Anda di halaman 1dari 13

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM AKHLAK ISLAM

MAKALAH INI DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS PADA MATA


KULIAH “AKHLAK TASAWUF”
DOSEN PENGAMPU :
SYUKUR MADANI SIREGAR, M.PD
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK IV :
SUNDARI FITRI. (0304202165)
MIARNI AUDINA (0304202180)
MUHAMMAD RIFAI NASUTION (0304201127)

TADRIS BAHASA INGGRIS


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT hingga saat ini masih

memberikan segala nikmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan

pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Akhlak Tasawuf”.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan

dan kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun teknik

pengetikan dan sistem penulisan. Walaupun demikian, inilah bentuk usaha terbaik kami

selaku penulis makalah.

Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu

pengetahuan yang dapat berguna bagi diri pembaca dan orang lain. Kami selaku

pembuat makalah sangat mengharapkan kritik yang membangun dari para pembaca

guna memperbaiki kesalahan yang sebagaimana semestinya.

Medan, 07 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………. I
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….. ……… II
BAB 1
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang………………………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………….1
C. Tujuan………………………………………………………………………………………... 2
BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………2
A. Fase Yunani………………………………………………………………………………….2
B. Fase Arab pra Islam………………………………………………………………………….4
C. Fase Islam……………………………………………………………………………………5
D. Fase Abad Pertengahan………………………………………………………………………6
E. Fase Modern………………………………………………………………………………….7
BAB II
A. KESIMPULAN………………………………………………………………………………8
B. SARAN……………………………………………………………………………………….9
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. …………………….10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kata “akhlak” berasal dari bahasa arab yang secara bahasa bermakna “pembuatan” atau
“penciptaan” dalam konteks agama, akhlak bermakna perangai, budi, tabi’at, adab, atau tingkah
laku. Menurut Imam Ghozali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang
melahirkan perbuatan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun
pertimbangan.

Melacak sejarah perkembangan akhlak (etika) dalam pendekatan bahasa sebenarnya sudah dikenal
manusia di muka bumi ini. Yaitu, yang dikenal dengan istilah adat istiadat yang sangat dihormati
oleh setiap individu, keluarga dan masyarakat.

Selama lebih kurang seribu tahun ahli-ahli fikir Yunani dianggap telah pernah membangun
“kerajaan filsafat“, dengan lahirnya berbagai ahli dan timbulnya berbagai macam aliran filsafat.
Para penyelidik akhlak mengemukakan, bahwa ahli-ahli semata-semata berdasarkan fikiran dan
teori-teori pengetahuan, bukan berdasarkan agama. Selain itu juga masih terdapat ahli-ahli fikir
lain di zaman sebelum islam, pertengahan, dan di zaman modern.
Dari filsuf – filsuf Yunani terjadilah persoalan antara baik dan buruk. Yang mana persoalan ini
menjadi permbicaraan utama dalam kajian ilmu akhlak dan ilmu estetika. Di antara pembicaraan
baik dan buruk penting karena terdapat dua alasan, ini juga berkaitan dengan ilmu akhlak, dan
dapat mengetahui pandangan islam tentang persoalan akibat munculnya berbagai aliran.
Pada pembahasan ini kami sebagai pemakalah akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan
ilmu akhlak pada zaman Yunani sampai zaman Modern dan baik dan buruk.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka dapat kami rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah perkembangan Pemikiran akhlak Islam pada Fase Yunani?
2. Bagaimana sejarah akhlak Islam pada Fase Arab sebelum Islam?
3. Bagaimana sejarah akhlak Islam pada Fase Islam?
4. Bagaimana akhlak Islam pada fase abad pertengahan?
5. Bagaimana akhlak Islam pada Fase Modern?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bahwa sejarah dan perkembangan Pemikiran dalam akhlak Islam pada
Fase Yunani
2. Untuk mengetahui sejarah akhlak Islam pada Fase Arab Pra islam.
3. Untuk mengetahui sejarah akhlak Islam pada Fase islam.
4. Untuk mengetahui perkembangan akhlak Islam pada fase Abad Pertengahan.
5. Untuk mengetahui perkembangan kondisi Pemikiran akhlak Islam pada Fase Modern

