Anda di halaman 1dari 12

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

MENGENALKAN POTENSI BAHAYA DI LINGKUNGAN KERJA

Pokok Bahasan              :  Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)


Sub Pokok Bahasan             :  Pengenalan Bantuan Hidup Dasar dan Penggunaan Automatic
External Defibrilator (AED)
Sasaran                                  :  Petugas Bandara (Avian Security, Polsek Bandara, Airline dan
Ground Handling)
Waktu                                     :  ± 60 menit                                                                     
Tanggal                                  :  16 Juni 2016
Tempat                                   :  Aula Pertemuan KKP Kelas I Makassar

1. Tujuan Instruksional Umum (TIU) : 


Setelah diberikan penyuluhan dalam waktu 60 menit, diharapkan Petugas Bandara (Avian
Security, Polsek Bandara, Airline dan Ground Handling) mampu memahami dan mengerti
tentang Pemberian bantuan hidup dasar (BHD) dan pengunaan alat External Defibrilator
(AED)
2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK) : 
Setelah diberikan materi dan praktik selama ± 60 menit, diharapakan Peserta
Penyuluhan dapat :
a. Menjelaskan pengerian BHD
b. Menjelaskan perlunya melakukan BHD
c. Mampu mendemonstrasikan prosedur BHD dan Penggunaan AED
d. Memberikan pertolongan pada Penumpang atau siapapun yang memerlukan BHD baik
di wilayah Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar maupun di
kehidupan sehari-hari.

3. Metode
Ceramah, Tanya jawab, Diskusi dan Praktik/Simulasi

4. Media
a. Manekin ½ badan
b. Bag Valve Mask
c. Automatic External Defibrilator (AED)
d. Laptop (Powerpoint)
e. LCD
5. Materi
Terlampir

6. Kegiatan

N Kegiatan Peserta Waktu


o
1. Kegiatan membuka penyuluhan
a. Mengucap salam a. Menjawab salam. 5 menit
b. Memperkenalkan diri. b. Mengenal petugas
c. Menggali pengetahuan penyuluhan.
tentang BHD dan AED c. Mengemukakan
d. Menjelaskan tujuan atau pendapat sesuai dengan
tema penyuluhan apa yang diketahui.
d. Menyimak dengan
seksama.
2. Kegiatan inti
a. Menjelaskan tentang a. Mendengar dengan 30 menit
pengertian BHD dan AED seksama.
b. Menjelaskan tujuan BHD b. Menyimak dengan
c. Menjelaskan pelaksanaan seksama.
BHD dan AED c. Peserta mendengarkan
d. Menyebutkan teknik dalam penjelasan.
memberikan BHD d. Menyimak penjelasan.
e. Memperagakan prosedur e. Melakukan simulasi
BHD dan penggunaan AED prosedur BHD dan
penggunaan AED

3. Kegiatan menutup penyuluhan


a. Tanya jawab a. Bertanya 10 menit
b. Mengevaluasi b. Peserta dapat
c. Memberikan kesimpulan menjawab pertanyaan
d. Mengucapkan salam yang diberikan.
penutup. c. Mendengarkan
kesimpulan
d. Menjawab salam.

7. Evaluasi
1.      Menjelaskan pengertian Bantuan Hidup Dasar
2.      Menjelaskan tujuan BHD dan Penggunaan AED
3.      Menjelaskan prosedur BHD dan Penggunaan alat AED
4.      Mendemosntrasikan prosedur BHD dan Penggunaan AED
Lampiran
MATERI BANTUAN HIDUP DASAR
DAN PENGGUNAAN ALAT AUTOMATIC EXTERNAL DEFIBRILATOR (AED)

Bantuan hidup dasar (BHD) adalah fondasi dari pertolongan terhadap henti jantung. Aspek
fundamental dari BHD yaitu mengenali sudden cardiac arrest (SCA), dan mencari pertolongan
emergensi, resusitasi jantung paru (RJP) segera, dan defibrilasi cepat denganautomated
defibrillator external (AED). Pengenalan awal dan respon terhadap serangan jantung dan stroke
juga menjadi bagian BLS. Perubahan dari panduan BLS 2005 menjadi BLS 2010 adalah sebagai
berikut:
·          Mengenali SCA berdasarkan keadaan unrespon dan pernafasan tak normal (tidak
bernafas atau hanya megap-megap)
·         “Look, Listen, Feel” dihilangkan dari algorime BHD
·          Dianjurkan untuk hanya melakukan Hand Only CPR (hanya melakukan penekanan dada
saja, tanpa memberikan tiupan dua kali) bagi penolong awam yang tidak terlatih
·          Perubahan urutan langkah-langkah RJP yaitu mendahulukan kompresi dada sebelum
bantuan nafas (dari ABC menjadi CAB)
·          Menekankan pada focus untuk melakukan High Quality CPR, yang mana hal itu bisa
tercapai bila kita bisa melakukan High Quality Compression. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas kompresi adalah kecepatan, kedalaman, pengembangan dada yang
sempurna antara masing-masing kompresi, minimal interupsi pada saat melakukan
kompresi dan menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan
·       Penekanan pada pemeriksaan denyut nadi baik pada healthcare provider
·         Menyederhanakan algorima BHD

