Anda di halaman 1dari 56

TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI ABDOMEN 3 POSISI

PADA KASUS ILEUS PARALITIK DI RSUD M.A. SENTOT


PATROL INDRAMAYU
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi Tugas Praktek Kerja
Lapangan III

Disusun Oleh:

ASEP HANA BURHANUDIN


NIM: 4501.06.19.A004

PROGRAM STUDI
DIII RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN CIREBON
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan inayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan Kasus yang

berjudul “TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI ABDOMEN 3 POSISI

PADA KASUS ILEUS PARALITIK DI RSUD PANTURA M.A. SENTOT

PATROL INDRAMAYU”.

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktek

Kerja Lapangan (PKL) III Semester IV, jurusan Teknik Radiodiagnostik dan

Radioterapi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Cirebon, yang bertempat di

Instalasi Radiologi RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol Indramayu.

Dalam penyusunan laporan ini penulis banyak mendapatkan bimbingan

serta bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan

banyak terimakasih kepada:

1. Bapak H. Abdul Gamal S,SKM,MKKK selaku Ketua Program Studi

D-III Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Stikes Cirebon.

2. Bapak H. Arif Wibowo, AMR. Selaku Kepala Ruangan

Radiologi RSUD Panturan M.A. Sentot Patrol Indramayu.

3. Bapak Fahrul Ramadhan, Amd. Trr selaku Pembimbing

4. Seluruh radiografer dan staf Instalasi Radiologi RSUD Panturan M.A.

Sentot Patrol Indramayu.

5. Teman-teman seperjuangan pada Praktek Kerja Lapangan (PKL) III

di Instalasi Radiologi RSUD Pantura M.A Sentot Patrol Indramayu.

i
6. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Laporan Kasus

pada Praktek Kerja Lapangan (PKL) III ini.

Kami menyadari, bahwa laporan Praktikum yang kami buat masih jauh

dari kata sempurna baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya.

Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun

dari semua pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi

di masa mendatang.

Semoga laporan Praktikum ini bisa menambah wawasan para pembaca dan

bisa bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Indramayu, September 2021

Penulis
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan ini telah diperiksa oleh Clinical Instructur (CI) instalasi

radiologi RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol Indramayu dan telah disetujui untuk

memenuhi tugas mata kuliah Praktek Kerja Lapangan III Jurusan Teknik

Radiodiagnostik dan Radioterapi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes)

Cirebon.

Nama : Asep Hana Burhanudin

NIM : 4501.06.19.A.004

Judul laporan : Teknik Pemeriksaan Radiografi abdomen 3 posisi pada kasus

ileus paralitik di RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol Indramayu

Indramayu, September 2021

Menyetujui:

Pembimbing Kepala Ruangan

Fahrul Ramadhan, Amd. H. Arif Wibowo. AMR

Trr NIP: NIP: 196510091988031010

19870520201101002
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................iii

DAFTAR ISI......................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR.........................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................2
1.3 Tujuan.....................................................................................................3
1.4 Manfaat...................................................................................................3

BAB II DASAR TEORI

2.1 Anatomi fisiologi....................................................................................4


2.2 Patofisiologi............................................................................................10
2.3 Sejarah sinar-x dan proses terjadinya sinar-x.........................................13
2.4 Teknik pemeriksaan................................................................................18
2.5 Processing film digital.............................................................................27
2.6 Proteksi radiasi........................................................................................29

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Hasil pengamatan....................................................................................35


3.2 Persiapan dan Pelaksanaan......................................................................36
3.3 Pembahasan.............................................................................................40

BAB IV Penutup

4.1. Kesimpulan............................................................................................44
4.2.Saran........................................................................................................45

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN GAMBAR
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Abdomen 4
Gambar 2.2 Anatomi Thorax 8
Gambar 2.3 Wilhelm Conrad Rontgen (Penemu Sinar-x) 13
Gambar 2.4 Proses Terjadinya Sinar-X Bemstrahlung 16
Gambar 2.5 Proses Terjadinya Sinar-X Karakteristik 17
Gambar 2.6 Posisi Pasien (Clark’s) 19
Gambar 2.7 Hasil Radiograf (Clark’s) 19
Gambar 2.8 Posisi Pasien (Clark’s) 20
Gambar 2.9 Hasil Radiograf (Clark’s) 21
Gambar 2.10 Posisi Pasien (Clark’s) 22
Gambar 2.11 Hasil Radiograf (Clark’s) 22
Gambar 2.12 Posisi Pasien (Bontranger’s) 24
Gambar 2.13 Hasil Radiograf (Bontranger’s) 24
Gambar 2.14 Posisi Pasien (Bontranger’s) 25
Gambar 2.15 Hasil Radiograf (Bontranger’s) 26
Gambar 2.16 Posisi Pasien (Bontranger’s) 27
Gambar 2.17 Hasil Radiograf (Bontranger’s) 27
Gambar 2.18 Ilustrasi Prinsip Proteksi Radiasi Eksternal 31
Gambar 2.19 Kolimasi pada Pemeriksaan Radiologi 32
Gambar 3.1 Pesawat Sinar-X RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol 37
Gambar 3.2 Komputer Radiologi RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol 37
Gambar 3.3 Hasil Radiograf RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol 38
Gambar 3.4 Hasil Radiograf RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol 39
Gambar 3.5 Hasil Radiograf RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol 40
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan ilmu dan pengetahuan terus mendorong kemajuan teknologi

terutama dalam bidang kesehatan. Hal ini sangat membantu guna menegakkan

diagnosa, upaya pencegahan maupun pengobatan suatu penyakit. Demikian

pula dengan dunia kesehatan dituntut untuk dapat mengembangkan jenis

pemeriksaan dan teknologi kesehatan agar ketepatan diagnosis suatu penyakit

dapat diketahui secara dini. Salah satu pengembangan teknik perbandingan

radiografi sebagai alternative pilihan disesuaikan dengan kondisi atau keadaan

pasien. (Ballinger, 2014)

Bidang radiologi merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan

dengan memanfaatkan sinar-x dalam menegakan diagnosa suatu penyakit. Hal

ini dikarnakan informasi yang diperoleh dari hasil pemeriksaan radiografi

secara umum dapat menunjukan ada tidaknya patologi atau trauma. Informasi

ini dapat membantu dalam penegakan diagnosa atau perawatan terhadap

pasien. (Ballinger, 2014)

Pada umumnya pemeriksaan radiografi dilakukan karena adanya kelainan,

seperti fraktur, dislokasi ataupun kelainan patofisiologi lainnya. Mengingat hal

itu untuk membantu menegakan diagnosa perlu adanya teknik pemeriksaan

radiografi yang tepat, sehingga dalam penatalaksanaan dapat menghasilkan

gambaran radiografi yang baik dan tidak mengurangi kenyamanan dari pasien

itu sendiri. (Ballinger,2014)

1
Ketepatan dalam pemilihan teknik radiografi akan menghasilkan gambaran

radiografi yang berkualitas tinggi, untuk membantu menegakkan diagnosa dan

untuk tindakan medis selanjutnya.

Ada banyak pemeriksaan radiologi salah satunya pemeriksaan BNO.

merupakan suatu singkatan dari Blass Nier Overzicht yang berarti

(Blass=Kandung kemih, Nier=Ginjal, Overzicht=keseluruhan). Pengertian

BNO adalah pemeriksaan keseluruhan didaerah abdomen sampai pelvis untuk

melihat sistem traktus urinarius dari nier (ginjal) hingga blass (kandung

kemih). Dengan foto BNO dapat menentukan ukuran, bentuk dan posisi, serta

dapat membedakan batu. Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan persiapan

pasien sebelum dilakukan foto radiografi. Menurut Ballinger (2014), persiapan

pasien yang dimaksud adalah makan makanan yang rendah serat, urus-urus,

dan berpuasa sampai pemeriksaan selesai. mengurangi bicara, dan tidak

merokok. Tujuan dilakukannya persiapan pasien pada pemeriksaan BNO yaitu

untuk membersihkan rongga abdomen (usus) dari feses yang dapat

mengganggu gambaran.

