Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laporan keuangan merupakan tolak ukur efisiensi dan efektifitas kinerja

suatu perusahaan, dan diharapkan laporan keuangan dapat berfungsi maksimal

dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pihak berkepentingan

(Aprilia, 2017). Laporan keuangan yang berkualitas, relevan, dapat dipercaya

dan diandalkan serta terbebas dari salah saji material merupakan sumber

informasi untuk pengambilan keputusan (Achmad, 2018). Laporan keuangan

berisi informasi yang dibutuhkan guna berinvestasi di pasar modal, yang

mencerminkan kondisi keuangan perusahaan dan menjadi pertimbangan

berbagai pihak seperti investor untuk berinvestasi pada perusahaan yang

tercatat di pasar modal (Ramadhan, 2021).

Penilaian auditor independen dibutuhkan dalam rangka meningkatkan

reliability laporan keuangan. Peran akuntan publik sebagai pihak independen

diharapkan dapat memediasi perbedaan kepentingan antara direksi perusahaan

dan pemegang saham (agency problems) (Wibowo & Rahmawati, 2019). Auditor

independen adalah auditor yang bekerja untuk Kantor Akuntan Publik (KAP).

Kantor Akuntan Publik (KAP) merupakan sebuah bentuk organisasi akuntan

publik yang memiliki lisensi hukum dan regulasi yang bekerja di bidang

penyediaan jasa profesional dalam praktek akuntan publik (Winata &

Anisykurlillah, 2017). Oleh karena itu, auditor dituntut memiliki tingkat

independensi yang tinggi.


Perilaku profesional dan independensi auditor harus dijaga, auditor

diharapkan tidak memiliki kedekatan hubungan dengan kliennya. Hubungan yang

terjalin lama dan dekat antara auditor dan auditee dikhawatirkan memiliki

dampak yang negatif terhadap tingkat independensi auditor dalam menyatakan

sebuah opini audit (Augustyvena & Wilopo, 2017). Isu mengenai independensi

auditor juga menjadi salah satu perhatian pemerintah di Indonesia. Kasus yang

menimpa perusahaan Enron pada tahun 2002 yang melibatkan KAP Arthur

Andersen di dalamnya, bukan tidak mungkin dapat terjadi di Indonesia. Sejumlah

produk hukum telah dikeluarkan oleh pemerintah guna menjaga independensi

auditor. Yang terbaru saat ini, pemerintah telah mengeluarkan UU No.5 Tahun

2011 tentang Akuntan Publik yang mana pada pasal 4 ayat 1 dinyatakan bahwa

“Pemberian jasa audit oleh Akuntan Publik dan / atau KAP atas informasi

keuangan historis suatu klien dapat dibatasi dalam jangka waktu tertentu”

(Undang-Undang No.5 Tahun 2011, 2011). Regulasi ini kemudian diperjelas

melalui PP No.20 Tahun 2015 tentang Praktik Akuntan Publik pada pasal 11 ayat

1 yang menyatakan bahwa pemberian jasa audit atas informasi keuangan

historis terhadap suatu entitas oleh seorang Akuntan Publik dibatasi paling lama

5 tahun buku berturut-turut (Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2015, 2015).

Regulasi tersebut bertujuan menjaga independensi auditor dengan membatasi

masa perikatan kerja auditor dengan auditee, sehingga timbul pergantian auditor

secara mandatory (wajib) (Husnimubaroq & Majidah, 2019).

Auditor switching adalah fenomena dimana auditor yang bertugas saat ini

tidak lagi ditugaskan pada tahun berikutnya (Adli & Suryani, 2019). Akhir-akhir ini

pergantian auditor telah menarik perhatian dari investor, regulator, dan

akademisi, sebab perusahaan yang beralih auditor dipandang berisiko lebih

tinggi. Istilah pergantian auditor (auditor switching) merujuk pada penghentian


auditor (auditor termination). Waktu penghentian auditor dapat menandakan

peningkatan risiko perusahaan ketika hal itu terjadi secara tidak terduga pada

waktu yang tidak normal. Penghentian auditor kemudian dibedakan menjadi dua,

yaitu penghentian secara tiba-tiba (abrupt) dan penghentian yang direncanakan

(planned). Pergantian wajib auditor dipandang sebagai pergantian yang telah

direncanakan (planned), sedangkan pergantian sukarela bisa jadi dilakukan

secara mendadak (abrupt) ataupun telah direncanakan (planned) (Her et al.,

2019). Waktu penghentian auditor yang direncakan normalnya dilakukan pada

masa setelah audit selesai dilaksanakan namun Rapat Umum Pemegang Saham

Tahunan (RUPST) mengenai pembahasan ratifikasi auditor belum

diselenggarakan.

Pada tahun 2019, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah melakukan

RUPST pada April 2019 sedangkan opini audit untuk tahun buku 2018 baru

dikeluarkan pada Juli 2019. Salah satu agenda pembahasan RUPST adalah

penunjukan auditor baru untuk tahun buku 2019. Pergantian ini menandakan

adanya pergantian auditor secara mendadak (abrupt) karena ditentukan sebelum

audit sepenuhnya selesai dilaksanakan. Selama kurun waktu 2016-2020, Garuda

Indonesia telah berganti auditor sebanyak 4 kali. Hasilnya, Garuda Indonesia

memperoleh opini WTP / unqualified sebanyak 3 kali, WTP dengan paragraf

penjelasan sebanyak 1 kali, dan terakhir di tahun 2020 mendapatkan opini

disclaimer. Selain Garuda Indonesia, beberapa perusahaan yang tercatat pada

sektor transportasi dan logistik di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga melakukan

pergantian auditor selama kurun waktu tersebut, diantaranya PT Adi Sarana

Armada Tbk sebanyak 2 kali, PT Air Asia Indonesia Tbk sebanyak 2 kali, PT Blue

Bird Tbk sebanyak 1 kali, dan beberapa perusahaan lainnya di sektor yang sama

yang juga melakukan auditor switching pada rentang waktu tersebut.