Meskipun sudah dilakukan pencegahan, SCA terus menjadi sebab kematian di dunia. SCA
memiliki berbagai etiologi, keadaan saat terjadinya serangan, dan bisa terjadi dimanapun. Oleh
karena itu, memerlukan strategi universal untuk mencapai resusitasi yang sukses, diantaranya
yaitu:
·         Mengenali segera keadaan henti jantung dan meminta pertolongan darurat
·         Segera lakukan RJP yang menekankan pada kompresi dada
·         Defibrilasi cepat saat ada indikasi
·         Effective advanced life support
·         Perawatan pasca henti jantung
Keadaan henti jantung tidak selalu disadari secara jelas terutama bagi orang awam. Hal
ini dapat menyebabkan keterlambatan atau kegagalan meminta pertolongan darurat atau dalam
memulai RJP. Oleh karena itu panduan BHD ini focus pada mengenali henti jantung dengan
penanganan yang tepat pada berbagai latar belakang penolong. Ketika orang awam mengenali
korban tidak berespon maka harus segera minta bantuan darurat. Ketika penolong terlatih
mengenali korban yang tak berespon atau dengan nafas abnormal maka segera minta bantuan
darurat, kemudian harus segera dilakukan RJP.
Kompresi dada adalah komponen penting dari RJP karena perfusi selama RJP
tergantung dari kompresi. Oleh karena itu, kompresi dada harus menjadi prioritas utama dalam
memulai RJP pada korban dewasa dengan henti jantung. Teknik RJP harus tepat karena kualitas
RJP sangat penting dalam penyelamatan nyawa, bukan hanya onset tindakan resusitasinya saja.
Defibrilasi cepat merupakan prediktor terhadap suksesnya resusitasi pada pasien SCA
dengan fibrilasi ventrikel. Usaha untuk mengurangi interval dari pasien kolaps sampai
dilakukannya defibrilasi dapat meningkatkan kualitas hidup korban. Defibrilasi dengan AED
akan memperbaiki aritmia, pada kasus ini membolehkan bagi penolong yang tidak terlatih
dalam interpretasi ritme jantung untuk melakukan defibrilasi pada korban dengan SCA.
1.      Mengenali dengan Cepat dan Meminta Pertolongan Darurat
Jika seorang penolong menemukan korban dewasa tanpa respon (tidak ada gerakan
atau respon terhadap rangsangan) atau melihat seseorang yang tiba-tiba kolaps, penolong
harus segera cek respon korban dengan menggoyang bahu dan meneriaki korban. Penolong
awam harus segera meminta bantuan darurat jika korban tidak berespon. Apabila penolong
adalah paramedis atau orang yang terlatih segera cek respon dan perhatikan korban tidak
bernafas atau bernafas tak normal (megap-megap), kemudian segera panggil bantuan
darurat. Saat menelepon bantuan darurat (ambulans atau 911), penolong harus
menginformasikan lokasi, jumlah korban, dan jumlah penolong atau alat pertolongan yang
tersedia di lokasi.

2.        Periksa Denyut Nadi


Penelitian menunjukkan bahwa penolong awam maupun yang terlatih kesulitan
mendeteksi denyut nadi. Diperlukan waktu yang lama untuk mengetahui apakah pasien
mengalami henti jantung. Oleh karena itu penolong awam tidak harus memeriksa denyut
nadi, penolong awam harus mengasumsikan korban henti jantung apabila didapatkan
korban dewasa yang tiba-tiba kolaps atau korban yang tak berespon tersebut tidak
bernafas secara normal (megap-megap atau henti nafas).

3.        RJP segera
Kompresi Dada
Kompresi dada dilakukan secara ritmik dengan memberikan tekanan pada bagian
bawah sternum. Kompresi dada menciptakan aliran darah akibat tekanan intrathoraks dan
penekanan pada jantung. Aliran darah ini akan membawa oksigen ke otak dan miokardium.
Untuk menciptakan kompresi dada yang efektif berikan tekanan kuat dan cepat, frekuensi
minimal 100 kali per menit, dan dengan kedalaman kompresi 5 cm. Penolong harus
memberikan waktu untuk pengembangan dada setiap kompresi, agar memberikan waktu
jantung terisi darah sebelum kompresi berikutnya. Rasio kompresi-ventilasi 30:2
dianjurkan supaya meminimalisir frekuensi dan durasi interupsi terhadap kompresi dada
yang sedang dilakukan.
Bantuan nafas
Bantuan nafas diberikan 2 kali setelah dilakukan kompresi dada sebanyak 30 kali.
Setelah dilakukan kompresi, berikan bantuan nafas dengan ketentuan masing-masing
bantuan nafas lebih dari 1 detik, berikan volume tidal yang cukup sehingga terlihat
pengembangan dada, dan gunakan rasio kompresi-ventilasi 30:2.