Dengan alasan diatas maka penulis tertarik mengkaji lebih lanjut

mengenai teknik pemeriksaan radiografi BNO dan membahasnya dalam

Laporan Kasus “TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI ABDOMEN 3

POSISI PADA KASUS ILEUS PARALITIK DI RSUD PANTURA M.A.

SENTOT PATROL INDRAMAYU”

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana teknik pemeriksaan radiografi abdomen 3 posisi pada

kasus ileus paralitik di Instansi Radiologi RSUD Pantura M.A. Sentot

Patrol Indramayu?

1.2.2 Mengapa tidak dilakukan LLD pada pemeriksaan abdomen 3 posisi

pada kasus ileus paralitik di Instansi Radiologi RSUD M.A Sentot

Patrol Indramayu?

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui teknik pemeriksaan abdomen 3 posisi pada

kasus ileus paralitik di Instansi Radiologi RSUD Pantura M.A. Sentot

Patrol Indramayu

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan laporan kasus ini:

1.4.1 Bagi Penulis

Untuk memenuhi tugas laporan kasus PKL III, serta menambah

wawasan pengetahuan bagi penulis terutama tentang teknik

pemeriksaan abdomen 3 posisi.

1.4.2 Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan bagi pelayanan kesehatan, khususnya

instalasi radiologi RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol Indramayu,

Sebagai masukan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan radiologi.

1.4.3 Bagi Pembaca

Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang teknik

pemeriksaan abdomen 3 posisi pada kasus ileus paralitik.


BAB II

DASAR TEORI

2.1 Anatomi Fisiologi

2.1.1. Anatomi abdomen

Gambar 2.1 Anatomi Abdomen (Netter’s, 2016)

Menurut (Matthew J, 2020) yang dimaksud dengan abdomen

adalah regio anterior dari tubuh antara diafragma thorax di bagian

superior dan tepi pelvis di bagian inferior.

Abdomen berfungsi sebagai rongga untuk menampung organ-organ

vital pencernaan, saluran kencing, endokrin, eksokrin, peredaran darah,

dan bagian dari sistem reproduksi. (Matthew J, 2020)

Dinding anterior abdomen memiliki sembilan lapisan dari yang

terluar hingga yang paling dalam adalah kulit, jaringan subkutan, fasia

superfisial, oblik eksternal, oblik internal, transversus abdominis, fasia

transversalis, jaringan adiposa, arcolar preperitoneal, dan peritoneum.


Peritoneum adalah salah satu membran kontinu, namun diklafikasikan

sebagai visceral (melapisi organ) atau parietal (melapisi dinding rongga).

Oleh karena itu, rongga peritoneum dibentuk dan diisi dengan cairan

ekstraseluler yang digunakan untuk melumasi permukaan agar

mengurangi gesekan. Peritoneum terdiri dari lapisan sel epitel skuamosa

sederhana. (Thomas JM, 2020)

Jaringan subkutan dari dinding abdomen anterior di bawah pusar

juga terpisah menjadi dua lapisan berbeda. Lapisan lemak superfisisal

yang dikenal sebagai fasia camper, dan lapisan membran yang lebih dalam

dikenal sebagai fasia scarpa. Lapisan membran ini bersambung dengan

colles fascia di dalam regio perineum inferior.

Rongga abdomen yang sebenarnya terdiri dari lambung, duodenum

(bagian pertama), jejunum, ilium, hati, kandung empedu, pankreas, limpa,

dan colon transversal.

Dinding posterior rongga abdomirial dikenal sebagai

retroperitoneum. Struktur retroperitoneum termasuk kelenjar suprarenal,

aorta, dan vena cava inferior, duodenum (bagian 2 sampai 4), pankreas

(kepala dan tubuh), ureter, usus besar (turun dan naik), kidocys,

esophagus, dan rectum (Lambert G, 2020).

Beberapa bagian organ-organ yang ada pada abdomen (Wijaja, 2014):

1. Lambung

Organ pencernaan berdinding tebal ditemukan di sisi kiri perut

yang dibagi menjadi empat wilayah: kardia, fundus, badan, dan

pilorus. Hal ini berlanjut dengan esofagus di atasnya, yang membawa

makanan dari
mulut dan melewati diafragma dan masuk ke lambung, dan diikuti

oleh bagian pertama dari usus kecil, yang disebut duodenum. Lambung

adalah tempat kedua pencernaan manusia setelah mulut, dan berfungsi

untuk memindahkan makanan disekitarnya, mencampurnya dengan

getah lambung, dan memulai pencernaan protein.

2. Hati

Ini adalah organ terbesar di perut, itu ditemukan di sisi kanan atas,

tepat dibawah diafragma. Ia memiliki dua lobus yang dipisahkan oleh

ligamen. Hati memainkan peran penting dalam tubuh kita karena

menjaga kadar glukosa darah normal, menghasilkan empedu, dan

mendetoksifikasi darah.

3. Kandung Empedu

Kandung empedu ditemukan dibawah hati dan terhubung

dengannya. Ini menyimpan dan mengonsentrasikan empedu yang

kemudian dikirim ke duodenum bila diperlukan unruk pencernaan dan

penyerapan lemak.

4. Limpa

Limpa adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh. Fungsinya

termasuk mengambil bagian dalam produksi sel darah putih,

menyimpan trombosit, dan menghancurkan sel darah merah yang mati

dan zat yang berbahaya.

5. Pankreas

Pankreas adalah bagian dari sistem pencernaan, pankreas

menghasilkan enzim pencernaan yang penting, serta insulin dan


glukagon, yang sangat penting untuk metabolisme kerbohidrat dalam

tubuh kita.

6. Usus Halus

Usus halus atau usus kecil ditemukan antara lambung dan usus

besar terdiri dari tiga bagian: duodenum, jejunum, dan ileum. Ini adalah

organ pencernaan berbentuk tabung panjang tempat pencernaan dan

sebagian besar penyerapan nutrisi terjadi.

7. Usus Besar

Usus besar adalah organ dimana bahan yang tidak dicerna

dikirim. Ini berbentuk U, dan terdiri dari sekum, kolon, rektum, lubang

anus, dan usus buntu. Penyerapan air dan elektrolit dan pembentukan

feses semua terjadi di sini.

8. Ginjal

Kedua ginjal ditemukan di kedua sisi perut. Kedua ginjal tersebut

memainkan peran yang penting dalam tubuh, seperti detoksifikasi darah,

kreasi urin, dan pemeliharaan air dan keseimbangan asam dalam tubuh.

Yang melekat pada masing-masing ginjal adalah tabung, yang disebut

ureter, yang menghubungkanya dengan kandung kemih. Selain fungsi

ginjal, kelenjar adrenal yang ditemukan di ginjal menghasilkan hormon

penting, seperti norepinefrin dan ADH.

2.1.2. Anatomi thorak

Rangka dada atau thorax tersusun atas tulang dan tulang rawan.

Thorax berupa sebuah rongga berbentuk kerucut, di bawah lebih lebar

daripada di atas dan di belakang lebih panjang daripada di depan. Sebelah


belakang thorax dibentuk oleh kedua belas vertebra thoraxalis, di depan

oleh sternum dan di samping oleh kedua belas pasang iga, yang melingkari

badan mulai belakang tulang belakang sampai ke sternum di depan.