Pergantian auditor hanya akan terjadi apabila salah satu pihak, baik klien

atau auditor, percaya bahwa manfaat dari pemisahan melebihi biaya. Pergantian

auditor tidak selalu terjadi karena alasan-alasan negatif. Perusahaan yang

mengalami pertumbuhan yang tinggi akan mencari KAP yang lebih berkualitas

untuk perusahaan besar. Perusahaan akan mencari kualitas audit yang lebih

tinggi untuk meningkatkan market perception dalam menyiapkan peristiwa di

masa depan seperti pendanaan eksternal ataupun going public. Namun, literatur

pergantian auditor menunjukkan bahwa pergantian sering terjadi karena alasan

yang tidak menguntungkan yang dapat mengindikasikan peningkatan risiko klien.

Misalnya, perusahaan yang mengalami kesulitan finansial cenderung mencari

auditor baru ketika auditor sebelumnya memutuskan untuk berhenti. Beberapa

perusahaan memberhentikan auditornya untuk mencari auditor baru yang lebih

toleran terhadap kebijakan akuntansi mereka yang agresif atau dikarenakan

ketidaksepemahaman yang serius mengenai masalah akuntansi. Manajemen

memiliki insentif untuk menyembunyikan alasan sebenarnya dari perubahan

auditor, yang menambah pentingnya untuk dapat menyimpulkan alasan

sebenarnya dari berbagai sinyal, seperti waktu pergantian auditor (Her et al.,

2019).

Penelitian terdahulu mengungkapkan beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi auditor switching, diantaranya opini audit, financial distress, dan

ukuran perusahaan. Opini audit adalah hasil akhir dari proses audit yang

dilakukan oleh auditor. Pada variabel opini audit terdapat perbedaan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Srimindarti (2006) yang menyatakan bahwa opini

audit mempengaruhi auditor switching dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Pratini dan Astika (2013) dan Astrini dan Muid (2013) yang menyatakan

bahwa opini audit tidak berpengaruh terhadap auditor switching.


Financial distress merupakan sebuah kondisi dimana perusahaan mengalami

kesulitan keuangan sehingga dikhawatirkan akan bankrut. Penelitian Winata &

Anisykurlillah (2017) menyatakan bahwa financial distress tidak berpengaruh

terhadap auditor switching. Adapun Manto & Manda (2018) menyatakan bahwa

financial distress berpengaruh negatif signifikan terhadap auditor switching.

Ukuran perusahaan adalah ukuran yang menunjukkan seberapa besar

perusahaan tersebut yang ditunjukkan dengan total aset, penjualan, dan

kapitalisasi pasar. Perusahaan akan cenderung memilih Kantor Akuntan Publik

yang sesuai dengan ukuran perusahaan (Winata & Anisykurlillah, 2017).

Penelitian Winata & Anisykurlillah (2017) mengatakan bahwa ukuran perusahaan

berpengaruh positif signifikan terhadap auditor switching. Hasil ini bertolak

belakang dengan penelitian Husnimubaroq & Majidah (2019) yang mengatakan

bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap auditor switching.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh audit opinion, financial

distress, dan ukuran perusahaan terhadap fenomena auditor switchin yang

terjadi pada perusahaan sektor transportasi dan logistik yang listing di Bursa Efek

Indonesia selama periode tahun 2016-2020.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, maka

rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah audit opinion berpengaruh terhadap auditor switching?

2. Apakah financial distress berpengaruh terhadap auditor switching?

3. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap auditor switching?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis beberapa hal berikut ini :


1. Pengaruh audit opinion terhadap auditor switching.

2. Pengaruh financial distress terhadap auditor switching.

3. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap auditor switching.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis.

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan menyediakan kajian

serta tambahan bukti empirik mengenai audit opinion, financial distress, ukuran

perusahaan dan auditor switching.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan bagi pemerintah sebagai regulator guna menyusun ataupun

memperbaharui peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan sebelumnya terkait

akuntan publik, khususnya mengenai independensi auditor melalui pembatasan

masa pemberian jasa audit.

1.5 Sistematika Penulisan

Demi mempermudah memahami pembahasan penelitian ini, maka peneliti

menyajikan gambaran tentang sistematika penulisan penelitian pada tiap bab

sebagai berikut :

Bab pertama merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang,

rumusan masalah, tujuan, kegunaan, dan sistematika penulisan penelitian.

Pendahuluan menjelaskan mengenai fenomena yang terjadi dan alasan

fenomena tersebut diangkat menjadi penelitian, dengan mengemukakan

masalah dan tujuan penelitiannya. Selain itu, pada bab ini juga dijelaskan
mengenai manfaat dan sistematika penelitian agar pembaca mudah untuk

memahami alur penelitian ini.

Bab kedua merupakan tinjauan pustaka, yang terdiri dari tinjauan teori dan

konsep serta tinjauan empiris. Pada bab ini diuraikan teori dan konsep apa saja

yang digunakan dalam penelitian ini untuk menjustifikasi sebuah fenomena, serta

menguraikan bukti-bukti empirik yang berkaitan dengan penelitian terdahulu

sebagai acuan.

Bab ketiga merupakan kerangka konseptual dan hipotesis, bagian ini

menjelaskan keterkaitan variabel-variabel dengan teori yang digunakan sebagai

kacamata untuk melihat fenomena dan merumuskan hipotesis penelitian.

Bab keempat merupakan metode penelitian, yang mana menjelaskan alur

penelitian dari awal hingga akhir. Pada bagian ini diuraikan secara rinci

mengenai rancangan penelitian, populasi, sampel, dan teknik pengambilan

sampel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, variabel penelitian

dan definisi operasional, hingga teknik analisis data.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori dan Konsep

2.1.1 Agency Theory

Masalah pergantian auditor dapat dijelaskan dengan menggunakan teori

agensi (agency theory). Menurut Jensen dan Meckling (dalam Augustyvena &

Wilopo, 2017) menyatakan bahwa teori keagenan menggambarkan konflik

kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik atau pemegang saham

(principal). Pihak prinsipal atau pemilik memberikan tanggung jawab dan

kewenangan tertentu kepada pihak manajemen untuk mengelola seluruh sumber

daya perusahaan dengan pengambilan keputusan strategis dalam rangka

menjaga kelangsungan hidup (going concern) perusahaan. Perusahaan

melakukan pelaporan keuangan sebagai informasi pengambilan keputusan dan

bentuk pertanggung jawaban pihak agent yang mengelola dana dari pihak

principal. Konflik kepentingan muncul ketika pemilik menginginkan agar semua

kegiatan operasional dapat berjalan dengan lancar dan pihak manajemen ingin

selalu menjaga kepercayaan pihak prinsipal dan memberikan gambaran kinerja

yang terbaik. Menurut Augustyvena dan Wilopo (2017) beberapa konflik atau

hambatan dapat terjadi, seperti:


1) Pihak manajemen dengan sengaja menyalahgunakan laporan yang

dibuat agar tetap terlihat baik untuk menjaga kepercayaan yang diberikan

oleh prinsipal;

2) Manajemen ingin menunjukkan bahwa kinerjanya tampak berhasil dengan

membuat laporan keuangan terlihat baik dengan maksud untuk

mendapatkan apresiasi dari prinsipal.