4.      Defibrilasi Segera menggunakan AED


Setelah meminta bantuan darurat, seorang penolong harus mencari AED jika alat
tersebut dekat dan terjangkau kemudian kembali menolong korban dengan AED. Jika
terdapat dua penolong atau lebih, satu penolong melakukan RJP dan penolong kedua
meminta bantuan darurat kemudian mengambil AED.

Langkah defibrilasi:
·         Nyalakan AED
·         Lakukan defibrilasi dengan cepat
·         Segera lanjutkan kompresi dada setelah dilakukan defibrilasi

5.      Strategi RJP Berdasarkan Kriteria Penolong


Berdasarkan klasifikasinya terdapat 3 tipe penolong dan 3 macam pertolongan yaitu
Hands-Only CPR, RJP konvensional dengan bantuan nafas, dan RJP dengan penggunaan AED.
Penolong Awam Tak Terlatih
            Apabila orang awam menemukan korban henti jantung maka penolong tersebut
harus melakukan Hands-Only CPR yaitu hanya melakukan kompresi dada, penolong dapat
meminta petunjuk mengenai teknik kompresi dada melalui telepon saat meminta bantuan
darurat. Kompresi dada harus dilakukan dengan kuat dan cepat. Penolong harus
melakukannya sampai AED tiba atau healthcare provider (dokter, perawat) datang
mengambil alih.

Penolong Awam yang Terlatih


            Semua penolong awam minimal harus melakukan kompresi dada, namun pada
penolong awam yang terlatih harus melakukan RJP dengan bantuan nafas. Rasio kompresi-
ventilasi adalah 30:2. Penolong harus terus melakukan RJP sampai datang AED yang siap
digunakan atau datang health provider mengambil alih tindakan.

Healthcare Provider
            Semua healthcare provider harus sudah dilatih tentang bantuan hidup dasar, sehingga
dapat melakukan pertolongan secara rasional. RJP dilakukan dengan siklus 30 kompresi
diikuti 2 ventilasi sampai peralatan airway terpasang, kemudian penolong dapat terus
melakukan kompresi dada tanpa interupsi sementara penolong lain melakukan bantuan
pernafasan dengan frekuensi satu ventilasi setiap 6 sampai 8 detik (8 sampai 10 kali
ventilasi per menit).
Seorang healthcare provider dapat menyesuaikan urutan pertolongan yang rasional
berdasarkan penyebab arrest. Misalnya seorang penolong melihat korban yang tiba-tiba
kolaps, dan diasumsikan korban mengalami henti jantung, maka penolong langsung
meminta bantuan darurat (telepon ambulans atau 911), mengambil AED (bila dekat dan
terjangkau), kemudian kembali ke korban untuk melakukan defibrilasi dan melakukan RJP.
Apabila seorang penolong melihat korban tak sadar akibat tenggelam atau sumbatan jalan
nafas maka segera lakukan RJP sebanyak 5 siklus sebelum memanggil bantuan darurat.

Keterampilan Bantuan Hidup Dasar pada Dewasa


1.      Mengenali Arrest
            Langkah awal yang penting untuk tatalaksana henti jantung adalah mengenali
secepatnya. Jika didapatkan korban dalam keadaan kolaps maka langkah awal yang
harus dilakukan adalah menilai respon. Goyangkan punggung korban sambil berteriak
kepadanya misalnya dengan bertanya “Apakah kamu baik-baik saja?!” Pada pasien yang
responsive dia akan menjawab, bergerak, atau mengerang. Jika korban tidak berespon
maka penolong harus segera mencari bantuan darurat. Healthcare provider juga harus
memeriksa kenadaan nafas apakah gasping (megap-megap) atau bahkan henti nafas.
Jika ditemukan korban tidak berespon dengan henti nafas atau gasping, maka
diasumsikan bahwa korban mengalami henti jantung, kemudian segera meminta
bantuan darurat.
            Panduan AHA 2010 untuk RJP menekankan untuk memeriksa pernafasan.
Penolong mungkin dapat menentukan secara akurat henti nafas, pernafasan yang
normal maupun tidak normal pada pasien yang tidak berespon, dikarenakan sumbatan
jalan nafas atau sesak nafas biasa yang dapat terjadi pada menit-menit awal setelah SCA.
Penolong harus menatalaksana korban dengan sesak nafas seperti menatalaksana
korrban henti nafas.
            Panduan AHA 2010 untuk RJP juga menekankan memeriksa denyut nadi sebagai
cara untuk mengidentifikasi henti jantung. Penelitian membuktikan bahwa baik orang
awam maupun healthcare provider mengalami kesulitan untuk mendeteksi denyut nadi.
Karena alasan tersebut maka pemeriksaan denyut nadi dihapuskan. Penolong harus
mengasumsikan henti jantung dan segera melakukan RJP jika didapatkan korban
dewasa kolaps atau tidak berespon dengan nafas tak normal atau henti nafas. Penolong
bisa memeriksa denyut nadi tidak lebih dari 10detik, apabila selama waktu tersebut
penolong tidak dapat mendeteksi denyut nadi maka harus segera dilakukan kompresi
dada.