Gambar 2.2 Rangka dada. (Evelyn C. Pearce 2010)

1) Sternum

Sternum atau tulang dada adalah sebuah tulang pipih yang

terbagi atas tiga bagian:

a) Manubrium sterni yaitu bagian tulang dada sebelah atas

yang membentuk persendian dengan tulang klavikula dan

tulang iga.

b) Korpus Sterni yaitu bagian yang terbesar dari tulang dada

dan membentuk persendian dengan tulang iga.

c) Procesus Xypoideus yaitu bagian ujung dari tulang dada

dan pada masih bayi berbentuk tulang rawan.

2) Tulang iga (costae)


Tulang iga banyaknya 12 pasang (24 buah), kiri dan kanan,

bagian depan berhubungan dengan tulang dada dengan perantara

tulang rawan. Bagian belakang berhubungan dengan columna

vertebrae thorakalis. Perhubungan ini memungkinkan costae

bergerak kembang kempis sesuai dengan irama pernafasan.

Tulang–tulang iga dapat dibedakan menjadi tiga bagian:

a) Tulang iga sejati (Os. Costavera). Jumlahnya 7 pasang,

berhubungan dengan tulang dada melalui persendian.

b) Tulang iga tak sejati (Os. Costaspuria). Jumlahnya 3

pasang, berhubungan dengan tulang dada dengan

perantara tulang rawan dari tulang iga sejati ke 7.

Tulang iga melayang (Os. Costae fluitantes). Jumlahnya 2

pasang, tidak mempunyai hubungan dengan tulang dada.

3) Columna vertebrae thorakalis

Dinding posterior rongga thorax terbentuk dari columna

vertebrae thorakalis dengan bagian posterior costae. Columna

vertebrae thorakalis membentuk dinding posterior thorax melalui

persendian dengan bagian posterior costae. Masing–masing

costae membentuk persendian dengan collumna vertebrae

thorakalis dari 1 sampai 12.

4) Os. Clavicula

Clavicula adalah tulang yang melengkung yang membentuk

bagian anterior dari shoulder joint. Untuk keperluan pemeriksaan

os clavicula dibagi menjadi dua ujung: ujung medial disebut


sternoklavikular joint membentuk persendian dengan sternum dan

ujung lateral disebut acromioclavikular joint yang membentuk

persendian dengan acromion dari scapula.

5) Diafragma

Diafragma adalah struktur muskulo-tendineus berbentuk

kubah yang memisahkan rongga thorax dengan abdomen, serta

membentuk lantai dasar dari rongga thorax dan atap dari rongga

abdomen. Pada saat inspirasi otot diafragma berkontraksi

sehingga menyebabkan kubah diafragma turun sehingga ukuran

thorax menjadi lebih besar. Turunnya diafragma menyebabkan

udara ditarik masuk oleh paru – paru dan meluas untuk mengisi

rongga thorax yang membesar. Pada saat ekspirasi otot diafragma

mengendor, diafragma naik sehingga ukuran thorax menjadi kecil

dan udara didorong keluar. Tinggi diafragma berubah sesuai

dengan sikap seperti bila duduk tegak atau berdiri. Pada

diafragma terdapat tiga hiatus yaitu: hiatus aorta, hiatus

esophageal, dan hiatus kava.

2.2 Patofisiologi

2.2.1. Ileus Paralitik

Ileus merupakan keadaan penderita mengalami gangguan pasase

atau jalannya makanan dalam usus. Ileus paralitik termasuk salah satu

kondisi kegawatan akut abdomen. Suatu keadaan akut abdomen yang

berupa keadaan usus tidak berkontraksi akibat adanya gangguan motilitas.

Ileus paralitik atau disebut juga adinamik usus merupakan kondisi

dimana usus
gagal atau tidakmampu melakukan kontraksi peristaltik untuk

menyalurkan isinya. Ileus paralitik terjadikarena suplai saraf otonom

mengalami paralisis dan peristaltik usus terhenti sehingga tidakmampu

mendorong isi sepanjang usus. Penyakit / keadaan yang menimbulkan

ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti yang tercantum di bawah ini:

2.2.2. Etimologi ilues

Penyebab Ileus Paralitik:

1. Neurologik:

- Pasca operasi

- Kerusakan medula spinalis

- Keracunan timbal kolik ureter

- Iritasi persarafan splanknikus

- Pankreatitis

2. Metabolik:

- Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia)

- Uremia - Komplikasi DM

- Penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multipel

3. Obat-obatan

- Narkotik

- Antikolinergik
- Katekolamin

- Fenotiasin

- Antihistamin

4. Infeksi

- Pneumonia

- Empiema

- Urosepsis

- Peritonitis

- Infeksi sistemik berat lainnya

2.2.3. Manifestasi Klinis

Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal

distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin ada mungkin

pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu

dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien

ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai nyeri

kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum

pasien bervariasi dari ringan sampai berat bergantung pada penyakit yang

mendasarinya, didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani

dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar

sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak

pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan
nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi

klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis.

2.3 Sejarah Sinar-X dan Proses Terjadinya Sinar-X

2.3.1. Sejarah sinar-X

Ilmuwan yang berperan penting dalam bidang radiologi dan

radiografi adalah Wilhelm Conrad Rontgen, sebagi penemu sinar-x pada

tanggal 9 Oktober 1895. W.C Rontgen melakukan penelitian di

laboratorium Universitas Wurzburg Jerman dengan melakukan

eksperimenya menggunakan tabung Croock. Hasil eksperimennya tersebut

menghasilkan penemuan luar biasa yang menghantarkan pada kemajuan

dibidang ilmu pengetahuan fisika dan munculnya ilmu pengetahuan baru

dibidang kedokteran yaitu kedokteran radiologi termasuk didalamnya

pengetahuan dan teknologi radiografi. (Asih Puji Utami Dkk: 2018)

Gambar 2.3 Wilhelm Conrad Rontgen (penemu sinar-x)

Sumber: Radiologi Dasar 1

Awal mula penemuan sinar-x, didasari atas ketertarikan W.C

Rontgen pada tabung croock yang diberikan aliran listrik


memunculkan berkas berwarna cahaya biru. Munculnya fenomena

ini disebabakan karena pemberian tegangan listrik tinggi

memberikan lompatan listrik dari katoda bermuatan negatif menuju

anoda bermuatan positif. Fenomena muculnya berkas kelistrikan

berwarna biru oleh para peneliti diberi nama dengan “sinar katoda”.

Sinar biru yang dihasilkan tabung crooks. Pada akhirnya diketahui

terjadi karena ionisasi pada elektron dengan udara yang ada di

dalam tabung. (Asih Puji Utami Dkk: 2018)

Seorang peneliti Jerman bernama Phillip Lenard mengamati

karakter sinar katoda yang dapat dilepaskan keluar dari tabung

melalui jendela yang terbuat dari alumunium tipis. Cara ini

memudahkan Phillip untuk melakukan penelitian terhadap sinar

katoda tersebut. Hasilnya, ketika jalur sinar katoda diluar tabung

dikenaik suatu plat yang dilapisi bahan fosforisensi, akan

menimbulkan perpendaran atau efek luminisensi. (Asih Puji Utami

Dkk: 2018)

Fenomena luminisensi akibat sinar katoda menjadi daya

tarik bagi W.C Rontgen. Beliau berusaha mengenbangkan

penelitiannya dengan cara menutup tabung croock dengan kotak

hitam sehingga tidak ada cahaya luar yang mengganggu proses

berpendarnya dari plat yang dilapisi bahan fosforisensi, tentu saja

harapannya yang diinginkan adalah proses fosforisensi yang murni

dari sinar katoda dan bukan karena adanya cahaya luar. (Asih Puji

Utami Dkk: 2018)