Oleh karena itu, untuk menjembatani konflik antara agen dan prinsipal,

perlu mempekerjakan pihak ketiga yang independen, yaitu auditor. Hasil

penilaian auditor yang dituangkan dalam bentuk opini merupakan ukuran

keaslian informasi pelaporan keuangan dengan keadaan perusahaan yang

sebenarnya. Teori keagenan ini memiliki manfaat membantu auditor sebagai

pihak ketiga untuk memahami konflik kepentingan yang dapat timbul antara

prinsipal dan agen serta menjembatani antara kedua pihak. Dengan adanya

auditor independen diharapkan kecurangan dalam laporan keuangan tidak terjadi

atau dapat dideteksi. Secara bersamaan dapat mengevaluasi kinerja agen yang

akan menghasilkan sistem informasi yang relevan (Winata & Anisykurlillah,

2017).

2.1.2 Auditor Switching

Malek dan Saidin (2014) dalam Adli dan Suryani (2019) menyatakan

bahwa auditor switching adalah fenomena di mana auditor yang bertugas saat ini

tidak lagi ditugaskan pada masa yang akan datang. Mardiyah (dalam Ismanto &

Mandah, 2018) berpendapat bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi

perusahaan berganti KAP adalah faktor klien (Client-related Factors), yaitu:

kesulitan keuangan, manajemen yang gagal, perubahan ownership, Initial Public

Offering (IPO) dan faktor auditor (Auditor-related Factors), yaitu: fee audit dan
kualitas audit. Alasan pergantian auditor dapat terjadi karena peraturan yang

membatasi masa perikatan audit, seperti yang terjadi di Indonesia. Alasan lain

pergantian karena adanya ketidaksepakatan atas praktik akuntansi tertentu,

maka klien akan pindah ke auditor yang dapat bersepakat dengan klien.

Auditor switching terbagi kedalam dua jenis yaitu secara voluntary

(sukarela) dan mandatory (wajib). Regulasi Menteri Keuangan Nomor 17 Tahun

2008 yang kemudian diperbarui dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah

Nomor 20 Tahun 2015 tentang Praktik Akuntan Publik. Untuk menjaga

kemungkinan adanya opinion shopping dikalangan perusahaan maka beberapa

negara menerapkan peraturan terkait dengan pergantian auditor. Dalam

Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2015 tentang Praktik Akuntan Publik

(Indonesia) pada pasal 11 ayat (1) dijelaskan bahwa pemberian jasa audit atas

informasi keuangan historis terhadap suatu entitas oleh seorang Akuntan Publik

dibatasi paling lama untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut.

Regulasi tersebut bertujuan untuk menjaga independensi auditor dengan

membatasi masa perikatan kerja auditor dengan auditee, sehingga timbul

pergantian auditor (auditor switching) secara mandatory (wajib). Namun

demikian, pada praktiknya dimungkinkan terjadi auditor switching secara

voluntary (sukarela) oleh auditee maupun auditor (Majidah & Husnimubaroq,

2019). Auditor switching secara voluntary dapat dipicu klien atau oleh KAP

(Maryani et al. dalam Adli & Suryani, 2019). Pergantian auditor dari pihak klien

biasanya dikarenakan klien ingin mencari auditor yang kualitasnya lebih baik,

opinion shopping, dan meminimumkan imbalan audit (Elder et al. dalam Adli &

Suryani, 2019). Sedangkan pergantian auditor yang dipicu oleh auditor biasanya

dikarenakan imbalan audit, kualitas audit, dan sebagainya (Fitriani dan Zulaikha

dalam Adli & Suryani, 2019).


Keterkaitan antara teori keagenan dan auditor switching adalah auditor

memiliki peran penting didalam menjembatani antara pihak manajemen dan

pihak prinsipal dengan menilai kewajaran laporan keuangan dan kemampuan

perusahaan untuk bertahan (going concern). Oleh karena itu, hal ini dapat

membuat manajemen ingin membangun kerjasama yang baik dengan auditor

agar opini yang dikeluarkan auditor akan sesuai dengan keinginan manajemen.

Sehingga apabila hal tersebut tidak terwujud maka akan menjadi salah satu

alasan yang mendorong manajemen dalam RUPS untuk melakukan pergantian

auditor yang ada dengan auditor lain yang lebih mampu mewujudkan keinginan

manajemen (Augustyvena & Wilopo, 2017).

2.1.3 Opini Audit

Opini audit adalah opini yang diungkapkan dan diberikan oleh auditor

dalam menilai kewajaran laporan keuangan perusahaan klien dalam segala hal

yang material berdasarkan kesesuaian penyusunan laporan keuangan dengan

menggunakan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Opini audit dapat

diklasifikasikan menjadi empat, yaitu opini wajar tanpa pengecualian, opini wajar

dengan pengecualian, opini tidak wajar, dan opini tidak memberikan pendapat

(Augustyvena & Wilopo, 2017). Singkatnya, opini audit merupakan hasil akhir

dari proses audit yang dilakukan oleh auditor (Winata & Anisykurlillah, 2017).

Opini auditor atas laporan keuangan perusahaan akan menjadi tolak ukur para

penggunanya dalam mengambil keputusan.