2.      Teknik Kompresi Dada


            Untuk memaksimalkan efektifitas kompresi dada, tempatkan korban diatas
permukaan yang keras, pada posisi terlentang dengan lutut penolong disamping dada
korban atau berdiri disamping tempat tidur. Penolong harus meletakkan tumit tangan di
tengah dada korban pada bagian bawah sternum, dan tumit tangan satunya lagi
diletakkan di atas tangan. Sternum orang dewasa harus ditekan minimal sedalam 5 cm,
dengan waktu untuk kompresi dan recoil dada sama. Biarkan dada mengembang
kembali (recoil) setelah masing-masing kompresi. Recoil yang tidak sempurna selama
RJP akan menyebabkan tekanan intrathoraks yang tinggi san mengurangi hemodinamik
secara signifikan, termasuk perfusi koroner yang kurang, indeks jantung, aliran darah
miokardial, dan perfusi serebral. Insiden recoil dada yang tidak sempurna dapat
dikurangi selama RJP dengan menggunakan alat perekam elektronik.
            Jumlah kompresi dada per menit berhubungan dengan kembalinya sirkulasi
secara spontan. Penelitian pada pasien hentu jantung di rumah sakit menunjukkan
bahwa pemberian kompresi dada lebih dari 80 kali per menit berhubungan dengan
kembalinya sirkulasi secara spontan, penelitian juga menunjukkan terdapat
peningkatan kelangsungan hidup pada kompresi dada sebanyak 120 kali permenit. Oleh
karena itu disarankan untuk melakukan kompresi dada saat RJP minimal sebanyak 100
kali permenit.
            Banyak data yang menunjukkan bahwa membatasi frekuensi dan durasi interupsi
kompresi dada dapat meningkatkan kondisi klinis yang berarti pada pasien henti
jantung. Oleh karena itu, sangat beralasan untuk meminimalisir interupsi kompresi dada
untuk memeriksa denyut nadi, menganalisis rime jantung, atau aktivitas lainnya.
            Penolong yang lelah dapat menyebabkan kompresi dada tidak adekuat baik
frekuensi maupun kedalamannya. Kelelahan biasanya dapat terjadi setelah 1 menit
resusitasi, walaupun ada penolong yang tidak kelelahan sampai lebih dari 5 menit.
Ketika terdapat 2 atau lebih penolong maka disarankan untuk bergantian kompresi
dada tiap 2 menit (sekitar 5 siklus dengan rasio kompresi-ventilasi 30:2) untuk
mencegah berkurangnya kualitas kompresi. Ketika akan dilakukan defibrilasi dengan
AED harus dilakukan <5 detik. Jika ada 2 penolong maka satu penolong menunggu pada
posisinya untuk melakukan defibrilasi setiap 2 menit.
            Pelayan kesehatan harus melakukan pemberhentian kompresi dada sejarang
mungkin dan berusaha untuk tidak berhenti lebih dari 10 detik, kecuali pemberhentian
untuk tindakan tertentu seperti memasukkan alat patensi napas atau
defibrilator. Karena akan sulit untuk membangkitkan denyut jantung, maka
pemberhentian kompresi dada harus diminimalisir selama resusitasi.
Dikarenakan kesulitan dalam menghasilkan kompresi dada yang efektif
sementara memindahkan pasien RJP, maka resusitasi dimulai ditempat pasien
ditemukan.  hal ini mungkin tidak dapat dilakukan di tempat yang berbahaya.

Rasio Kompresi-Ventilasi
Rasio kompresi-ventilasi yang beralasan pada dewasa adalah 30:2, tetapi
dibutuhkan validasi pedoman ini untuk kedepannya. Rasio 30:2 pada pasien dewasa
didasarkan pada konsesus para ahli dan telah di buktikan dengan penelitian case
series.Penelitian lanjutan dibutuhkan untuk menentukan metode terbaik untuk
pengkoordinasian antara kompresi dan ventilasi selama RJP dan untuk memutuskan
rasio kompresi-ventilasi terbaik yang menghasilkan keberhasilan pertahanan hidup
dan outcame neurologi pada pasien dengan atau tanpa yang alat yang membantu patensi
jalan napas.
Dengan bantuan alat yang mempertahankan patensi jalan napas, 2 orang
penolong tidak perlu berhenti melakukan kompresi untuk memberikan ventilasi.
Malahan, penolong kompresi harus memberikan kompresi dada yang terus menerus
dengan frekuensi minimal 100 permenit tanpa berhenti untuk memberikan ventilasi.
Ventilasi dapat diberikan setiap 6-8 detik (dengan hasil 8-10 tarikan napas permenit).

