Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA ANAK DENGAN KASUS DEMAM THYPOID

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Praktek Klinik Keperawatan


Mata Kuliah Keperawatan Anak
RSI MASYITOH BANGIL

Oleh:
Latifatul Hasanah
P17220194063

D- III KEPERAWATAN MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran
(Rampengan, 2007) dalam (Ulfa & Handayani, 2018). Penularan demam
tifoid melalui fecal dan oral yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi (Widoyono, 2011) dalam
(Mustofa et al., 2020).

B. ETIOLOGI
Penyebab dari demam tifoid adalah Salmonella Typhi yang merupakan
mikroorganisme bakteri gram negatif bersifat aerob dan tidak membentuk
spora yang memiliki beberapa komponen antigen yaitu :
- Antigen sel O yang merupakan lipopolisakarida yang bersifat spesifik
group.
- Antigen flagella H yang merupakan komponen protein dalam flagella
yang bersifat spesifik spesies.
- Antigen Vi yang merupakan polisakarida yang berada di kapsul
berfungsi melindungi seluruh permukaan sel dan berfungsi untuk
invaksif bakteri dan efektivitas vaksin. Ketiga antigen di dalam tubuh
akan membentuk antibodi aglutinin.
- Antigen OMP yang merupakan bagian dari dinding sel terluar yang
terletak di membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang
membatasi sel dengan lingkungan. Salmonella Typhii hanya dapat
hidup pada manusia dengan sumber penularan berasal dari tinja dan
urine penderita (Sucipta, 2015)
C. PATOFISIOLOGI
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi. Bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri basil gram negatif
ananerob fakultatif. Bakteri Salmonella akan masuk kedalam tubuh
melalui oral bersama dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi.
Sebagian bakteri akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung.
Sebagian bakteri Salmonella yang lolos akan segera menuju ke usus halus
tepatnya di ileum dan jejunum untuk berkembang biak. Bila sistem imun
humoral mukosa (IgA) tidak lagi baik dalam merespon, maka bakteri akan
menginvasi kedalam sel epitel usus halus (terutama sel M) dan ke lamina
propia. Di lamina propia bakteri akan difagositosis oleh makrofag. Bakteri
yang lolos dapat berkembang biak didalam makrofag dan masuk ke
sirkulasi darah (bakterimia I). Bakterimia I dianggap sebagai masa
inkubasi yang dapat terjadi selama 7-14 hari Bakteri Salmonella juga dapat
menginvasi bagian usus yang bernama plak payer. Setelah menginvasi
plak payer, bakteri dapat melakukan translokasi ke dalam folikel limfoid
intestin dan aliran limfe mesenterika dan beberapa bakteri melewati sistem
retikuloendotelial di hati dan limpa. Pada fase ini bakteri juga melewati
organ hati dan limpa. Di hati dan limpa, bakteri meninggalkan makrofag
yang selanjutnya berkembang biak di sinusoid hati. Setelah dari hati,
bakteri akan masuk ke sirkulasi darah untuk kedua kalinya (bakterimia II).
Saat bakteremia II, makrofag mengalami hiperaktivasi dan saat makrofag
memfagositosis bakteri, maka terjadi pelepasan mediator inflamasi salah
satunya adalah sitokin. Pelepasan sitokin ini yang menyebabkan
munculnya demam, malaise, myalgia, sakit kepala, dan gejala toksemia.
Plak payer dapat mengalami hyperplasia pada minggu pertama dan dapat
terus berlanjut hingga terjadi nekrosis di minggu kedua. Lama kelamaan
dapat timbul ulserasi yang pada akhirnya dapat terbentuk ulkus diminggu
ketiga.
Terbentuknya ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi. Hal
ini merupakan salah satu komplikasi yang cukup berbahaya dari demam
tifoid (Levani & Prastya, 2020)

PATHWAY DEMAM TIFOID

Salmonella Thposa
Saluran pencernaan

Lolos dari asam Sebagian Dimusnahkan


lambung oleh lambung
Hati dan limpa

Usus halus Peningkatan produksi


hepatosplenomegali asam lambung

Jaringan limfoid
Mual, muntah Mual, muntah

Aliran darah
Intake tak
adekuat
Penurunan nafsu makan

Resiko defisit Seluruh tubuh


volume cairan
Defisit nutrisi

Mengeluarkan
Dehidrasi endotokrin

\ Pelepasan
Syok hipovolemik mediator
inflamasi

Kesadaran Suhu Tubuh

Reflek menelan Hipertermia


Lendir

D. MANIFESTASI KLINIS
Bersihan jalan napas
tidak efektif
Gejala klinis yang biasanya muncul pada pasien dengan demam tifoid
yaitu :
- Demam meningkat secara perlahan akan meningkat menjelang sore
dan malam, dan akan turun ketika siang hari.
- Sakit kepala
- Anoreksia
- Nausea
- Nyeri perut
- Konstipasi
- Myalgia dan athralgia
- Lidah kotor
- Hepatomegali
- Nyeri tekan abdomen (Levani & Prastya, 2020)

