektroda panjang berbahan perak yang pada permukaannya terbentuk
senyawa setimbang AgCl. konstannya jumlah larutan HCl pada sistem ini membuat
elektroda Ag/AgCl memiliki nilai potensial stabil. Inti sensor pH terdapat pada
permukaan bulb kaca yang memiliki kemampuan untuk bertukar ion positif (H+)
dengan larutan terukur. Pada sebuah sistem pH meter secara keseluruhan, selain
terdapat elektrode kaca juga terdapat elektrode referensi. Kedua elektrode tersebut
sama-sama terendam ke dalam media ukur yang sama. Elektrode referensi digunakan
untuk menciptakan rangkaian listrik pH meter. Untuk menghasilkan pembacaan pH
yang valid, elektrode referensi harus memiliki nilai potensial stabil dan tidak
terpengaruh oleh jenis fluida yang diukur (Azmi, dkk., 2016).
pH test kit tidak memiliki elektroda pengukur (probe), pada pH test kit
dibutuhkan larutan indikator untuk mendeteksi derajat keasaman dari sebuah sampel.
Prinsip dari larutan adalah mengubah warna sambel sesuai dengan derajat
keasamannya (Karangan, dkk., 2019). pH meter memiliki kelebihan dimana, nilai pH
yang ditunjukkan dari alat ini memiliki ketelitian tinggi maka hasil pengukuran dapat
lebih akurat dan cepat, dan dapat digunakan berulang kali, sedangkan kekurangan dari
alat ini adalah harga dari alat ini relatif mahal, sebelum penggunaan alat harus selalu
dilakukan kalibrasi terlebih dahulu, dan tidak dapat digunakan pada lingkungan yang
memiliki suhu tinggi (Wibowo dan Ali, 2019). Sedangkan pH test kit memiliki
kelebihan dimana harganya relatif lebih murah, dapat digunakan untuk mengukur
derajat keasaman limbah, mudah digunakan, dan harga cukup terjangkau, namun
tingkat keakuratan dari pH test kit kurang tinggi sehingga kemungkinan penentuan nilai
pH dapat salah, dan vial uji rawan tumpah (Karangan dkk., 2019).
Daftar Pustaka
Agustini, T., Jumarang, M. I., & Ihwan, A. (2013). Simulasi Pola Sirkulasi Arus Di Muara
Kapuas Kalimantan Barat. PRISMA FISIKA, 1(1).
Ahmad, J. and El-Dessouky, H. (2008). Design of A Modified Lowcost Treatment System for
The Recycling and A Reuse of A Laundry Waste Water. Resources, Conservation &
Recycling, 52: 973-978.
Al Idrus, S. W. (2018). Analisis Kadar Karbon Dioksida di Sungai Ampenan Lombok. Jurnal
Pijar MIPA, 13(2), DOI: 10.29303/ jpm.v13.i2.760
Aldosky, H., & Shamdeen, S. (2011). A New System for Measuring Electrical Conductivity
of Water As A Function of Admittance. Journal Of Electrical Bioimpedance, 2(1), 86-
92. doi: 10.5617/jeb.203
Arief, A. M. P., (2003). Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius .
Arsyad, S. (1989). Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor
Aruan, D. G. R., & Siahaan, M. A. (2017). Penentuan Kadar Dissolved Oxygen (DO) pada Air
Sungai Sidoras di Daerah Butar Kecamatan Pagaran Kabupaten Tapanuli Utara. Jurnal
Analis Laboratorium Medik. 2(1): 1-5.
Arefin, A. (2013). Digital Thermometer using ATmega8 Microcontroller. Department of
Electronics & Communication Engineering, Northern University Bangladesh.
Asdak, C. (2010). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Azmi, Z., Saniman., Ishak. (2016). Sistem Penghitung pH Air Pada Tambak Ikan Berbasis
Mikrokontroler. Jurnal ilmiah Saintikom, 15(2), 102-18 pp.
Barus, T. A. (2004). Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Universitas
Sumatera Utara Press, Medan.
Bayu, R., Waluyo, J., dan Iqbal, M. (2018). Pengembangan Alat Kondensasi Pengukur
Oksigen Udara Ambien Untuk Mendukung Praktikum Pada Mata Kuliah Pengetahuan
Lingkungan. Saintifika. 20(1): 11-22.
Berger, E., Frör, O., & Schäfer, R. (2018). Salinity Impacts on River Ecosystem Processes: A
Critical Mini-Review. Philosophical Transactions of The Royal Society B: Biological
Sciences, 374(1764), 20180010. doi: 10.1098/rstb.2018.0010
Cahyani, C. (2018). Instruksi Kerja Penggunaan Laboratory pH meter Laboratorium Teknik
Bioproses. Universitas Brawijaya
Caldeira, R., and M. Wickett. (2003). Anthropogenic Carbon and Ocean pH. Nature, 425: 365.