Hanya Kompresi pada RJP  


            Hanya sekitar 20-30% dewasa yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit
yang menerima bantuan RJP. Kompresi saja pada RJP, pada hakikatnya memperbaiki
kelangsungan hidup pada pasien dewasa yang mengalami henti jantung di luar rumah
sakit dibandingkan tidak dilakukannya RJP sama sekali. Studi observasi mengenai
paisen dewasa yang mengalami henti jantung yang mendapatkan pertolongan oleh
orang awam menunjukkan pertahanan hidup yang sama antara korban yang
mendapatkan hanya kompresi dada saja dibandingkan dengan yang mendapatkan
bantuan RJP konvensional dengan bantuan napas. Sebagai catatan, beberapa tim medis
dan orang awam memperlihatkan keengganan untuk melakukan ventilasi dari mulut ke
mulut pada pasien henti jantung. Ketika penolong RJP diwawancarai, terkadang
keengganan itu tidak terlihat; kepanikanlah yang merupakan penghambat terbesar
dalam melakukan pertolongan. Teknik hanya kompresi saja, membantu mengatasi
kepanikan.
            Pemberian bantuan pernapasan segera selama henti jantung sebenarnya tidak
sepenting kompresi dada, karena oksigen dalam darah masih adekuat untuk menit-
menit awal. Sebagai tambahan,banyak pasien henti jantung yang masih bernapas
gasping, dan masih terdapat pertukaranantara gas oksigen dan karbondioksida. Jika
jalan napas terbuka, pergerakan dinding dada pada saat kompresi memungkinkan
pertukaran gas pernapasan. Kadang kala, pada saat yang sama selama RJP yang
berkepanjangan, bantuan napas diperlukan.
            Masyarakat awam harus memberikan kompresi dada pada pasien yang diduga
menderita henti jantung (baik hanya dengan kompresi saja, maupun ditambah dengan
bantuan ventilasi). Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian RJP
konvensional oleh masyarakat awam memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
hanya kompresi dada saja sebelum tim medis datang. Penelitian menunjukkan, pada
anak-anak yang mengalami henti jantung akibat pada pasien yang kasus nonjantung
yang mendapatkan pertolongan RJP dengan bantuan pernapasan memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan hanya kompresi dada saja. karena bantuan napas
merupakan komponen penting pada keberhasilan resusitasi anak. Untuk kasus henti
jantung akibat asfiksia, baik pada anak maupun dewasa, pemberian bantuan naps sangat
dianjurkan baik kepada tim medis maupun masyarakat awam.

3.  Manajemen Jalan Napas


Perubahan yang signifikan pada pedoman ini adalah anjuran untuk melakukan
kompresi dada sebelum ventilasi (CAB daripada ABC). Perubahan ini didasarkan pada
pentingnya kompresi dada, dan karena memposisikan jalan napas membutuhkan waktu.
Penggunaan metode ABC dapat dilakukan apabila terdapat banyak penolong. Metode
terbaru menjelaskan bahwa CAB membantu efisiensi jalan napas, sehingga saat
dilakukannya kompresi tidak terlalu banyak interupsi.
Membuka Jalan Napas: Penolong adalah Masyarakat Awam
Masyarakat awam yang terlatih yang percaya diri bahwa dia mampu melakukan
kompresi sekaligus ventilasi harus membukan jalan napas tengan manuver head tilt-
chin lift. Untuk penolong yang hanya memberikan kompresi dada saja, dianjurkan untuk
memnerikan jalan napas secara pasif (seperti hiperekstensi leher untuk ventilasi pasif).

Membuka Jalan Napas : Tim Medis


Seorang tim medis harus menggunakan manuver head tilt-chin lift untuk
membuka jalan napas pada korban dengan bukti yang jelas bahwa tidak ada trauma
kepala dan leher. Antara 0,12-3,7% korban trauma tumpul mengalami cedera tulang
belakang, dan risiko cedera tulang belakang meningkat pada korban trauma
kraniofasial, GCS kurang dari 8 atau keduanya. Untuk korban dengan curiga cedera
tulang belakang, penolong harus melakukan fiksasi leher bila dibandingkan imobilisasi
korban. Apabila dicurigai terdapat cedera tulang belakang, penolong membuka jalan
napas dengan menggunakan manuverjaw thrust  tanpa mengekstensikan kepala. Karena
mempertahankan patensi jalan napas dan ventilasi merupakan prioritas dalam RJP.
Gunakan  manuver head tilt-chin lift apabila manuver  jaw thrust tidak adekuat
membuka jalan napas.