Eksperimen W.C Rontgen dilakukan dengan meletakan

tabung croock pada kotak hitam yang ditutupi dengan kertas yang

dilapisi oleh Barium Platinocyanida. Tanpa terduga kertas tersebut

berpendar ketika tabung croock diaktifkan walaupun letaknya tidak

tegak lurus terhadap arah berkas sinar katoda. Kejadian ini

membuat Rontgen sadar bahwa ada pancaran lain selain sinar

katoda yang keluar dati tabung, yang menyebabkan kertas barium

platinocyanida berpendar. Rontgen memberi nama pancaran sinar

tersebut dengan nama “sinar x”. sebagai indikasi sinar yang belum

diketahui. Berkat penemuanya ini Rontgen menadbatkan hadiah

Nobel. (Asih Puji Utami Dkk: 2018)

2.3.2. Proses Terjadinya Sinar-X

Sinar-X yang dipancarkan dari sistem pembangkit sinar-

X merupakan pancaran foton dari interaksi elektron dengan inti

atom di anoda. Pancaran foton tiap satuan luas disebut penyinaran

atau exposure. Foton yang dihasilkan dari sistem pembangkit sinar-

X dipancarkan ketika electron menumbuk anoda. Beda tegangan

antara katoda dan anoda menetukan besar energi sinar-X, juga

mempengaruhi pancaran sinar-X. Dilihat dari spektrumnya sinar-

X dibedakan menjadi 2 yaitu sinar-X spektrum energi kontinu

(Sinar-X bremsstrahlung) dan sinar-X spektrum dua buah garis

tajam (Sinar-X Karakteristik). (Mukhlis Akhadi, 2020)

a. Proses terjadinya Sinar-X Bremstrahlung


Elektron-elektron yang terlepas dari katoda tidak

seluruhnya menabrak atau terjadi tumbukan dengan elektron-

elektron pada anoda. Sebagian elektron yang bergerak dengan

kecepatan tinggi dari katoda menuju anoda, tiba-tiba terjadi proses

pengereman pada anodaakibat adanya potensial atom sehingga

energi kinetik elektron berkurang dan terjadi perubahan energi

dengan melepaskan foton sinar-X. Peristiwa ini merupakan

peristiwa sinar- X Bremstrahlung. Peristiwa ini menghasilkan

sinar-X dengan proses yang berbeda dengan terjadinya sinar–X

karakteristik, sinar- X Bremstrahlung terjadi akibat pengereman

elektron. (Mukhlis Akhadi, 2020)

Gambar 2.4 Proses terjadinya Sinar-X Bremstrahlung


Sumber: Sinar-X Menjawab Masalah Kesehatan

b. Proses terjadinya Sinar-X Karakteristik

Pada generator sinar-X, saat filamen katoda dipanaskan

menyebabkan filamen berpijar sehingga elektron-elektron bergerak

dari atom-atom filamen dan lepas dari katoda. Elektron-elektron


dari katoda akan lepas dan bergerak dengan kecepatan tinggi

menuju anoda. Elektron yang ditembakkan dari katoda ini

memiliki energi berupa energi kinetik. Selanjutnya pada anoda,

elektron yang ditembakkan dari katoda menumbuk elektron lain

di anoda sehingga energi kinetik elektron dari katoda berubah

dan memberikan energi kinetik pada elektron anoda sehingga

elektron tereksitasi terlepas dari lintasan orbitnya. Saat elektron

kembali dalam keadaan dasar atau setimbang, terjadi perubahan

energi. Perubahan energi ini ternyata mampu menghasilkan

foton dengan frekuensi yang tinggi, peristiwa ini

menghasilkan foton sinar-X yang dikenal sebagai sinar-X

karakteristik. (Mukhlis Akhadi, 2020)

Gambar 2.5 Proses terjadinya Sinar-X Karakteristik


Sumber: Sinar-X Menjawab Masalah Kesehatan
2.4 Teknik Pemeriksaan

1. Clark’s

a. Posisi AP supine

 Teknik Pemeriksaan Radiografi Abdomen Proyeksi Anterio-

posterior (supine)

 Posisi Pasien: Pasien tidur terlentang, lengan pasien

diletakkan disamping tubuh, garis tengah badan terletak tepat

pada garis tengah pemeriksaan, kedua tungkai ekstensi

 Posisi Obyek: MSP tubuh tegak lurus film punggung

menempel kaset Bagian tengah kaset setinggi krista iliaka

dengan batas tepi bawah setinggi simfisis pubis, tidak ada

rotasi pelvis dan bahu. Pusat sinar pada bagian tengah film

dengan jarak minimal 102cm

 Central Ray : tegak lurus langsung pada mid point

 Central Point: 2 inci diatas Umbilicus

 FFD / SID: 100 cm

 Kaset CR/ IP : ukuran 35 x 43 cm / 14 x 17 inch

 Kriteria Gambar :

 Lemak peritonial kanan & kiri baik menghilang

 Garis psoas kanan & kiri baik atau menghilang atau

adanya pelembungan (bulging)

 Batu radioopaque, kalsifikasi atau benda asing yang

radioopaque

 Kontur ginjal kanan & kiri


 Kesuraman yang disebabkan cairan di usus atau tumor

 Gambaran udara usus

 Normal

 Pelebaran dari usus-usus yang melebar

 Keadaan dinding usus

 Jarak antara dua dinding usus yang berdampingan

Gambar 2.6 posisi pasien (Clark’s)

Gambar 2.7 hasil radiograf (Clark’s)

b. Posisi Left Lateral Decubitus (LLD)


 Posisi Pasien : pasien tidur miring kekiri, tekuk lengan

melingkari kepala, film 1 diletakkan didepan atau belakang

perut pasien. Mengikuti area simpisis pubis pada film

 Posisi Obyek : posisi tubuh tidur miring true lateral dengan

MSP tubuh sejajar meja pemeriksaan, kaset diletakkan

(menempel) didepan perut atau abdomen dengan kedua

tangan memeluk kaset atau kaset diletakkan dibelakang

punggung pasien.

 Central Ray : Horizontal tegak lurus film

 Central Point: vertebra lumbal III

 FFD : 100 cm

 Film : ukuran 35 x 43 cm / 14 x 17 inch

 Kriteria Gambar :

 gambaran diafragma

 bila klinis diduga ada cairan didalam rongga abdomen, sisi

kanan tidak boleh terpotong

Gambar 2.8 posisi pasien (clark’s)


Gambar 2.9 hasil radiograf (Clark’s)

c. Posisi setengah duduk/berdiri

 Posisi Pasien : berdiri jika kuat atau duduk atau ½ duduk dan

pasien dalam posisi anteroposterior dan bagian belakang

tegak pastikan punggung tidak rotasi, letakkan lengan dan

tangan dalam posisi anatomi dan pasien tidak boleh bergerak

 Posisi Obyek : jika pasien bisa berdiri kaset diletakkan

didepan perut, jika pasien dikursi roda atau posisi ½ duduk

kaset diletakkan dibelakang punggung pasien, atur sehingga

daerah abdomen masuk dalam film.