E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin akan terjadi pada pasien dengan demam tifoid
antara lain :
1. Pneumonia
2. Perdarahan saluran pencernaan
3. Perforasi intestinal
4. Kardiovaskular akut, akibat miokarditis yang dapat menyebabkan
kematian dalam 2 minggu pertama demam tifoid
5. Peritonitis (Adisasmito, 2016)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan darah lengkap ditemukan leukositosis, trombositosis,
anemia, lifositosis dan eosinophilia.
- Pemeriksaan serologi dengan tes widal (Zaidan & Hadi, 2020)
G. PENATALAKSANAAN

Menurut (Rosinta, 2015) penatalaksanaan demam tifoid dibagi menjadi 3 yaitu :


1. Perawatan
Penderita tifoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan
kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus
diobservasi agar tidak terjadi aspirasi. Tanda komplikasi demam tifoid
yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar juga perlu
mendapatkan perhatian.
2. Diet
Penderita diberi diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian bubur kasar
dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan pasien. Kualitas
makanan disesuaikan baik kalori, protein, vitamin maupun mineral.
Makanan diusahakan yang rendah selulosa dan menghindari makanan
yang iritatif. Pada penderita dengan gangguan kesadaran pemasukkan
makanan harus lebih diperhatikan.
3. Obat – obatan

Menurut jurnal (Rampengan, 2016) terapi obat yang dapat diberika adalah :
a. Azitromisin
Azitromisin adalah antibiotik golongan makrolid pertama yang termasuk
dalam kelas azalide. Pemberian azitromisin dengan dosis 10 mg/ kgBB
selama 7 hari terbukti efektif pada terapi demam.
b. Sefiksim
Sefiksim merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga oral,
mempunyai aktifitas antimikroba terhadap kuman Gram positif maupun
negatif termasuk Enterobacteriaceae. Sefiksim mempunyai efikasi dan
toleransi yang baik untuk pengobatan demam tifoid anak

Sedangkan menurut (Artanti, 2013) penatalaksanaan yang digunakan untuk


mengatasi pada pasien dengan demam tifoid :
a. Pemberian antibiotik
Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam
tifoid. Obat yang sering dipergunakan adalah
1. Kloramfenikol 100mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari
2. Amoksili 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.
3. Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.
4. Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg selam 6
hari; ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari
selama 3 hari).

b. Istirahat dan Perawatan


Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita
sebaiknya beristirahat total ditempat tidur selama 1 minggu setelah bebas
dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan keadaan
penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan
perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air
besar dan air kecil.

c. Terapi penunjang dan Diet


Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi
makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan
yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan dan
kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar
dapat menunjang kesembuhan penderita (Widoyono, 2011: 44).

Tabel obat pada jurnal (Nelwan, 2012)


KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PADA DEMAM TYPHOID

1. PENGKAJIAN UMUM
- Identitas klien, yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, alamat,
pekerjaan, suku atau bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk
rumah sakit, nomor rekam medik dan diagnosa medis.
- Keluhan utama : keluhan utama pada demam tifoid biasanya demam
tinggi, nyeri perut, kepala sakit, mual muntah, anorekia dan diare
- Riwayat penyakit sekarang, gejala atau kronologi penyakit yang
diderita klien pada saat ini.
- Riwayat penyakit dahulu, apakah sebelumnya klien memiliki riwayat
penyakit yang sama dengan saat ini.
- Riwayat penyakit keluarga, ada tidaknya riwayat penyakit serupa pada
keluarga.
- Istirahat dan tidur : gangguan pola tidur, mis. Insomnia dini hari,
kelemahan
- Eliminasi : nyeri abdomen, distress, terdapat keluhan susah BAB.
- Pola nutrisi : kemampuan makan, jenis, frekuensi makanan.
- Pada pemeriksaan fisik ditemukan : lidah kotor berwarna putih,
demam, hepatomegali, tenderness, hidung tersumbat, suhu tinggi,
distensi abdominal (kembung)
- Pemeriksaam darah tepi : penurunan kadar hemoglobin,
trombositopenia, leukosit normal
- Uji serologi widal : antibodi aglutinasi terhadap antigen O yang berasal
dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Hipertermia b.d proses penyakit
b. Deficit nutrisi b.d factor psikologis
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Hipertermia
Observasi
o Identifkasi penyebab hipertermi (mis. dehidrasi terpapar
lingkungan panas penggunaan incubator)
o Monitor suhu tubuh
o Monitor kadar elektrolit
o Monitor haluaran urine

Terapeutik

o Sediakan lingkungan yang dingin


o Longgarkan atau lepaskan pakaian
o Basahi dan kipasi permukaan tubuh
o Berikan cairan oral
o Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hiperhidrosis (keringat berlebih)
o Lakukan pendinginan eksternal (mis. selimut hipotermia atau
kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen,aksila)
o Hindari pemberian antipiretik atau aspirin