Keterkaitan antara teori keagenan dan opini audit adalah perusahaan

ingin mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian atas hasil audit laporan

keuangannya. Manajemen sebagai agen memiliki kewajiban untuk bertanggung

jawab atas wewenang yang telah diberikan oleh pemegang saham yang

dituangkan melalui laporan keuangan. Opini yang diberikan oleh auditor dapat
mempengaruhi pandangan pemegang saham terhadap kinerja manajemen

dalam mengelola perusahaan, sehingga manajemen cenderung menghindari

opini dengan pengecualian (Winata & Anisykurlillah, 2017). Terlebih jika

perusahaan mendapat opini audit going concern. Perusahaan yang

mendapatkan opini going concern adalah perusahan yang sedang mengalami

penurunan pendapatan atau kinerja yang terus merugi (Nugroho et.al., 2018).

Hal ini dapat menimbulkan adanya perselisihan atau kecurigaan dari para

pemegang saham atau stakeholder. Berdasarkan keinginan antara pihak

manajemen dan para pemegang saham yang ingin perusahaan mendapatkan

opini audit wajar tanpa pengecualian maka menurut Winata dan Anisykurlillah

(2017), perusahaan yang memperoleh opini wajar dengan pengecualian akan

cenderung mengganti auditor atau Kantor Akuntan Publik. Hal ini dilakukan

perusahaan untuk menjaga nama baik perusahaan karena opini yang diberikan

oleh auditor juga akan menjadi bentuk tanggung jawab manajemen perusahaan

kepada stakeholders.

2.1.4 Financial Distress

Financial distress merupakan suatu kondisi dimana perusahaan sedang

mengalami masalah kesulitan keuangan. Menurut Plat (2002) dalam Ismanto dan

Manda (2018) mendefinisikan financial distress sebagai tahap penurunan kondisi

keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Hal ini

ditandai dengan ketidakmampuan perusahaan untuk membayar seluruh atau

sebagian kewajibannya terutama kewajiban jangka pendek yang disebabkan

oleh beberapa faktor. Pertama, karena perusahaan tidak memiliki dana sama

sekali; kedua, perusahaan masih memiliki dana tetapi pada saat jatuh tempo

pembayaran, perusahaan tidak memiliki dana tunai, sehingga perusahaan harus


melakukan berbagai cara seperti menjual surat berharga, menjual persediaan,

menagih piutang, dan lain-lain (Augustyvena & Wilopo, 2017).

Kesulitan keuangan adalah suatu situasi dimana arus kas operasi

perusahaan tidak memadai untuk melunasi kewajiban-kewajiban lancar (seperti

hutang dagang atau beban bunga) dan perusahaan terpaksa melakukan

tindakan perbaikan. Informasi Financial distress ini dapat dijadikan sebagai

peringatan dini atas kebangkrutan sehingga manajemen dapat melakukan

tindakan secara cepat untuk mencegah masalah sebelum terjadinya

kebangkrutan (Ismanto & Manda, 2018).

Keterkaitan antara teori keagenan dan Financial Distress adalah prinsipal

atau pemegang saham menginginkan perusahaan tetap dalam kondisi baik, yang

berarti situasinya stabil atau tidak mengalami masalah keuangan. Dalam hal ini

agen diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan baik agar kondisi

perusahaan tidak mengalami masalah keuangan (Winata & Anisykurlillah, 2017).

Hal ini sebagai bentuk pertanggung jawaban ke pihak prinsipal yang telah

mendanai kegiatan operasional perusahaan. Terkait penelitian lebih lanjut,

terdapat teori bahwa kondisi keuangan perusahaan dapat mempengaruhi

perusahaan untuk mengganti KAP. Perusahaan yang mengalami kesulitan

keuangan akan mengganti KAP dengan harapan dapat menekan biaya

keagenan perusahaan. Oleh karena itu, suatu perusahaan akan cenderung

memilih Kantor Akuntan Publik yang sesuai dengan kondisi perusahaan (Winata

& Anisykurlillah, 2017).

2.1.5 Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan menurut (Wijayani, 2011 dalam Winata &

Anisykurlillah, 2017) adalah ukuran perusahaan yang dapat dinyatakan dalam


total aset, penjualan dan kapitalisasi pasar. Semakin besar total aset, penjualan

dan kapitalisasi pasar, maka semakin besar ukuran perusahaan. Ukuran

perusahaan merupakan skala yang dapat diklasifikasikan sebagai perusahaan

besar atau kecil dalam berbagai hal, seperti dinyatakan dalam total aset, nilai

pasar saham dan lain-lain. Dalam Putra dan Wilopo (2017) terdapat Keputusan

Ketua BAPEPAM No: Kep. 11/PM/1997 menjelaskan bahwa perusahaan kecil

dan menengah berdasarkan kekayaan adalah badan hukum yang memiliki aset

tidak lebih dari Rp100.000.000.000,00, sedangkan perusahaan besar adalah

badan hukum yang memiliki aset lebih dari Rp100.000.000.000,00. Berdasarkan

regulasi tersebut, ukuran perusahaan dapat di interpretasikan melalui besarnya

jumlah kekayaan perusahaan yang dimana kekayaan perusahaan adalah seluruh

aset yang dimiliki oleh perusahaan sebagaimana pernyataan Wimelda dan

Marlinah (2013) dalam Ridho (2019) menyatakan bahwa ukuran perusahaan

(SIZE) adalah suatu ukuran atau besarnya sebuah perusahaan yang dapat

dilihat dengan besarnya aktiva yang dimiliki oleh perusahaan.

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 53/ POJK.

04/2017 tentang pernyataan pendaftaran dalam rangka penawaran umum dan

penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu oleh

emiten dengan aset skala kecil atau emiten dengan aset skala menengah BAB I

Pasal 1 dimana ukuran perusahaan berdasarkan aset dapat dibedakan sebagai

berikut:

1. Perusahaan dengan Aset Skala Kecil adalah badan hukum yang didirikan

di Indonesia yang:

a. Memiliki total aset tidak lebih dari Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh

miliar rupiah);
b. Bukan merupakan Afiliasi atau dikendalikan oleh suatu perusahaan

yang bukan Perusahaan dengan Aset Skala Kecil atau Perusahaan

dengan Aset Skala Menengah; dan

c. Bukan merupakan Reksa Dana.

2. Perusahaan dengan Aset Skala Menengah adalah badan hukum yang

didirikan di Indonesia yang:

a. Memiliki total aset lebih dari Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar

rupiah) sampai dengan Rp.250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh

miliar rupiah);

b. Bukan merupakan Afiliasi atau dikendalikan oleh suatu perusahaan

yang bukan Perusahaan dengan Aset Skala Kecil atau Perusahaan

dengan Aset Skala Menengah; dan

c. Bukan merupakan Reksa Dana.