 Central Ray : Horizontal tegak lurus film

 Central Point: vertebra lumbal III

 FFD : 100 cm

 Film : ukuran 35 x 43 cm / 14 x 17 inch

 Kriteria Gambar : -

 foto mencangkup kedua diafragma

 dinding lateral kanan dan kiri tidak terpotong


 foto simetris

 Hal hal yang dapat dinilai:

 adanya udara bebas didalam rongga abdomen

 adanya cairan didalam rongga abdomen

 air fluid levels

 gambaran udara bebas dibawah diafragma

Gambar 2.10 posisi pasien (Clark’s)

Gambar 2.11 hasil radiograf (Clark’s)

2. Bontranger’s
1) Abdomen Posisi Supine
Posisi Pasien:
 Pasien supine di atas meja pemeriksaan, dengan Mid Sagital Plane
pasien parallel dengan meja pemeriksaan, dengan kedua kaki
ekstensi dan beri pengganjal pada bagian bawah lutut, agar lebih
nyaman.
 Kedua lengan diletakkan di samping tubuh. Pelvis diposisikan agar
anterior superior iliac spines sama jaraknya terhadap meja
pemeriksaan.
Posisi Objek:
 Kaset dipasang longitudinal/portrait dan diposisikan agar daerah
Shimphysis Pubis masuk pada batas bawah film.Pertengahan kaset
kira-kira berada pada letak setinggi 1 cm di bawah crista iliaca.
Hal ini berfungsi untuk memastikan agar Shymphisis Pubis masuk
dalam lapangan penyinaran. Pastikan tidak ada rotasi pada bahu
dan pelvis.
Central Ray:
 tegak lurus terhadap kaset
CP:
 2 inchi setinggi crista iliaca.
Gunakan pemilihan waktu eksposi yang sesingkat
mungkin. Catatan:
 Pada pasien yang memiliki abdomen tebal, dapat digunakan
Imobilization Band untuk mengkompresi Soft Tissue dan
mengurangi efek radiasi hambur.
 Memastikan marker posisi dan marker anatomi masuk pada daerah
lapangan penyinaran.
 Jika pasien tidak memungkinkan untuk dipindah ke meja
pemeriksaan akibat nyeri perut yang berlebih, maka penggunaan
Stationary Grid dapat dilakukan. Penggunaan FFD yang tepat juga
perlu dilakukan begitu juga dengan CR yang harus tepat pada
pertengahan kaset, agar tidak terjadi Cut Off.
Gambar 2.12 posisi pasien (Bontranger’s)

Gambar 2.13 hasil radiograf (Bontranger’s)

2) Abdomen Posisi Erect (posisi pasien duduk tegak)

Posisi pasien:

 Mengaturtur faktor eksposi dan posisi tabung Sinar-X sehingga


pengaturan sinar horizontal berada pada ketinggian yang tepat,
pasien berada pada posisi siap, kondisi tubuh tegak 90° sehingga
tepat berhadapan dengan tabung Sinar-X.
 Memperhatikan posisi paha, atur pada posisi Abduksi, sehingga Soft
Tissue pada paha tidak menutupi seluruh bagian cavum pelvis.

Posisi objek:

 Mengatur MSP agar parallel terhadap Stand Buck, maupun Grid dan
kaset. Posisi kaset terpasang secara vertical di belakang punggung
pasien, dan memastikan bagian atau batas atas kaset tidak terpasang
pada bagian bawah mid-sternum.

Central Ray:

 Memastikan pengaturan berkas sinar horizontal dan FFD benar-


benar tepat.

Central Point:

 setinggi crista iliaca

Eksposi dilakukan pada saat pasien ekspirasi, setelah eksposi dilakukan,


kembalikan pasien pada posisi supine kembali

Esensi Anatomi:

 Radiograf harus mampu menunjukkan lekuk diafragma untuk


memastikan ada atau tidaknya udara bebas pada peritoneal cavity.

Catatan:

 Faktor eksposi menggunakan mA tinggi dan waktu eksposi yang


singkat dan meningkatkan nilai kV antara 7-10kVp dari faktor
eksposi yang digunakan untuk pemeriksaan abdomen supine.
 Pada kasus pasien suspek perforasi, pasien harus tetap berada pada
posisi erect, idealnya selama 20 menit sebelum dilakukan eksposi,
untuk memberi waktu agar udara bebas dapat naik.

Gambar 2.14 posisi pasien (Bontranger’s)


Gambar 2.15 hasil radiograf (Bontranger’s)

3) Proyeksi Antero Posterior-Left Lateral Decubitus


Proyeksi ini dilakukan apabila pasien tidak dapat diposisikan secara
tegak berdiri ataupun duduk tegak untuk mempejelas ada atau tidaknya
udara bebas pada subdiaphragmatic yang terlihat pada proyeksi AP
supine. Proyeksi ini juga digunakan untuk memastikan ada atau tidaknya
obstruksi.
Dengan posisi pasien berbaring miring kearah kiri, udara bebas akan
naik, dan berada di antara lateral margin dari liver dan dinding lateral
abdominal bagian kanan. Untuk memberi waktu agar udara bebas
terkumpul pada daerah tersebut, pasien diposisikan tidur miring ke arah
kiri selama 5-20 menit sebelum eksposi dilakukan.
Posisi Pasien:
 Pasien tidur miring pada sisi kiri dengan siku dan lengan fleksi,
sehingga tangan dapat diletakkan di dekat kepala, kedua lutut
fleksi.
Posisi objek:
 Kaset yang digunakan berukuran 35 x 43 cm, diposisikan secara
tranversal pada Ventrical Bucky atau bila tidak punya,
menggunakan grid dan kaset yang dipasang secara vertical di
belakang dengan bagian atas kaset cukup untuk menunjukkan
bagian atas dari Right Lateral Abdominal dan dinding Thoracic.
Sedikit bagian dari paru-paru yang berada di atas diafragma harus
masuk pada gambaran. Posisi pasien di atur, agar MSP tubuh
pasien benar-benar paralael terhadap kaset dan grid (tidak ada
rotasi pada bahu mupun pelvis).
Central Ray:
 Sinar Horizontal langsung tepat menuju aspek anterior
pasien. Central Point:
 Tepat pada 2 inchi di atas Krista Iliaka (agar daerah diafragma
masuk pada gambaran), batas atas kaset terletak setinggi axilla.
Eksposi dilakukan saat setelah ekspirasi dan tahan nafas.

Gambar 2.16 posisi pasien (Bontranger’s)

Gambar 2.17 hasil radiograf (Bontranger’s)

2.5 Processing Film Digital

Definisi Digital / Radiografi (DR) adalah suatu bentuk pencitraan

sinar-x, di mana detektor panel datar digunakan sebagai pengganti film.


Dengan sistem DR gambar dapat dilihat di monitor segera setelah

akuisisi, yang memakan waktu beberapa detik dan dapat disimpan /

diteruskan dimanapun mereka dibutuhkan. Seperti gambar-gambar

digital, beberapa salinan data gambar selalu identik. Digital Radiography

adalah sebuah bentuk pencitraan sinar-X dimana sensor- sensor digital

sinar-X digunakan menggantikan film fotografi konvensional. Dan

processing kimiawi digantikan dengan sistem komputer yang terhubung

dengan monitor atau laser printer. Komponen Digital Radiography

Sebuah sistem digital radiografi terdiri dari 4 komponen utama, yaitu X-

ray source, detector Analog- Digital Converter, Computer, dan Output

Device. Beberapa keuntungan DR yang signifikan terhadap CR dan film

screen imaging adalah :

 DR menghilangkan penggunaan kaset, yang menjadikan


penghematan waktu yang signifikan
 Sistem DR meningkatkan efisiensi karena waktu pemrosesan
lebih singkat
 Faktor paparan untuk DR dapat dikurangi bila dibandingkan
dengan faktor paparan untuk CR dan film screen.

Dalam Prinsip Kerja DR, terdapat 2 tipe penangkapan pada


detektor, yaitu:
a) Penangkapan tidak langsung DR (Indirect)
 Mesin menyerap sinar-x dan mengubahnya menjadi
cahaya.
 CCD atau thin-film transistor (TFT) mengubah cahaya
menjadi sinyal listrik.
 Komputer memproses sinyal listrik.
 Gambar dilihat di monitor computer.
b) Langsung menangkap DR (Direct)
 Fotokonduktor menyerap sinar-x.
 TFT mengumpulkan sinyal.
 Sinyal listrik dikirim ke komputer untuk diproses.
 Gambar dilihat di layar komputer.
Proteksi radiasi dimaknai sebagai upaya tindakan perlindungan

terhadap paparan radiasi saat menggunakan sumber-sumber radiasi.