BAB II
PEMBAHASAN

A. Fase Yunani

Pertumbuhan Pemikiran akhlak Islam pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya orang-
orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak
dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, Islam karena pada masa itu perhatian mereka tercurah
pada penyelidikannya mengenai alam.[1]
Dasar yang digunakan para pemikir Yunani dalam membangun ilmu akhlak adalah pemikiran
filsafat tentang manusia. Ini menunjukkan bahwa ilmu akhlak yang mereka bangun lebih bersifat
filosofis. Pandangan dan pemikiran filsafat yang dikemukakan para filosof Yunani berbeda-beda.
Tetapi substansi dan tujuannya sama, yaitu menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani, agar
menjadi nasionalis yang baik, merdeka, dan mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah
airnya.[2]
Pandangan dan pemikiran yang dikemukakan para filosof Yunani secara redaksional berbeda-
beda, tetapi substansi dan tujuannya sama yaitu menyiapkan angkatan muda Yunani agar menjadi
nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya.
Para tokoh filosofi Yunani yang mengemukakan tentang akhlak diantaranya adalah :

1. Socrates (469-399 SM)


Socrates didaulat sebagai perintis ilmu akhlak Yunani yang pertama. Alasannya, ia adalah tokoh
pertama yang bersungguh-sungguh mengaitkan manusia dengan prinsip ilmu pengetahuan. Ia
berpendapat bahwa akhlak dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia harus didasarkan
pada ilmu pengetahuan. Ia mengatakan bahwa “keutamaan itu terdapat pada ilmu”. Oleh karena
itu, tidak heran jika kemudian bermunculan berbagai pendapat tentang tujuan akhlak walaupun
sama-sama didasarkan pada Socrates