3. Penawaran Umum oleh Perusahaan dengan Aset Skala Kecil adalah

Penawaran Umum sehubungan dengan Efek yang ditawarkan oleh

Perusahaan dengan Aset Skala Kecil, dimana nilai keseluruhan Efek

yang ditawarkan tidak lebih dari Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar

rupiah).

Keterkaitan antara teori keagenan dan ukuran perusahaan adalah

perusahaan klien besar memiliki kompleksitas bisnis dan peningkatan jumlah

konflik yang dapat menyebabkan biaya keagenan, sehingga permintaan yang

sangat tinggi kepada perusahaan audit independen untuk mengurangi biaya

keagenan. Oleh karena itu, suatu perusahaan akan cenderung memilih Kantor

Akuntan Publik yang sesuai dengan ukuran perusahaan (Winata & Anisykurlillah,

2017).
2.2 Tinjauan Empiris

2.2.1 Opini Audit

Beragam penelitian telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu dengan

variabel-variabel yang berbeda. Variabel independen pertama dalam penelitian

ini yang ingin dilihat hubungannya dengan auditor switching adalah opini audit.

Penelitian terkait pengaruh variabel opini audit terhadap auditor switching telah

dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Winata dan Anisykurlillah (2017) yang

meneliti pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

selama periode 2011-2015 dan Augustyvena dan Wilopo (2017) yang meneliti

pada perusahaan sektor industry barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia selama tahun 2011-2015. Namun keduanya membuktikan bahwa opini

audit tidak berpengaruh atau memberikan efek terhadap auditor switching

sehingga bertentangan dengan teori yang ada. Hasil penelitian tersebut

bertentangan dengan temuan penelitian empiris yang lebih terkini yaitu Aini dan

Yahya (2019) yang meneliti perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia dari tahun 2010-2015 mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh

signifikan antara opini audit terhadap auditor switching.

2.2.2 Financial Distress

Variabel financial distress/ kesulitan keuangan telah diteliti oleh Ismanto

dan Manda (2018), Winata dan Anisykurlillah (2017) serta Augustyvena dan

Wilopo (2017) untuk menghasilkan temuan keberpengaruhannya pada auditor

switching. Penelitian dari Ismanto dan Manda (2018) yang meneliti perusahaan-

perusahaan sektor real estate dan property yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia (BEI) tahun 2011-2016 membuktikan bahwa financial distress

berpengaruh negatif signifikan terhadap auditor switching. Namun hal ini berbeda

dengan hasil temuan dari penelitian yang dilakukan oleh Winata dan
Anisykurlillah (2017) dan Augustyvena dan Wilopo (2017). Winata dan

Anisykurlillah (2017) membuktikan bahwa tidak terdapat pengaruh antara

financial distress terhadap auditor switching dengan objek penelitian adalah

perusahaan manufaktur di Indonesia. Begitu pula penelitian dari Augustyvena

dan Wilopo (2017) yang membuktikan bahwa tidak ada bukti signifikan bahwa

financial distress memiliki efek pada auditor switching dengan objek penelitian

pada perusahaan sektor industri barang konsumsi.

2.2.3 Ukuran Perusahaan

Variabel ukuran perusahaan menjadi variabel independen terakhir pada

penelitian ini untuk melihat pengaruhnya terhadap auditor switching. Data empiris

menunjukkan bahwa pada penelitian yang dilakukan oleh Winata dan

Anisykurlillah (2017) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI

menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap auditor

switching. Berbeda dengan hasil temuan dari Majidah dan Husnimubaroq (2019)

yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh pada auditor

switching di perusahaan sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia tahun 2012-2017.


BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Beragam penelitian telah dilakukan yang mengidentifikasi topik penelitian

yang sama dan memiliki hasil yang berbeda-beda setiap penelitian. Sehingga

peneliti perlu mengeksplor dan menguji kembali dengan data empiris terkini dan

objek penelitian yang berbeda terkait pengaruh variabel opini audit, financial

distress, dan ukuran perusahaan terhadap auditor switching untuk menutupi

kekurangan atau perbedaan diantara penelitian-penelitian sebelumnya dengan

selalu memperbaharui penelitian melalui data informasi yang mutakhir.

Berdasarkan teori-teori yang telah dibahas yang dimulai dengan teori

keagenan (agency theory) sebagai dasar hubungan setiap variabel independen

terhadap variabel dependen. Auditor yang menjembatani hubungan antara pihak

agent kepada principal harus menjadi badan yang independen untuk memastikan
kualitas dari informasi laporan keuangan. Ketika terjadinya pergantian auditor

tentunya akan menimbulkan pertanyaan dari pihak principal tentang apa yang

menjadi penyebabnya sehingga kami ingin lebih meneliti lebih luas lagi faktor-

faktor mengenai apa saja yang memicu terjadinya auditor switching secara adil

agar tidak hanya berfokus pada faktor buruknya kualitas audit KAP. Berdasarkan

teori-teori dan hasil riset dari penelitian-penelitian terdahulu terkait variabel yang

digunakan untuk mengidentifikasi faktor audit opinion, financial distress, dan

ukuran perusahaan maka kiranya ada pengaruh positif dan signifikan terhadap

auditor switching baik secara simultan (bersama-sama) maupun secara parsial

(sendiri-sendiri). Dengan demikian perumusan masalah tersebut dapat dibuat

bagian alur yang menggambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

Audit Opinion
(X1)
H1

Financial Distress H2 Auditor Switching


(X2) (Y)

H3
Ukuran Perusahaan
(X3)

H4

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

3.2 Hipotesis

Pengaruh Audit Opinion Terhadap Auditor Switching


Adanya masing-masing kepentingan antara pihak agent dan principal

menyebabkan keduanya menginginkan perusahaan untuk mendapat opini wajar

tanpa pengecualian (WTP). Opini WTP mempengaruhi kepercayaan antara

masing-masing pihak. Maka dari itu menurut Winata dan Anisykurlillah (2017),

perusahaan yang memperoleh opini wajar dengan pengecualian akan cenderung

mengganti auditor atau Kantor Akuntan Publik. Hal ini dilakukan perusahaan

untuk menjaga nama baik perusahaan karena opini yang diberikan oleh auditor

juga akan menjadi bentuk tanggung jawab manajemen perusahaan kepada

stakeholders. Menurut Kawijaya dan Januarti (dalam Aini & Yahya, 2019) bahwa

opini selain WTP cenderung tidak disukai oleh klien. Klien lebih menginginkan

auditor memberi opini WTP atas laporannya. Opini audit memberikan informasi

yang bermamfaat bagi pengguna laporan keuangan eksternal karena

bermamfaat untuk keputusan investasi.