• Prinsip Proteksi Radiasi

Proteksi radiasi dibagi menjadi dua yaitu proteksi radiasi

internal dan proteksi radiasi eksternal. Proteksi radiasi internal

merupakan aktifitas perlindungan terhadap radiasi yang sumber

radiasi berad di dalam tubuh manusia. Umumnya jenis proteksi

radiasi internal dilakukan pada pemeriksaan kedokteran nuklir.

Untuk proteksi radiasi eksternal dilakukan ketika sumber radiasi

berada diluar tubuh manusia. (Sudibyo Dwi Saputro: 2018)

2.6 Proteksi Radiasi

Proteksi radiasi dimaknaik sebagai upaya tindakan perlindungan

terhadap paparan radiasi saat menggunakan sumber-sumber radiasi.

2.6.1 Prinsip Proteksi Radiasi

Proteksi radiasi dibagi menjadi dua yaitu proteksi radiasi

internal dan proteksi radiasi eksternal. Proteksi radiasi internal

merupakan aktifitas perlindungan terhadap radiasi yang sumber

radiasi berad di dalam tubuh manusia. Umumnya jenis proteksi

radiasi internal dilakukan pada pemeriksaan kedokteran nuklir.

Untuk proteksi
radiasi eksternal dilakukan ketika sumber radiasi berada diluar

tubuh manusia. (Sudibyo Dwi Saputro: 2018)

Ada tiga prinsip proteksi radiasi eksternal yang harus

diperhatikan yaitu:

1. Jarak

Jika dalam kondisi tertentu kita harus bekerja dengan

sumber radiasi pada ruangan yang tidak memiliki

perlindungan radiasi yang baik dan kita membutukan

waktu yang lama, maka gunakan prinsip proteksi radiasi

jarak. Prinsip proteksi radiasi jarak ini didasari oleh fakta

bahwa intensits radiasi akan semakin kecil sebanding

dengan jarak.

2. Waktu

Prinsip proteksi radiasi ini digunakan pada saat tidak

ada perisai. Maka tindakan yang dilakukan secepat

mungkin berada didekat sumber radiasi. Hal ini

disebabkan semakin lama berhubungan dengan sumber

radiasi maka potensi terpapar semakin banyak.

3. Perisai (pelindung)

Perisai atau pelindung digunakan sebagai prinsip

proteksi radiasi utama yang teraplikasikan dalam

pemeriksaan radiologi. Prinsip proteksi radiasi ini

memberikan keselamatan yang jauh lebih aman kepada

petugas dan masyarakat serta terukur tingkat

keamananya.
Gambar 2.18 Ilustrasi prinsip proteksi radiasi eksternal
Sumber: radiologi dasar 1

2.6.2 Tindakan Proteksi Radiasi di Instalasi Radiologi Diagnostik

Upaya tindakan proteksi radiasi di radiologi ditujukan untuk

meminimalisir paparan radiasi yang diterima oleh pasien, petugas dan

masyarakat sekitar.

1.Tindakan proteksi radiasi untuk pasien

a. Pembatasan penyinaran

Pembatasan area penyinaran hanya dilakukan pada

daerah objek yang diperiksa, sehingga hanya daerah tersebut

saja yang terkena radiasi. Selain menjaga keluasan

penerimaan radiasi pada pasien, pembatasan area penyinaran

juga dapat mengurangi radiasi hambur. Munculnya radiasi

hambur secara berlebihan dapat menurunkan nilai kontras

pada radiograf. Pembatasan area penyinaran dilakukan

dengan mengatur diafragma kolimator. Kolimator merupakan

pembatasan area penyinaran yang ada pada pesawat sinar-x


Gambar 2.19 kolimasi pada pemeriksaan radiologi
Sumber: radiologi dasar 1

b. Faktor Eksposi

Pengaturan faktor eskposi yang dilakukan oleh

radiografer berperan langsung dalam pemberian dosis radiasi

pada pasien. Sehingga pengetahuan tentang pengaturan

faktor eksposi yang tepat sangat penting dalam upaya

tindakan proteksi radiasi terhdap pasien.

Perlu diketahui bahwa tegangan tabung (kV =

kilovoltase) diartikan sebagai kemampuan daya tembus sinar-

x. semakin tinggi kV maka sinar-x yang dihasilkan akan

memiliki daya tembus yang semakin tinggi. Sedangkan mAs

(miliamperesekon) merepresentasikan sebagai kuantitas atau

jumlah sinar-x yang dihasilkan. Sehingga ketika petugas

mengatur mAs tinggi akan menghasilkan jumlah sinar-x yang

banyak.
Upaya proteksi radiasi dalam mengurangi dosis radiasi

yang berhubungan dengan pengaturan faktor eksposi

sebaiknya dilakukan dengan memilih kV yang tinggi dan

mAs yang rendah. Hal ini disebabkan pemilihan faktor

eksposi tersebut menghasilkan kualitas sinar-x yang bagus,

akan memberikan efek positif terhadap dosis radiasi yang

rendah dan hasil radiograf yang tetap dapat diterima,

terutama ketika menggunakan CR.

c. Perlengkapan Pelindung Radiasi

Pelindung radiasi bagi pasien merupakan sarana

yang dipergunakan untuk melindungi daerah-daerah sensitif

dari paparah radiasi. Contoh pelindung radiasi adalah

apron, google (kacamata) anti radiasi, pelindung tiroid, dan

gonad shield. Pelindung radiasi harus secara rasional

artinya untuk pemeriksaan radiografi yang tidak efektif

penggunaanya sebaiknya tidak dipakai oleh pasien,

misalnya pemakaian gonad sheild pada pemeriksaan manus

gonad sheild tidak akan efektif menahan sinar-x primer

sehingga tidak tepat penggunaanya. Adapun tindakan yang

tept adalah dengan memposisikan pasien duduk

menyamping menjauhi area penyinaran.

d. Pemilihan Proyeksi dan Pengaturan Posisi pasien

Beberapa literatur memberikan pilihan proyeksi

serta pengaturan posisi pasien untuk mendapatkan

informasi
diagnostik. Banyaknya pilihan dalam mengatur posisi

pasien dan proyeksi dapat menjadi salah satu solusi dalam

upaya mengurangi dosis radiasi. Seperti dapat dilihat pada

pemeriksaan Cranium, radiografer umumnya menggunakan

proyeksi AP dengan posisi pasien supine atau erect berdiri,

posisi ini sebenarnya dapat diganti dengan proyeksi PA jika

kondisi pasien memungkinkan. Proyeksi PA akan memberi

keuntungan pengurangan dosis radiasi pada lensa mata,

sehingga upaya tindakan proteksi radiasi dapat dilakukan,

dengan tetap menegakan diagnosa.

e. Pemeilihan Screen yang Efektif

Intensifying screen adalah peralatan yang berperan

penting dalam pembuatan radiograf. IS bergunak untuk

megubah sinar-x menjadi cahaya tampak yang selanjutnya

akan berperan dalam pembentukan bayangan laten pada

film radiografi. Bahan penyusun IS mengalami perubahan

sejalan dengan perkembangan penelitian dalam mencari

efesiensi bahan yang lebih baik dan menkonversi sinar-x

menjadi cahaya tampak sekaligus dapat menurunkan nilai

faktor eskposi yang berujung pada pengurangan dosis

radiasi.

f. Filter

Alat produksi sinar-x menghasilakn sinar-x yang

memiliki variasi energi (polienergetic). Setiap eksposi

akan menghasilkan sinar-x dengan energi tinggi dan


energi
rendah. Sinar-x primer energi rendah tidak mampu

menembus tubuh pasien untuk sampai ke film radiografi,

jenis sinar-x seperti ini memiliki peranan untuk

menambah dosis radiasi khususnya dosis kulit. Sehingga

sinar-x berenergi rendah justru merugikan.