4.      Bantuan Pernapasan
AHA Guidelines for RJP and ECC 2010 menyusun banyak kesamaan rekomendasi
mengenai bantuan pernapasan dengan yang terdapat pada 2005:
 Memberikan bantuan pernapasan lebih dari 1 detik setiap kalinya
 Memberikan volume tidal yang cukup untuk gerakan dinding dada
 Perbandingan kompresi : ventilasi adalah 30:2.
 Apabila telah terpasang alat yang menjamin patensi jalan napas (seperti endotracheal
tube, Combitube, laringeal mask  airway [LMA], dengan 2 penolong RJP, berikan
bantuan pernapasan setiap 6 sampai 8 detik tanpa harus menyamakan dengan irama
kompresi (hal ini akan menghasilkan irama pernapasan 8 sampai 10 kali/menit). Saat
dilakukannya bantuan ventilasi, kompresi tidak boleh dihentikan.
Hasil penelitian pada orang dewasa yang dalam pengaruh anestesi (dengan
perfusi normal), volume tidal 8-10 mL/kg mengandung oksigenasi yang cukup dan
eliminasi CO2. Selama RJP, curah jantung adalah 25-30% dari normal, sehingga ambilan
oksigen dari paru dan pemasokan CO2 ke paru menurun. Sebagai hasilnya, ventilasi
yang sesaat (lebih rendah dari volum tidal normal dan kecepatan pernapasan) dapat
mempertahankan oksigenasi dan ventilasi yang efektif. Karena alasan ini, selama RJP
pada dewasa, volum tidal mendekati 500 sampai 600 mL (6-7 mL/kg) harus mencukupi.
Hal ini sesuai dengan bahwa volume tidal yang menghasilkan pergerakan dinding dada.
            Pasien dengan sumbatan jalan napas atau ganguan fungsi paru akan
membutuhkan tekanan tinggi agar ventilasi tercukupi (untuk pengembangan paru).
Pemberian tekanan pada saat resusitasi napas dengan menggunakan bag-mask akan
menyebabkan tersedianya suplai volum tidal yang cukup pada pasien ini. Pastikan
bahwa bag-mask dapat digunakan dengan tekanan tinggi, jika perlu sampai tercapainya
pengembangan paru. Ventilasi yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat
menyebabkan inflasi lambung, sehingga menimbulkan komplikasi berupa aspirasi dan
regurgitasi. Lebih penting lagi, ventilasi yang berlebihan akan berakibat buruk karena
hal ini akan meningkatkan tekanan intrathoraks, menurunkan aliran balik vena ke
jantung, dan mengurangi curah jantung. Kesimpulannya, penolong harus menghindari
ventilasi yang berlebihan (frekuensi napas yang terlalu sering atau volume yang terlalu
besar) selama RJP.
            Selama RJP, tujuan utama ventilasi adalah untuk mempertahankan oksigenasi
yang adekuat; disamping eliminasi. Biarpun, konsentrasi oksigen inspirasi yang optimal,
volum tidal dan frekuensi pernapasan untuk memenuhi tujuan di atas tidak diketahui.
Sebagai catatan, selama menit pertama saat henti jantung, bantuan pernapasan tidak
sepenting kompresi dada, karena kandungan oksigen di sisa nonsirkulasi darah arteri
tidak berubah sampai RJP dimulai; kandungan oksigen dalam darah tetap adekuat
selama menit-menit pertama RJP. Sebagai tambahan, percobaan untuk membuka jalan
napas dan memberikan bantuan napas akan menunda inisiasi untuk kompresi dada.
Masalah ini yang mendukung diterapkannya pendekatan CAB pada  2010 AHA Guidelines
for RJP and ECC (dengan kata lain, dimulai dengan kompresi dada sebelum membuka
jalan napas dan bantuan pernapasan).
Untuk korban henti jantung yang lama, baik ventilasi maupun kompresi penting karena
oksigen yang lama di darah telah dipergunakan dan oksigen di paru menurun. Ventilasi
dan kompresi juga penting untuk korban asfiksia, seperti anak-anak dan korban
tenggelam, karena pada mereka terjadi hipoksemia pada saat henti jantung.

Bantuan pernapasan dari mulut ke mulut


            Bantuan pernapasan dari mulut ke mulut menyuplai oksigen dan ventilasi
untuk korban. Untuk melakukan bantuan pernapasan dari mulut ke mulut, buka jalan
napas korban, pencet hidung korban, dan buat saluran kedap udara dengan merapatkan
mulut penolong dan korban. Berikan 1 napas selama 1 detik, ambil napas biasa (bukan
napas dalam), dan berikan bantuan napas kedua selama 1 detik. Pemilihan napas biasa
dibandingkan napas dalam dimaksudkan untuk mencegah inflasi yang berlebihan pada
paru korban. Penyebab utama terjadinya kesulitan ventilasi adalah kesulitan saat
membuka jalannapas, sehingga apabila dada korban tidak mengembang dengan bantuan
napas yang pertama, posisikan kepala kembali dengan manuver head tilt-chin
lift, kemudian berikan bantuan naps kedua.
Jika seorang korban dengan sirkulasi spontan (dengan kata lain, nadi kuat
teraba) memerlukan bantuan pernapasan, penolong harus memberikan bantuan napas
setiap 5-6 detik, atau sekitar 10-12 tarikan napas permenit. Setian napas
yang  diberikan harus menimbulkan pengembangan paru.