2. Cynics dan Cyrenics


Golongan terpenting yang lahir setelah Socrates adalah Cynics dan Cyrenics. Keduanya
dari pengikut Socrates. Golongan Cynics di bangun oleh Antistenes (414 - 370 SM). Menurut
golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia adalah
orang yang berperangai dengan akhlak ke Tuhanan. Di antara pemimpin paham golongan Cynics
yang terkenal adalah Diagenes yang meninggal pada tahun 323 SM. Adapun golongan “Cyrenics”
di bangun oleh Aristippus yang lahir di Cyrena (kota Barka di utara Afrika).
Kedua golongan tersebut, sama-sama bicara tentang perbuatan yang baik, utama dan mulia.
Golongan pertama, Cynics bersikap memusat pada Tuhan (teo-sentris) dengan cara manusia
berupaya mengindentifikasi sifat Tuhan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
sedangkan golongan kedua, Cyrenics bersikap memusat pada manusia (antro-pocentris) dengan
cara manusia mengoptimalkan perjuangan dirinya dan memenuhi kelezatan hidupnya.
3. Plato (427-347 SM)
Ia adalah seorang ahli filsafat Athena dan murid dari Socrates. Pandangannya dalam bidang
akhlak berdasarkan pada teori model. Teori model ini digunakan Plato untuk menjelaskan masalah
akhlak. Di antara model ini adalah model untuk kebaikan yaitu arti mutlak, azali, kekal dan amat
sempurna. Dalam pandangan akhlaknya, Plato tampak memadukan antara unsure yang datang dari
diri manusia sendiri dan unsure yang datang dari luar. Unsur dari diri manusia berupa akal pikiran
dan potensi rohaniah, sedangkan unsure dari luar berupa pancaran nilai-nilai luhur dari yang
bersifat mutlak.
Dia berpendapat bahwa pokok-pokok keutamaan ada empat antara lain:
a) Hikmah/kebijaksanaan,
b) Keberanian,
c) Keperwiraan
d) Keadilan.
4. Aristoteles (394-322 SM)
Dia murid Plato yang membangun suatu paham yang khas, yang mana pengikutnya diberi
nama dengan “Peripatetics” karena mereka memberikan pelajaran sambil berjalan, atau karena ia
mengajar di tempat berjalan yang teduh. Dia menyelidiki dalam akhlak dan mengarangnya. Dan
ia berpendapat bahwa tujuan terakhir yang dikehendaki manusia mengenai segala perbuatannya
ialah “bahagia”. Akan tetapi pengertiannya tentang bahagia lebih luas dan lebih tinggi dari
pengikut paham utilitarianism dalam zaman baru ini. Dan menurut pendapatnya jalan mencapai
kebahagiaan ialah mempergunakan kekuatan akal pikiran sebaik-baiknya.
Selain itu Aristoteles ialah pencipta teori serba tengah tiap-tiap keutamaan adalah
tengah-tengah diantara kedua keburukan, seperti dermawan adalah tengah-tengah antara boros dan
kikir, keberanian adalah tengah-tengah antara membabi buta dan takut.
5. Stoics dan Epicurics
Setelah aristoteles datang “Stoics” dan “Epicuric” mereka berbeda penyelidikanya dalam
akhlak “stoics” berpendirian sebagai paham “Cynics”, dan telah kami beri pejelasan secukupnya.
Akan tetapi perlu kami katakan disini, bahwa paham “stoics” ini diikuti oleh banyak ahli filsafat
di yunani dan romawi, rome ialah seneca (6 SM - 65 M), Epicetetus (60 – 110 M) dan kaisar
marcus orleus (121 – 180 M).
Stoisisme mengatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah menjalani segala sesuatu yang
bisa dijalani secara rasional. Kenikmatan dan kesengsaraan datang dan pergi, dan kita tidak perlu
melekat pada salah satunya. Segala ide tentang kesengsaraan dan kebahagiaan berasal dari pikiran
manusia belaka. Pikiran, the mind adalah kunci dari Stoisisme. Kedamaian batin atau peace of
mind akan kita alami kalau kita mau berpikir rasional.
lsafat Epikurus bertujuan menjamin kebahagiaan manusia. Filsafatnya dititikberatkan pada etika
yang akan memberikan ketenangan batin.
6. Agama Nasrani
Pada akhir abad ketiga Masehi, tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama itu telah berhasil
mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang tercantum
dalam kitab Taurat dan Injil. Agama itu memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan
merupakan sumber segala akhlak. Tuhan yang memberi dan menentukan segala bentuk patokan-
patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Tuhanlah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Baik dalam arti sebenarnya adalah kerelaan Tuhan
dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Ajaran akhlak pada agama Nasrani ini bersifat Teo-centri(memusat pada Tuhan) dan
sufistik(bercorak batin). Ajaran akhlak agama Nasrani yang dibawa oleh para pendeta sejalan
dengan ajaran Yunani dari aliran Stoics dalam persoalan baik dan buruk, sehingga kedudukan para
pendeta sama dengan kedudukan para ahli filsafat di Yunani. Menurut ahli filsafat Yunani
pendorong untuk melakukan perbuatan baik ialah pengetahuan dan kebijaksanaan, sedangkan
menurut agama Nasrani pendorong berbuat kebaikan adalah cinta dan iman kepada Tuhan
berdasarkan petunjuk kitab Taurat.