Diperlukan alat penyaring (filter) untuk menahan

sinar-x energi rendah dan meneruskan sinar-x energi

tinggi. Ada dua jenis filter yaitu filter inherent (filter

tetap) dan filter added (filter tambahan). Filter tetap

berada didalam tabung sinar-x antara lain tube housing,

minyak, kolimator dan kaca.

2. Tindakan proteksi radiasi bagi petugas

a. Pelindungan Dari Radiasi Primer dan Sekunder

Perlindungan dari radiasi primer antara lain adalah

dinding bangunan dan pintu. Hal ini disebakan arah berkas

sinar dalam pemeriksaan dimungkinkan langsung

mengarah pada dinding dan pintu ruangan. Sehingga

dinding dan pintu ruangan pemeriksaan harus memenuhi

syarat sebagai pelindung dari radiasi primer. Adapun

syaratnya dinding harus dilapisi timbal minimal dengan

ketebalan 1,5 mm dengan tinggi 7 kaki atau sekitar 2

meter.

Radiasi sekunder merupakan radiasi yang berasal

dari hamburan pasien ataupun karena adanya kebocoran


tabung. Persyaratan kebocoran radiasi sekunder tabung

minimal 100 mR/h dalam jarak 1 meterdari tabung sinar-x.

b. Pakaian Anti Radiasi (Apron)

Pakaian anti radiasi merupakan salah satu

perlenhkapan pelindung yang harus dipakai oleh petugas

radiologi selama menjalankan pemeriksaan terutama saat

menggunakan alat flouroscopy. Baju radiasi memiliki

ketebalan equivalent 0,5 mm Pb. Sedangakan untuk sarung

tangan anti radiasi equivalent 0.25 mmPb.

c. Penerapan Aturan Kuadrat Terbalik

Aturan kuadrat terbalik dapat diterapkan dalam

pelaksanaan dalam pelaksanaan tugas di instalasi radiologi

khususnya saat menggunakan flouroscopy.


BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan

3.1.1 Identitas Pasien

Pada hari kamis tanggal 04 september 2021 pasien bernama Nn. N

berumur 19 tahun keluarga pasien mendaftarkan ke Instalasi Radiologi

untuk pemeriksaan radiografi abdomen 3 posisi. Keluarga pasien datang

dengan membawa surat permintaan pemeriksaan dari dokter yang

memeriksa. Pasien dengan data sebagai berikut :

Nama : Nn. N

Umur : 19 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Anjatan Indramayu

Permintaan foto : abdomen 3 posisi

Dokter Pengirim : dr. Dedi Irfan

Dokter Spesialis Radiologi : dr. Bonny Haryanto, Sp. Rad

No Radiologi : xxxx38

No RM : 22xxxx

Tanggal : September 2021

Diagnosa : GEA + Suspek ileus

35
3.1.2 Riwayat Penyakit Pasien

Pasien dirujuk ke Instalasi Radiologi RSUD Pantura M.A. Sentot

Patrol Indramayu pada tanggal 04 september 2021, dengan keluhan sakit

dibagian perut dan perut kembung.

3.2 Teknik Pemeriksaan

3.2.1 Persiapan Pasien

Persiapan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan abdomen di Instalasi

Radiologi RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol Indramayu, sebagai berikut:

a. Bagi pasien perempuan ditanya apakah pasien dalam keadaan

hamil atau tidak.

b. Apakah pasien menggunakan benda-benda logam yang

mengganggu hasil radiograf.

c. Kemudian di tanya mengenai keluhan pasien apa sebelumnya

sudah dilakukan pemeriksaan di Rumah Sakit tersebut.

d. Penjelasan mengenai jalan pemeriksaan

3.2.2 Pelaksanaan pemeriksaan

Sebelum melakukan pemeriksaan abdomen, dilakukan terlebih

dahulu persiapan alat dan bahan:

a. Pesawat x-ray

Data-data mengenai pesawat radiografi yang digunakan adalah sebagai

berikut:

 Merek pesawat : Mindray

 Tipe Model : DIGEYE 760 smart

 No seri : 3G0210
 Kv Maksimum: 120 Kv

 Ma Maksimum: 600 Ma

Berikut gambaran alat untuk memeriksa abdomen:

Gambar 3.1 Pesawat Sinar X RSUD Pantura M.A. Sentot Patrol

b. Prosesing DR

System direct radiography (DR) adalah system baru pada

pesawat konvensional digital yang berkembang saat ini dimana

image atau gambar hasil exposure dari objek radiografi diubah

kedalam format digital secara real team dengan menggunakan sensor

berupa flat panel atau chard coupled devices (CCD), dan tidak perlu

menggunakan kaset reader untuk mendapatkan gambaran secara

digital.

Gambar 3.2 Komputer Radilogi Unit RSUD M.A. Sentot Patrol Indramayu

c. Pelaksanaan pemeriksaan

1) Posisi abdomen AP supine


 Posisi pasien: pasien diposisikan supine diatas meja

pemeriksaan dengan kedua tangan di samping tubuh

 Posisi objek: Tubuh diatur true AP, mid-line tubuh sejajar

dengan mid line meja pemeriksaan, MSP tubuh tegak lurus

dengan garis tengah batas atas adalah Prosesus Xipoideus

batas bawah simfisis pubis.

 Central ray: vertical tegak lurus terhadap kaset

 Central point: 5cm ke atas dari kedua crista iliaca ditarik

ketengah / umbilicus

 FFD: 100 cm

 Faktor Eksposi KV:75 mAs:36

Gambar 3.3 hasil radiograf di RSUD M.A. Sentot Patrol Indramayu

2) Posisi thorax AP Up right / setengah duduk

 Posisi pasien: pasien diposisikan duduk diatas meja

pemeriksaan dengan tubuh tegak dan kedua tangan disamping

tubuh

 Posisi objek: tubuh diatur true AP, MSP tubuh tegak lurus
terhadap kaset, kaset diletakan dibelakang punggung pasien

dan sinar dari arah depan

 Central ray: horizontal tegak lurus terhadap kaset

 Central point: kedua axilla ditarik ketengah / thoracal 4-5

 FFD: 150 cm

 Faktor eksposi: KV:110 mAs:7

 Setelah melakukan pengaturan posisi selesai, tunggu selama 5

menit setelah itu baru melakukan eksposi

Gambar 3.5 hasil radiograf di RSUD M.A. Sentot Patrol Indramayu

3) Posisi abdomen AP Up right / setengah duduk

 Posisi pasien: pasien diposisikan duduk diatas meja

pemeriksaan dengan kedua tangan di samping tubuh

 Posisi objek: Tubuh diatur true AP, mid-line tubuh sejajar

dengan mid line kaset pemeriksaan, MSP tubuh tegak lurus

dengan garis tengah batas atas adalah Prosesus Xipoideus

batas bawah simfisis pubis.

 Central ray: horizontal tegak lurus terhadap kaset


 Central point: 5cm dari kedua crista iliaca kanan dan kiri

ditarik ketengah / umbilicus

 FFD: 150 cm

 Faktor Eksposi KV:75 mAs:102

 Setelah melakukan pengaturan posisi selesai, tunggu selama 5

menit setelah itu baru melakukan eksposi.