Opini audit juga sering digunakan sebagai alasan oleh manajemen untuk

mengganti KAP. Kondisi ini muncul ketika perusahaan klien tidak setuju dengan

opini audit sebelumnya atau opini audit yang akan datang. Permasalahan ini

dapat memicu salah satu pihak untuk memisahkan diri (Calderon and Ofobike

dalam Aini & Yahya, 2019). Perusahaan yang mendapat opini audit yang bukan

wajar tanpa pengecualian seperti opini audit wajar dengan penjelasan going

concern yang menyangkut kelangsungan hidup perusahaan atau bahkan tidak

mengemukakan pendapat dapat membuka peluang manajemen untuk mengganti

auditor karena tidak ingin memiliki masalah dengan pihak prinsipal. Teori ini

didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aini dan Yahya (2019)

yang meneliti perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari

tahun 2010-2015 mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara


opini audit terhadap auditor switching. Berdasarkan teori tersebut maka

disimpulkan hipotesis penelitian ini adalah:

H1. Audit Opinion berpengaruh signifikan terhadap Auditor Switching.

Pengaruh Financial Distress Terhadap Auditor Switching

Berdasarkan teori dari Winata dan Anisykurlillah (2017) bahwa kondisi

keuangan perusahaan dapat mempengaruhi perusahaan untuk mengganti KAP

dimana perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress)

akan mengganti KAP yang sesuai kondisi perusahaan dengan harapan dapat

menekan biaya keagenan perusahaan. Hal ini didukung oleh Kida (dalam

Augustyvena & Wilopo, 2017) yang menyatakan bahwa perusahaan yang

mengalami kebangkrutan memiliki rasio yang rendah dan posisi keuangan yang

tidak sehat. Oleh karena itu, mereka cenderung melibatkan auditor yang memiliki

tingkat independensi yang tinggi dengan tujuan untuk meningkatkan

kepercayaan pemegang saham dan kreditur (Kida 1980 dalam Srimindarti 2006).

Hasil penelitian dari Ismanto dan Manda (2018) juga mendukung teori ini dengan

membuktikan adanya pengaruh signifikan antara financial distress terhadap

auditor switching. Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian yang

dilakukan oleh Nurcahyani (2013), Sinarwati (2010), dan Ruroh (2016) yang

menunjukan hasil yang sama yaitu variabel financial distress berpengaruh

signifikan terhadap auditor switching. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

hipotesis penelitian ini adalah:

H2. Financial Distress berpengaruh signifikan terhadap Auditor Switching.

Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Auditor Switching

Menurut Winata dan Anisykurlillah (2017) menyatakan terkait hal ukuran

perusahaan yang diproyeksikan pada total aset. Semakin besar ukuran suatu
perusahaan maka akan semakin kompleks pula kegiatan usaha yang dilakukan

oleh perusahaan tersebut, maka dalam hal ini perusahaan membutuhkan KAP

yang berpengalaman untuk mengaudit perusahaan tersebut. KAP yang

berpengalaman adalah KAP yang sudah lama menjalin hubungan dengan klien

karena sudah mengetahui operasional perusahaan. Oleh karena itu, dapat

dikatakan bahwa perusahaan yang besar, kecil kemungkinannya untuk

melakukan perubahan KAP. Semakin kompleks kegiatan perusahaan, maka

perusahaan akan lebih memilih untuk menggunakan Akuntan Publik yang lebih

berkualitas juga dan memiliki keahlian yang lebih unggul daripada auditor

sebelumnya. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengganti auditornya (Majidah &

Husnimubaroq, 2019). Teori ini didukung dengan hasil penelitian terdahulu dari

Winata dan Anisykurlillah (2017) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di

BEI menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap

auditor switching. Sehingga dapat disimpulkan hipotesis ketiga yaitu:

H3. Ukuran Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap Auditor

Switching.

Pengaruh Audit Opinion, Financial Distress, dan Ukuran Perusahaan

Secara Simultan Terhadap Auditor Switching.

Berdasarkan pada teori keagenan yang mendasari seluruh variabel-

variabel dari penelitian ini bahwa variabel audit opinion, financial distress, dan

ukuran perusahaan semuanya mengacu pada terjadinya auditor switching.

Hanya saja setiap variabel masing-masing memiliki teori-teori dari penelitian

terdahulu yang mendukung keberpengaruhannya. Maka kami ingin menguji

apakah secara simultan audit opinion, financial distress, dan ukuran perusahaan

dapat mempengaruhi auditor switching. Sehingga hipotesis kami simpulkan:


H4. Audit Opinion, Financial Distress, dan Ukuran Perusahaan secara

simultan berpengaruh terhadap Auditor Switching.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah studi formal. Studi formal

merupakan penelitian yang dimulai dengan hipotesis atau pertanyaan penelitian

dan melibatkan prosedur yang tepat dan spesifikasi sumber data. Tujuan desain

studi formal adalah menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan penelitian yang

diajukan (Cooper et al, 2013).

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2015:80). Singkatnya,

populasi adalah semua individu atau unit-unit yang menjadi objek penelitian.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar pada

sektor transportasi dan logistik di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2021.

Adapun jumlah populasinya adalah 28 perusahaan.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian individu atau unit-unit yang diambil dari

populasi. Sampel terdiri atas sejumlah anggota yang dipilih dari populasi

(Sekaran, 2006: 123). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah

porposive sampling. Pengambilan sampel secara porposive didasarkan pada

suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri

atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Adapun kriteria-

kriteria yang ditetapkan untuk mengambil sampel adalah sebagai berikut :

1. Perusahaan terdaftar di BEI paling lama sebelum PP No.20 tahun 2015

diundangkan, yaitu April 2015.