B. Fase Arab Pra Islam

Kehidupan baik dan kemuliaan cukup. Namun mereka juga pemarah yang luar biasa, perampok,
perampas, saat mereka merasa diancam. Kehalusan perangai bangsa Arab dapat dilihat dari syair-
syair mereka, Pada zaman jahiliah bangsa Arab memiliki perangai halus dan rela dalam saat
contohnya syair Zuhair ibn Abi Salam yang mengatakan : “Siapa yang menempati janji tidak akan
tercela, dan siapa yang membawa hatinya menuju kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-
ragu”.[3] Adapun Amir ibnu Dharb Al-‘Adwaniy “pikiran itu tidur dan nafsu bergejolak.
Sesungguhnya penyesalan itu akibat kebodohan”.
Aktsam ibn Shaify juga mengatakan “ jujur adalah pangkal keselamatan; dusta adalah kerusakan;
kejahatan adalah kekerasan; ketelitian adalah sarana menghadapi kesulitan; kelemahan adalah
penyebab kehinaan. Penyakit pikiran adalah nafsu, dan sebaik-baik perkara adalah sabar”.[4] Amr
ibn al-Ahtam pernah mengatakan kepada budaknya “Sesungguhnya kikir itu merupakan perangai
yang akurat lelaki pencuri; bermurahlah dalam cinta karena sesungguhnya kedudukan suci dan
tinggi adalah oang yang belas kasih. Orang yang mulia akan takut mencelamu, dan bagi kebenaran
memiliki jalan sendiri bagi orang-orang yang baik”.[5]
Dapat dipahami bahwa bangsa Arab sebelum islam telah memiliki pemikiran yang minimal dalam
bidang akhlak, dan belum sebanding dengan kata-kata hikmah dari filosof-filosof Yunani kuno.
Memang pada saat itu dari kalangan bangsa Arab belum diketahui adanya para ahli filsafat dan
aliran-alirannya. Hanya ada orang-orang arif bijaksana dan ahli-ahli syair yang menganjurkan
untuk berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan.
Setelah agama islam datang, munculah keyakinan bahwa Allah adalah sumber dari sagala sesuatu
yang ada di dunia ini. Semua yang ada dilangit dan di bumi adalah ciptaan sang Khalikul Alam.

Bangsa Arab pada masa Jahiliyah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagai mana bangsa Yunani
(zeno, Plato dan Aristotels). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu terjadi hanya pada bangsa
yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian, bangsa Arab pada waktu itu mempunyai
ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang hikmah dan syairnya mengandung nilai-nilai akhlak, seperti
Lukman Al-Hakim, Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma, dan Hatim Ath-Tha’i.
Dapat dipahami bahwa bangsa Arab sebelum islam telah memiliki pemikiran yang minimal dalam
bidang akhlak, dan belum sebanding dengan kata-kata hikmah dari filosof-filosof Yunani kuno.
Memang pada saat itu dari kalangan bangsa Arab belum diketahui adanya para ahli filsafat dan
aliran-alirannya. Hanya ada orang-orang arif bijaksana dan ahli-ahli syair yang menganjurkan
untuk berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan.
Setelah agama islam datang, munculah keyakinan bahwa Allah adalah sumber dari sagala sesuatu
yang ada di dunia ini. Semua yang ada dilangit dan di bumi adalah ciptaan sang Khalikul Alam.[6]