Gambar 3.6 hasil radiograf di RSUD M.A. Sentot Patrol Indramayu

3.3 Pembahasan

Pasien Nn. N, Pada tanggal 04 september 2021 datang ke Instalasi

Radiologi dengan menggunakan brankar membawa surat permintaan

pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi.

Setelah keluarga melakukan pendaftaran, pasien memasuki ruangan

pemeriksaan dengan menggunakan berangkar. Berdasarkan pengamatan

yang telah diperoleh mengenai pemeriksaan abdomen 3 posisi di Instalasi

Radiologi dengan kasus ileus paralitik menggunakan proyeksi Antero


Posterior supine , thorax AP up right, dan antero posterior up right / AP

setengah duduk.

Untuk pemeriksaan menggunakan proyeksi abdomen AP supine

prosedurnya memanggil pasien dan mencocokkan identitasnya,

menjelaskan kepada pasien pelaksanaan pemeriksaan, pasien di posisikan

supine diatas meja pemeriksaan. Berbaring terlentang di atas meja

pemeriksaan, kedua lengan ditempatkan di samping tubuh, Tubuh sedapat

mungkin diatur true AP, mid-line tubuh sejajar dengan mid line meja

pemeriksaan, batas atas adalah Prosesus Xipoideus, batas bawah simfisis

pubis. Mengatur central point pada umbilicus, dengan menggunakan focus

film distance 90 cm dan faktor eksposi kV 75, mAs 36. Kemudian setelah

pengaturan posisi selesai, melakukan eksposi.

Untuk pemeriksaan thorax up right/ setengah duduk, pasien

diposisikan duduk diatas meja pemeriksaan dengan tubuh tegak atau true

AP, kaset diletakan dibelakang pasien dan arah sinar dari depan pasien,

dengan menggunakan FFD 180cm dan factor exsposi kV 110 mAs 7.

Kemudian setelah melakukan pengaturan posisi selesai, tunggu selama 5

menit setelah itu baru melakukan eksposi. Untuk pemeriksaaan abdomen

AP up right / setengah duduk, pasien diposisikan duduk diatas meja

pemeriksaan kedua lengan diletakan disamping tubuh mid-line tubuh

sejajar dengan mid line meja pemeriksaan, batas atas adalah Prosesus

Xipoideus, batas bawah simfisis pubis. Mengatur central point pada

umbilicus, dengan menggunakan focus film distance 90 cm dan faktor

eksposi kV 75 mAs 102.


Setelah melakukan pengaturan posisi selesai, tunggu selama 5 menit

setelah itu baru melakukan eksposi.

Di Instalasi Radiologi RSUD M.A Sentot Patrol Indramayu tidak

menggunakan proyeksi LLD dan diganti dengan proyeksi thorak up right /

setengah duduk. Karena dengan thorak up right sudah bisa untuk melihat

perforasi air fluid levels yang bocor masuk ke antara rongga diafragma.

Dan hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan telah di sepakati oleh

dokter spesialis bedah dan dokter spesialis radiologi untuk menjadikan

SOP di instalasi radiologi RSUD M.A Sentot Patrol Indramayu.

Kemudian memproses film menggunakan DR (Digital Radiography).

Hasil radiograf dibaca oleh dokter untuk didiagnosa. Hasil dari

pemeriksaan ini diberikan kembali kepada pasien untuk pengobatan lebih

lanjut. Dari

Hasil expertise:

 Preperitoneal fat jelas.

 Psoas line tidak jelas.

 Kontur kedua ginjal tidak jelas.

 Tampak distrubusi udara dalam usus halus dan kolon yang

terdistribusi di abdomen tengah.

 Tidak tampak konkramen opak

 Pada posisi tegak: air fluid level intraluminal (+), free air

subdiafragma (-).

Kesan:

 Ileus paralitik
 Ascites

 Tidak tampak urolithiasis opak


BAB VI

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Pada pemeriksaan abdomen 3 posisi pada kasus ileus paralitik di

Radiologi RSUD M.A Sentot Patrol Indramayu dilakukan

menggunakan proyeksi abdomen AP supine. Thorak AP up right/

setengah duduk, dan abdomen AP up right/ setengah duduk.

2. Pemeriksaan abdomen 3 posisi di instalasi Radiologi RSUD M.A

Sentot Patrol Indramayu proyeksi abdomen LLD tidak digunakan,

dan diganti dengan proyeksi thorak up right / setengah duduk.

Dalam hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan telah di

sepakati oleh dokter radiolog, dan hal ini telah menjadi SOP RSUD

M.A Sentot Patrol Indramayu.

3. Praktik Pemeriksaan abdomen 3 posisi di Instalasi Radiologi RSUD

M.A Sentot Patrol memiliki kesamaan pada teori yang tertulis di

buku bontranger’s dan clark’s seperti central point, central ray,

FFD dan posisi pasiennya.

4. Maupun perbedaannya pada teori di buku bontranger’s dan clark’s

dengan praktek ialah pada proyeksinya karena dalam praktek tidak

menggunakan LLD melainkan diganti menggunakan thorax up

right/ setengah duduk, sedangkan dalam kedua teori tersebut

memakai LLD semuanya. Dan tidak terdapat keterangan nilai kV

dan mAs nya, namun di Instalasi Radiologi RSUD M.A Sentot

Patrol dapat diketahui nilai exposi nya dengan abdomen AP supine

kV 75
dan mAs 36. Thorak AP up right kV 110 dan mAs 7. Abdomen AP

up right kV 75 dan mAs 102.

4.2. Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan sehubungan

dengan penulisan laporan klinis ini adalah meningkatkan proteksi

radiasi bagi pasien dengan membatasi luas lapangan

penyinaran/kolimasi sesuai obyek yang akan diteliti. Jika dilihat dari

hasil gambaran memang kolimasinya sudah cukup karena setelah

melakukan pengambilan foto akan diedit dengan cara dipotong/crop.


DAFTAR PUSTAKA

Masrochah, S., Agi,F Trihadidjaya, & Maizza Nadia. (2018). Buku Saku
Protokol Radiorafi. Magelang: Inti Media Pustaka.

P.R.Patel. (2005). Lecture Notes: Radiology. Wiley.

Subandriyo, V. U., & Roosita, K. (2020). Fisiologi Manusia. PT Penerbit IPB


Press.

Utami, A. P., & dkk. (2020). Radiologi Dasar 1. Semarang: Inti Media Pustaka.

Eugene D. Frank, Bruce W. Long, Jeannean Hall Rollins, Barbara J. Smith.


2013. Merrill's Atlas of Radiographic Positioning and Procedures - E-
Book: Volume3, Volume 3: Elsevier Health Sciences,

Mukhlis Akhadi, 2020 Sinar-X Menjawab Masalah Kesehatan: Deepublish

K.C Clark. “CLARK’S POSITIONING IN RADIOGRPHY 12TH EDITION.”


HODDER ARNOLD.

Bontrager Kennet. 2018.“BONTRAGER’S TEXTBOOK OF RADIOGRAPHIC


POSITIONING AND RELATED ANATOMY,NINTH EDITION”.Missouri:
Elsevier

Livingstone AS, Sasa JL. Ileus and obstruction in Haubrich WS, Schaffner F
(eds); Bockus Gastroenterology 5th ed. Philadelphia, WB Saunders Co.,

Sileu W. Acute intestinal obstruction. In : Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson


JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL (eds). Harrison’s Principles of Internal
Medicine 13th ed : New York, Mc Graw-Hill,

Schuffer WD, Sinanan MN. Intestinal obstruction and pseudoobstruction in :


Sleissenger MH, Fordtran JS (eds). Gastrointestinal Disease; Pathophysiology/
Diagnosis / Management 5th ed. Philadelphia, WB Saunders Co,
LAMPIRAN GAMBAR

Anda mungkin juga menyukai