Edukasi

o Anjurkan tirah baring


o Kolaborasi
o Kolaborasi cairan dan elektrolit intravena, jika perlu

b. Deficit nutrisi

Observasi
o Identifikasi status nutrisi
o Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
o Identifikasi makanan yang disukai
o Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
o Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
o Monitor asupan makanan
o Monitor berat badan
o Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

Terapeutik

o Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu


o Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
o Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
o Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
o Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
o Berikan suplemen makanan, jika perlu
o Hentikan pemberian makan melalui selang nasigastrik jika
asupan oral dapat ditoleransi

Edukasi

o Anjurkan posisi duduk, jika mampu


o Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

o Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda


nyeri, antiemetik), jika perlu
o Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlU
c. Bersihan jalan napas tidak efektif
Observasi
o Identifikasi kemampuan batuk
o Monitor adanya retensi sputum
o Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
o Monitor input dan output cairan ( mis. jumlah dan
karakteristik)

Terapeutik

o Atur posisi semi-Fowler atau Fowler


o Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
o Buang sekret pada tempat sputum

Edukasi

o Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif


o Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan
bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
o Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
o Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam
yang ke-3

Kolaborasi

o Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu

4. IMPLEMESTASI
Selama tahap implementasi perawat melaksanakan rencana asuhan
keperawatan. Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu
klien memenuhi kriteria hasil. Dalam implementasi terdapat tiga
komponen tahap implementasi, yaitu: tindakan keperawatan mandiri,
tindakan keperawatan kolaboratif, dan dokumentasi tindakan
keperawatan dan respons klien terhadap asuhan keperawatan (Allen,
1998) dalam (Puspitasari, 2019)

5. EVALUASI
Tahap evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil
yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan
lainnyasecara umum, evaluasi ditujukan untuk melihat dan menilai
kemampuan klien dalam mencapai tujuan, menentukan apakah tujuan
keperawatan telah tercapai atau belum, mengkaji penyebab jika tujuan
asuhan keperawatan belum tercapai.Evaluasi terbagi menjadi dua jenis
yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfokus
pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan,
dirumuskan dengan empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP,
subyektif(data berupa keluhan klien), objektif (data hasil pemeriksaan),
analisis data (pembandingan data dengan teori), perencanaan. Sedangkan
evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas
proses keperawatan selesai dilakukan (Asmadi, 2008) dalam
(Puspitasari, 2019)
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito, A. W. (2016). Penggunaan antibiotik pada terapi demam tifoid anak


di RSAB Harapan Kita. Sari Pediatri, 8(3), 174–180.

Artanti, N. W. (2013). Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan, Higiene


Perorangan, Dan Karakteristik Individu Dengan Kejadian Demam Tifoid Di
Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2012.
Universitas Negeri Semarang.

Levani, Y., & Prastya, A. D. (2020). Demam Tifoid: Manifestasi Klinis, Pilihan
Terapi Dan Pandangan Dalam Islam. Al-Iqra Medical Journal: Jurnal
Berkala Ilmiah Kedokteran, 3(1), 10–16.

Mustofa, F. L., Rafie, R., & Salsabilla, G. (2020). Karakteristik Pasien Demam
Tifoid pada Anak dan Remaja. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada,
12(2), 625–633. https://doi.org/10.35816/jiskh.v12i2.372

Nelwan, R. H. H. (2012). Tata laksana terkini demam tifoid. Cermin Dunia


Kedokteran, 39(4), 247–250.

Puspitasari, kristia ayu indah. (2019). ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN


DENGAN PENYAKIT GINJAL KRONIK DI RSUD. ABDUL WAHAB
SJAHRANIE SAMARINDA. Sustainability (Switzerland), 11(1), 19.
http://scioteca.caf.com/bitstream/handle/123456789/1091/RED2017-Eng-
8ene.pdf?sequence=12&isAllowed=y
%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.regsciurbeco.2008.06.005%0Ahttps://www.r
esearchgate.net/publication/305320484_SISTEM_PEMBETUNGAN_TERP
USAT_STRATEGI_MELESTARI

Rampengan, N. H. (2016). Antibiotik terapi demam tifoid tanpa komplikasi pada


anak. Sari Pediatri, 14(5), 271–276.

Rosinta, L. (2015). Hubungan Durasi Demam Dengan Kadar Leukosit Pada


Penderita Demam Tifoid Anak Usia 5–10 Tahun Yang Dirawat Inap Di
Rumah Sakit Al-Ihsan Periode Januari–Desember Tahun 2014.

Sucipta, A. (2015). Baku emas pemeriksaan laboratorium demam tifoid pada


anak. Jurnal Skala Husada, 12(1), 22–26.

Ulfa, F., & Handayani, O. W. K. (2018). Kejadian Demam Tifoid di Wilayah


Kerja Puskesmas Pagiyanten. HIGEIA (Journal of Public Health Research
and Development), 2(2), 227–238.
https://doi.org/10.15294/higeia.v2i2.17900

Zaidan, Z., & Hadi, S. (2020). Karakteristik Penderita Demam Tifoid di RS. Ibnu
Sina Kota Makassar Tahun 2016-2017. UMI Medical Journal, 5(1), 57–68.

Anda mungkin juga menyukai