C. Fase Islam

islam, tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad saw. Adalah guru terbesar dalam bidang
akhlak. Bahkan, keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyempurmakan akhlak. Akan
tetapi, tokoh yang pertama kali menggagas atau menulis ilmu akhlak dalam islam, masih
diperbincangkan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa teori.
Pertama, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak adalah Ali bin Abi Thalib ini
berdasarkan sebuah risalah yang ditulisnya untuk putranya, Al-Hasan setelah kepulangannya dari
perang shiffin di dalam risalah tersebut terdapat banyak pelajar tentang akhlak dan berbagai
keutamaan. Kandungan risalah ini tercermin pula dalam kitab Nahj Al-Balagah yang banyak
dikutip oleh ulama sunni, seperti Abu Ahmad bin Abdillah Al-‘Asykari dalam kitabnya Az-
Zawajir wa Al-Mawa’izh.
Kedua, tokoh islam yang pertama kali menulis ilmu akhlak adalah Ismail bin Mahran Abu An-
Nasr As-Saukuni, ulama abad kedua H. Ia menulis kitab Al-Mu’min wa Al-Fajr, kitab akhlak yang
pertama kali dikenal dalam islam. Selain itu dikenal tokoh-tokoh akhlak walaupun mereka tidak
menulis kitab tentangnya, seperti Abu Dzar Al-Gifhari, Amr bin Yasir , Nauval Al_Bakali, dan
Muhammad bin Abu Bakar.
Ketiga, pada abad ketiga H, Ja’far bin Ahmad Al-Qumi Menulis kitab Al-Mani’at min Dukhul Al-
Jannah. Tokoh lainnya yang secara khusus berbicara dalam bidang akhlak adalah:
1. Ar-Razi (250-313H) walaupun masih ada filusuf lain, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina. Ar-
Razi telah menulis karya dalam bidang akhlak berjudul Ath-Thibb Ar-Ruhani (kesehatan ruhani).
Buku ini menjelaskan kesehatan ruhani dan penjagaannya. Kitab ini merupsksn filsafat akhlak
terpenting yang bertujuan memperbaiki moral-moral manusia.
2. Pada abad ke empat H, Ali bin ahmad Al-Kufi menulis kitab Al- Adab dan Makarim Al-
akhlak. Pada abad ini dikenal pula tokoh Abu Nasar Al-Farabi yang melakukan penyelidikan
tentang akhlak. Demikian juga ikhwan Ash-Shafa dalam Rasa’ilnya, dan Ibnu Sina (370-428H).
3. Pada abad ke lima H, Ibnu Maskawaih (w. 421 H) menulis kitab Tahdzib Al-Akhlak wa Tath-
hir Al-A’araq dan Adab Al-‘Arab wa Al-Furs. Kitab ini merupakan uraian suatu aliran akhlak yang
sebagai materinya berasal dsari konsep-konsep akhlak dari Plato dan Aristoteles yang diramu
dengan ajaran dan hukum islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup penulis dan situasi
zamannya.
4. Pada abad ke enam H, Warram bin Abi Al-Fawaris menulis kitab Tanbih Al-Khatir wa
Nuzhah An-Nazhir.
5. Pada abad ke tujuh H, Syekh Khawajah Natsir Ath-Thusi menulis kitab Al-Akhlak An-
Nashiriyyah wa Awshaf Asy-Asyraf wa Adab Al-Muta’alimin.
Pada abad-abad sesudahnya dikenal bebera kitab, seperti Irsyad Ad-Dailami Ashabih Al-Qulub
karya Syairazi, Makarim Al-Akhlak karya Hasan bin Amin Ad-Din Al-Adab, Ad-Dhiniyah karya
amin Ad-Din Ath-Thabarsi, dan Bihar Al-Anwar.[7]

D. Fase Abad Pertengahan


Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja
berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno.
Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang telah
diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi penggunaan
akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak
bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki perasaan dan
menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Corak ajaran akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama
itu, nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam
sebagaimana terlihat pada pemikiran aklhlak yang dikemukakan kaum Muktazilah.
Ilmu filsafat,termasuk didalamnya ilmu akhlak, waktu itu di Eropa pada abad-abad pertengahan,
sangat tertekan, sebab gereja memusuhi filsafat Yunani dan Romawi dan menentang penyebaran
ilmu dan kenegaraan. Gereja percaya bahwa hakikat kebenaran itu wahyu yang tidak mungkin
salah lagi. Wahyu hanya membolehkan orang berfilsafat dalam batas-batas tertenttu, sekadar
memperkuat kepercayaan-kepercayaan keagamaan.
Di Eropa terjadi konfrontasi antara filsafat dan gereja. Gereja pada waktu itu memerangi
filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja
berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Namun diantara golongan
gereja ada juga yang menerima percikan filsafat selama tidak bertentangan dengan ajaran gereja.
Inilah yang menciptakan suasana dimana filsafat akhlak yang lahir pada masa itu merupakan
perpaduan antara ajaran Yunani dengan ajaran Nasrani. Pemuka-pemukanya yang termasyhur
adalah Abelard (1079-1142) dan Thomas Aquinas (1226-1274).
Kemudian datang Shakespeare dan Hetzenner yang menyatakan adanya perasaan naluri pada
manusia dapat digunakan untuk membedakan baik dan buruk.
E. Fase Modern