Bantuan Pernapasan dari Mulut ke Alat Penghubung


Beberapa penolong baik dari kalangan medis atau masyarakat awam ragu-ragu
untuk memberikan bantuan napas dari mulut ke mulut dan memilih untuk
menggunakan alat penghubung. Risiko penularan penyakit melalui mulut ke mulut
sebenarnya sangat rendah, sehingga memungkinkan untuk melakukan ventilasi dari
mulut ke mulut. Apabila bantuan napas diberikan menggunakan penghubung, penolong
tidak boleh menunda untuk melakukan kompresi dada hanya karena memasang alat
penghubung bantuan napas.
Bantuan napas dari mulut ke hidung dianjurkan jika ventilasi melalui mulut
tidak memungkinkan (misal, mulut mengalami trauma serius), mulut tidak bisa dibuka,
korban berada di dalam air, atau bantuan mulut ke mulut susah dilakukan. Sebuah
penelitian case series membuktikan bahwa pemberian bantuan dari mulut ke mulut
pada dewasa sangan memungkinkan, aman dan efektif.
Pemberian bantuan napas dari mulut ke stoma pada pasien dengan trakhea
stoma diharuskan untuk dilakukan. Alternatif yang beralasan lainnya adalah dengan
membuat lubang sempit yang kedap udara di atas stoma. Tidak ada bukti yang kuat
untuk keamanan, efektifitas atau kemungkinan untuk melakukan bantuan napas dari
mulit ke stoma. Sebuah penelitian menunjukkan, pada pasien dengan laringektomy,
penggunaan sungkup anak mem.berikan hasil ventilasi yang lebih baik dari pada
penggnaan sungkup dewasa.

Ventilasi dengan Ambu dan Sungkup


Penolong dapat memberikan ventilasi sungkup dengan udara ruangan atau
oksigen. Ventilasi menggunakan sungkup memberikan ventilasi tekanan positif tanpa
alat yang mempertahankan jalan napas; oleh karena itu, penggunaan sungkup dapat
menyebabkan inflasi lambung dan komplikasinya.

Ambu dan sungkup


Ambu dan sungkup harus memiliki: katup yang tidak boleh tersumbat,tidak ada
perbedaan tekanan yang melewati katup atau perbedaan tekanan mampu melewati
katup; ukuran penghubung standar 15/22 mm; sebuah reservoar oksigen yang
memungkinkan mengalirkan konsentrasi oksigen tinggi; sebuah
katup nonrebreathing yang tidak bisa tersumbat oleh benda asing dan tidak akan
tersumbat oleh aliran oksigen 30L/menit; dan kemampuan untuk berfungsi secara baik
pada kondisi lingkungan apa saja termasuk cuaca yang ekstrim.
Sungkup harus terbuat dari material transparan agar memungkinkan
terdeteksinya regurgitasi. Sungkup harus mampu menjadi lubang yang kedap udara
yang menempel di wajah, menutupi mulut dan hidung. Sungkup harus memiliki aliran
masuk oksigen yang memiliki penghubung dengan panjang standar 15/22mm. Sungkup
harus sesuai dipakai untuk ukuran dewasa dan ukuran anak-anak.

Ventilasi Sungkup-Ambu
Ventilasi menggunakan sungkup memerlukan keahlian khusus. Teknik ini tidak
dianjurkan untuk satu penolong. Teknik ini efektif dilakukan apabila terdapat 2 orang
penolong yang terlatih. Seorang penolong membuka jalan napas dan memberikan
ventilasi. Kedua penolong harus melihat pada pengembangan dada pasien.
            Penolong harus menggunakan sungkup dewasa untuk menyuplai oksigen
mendekati 600mL volume tidal untuk pasien dewasa. Jumlah ini biasanya mampu
menghasilkan pengembangan paru dan mampu mempertahankan oksigen yang adekuat
dan keadaan normokarbia pada pasien apnea. Jika jalan napas terbuka dengan baik,
terdapat kedap udara antara sungkup dan wajah, maka oksigen akan masuk sebanyak
2/3 dari 1 L ambu dewasa atau 1/3 dari 2L ambu dewasa. Apabila tidak terpasang alat
yang menjamin patensi jalan napas, makapenolong harus melakukan kompresi dada :
ventilasi sebanyak 30:2. Penolong yang berasal dari tim medis harus memberikan
oksigen tambahan (dengan konsentrasi O2 40%, dengan aliran rata-rata 10-12 L/menit)
jika memungkinkan.

Ventilasi denganAlat Patensi Jalan Napas


            Dengan terpasangnya alat patensi jalan napas, penolong bisa memaksimalkan
kompresisi dada lebih dari 100kali permenit tanpa harus diselingin dengan pemberian
ventilasi.

Penekanan Krikoid
Penekanan pada krikoid adalah sebuah teknik yang mennggunakan tekanan
pada tulang rawan krikoid korban untuk menekan trakea ke arah posterior dan
menekan esofagus ke tulang belakang bagian servikal. Teknik ini dapat mencegah inflasi
lambung dan mengurangi risiko regurgitasi dan aspirasi selama pertolongan ventilasi
dengan sungkup namun hal ini sulit dilakukan. Sehingga tidak dianjurkan
pelaksanaannya.
5.   AED Defibrillation
Seluruh penyedia BHD harus terlatih untuk memberikan defibrilasi karena
fibrilasi vetrikuler (VF) adalah hal yang sering terjadi dan dapat ditatalaksana
secepatnya. Harapan hidup korban tinggi apabila penolong RJP mampu memberikan
defibrilasi secara cepat. Pemberian kompresi dada menjelang alat defibrilasi siap
digunakan sangat membantu pertahanan hidup korban.
           