2. Perusahaan tidak delisting dari Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun

2016-2020 pada sektor transportasi dan logistik.

3. Perusahaan mempublikasikan laporan keuangan tahunan yang telah

diaudit secara lengkap dari tahun 2016-2020.

4. Perusahaan mengalami auditor switching minimal dua kali selama

periode 2016-2020.

5. Perusahaan mengalami financial distress minimal sekali selama periode

2016-2020.
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan maka diperoleh jumlah

sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

No. Purposive Sampling Jumlah


1. Perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) 28
tahun 2021 pada sektor transportasi dan logistik
2. Dikurangi jumlah perusahaan yang terdaftar paling lama (16)
sebelum PP No. 20 tahun 2015 berlaku
3. Dikurangi jumlah perusahaan yang delisting dari Bursa Efek (0)
Indonesia (BEI) di tahun 2019-2020 pada sektor transportasi
dan logistik
4. Dikurangi perusahaan yang tidak mempublikasikan laporan (0)
keuangan tahunan yang telah diaudit secara lengkap dari
tahun 2016-2020
5. Dikurangi perusahaan yang tidak mengalami auditor (7)
switching minimal dua kali selama periode 2016-2020
6. Dikurangi perusahaan yang tidak pernah mengalami financial (1)
distress minimal sekali selama periode 2016-2020
Jumlah 5

Berdasarkan tabel di atas maka diperoleh 5 perusahaan sebagai sampel

penelitian ini, yaitu :

No. Kode Perusahaan


1. CMPP PT. Air Asia Indonesia Tbk.

2. GIAA PT. Garuda Indonesia Tbk.

3. IATA PT. Indonesia Transport &

Infrastructure Tbk.

4. TAXI PT. Express Transindo Utama Tbk.

5. TMAS PT. Temas Tbk.

4.3 Jenis dan Sumber Data

4.3.1 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,

yaitu data yang sumbernya tidak langsung memberikan data kepada pengumpul

data, misalnya melalui orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2016).

Dokumennya bisa berupa catatan, buku, dan majalah, web site berupa laporan
keuangan publikasi perusahaan, laporan pemerintah, artikel, buku-buku sebagai

teori, dan lain sebagainya.

4.3.2 Sumber Data

Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan berasal dari laporan

keuangan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada sektor

transportasi dan logistik selama 2016-2020. Data diambil dari sumbernya

menggunakan teknik dokumentasi atas laporan keuangan yang telah

dipublikasikan oleh Bursa Efek Indonesia melalui website resmi www.idx.co.id.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data sekunder

adalah studi dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan data sekunder berupa

catatan-catatan, laporan keuangan maupun informasi lainnya yang berkaitan

dengan penelitian ini. Data penelitian ini data diperoleh melalui media internet

yaitu website www.idx.co.id. dengan cara mendownload laporan keuangan

perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam sektor transportasi dan logistik

yang diperlukan dalam penelitian ini.

4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

a. Variabel Dependen (Variabel Terikat)

Auditor Switching (Y)

Malek dan Saidin (2014) dalam Adli dan Suryani (2019) menyatakan

bahwa auditor switching adalah fenomena di mana auditor yang bertugas saat ini

tidak lagi ditugaskan pada masa yang akan datang. Ismanto dan Manda (2018)

menyatakan bahwa auditor switching merupakan perilaku yang dilakukan oleh

perusahaan untuk berpindah auditor. Maka dapat disimpulkan bahwa Auditor

swtiching, merupakan kondisi dimana auditor yang mengerjakan jasa audit atas
laporan keuangan perusahaan klien tidak lagi ditugaskan untuk melakukan audit

di tahun berikutnya. Variabel ini diukur dengan variabel dummy dimana jika

perusahaan klien berpindah auditor sebelum 5 tahun buku berturut-turut

berdasarkan UU No.20 Tahun 2015 maka diberikan nilai 1. Sedangkan, jika

perusahaan klien tidak berpindah auditor selama periode tersebut diberikan nilai

0. Variabel ini diukur dengan skala nominal.

b. Variabel Ind ependen (Variabel Bebas)

Audit Opinion (X1)

Opini audit merupakan hasil akhir dari proses audit yang dilakukan oleh

auditor (Winata & Anisykurlillah, 2017). Opini audit dapat diklasifikasikan menjadi

empat, yaitu opini wajar tanpa pengecualian, opini wajar dengan pengecualian,

opini tidak wajar, dan opini tidak memberikan pendapat (Augustyvena & Wilopo,

2017). Varibel ini dibagi menjadi dua kelompok/ dikotomi, apabila auditor

memberi opini selain wajar tanpa pengecualian maka diberi nilai 1 dan apabila

auditor memberi opini wajar tanpa pengecualian maka diberi nilai 0. Variabel ini

diukur dengan skala nominal.

Financial Distress (X2)

Financial distress menunjukkan kesulitan solvabilitas perusahaan dimana

perusahaan kesulitan dalam melunasi kewajibannya. Sehingga Financial distress

diproksikan dengan rasio DAR (Debt to Assets Ratio). Tingkat rasio DAR yang

aman adalah 50%, dimana rasio DAR diatas 50% merupakan salah satu

indikator memburuknya kinerja keuangan sehingga perusahaan akan mengalami


financial distress (Ismanto & Manda, 2018). Variabel ini diukur dengan skala

rasio, dimana ditunjukkan sebagai berikut:

Total Utang
DAR= × 100 %
Total Aset

Ukuran Perusahaan (X3)

Ukuran perusahaan menurut (Wijayani, 2011 dalam Winata &

Anisykurlillah, 2017) adalah ukuran perusahaan yang dapat dinyatakan dalam

total aset, penjualan dan kapitalisasi pasar. Dalam penelitian ini, ukuran

perusahaan diproksikan sebagai besarnya total aset/ aktiva yang dimiliki oleh

perusahaan yang merupakan sumber ekonomi atau kekayaan dari perusahaan.