Carpenter, S., Mooney, H. A., Agard J., & Capistrano, D. (2009). Science for Managing
Ecosystem Servicas : Beyond the Millennium Ecosystem Assessment. Proceedings of
National Academy of Sciences. 106 (5) : 1305-1312.
Dahl, E. (1952). Some Aspects of the Ecology and Zonation of the Fauna of Sandy Beaches.
Oikos. (4):1–27.
Darwis, I. D., Basyar, E., & Adrianto, A. (2018). Kesesuaian Termometer Digital dengan
Termometer Air Raksa dalam Mengukur Suhu Aksila pada Dewasa Muda. Diponegoro
Medical Journal (Jurnal Kedokteran Diponegoro), 7(2), 1596-1603.
Delitala, Alessandro. (2014). Replacing mechanical thermometers with electronic
thermometers in a Mediterranean test station and its impact on climatology. Tethys
Journal of Weather and Climate of the Western Mediterranean. 11. 51-61.
10.3369/tethys.2014.11.05.
Deviana, D. A., Purwanti, F., & Rudiyanti, S. (2019). Analisis Kesesuaian Wisata Pantai Teluk
Awur di Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Management of Aquatic Resources Journal
(MAQUARES), 8(2), 93-101.
Disaptono, S., dan Budiman. (2006). Hidup Akrab Dengan Gempa dan Tsunami. Bogor: PT.
Sarana Komunikasi Utama.
Finawan, A., & Mardiyanto, A. (2011). Pengukuran debit air berbasis mikrokontroler
AT89S51. Jurnal Litek, 8(1): 28-31.
Greenwood, Norman N., Earnshaw, A. (1997). Chemistry of The Elements (Edisi ke-2nd).
Oxford: Butterworth-Heinemann
Hadi, S., dan Radjawane, I. (2009). Arus Laut. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Handychang, H., & Fany, I. (2017). Sistem Pengukur Kecepatan Arus Air Menggunakan
Current Meter Tipe “1210 AA”. TESLA: Jurnal Teknik Elektro, 19(1): 81-95.
Hanisa, E., Nugraha, W., & Sarminingsih, A. (2017). Penentuan Status Mutu Air Sungai
Berdasarkan Metode Indekskualitas Air–National Sanitation Foundation (Ika-Nsf)
Sebagai Pengendalian Kualitas Lingkungan. Jurnal Teknik Lingkungan, 6(1), 1-8.
Harnalin, Bangun. (2010). Pengelolaan Air Irigasi. Surabaya: Dinas Pertanian Jawa Timur.
Herlina, E. (1987). Komposisi dan Distribusi Vertikal Harian Fitoplankton pada Siang dan
Malam Hari di Perairan Pantai Bojonegoro, Teluk Banten. [Skripsi]. Fakultas
Perikanan, IPB Bogor.
Hersyah, M. H. (2017). Identifikasi Rancang Bangun Alat Ukur dan Sistem Kendali Kadar
Total Dissolved Solid (TDS) Pada Air Berbasis Mikrokontroler. JITCE (Journal of
Information Technology and Computer Engineering), 1(1): 26-34.
Holme NA. McIntyre AD. (1971). Methods for the Study of Marine Benthos. Philadelphia :
International Biological Programme Blackwell Scientific Publication.
Hutagalung, H., Rozak, A., & Lutan, I. (1985). Beberapa Catatan Tentang Penentuan Kadar
Oksigen Dalam Air Laut Berdasarkan Metode Winkler. Oseana, 10(4), 138- 149.
Hutapea, Y., Rifardi, & Ellizal. 2019. Profil Sedimen Tersuspensi (Sediment Suspended
Concentration) (SSC) di Kawasan Muara Sungai Padang Kecamatan Bandar Khalifah
Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan.
24 (1) : 52-60.
Izzati, M. (2010). Perubahan Konsentrasi Oksigen Terlarut. Anatomi Fisologi, 16(2). Pp. 60-
69
Jamil, M. A., Yaqoob, H., Farooq, M. U., Teoh, Y. H., Xu, B. B., Mahkamov, K., ... &
Shahzad, M. W. (2021). Experimental investigations of a solar water treatment system
for remote desert areas of Pakistan. Water, 13(8): 1070.
Karangan, J., Sugeng, B., dan Sulardi. (2019). Uji Keasaman Air Dengan Alat Sensor pH di
STT Migas Balikpapan. Jurnal Kacapuri 2(1), 65-72 pp.
Khairunnas, K., & Gusman, M. (2018). Analisis Pengaruh Parameter Konduktivitas,
Resistivitas dan TDS Terhadap Salinitas Air Tanah Dangkal Pada Kondisi Air Laut
Pasang Dan Air Laut Surut di Daerah Pesisir Pantai Kota Padang. Jurnal Bina
Tambang, 3(4), 120-130.
Kreith, Frank. (1991). Prinsip-Prinsip Perpindahan Panas. Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Mariyam, S., Romdon, S., dan Kosasih, E. (2004). Teknik pengukuran oksigen terlarut. Buletin
Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan. 2: 45-47.