Periode modern dimulai dari tahun 1800 sampai fase kita sekarang, merupakan zaman kebangkitan
umat islam. Ditandai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsyafkan dunia islam akan
kelemahannya dan menyadarkan umat islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang
lebih tinggi.
Sejak Abad Pertengahan, zaman John Stuart Mill (1806-1873) dipindahkannya paham Epicurus
ke paham Utilitarisme. Pahamnya terbesar di Eropa dan mempunyai pengaruh besar disana.
Utilitarisme adalah paham yang memandang bahwa ukuran baik buruknya sesuatu ditentukan oleh
kegunaannya.
Herbert Spencer (1820-1903) mengemukaan paham pertumbuhan secara bertahap (evolusi) dalam
akhlak manusia. Descartes (1596-1650) seorang ahli pikir Perancis yang menjadi pembangun
mazhab rasionalisme. Segala persangkaan yang berasal dari adat kebiasaan harus ditolak.
Dari bahasan diatas dapat dipahami bahwa pada era modern itu bermunculan berbagai mazhab
etika antara lain sebagai berikut:
1. Ada yang tetap mempertahankan corak paham lama
2. Ada yang secara radikal melakukan revolusi pemikiran
3. Tidak sedikit yang masih tetap konsisten mempertahankan etika teologis, yaitu ajaran akhlak
yang berdasarkan ketuhanan (agama)[8]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sejarah Perkembangan Akhlak Pada Zaman Yunani Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu
Akhlak. Dia berpendapat akhlak dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar kecuali bila
didasarkan ilmu pengetahuan. Lalu datang Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli Filsafat Athena,
yang merupakan murid dari Socrates. Buah pemikirannya dalam Etika berdasarkan ‘teori contoh’.
Dia berpendapat alam lain adalah alam rohani. Kemudian disusul Aristoteles (394-322 SM), dia
adalah muridnya plato. Pengukutnya disebut Peripatetis karena ia memberi pelajaran sambil
berjalan atau di tempat berjalan yang teduh.
Pada saat islam masuk lahirlah seorang guru besar dalam bidang akhlak yaitu Nabi Muhammad
saw. Bahkan diutusnya beliau ke muka bumi tiada lain untuk menyempurnakan akhlak, namun
yang pertama kali menggagas atau menulisnya masih terus diperbincangkan.
Seiring berjalannya waktu bangsa Eropa pun bangkit dan mulai merngkaji ilmu tentang akhlak
dengan mengkritik sebagian ajaran klasik dan menyelidiki ajaran akhlak tersebut.
Begitu banyak pendapat-pendapat tentang ajaran akhlak namun masih terdapat dan di temui
kekurangan-kekurangan yang menjadikannya kurang sempurna dan ditemui celah, hanya satu
yang kebenarannya mutlak dan absolut yaitu akhlak yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
Dengan panduannya yaitu Al-Qur’anul Karim yang diwahyukan oleh Allah swt. Kepadanya

B. Saran
Di zaman yang serba modern ini, kita di hadapkan pada perkembangan teknologi yang begitu
canggih yang dapat memberi pengaruh baik maupun buruk pada akhlak kita, oleh karena itu kita
sebagai generasi muda penerus bangsa harus pandai-pandai memilah-milah mana hal yang baik
dan yang buruk untuk diri kita.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin.2007. Study Akhlak dalam Perspektif Alquran. Jakarta: Amzah.


Amin, Ahmad. 1995. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka setia.
Nata, Abuddin. 2010. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/perkembanganakhlakdi akses diakses pada minggu/14maret2021
[2] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000), hlm. 59
[3] Dr.Yusuf Musa, Falsafatu Akhlak il Islam, Kairo, tahun 1963, hlm.86
[4] Ibid hlm. 10
[5] Ibid hlm. 12
[6] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia), 2010. Hal. 56-57
[7] Ibid Hal. 57-60
[8]https://www.kompasiana.com/eganurfadillah5648/5c0697416ddcae79410fcae2/perkembanga
n-pemikiran-dalam-akhlak-islam?page=all di akses diakses pada minggu/14maret2021

Anda mungkin juga menyukai