Wimelda dan Marlinah (2013) dalam Ridho (2019) menyatakan bahwa ukuran

perusahaan (SIZE) adalah suatu ukuran atau besarnya sebuah perusahaan yang

dapat dilihat dengan besarnya aktiva yang dimiliki oleh perusahaan.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Winata dan Anisykurlillah (2017)

serta Majidah dan Husnimubaroq (2019) yang menggunakan ukuran aset

sebagai proksi dari ukuran perusahaan. Variabel ini diukur dengan sebagai

berikut:

¿ ln (Total Aset )

4.6 Teknik Analisis Data

Keseluruhan analisis data akan menggunakan alat bantu statistik yaitu

SPSS 25 for Windows Version 10. Adapun teknik analisis data pada penelitian ini

sebagai berikut:

1. Analisis Statistik Deskriptif

Analisis statistik deskriptif menginformasikan variabel-variabel

yang digunakan pada penelitian ini. Hasil dari analisis statistik deskriptif
ini meliputi nilai minimun, maximum, mean dan standar deviasi dari setiap

variabel yang diteliti yaitu Audit Opinion, Financial Distress, dan Ukuran

Perusahaan serta Auditor Switching. Analisis statistik deskriptif digunakan

untuk menganalisa data kuantitatif secara deskriptif sehingga dapat

memberikan gambaran atas data yang dimiliki.

2. Analisis Regresi Logistik

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan regresi logistik (logistic regression). Model regresi logistik

adalah model regresi untuk variabel prediktor X dengan variabel respon Y

yang bersifat dikotomi. Nilai variabel Y=1 menyatakan adanya suatu

karakteristik dan Y=0 menyatakan tidak adanya suatu karakteristik

(Setiawati & Utomo, 2017). Analisis regresi logistik adalah model regresi

yang sudah mengalami modifikasi karena variabel dependennya

menggunakan skala nominal. Regresi logistik digunakan untuk menguji

sejauh mana probabilitas terjadinya variabel dependen dapat diprediksi

dengan variabel independen (Ghozali, 2006 dalam Ismanto & Manda,

2018). Adapun model regresi logistik yang digunakan untuk menguji

hipotesis adalah:

SWITCH=α + β 1 AO+ β 2 FD + β 3 UP+ e

Dimana:

SWITCH : Auditor Switching, menggunakan variabel dummy,

kategori 1 mewakili perusahaan yang melakukan

pergantian auditor kurang dari 5 tahun dan kategori 0

mewakili perusahaan yang tidak mengganti auditor kurang

dari 5 tahun.

α : Konstanta
β1, β2 , β3 : Koefisien regresi

AO : Audit opinion

FD : Financial distress

UP : Ukuran Perusahaan

e : Error

a. Menilai Model Fit (Overall Model Fit Test)

Pengujian ini dilakukan untuk menilai model yang telah

dihipotesiskan telah fit dengan data. Hipotesis untuk menilai model fit

adalah:

H0: Model yang dihipotesiskan dengan fit data.

H1: Model yang dihipotesiskan tidak dengan fit data.

Pengujian dilakukan dengan membandingkan nilai antara -2 log

likelihood (- 2LL) pada awal (block number = 0) dengan nilai -2 log

likelihood (-2LL) pada akhir (block number = 1). Pengurangan nilai

antara -2LL awal dengan -2LL akhir menunjukkan bahwa model yang

dihipotesiskan fit dengan data (Ghozali, 2006 dalam Ismanto &

Manda, 2018). Apabila nilai -2LogL Block Number = 0 > nilai - 2LogL

Block Number = 1, maka menunjukkan model fit dengan data.

b. Uji Kelayakan Model Regresi

Analisis selanjutnya adalah menilai kelayakan model regresi

logistik yang akan digunakan. Pengujian kelayakan model regresi

logistik dilakukan dengan menggunakan Goodness of Fit Test yang

diukur dengan nilai Chi-Square. Jika nilai signifikansi Chi-Square

sama dengan atau kurang dari 0,05, maka hipotesis nol (H0) ditolak

yang berarti ada perbedaan signifikan antara model dengan nilai


observasinya sehingga Goodness of Fit Test tidak baik karena model

tidak dapat memprediksi nilai observasinya. Jika nilai signifikansi Chi-

Square lebih besar dari 0,05, maka hipotesis nol (H0) tidak dapat

ditolak dan berarti model mampu memprediksi nilai observasinya atau

dapat dikatakan model dapat diterima karena cocok dengan data

observasinya (Ismanto & Manda, 2018).

c. Uji Koefisien Determinasi (Nagelkerke’s R2)

Mengetahui seberapa besar variabilitas variabel-variabel

independen mampu memperjelas variabilitas variabel dependen.

Koefisien determinasi pada regresi logistik dapat dilihat pada nilai

Nagelkerke R Square. Nilai Nagelkerke R Square dapat

diinterpretasikan seperti nilai R Square pada regresi berganda

(Ghozali, 2006 dalam Ismanto & Manda, 2018).

3. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis terbagi menjadi uji simultan dan uji parsial. Uji

hipotesis ini digunakan untuk melihat ada tidaknya pengaruh antara

variabel independen terhadap variabel dependen sehingga hipotesis

dapat diputuskan diterima atau tidak.

Omnimbus Test/ Uji Simultan

Omnibus test adalah uji yang digunakan untuk mengetahui

pengaruh secara simultan pada variabel independen terhadap variabel

dependen sebagai dasar/alasan pengujian dilanjutkan secara parsial

karena jika secara simultan saja tidak berpengaruh maka dipastikan

pengujian secara parsial juga tidak perlu dilakukan. Jika nilai signifikansi

seluruh variabel independen (p-value) lebih kecil dari 0,05 maka


diasumsikan variabel independen secara bersama-sama berpengaruh

terhadap variabel dependen atau minimal ada satu variabel independen

yang berpengaruh.

Wald Test/ Uji Parsial

Uji wald digunakan untuk menguji ada atau tidaknya pengaruh dari

setiap variabel independen yaitu audit opinion, financial distress, dan

ukuran perusahaan terhadap variabel dependen yaitu auditor switching.

Uji wald atau parsial digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh dari

variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial dengan cara

membandingkan nilai statistik Wald dengan nilai pembanding Chi Square

pada derajat bebas (db) = 1 pada alpha 5% dimana p-value yang lebih

kecil dari alpha menunjukan bahwa hipotesis diterima atau terdapat

pengaruh yang signifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat

secara parsial.

Anda mungkin juga menyukai