Masrukhin, M. A. A., Sugianto, D. N., & Satriadi, A. (2014). Studi Batimetri dan Morfologi
Dasar Laut dalam Penentuan Jalur Peletakan Pipa Bawah Laut (Perairan Larangan-
Maribaya, Kabupaten Tegal). Journal of Oceanography, 3(1), 94-104.
Nontji, A. (2002). Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Nybakken, J. W. (1982). Marine Biology: An Ecological Approach. New York: Harper &
Row.
Nybakken, J. W. (1992). Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT Gramedia
Odum, E. P. (1994). Dasar-dasar Ekologi Edisi Ketiga. Yogyakarta: UGM Press.
Octasari, Z., Hasnunidah, N., & Marpaung, R. R. T. (2018). Pengembangan Buku Penuntun
Praktikum Pencemaran Lingkungan dengan model Argument-Driven Inquiry (ADI).
Jurnal Bioterdidik: Wahana Ekspresi Ilmiah, 6(1).
Pereira, Francisco. (2020). Microbiology Laboratory. (In Portuguese). Laboratório de
Microbiologia. 10.13140/RG.2.2.19169.25445.
Rasjid, Y. (2017). Analisis Keanekaragaman Plankton Sebagai Indikator Kualitas Perairan
Pantai Batu Gosok Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara
Timur. Jurnal Bionature, 18(1), 44-53 pp.
Riadhi, L., Rivai, M., dan Budiman, F. (2017). Pengaturan Oksigen Terlarut Menggunakan
Metode Logika Fuzzy Berbasis Mikrokontroler Teensy Board. Jurnal Teknik ITS. 6(2):
331-334.
Riyadi, S., Suyanto, E., & Wahyudi, I. (2015). Prototipe Termometer Berbasis Termoelektrik
Untuk Pembelajaran Fisika Materi Suhu dan Kalor. Jurnal Pembelajaran Fisika, 3(6).
Salvat, B. (1964). Les conditions hydrodynamiques interstitielles des sediments meubles
intertidaux et la repartition verticale de la fauna endogee. C. R. Acad. Sci. Paris
259:1576–1579.
Satwiko, P. (2004). Fisika Bangunan 1 Edisi 2. Yogyakarta: Andi.
Sembiring, T., Dayana, I. & Rianna, M. (2019). Alat Penguji Material. Cibubur: Guepedia.
Septiawan, M.; Sedyawati, S. M. R.; dan Mahatmanti, F. W. (2014). Penurunan limbah cair
industri tahu menggunakan tanaman cattail dengan sistem constructed wetland.
Indonesian Journal of Chemical Science. 3(1).
Snoeyink, V. & D., J. (1980). Water Chemistry. United States of America: John Wiley & Sons
Inc.
Sudimanto, S. (2019). Perancangan Thermometer Digital Tanpa Menggunakan
Mikrokontroler. Media Informatika, 18(1), 37-41.
Sulistyarti, H., Kusumawardhani, N., Zulfah, N. L., Cahyani, Y. D., Fahriyani, H. E., Milda,
D. (2018). Test Kit Untuk Analisis Sianida Dalam Ketela Pohon Berdasarkan
Pembentukan Hidrindantin.
Susana, T. (2018). Karbon Dioksida. Oseana, 1(13), 1-11 hal.
Sutisna, A. (2018). Penentuan Angka Dissolved Oxygen (DO) Pada Air Sumur Warga Sekitar
Industri CV. Bumi Waras Bandar Lampung. Jurnal Analis Farmasi, 3(4), 246 - 251.
Taqwa, R., Muskananfola, M., & Ruswahyuni. (2014). Studi Hubungan Substrat Dasar dan
Kandungan Bahan Organik dalam Sedimen Dengan Kelimpahan Hewan
Makrobenthos di Muara Sungai Sayung Kabupaten Demak. Diponegoro Journal of
Maquares. 3 (1): 125-133.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta: Betta Offset.
Wibawa, I. & Putra, K. 2018. Perancangan dan Pembuatan Lux Meter Digital Berbasis Sensor
Cahaya EL7900. Jurnal Ilmiah Ilmu Komputer. 11 (1): 45-58.
Wibowo, R. S., dan Ali, M. (2018). Alat Pengukur Warna dari Tabel Indikator Universal pH
Yang Diperbesar Berbasis Mikrokontroler Arduino. Jurnal Edukasi Elektro 2(3).
Wismarini, T. D., dan Ningsih, D. H. U. (2011). Metode Perkiraan Laju Aliran Puncak (Debit
Air) sebagai Dasar Analisis Sistem Drainase di Daerah Aliran Sungai Wilayah
Semarang Berbantuan SIG. Dinamik, 16(2).
Yihdego, Y., & Panda, S. (2017). Studies on Nature and Properties of Salinity across Globe
with a View to its Management - A Review. Global Journal of Human-Social Science,
17(1), 29-35.

Anda mungkin juga menyukai