6.    Posisi Pemulihan
            Posisi ini dilakukan pada korban yang tidak berespon, yang memiliki usaha napas
baik dan sirkulasi yang efektif. Posisi ini dirancang untuk mempertahankan jalan napas
dan mencegah aspirasi. Pasien dimiringkan ke satu sisi, dimana posisi lengan bawah di
depan tubuh. ada banyak posisi pemulihan yang bisa digunakan, disesuaikan dengan
kebutuhan pasien. Pada prinsipnya, posisi ini harus sabil, mendekati posisi lateral,
kepala harus tersangga, dan dada harus bebas dari tekanan.

7. Resusitasi pada Keadaan Khusus


Sindroma Koroner Akut (SKA)
Hal yang penting diketahui oleh keluarga pasien yang berikiko menderita
sindroma koroner akut adalah mengetahui tanda dan gejala serangan sindroma koroner
akut. Deteksi dini, diagnosis, dan penanganan yang tepat dapat mencegah kerusakan
pada jantung dan menghasilkan prognosis yang baik. Tanda klasik dari SKA adalah nyeri
dada, nyeri pada tubuh bagian atas, sesak, mual, berkeringat, dan sakit kepala.
Pertolongan gawat darurat yang bisa diberikan tim medis adalah dengan menyurus
pasien untuk mengunyah aspirin, dengan syarat pasien tidak alergi aspirin dan tidak ada
perdarahan lambung dalam waktu dekat. Selain itu berikan oksigen untuk pasien. Lalu
pasien dirujuk ke rumah sakit pusat jantung.

Stroke
Pasien dengan risiko tinggi menderita stroke, maka keluarga dan penyedia BHD
harus mampu mendeteksi sedini mungkin tanda dan gejala serangan stroke sehingga
dapat secepat mungkin menghubungi sistem medis gawatdarurat saat serangan terjadi.
Gejala dan tanda serangan stroke adalah tiba-tiba terasa kebas atau lemah pada wajah,
lengan, atau kaki, khususnya pada salah satu sisi tubuh; tiba-tiba bingung, susah
berbicara atau mengerti pembicaraan; tiba-tiba pandangan kabur pada satu atau kedua
mata; tidak bisa berjalan secara tiba-tiba, pusing, kehilangan keseimbangan, dan tiba-
tiba kepala terasa sakit hebat tanpa sebab yang jelas. Pertolongan pertama yang bisa
diberikan adalah dengan memastikan pasien cukup oksigen yaitu dengan memberikan
oksigen secara langsung sambil pasien di rujuk ke rumah sakit.

Tenggelam
Yang ditakutkan dari tenggelam adalah terjadinya hipoksia. Maka dari itu,
penolong harus mampu memberikan bantuan napas sesegera mungkin setelah pasien di
evakuasi dari dalam air. Hal yang pertama diberikan adalah RJP sebanyak 5 siklus.
Bantuan napas dari mulut ke mulut selama di dalam air mungkin membantu ketika
penolong adalah penolong terlatih.

Hipotermia
Jika korban tidak berespon terhadap bantuan napas normal, maka dapat
diberikan kompresi dada sesegera mungkin. Lepaskan seluruh pakaian pasien dan
selimuti pasien dengan selimut yang hangat, jika memungkinkan berikan oksigen.
Sumbatan Jalan Napas oleh Benda Asing (Tersedak)
Apabila kita menemukan pasien tersedak, maka manuver yang bisa digunakan
adalah dengan menepuk punggung pasien, mendorong perut atau mendorong dada
pasien. Apabila tidak berhasil bisa dilakukan ekstraksi menggunakan Magill forsep.

8.   Kesimpulan
Langkah-langkah dari BHD adalah:
 Sesegera mungkin mengenal dan bereaksi terhadap kondisi gawat darurat
 Sedini mungkin melakukan RJP
 Defibrilasi cepat untuk kasus fibrilasi ventrikuler
Ketika seorang dewasa tiba-tiba kolaps, siapapun yang berada didekatnya harus
melakukan panggilan kepada tim gawat darurat dan segera melakukan kompresi dada.
Penolong yang terlatih dan tim medis harus mampu memberikan kompresi dada dan
ventilasi. Bertolak belakang dengan pakem yang berkembang pada situasi ini, RJP tidak
membahayakan. Tidak berbuat apa-apa justru membahayakan dan RJP dapat
menyelamatkan nyawa. Kompresi dada harus segera dilakukan dengan cara menekan
secara dalam dan cepat pada bagian tengah dada. Penolong harus mengevaluasi apakah
terjadi pengembangan dinding dada setiap melakukan kompresi dan meminimalisir
interupsi saat dilakukannya kompresi. Ventilasi yang berlebihan sebaiknya dihindari.
Jika memungkinkan pasang otomatis eksternal defibrilasi, tanpa menunda dilakukannya
kompresi dada. Dengan melkasanakan bantuan hidup dasar yang cepat, tepat dan
efektif, banyak nyawa yang bisa diselamatkan setiap harinya.

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (2015). Fokus Utama Pembaharuan Pedoman American Heart
Association untuk CPR dan ECG (edisi Bahasa Indonesia)

Anda mungkin juga menyukai